Anda di halaman 1dari 7

Isian Substansi Proposal Skema Penelitian Dasar

Unggulan Perguruan Tinggi


(PDUPT)
Pengusul hanya diperkenankan mengisi di tempat yang telah
disediakan sesuai dengan petunjuk pengisian dan tidak diperkenankan
melakukan modifikasi template atau penghapusan di setiap bagian.

Ringkasan penelitian tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang penelitian, tujuan dan
tahapan metode penelitian, luaran yang ditargetkan, serta uraian TKT penelitian yang
diusulkan.

RINGKASAN
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………….…… dst.
Kata kunci maksimal 5 kata
Kata_kunci_1; kata_kunci2; ………. dst.

Latar belakang penelitian tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang dan permasalahan
yang akan diteliti, tujuan khusus, dan urgensi penelitian. Pada bagian ini perlu dijelaskan
uraian tentang spesifikasi khusus terkait dengan skema.
LATAR BELAKANG
Stunting masih menjadi masalah kesehatan yang belum tuntas terselesaikan hingga
saat ini. Di seluruh dunia dilaporkan sekitar 149,2 juta atau 22,0% anak balita mengalami
stunting(1). Di Indonesia prevalensi stunting meskipun menunjukan trend penurunan dari
27,7% pada tahun 2019 menjadi 24,1% pada tahun 2021, dan 21,6% pada tahun 2022(2),
namun angka ini masih jauh dari target RPJMN 2024 sebesar 14%. Demikian juga prevalensi
stunting di Provinsi Sulawesi Tengah meskipun mengalami penurunan dari 29,7% pada tahun
2021 menjadi 28,2% pada tahun 2022, namun prevalensi tersebut masih di atas angka rata-
rata nasional yang hanya 21,6%(2). Menurut WHO, prevalensi stunting di atas 20% juga
masih dianggap tinggi sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius dan signifikan(3).
Stunting dapat berdampak buruk terhadap kualitas generasi dan ekonomi negara.
Dampak buruk jangka panjang dari anak stunting pada masa yang akan datang telah banyak
dilaporkan dalam berbagai hasil penelitian. Anak stunting akan mengalami penurunan
perkembangan dan kecerdasan kognitif yang optimal(4),(5),(6),(7),(8),(9). Anak yang
mengalami stunting pada 1 sampai 5 tahun dikaitkan dengan kondisi kesehatan yang buruk
pada usia 15 tahun(9). Anak stunting akan mengalami kehilangan potensi produktivitas saat
menjadi dewasa(9),(10), bahkan negara dapat kehilangan pendapatan per kapita yang
diperkirakan 5-7%(11).
Faktor determinan stunting adalah multifaktor. Determinan langsung yang
mempengaruhi status gizi anak adalah diet (asupan makanan) dan pola asuh, sedangkan
determinan dasar adalah ketersediaan pangan, faktor perilaku, akses terhadap pelayanan
gizi dan kesehatan serta sanitasi, lingkungan sosial(12). Faktor lain yang terkait dengan
stunting pada anak adalah pendidikan ibu rendah, bertambahnya usia anak, jenis kelamin
laki-laki, rumah tangga miskin, lama menyusui, berat badan lahir rendah, usia ibu (<20
tahun), sumber air minum (tidak membaik), IMT ibu rendah (<18,5), episode diare,
pendidikan dan tempat tinggal (pedesaan)(13). Konsumsi pangan hewani dapat
memperbaiki pertumbuhan anak usia 6-24 bulan dan menurunkan prevalensi stunting(14),
(15). Anak yang tidak mengkonsumsi pangan hewani berisiko 7 kali mengalami stunting
dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi pangan hewani(16). Di Indonesia, pada
perayaan Hari Gizi Nasional Tahun 2023 bertajuk pencegahan stunting dengan mengangkat
tema “Protein Hewani Cegah Stunting”(17).

