Anda di halaman 1dari 5

RESILIENCE

Ketahanan Anak Dalam Menghadapi


Perceraian Orang Tua
Ketahanan anak didasarkan pada kemampuan mengatur emosi dan
optimisme.
26 Maret 2023 | Penulis Atikah

Key points
 Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit,
dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit.

 Perceraian orang tua memberikan dampak reaksi emosional dan akan


menurunkan sikap optimis pada seorang anak.

 Peningkatan kemampuan resiliensi pada anak yang mengalami


perceraian orang tua dapat meminimalkan dampak negatif dan
membantu mereka berkembang secara positif.

Resiliensi adalah kemampuan beradaptasi dan bertahan dalam keadaan yang


dianggap merugikan dan membuat stres pada individu. Resiliensi individu
dapat menjaga kondisi kesehatan mental seseorang dan meningkatkan
kemampuannya untuk keluar dari kesulitan yang dialami seperti perceraian
orang tua. Langkah perkembangan anak yang normal menuju individuasi
dapat terancam hanya karena perceraian orang tua. Seorang anak melihat
orang tua sebagai sosok yang telah terpisah dari mereka. Hal ini
menyebabkan anak tidak mampu bergerak menuju kemandirian dan
pemisahan dari orangtua.

Sangat penting bagi seseorang dengan orang tua yang bercerai untuk
memiliki kemampuan positif dalam menghadapi tantangan. Kemampuan
positif tersebut biasa disebut dengan resiliensi. Seseorang tidak mampu
menghindari gangguan psikologis seperti stress, depresi dan lainnya ketika
menghadapi masalah karena kemampuan resiliensinya rendah. Ismiati (2018)
menjelaskan bahwa dampak yang dialami anak ketika menghadapi perceraian
orang tua ialah perasaan tertekan yang menyebabkan ia menjadi stress dan
depresi. Dengan membangun resiliensi, remaja memiliki kemampuan dalam
mencegah, mengantisipasi, beradaptasi, dan menghadapi masalah yang
dihadapi.

Resiliensi berfungsi untuk merepresentasikan kemampuan individu dalam


bertahan hidup dan penyesuaian diri setelah mengalami trauma. Resiliensi
telah menjadi suatu konsep yang penting dalam perkembangan anak serta
pendukung perkembangan teori dan penelitian yang terkait dengan kesehatan
mental. Banyak anak yang tidak dapat menghadapi masalah perceraian orang
tuanya dengan baik karena memiliki kemampuan resiliensi yang rendah.
Kemampuan resiliensi seseorang dapat dilihat dari bagaimana pengaturan
emosi dan sikap optimisme yang dimilikinya. Untuk itu penelitian ini bertujuan
menganalisis resiliensi anak saat menghadapi perceraian orang tua dalam hal
pengaturan emosi dan optimisme.

Kemampuan Resiliensi Anak (Poin 1)


Resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki oleh
seseorang, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkan mereka untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-
dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, dan
merubah kondisi yang menyesatkan menjadi suatu hal yang wajar untuk
diatasi. Resiliensi menjadi suatu hal yang penting yang sangat dibutuhkan
bagi setiap anak ketika mereka dihadapkan pada situasi atau keadaan yang
tidak menyenangkan dan membuat mereka tertekan dan depresi, yang mana
setiap anak memiliki kapasitas yang berbeda-beda untuk menjadi resilien.
Setiap anak yang memiliki sikap resiliensi yang baik membuat mereka lebih
kuat, mampu bertahan serta beradaptasi terhadap kondisi kurang
menyenangkan yang terjadi dalam hidupnya. Reivich dan Shatte (2002)
mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk
bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit, resiliensi
ialah suatu kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika
menghadapi kesulitan atau trauma, yang mana hal ini penting dalam
mengelola tekanan hidup sehari-hari; kemampuan untuk beradaptasi dan
tetap teguh dalam situasi sulit. Dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan dari kapasitas yang dimiliki manusia untuk menghadapi,
mencegah, mengatasi, dan menjadi kuat ketika mengalami kejadian yang
tidak menyenangkan didalam hidupnya serta mampu mengambil makna yang
positif atas pengalaman negatif yang ia alami.
Hubungan Kemampuan Resiliensi Anak Dengan Perceraian
Orang Tua (Poin 2)
Keharmonisan hubungan keluarga dapat berpengaruh terhadap
perkembangan psikologis anak, ketika orang tua dan anak memiliki hubungan
yang positif dan adaptif maka akan membantu anak dalam pencapaian tugas
perkembangan yang optimal begitu juga sebaliknya, hubungan yang tidak
harmonis antara anak dengan orangtua dapat berpengaruh negatif bagi
kehidupan remaja (Indriani, 2018). Penyebab utama perceraian dikarenakan
pertikaian antara suami dan istri dan lemahnya fungsi komunikasi dan apabila
perceraian terjadi maka akan memberikan dampak reaksi emosional pada
seorang anak yang mencakup kesedihan, ketakutan, depresi dan amarah
serta menimbulkan perilaku yang buruk pada anak di sekolah dan akan
menurunkan sikap optimis dan performa fungsi perkembangan karena
disebabkan oleh perilaku bermasalah (Babalis et.al, 2014). Seorang anak
yang mengalami perceraian orang tua terkadang kesulitan dalam mengontrol
emosinya karena tidak dapat menerima dengan baik perpisahan kedua orang
tuanya hal itu juga akan mengganggu dan mengurangi tingkat optimisme anak
terutama dalam bidang akademisnya. Menurut Brooks (dalam Uruk, 2019)
seseorang yang mengalami perceraian orang tua akan menyebabkan
kesulitan terhadap anak dalam mengontrol emosi dan rendahnya tingkat
optimisme yang ada didalam dirinya, anak yang tidak mampu mengontrol
emosinya secara efektif akan menyebabkan ia mengalami : (1) gangguan
psikologis seperti stress, depresi, kecemasan, dan lainnya, (2) ketakutan
kehilangan keluarga, perasaan bersalah dan marah, (3) perubahan mood,
mengeluh, dan mudah tersinggung atau kehilangan minat dalam segala
aktivitas dan hal ini juga dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan
dalam akademiknya seperti : (1) menyuarakan perasaan dan kenakalan, (2)
kurangnya tanggung jawab sosial, (3) hubungan intim yang buruk, (4) putus
sekolah, (5) berurusan dengan teman sebaya yang antisosial, (6) memiliki
tingkat harga diri yang rendah karena berkurangnya tingkat optimisme yang
ada di dalam dirinya. Proses perkembangan psikologis anak sangat
berpengaruh dengan bagaimana hubungannya dengan keluarga terutama
dengan orang tua maka apabila tidak ada keharmonisan dalam keluarga atau
terjadi perceraian itu akan berpengaruh pada perkembangan psikologis anak
dan menyebabkan anak mengalami gangguan psikologis karena
ketidakmampuannya dalam mengontrol emosi serta kegagalan akademik
karena rendahnya tingkat optimisme didalam diri jadi kemampuan resiliensi
seperti kemampuan meregulasi atau mengontrol emosi dan sikap optimisme
yang ada dalam diri setiap anak memiliki hubungan yang penting dalam
menghadapi perceraian orang tua.
Dampak dari Peningkatan Kemampuan Mengatur Emosi dan
Optimisme Pada Anak Dalam Perceraian Orang Tua (Poin 3)
Perpisahan orang tua lebih merusak hubungan anak dan keluarga karena
masa penyesuaian untuk perceraian lebih lama dan lebih sulit bagi anak
karena sebagian besar anak melewati lima tahap dalam penyesuaian ini,
termasuk penolakan perceraian, kemarahan yang diarahkan pada mereka
yang terlibat dalam situasi tersebut, tawar-menawar untuk mempersatukan
orang tua, depresi, dan akhirnya penerimaan. Resiliensi seringkali dilihat
sebagai bagian dari personality traits dan strategi coping yang memampukan
seorang anak ataupun orang dewasa untuk mengatasi pengalaman hidup
yang mengerikan. Seorang anak yang memiliki regulasi emosi dan sikap
optimisme yang baik akan memudahkan ia untuk menghadapi dan
menyelesaikan masalah seperti perceraian orang tua. Pengalaman traumatis
di usia sangat muda seperti perceraian dari orang tua mempengaruhi potensi
munculnya depresi di masa depan, namun kemampuan resiliensi seperti
memiliki sikap optimisme dan pengaturan emosi yang baik dapat menjadi
faktor proteksi dan pencegahan terhadap munculnya depresi dan perasaan
yang diabaikan dari anak, resiliensi sangat diperlukan jika seorang remaja
dihadapkan pada perceraian orang tua karena hal itu dapat meminimalkan
dampak negatif dan membantu mereka berkembang secara positif. (Bucur,
Bucur & Runcan, 2013; Schulz et al, 2014). Dengan meningkatkan
kemampuan resiliensi yaitu memiliki sikap optimisme dan mampu mengelola
emosi dengan baik maka anak akan mudah dalam menghadapi masalah, ia
akan mampu menyikapi, menyelesaikan, dan menerima permasalahan yang
sedang dihadapi dengan baik serta memiliki tingkat kepercayaan diri yang
tinggi sehingga terhindar dari kesulitan dalam akademiknya terutama bagi
anak yang mengalami perceraian orang tua.

