Anda di halaman 1dari 25

GEOLOGI INDONESIA

“Teori Southeast Asia Recontructions by Robert Hall Pembentukan Asia


Tenggara khususnya Indonesia”

DOSEN PEMBIMBING : Iqbal Nurfarid, B.Eng., M.Phil,P.Eng.

Disusun Oleh Kelompok : 6

ZAKI DWIPA ANUGRAH LYEN 180410901000


AFRA ZULFIRA RUSTAM 1804109010034
IRFAN ARIF MAULANA 19041090100

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2021
PENDAHULUAN

Dahulu kala, bumi hanya terdiri atas satu benua yang dinamakan Pangaea.
Pangaea atau Pangea adalah super benua yang ada selama era akhir Paleozoikum
dan awal Mesozoikum, terbentuk sekitar 300 juta tahun yang lalu. Mulai retak
sekitar 200 juta tahun yang lalu, Benua raksasa ini dinamakan Pangea, sedangkan
Kawasan samudera yang mengapitnya dinamakan Panthalassa.

Sedikit demi sedikit Pangea mengalami retakan-retakan dan pecah. Sekitar 135
juta tahun yang lalu, benua raksasa tersebut pecah menjadi dua, yaitu pecahan
benua di sebelah utara dinamakan Laurasia dan di bagian selatan dinamakan
Gondwana. Hipotesis tentang pemisahan Pangea menjadi Laurasia dan Gondwana
yaitu adanya meteor jatuh diujung Amerika Selatan, sehingga bumi hilang
keseimbangan dan terjadilah pengeseran benua Pangea. Kedua benua itu
dipisahkan oleh jalur laut sempit yang dinamakan Laut Tethys. Sisa Laut Tethus
pada saat ini merupakan jalur cebakan minyak bumi di sekitar laut-laut di
Kawasan Timur Tengah. Baik Laurasia maupun Gondwana kemudian terpecah-
pecah lagi menjadi daratan yang lebih kecil dan bergerak secara tidak beraturan
dengan kecepatan gerak berkisar antara 1 – 10 cm pertahun. Dalam sejarah
perkembangan planet bumi, sekitar 65 juta tahun lalu, Laurasia merupakan cikal
bakal benua-benua yang saat ini letaknya di sebelah ekuator (belahan bumi utara),
meliputi Eurasia, Amerika Utara, dan pulau-pulau kecil di sekiatrnya. Adapun
Gondwana merupakan cikal bakal benua-benua di belahan bumi selatan, meliputi
Amerika Selatan, Afrika, Sub benua India, Australia, dan Antartika, hingga
terbentuklah benua-benua yang ada saat ini dan dari benua-benua pada Gondwana
terbentuknya pulau Indonesia.

Indonesia adalah daerah pertemuan antar 3 lempeng ; lempeng Eurasia, lempeng


Indo-Australia dan lempeng Filipina (yang terakhir ini merupakan bagian dari
lempeng Pasifik). Eurasia adalah lempeng benua, sedangkan Indo-Australia dan
Filipina adalah lempeng samudera. Agak unik sepertinya untuk lempeng Indo-
Australia yang dinyatakan sebagai lempeng samudera, namun di area Australia
sendiri lebih tampah sebagai lempeng benua. Umumnya lempeng samudera
diatasnya adalah laut, akanpun menjadi daratan berupa pulau, namun untuk Indo-
Australia ini ada bagian yang diatasnya adalah benua. Titik pertemuan ketiga
lempeng tersebut adalah di daerah laut Banda.

Sekitar 200 juta tahun yang lalu lalu orang geologi menyebutnya era Triassic,
bumi terbagi atas dua benua raksasa, ayitu Laurasia dan Gondwana. Tomascik
dkk(1997) menyebutkan bahwa berbagai penelitian antara lain oleh Visser dan
Hermes (1962); Audley-Charles dkk (1972); Hamilton (1973, 1978, 1979); Katili
(1975, 1978) Carter dkk (1976); Barber dkk (1977); Chamalaun dan Grady (1978)
serta Norvick (1979), menyimpulkan bahwa sebagian Papua, pulau Timor, Sula,
Sumba, Seram dan Buru menyatu dengan Austalia, dengan demikian pulau-pulau
ini adalah bagian dari Gondwana. Juga dalam Tomascik (1997) disebutkan
Sumatra, Jawa dan Kalimantan menyatu dengan daerah Asia Tenggara dan bukan
merupakan bagian dari Gondwana.

Figure 1. Benua Pangea


REKONSTRUKSI TEKTONIK MESOZOIKUM

Rekonstruksi tektonik mesozoikum pada 160 juta tahun yang lalu, negara
bernama Indonesia belumlah ada. Kala itu, yang ada hanya wilayah yang sekarang
menjadi Asia Tenggara, terdiri atas apa yang kini kita kenal sebagai Sumatra dan
semenanjung Malaya. Pulau Kalimantan belum ada, Papua masih terletak jauh
dan masih menjadi bagian dari sisa-sisa Gondwana bersama Australia dan India.
Juga bergabung dengan Australia itu adalah pecahan-pecahan kepulauan Sula,
serta blok Banda dan blok Argo.
Figure 2. Bagian dari Laurasia dan sebagian Gondwana di area yang sekarang merupakan Kepulauan
Indonesia, 160 juta tahun lalu.