Salah satu pangan hewani yang banyak tersedia di tengah masyakarat Indonesia adalah
telur. Produksi telur di Indonesia terus mengalami peningkatan yakni sekitar 5,14 juta ton
pada 2020 menjadi 5,15 juta ton pada 2021, dan 5,56 juta ton pada 2022. Produksi telur
ayam petelur di Sulawesi Tengah sekitar 13 ribu ton pada tahun 2022(18). Hal ini dapat
menjadi peluang untuk mengentaskan masalah stunting melalui konsumsi telur. Peningkatan
asupan konsumsi 1 butir telur per hari terbukti potensial dalam mencegah dan menurunkan
peluang anak mengalami stunting (19),(20).

Percepatan penurunan angka stunting, selain melalui pendekatan multisektor/multipihak


serta pendekatan intervensi gizi, juga perlu dilakukan melalui pendekatan keluarga berisiko
stunting. Pendampingan pada keluarga berisiko stunting merupakan pendekatan yang
diharapkan dapat menjembatani langsung pada kelompok sasaran, pada faktor dominan dan
memiliki daya ungkit yang tinggi serta berkontribusi nyata terhadap keberhasilan percepatan
penurunan stunting dengan memastikan seluruh intervensi baik spesifik maupun sensitif
dapat menjangkau seluruh keluarga yang mempunyai resiko melahirkan anak stunting.
Pendekatan ini juga diharapkan mampu menjadi pemicu sekaligus pemacu dalam
meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting(21). Tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis pengaruh suplementasi konsumsi telur dan
pendampingan edukasi rumah tangga berisiko stunting terhadap status stunting balita usia
6-23 bulan.

Tinjauan pustaka tidak lebih dari 1000 kata dengan mengemukakan state of the art dan peta
jalan (road map) dalam bidang yang diteliti. Bagan dan road map dibuat dalam bentuk
JPG/PNG yang kemudian disisipkan dalam isian ini. Sumber pustaka/referensi primer yang
relevan dan dengan mengutamakan hasil penelitian pada jurnal ilmiah dan/atau paten yang
terkini. Disarankan penggunaan sumber pustaka 10 tahun terakhir.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Tentang Stunting
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan adanya malnutrisi
asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis maupun berulang yang ditunjukkan
dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia (TB/U) < -2 SD dari median standar WHO.
Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan rendah dibandingkan umur. Stunting terkait
dengan kemiskinan, kesehatan dan gizi ibu yang buruk, sering sakit dan/atau pemberian
makan dan perawatan yang tidak tepat di awal kehidupan. Stunting mencegah anak
mencapai potensi fisik dan kognitif anak(3),(22).. Standar stunting yang ditetapkan
pemerintah Indonesia juga mengacu pada definisi WHO, yakni sebagaimana yang tertuang
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 Tahun 2020 tentang standar antropometri anak.
Anak usia 0-60 bulan dikatakan stunting jika indeks panjang badan atau tinggi badan
menurut umur di bawah -2 SD(23).
Indikator status gizi anak berdasarkan panjang badan atau tinggi badan menurut usia 0 -59
bulan adalah sebagai berikut(23):

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Panjang Badan atau Sangat pendek (Severely


<-3 SD
Tinggi Badan menurut Stunted)
Umur (PB/U atau TB/U)
anak         usia Pendek (Stunted) - 3 SD sd <- 2 SD

0 - 60 bulan Normal -2 SD sd +3 SD

Tinggi > +3 SD

Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 Tahun 2020 tentang standar antropometri anak

Faktor determinan stunting adalah multifaktor. Determinan langsung yang mempengaruhi


status gizi anak adalah diet (asupan makanan) dan pola asuh, sedangkan determinan dasar
adalah ketersediaan pangan, faktor perilaku, akses terhadap pelayanan gizi dan kesehatan
serta sanitasi, lingkungan sosial(12). Faktor lain yang terkait dengan stunting pada anak
adalah pendidikan ibu rendah, bertambahnya usia anak, jenis kelamin laki-laki, rumah
tangga miskin, lama menyusui, berat badan lahir rendah, usia ibu (<20 tahun), sumber air
minum (tidak membaik), IMT ibu rendah (<18,5), episode diare, pendidikan dan tempat
tinggal (pedesaan)(13).

