Anda di halaman 1dari 17

Materi Pertemuan 1

Seri KuliahTeknik Penyusunan UU

A. Perihal norma
B. Norma Hukum
C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
D. Dasar filososfis, yuridis, dan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan

A. PERIHAL NORMA
1. Pengertian Norma
Norma berasal dari bahasa Belanda yaitu 'norm', yang artinya patokan, pedoman,
atau pokok kaidah. Ada juga yang memiliki pendapat lain tentang pengertian norma, yaitu
norma berasal dari bahasa latin, yaitu kata 'mos' yang merupakan bentuk jamak dari kata
mores, yang memiliki arti tata kelakuan, adat istiadat, atau kebiasaan.
Pengertian norma adalah kaidah yang menjadi sebuah petunjuk, pedoman untuk
seseorang dalam bertindak atau tidak, serta bertingkah laku dalam kehidupan di
lingkungan masyarakat, seperti norma kesopanan, norma hukum, serta norma agama.
Pengertian Norma Menurut Para Ahli:
a. Hans Kelsen: Pengertian norma merupakan perintah yang secara tidak personal serta
anonim.
b. Soerjono Soekano: Norma merupakan perangkat agar hubungan yang terjadi antar
sesama dalam kehidupan bermasyarakat dapat terjalin dengan baik.
c. Isworo Hadi Wiyono: Norma merupakan peraturan atau petunjuk hidup guna
memberikan panduan dalam bertindak yang mana itu boleh untuk dilakukan serta
tindakan atau perbuatan yang mana harus dihindari bahkan dilarang.
d. Antony Gidden: Norma merupakan aturan atau prinsip yang konkret yang mana
seharusnya dapat untuk dijaga serta diperhatikan oleh masyarakat.
e. Bellebaum: Norma merupakan alat agar dapat mengatur orang-orang agar
melakukan perbuatan yang diletakkan atas dasar keyakinan serta pada beberapa sikap

1
tertentu. Norma ada kaitannya dengan kerja sama yang terjadi didalam sebuah
kelompok atau untuk mengatur setiap perbuatan pada masing-masing anggotanya
agar dapat mencapai dan menjunjung nilai-nilai yang telah diyakini secara bersama-
sama
f. Broom & Selznic : Norma ialah rancangan yang sudah ideal mengenai perilaku
manusia yang mana memberikan batasan untuk anggota-anggota masyarakat guna
mendapatkan tujuan hidupnya.

2. Macam-macam Norma
Macam-macam norma dapat dibedakan berdasarkan sifat, daya atau kekuatan
pengikat norma tersebut, dan norma yang berlaku dalam kehidupan sosial
masyarakat.
a. Macam-macam norma berdasarkan sifatnya :
1) Norma Formal
Norma formal yaitu ketentuan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat serta
dibuat oleh lembaga atau institusi yang sifatnya resmi atau formal. Norma formal
mempunyai rasa kepercayaan yang lebih tinggi mengenai kemampuannya untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat, hal ini karena dibuat oleh lembaga-lembaga
yang sifatnya formal atau resmi. Contohnya : perintah presiden, konstitusi,
peraturan pemerintah, surat keputusan, dan lain sebagainya.
2) Norma Non formal
Norma non formal yaitu ketentuan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat
yang tidak diketahui tentang siapa dan bagaimana yang menerangkan mengenai
norma tersebut. Ciri-ciri dari norma non formal ialah tidak tertulis atau jika
tertulis hanya sebagai sebuah karya sastra, bukan dalam bentuk aturan yang baku
yang disertakan dengan pembuat aturan itu sendiri. Selain itu juga norma non
formal mempunyai jumlah yang lebih banyak, hal ini karena banyaknya variabel-
variabel yang terdapat dalam norma non formal.
b. Macam-macam norma menurut daya pengikatnya:
1) Cara (usage) tersebut mengacu pada bentuk perbuatan-perbuatan yang lebih
menonjolkan pada hubungan yang terjadi antarindividu. Penyimpangan yang

