Anda di halaman 1dari 97

Materi Pertemuan 1

Seri KuliahTeknik Penyusunan UU

A. Perihal norma
B. Norma Hukum
C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
D. Dasar filososfis, yuridis, dan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan

A. PERIHAL NORMA
1. Pengertian Norma
Norma berasal dari bahasa Belanda yaitu 'norm', yang artinya patokan, pedoman,
atau pokok kaidah. Ada juga yang memiliki pendapat lain tentang pengertian norma, yaitu
norma berasal dari bahasa latin, yaitu kata 'mos' yang merupakan bentuk jamak dari kata
mores, yang memiliki arti tata kelakuan, adat istiadat, atau kebiasaan.
Pengertian norma adalah kaidah yang menjadi sebuah petunjuk, pedoman untuk
seseorang dalam bertindak atau tidak, serta bertingkah laku dalam kehidupan di
lingkungan masyarakat, seperti norma kesopanan, norma hukum, serta norma agama.
Pengertian Norma Menurut Para Ahli:
a. Hans Kelsen: Pengertian norma merupakan perintah yang secara tidak personal serta
anonim.
b. Soerjono Soekano: Norma merupakan perangkat agar hubungan yang terjadi antar
sesama dalam kehidupan bermasyarakat dapat terjalin dengan baik.
c. Isworo Hadi Wiyono: Norma merupakan peraturan atau petunjuk hidup guna
memberikan panduan dalam bertindak yang mana itu boleh untuk dilakukan serta
tindakan atau perbuatan yang mana harus dihindari bahkan dilarang.
d. Antony Gidden: Norma merupakan aturan atau prinsip yang konkret yang mana
seharusnya dapat untuk dijaga serta diperhatikan oleh masyarakat.
e. Bellebaum: Norma merupakan alat agar dapat mengatur orang-orang agar
melakukan perbuatan yang diletakkan atas dasar keyakinan serta pada beberapa sikap

1
tertentu. Norma ada kaitannya dengan kerja sama yang terjadi didalam sebuah
kelompok atau untuk mengatur setiap perbuatan pada masing-masing anggotanya
agar dapat mencapai dan menjunjung nilai-nilai yang telah diyakini secara bersama-
sama
f. Broom & Selznic : Norma ialah rancangan yang sudah ideal mengenai perilaku
manusia yang mana memberikan batasan untuk anggota-anggota masyarakat guna
mendapatkan tujuan hidupnya.

2. Macam-macam Norma
Macam-macam norma dapat dibedakan berdasarkan sifat, daya atau kekuatan
pengikat norma tersebut, dan norma yang berlaku dalam kehidupan sosial
masyarakat.
a. Macam-macam norma berdasarkan sifatnya :
1) Norma Formal
Norma formal yaitu ketentuan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat serta
dibuat oleh lembaga atau institusi yang sifatnya resmi atau formal. Norma formal
mempunyai rasa kepercayaan yang lebih tinggi mengenai kemampuannya untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat, hal ini karena dibuat oleh lembaga-lembaga
yang sifatnya formal atau resmi. Contohnya : perintah presiden, konstitusi,
peraturan pemerintah, surat keputusan, dan lain sebagainya.
2) Norma Non formal
Norma non formal yaitu ketentuan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat
yang tidak diketahui tentang siapa dan bagaimana yang menerangkan mengenai
norma tersebut. Ciri-ciri dari norma non formal ialah tidak tertulis atau jika
tertulis hanya sebagai sebuah karya sastra, bukan dalam bentuk aturan yang baku
yang disertakan dengan pembuat aturan itu sendiri. Selain itu juga norma non
formal mempunyai jumlah yang lebih banyak, hal ini karena banyaknya variabel-
variabel yang terdapat dalam norma non formal.
b. Macam-macam norma menurut daya pengikatnya:
1) Cara (usage) tersebut mengacu pada bentuk perbuatan-perbuatan yang lebih
menonjolkan pada hubungan yang terjadi antarindividu. Penyimpangan yang

2
terjadi pada cara tidak akan mendapatkan sanksi atau hukuman yang berat, namun
hanya sekedar celaan, ejekan, atau cemoohan. Contohnya : orang yang bersendawa
yang menandakan rasa kepuasan setelah makan. Dalam kehidupan bermasyarakat,
bersendawa dianggap tidak sopan. Namun, apabila cara tersebut dilakukan, orang
lain dapat merasa tersinggung atau dapat mencela cara makan seperti itu.
2) Kebiasaan (Folkways) memiliki kekuatan yang sifatnya mengikat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan cara atau usage. Kebiasaan dapat diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dan dalam bentuk yang sama, hal
ini karena orang tersebut menyukai tindakan yang dilakukannya. Contohnya :
kebiasaan untuk menghormati orang yang lebih tua.
3) Tata Kelakuan (Mores), Apabila kebiasaan tidak semata-mata dianggap sebagai
suatu cara dalam berperilaku, namun dapat diterima sebagai norma pengatur,
kebiasaan tersebut dapat menjadi tata kelakuan (mores). Tata kelakuan, di satu
pihak dapat memaksakan sebuah tindakan, sedangkan di lain pihak adalah
larangan sehingga secara langsung dapat menjadi suatu alat supaya anggota
masyarakat dapat menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan individu.
4) Adat Istiadat (Custom). Tata kelakuan yang terintegrasi kemudian menjadi kuat
dengan adanya pola perilaku masyarakat dapat meningkat menjadi sebuah adat
istiadat (custom). Apabila terdapat salah satu anggota masyarakat yang melanggar
adat istiadat tersebut akan mendapat suatu sanksi atau hukuman yang keras.

c. Norma yang berlaku dalam sebuah lingkungan masyarakat.