Pada gambar 2. Pada masa Jurassic akhir itu, Asia terpisah dari Australia-India
oleh laut Meso-Tethys. Lempeng laut Meso-Tethys ini menyusup (mengalami
subduksi) ke bawah Asia Tenggara dan ke bawah blok Banda dan Argo. Subduksi
yang dialami Meso-Tethys itu terjadi karena lempeng benua Asia condong
bergerak ke selatan dan India-Australia condong bergeser ke utara. Tapi itu
penyederhanaan dari saya saja—situasinya tidak mudah juga. Bisa dilihat pada
155 juta dan 150 juta tahun lalu (Gambar 3), blok Banda dan Argo rupanya
memisahkan diri, sementara itu di lempeng Meso-Tethys sendiri rupanya ada
subduksi antar lempeng samudra (dengan lempeng Ceno-Tethys), membentuk
busur Woyla dan busur Incertus. Meso-Tethys menyempit dan Ceno-Tethys
merangsek ke timur laut.
Figure 3. Pada 155 juta tahun yang lalu, blok Banda dan Argo terpisah dari Australia dan bergeser ke utara.

Pada gambar 3. Tampak terpisahnya Banda dan Argo dari induknya, Australia,
juga berarti muncul batas lempeng divergen dan terbentuk lempeng samudra yang
baru. Lokasi yang ditinggalkan oleh blok Banda yang bergeser itu, Banda
Embayment, belakangan akan kita kenal sebagai Laut Banda.
Figure 4. Ketika sampai di masa 135 juta tahun lalu, blok Banda dan Argo sudah bergeser cukup jauh ke
utara, dan India memisahkan diri dari Australia.

Lama kemudian, kita sampai di masa 135 juta tahun yang lalu (Gambar 4). Pada
masa ini, India mulai memisahkan diri dari Australia. Muncullah batas divergen
antara Australia dan India, yang juga berarti terbentuk lempeng samudra yang
baru. Keadaan menjadi jauh lebih rumit. Meso-Tethys makin sempit karena ia
tenggelam ke bawah Asia Tenggara dan Ceno-Tethys. Blok Banda dan Argo
bergeser ke timur laut, bergerak saling menjauh dengan India yang bergeser ke
barat daya. Pergeseran India ini menyebabkan Ceno-Tethys terbelah menjadi
Ceno-Tethys Barat dan Ceno-Tethys Timur. Australia sendiri bergeser sedikit ke
selatan.

Kompleksitas yang terbentuk itu selanjutnya menyebabkan adanya perubahan


pada vektor gerakan lempeng. Australia dalam pergeserannya cenderung untuk
berputar berlawanan arah jarum jam. Blok Banda terbelah, sehingga untuk
selanjutnya akan disebut saja sebagai Banda Barat Laut (SWB – Southwest
Banda), dan Argo akan disebut sebagai Jawa Timur – Sulawesi Barat (EJWS
– East Java West Sulawesi). Keduanya bergerak bersama ke utara sedikit belok
kanan. Setelah 10 juta tahun sejak India bercerai dari Australia, situasinya menjadi
seperti pada Gambar 5.

Figure 5. Situasi pada masa 120 juta tahun lalu. SWB dan EJWS terus mendekat ke selatannya Asia
Tenggara.
Figure 6. Suasana 100 juta tahun yang lalu, menggambarkan apa yang terjadi selama 20 tahun sejak
terpisahnya India dan Australia.

Pada Gambar 6 terlihat apa yang terjadi: EJWS dan SWB sampai di tepian Asia
Tenggara. Di sana blok SWB tertahan karena lempeng Eurasia, termasuk di Asia
Tenggara itu, adalah lempeng yang tebal. Karena blok SWB tertahan, blok EJWS
bisa menyusulnya dan akhirnya posisi kedua blok ini jadi bersebelahan.

Pada masa 85 juta tahun lalu. SWB dan EJWS bergabung dengan Asia Tenggara,
membentuk area yang disebut Sundaland. Jawa dan sebagian Kalimantan muncul
akibat penggabungan ini. Ini menarik sekali, dalam artikelnya Hall juga
menjelaskan bukti teori ini adalah adanya kemiripan berlian yang banyak
ditemukan di Kalimantan dengan berlian yang ditemukan di Australia—tipe
berlian Gondwana.
Figure 7. Situasi pada 85 juta tahun lalu. Sudah ada Pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, namun belum
sempurna.

Masa 85 juta tahun itu bisa dilihat pada Gambar 7. Tampak blok Banda (SWB)
hilang dan terbentuk Kalimantan, sementara blok Argo (EJWS) juga hilang dan
terbentuk Jawa, Sulawesi Barat & Sulawesi Selatan. India bergerak ke barat dan
Australia berputar sambil bergeser ke timur. Karena interaksi dengan lempeng-
lempeng lainnya, gerakan semacam ini tidak selamanya berlanjut. Australia yang
sudah sedikit berputar selanjutnya terdorong ke utara, sepertinya karena interaksi
dengan lempeng Antarktika di selatannya. India yang bergerak ke barat tertahan
(tampaknya karena di barat itu bertemu dengan lempeng Afrika) dan berikutnya
terdorong ke utara, seperti halnya Australia, ini mungkin terjadi karena interaksi
dengan lempeng Antarktika di selatan. Ketika sampai di masa 50 juta tahun lalu,
situasinya sudah seperti pada Gambar 8.
Figure 8. Situasi 50 juta tahun lalu. India sudah bergeser cepat ke utara, dan posisinya sudah hampir
menumbuk Asia. Australia bergerak ke utara dan Filipina muncul dari timur.