2
terjadi pada cara tidak akan mendapatkan sanksi atau hukuman yang berat, namun
hanya sekedar celaan, ejekan, atau cemoohan. Contohnya : orang yang bersendawa
yang menandakan rasa kepuasan setelah makan. Dalam kehidupan bermasyarakat,
bersendawa dianggap tidak sopan. Namun, apabila cara tersebut dilakukan, orang
lain dapat merasa tersinggung atau dapat mencela cara makan seperti itu.
2) Kebiasaan (Folkways) memiliki kekuatan yang sifatnya mengikat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan cara atau usage. Kebiasaan dapat diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dan dalam bentuk yang sama, hal
ini karena orang tersebut menyukai tindakan yang dilakukannya. Contohnya :
kebiasaan untuk menghormati orang yang lebih tua.
3) Tata Kelakuan (Mores), Apabila kebiasaan tidak semata-mata dianggap sebagai
suatu cara dalam berperilaku, namun dapat diterima sebagai norma pengatur,
kebiasaan tersebut dapat menjadi tata kelakuan (mores). Tata kelakuan, di satu
pihak dapat memaksakan sebuah tindakan, sedangkan di lain pihak adalah
larangan sehingga secara langsung dapat menjadi suatu alat supaya anggota
masyarakat dapat menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan individu.
4) Adat Istiadat (Custom). Tata kelakuan yang terintegrasi kemudian menjadi kuat
dengan adanya pola perilaku masyarakat dapat meningkat menjadi sebuah adat
istiadat (custom). Apabila terdapat salah satu anggota masyarakat yang melanggar
adat istiadat tersebut akan mendapat suatu sanksi atau hukuman yang keras.

c. Norma yang berlaku dalam sebuah lingkungan masyarakat.


1) Norma Agama adalah kaidah-kaidah atau peraturan hidup yang dasar
sumbernya dari wahyu ilahi. Norma agama merupakan suatu aturan hidup yang
harus diterima manusia dan dijadikan sebagai pedoman, baik itu sebagai perintah,
larangan, serta ajaran yang sumbernya dari Tuhan Yang Maha Esa. Norma Agama
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan yang menjadi keprcayaannya.
(Bisa berupa Larangan adan anjuran bagi pemeluknya). Contoh norma agama:
a) Melaksanakan ketentuan agama, contoh : menghormati orang lain, membantu
sesama manusia, tidak melakukan tindakan yang semena-mena terhadap
orang yang lemah, dan lain sebagainya.

3
b) Menjauhi larangan agama, contoh : berbuat fitnah, minuman- minuman keras,
melakukan perjudian, mencuri, membunuh, dan lain sebagainya.
c) Melaksanakan ibadah atau sembahyang tepat pada waktunya.
2) Norma Kesusilaan: Setiap manusia mempunyai hati nurani yang merupakan
perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. C.S.T . Kansil berpendapat
bahwa pengertian norma kesusilaan ialah peraturan hidup yang dianggap sebagai
suatu suara hati sanubari manusia atau insan kamil. Norma Kesusilaan bersumber
dari hati nurani, fungsinya mengatur hubungan manusia dalam hidup soisla agar
manusia itu bersusila sesuaid engan tingkah laku yang diinginkan masyarakat.
Contoh norma kesusilaan antara lain:
a) Dilarang membunuh.
b) Berkata jujur dan benar.
c) Menghargai dan menghormati orang lain.
d) Berbuat baik dan berlaku adil terhadap sesama.
3) Norma Kesopanan/Adat dapat disebut dengan norma adat dalam suatu
masyarakat tertentu. Landasan kaidah ini ialah kepantasan, kebiasaan, serta
kepatuhan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Pengertian norma kesopanan
merupakan sebuah peraturan hidup yang sumbernya dari tata pergaulan
masyarakat mengenai etika sopan santun, serta tata krama yang ada dalam
masyarakat. Norma kesopanan mengatur hubungan manusia dngena manusia
lainnya agar tingkah laku manusia itu teratur dalam hubungan social di
masyarakat. Contoh norma kesopanan atau adat antara lain :
a) Bertutur kata yang sopan dan tidak menyakiti perasaan seseorang.
b) Masuk rumah orang lain dengan permisi terlebih dahulu.
c) Tidak meludah di sembarang tempat.
d) Menghormati orang lain yang lebih tua atau yang dituakan.
4) Norma Hukum merupakan aturan yang sumbernya dari negara atau pemerintah.
Norma hukum dibuat oleh pejabat pemerintah yang memiliki wewenang dengan
tertulis serta sistematika tertentu. Norma/Kaidah hukum berasal dari hukum
positif yang ada disuatu negara/territorial. Hukum ini bersifat memaksa nagi
semua individu yang tercakup dalam territorial Negara tersebut, dan hukum