1) Norma Agama adalah kaidah-kaidah atau peraturan hidup yang dasar
sumbernya dari wahyu ilahi. Norma agama merupakan suatu aturan hidup yang
harus diterima manusia dan dijadikan sebagai pedoman, baik itu sebagai perintah,
larangan, serta ajaran yang sumbernya dari Tuhan Yang Maha Esa. Norma Agama
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan yang menjadi keprcayaannya.
(Bisa berupa Larangan adan anjuran bagi pemeluknya). Contoh norma agama:
a) Melaksanakan ketentuan agama, contoh : menghormati orang lain, membantu
sesama manusia, tidak melakukan tindakan yang semena-mena terhadap
orang yang lemah, dan lain sebagainya.

3
b) Menjauhi larangan agama, contoh : berbuat fitnah, minuman- minuman keras,
melakukan perjudian, mencuri, membunuh, dan lain sebagainya.
c) Melaksanakan ibadah atau sembahyang tepat pada waktunya.
2) Norma Kesusilaan: Setiap manusia mempunyai hati nurani yang merupakan
perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. C.S.T . Kansil berpendapat
bahwa pengertian norma kesusilaan ialah peraturan hidup yang dianggap sebagai
suatu suara hati sanubari manusia atau insan kamil. Norma Kesusilaan bersumber
dari hati nurani, fungsinya mengatur hubungan manusia dalam hidup soisla agar
manusia itu bersusila sesuaid engan tingkah laku yang diinginkan masyarakat.
Contoh norma kesusilaan antara lain:
a) Dilarang membunuh.
b) Berkata jujur dan benar.
c) Menghargai dan menghormati orang lain.
d) Berbuat baik dan berlaku adil terhadap sesama.
3) Norma Kesopanan/Adat dapat disebut dengan norma adat dalam suatu
masyarakat tertentu. Landasan kaidah ini ialah kepantasan, kebiasaan, serta
kepatuhan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Pengertian norma kesopanan
merupakan sebuah peraturan hidup yang sumbernya dari tata pergaulan
masyarakat mengenai etika sopan santun, serta tata krama yang ada dalam
masyarakat. Norma kesopanan mengatur hubungan manusia dngena manusia
lainnya agar tingkah laku manusia itu teratur dalam hubungan social di
masyarakat. Contoh norma kesopanan atau adat antara lain :
a) Bertutur kata yang sopan dan tidak menyakiti perasaan seseorang.
b) Masuk rumah orang lain dengan permisi terlebih dahulu.
c) Tidak meludah di sembarang tempat.
d) Menghormati orang lain yang lebih tua atau yang dituakan.
4) Norma Hukum merupakan aturan yang sumbernya dari negara atau pemerintah.
Norma hukum dibuat oleh pejabat pemerintah yang memiliki wewenang dengan
tertulis serta sistematika tertentu. Norma/Kaidah hukum berasal dari hukum
positif yang ada disuatu negara/territorial. Hukum ini bersifat memaksa nagi
semua individu yang tercakup dalam territorial Negara tersebut, dan hukum

4
dikenalkan pada umuam melalui sosialisasi terhadap penrapan hukum itu. Contoh
norma hukum antara lain :
a) Dalam mengendarai kendaraan bermotor harus membawa Surat Ijin
mengemudi serta STNK atau Surat Tanda Nomor Kendaraan.
b) Mengurus izin perusahaan yang akan dibangun ke Pemerintah setempat

3. Fungsi Norma
Norma merupakan berbagai aturan atau pedoman sosial yang khusus tentang sikap,
perbuatan, dan tingkah laku yang boleh dan tidak boleh untuk di lingkungan
kehidupannya. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pengertian norma adalah
aturan-aturan yang memuat sanksi. Terbentuknya norma karena didasari oleh
kebutuhan untuk menciptakan hubungan yang serasi, harmonis, dan selaras di antara
warga masyarakat. Fungsi norma mempunyai kekuatan yang mengingat serta
memaksa pihak lain untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Lebih lengkapnya
fungsi norma adalah sbb:
a. Sebagai suatu pedoman atau aturan hidup untuk seluruh masyarakat di wilayah
tertentu.
b. Dapat memberikan keteraturan dam stabilitas dalam kehidupan
bermasyarakat.
c. Dapat menciptakan suasana yang tertib.
d. Fungsi norma yang merupakan wujud konkret terhadap berbagai nilai di
masyarakat.
e. Mengikat seluruh warga masyarakat, hal ini karena fungsi norma disertai dengan
adanya sanksi bagi yang melanggar.
f. Merupakan skala atau standar dari seluruh kategori tingkah laku masyarakat.
g. Memberikan batasan yaitu berupa larangan atau perintah dalam berperilaku dan
bertindak.
h. Memaksa individu dalam menyesuaikan dan beradaptasi dengan norma- norma
yang berlaku yang ada dalam masyarakat serta menyerap nilai-nilai yang
diharapkan.