Interaksi di Sundaland bertambah kompleks karena ada tambahan subduksi dari


arah timur. Bentuk Kalimantan disempurnakan oleh adanya interaksi ini, dan juga
bagian lengan Sulawesi Utara muncul di sekitar sana akibat adanya batas
konvergen antar lempeng samudra. Sulawesi Utara ini belum bergabung dengan
Sulawesi Barat yang sudah terbentuk lama sebelumnya, tapi akan terlihat nanti
mereka bergabung juga.

Meso-Tethys terus menyempit dan nantinya akan hilang begitu India menabrak
Asia. Busur Woyla yang sebelumnya muncul sudah hilang, bergabung dengan
Sumatra dan membentuk patahan Sumatra. Ceno-Tethys sudah hilang pula jauh
sebelumnya, gerakan India ke utara mengubur lempeng ini. Lempeng samudra
yang terbentuk antara India dan Australia itu saat ini kita kenal sebagai Samudra
Hindia. Di Papua, sebuah busur (mungkin dari Pasifik—saya tidak tahu lempeng
samudra di atas Papua pada masa itu namanya apa) menempel di bagian utara
membentuk daratan tambahan dan patahan di area tersebut. Lempeng Proto-Laut
Cina Selatan.
Figure 9. Kondisi 30 juta tahun lalu. Interaksi kompleks di Filipina memunculkan pulau-pulau, Laut Cina
Selatan muncul dan Sulawesi Utara mulai menempel dengan bagian Sulawesi lainnya.

Pada 30 juta tahun yang lalu bisa dilihat pada Gambar 9. Bagian Asia retak sedikit
di selatan Cina, terus mengembang dan membentuk lempeng samudra baru yang
sekarang dikenal sebagai lempeng Laut Cina Selatan. Lempeng Pasifik masuk ke
bawah Filipina, dan begitu juga dengan bagian utaranya lempeng Australia,
menyebabkan di lempeng Filipina itu terus muncul pulau-pulau kecil. Australia,
India dan lempeng samudra yang terbentuk di antara keduanya bisa dianggap
sebagai satu kesatuan, dan gerakannya yang mengarah ke utara menyebabkan
perubahan posisi di Sundaland, yakni perputaran Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.

India terus bergerak ke utara, menabrak Asia dan kelak akan menyebabkan
munculnya pegunungan Himalaya. Australia yang bergerak ke utara kemudian
menempel pada Sundaland. Pada masa 15 juta tahun yang lalu (Gambar 10), Sula
dan Papua, bagian dari Australia, hampir berada pada posisinya sekarang. Sula
membentuk apa yang kita kenal saat ini sebagai Sulawesi Tenggara serta
kepulauan Maluku sebelah selatan (Seram dan sekitarnya).
Figure 10. Kondisi 15 juta tahun yang lalu, tampak mirip dengan kondisi saat ini.

Lempeng Filipina pecah, membentuk lempeng Sulawesi. Subduksinya


memunculkan bagian yang sekarang menjadi bagian dari Sulawesi Tengah.
Halmahera terbentuk akibat subduksi Australia ke bawah Filipina, letaknya masih
jauh dari posisinya saat ini. Batas lempengnya bergerak transform (bersisian),
menyebabkan Halmahera itu bergerak menuju posisinya sekarang. Dan 5 juta
tahun yang lalu (Gambar 11), kondisi kepulauan Indonesia sudah sama seperti
yang sekarang.
Figure 11. Suasana 5 juta tahun yang lalu, mirip dengan kondisi saat ini.

Sejak 5 juta tahun yang lalu hingga sekarang, tampaknya tidak banyak perubahan
besar yang terjadi. Tentu saja ada perubahan-perubahan kecil seperti kemunculan
pulau-pulau baru atau hilangnya pulau-pulau lama, munculnya patahan baru, dan
sebagainya. Patahan Sumatra, patahan-patahan di sekitar Mentawai dan selatan
Jawa, pulau-pulau vulkanik di daerah Nusa Tenggara tampaknya terbentuk dalam
selang waktu 5 juta tahun ini.