Anak-anak yang tinggal di rumah tangga yang memiliki akses ke sanitasi yang lebih baik
ketika mereka berusia di bawah 2 tahun memiliki kemungkinan 5 poin persentase lebih kecil
untuk menjadi stunting. Tingkat sanitasi masyarakat juga penting. Anak-anak yang tinggal di
komunitas tidak buang air besar sembarangan lebih dari 10 poin persentase lebih kecil
kemungkinannya untuk terhambat, dibandingkan anak-anak di komunitas di mana semua
rumah tangga lainnya buang air besar di tempat terbuka (7). Malnutrisi pada anak usia dini
yang ditandai dengan stunting, dan berpotensi mengalami infeksi G lamblia, berhubungan
dengan fungsi kognitif yang buruk pada usia 9 tahun. Program intervensi yang dirancang
untuk mencegah malnutrisi dan infkesi G lamblia di awal kehidupan dapat mengarah pada
peningkatan signifikan dalam fungsi kognitif anak-anak padan komunitas berpenghasilan
rendah di seluruh dunia yang kurang berkembang(24).
Ada semakin banyak bukti tentang hubungan antara pertumbuhan tinggi badan yang lambat
di awal kehidupan dan gangguan kesehatan serta kinerja pendidikan dan ekonomi di
kemudian hari. Temuan penelitian terbaru, termasuk tindak lanjut dari percobaan intervensi
di Guatemala, menunjukkan bahwa stunting dapat memiliki efek jangka panjang pada
perkembangan kognitif, prestasi sekolah, produktivitas ekonomi di masa dewasa dan hasil
reproduksi ibu. Bukti ini telah berkontribusi pada berkembangnya konsensus ilmiah bahwa
mengatasi stunting pada masa kanak-kanak merupakan prioritas tinggi untuk mengurangi
beban penyakit global dan untuk mendorong pembangunan ekonomi (25).
Stunting pada masa kanak-kanak berdampak kerugian pada sektor swasta di negara-negara
berkembang hingga miliaran dolar dalam bidang penjualan dan pendapatan tenaga kerja
setiap tahunnya. Kehilangan pendapatan bulanan sekitar US$700 juta (Timur Tengah dan
Afrika Utara) hingga US$16,5 miliar (Asia Timur dan Pasifik) pada kalangan pekerja sektor
swasta. Berinvestasi dalam intervensi pengurangan stunting menghasilkan keuntungan dari
US$2 hingga US$81 per $1 yang diinvestasikan setiap tahun (atau 100% hingga 8000% di
seluruh negara). Investasi pada bidang gizi oleh pihak swasta diperlukan, selain sebagai
komitmen moral juga dapat mencegah potensi kerugian masa depan(26). Beberapa
penelitian membuktikan bahwa intervensi gizi yang hemat biaya atau menguntungkan
terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang (27).
Pemberian bantuan langsung tunai atau unconditional cash transfer (UCT) dikombinasikan
dengan subsidi pangan berbasis lemak atau lipid-based nutrient supplement (LNS) dan
komunikasi perubahan prilaku atau social social and behavior change communication (SBCC)
terbukti efektif dalam mengurangi prevalensi stunting pada anak usia 6-23 bulan pada
populasi yang terpinggirkan(28).
Pencegahan stunting dapat dimulai sejak fase pra-konsepsi, fase prenatal, dan fase bayi-
balita. Peran ibu pada fase emas sangat penting untuk mencegah stunting pada anak. Meski
masa konsepsi belum memiliki janin, namun penguatan gizi ibu sejak dini harus dilakukan
agar tubuh ibu siap menjalani fase prenatal untuk perkembangan janin, yang kemudian
berlanjut pada fase bayi – balita hingga remaja. Berbagai peran ibu meliputi pemenuhan gizi
ibu, janin, bayi, dan anak, melakukan inisiasi menyusu dini, pemberian ASI eksklusif, dan
makanan pendamping ASI yang tepat, mengoptimalkan lingkungan untuk tumbuh kembang
anak, mengoptimalkan dukungan keluarga, serta menghindari berbagai faktor psikososial
yang dapat merugikan selama masa kehamilan. pertumbuhan, dan perkembangan anak(29).
Percepatan penurunan angka stunting, selain melalui pendekatan multisektor/multipihak
serta pendekatan intervensi gizi, juga perlu dilakukan melalui pendekatan keluarga berisiko
stunting. Pendampingan pada keluarga berisiko stunting merupakan pendekatan yang
diharapkan dapat menjembatani langsung pada kelompok sasaran, pada faktor dominan dan
memiliki daya ungkit yang tinggi serta berkontribusi nyata terhadap keberhasilan percepatan
penurunan stunting dengan memastikan seluruh intervensi baik spesifik maupun sensitif
dapat menjangkau seluruh keluarga yang mempunyai resiko melahirkan anak stunting.
Pendekatan ini juga diharapkan mampu menjadi pemicu sekaligus pemacu dalam
meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting(21).
Keluarga Berisiko Stunting adalah keluarga yang memiliki satu atau lebih faktor risiko
stunting yang terdiri dari keluarga yang memiliki anak remaja puteri/calon pengantin/Ibu
Hamil/Anak usia 0 (nol)-23 (dua puluh tiga) bulan/anak usia 24 (dua puluh empat)-59 (lima
puluh sembilan) bulan berasal dari keluarga miskin, pendidikan orang tua rendah, sanitasi
lingkungan buruk, dan air minum tidak layak(21).