5
B. NORMA HUKUM
Prof. Mr. L.J. Van Apeldoorn dalam bukumnya “Inleiding tot de studie het Nederland
Recht” menyatakan : Adalah tidak Mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah
yang disebut HUKUM itu. Hal ini dikarenakan hampir semua sarjana HUKUM memberian
pembatasan/pengertian mengenai HUKUM yang berlainan, yaitu antara lain:
1. Imamnauel Kant : HUKUM adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini
kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak
bebas dari orang lain, menuruti peraturan HUKUM tentang kemerdekaan.
2. CST Kansil : HUKUM adalah peraturan hidup yang bersifat memaksa.
3. Mochtar Kususmaatmadja : hukum yang memadai tidak saja merupakan kesluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
melainkan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang mewujudkan kaidah-
kaidah itu dalam masyarakat.
4. Plato : hukum merupakan sebuah peraturan yang teratur dan tersusun dengan baik
serta juga mengikat terhadap masyarakat maupun pemerintah.
5. Tullius Cicerco : hukum merupakan sebuah hasil pemikiran atau akal yang tertinggi
yang mengatur mengenai mana yang baik dan mana yang tidak.
6. Utrecht : hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah.
7. Prof. Dr. Van Kan : hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat
memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam Masyarakat.

Apabila kita mencoba menyimpulkan, maka Hukum adalah peraturan yang


berupa norma dan sanksi yang dibuat oleh lembaga yang berwenang berdasarkan
aspirasi rakyat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga
ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan dan menyediakan sanksi
bagi pelanggarnya. Hukum ini merupakan aspek yang terpenting dalam pelaksanaan
atas rangkaian kekuasaan kelembagaan yang mempunyai tugas untuk menjamin adanya
kepastian hukum untuk masyarakat. Jadi, setiap masyarakat berhak mendapat hak yang
sama dalam mata hukum.

6
Dari pemahaman pembatasan/pengertian hukum tersebut, maka tidak akan lepas
dari Tujuan Hukum itu sendiri. Ada beberapa teori tentang tujuan hukum, yaitu antara
lain:
1. Teori Etika/Etis: Yaitu tujuan hukum semat-mata untuk mencapai keadilan
2. Teori Utilitas: Yaitu hukum itu bertujuan untuk memanfaatan atau faedah untuk
orang banyak dalam masyarat.
3. Teori Campuran: Teori ini merupakan gabungan antara teori etis dan utilitas, yaitu
yang menyatakan tujuan hukum tidak hanya untuk keadilan sematat tetapi untuk
kemanfaatan orang banyak.
4. Teori Terakhir: Yaitu tujuan hukum itu semestinya ditekankan kepada fungsi
hukum yang menurtnya hanya untuk menjamin kepastian hukum.
Sifat dari tujuan hukum ini universal dimana terdapat hal seperti ketertiban,
ketentraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan
bermasyarakat. Jika hukum dapat ditegakkan maka tiap perkara dapat diselesaikan
melakui proses pengadilan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Hukum ini juga
bertujuan untuk menjaga dan mencegah orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Agar dapat mengetahui dan meneganal apakah hukum itu, maka perlu kiranya
kita bersama mengetahui ciri-ciri hukum, yaitu
1. Adanya perintah dan/ atau larangan;
2. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap orang. Setiap orang wajib
bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga taa tertib dalam
masyarakat itu teap terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan beberapa Sarjana
Hukum dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
1. Peraturan meneganai tingkah laku manusia dengan pergaulan masyarakat;
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3. Peraturan itu bersifat memaksa;
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas;
5. Adanya proses untuk mewujudkan kaidah dan asas yang tertulis/tidak tertulis.
Dilihat dari unsur-unsurnya, maka sifat dari hukum adalah mengatur dan
memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat

7
memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan
sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mau patuh
mentaatinya. Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung
terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan hukum yang ada
harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat
tersebut.
Dengan demikian, tujuan hukum itu adalah menegakkan keadilan, membuat
pedoman, dan bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan
hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan.
Selain itu, dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar
setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak
mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap pelanggaran hukum terhadap dirinya.
Namun tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan, dengan perantara
hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

“Fiat justitia ruat caelum, i'dilụ huwa aqrabu lit-taqwā wattaqullāh..”


Dimana Bumi Dipijak, di Situlah Langit Dijunjung. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa.

