Dahulu kala, bumi hanya terdiri atas satu benua yang dinamakan Pangaea.
Pangaea atau Pangea adalah super benua yang ada selama era akhir Paleozoikum
dan awal Mesozoikum, terbentuk sekitar 300 juta tahun yang lalu. Mulai retak
sekitar 200 juta tahun yang lalu, Benua raksasa ini dinamakan Pangea, sedangkan
Kawasan samudera yang mengapitnya dinamakan Panthalassa.
Sedikit demi sedikit Pangea mengalami retakan-retakan dan pecah. Sekitar 135
juta tahun yang lalu, benua raksasa tersebut pecah menjadi dua, yaitu pecahan
benua di sebelah utara dinamakan Laurasia dan di bagian selatan dinamakan
Gondwana. Hipotesis tentang pemisahan Pangea menjadi Laurasia dan Gondwana
yaitu adanya meteor jatuh diujung Amerika Selatan, sehingga bumi hilang
keseimbangan dan terjadilah pengeseran benua Pangea. Kedua benua itu
dipisahkan oleh jalur laut sempit yang dinamakan Laut Tethys. Sisa Laut Tethus
pada saat ini merupakan jalur cebakan minyak bumi di sekitar laut-laut di
Kawasan Timur Tengah. Baik Laurasia maupun Gondwana kemudian terpecah-
pecah lagi menjadi daratan yang lebih kecil dan bergerak secara tidak beraturan
dengan kecepatan gerak berkisar antara 1 – 10 cm pertahun. Dalam sejarah
perkembangan planet bumi, sekitar 65 juta tahun lalu, Laurasia merupakan cikal
bakal benua-benua yang saat ini letaknya di sebelah ekuator (belahan bumi utara),
meliputi Eurasia, Amerika Utara, dan pulau-pulau kecil di sekiatrnya. Adapun
Gondwana merupakan cikal bakal benua-benua di belahan bumi selatan, meliputi
Amerika Selatan, Afrika, Sub benua India, Australia, dan Antartika, hingga
terbentuklah benua-benua yang ada saat ini dan dari benua-benua pada Gondwana
terbentuknya pulau Indonesia.
Sekitar 200 juta tahun yang lalu lalu orang geologi menyebutnya era Triassic,
bumi terbagi atas dua benua raksasa, ayitu Laurasia dan Gondwana. Tomascik
dkk(1997) menyebutkan bahwa berbagai penelitian antara lain oleh Visser dan
Hermes (1962); Audley-Charles dkk (1972); Hamilton (1973, 1978, 1979); Katili
(1975, 1978) Carter dkk (1976); Barber dkk (1977); Chamalaun dan Grady (1978)
serta Norvick (1979), menyimpulkan bahwa sebagian Papua, pulau Timor, Sula,
Sumba, Seram dan Buru menyatu dengan Austalia, dengan demikian pulau-pulau
ini adalah bagian dari Gondwana. Juga dalam Tomascik (1997) disebutkan
Sumatra, Jawa dan Kalimantan menyatu dengan daerah Asia Tenggara dan bukan
merupakan bagian dari Gondwana.
Rekonstruksi tektonik mesozoikum pada 160 juta tahun yang lalu, negara
bernama Indonesia belumlah ada. Kala itu, yang ada hanya wilayah yang sekarang
menjadi Asia Tenggara, terdiri atas apa yang kini kita kenal sebagai Sumatra dan
semenanjung Malaya. Pulau Kalimantan belum ada, Papua masih terletak jauh
dan masih menjadi bagian dari sisa-sisa Gondwana bersama Australia dan India.
Juga bergabung dengan Australia itu adalah pecahan-pecahan kepulauan Sula,
serta blok Banda dan blok Argo.
Figure 2. Bagian dari Laurasia dan sebagian Gondwana di area yang sekarang merupakan Kepulauan
Indonesia, 160 juta tahun lalu.