4
dikenalkan pada umuam melalui sosialisasi terhadap penrapan hukum itu. Contoh
norma hukum antara lain :
a) Dalam mengendarai kendaraan bermotor harus membawa Surat Ijin
mengemudi serta STNK atau Surat Tanda Nomor Kendaraan.
b) Mengurus izin perusahaan yang akan dibangun ke Pemerintah setempat

3. Fungsi Norma
Norma merupakan berbagai aturan atau pedoman sosial yang khusus tentang sikap,
perbuatan, dan tingkah laku yang boleh dan tidak boleh untuk di lingkungan
kehidupannya. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pengertian norma adalah
aturan-aturan yang memuat sanksi. Terbentuknya norma karena didasari oleh
kebutuhan untuk menciptakan hubungan yang serasi, harmonis, dan selaras di antara
warga masyarakat. Fungsi norma mempunyai kekuatan yang mengingat serta
memaksa pihak lain untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Lebih lengkapnya
fungsi norma adalah sbb:
a. Sebagai suatu pedoman atau aturan hidup untuk seluruh masyarakat di wilayah
tertentu.
b. Dapat memberikan keteraturan dam stabilitas dalam kehidupan
bermasyarakat.
c. Dapat menciptakan suasana yang tertib.
d. Fungsi norma yang merupakan wujud konkret terhadap berbagai nilai di
masyarakat.
e. Mengikat seluruh warga masyarakat, hal ini karena fungsi norma disertai dengan
adanya sanksi bagi yang melanggar.
f. Merupakan skala atau standar dari seluruh kategori tingkah laku masyarakat.
g. Memberikan batasan yaitu berupa larangan atau perintah dalam berperilaku dan
bertindak.
h. Memaksa individu dalam menyesuaikan dan beradaptasi dengan norma- norma
yang berlaku yang ada dalam masyarakat serta menyerap nilai-nilai yang
diharapkan.

5
B. NORMA HUKUM
Prof. Mr. L.J. Van Apeldoorn dalam bukumnya “Inleiding tot de studie het Nederland
Recht” menyatakan : Adalah tidak Mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah
yang disebut HUKUM itu. Hal ini dikarenakan hampir semua sarjana HUKUM memberian
pembatasan/pengertian mengenai HUKUM yang berlainan, yaitu antara lain:
1. Imamnauel Kant : HUKUM adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini
kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak
bebas dari orang lain, menuruti peraturan HUKUM tentang kemerdekaan.
2. CST Kansil : HUKUM adalah peraturan hidup yang bersifat memaksa.
3. Mochtar Kususmaatmadja : hukum yang memadai tidak saja merupakan kesluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
melainkan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang mewujudkan kaidah-
kaidah itu dalam masyarakat.
4. Plato : hukum merupakan sebuah peraturan yang teratur dan tersusun dengan baik
serta juga mengikat terhadap masyarakat maupun pemerintah.
5. Tullius Cicerco : hukum merupakan sebuah hasil pemikiran atau akal yang tertinggi
yang mengatur mengenai mana yang baik dan mana yang tidak.
6. Utrecht : hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah.
7. Prof. Dr. Van Kan : hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat
memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam Masyarakat.

Apabila kita mencoba menyimpulkan, maka Hukum adalah peraturan yang


berupa norma dan sanksi yang dibuat oleh lembaga yang berwenang berdasarkan
aspirasi rakyat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga
ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan dan menyediakan sanksi
bagi pelanggarnya. Hukum ini merupakan aspek yang terpenting dalam pelaksanaan
atas rangkaian kekuasaan kelembagaan yang mempunyai tugas untuk menjamin adanya
kepastian hukum untuk masyarakat. Jadi, setiap masyarakat berhak mendapat hak yang
sama dalam mata hukum.