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S Al-Maidah:8)

8
C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Setelah mempelajari norma hukum, maka selanjutnya norma hukum yg akan dibahas
lebih lanjut dalam materi ini adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh
lembaga berwenang dan mengikat ke masyarakat. Salah satu hal yang dibahas dalam
Peraturan Perundang-undangan sebagai norma hukum adalah hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
Pemikiran tentang hierarki peraturan perundang-undangan, merupakan akibat dari
pengaruh pemikiran tentang hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan teorinya
mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie).1 Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip
Maria Farida, norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif,
yaotu norma dasar (grundnorm).2
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tidak lagi dibentuk
oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh
masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada
di bawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.3 Artinya, The normative
content of this presupposition is what Kelsen has called the basic norm. The basic norm is the
content of the presupposition of the legal validity of the (first, historical) constitution of the
relevant legal system.4
Dengan demikian menurut Hans Kelsen, hukum adalah suatu hierarki mengenai

1 Teori jenjangnorma hukum dari Hans Kelsen di ilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang
mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das doppeite rechtsantlitz).
Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya,
tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu
norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu
norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang
berada diatasnya dicabut, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.
2 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, ctk. Ke-11,

Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 25. Lihat juga artikel Mridushi Swarup, Kelsen’s Theory of
Grundnorm, Hidayatullah National Law University Raipur, Cahhttisgarh.
3 Ibid
4 Hans Kelsen, The pure theory of law dalam http://plato.stanford.edu/entries/lawpjil-theory/.

9
hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat dan esensinya adalah terletak pada
“yang seharusnya ada (ought)” dan “yang ada (is)” (sollen and sein).5 Pada konteks ini, nilai
validitas suatu hukum terletak pada kesesuaiaanya dengan norma lainnya terutama norma
dasar (grundnorm). Dalam hubungan ini, Hans Kelsen mengemukakan ada dua sistem norma
yang terdapat pada norma dasar, yakni sistem norma statis (nomostatics) dan sistem norma
dinamis (nomodynamic).
Sistem norma statis merupakan norma yang telah memiliki validitas, sehingga seluruh
isi norma tersebut ditaati dan diterapkan dalam kehidupan individu dan sosial. 6 Artinya,
sistem norma statis (nomostatics) adalah sistem yang melihat pada ‘isi’ norma. Menurut
sistem norma statis, suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau
norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma umum. Penarikan norma-norma
khusus dari suatu norma umum tersebut diartikan bahwa, dari norma umum itu dirinci
menjadi norma-norma yang khusus dari segi ‘isi’nya.7
Dengan demikian, setiap isi norma tersebut memiliki daya pengikat dan daya paksa,
karena berasala dari norma dasar yang spesifik, memiliki validitas yang diyakini dan
dipandang sebagai norma yang paling tinggi (akhir).8 Artinya, dengan norma statis dapat
diperoleh tatanan kerja intelektual, yaitu melalui penyimpulan dari yang umum kepada yang
khusus atau sebaliknya.
Norma yang menentukan pembentukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi
derajatnya, begitu sebaliknya, norma yang dibentuk tersebut derajatnya lebih rendah. Oleh
karena itu, hubungan antara norma yang lebih tinggi dengan norma dibawahnya merupakan
hubungan hierarki norma. Konsekuensinya adalah, bahwa norma yang lebih rendah
derajatnya tidak dibenarkan bertentangan dengan norma atasnya.9 Dengan demikian,
suatu kesatuan hukum merupakan susunan hubungan hierarkis antara norma-norma yang
satu dengan lainnya. Oleh karena itu, dalam hubungan hierarkis ini tidak boleh bertentangan
antara norma-norma tersebut.
Ketika norma tersebut telah ditempatkan sebagai pernyataan kehendak, baik

5 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1945, hlm. 120
6 Ibid
7 Lihat Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan.....op.cit, hlm. 21
8 Hans Kelsen. Op.cit. hlm 122
9 Ibid. hlm. 125

10
pernyataan kehendak individu maupun pernyataan kehendak pembuat undang-undang di
dalam kesatuan nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka norma tersebut memiliki
kekuatan memaksa dan ditaati. Pernyataan kehendak tersebut diwujudkan baik dalam
bentuk suatu transaksi hukum maupun dalam suatu produk undang-undang yang
didalamnya mengandung unsur perintah atau keharusan untuk ditaati (validitas) dan
diterapkan (efektivitas).
Hal ini menunjukkan bahwa setiap norma hukum memiliki unsur paksa, baik pada sisi
penataan, maupun sisi penerapannya, dan untuk ini diperkenalkan unsur sanksi. Makna
validitas norma hukum adalah bahwa setiap materi muatan norma hukum memiliki daya ikat
dan paksa bagi subjek hukum tertentu dalam melakukan setiap perbuatan hukum, sedangkan
norma hukum, berarti segi penerapan materi hukum oleh organ yang memiliki otoritas untuk
menerapkan suatu norma hukum.10
Menurut Friedman sebagaimana dikutip Zainal Arifin Hoesein, jika terjadi suatu kasus
pelanggaran terhadap suatu norma hukum, dan organ tersebut tidak mampu memberikan
sanksi, maka norma hukum tersebut dapat dikatakn tidak efektif. Oleh karena itu, menurut
Hans Kelsen validitas dan efektivitas hukum merupakan dua hal yang berbeda, yaitu validitas
lebih bermuatan pada segi normatif, dan efektivitas lebih kepada proses penerapan norma.11
Suatu norma selalu mempunyai landasan validas yang berasal dari norma, dan bukan
dari fakta. Pencarian landasan validitas dari suatu norma bukan dari realita melainkan dari
norma lain yang menjadi sumber lahirnya norma tersebut. Oleh karena itu, suatu norma yang
validitasnya hanya dapat diperoleh dari norma yang lebih tinggi, Kelsen menyebut “norma
dasar (grundnorm)”.12 Grundnorm menyerupai sebuahh pengandaian tentang ‘tatanan’ yang
hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara). Grundnorm merupakan
syarat tansendental-logis bagi berlakunya seluruh tata hukum.13