REKONTRUKSI TEKTONIK CENOZOIC

Dipresentasikan rekonstruksi Asia Tenggara dengan interval 5 Ma selama 50 Ma


terakhir. Mereka dibatasi oleh data baru dari lempeng Laut Filipina, yang
membentuk batas timur wilayah tersebut, oleh interpretasi terkini dari Laut Cina
Selatan dan margin benua Eurasia, yang membentuk batas barat, dan oleh
pergerakan lempeng India-Australia yang diketahui. ke selatan. Suatu upaya
dilakukan untuk memenuhi data geologi dan paleomagnetik dari wilayah tersebut.
Implikasi dari rekonstruksi ini untuk evolusi Tersier Asia Tenggara dibahas
berdasarkan data baru lainnya dari kawasan ini. Ada dua periode perubahan yang
penting secara regional selama 50 Ma terakhir. Keduanya tampak sebagai ekspresi
tabrakan benua-busur dan mengakibatkan perubahan besar pada konfigurasi
wilayah dan karakter batas lempeng. Di c. 25 Ma tabrakan benua Australia dengan
lempeng Laut Filipina disebabkan oleh penyebaran besar-besaran ke arah barat
melalui wilayah tersebut. Di c. Tabrakan 5 Ma dari efek busur Filipina yang dan
margin benua Eurasia terjadi di Taiwan. Ini tampaknya menjadi kunci tektonik
baru-baru ini di wilayah tersebut. Fitur utama model mencakup interpretasi
berikut. Rotasi Tersier Tengah berlawanan arah jarum jam Kalimantan menutup
proto-Laut Cina Selatan yang besar dan menyebabkan perkembangan dan
kerusakan cekungan marjinal di utara Laut Sulawesi. Rotasi tersebut menyiratkan
bahwa sebagian besar margin Borneo utara bukanlah subduksi, tetapi batas strike-
slip untuk sebagian besar periode ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa Laut
Filipina Barat bagian tengah, Laut Sulawesi dan Selat Makassar merupakan
bagian dari cekungan marjinal tunggal yang dibuka antara Eosen akhir dan
pertengahan Oligosen, dan menyempit ke arah barat seperti Laut Cina Selatan saat
ini. Luzon diduga telah terbentuk membentuk busur di sisi utara Cekungan Laut
Sulawesi-Barat Laut Sulawesi, sedangkan sebagian besar pulau lain di Filipina
mungkin merupakan bagian dari suatu daerah di tepi selatan Lempeng Laut
Filipina sebelum Miosen Awal. Tabrakan busur-benua pada awal Miosen
menyebabkan batas lempeng berubah dan memulai rotasi lempeng Laut Filipina
searah jarum jam. Sejak saat itu, fragmen Filipina telah bergerak di zona yang
sangat sempit, terutama sebagai bagian dari lempeng Laut Filipina, dengan
gerakan strike-slip subduksi yang signifikan di bawah Filipina miring, terutama di
tepi barat, dan utara fragmen di tepi lempeng. Kebanyakan Mindanao. Laut
Maluku merupakan wilayah yang sangat luas yang merupakan bagian dari
lempeng Laut Filipina sebelum tahun c. 15 Ma dan berasal dari litosfer samudra
Hindia yang terperangkap. Itu telah dihilangkan dengan subduksi di sisi timur dan
baratnya. Sistem subduksi ganda saat ini tidak pernah meluas ke utara Laut
Maluku hingga ke Filipina. Ophiolit Sulawesi berasal dari barat India dan
ditempatkan di tepi benua Sulawesi barat pada akhir Oligosen. Perubahan besar
dalam batas lempeng pada awal Miosen menyusul tumbukan benua-busur dari
batas Australia dengan busur lempeng Laut Filipina menyebabkan dimulainya
sistem Sesar Sorong dan menyebabkan pergerakan fragmen benua ke arah barat
yang bertambah ke Sulawesi pada akhir-akhir ini. Neogen. Anjungan Sula dan
Anjungan Tukang Besi merupakan bagian dari satu benua besar dengan Kepala
Burung di depannya. C. 15 Ma. Mereka pindah ke posisi mereka sekarang setelah
mengiris pecahan dari benua kecil ini pada waktu yang berbeda dan masing-
masing menempel pada lempeng Laut Filipina selama beberapa juta tahun
sebelum tabrakan. Sebagian besar Laut Banda ditafsirkan memiliki asal
ekstensional dan telah dibuka pada akhir Neogen. Rekonstruksi menyiratkan
bahwa telah terjadi sedikit konvergensi di perbatasan utara Australia di Irian Jaya
sejak awal Miosen dan sebagian besar konvergensi terjadi selama c. 5 Ma.
Perpindahan fragmen busur Laut Filipina di dalam batas utara New Guinea di
sepanjang zona strike slip mungkin menjelaskan karakter terrane dari sabuk
orogenik ini.

Figure 12Konfigurasi tektonik Asia Tenggara yang disederhanakan saat ini. Area
teduh mewakili terutama ofiolitik, busur, dan material terakumulasi lainnya yang
ditambahkan ke margin Eurasia dan Australia selama Tersier.
Indochina dan Laut Cina Selatan