Tinjauan Tentang Hubungan Pangan Hewani Tinggi Protein dengan Stunting


Stunting memiliki hubungan erat dengan konsumsi protein. Pola diet protein berkualitas
rendah yang terkait dengan stunting menyebabkan asam amino esensial bersirkulasi secara
signifikan lebih rendah daripada anak-anak yang tidak stunting. Asupan asam amino esensial
yang kurang ini dapat mempengaruhi pertumbuhan, melalui efeknya pada jalur regulasi
pertumbuhan utama, mechanistic target of rapamycin complex 1 (mTORC1) yang sangat
sensitif terhadap ketersediaan asam amino. mTORC1 mengintegrasikan isyarat seperti
nutrisi (terutama protein dan asam amino), faktor pertumbuhan, oksigen, dan energi untuk
mengatur pertumbuhan di lempeng chondral, pertumbuhan otot rangka, mielinisasi sistem
saraf pusat dan perifer, pertumbuhan sel dan diferensiasi di usus kecil , hematopoiesis dan
metabolisme besi dan ukuran organ melalui jalur Hippo. Organ-organ ini relevan dengan
stunting anak dan morbiditas terkait seperti anemia, gangguan kognisi, disfungsi enterik
lingkungan, dan kekebalan terhadap penyakit menular(30),(31).
Ketika terjadi kekurangan asam amino, mTORC1 menekan sintesis protein dan lipid serta
pertumbuhan sel dan organisme. Pada konsentrasi asam amino yang rendah, mTORC1
didistribusikan secara difus dalam sitosol dan menjadi tidak aktif. Autophagy, adaptasi
terhadap kelaparan nutrisi, adalah proses dimana protein yang rusak atau berlebihan dan
komponen sel lainnya dikirim ke lisosom dan kemudian terdegradasi, melepaskan asam
amino bebas ke dalam sitoplasma. Protein menyediakan reservoir asam amino yang
dimobilisasi melalui autophagy ketika asam amino langka. Selain itu, dengan tidak adanya
asam amino, sinyal lain, seperti faktor pertumbuhan dan energi, tidak dapat mengatasi
kekurangan asam amino untuk mengaktifkan mTORC1. Peran mTORC1 dalam patogenisis
stuning adalah seperti gambar sebagai berikut:(30).