Pada gambar 2. Pada masa Jurassic akhir itu, Asia terpisah dari Australia-India
oleh laut Meso-Tethys. Lempeng laut Meso-Tethys ini menyusup (mengalami
subduksi) ke bawah Asia Tenggara dan ke bawah blok Banda dan Argo. Subduksi
yang dialami Meso-Tethys itu terjadi karena lempeng benua Asia condong
bergerak ke selatan dan India-Australia condong bergeser ke utara. Tapi itu
penyederhanaan dari saya saja—situasinya tidak mudah juga. Bisa dilihat pada
155 juta dan 150 juta tahun lalu (Gambar 3), blok Banda dan Argo rupanya
memisahkan diri, sementara itu di lempeng Meso-Tethys sendiri rupanya ada
subduksi antar lempeng samudra (dengan lempeng Ceno-Tethys), membentuk
busur Woyla dan busur Incertus. Meso-Tethys menyempit dan Ceno-Tethys
merangsek ke timur laut.
Figure 3. Pada 155 juta tahun yang lalu, blok Banda dan Argo terpisah dari Australia dan bergeser ke utara.
Pada gambar 3. Tampak terpisahnya Banda dan Argo dari induknya, Australia,
juga berarti muncul batas lempeng divergen dan terbentuk lempeng samudra yang
baru. Lokasi yang ditinggalkan oleh blok Banda yang bergeser itu, Banda
Embayment, belakangan akan kita kenal sebagai Laut Banda.
Figure 4. Ketika sampai di masa 135 juta tahun lalu, blok Banda dan Argo sudah bergeser cukup jauh ke
utara, dan India memisahkan diri dari Australia.
Lama kemudian, kita sampai di masa 135 juta tahun yang lalu (Gambar 4). Pada
masa ini, India mulai memisahkan diri dari Australia. Muncullah batas divergen
antara Australia dan India, yang juga berarti terbentuk lempeng samudra yang
baru. Keadaan menjadi jauh lebih rumit. Meso-Tethys makin sempit karena ia
tenggelam ke bawah Asia Tenggara dan Ceno-Tethys. Blok Banda dan Argo
bergeser ke timur laut, bergerak saling menjauh dengan India yang bergeser ke
barat daya. Pergeseran India ini menyebabkan Ceno-Tethys terbelah menjadi
Ceno-Tethys Barat dan Ceno-Tethys Timur. Australia sendiri bergeser sedikit ke
selatan.
Figure 5. Situasi pada masa 120 juta tahun lalu. SWB dan EJWS terus mendekat ke selatannya Asia
Tenggara.
Figure 6. Suasana 100 juta tahun yang lalu, menggambarkan apa yang terjadi selama 20 tahun sejak
terpisahnya India dan Australia.
Pada Gambar 6 terlihat apa yang terjadi: EJWS dan SWB sampai di tepian Asia
Tenggara. Di sana blok SWB tertahan karena lempeng Eurasia, termasuk di Asia
Tenggara itu, adalah lempeng yang tebal. Karena blok SWB tertahan, blok EJWS
bisa menyusulnya dan akhirnya posisi kedua blok ini jadi bersebelahan.
Pada masa 85 juta tahun lalu. SWB dan EJWS bergabung dengan Asia Tenggara,
membentuk area yang disebut Sundaland. Jawa dan sebagian Kalimantan muncul
akibat penggabungan ini. Ini menarik sekali, dalam artikelnya Hall juga
menjelaskan bukti teori ini adalah adanya kemiripan berlian yang banyak
ditemukan di Kalimantan dengan berlian yang ditemukan di Australia—tipe
berlian Gondwana.
Figure 7. Situasi pada 85 juta tahun lalu. Sudah ada Pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, namun belum
sempurna.
Masa 85 juta tahun itu bisa dilihat pada Gambar 7. Tampak blok Banda (SWB)
hilang dan terbentuk Kalimantan, sementara blok Argo (EJWS) juga hilang dan
terbentuk Jawa, Sulawesi Barat & Sulawesi Selatan. India bergerak ke barat dan
Australia berputar sambil bergeser ke timur. Karena interaksi dengan lempeng-
lempeng lainnya, gerakan semacam ini tidak selamanya berlanjut. Australia yang
sudah sedikit berputar selanjutnya terdorong ke utara, sepertinya karena interaksi
dengan lempeng Antarktika di selatannya. India yang bergerak ke barat tertahan
(tampaknya karena di barat itu bertemu dengan lempeng Afrika) dan berikutnya
terdorong ke utara, seperti halnya Australia, ini mungkin terjadi karena interaksi
dengan lempeng Antarktika di selatan. Ketika sampai di masa 50 juta tahun lalu,
situasinya sudah seperti pada Gambar 8.