Dalam rekonstruksi, Cina Selatan ditetapkan ke Eurasia yang stabil. Blok


Indochina di selatan sesar Sungai Merah dan utara semenanjung Malaya telah
dipindahkan menggunakan model Briais et al. (1993). Mereka menyarankan c.
Gerakan 550 km di sistem sesar Sungai Merah dengan gerakan lateral kiri antara
32-15 Ma dan beberapa gerakan dekstral sejak Miosen akhir. Kutub lingkaran
kecil rata-rata mereka (5,3 ° LU, 66,3 ° BT) menghasilkan tumpang tindih yang
signifikan antara Indochina dan Cina Selatan dan model ini kedepannya
menggunakan kutub rotasi lingkaran kecil (20,9 ° S, 61,5 ° BT) lebih jauh dari
sesar Sungai Merah, sebagai Briais et al. (1993) menyarankan harus menjadi
kasus, yang menghasilkan tumpang tindih yang lebih kecil tetapi masih
memberikan sejarah kontraksi dan ekstensi yang mereka rangkum. Pergerakan
pada patahan yang diperkirakan oleh mereka menghasilkan hubungan
perpindahan umur yang kira-kira linier dan model mengasumsikan perpindahan
teratur dalam interval 15-32 Ma. Daerah antara pantai Indocina dan pantai utara
Kalimantan saat ini didasari oleh kerak benua dan batas utara Kalimantan telah
ditetapkan ke Indocina untuk memberikan indikasi tepi utara proto-Laut Cina
Selatan yang dibuat dengan menghilangkan ekstrusi Indochina blok.
Taylor & Hayes (1980, 1983) mengidentifikasi anomali magnetik dasar laut dan
menggunakannya untuk menafsirkan sejarah pembukaan Laut Cina Selatan.
Interpretasi ini telah dimodifikasi oleh Briais et al. (1993) dan model bukaannya,
menggunakan kutub rotasi yang dihitung, telah digunakan dalam rekonstruksi
tanpa perubahan kecuali untuk menetapkan ulang usia anomali ke Harland et al.
(1990) skala waktu. Palawan dan Mindoro telah dipindahkan dengan Reed Bank
dalam rekonstruksi. Pulau Palawan dan Mindoro dianggap termasuk kerak benua
asal Cina selatan dan kontur batimetri yang menandai sisi utara punggungan
Cagayan diasumsikan menandai batas selatan kerak benua. Bagian barat laut Laut
Sulu dengan demikian dianggap didasari oleh kerak benua (Hinz et al. 1991).

Kalimantan

Basement Kalimantan bagian barat dan pedalaman Kalimantan terdiri dari batuan
beku Paleozoikum dan Mesozoikum, batuan sedimen dan metamorf dan daerah
ini berperilaku kurang lebih sebagai kraton selama Tersier Tengah dan Akhir. Di
sebelah utara terdapat tambahan yang lebih muda pada inti kontinental ini yang
telah ditafsirkan sebagai kompleks akresi subduksi (Hamilton 1979) meskipun
pandangan ini tidak diterima secara universal.

Kalimantan selatan telah dipisahkan di garis Lupar, yang merupakan zona ofiolit
Mesozoikum dan Kalimantan selatan telah diperlakukan sebagai satu fragmen
kaku kembali ke 50 Ma. Sulawesi Barat terpisah dari Kalimantan Timur di
Tersier, mengakibatkan terbukanya Selat Makassar dan berkembangnya cekungan
sedimen yang besar di Kalimantan Timur. Sulawesi Barat memiliki sejarah tersier
yang panjang dari aktivitas beku dan batas timur saat ini dari blok Sundaland
tampaknya telah menjadi margin aktif untuk sebagian besar Tersier.
Figure 13. Borneo (kalimantan)
Ada dua pandangan tektonik utama berskala besar di Kalimantan: yang satu
mendukung rotasi besar berlawanan arah jarum jam di pulau itu, yang kedua
berpendapat tidak ada rotasi Kalimantan. Hasil palaeomagnetik dilaporkan oleh
Haile et al. (1977), Haile (1979), Schmidtke dkk. (1990), Wahyono & Sunata
(1987) dan Lumadyo et al. (1993). Hasil ini ditinjau oleh Fuller et al. (1991) dan
Lee & Lawver (1994); yang pertama mendukung rotasi pulau yang berlawanan
arah jarum jam dan yang terakhir mendukung tidak adanya rotasi. Jelas bahwa
data palaeomagnetik yang ada tidak cukup untuk mencapai kesimpulan dan
mereka yang menolak rotasi Kalimantan (Lumadyo et al. 1993; Lee & Lawver
1994; Rangin et al. 1990) menekankan masalah dengan data tersebut. Namun,
meskipun tidak semua bukti mengarah ke arah yang sama, terdapat juga argumen
geologis regional yang mendukung rotasi dan model ini menerima rotasi
berlawanan arah jarum jam di Kalimantan bagian selatan. Hambatan utama untuk
memasukkan rotasi dalam model tektonik regional adalah menentukan posisi
kutub rotasi. Tiang yang dipilih berada dekat dengan sudut barat laut Kalimantan
(1 ° LU, 110 ° BT). Hal ini memungkinkan Kalimantan untuk tetap menjadi
bagian dari blok Sunda sementara memungkinkan pergerakan rotasi diserap di
dalam kompleks akresi Kalimantan utara dengan menutup proto-Laut Cina
Selatan. Ini menyiratkan beberapa perpanjangan antara Kalimantan dan
Semenanjung Malaya dan memungkinkan batas selatan Sundalandia berputar ke
utara. Karena kutub tersebut sangat dekat dengan sudut barat laut Kalimantan
maka tidak memerlukan deformasi besar dari landas sunda ke barat laut, meskipun
deformasi kecil akan terjadi.