10 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, Ed. 1, ctk. 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 23
11 Ibid,
12 Hans Kelsen, op.cit,. hlm. 30-39. Bandingkan dengan Hans Nawiasky, sebagaimana yang dikutip oleh A. Hamid

S. Attamimi op. Cit., hlm. 287-288. Dalam kaitan ini, norma dasar oleh Nawiasky diartikan sebagai
‘staatsfundamentalnorm’ atau oleh Notonagoro disebut ‘norma fundamental negara’, yaitu suatu norma yang
merupakan dasar pembentukan konstitusi dari suatu negara termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum
suatu ‘staats fundamentalnorm’ adalah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.
Oleh karena itu, ‘staatsfundamentalnorm’ ada terlebih dahulu sebelum konstitusi atau undang-undang dasar.
13 Bernard L tanya, dkk, Teori Hukum..............op.cit, hlm. 127

11
Grundnorm merupakan rujukan dari setiap pembentukan norma, sehingga berfungsi
sebagai sumber utama dan merupakan pengikat di antara norma-norma yang berbeda, dalam
membentuk suatu tata normatif. Dalam pandangan ini, apabila suatu norma masuk dalam
suatu norma tertentu, validitas atas norma tersebut dapat di uji oleh grundnorm tersebut.14
Selain itu, grundnorm juga sebagai gantungan bagi norma yang ada di bawahnya. Artinya,
ketika grundnorm itu dicabut maka tercabutlah norma-norma yang ada di bawahnya.
Teori jenjang norma Hans Kelsen diatas dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Hans
Nawiasky dalam bukunya yang berjudul algemeine rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai
dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara mana pun selalu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, di mana norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada
norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi disebut norma dasar.
Tetapi Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma berlapis-lapis dan berjenjang,
norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky
mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok
besar yang terdiri atas:
Kelompok I: staatsfundamentalnorm (norma fundamental dasar)
Kelompok II: staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara)
Kelompok III: formell gesetz (undang-undang ‘fomal’)
Kelompok IV: verordnung & autome satzung (aturan pelaksana & aturan otonom)15
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata susunan
norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah
norma hukum yang berbeda dalam tiap kelompoknya.
Aliran positivis yang dikembangkan Hans Kelsen, juga dikembangkan oleh John Austin.
Menurut Austhin hukum adalah; “a rule laid down for the guidance of an intelligent being by an
intelligent bein having power over him”16. Menurut W. Friedmann, pada prinsipnya hukum

14 Hans Kelsen, op.cit,. hlm 111.


15 Hamid S. Attamimi, op.cit., hlm 287
16 John Austin, edited by Wilfrid E. Rumble, The Province of Jurisprudence Determined,; Cambridge University

Press, New York, 1995 hlm. 77. Lihat Hans Kelsen yang menekankan bahwa, pertama, hukum merupakan
sistem norma (murni) yang terbebas anasir di luar hukum seperti politik, moral, dan sebagainya; kedua,
hukum sebagai suatu keharusan (keharusan untuk ditaati); dan ketiga, hukum merupakan kesatuan sistem
peringkat (norma). Hukum sebagai suatu sistem peringkat (norma) pada hakikatnya merupakan sistem
hierarkis yang tersusun dari peringkat yang terendah sampai peringkat tertinggi. Hukum yang lebih rendah
harus berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Hans Kelsen, op.cit, hlm. 71
12
positif memberi penegasan bahwa, pertama, suatu tata hukum negara berlaku karena
mendapatkan bentuk positifnya dari institusi kekuasaaan; kedua, hukum semata-mata dilihat
dari bentuk formal, sehingga bentuk formal dipisahkan dari bentuk hukum materiil; dan
ketiga, isi hukum diakui ada, tetapi bukan sebagai bahan ilmu hukum.17
Dalam pandangan Austin, hukum adalah sekumpulan perintah penguasa atau perintah
dari pemegang kekuasaan (kedaulatan) untuk mengatur kehidupan masyarakat; hukum
merupakan sistem logika yang bersifat tertutup atau terlepas dari moral, politik, dan sosial;
dan hukum harus memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Bentuk
hukum adalah undang-undang, isi hukum adalah perintah penguasa, ciri hukum adalah sanksi
(sanction), perintah (command), kewajiban (duty) dan kedaulatan (souvereighnity), dan
sistemasi norma hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum adalah penguassa,
bentuk hukum adalah undang-undang dan hukum diterapkan melalui pembebanan sanksi
terhadap pelanggarnya.18
Menurt Hari Chand dalam modern jurisprudence, walaupun Kelsen menolak dengan
tegas adanya pencampuran antara hukum dan keadilan, tetapi dalam konteks pembentukan
undang-undang tidaklah harus mengabaikan keadilan,19 karena keadilan merupakan bagian
dari tujuan hukum.20
Dari uraian di atas, konsep hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
mengikuti konsep hierarki norma hukum dalam aliran positivis yang dikembangkan oleh Hans
Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori Jenjang Norma Hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
dan Hans Nawiasky tersebut sangat mempengaruhi sistem hukum di Indonesia, sehingga
menyebabkan dalam pelaksanannya dikenal istilah “Hierarki Tata Hukum Indonesia”.
A. Hamid S. Attamimi salah satu ahli hukum yang memperkenalkan dan mengemukakan
pentingnya adannya hierarki tata hukum dalam membentuk sistem hukum Indonesia, artinya
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Dengan
menggunakan teori Hans Nawiasky, A. Hamid S. Attamimi membuat strutktur hierarki tata
hukum Indonesia, yaitu :