Figure 8. Situasi 50 juta tahun lalu. India sudah bergeser cepat ke utara, dan posisinya sudah hampir
menumbuk Asia. Australia bergerak ke utara dan Filipina muncul dari timur.
Meso-Tethys terus menyempit dan nantinya akan hilang begitu India menabrak
Asia. Busur Woyla yang sebelumnya muncul sudah hilang, bergabung dengan
Sumatra dan membentuk patahan Sumatra. Ceno-Tethys sudah hilang pula jauh
sebelumnya, gerakan India ke utara mengubur lempeng ini. Lempeng samudra
yang terbentuk antara India dan Australia itu saat ini kita kenal sebagai Samudra
Hindia. Di Papua, sebuah busur (mungkin dari Pasifik—saya tidak tahu lempeng
samudra di atas Papua pada masa itu namanya apa) menempel di bagian utara
membentuk daratan tambahan dan patahan di area tersebut. Lempeng Proto-Laut
Cina Selatan.
Figure 9. Kondisi 30 juta tahun lalu. Interaksi kompleks di Filipina memunculkan pulau-pulau, Laut Cina
Selatan muncul dan Sulawesi Utara mulai menempel dengan bagian Sulawesi lainnya.
Pada 30 juta tahun yang lalu bisa dilihat pada Gambar 9. Bagian Asia retak sedikit
di selatan Cina, terus mengembang dan membentuk lempeng samudra baru yang
sekarang dikenal sebagai lempeng Laut Cina Selatan. Lempeng Pasifik masuk ke
bawah Filipina, dan begitu juga dengan bagian utaranya lempeng Australia,
menyebabkan di lempeng Filipina itu terus muncul pulau-pulau kecil. Australia,
India dan lempeng samudra yang terbentuk di antara keduanya bisa dianggap
sebagai satu kesatuan, dan gerakannya yang mengarah ke utara menyebabkan
perubahan posisi di Sundaland, yakni perputaran Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.
India terus bergerak ke utara, menabrak Asia dan kelak akan menyebabkan
munculnya pegunungan Himalaya. Australia yang bergerak ke utara kemudian
menempel pada Sundaland. Pada masa 15 juta tahun yang lalu (Gambar 10), Sula
dan Papua, bagian dari Australia, hampir berada pada posisinya sekarang. Sula
membentuk apa yang kita kenal saat ini sebagai Sulawesi Tenggara serta
kepulauan Maluku sebelah selatan (Seram dan sekitarnya).
Figure 10. Kondisi 15 juta tahun yang lalu, tampak mirip dengan kondisi saat ini.
Sejak 5 juta tahun yang lalu hingga sekarang, tampaknya tidak banyak perubahan
besar yang terjadi. Tentu saja ada perubahan-perubahan kecil seperti kemunculan
pulau-pulau baru atau hilangnya pulau-pulau lama, munculnya patahan baru, dan
sebagainya. Patahan Sumatra, patahan-patahan di sekitar Mentawai dan selatan
Jawa, pulau-pulau vulkanik di daerah Nusa Tenggara tampaknya terbentuk dalam
selang waktu 5 juta tahun ini.
Figure 12Konfigurasi tektonik Asia Tenggara yang disederhanakan saat ini. Area
teduh mewakili terutama ofiolitik, busur, dan material terakumulasi lainnya yang
ditambahkan ke margin Eurasia dan Australia selama Tersier.
Indochina dan Laut Cina Selatan
Kalimantan
Basement Kalimantan bagian barat dan pedalaman Kalimantan terdiri dari batuan
beku Paleozoikum dan Mesozoikum, batuan sedimen dan metamorf dan daerah
ini berperilaku kurang lebih sebagai kraton selama Tersier Tengah dan Akhir. Di
sebelah utara terdapat tambahan yang lebih muda pada inti kontinental ini yang
telah ditafsirkan sebagai kompleks akresi subduksi (Hamilton 1979) meskipun
pandangan ini tidak diterima secara universal.