Protein berkualitas tinggi dalam produk makanan pelengkap, suplemen, dan rehabilitasi
terbukti efektif untuk pertumbuhan yang baik. Asam amino individual seperti lisin dan
arginin telah ditemukan sebagai faktor yang terkait dengan pelepasan hormon pertumbuhan
pada anak kecil melalui sumbu somatotropik dan asupan tinggi berbanding terbalik dengan
indeks massa lemak pada gadis kurus pra-pubertas. Asupan protein pada awal kehidupan
berhubungan positif dengan tinggi dan berat badan pada usia 10 tahun(32), (30).
Pada anak-anak yang kurang gizi dilaporkan memiliki kadar kortisol yang tinggi. Peningkatan
kadar kortisol selama malnutrisi mewakili upaya organisme untuk beradaptasi dengan
penurunan protein makanan dan/atau suplai energi melalui pemecahan protein otot untuk
menyediakan hati dengan asam amino yang diperlukan untuk glukoneogenesis dan sintesis
albumin. Proses ini melindungi organisme masing-masing dari hipoalbuminemia dan
hipoglikemia. Korelasi yang signifikan antara persen defisit berat dan diameter otot di satu
sisi dan kadar kortisol serum di sisi lain menunjukkan hubungan kausal antara peningkatan
kortisol serum dan tingkat pengecilan otot(33), (30).

Konsumsi pangan hewani dapat memperbaiki pertumbuhan anak usia 6-24 bulan dan menurunkan
prevalensi stunting(14),(15). Anak yang tidak mengkonsumsi pangan hewani berisiko 7 kali
mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi pangan hewani(16).
Peningkatan asupan konsumsi 1 butir telur per hari terbukti potensial dalam mencegah dan
menurunkan peluang anak mengalami stunting(19),(20).

Telur merupakan salah satu pangan hewani tinggi protein. Kandungan protein telur per 100 gram
yaitu 12,4 gram untuk jenis telur ayam ras, dan 10,8 gram untuk telur ayam kampung(34). Jika
dibandingkan dengan kebutuhan protein bayi usia 6-11 bulan yaitu 15 gram/hari dan anak usia 1-3
tahun sebanyak 20 gram/hari(35), maka konsumsi telur 1 biji per hari sudah dapat mencukupi lebih
dari setengah kebutuhan protein anak.
Metode atau cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ditulis tidak melebihi 600 kata.
Bagian ini dilengkapi dengan diagram alir penelitian yang menggambarkan apa yang sudah
dilaksanakan dan yang akan dikerjakan selama waktu yang diusulkan. Format diagram alir
dapat berupa file JPG/PNG. Bagan penelitian harus dibuat secara utuh dengan penahapan yang
jelas, mulai dari awal bagaimana proses dan luarannya, dan indikator capaian yang ditargetkan.
Di bagian ini harus juga mengisi tugas masing-masing anggota pengusul sesuai tahapan
penelitian yang diusulkan.
METODE
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
………………………………………………… dst.

Jadwal penelitian disusun dengan mengisi langsung tabel berikut dengan memperbolehkan
penambahan baris sesuai banyaknya kegiatan.
JADWAL

Tahun ke-1
Bulan
N
Nama Kegiatan 1
o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12
1

Tahun ke-2
Bulan
N
Nama Kegiatan 1
o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12
1

Tahun ke-3
Bulan
N
Nama Kegiatan 1
o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12
1

Daftar pustaka disusun dan ditulis berdasarkan sistem nomor sesuai dengan urutan pengutipan.
Hanya pustaka yang disitasi pada usulan penelitian yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

DAFTAR PUSTAKA
1. ………………………………………………………………………………………………
2. ………………………………………………………………………………………………
3. …………………………………………………… dst.

Anda mungkin juga menyukai