6
Dari pemahaman pembatasan/pengertian hukum tersebut, maka tidak akan lepas
dari Tujuan Hukum itu sendiri. Ada beberapa teori tentang tujuan hukum, yaitu antara
lain:
1. Teori Etika/Etis: Yaitu tujuan hukum semat-mata untuk mencapai keadilan
2. Teori Utilitas: Yaitu hukum itu bertujuan untuk memanfaatan atau faedah untuk
orang banyak dalam masyarat.
3. Teori Campuran: Teori ini merupakan gabungan antara teori etis dan utilitas, yaitu
yang menyatakan tujuan hukum tidak hanya untuk keadilan sematat tetapi untuk
kemanfaatan orang banyak.
4. Teori Terakhir: Yaitu tujuan hukum itu semestinya ditekankan kepada fungsi
hukum yang menurtnya hanya untuk menjamin kepastian hukum.
Sifat dari tujuan hukum ini universal dimana terdapat hal seperti ketertiban,
ketentraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan
bermasyarakat. Jika hukum dapat ditegakkan maka tiap perkara dapat diselesaikan
melakui proses pengadilan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Hukum ini juga
bertujuan untuk menjaga dan mencegah orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Agar dapat mengetahui dan meneganal apakah hukum itu, maka perlu kiranya
kita bersama mengetahui ciri-ciri hukum, yaitu
1. Adanya perintah dan/ atau larangan;
2. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap orang. Setiap orang wajib
bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga taa tertib dalam
masyarakat itu teap terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan beberapa Sarjana
Hukum dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
1. Peraturan meneganai tingkah laku manusia dengan pergaulan masyarakat;
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3. Peraturan itu bersifat memaksa;
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas;
5. Adanya proses untuk mewujudkan kaidah dan asas yang tertulis/tidak tertulis.
Dilihat dari unsur-unsurnya, maka sifat dari hukum adalah mengatur dan
memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat

7
memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan
sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mau patuh
mentaatinya. Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung
terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan hukum yang ada
harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat
tersebut.
Dengan demikian, tujuan hukum itu adalah menegakkan keadilan, membuat
pedoman, dan bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan
hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan.
Selain itu, dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar
setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak
mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap pelanggaran hukum terhadap dirinya.
Namun tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan, dengan perantara
hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

“Fiat justitia ruat caelum, i'dilụ huwa aqrabu lit-taqwā wattaqullāh..”


Dimana Bumi Dipijak, di Situlah Langit Dijunjung. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa.

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S Al-Maidah:8)

8
C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Setelah mempelajari norma hukum, maka selanjutnya norma hukum yg akan dibahas
lebih lanjut dalam materi ini adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh
lembaga berwenang dan mengikat ke masyarakat. Salah satu hal yang dibahas dalam
Peraturan Perundang-undangan sebagai norma hukum adalah hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
Pemikiran tentang hierarki peraturan perundang-undangan, merupakan akibat dari
pengaruh pemikiran tentang hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan teorinya
mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie).1 Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip
Maria Farida, norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif,
yaotu norma dasar (grundnorm).2
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tidak lagi dibentuk
oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh
masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada
di bawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.3 Artinya, The normative
content of this presupposition is what Kelsen has called the basic norm. The basic norm is the
content of the presupposition of the legal validity of the (first, historical) constitution of the
relevant legal system.4
Dengan demikian menurut Hans Kelsen, hukum adalah suatu hierarki mengenai

1 Teori jenjangnorma hukum dari Hans Kelsen di ilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang
mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das doppeite rechtsantlitz).
Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya,
tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu
norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu
norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang
berada diatasnya dicabut, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.
2 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, ctk. Ke-11,

Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 25. Lihat juga artikel Mridushi Swarup, Kelsen’s Theory of
Grundnorm, Hidayatullah National Law University Raipur, Cahhttisgarh.
3 Ibid
4 Hans Kelsen, The pure theory of law dalam http://plato.stanford.edu/entries/lawpjil-theory/.