Semenanjung Thailand-Melayu

Terdapat sejumlah patahan di batas selatan Indochina yang kemungkinan


merupakan pergerakan Tersier meskipun saat ini sejarah pergerakan sesar tersebut
tidak banyak diketahui. Blok Indochina dipisahkan dari Thailand dan
semenanjung Malaysia pada garis yang mewakili sesar Tiga Pagoda dan Wang
Chao. Tidak diragukan lagi, ini adalah penyederhanaan yang berlebihan dan
pergerakan balok-balok Melayu dalam rekonstruksi tidak dapat sepenuhnya
menjelaskan pembentukan cekungan sedimen di bagian barat Laut Cina Selatan.
Sejarah pergerakan wilayah Melayu Thailand sulit ditentukan. Di lepas pantai, di
bagian barat Laut Cina Selatan, terdapat beberapa cekungan sedimen besar dengan
sejarah trans-tensional yang kompleks (misalnya Ngah et al. 1996; Tjia & Liew
1996). Areal daratan sebagian besar tidak memiliki batuan Tersier dan hasil
palaeomagnetik tidak memberikan kejelasan yang jelas.

Sumatera dan Laut Andaman

Sumatera Utara dipasang di blok selatan Malaya untuk semua rekonstruksi.


Karena rotasi Malaya selatan yang dibahas di atas, margin Sumatera sebelum 20
Ma akan lebih dekat ke S-S dan sub-paralel terhadap vektor gerak lempeng India.
Dalam konfigurasi ini dimungkinkan bahwa partisi konvergensi menjadi
komponen subduksi ortogonal dan komponen strike-slip paralel tidak akan terjadi.
Sumatera Selatan ditetapkan ke Sumatera utara sebelum 15 Ma. Ketika rotasi
berlawanan arah jarum jam dari Semenanjung Melayu 8/32 na dan Jawa berlanjut,
sudut antara garis tepi Sumatera dan vektor gerakan lempeng India akan menjadi
tidak terlalu miring sehingga mengarah pada pembentukan sistem geser-geser
dekstral. Gerakan dekstral di sepanjang zona Sesar Sumatera termasuk antara 15
dan 0 Ma. Rotasi Sumatera utara dengan Semenanjung Malaya juga dapat
menjelaskan perluasan di Laut Andaman. Wilayah Andaman telah dimasukkan
dalam rekonstruksi tetapi modelnya mungkin terlalu disederhanakan. Metri bathy
Laut Andaman sangat kompleks (Curray et al. 1979) dan kontur batimetri yang
sangat disederhanakan di sisi timur dan barat laut digunakan sebagai penanda,
masing-masing dipasang di utara dan selatan Sumatera. Ini menunjukkan bahwa
sebelumnya c. 10 Ma, ada sedikit perluasan ortogonal. Setelah c. Perpanjangan 10
Ma lebih besar tetapi sangat miring. Hal ini secara luas konsisten dengan usia
kerak samudera tertua di Laut Andaman (c. 11 Ma) dan pola pembukaan terkini
(Curray et al. 1979).

Jawa

Java termasuk sebagian besar untuk penyelesaian dan telah diputar berlawanan
arah jarum jam sebesar 30 ° antara 20 dan 10 Ma. Ini adalah kompromi antara
rotasi yang dipilih untuk Sumatera dan Kalimantan Selatan. Tidak ada bukti
perluasan luas Laut Jawa selama periode ini (mis. Uskup 1980; Van der Weerd &
Armin 1992), tetapi jika Jawa dirotasi secara kaku dengan Kalimantan Selatan,
ada terlalu banyak tumpang tindih antara Jawa dan Sumatera. Perbedaan jumlah
rotasi untuk Kalimantan Selatan dan Jawa akan memungkinkan beberapa
perpanjangan, dan kemungkinan sesar geser, di Laut Jawa Timur antara 20 10 Ma.
Karena kutub rotasi sangat dekat dengan blok Kalimantan, Jawa, dan Sumatera
Utara, tidak ada perubahan posisi relatif yang signifikan, meskipun terdapat
beberapa tumpang tindih antara Jawa dan Sumatera.

Sulawesi

Sulawesi terdiri dari empat sabuk tektonik utama: busur gunung berapi-plutonik
Sulawesi barat, sabuk metamorf Sulawesi tengah, sabuk ofiolit Sulawesi timur,
dan pecahan benua Banggai-Sula, Tukang Besi dan Buton. Konfigurasi ini telah
ditafsirkan secara luas dalam istilah tabrakan antara fragmen mikro-kontinental
timur dan busur vulkanik barat (misalnya Audley-Charles dkk. 1972; Katili 1978;
Hamilton 1979; Silver dkk. 1983b) yang mengakibatkan emplasemen ophiolit dan
metamorfisme . Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
kesederhanaan yang tampak ini sebagian merupakan cerminan dari pengetahuan
yang tidak lengkap tentang wilayah tersebut. Terdapat bukti beberapa episode
subduksi di bawah lengan barat Sulawesi setidaknya sejak akhir Kapur (Hamilton
1979) dan ini merupakan bagian dari batas Sunda timur sejak awal Tersier.
Tabrakan telah memainkan peran penting dalam perkembangan Tersier pulau
tersebut tetapi fragmen mikro-kontinental tiba lebih lambat dari perkiraan semula
(misalnya Davies 1990; Parkinson 1991; Smith & Silver 1991).