Kalimantan selatan telah dipisahkan di garis Lupar, yang merupakan zona ofiolit
Mesozoikum dan Kalimantan selatan telah diperlakukan sebagai satu fragmen
kaku kembali ke 50 Ma. Sulawesi Barat terpisah dari Kalimantan Timur di
Tersier, mengakibatkan terbukanya Selat Makassar dan berkembangnya cekungan
sedimen yang besar di Kalimantan Timur. Sulawesi Barat memiliki sejarah tersier
yang panjang dari aktivitas beku dan batas timur saat ini dari blok Sundaland
tampaknya telah menjadi margin aktif untuk sebagian besar Tersier.
Figure 13. Borneo (kalimantan)
Ada dua pandangan tektonik utama berskala besar di Kalimantan: yang satu
mendukung rotasi besar berlawanan arah jarum jam di pulau itu, yang kedua
berpendapat tidak ada rotasi Kalimantan. Hasil palaeomagnetik dilaporkan oleh
Haile et al. (1977), Haile (1979), Schmidtke dkk. (1990), Wahyono & Sunata
(1987) dan Lumadyo et al. (1993). Hasil ini ditinjau oleh Fuller et al. (1991) dan
Lee & Lawver (1994); yang pertama mendukung rotasi pulau yang berlawanan
arah jarum jam dan yang terakhir mendukung tidak adanya rotasi. Jelas bahwa
data palaeomagnetik yang ada tidak cukup untuk mencapai kesimpulan dan
mereka yang menolak rotasi Kalimantan (Lumadyo et al. 1993; Lee & Lawver
1994; Rangin et al. 1990) menekankan masalah dengan data tersebut. Namun,
meskipun tidak semua bukti mengarah ke arah yang sama, terdapat juga argumen
geologis regional yang mendukung rotasi dan model ini menerima rotasi
berlawanan arah jarum jam di Kalimantan bagian selatan. Hambatan utama untuk
memasukkan rotasi dalam model tektonik regional adalah menentukan posisi
kutub rotasi. Tiang yang dipilih berada dekat dengan sudut barat laut Kalimantan
(1 ° LU, 110 ° BT). Hal ini memungkinkan Kalimantan untuk tetap menjadi
bagian dari blok Sunda sementara memungkinkan pergerakan rotasi diserap di
dalam kompleks akresi Kalimantan utara dengan menutup proto-Laut Cina
Selatan. Ini menyiratkan beberapa perpanjangan antara Kalimantan dan
Semenanjung Malaya dan memungkinkan batas selatan Sundalandia berputar ke
utara. Karena kutub tersebut sangat dekat dengan sudut barat laut Kalimantan
maka tidak memerlukan deformasi besar dari landas sunda ke barat laut, meskipun
deformasi kecil akan terjadi.
Semenanjung Thailand-Melayu
Jawa
Java termasuk sebagian besar untuk penyelesaian dan telah diputar berlawanan
arah jarum jam sebesar 30 ° antara 20 dan 10 Ma. Ini adalah kompromi antara
rotasi yang dipilih untuk Sumatera dan Kalimantan Selatan. Tidak ada bukti
perluasan luas Laut Jawa selama periode ini (mis. Uskup 1980; Van der Weerd &
Armin 1992), tetapi jika Jawa dirotasi secara kaku dengan Kalimantan Selatan,
ada terlalu banyak tumpang tindih antara Jawa dan Sumatera. Perbedaan jumlah
rotasi untuk Kalimantan Selatan dan Jawa akan memungkinkan beberapa
perpanjangan, dan kemungkinan sesar geser, di Laut Jawa Timur antara 20 10 Ma.
Karena kutub rotasi sangat dekat dengan blok Kalimantan, Jawa, dan Sumatera
Utara, tidak ada perubahan posisi relatif yang signifikan, meskipun terdapat
beberapa tumpang tindih antara Jawa dan Sumatera.