17 Zainal Arifin Hoesein.....op.cit., hlm. 24


18 John Austin, edited by Wilfrid E Rumble, op.cit,. hlm. 78. Lihat juga John Austin dalam
http://plato.stanford.edu/entries/austin-john/, [21 Juli 2012, 09. 17]
19 Zainal Arifin Hoesein.......loc.cit., hlm. 24
20 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM, Tripathi Private Limited, Bombay, 1979, hlm. 2

13
1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945)
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan,
3. Formell gesetz: Undang-Undang,
4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari PeraturanPemerintah
hingga Keputusan Bupati atau Walikota. 21

Gambar 1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


UU. No. 1/ 1950 Tap MPRS No. Tap MPR No. UU No. 10/ UU No. 12/ 2011 UU No.15/ 2019
XX/MPRS?1966 III/MPR/2000 2004
1. UU dan 1. UUD 1945 1. UUD 1945 1. UUD 1945 1. UUD 1945 Tidak ada
Perppu 2. Tap MPR 2. Tap MPR 2. UU /Perppu 2. Tap MPR perubahan,
2. PP 3. UU/Perppu 3. UU 3. PP 3. UU/Perppu tetap ps.7 UU
3. Permen 4. PP 4. Perpu 4. Perpres 4. PP N0.12/2011
5. Kepres 5. PP 5. Perda 5. Perpres
6. Peraturan 6. Kepres 6. Preda Prov
pelaksana 7. Perda 7. Perda Kab/
lainnya: Kota
permen,
instrumen dll
Tabel 1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

21 A. Hamid. S. Attamimi, Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurung Waktu,
Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 287.
14
UU Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

A. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

B. APABILA TIDAK SESUAI HIERARKI?


Pasal 9
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

15
D. Dasar filososfis, yuridis, dan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan
“Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. ”

1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-
Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang
lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi,


atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya
ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
16
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Kajian terhadap Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat kondisi hukum


yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan
Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari
Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap
berlaku karena tidak bertentangan dengan UndangUndang atau Peraturan Daerah yang baru.
Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi
hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi
yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan
Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan
Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau
uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah

17
Perihal norma dan Hierarki Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
Seri Kuliah Teknik Penyusunan UU| Pertemuan I

Nunik Nurhayati, SH., MH.


Materi
A.Perihal norma
B.Norma Hukum
C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia
D.Dasar filososfis, yuridis, dan sosiologis dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan
A. Perihal Norma

Pengertian Norma
bahasa Belanda 'norm': pedoman, atau pokok kaidah.
bahasa latin, 'mos' jamak: mores : tata kelakuan, adat istiadat, atau kebiasaan.

NORMA : kaidah yang menjadi sebuah petunjuk, pedoman untuk seseorang


dalam bertindak atau tidak, serta bertingkah laku dalam kehidupan di
lingkungan masyarakat, seperti norma kesopanan, norma hukum, serta norma
agama.
Pengertian Norma Menurut Para Ahli:

a. Hans Kelsen: norma merupakan perintah yang secara tidak personal serta
anonim.
b. Soerjono Soekano: Norma merupakan perangkat agar hubungan yang terjadi
antar sesama dalam kehidupan bermasyarakat dapat terjalin dengan baik.
c. Antony Gidden: Norma merupakan aturan atau prinsip yang konkret yang
mana seharusnya dapat untuk dijaga serta diperhatikan oleh masyarakat.
d. Broom & Selznic : Norma ialah rancangan yang sudah ideal mengenai perilaku
manusia yang mana memberikan batasan untuk anggota-anggota masyarakat
guna mendapatkan tujuan hidupnya.
Macam-macam Norma, dibedakan berdasarkan

a. Sifat
b. daya atau kekuatan pengikat norma tersebut,
c. norma yang berlaku dalam kehidupan sosial
masyarakat.
Norma berdasarkan sifatnya :

1) Norma Formal :. aturan dibuat oleh lembaga atau institusi yang sifatnya resmi atau
formal sehingga mempunyai rasa kepercayaan yang lebih tinggi mengenai
kemampuannya untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Contoh: perintah
presiden, konstitusi, peraturan pemerintah, surat keputusan, dan lain sebagainya.
2) Norma Non formal : aturan yang tidak diketahui tentang siapa dan bagaimana yang
menerangkan mengenai norma tersebut. Ciri-ciri : tidak tertulis atau jika tertulis
hanya sebagai sebuah karya sastra, bukan dalam bentuk aturan yang baku yang
disertakan dengan pembuat aturan itu sendiri. Norma non formal mempunyai
jumlah yang lebih banyak.
Norma menurut daya pengikatnya:

1) Cara (usage): bentuk perbuatan pada hubungan yang terjadi antarindividu. Penyimpangan yang
terjadi tidak akan mendapatkan sanksi, hanya sekedar celaan, ejekan, atau cemoohan. Contoh:
bersendawa
2) Kebiasaan (Folkways): tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dan dalam bentuk yang
sama, karena orang tersebut menyukai tindakan yang dilakukannya. sifatnya mengikat lebih
tinggi dibandingkan dengan cara atau usage. Contoh: kebiasaan untuk menghormati orang yang
lebih tua.
3) Tata Kelakuan (Mores), Apabila kebiasaan tidak semata-mata dianggap sebagai suatu cara
dalam berperilaku, namun dapat diterima sebagai norma pengatur, kebiasaan tersebut dapat
menjadi tata kelakuan (mores). di satu pihak dapat memaksakan sebuah tindakan, sedangkan di
lain pihak adalah larangan sehingga secara langsung dapat menjadi suatu alat agar masyarakat
dapat menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan individu.
4) Adat Istiadat (Custom). Tata kelakuan yang terintegrasi kemudian menjadi kuat dengan
adanya pola perilaku masyarakat dapat meningkat menjadi sebuah adat istiadat (custom).
Apabila terdapat salah satu anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat tersebut akan
mendapat suatu sanksi atau hukuman yang keras.
Norma yang berlaku dalam sebuah lingkungan masyarakat.

1) Norma Agama adalah kaidah-kaidah atau peraturan hidup yang dasar sumbernya dari
wahyu ilahi sebagai suatu aturan hidup yang harus diterima manusia dan dijadikan
sebagai pedoman, baik itu sebagai perintah, larangan, serta ajaran yang sumbernya dari
Tuhan Yang Maha Esa
2) Norma Kesusilaan: peraturan hidup yang dianggap sebagai suatu suara hati sanubari
manusia atau insan kamil. Norma Kesusilaan bersumber dari hati nurani, fungsinya
mengatur hubungan manusia dalam hidup soisial agar manusia itu bersusila sesuai
dengan tingkah laku yang diinginkan masyarakat.
3) Norma Kesopanan/Adat: Landasannya kepantasan, kebiasaan, serta kepatuhan yang
berlaku pada masyarakat tersebut, bersumber dari tata pergaulan masyarakat mengenai
etika sopan santun, serta tata krama yang ada dalam masyarakat untuk mengatur
hubungan manusia dngena manusia lainnya agar tingkah laku manusia itu teratur
4) Norma Hukum sumbernya dari negara atau pemerintah, dibuat oleh pejabat pemerintah
yang memiliki wewenang dengan tertulis serta sistematika tertentu. Bersifat memaksa.
Fungsi Norma
a. pedoman atau aturan hidup untuk seluruh masyarakat di wilayah tertentu.
b. Memberikan keteraturan dan stabilitas dalam kehidupan bermasyarakat.
c. menciptakan suasana yang tertib.
d. wujud konkret terhadap berbagai nilai di masyarakat.
e. Mengikat seluruh warga masyarakat, karena fungsi norma disertai dengan
adanya sanksi bagi yang melanggar.
f. skala atau standar dari seluruh kategori tingkah laku masyarakat.
g. batasan yaitu berupa larangan atau perintah dalam berperilaku dan
bertindak.
h. Memaksa individu dalam menyesuaikan dan beradaptasi dengan norma-
norma yang berlaku serta menyerap nilai-nilai yang diharapkan.
B. NORMA HUKUM
Prof. Mr. L.J. Van Apeldoorn dalam bukumnya “Inleiding tot de studie het Nederland
Recht” : tidak Mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut
HUKUM. Hampir semua sarjana HUKUM memberian pembatasan/pengertian
mengenai HUKUM yang berlainan.

1. CST Kansil memberikan definisi hukumnya sebagai berikut : HUKUM


adalah peraturan hidup yang bersifat memaksa.
2. Plato : hukum merupakan sebuah peraturan yang teratur dan tersusun
dengan baik serta juga mengikat terhadap masyarakat maupun
pemerintah.
3. Tullius Cicerco : hukum merupakan sebuah hasil pemikiran atau akal yang
tertinggi yang mengatur mengenai mana yang baik dan mana yang tidak.
4. Utrecht : hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan
larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang
seharusnya ditaati oleh anggota
“Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh
lembaga yang berwenang berdasarkan aspirasi
rakyat dengan tujuan untuk mengatur tingkah
laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan,
mencegah terjadinya kekacauan dan menyediakan
sanksi bagi pelanggarnya. “
Dari pemahaman pembatasan/pengertian hukum tersebut, maka tidak akan lepas dari
Tujuan Hukum itu sendiri. Ada beberapa teori tentang tujuan hukum, yaitu antara lain:

1. Teori Etika/Etis: Yaitu tujuan hukum semat-mata untuk


mencapai keadilan
2. Teori Utilitas: Yaitu hukum itu bertujuan untuk memanfaatan
atau faedah untuk orang banyak dalam masyarat.
3. Teori Campuran: Teori ini merupakan gabungan antara teori
etis dan utilitas, yaitu yang menyatakan tujuan hukum tidak
hanya untuk keadilan sematat tetapi untuk kemanfaatan orang
banyak.
4. Teori Terakhir: Yaitu tujuan hukum itu semestinya ditekankan
kepada fungsi hukum yang menurtnya hanya untuk menjamin
kepastian hukum.
Ciri-ciri hukum:
1. Adanya perintah dan/ atau larangan;
2. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap orang.