Figure 14Rekonstruksi wilayah pada 10 Ma. Antara 5-25 Ma, lempeng Laut
Filipina berputar di sekitar kutub pada suhu 15 ° LU, 160 ° BT. Rotasi
Kalimantan berlawanan arah jarum jam dan terkait rotasi Sundaland selesai.

Selat Makassar

Kesamaan geologi Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat menunjukkan bahwa


mereka telah berpindah sejak Paleogen tengah (Hamilton 1979) meskipun
waktunya tidak dibatasi dengan baik. Selat Makassar diperkirakan didasari oleh
kerak benua yang dilemahkan (Dürbaum & Hinz 1982) dan peregangan terjadi
antara Paleogen awal dan Miosen Awal (Situmorang 1982). Selat Makassar
ditutup dengan pemasangan kontur batimetri pada sisi barat dan timur pada sisi
utara dan selatan Cekungan Makassar meskipun ini hanya perkiraan karena
endapan Neogen yang tebal di delta Mahakam, dan deformasi muda di Sulawesi
Barat (Bergman et al. 1996).

Lempeng Laut Filipina

Lempeng Laut Filipina menjadi batas timur untuk rekonstruksi. Saat ini pelat
berputar searah jarum jam di sekitar tiang dekat tepi utaranya (Seno et al. 1993).
Namun, lempeng Laut Filipina sekarang dikelilingi oleh zona sub-duksi yang
memisahkannya dari sistem punggungan samudera dan akibatnya gerakan
sebelumnya terhadap lempeng utama lainnya sulit untuk ditentukan. Penundukan
di Palung Filipina masih muda (Cardwell et al. 1980) dan karena itu sebagian
besar Filipina pasti telah terpasang pada lempeng sebelum Neogene akhir. Di tepi
selatan lempeng pulau-pulau Indonesia di Maluku utara masih merupakan bagian
dari lempeng. Rekonstruksi lempeng Laut Filipina dan perkiraan posisi
sebelumnya dibahas oleh Hall et al.

Laut Sulawesi

Hasil ODP Leg 124 menunjukkan bahwa Laut Sulawesi terbentuk di Eosen
tengah, mungkin tidak jauh dari garis lintangnya (Silver & Rangin 1991).
Kecenderungan palaeomagnetik menunjukkan garis lintang palaeo mirip dengan
garis lintang saat ini; tidak ada kesalahan yang dikutip oleh Shibuya et al. (1991)
tetapi data memungkinkan pergerakan hingga 19 ° menurut Silver & Rangin
(1991) menyiratkan kesalahan yang relatif besar. Hasil palaeomagnetik Shibuya et
al. (1991) juga menunjukkan rotasi berlawanan arah jarum jam dari c. 60 ° antara
42 dan 20 Ma. Rekonstruksi dalam makalah ini menyiratkan hubungan antara
Laut Sulawesi dan cekungan tengah Filipina Barat. Pendapat bahwa kedua
cekungan ini dihubungkan telah didiskusikan oleh Silver & Rangin (1991) yang
menentangnya tanpa mengecualikannya, berdasarkan pada inkonsistensi yang
jelas dari penyebaran sejarah, tingkat dan palaeomagnetisme antara dua cekungan.
Punggungan Laut Sulu-Cagayan

Laut Sulu adalah cekungan marjinal yang diduga telah dibuka sebagai cekungan
backarc selama Miosen awal (Holloway 1982; Hinz et al. 1991; Rangin & Silver
1991) di selatan punggungan Cagayan, meskipun bagian utara Laut Sulu didasari
oleh kerak benua seperti disebutkan di atas. Punggungan Cagayan diartikan
sebagai busur vulkanik yang aktif dalam waktu singkat pada awal Miosen yang
bertabrakan dengan batas selatan Tiongkok pada akhir Miosen awal (Rangin &
Silver 1991). Bagian dari busur ini mungkin juga ada di Mindoro dan Tablas
(Marchadier & Rangin 1990).

Filipina

Dengan pengecualian Palawan, Mindoro, Zamboanga dan bagian-bagian terdekat


dari Filipina barat, kepulauan Filipina terdiri dari batuan ophiolitik dan busur yang
sebagian besar berumur Cretaceous dan Tersier. Patahan Filipina saat ini masih
muda, <5 Ma, (Aurelio dkk. 1991; Quebral dkk. 1994) tetapi ada bukti sesar-sesar
yang lebih tua di Filipina utara (misalnya Rutland 1968; Karig 1983; Karig dkk.
1986; Stephan et al. 1986) kemungkinan berasal dari Miosen awal. Ada bukti luas
aktivitas vulkanik di seluruh Neogene yang menyiratkan subduksi. Mindanao
Barat timur Zamboanga dihilangkan sebelum 5 Ma karena hampir semua blok ini
terdiri dari bahan busur yang sangat muda, meskipun mungkin termasuk beberapa
ruang bawah tanah dari afinitas benua Eurasia (Ranneft et al. 1960; Pubellier et al.
1991). Tampaknya Mindanao tengah, meskipun ditunjukkan pada sebagian besar
rekonstruksi, juga jauh lebih kecil. Filipina secara luas dianggap telah membentuk
bagian dari sistem busur di tepi lempeng Laut Filipina sebelum Pliosen (misalnya
Rangin et al. 1985, 1991; Rangin 1991). Hasil palaeomagnetik selatan Luzon
menunjukkan rotasi searah jarum jam yang konsisten dengan pergerakan sebagai
bagian dari lempeng Laut Filipina. Namun, Filipina masih kurang diketahui secara
palaeomagnetik untuk mencoba model tektonik lempeng terperinci, bahkan
dengan asumsi ini mungkin, karena begitu banyak fragmen yang diperlukan.