Sulawesi
Sulawesi terdiri dari empat sabuk tektonik utama: busur gunung berapi-plutonik
Sulawesi barat, sabuk metamorf Sulawesi tengah, sabuk ofiolit Sulawesi timur,
dan pecahan benua Banggai-Sula, Tukang Besi dan Buton. Konfigurasi ini telah
ditafsirkan secara luas dalam istilah tabrakan antara fragmen mikro-kontinental
timur dan busur vulkanik barat (misalnya Audley-Charles dkk. 1972; Katili 1978;
Hamilton 1979; Silver dkk. 1983b) yang mengakibatkan emplasemen ophiolit dan
metamorfisme . Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
kesederhanaan yang tampak ini sebagian merupakan cerminan dari pengetahuan
yang tidak lengkap tentang wilayah tersebut. Terdapat bukti beberapa episode
subduksi di bawah lengan barat Sulawesi setidaknya sejak akhir Kapur (Hamilton
1979) dan ini merupakan bagian dari batas Sunda timur sejak awal Tersier.
Tabrakan telah memainkan peran penting dalam perkembangan Tersier pulau
tersebut tetapi fragmen mikro-kontinental tiba lebih lambat dari perkiraan semula
(misalnya Davies 1990; Parkinson 1991; Smith & Silver 1991).
Figure 14Rekonstruksi wilayah pada 10 Ma. Antara 5-25 Ma, lempeng Laut
Filipina berputar di sekitar kutub pada suhu 15 ° LU, 160 ° BT. Rotasi
Kalimantan berlawanan arah jarum jam dan terkait rotasi Sundaland selesai.
Selat Makassar
Lempeng Laut Filipina menjadi batas timur untuk rekonstruksi. Saat ini pelat
berputar searah jarum jam di sekitar tiang dekat tepi utaranya (Seno et al. 1993).
Namun, lempeng Laut Filipina sekarang dikelilingi oleh zona sub-duksi yang
memisahkannya dari sistem punggungan samudera dan akibatnya gerakan
sebelumnya terhadap lempeng utama lainnya sulit untuk ditentukan. Penundukan
di Palung Filipina masih muda (Cardwell et al. 1980) dan karena itu sebagian
besar Filipina pasti telah terpasang pada lempeng sebelum Neogene akhir. Di tepi
selatan lempeng pulau-pulau Indonesia di Maluku utara masih merupakan bagian
dari lempeng. Rekonstruksi lempeng Laut Filipina dan perkiraan posisi
sebelumnya dibahas oleh Hall et al.
Laut Sulawesi
Hasil ODP Leg 124 menunjukkan bahwa Laut Sulawesi terbentuk di Eosen
tengah, mungkin tidak jauh dari garis lintangnya (Silver & Rangin 1991).
Kecenderungan palaeomagnetik menunjukkan garis lintang palaeo mirip dengan
garis lintang saat ini; tidak ada kesalahan yang dikutip oleh Shibuya et al. (1991)
tetapi data memungkinkan pergerakan hingga 19 ° menurut Silver & Rangin
(1991) menyiratkan kesalahan yang relatif besar. Hasil palaeomagnetik Shibuya et
al. (1991) juga menunjukkan rotasi berlawanan arah jarum jam dari c. 60 ° antara
42 dan 20 Ma. Rekonstruksi dalam makalah ini menyiratkan hubungan antara
Laut Sulawesi dan cekungan tengah Filipina Barat. Pendapat bahwa kedua
cekungan ini dihubungkan telah didiskusikan oleh Silver & Rangin (1991) yang
menentangnya tanpa mengecualikannya, berdasarkan pada inkonsistensi yang
jelas dari penyebaran sejarah, tingkat dan palaeomagnetisme antara dua cekungan.
Punggungan Laut Sulu-Cagayan
Laut Sulu adalah cekungan marjinal yang diduga telah dibuka sebagai cekungan
backarc selama Miosen awal (Holloway 1982; Hinz et al. 1991; Rangin & Silver
1991) di selatan punggungan Cagayan, meskipun bagian utara Laut Sulu didasari
oleh kerak benua seperti disebutkan di atas. Punggungan Cagayan diartikan
sebagai busur vulkanik yang aktif dalam waktu singkat pada awal Miosen yang
bertabrakan dengan batas selatan Tiongkok pada akhir Miosen awal (Rangin &
Silver 1991). Bagian dari busur ini mungkin juga ada di Mindoro dan Tablas
(Marchadier & Rangin 1990).