Inti (Sintesis Dari 3 Poin Diatas)


Resiliensi ialah kualitas mental seseorang yang menolongnya untuk
berkembang bahkan meskipun menghadapi situasi yang penuh dengan
stress. Resiliensi menjadi suatu hal yang penting yang sangat dibutuhkan bagi
setiap anak ketika mereka dihadapkan pada situasi atau keadaan yang tidak
menyenangkan dan membuat mereka tertekan dan depresi, yang mana setiap
anak memiliki kapasitas yang berbeda-beda untuk menjadi resilien. Dengan
memiliki kemampuan resiliensi yaitu memiliki sikap optimis dan regulasi emosi
yang baik, seorang anak akan terhindar dari mengalami gejala depresi, stres,
kecemasan, dan gangguan psikologis lainnya serta terhindar dari mengalami
kesulitan dalam akademik.
Keberhasilan seorang anak dalam menangani dan menyelesaikan
masalahnya dapat dilihat dari kemampuan resiliensi yang ada didalam dirinya.
Seorang anak memiliki tingkat kemampuan resiliensi yang berbeda-beda
dalam menghadapi perceraian orang tua. Seseorang yang memiliki resiliensi
yang tinggi maka akan mudah dalam menghadapi dan menyelesaikan
masalah, begitu pula sebaliknya, orang yang memiliki kemampuan resiliensi
yang rendah akan sulit untuk menyelesaikan masalah dan keluar dari tekanan
yang ia alami.
Resiliensi memiliki dampak positif bagi seseorang untuk bangkit dari
keterpurukan atau masalah yang dihadapi sehingga kita seharusnya
meningkatkan resiliensi di dalam diri kita. agar ketika dihadapkan dengan
suatu masalah kita dapat menanggapi dengan sikap positif sehingga mampu
menyelesaikan masalahnya dan terhindar dari gangguan psikologis.

References
Hermansyah, M. Taufik. H. M. Rochman. (2020). Resiliensi Pada Remaja Yang
Mengalami Perceraian Orang Tua: Studi Literatur. Motiva : Jurnal Psikologi,
3(2), 52–57. https://doi.org/10.31293/mv.v3i2.4950
Indriani, M. (2018). Resiliensi remaja korban perceraian orangtua [Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.]. http://etheses.uin-malang.ac.id/13587/
Putri, T. Adiyanti. K. R. N. (2022). Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian
Orang Tua. Character : Jurnal Penelitian Psikologi, 9(6), 147–160.
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/47436
Sihombing, S. J. (2020). Resiliensi Anak Korban Perceraian Dalam Menjalin
Hubungan Kencan Di Usia Dwasa Awal. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan
Pengembangan SDM, 9(1), 33–52.
https://ejournal.borobudur.ac.id/index.php/psikologi/article/view/722
Uruk, F. Huta. A. Riska. B. Alwen. (2019). Children  Resilience  In Dealing With
Parental Divorce  Based On the Ability to Regulate Emotions And Optimism.  
International  Journal  of  Research in  Counseling and  Education, 4(1), 9–
14. DOI: 10.24036/00124za0002
Widuri, E. Listyanti. (2012). Regulasi Emosi dan Resiliensi Pada Mahasiswa
Tahun Pertama. Humanitas, 9(2), 147-156.
 

Anda mungkin juga menyukai