9
hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat dan esensinya adalah terletak pada
“yang seharusnya ada (ought)” dan “yang ada (is)” (sollen and sein).5 Pada konteks ini, nilai
validitas suatu hukum terletak pada kesesuaiaanya dengan norma lainnya terutama norma
dasar (grundnorm). Dalam hubungan ini, Hans Kelsen mengemukakan ada dua sistem norma
yang terdapat pada norma dasar, yakni sistem norma statis (nomostatics) dan sistem norma
dinamis (nomodynamic).
Sistem norma statis merupakan norma yang telah memiliki validitas, sehingga seluruh
isi norma tersebut ditaati dan diterapkan dalam kehidupan individu dan sosial. 6 Artinya,
sistem norma statis (nomostatics) adalah sistem yang melihat pada ‘isi’ norma. Menurut
sistem norma statis, suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau
norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma umum. Penarikan norma-norma
khusus dari suatu norma umum tersebut diartikan bahwa, dari norma umum itu dirinci
menjadi norma-norma yang khusus dari segi ‘isi’nya.7
Dengan demikian, setiap isi norma tersebut memiliki daya pengikat dan daya paksa,
karena berasala dari norma dasar yang spesifik, memiliki validitas yang diyakini dan
dipandang sebagai norma yang paling tinggi (akhir).8 Artinya, dengan norma statis dapat
diperoleh tatanan kerja intelektual, yaitu melalui penyimpulan dari yang umum kepada yang
khusus atau sebaliknya.
Norma yang menentukan pembentukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi
derajatnya, begitu sebaliknya, norma yang dibentuk tersebut derajatnya lebih rendah. Oleh
karena itu, hubungan antara norma yang lebih tinggi dengan norma dibawahnya merupakan
hubungan hierarki norma. Konsekuensinya adalah, bahwa norma yang lebih rendah
derajatnya tidak dibenarkan bertentangan dengan norma atasnya.9 Dengan demikian,
suatu kesatuan hukum merupakan susunan hubungan hierarkis antara norma-norma yang
satu dengan lainnya. Oleh karena itu, dalam hubungan hierarkis ini tidak boleh bertentangan
antara norma-norma tersebut.
Ketika norma tersebut telah ditempatkan sebagai pernyataan kehendak, baik

5 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1945, hlm. 120
6 Ibid
7 Lihat Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan.....op.cit, hlm. 21
8 Hans Kelsen. Op.cit. hlm 122
9 Ibid. hlm. 125

10
pernyataan kehendak individu maupun pernyataan kehendak pembuat undang-undang di
dalam kesatuan nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka norma tersebut memiliki
kekuatan memaksa dan ditaati. Pernyataan kehendak tersebut diwujudkan baik dalam
bentuk suatu transaksi hukum maupun dalam suatu produk undang-undang yang
didalamnya mengandung unsur perintah atau keharusan untuk ditaati (validitas) dan
diterapkan (efektivitas).
Hal ini menunjukkan bahwa setiap norma hukum memiliki unsur paksa, baik pada sisi
penataan, maupun sisi penerapannya, dan untuk ini diperkenalkan unsur sanksi. Makna
validitas norma hukum adalah bahwa setiap materi muatan norma hukum memiliki daya ikat
dan paksa bagi subjek hukum tertentu dalam melakukan setiap perbuatan hukum, sedangkan
norma hukum, berarti segi penerapan materi hukum oleh organ yang memiliki otoritas untuk
menerapkan suatu norma hukum.10
Menurut Friedman sebagaimana dikutip Zainal Arifin Hoesein, jika terjadi suatu kasus
pelanggaran terhadap suatu norma hukum, dan organ tersebut tidak mampu memberikan
sanksi, maka norma hukum tersebut dapat dikatakn tidak efektif. Oleh karena itu, menurut
Hans Kelsen validitas dan efektivitas hukum merupakan dua hal yang berbeda, yaitu validitas
lebih bermuatan pada segi normatif, dan efektivitas lebih kepada proses penerapan norma.11
Suatu norma selalu mempunyai landasan validas yang berasal dari norma, dan bukan
dari fakta. Pencarian landasan validitas dari suatu norma bukan dari realita melainkan dari
norma lain yang menjadi sumber lahirnya norma tersebut. Oleh karena itu, suatu norma yang
validitasnya hanya dapat diperoleh dari norma yang lebih tinggi, Kelsen menyebut “norma
dasar (grundnorm)”.12 Grundnorm menyerupai sebuahh pengandaian tentang ‘tatanan’ yang
hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara). Grundnorm merupakan
syarat tansendental-logis bagi berlakunya seluruh tata hukum.13