Halmahera
Rekonstruksi yang menggabungkan rotasi lempeng Laut Filipina dan
menghilangkan efek subduksi di Palung Filipina dapat diuji sebagian terhadap
pengamatan saat ini di wilayah Laut Maluku. Busur Filipina berakhir di selatan di
zona tabrakan Laut Maluku di mana busur Halmahera dan Sangihe aktif. Bagian
barat Halmahera Lempeng Laut Maluku memiliki konfigurasi berbentuk U
terbalik dan menukik ke timur di bawah Halmahera dan barat di bawah busur
Sangihe. Kegempaan regional menunjukkan bahwa ada c. 200-300 km litosfer
yang tersubduksi di bawah Halmahera. Di sisi lain Laut Maluku, zona Benioff
yang terkait dengan lempengan miring ke barat dapat diidentifikasi hingga
kedalaman c. 600 km di bawah Laut Sulawesi. Di Halmahera tengah, sabuk lipat
dorong membentuk batas antara basement timur ophiolitik dan basement barat
vulkanik busur. Penampang lintang yang seimbang menunjukkan setidaknya 60
km timur-barat memperpendek antara Halmahera timur dan barat di sabuk lipat-
dorong dan di lengan timur (Hall & Nichols 1990).

Sula

Platform Sula adalah pecahan kerak benua yang secara luas dianggap telah
diangkut ke barat oleh Sesar Sorong. Asalnya tidak pasti. Banyak penulis
menganggapnya sebagai bagian dari New Guinea yang terlepas dari Irian Jaya
barat pada akhir waktu Kenozoikum (misalnya Visser & Hermes 1962; Audley-
Charles et al. 1972; Hamilton 1979; Silver & Smith 1983). Sebaliknya, Pigram et
al. (1985) telah mengusulkan bahwa itu berasal c. 1000 km lebih jauh ke timur,
dan terlepas untuk membentuk benua mikro independen dari tengah Papua Nugini
sebelum masa Kapur awal. Semua saran ini didasarkan pada fitur stratigrafi yang
didiskusikan oleh Pigram et al. (1985). Platform Sula sekarang terpasang di
Sulawesi timur dan memiliki kontak dorong dengan ofiolit Sulawesi timur.
Awalnya diduga bahwa tabrakan busur pulau Sulawesi barat dan platform Sula
mengakibatkan emplasemen ophio lite di lengan timur (Kündig 1956; Hamilton
1979; Silver et al. 1983). Namun, bukti terbaru menunjukkan bahwa saran ini
tidak benar. Ophiolit terhalang ke arah barat ke Sulawesi barat pada akhir
Oligosen (Parkinson 1991), sedangkan penyodoran ophio lite ke tepi barat
platform Sula terjadi pada Miosen terbaru (Davies 1990) yang menunjukkan
tabrakan platform Sula dengan Sulawesi timur pasti terjadi pada c. 5 Ma.

Seram dan Buru

Hamilton (1979) menyatakan bahwa hanya ada kegempaan dangkal yang terkait
dengan Seram Trough sedangkan Cardwell & Isacks (1978) menyatakan bahwa
lempengan dalam dibengkokkan di sekeliling busur Banda. McCaffrey (1989)
berusaha untuk mendamaikan perbedaan ini berdasarkan peningkatan jumlah
kejadian seismik yang lebih baik, dan menyimpulkan bahwa ada dua lempengan,
satu subduksi di palung Timor, dan yang kedua bersubduksi di palung Seram.
Lempengan Seram memanjang hingga tidak lebih dari 300 km sedangkan
lempeng samudra Hindia terus berlanjut hingga lebih dari 600 km yang
menunjukkan bahwa mereka mencatat sejarah subduksi yang berbeda.

Caroline plate

Ayu Trough dibuka selama Miosen tengah dan akhir (Weissel & Anderson 1978)
dan penyebarannya mungkin berlanjut hingga saat ini. Tidak ada subduksi di batas
lempeng Caroline-Philippine Sea dan sedikit konvergensi di batas Caroline-
Pasifik. C. 25 Ma. Model tersebut menggunakan kutub rotasi lempeng Caroline-
Philippine Sea dan laju Seno et al. (1993) untuk periode 5-0 Ma kemudian
memindahkan lempeng Caroline dengan sisi timur Palung Ayu sebelumnya. Pelat
Caroline dihilangkan dari rekonstruksi sebelum 25 Ma.

Anda mungkin juga menyukai