Filipina
Halmahera
Rekonstruksi yang menggabungkan rotasi lempeng Laut Filipina dan
menghilangkan efek subduksi di Palung Filipina dapat diuji sebagian terhadap
pengamatan saat ini di wilayah Laut Maluku. Busur Filipina berakhir di selatan di
zona tabrakan Laut Maluku di mana busur Halmahera dan Sangihe aktif. Bagian
barat Halmahera Lempeng Laut Maluku memiliki konfigurasi berbentuk U
terbalik dan menukik ke timur di bawah Halmahera dan barat di bawah busur
Sangihe. Kegempaan regional menunjukkan bahwa ada c. 200-300 km litosfer
yang tersubduksi di bawah Halmahera. Di sisi lain Laut Maluku, zona Benioff
yang terkait dengan lempengan miring ke barat dapat diidentifikasi hingga
kedalaman c. 600 km di bawah Laut Sulawesi. Di Halmahera tengah, sabuk lipat
dorong membentuk batas antara basement timur ophiolitik dan basement barat
vulkanik busur. Penampang lintang yang seimbang menunjukkan setidaknya 60
km timur-barat memperpendek antara Halmahera timur dan barat di sabuk lipat-
dorong dan di lengan timur (Hall & Nichols 1990).
Sula
Platform Sula adalah pecahan kerak benua yang secara luas dianggap telah
diangkut ke barat oleh Sesar Sorong. Asalnya tidak pasti. Banyak penulis
menganggapnya sebagai bagian dari New Guinea yang terlepas dari Irian Jaya
barat pada akhir waktu Kenozoikum (misalnya Visser & Hermes 1962; Audley-
Charles et al. 1972; Hamilton 1979; Silver & Smith 1983). Sebaliknya, Pigram et
al. (1985) telah mengusulkan bahwa itu berasal c. 1000 km lebih jauh ke timur,
dan terlepas untuk membentuk benua mikro independen dari tengah Papua Nugini
sebelum masa Kapur awal. Semua saran ini didasarkan pada fitur stratigrafi yang
didiskusikan oleh Pigram et al. (1985). Platform Sula sekarang terpasang di
Sulawesi timur dan memiliki kontak dorong dengan ofiolit Sulawesi timur.
Awalnya diduga bahwa tabrakan busur pulau Sulawesi barat dan platform Sula
mengakibatkan emplasemen ophio lite di lengan timur (Kündig 1956; Hamilton
1979; Silver et al. 1983). Namun, bukti terbaru menunjukkan bahwa saran ini
tidak benar. Ophiolit terhalang ke arah barat ke Sulawesi barat pada akhir
Oligosen (Parkinson 1991), sedangkan penyodoran ophio lite ke tepi barat
platform Sula terjadi pada Miosen terbaru (Davies 1990) yang menunjukkan
tabrakan platform Sula dengan Sulawesi timur pasti terjadi pada c. 5 Ma.
Hamilton (1979) menyatakan bahwa hanya ada kegempaan dangkal yang terkait
dengan Seram Trough sedangkan Cardwell & Isacks (1978) menyatakan bahwa
lempengan dalam dibengkokkan di sekeliling busur Banda. McCaffrey (1989)
berusaha untuk mendamaikan perbedaan ini berdasarkan peningkatan jumlah
kejadian seismik yang lebih baik, dan menyimpulkan bahwa ada dua lempengan,
satu subduksi di palung Timor, dan yang kedua bersubduksi di palung Seram.
Lempengan Seram memanjang hingga tidak lebih dari 300 km sedangkan
lempeng samudra Hindia terus berlanjut hingga lebih dari 600 km yang
menunjukkan bahwa mereka mencatat sejarah subduksi yang berbeda.
Caroline plate
Ayu Trough dibuka selama Miosen tengah dan akhir (Weissel & Anderson 1978)
dan penyebarannya mungkin berlanjut hingga saat ini. Tidak ada subduksi di batas
lempeng Caroline-Philippine Sea dan sedikit konvergensi di batas Caroline-
Pasifik. C. 25 Ma. Model tersebut menggunakan kutub rotasi lempeng Caroline-
Philippine Sea dan laju Seno et al. (1993) untuk periode 5-0 Ma kemudian
memindahkan lempeng Caroline dengan sisi timur Palung Ayu sebelumnya. Pelat
Caroline dihilangkan dari rekonstruksi sebelum 25 Ma.