10 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, Ed. 1, ctk. 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 23
11 Ibid,
12 Hans Kelsen, op.cit,. hlm. 30-39. Bandingkan dengan Hans Nawiasky, sebagaimana yang dikutip oleh A. Hamid

S. Attamimi op. Cit., hlm. 287-288. Dalam kaitan ini, norma dasar oleh Nawiasky diartikan sebagai
‘staatsfundamentalnorm’ atau oleh Notonagoro disebut ‘norma fundamental negara’, yaitu suatu norma yang
merupakan dasar pembentukan konstitusi dari suatu negara termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum
suatu ‘staats fundamentalnorm’ adalah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.
Oleh karena itu, ‘staatsfundamentalnorm’ ada terlebih dahulu sebelum konstitusi atau undang-undang dasar.
13 Bernard L tanya, dkk, Teori Hukum..............op.cit, hlm. 127

11
Grundnorm merupakan rujukan dari setiap pembentukan norma, sehingga berfungsi
sebagai sumber utama dan merupakan pengikat di antara norma-norma yang berbeda, dalam
membentuk suatu tata normatif. Dalam pandangan ini, apabila suatu norma masuk dalam
suatu norma tertentu, validitas atas norma tersebut dapat di uji oleh grundnorm tersebut.14
Selain itu, grundnorm juga sebagai gantungan bagi norma yang ada di bawahnya. Artinya,
ketika grundnorm itu dicabut maka tercabutlah norma-norma yang ada di bawahnya.
Teori jenjang norma Hans Kelsen diatas dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Hans
Nawiasky dalam bukunya yang berjudul algemeine rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai
dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara mana pun selalu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, di mana norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada
norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi disebut norma dasar.
Tetapi Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma berlapis-lapis dan berjenjang,
norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky
mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok
besar yang terdiri atas:
Kelompok I: staatsfundamentalnorm (norma fundamental dasar)
Kelompok II: staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara)
Kelompok III: formell gesetz (undang-undang ‘fomal’)
Kelompok IV: verordnung & autome satzung (aturan pelaksana & aturan otonom)15
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata susunan
norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah
norma hukum yang berbeda dalam tiap kelompoknya.
Aliran positivis yang dikembangkan Hans Kelsen, juga dikembangkan oleh John Austin.
Menurut Austhin hukum adalah; “a rule laid down for the guidance of an intelligent being by an
intelligent bein having power over him”16. Menurut W. Friedmann, pada prinsipnya hukum

14 Hans Kelsen, op.cit,. hlm 111.


15 Hamid S. Attamimi, op.cit., hlm 287
16 John Austin, edited by Wilfrid E. Rumble, The Province of Jurisprudence Determined,; Cambridge University

Press, New York, 1995 hlm. 77. Lihat Hans Kelsen yang menekankan bahwa, pertama, hukum merupakan
sistem norma (murni) yang terbebas anasir di luar hukum seperti politik, moral, dan sebagainya; kedua,
hukum sebagai suatu keharusan (keharusan untuk ditaati); dan ketiga, hukum merupakan kesatuan sistem
peringkat (norma). Hukum sebagai suatu sistem peringkat (norma) pada hakikatnya merupakan sistem
hierarkis yang tersusun dari peringkat yang terendah sampai peringkat tertinggi. Hukum yang lebih rendah
harus berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Hans Kelsen, op.cit, hlm. 71
12
positif memberi penegasan bahwa, pertama, suatu tata hukum negara berlaku karena
mendapatkan bentuk positifnya dari institusi kekuasaaan; kedua, hukum semata-mata dilihat
dari bentuk formal, sehingga bentuk formal dipisahkan dari bentuk hukum materiil; dan
ketiga, isi hukum diakui ada, tetapi bukan sebagai bahan ilmu hukum.17
Dalam pandangan Austin, hukum adalah sekumpulan perintah penguasa atau perintah
dari pemegang kekuasaan (kedaulatan) untuk mengatur kehidupan masyarakat; hukum
merupakan sistem logika yang bersifat tertutup atau terlepas dari moral, politik, dan sosial;
dan hukum harus memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Bentuk
hukum adalah undang-undang, isi hukum adalah perintah penguasa, ciri hukum adalah sanksi
(sanction), perintah (command), kewajiban (duty) dan kedaulatan (souvereighnity), dan
sistemasi norma hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum adalah penguassa,
bentuk hukum adalah undang-undang dan hukum diterapkan melalui pembebanan sanksi
terhadap pelanggarnya.18
Menurt Hari Chand dalam modern jurisprudence, walaupun Kelsen menolak dengan
tegas adanya pencampuran antara hukum dan keadilan, tetapi dalam konteks pembentukan
undang-undang tidaklah harus mengabaikan keadilan,19 karena keadilan merupakan bagian
dari tujuan hukum.20
Dari uraian di atas, konsep hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
mengikuti konsep hierarki norma hukum dalam aliran positivis yang dikembangkan oleh Hans
Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori Jenjang Norma Hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
dan Hans Nawiasky tersebut sangat mempengaruhi sistem hukum di Indonesia, sehingga
menyebabkan dalam pelaksanannya dikenal istilah “Hierarki Tata Hukum Indonesia”.
A. Hamid S. Attamimi salah satu ahli hukum yang memperkenalkan dan mengemukakan
pentingnya adannya hierarki tata hukum dalam membentuk sistem hukum Indonesia, artinya
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Dengan
menggunakan teori Hans Nawiasky, A. Hamid S. Attamimi membuat strutktur hierarki tata
hukum Indonesia, yaitu :

17 Zainal Arifin Hoesein.....op.cit., hlm. 24


18 John Austin, edited by Wilfrid E Rumble, op.cit,. hlm. 78. Lihat juga John Austin dalam
http://plato.stanford.edu/entries/austin-john/, [21 Juli 2012, 09. 17]
19 Zainal Arifin Hoesein.......loc.cit., hlm. 24
20 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM, Tripathi Private Limited, Bombay, 1979, hlm. 2

13
1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945)
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan,
3. Formell gesetz: Undang-Undang,
4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari PeraturanPemerintah
hingga Keputusan Bupati atau Walikota. 21

Gambar 1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


UU. No. 1/ 1950 Tap MPRS No. Tap MPR No. UU No. 10/ UU No. 12/ 2011 UU No.15/ 2019
XX/MPRS?1966 III/MPR/2000 2004
1. UU dan 1. UUD 1945 1. UUD 1945 1. UUD 1945 1. UUD 1945 Tidak ada
Perppu 2. Tap MPR 2. Tap MPR 2. UU /Perppu 2. Tap MPR perubahan,
2. PP 3. UU/Perppu 3. UU 3. PP 3. UU/Perppu tetap ps.7 UU
3. Permen 4. PP 4. Perpu 4. Perpres 4. PP N0.12/2011
5. Kepres 5. PP 5. Perda 5. Perpres
6. Peraturan 6. Kepres 6. Preda Prov
pelaksana 7. Perda 7. Perda Kab/
lainnya: Kota
permen,
instrumen dll
Tabel 1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

21 A. Hamid. S. Attamimi, Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurung Waktu,
Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 287.
14
UU Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

A. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

B. APABILA TIDAK SESUAI HIERARKI?


Pasal 9
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

15
D. Dasar filososfis, yuridis, dan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan
“Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. ”

1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-
Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang
lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi,


atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya
ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
16
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Kajian terhadap Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat kondisi hukum


yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan
Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari
Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap
berlaku karena tidak bertentangan dengan UndangUndang atau Peraturan Daerah yang baru.
Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi
hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi
yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan
Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan
Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau
uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah

17

Anda mungkin juga menyukai