Unsur-unsur Hukum:
1. Peraturan menganai tingkah laku manusia dengan pergaulan
masyarakat;
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3. Peraturan itu bersifat memaksa;
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas;
5. Adanya proses untuk mewujudkan kaidah dan asas yang
tertulis/tidak tertulis.
Tujuan hukum adalah menegakkan keadilan, membuat pedoman, dan bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan. Hukum
menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is
verboden), tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap pelanggaran hukum terhadap dirinya.
Namun melalui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

“Fiat justitia ruat caelum, i'dilụ huwa aqrabu lit-taqwā wattaqullāh..”


Dimana Bumi Dipijak, di Situlah Langit Dijunjung. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa.

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (Q.S Al-Maidah:8)
C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Pemikiran tentang hierarki peraturan perundang-undangan, merupakan akibat dari


pengaruh pemikiran tentang hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan
teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie).

Hans Kelsen: norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber,
dan berdasar pada norma norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif,
yaotu norma dasar (grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam
sistem norma tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma
dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang
merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya sehingga suatu norma
dasar itu dikatakan pre-supposed.
setiap norma hukum memiliki unsur paksa, baik pada sisi penataan,
maupun sisi penerapannya, dan untuk ini diperkenalkan unsur sanksi.
Makna validitas norma hukum adalah bahwa setiap materi muatan norma
hukum memiliki daya ikat dan paksa bagi subjek hukum tertentu dalam
melakukan setiap perbuatan hukum, sedangkan norma hukum, berarti
segi penerapan materi hukum oleh organ yang memiliki otoritas untuk
menerapkan suatu norma hukum.

suatu norma yang validitasnya hanya dapat diperoleh dari norma yang
lebih tinggi, Kelsen menyebut “norma dasar (grundnorm)”. Grundnorm
menyerupai sebuahh pengandaian tentang ‘tatanan’ yang hendak
diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara). Grundnorm
merupakan syarat tansendental-logis bagi berlakunya seluruh tata hukum.
Grundnorm merupakan rujukan dari setiap pembentukan norma, sehingga berfungsi
sebagai sumber utama dan merupakan pengikat di antara norma-norma yang berbeda,
dalam membentuk suatu tata normatif. Dalam pandangan ini, apabila suatu norma masuk
dalam suatu norma tertentu, validitas atas norma tersebut dapat di uji oleh grundnorm
tersebut. Selain itu, grundnorm juga sebagai gantungan bagi norma yang ada di bawahnya.
Artinya, ketika grundnorm itu dicabut maka tercabutlah norma-norma yang ada di
bawahnya.

Teori jenjang norma Hans Kelsen diatas dikembangkan oleh Hans Nawiasky, dalam
bukunya algemeine rechtslehre. sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum
dari negara mana pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana norma yang
di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai
pada suatu norma yang tertinggi disebut norma dasar.
Menurut Hans Nawiasky, Selain norma berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum
juga berkelompok-kelompok.

Kelompok I: staatsfundamentalnorm (norma


fundamental dasar)
Kelompok II: staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok
negara)
Kelompok III: formell gesetz (undang-undang ‘fomal’)
Kelompok IV: verordnung & autome satzung (aturan
pelaksana & aturan otonom)
Teori Jenjang Norma Hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky tersebut sangat mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Menurut Hamid S
Atamimi, hierarki tata hukum dalam membentuk sistem hukum Indonesia sbb:

1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan Undang-


Undang Dasar 1945)
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945,
Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan,
3. Formell gesetz: Undang-Undang,
4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari
PeraturanPemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
UU. No. 1/ Tap MPRS No. Tap MPR No. UU No. 10/ UU No. 12/ UU No.15/
1950 XX/MPRS?196 III/MPR/2000 2004 2011 2019
6
1. UU dan 1. UUD 1945 1. UUD 1945 1. UUD 1. UUD 1945 Tidak ada
Perppu 2. Tap MPR 2. Tap MPR 1945 2. Tap MPR perubahan,
2. PP 3. UU/Perppu 3. UU 2. UU 3. UU/Perpp tetap ps.7 UU
3. Permen 4. PP 4. Perpu /Perppu u N0.12/2011
5. Kepres 5. PP 3. PP 4. PP
6. Peraturan 6. Kepres 4. Perpres 5. Perpres
pelaksana 7. Perda 5. Perda 6. Preda Prov
lainnya: 7. Perda
permen, Kab/ Kota
instrumen
dll
UU Nomor 12 Tahun 2011

A. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.
APABILA TIDAK SESUAI HIERARKI?

Pasal 9
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan
Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
D. Dasar filososfis, yuridis, dan sosiologis dalam pembentukan Peraturan Per-UU-an

Pokok pikiran pada


konsiderans
(menimbang)
Undang–Undang,
Perda Provinsi, atau
Perda
Kabupaten/Kota
memuat unsur
filosofis, sosiologis,
dan yuridis yang
penulisannya
ditempatkan secara
berurutan.
Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi
suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk


memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk


mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat
Te r i m a k a s i h
Asas-asas Pembentukan
Peraturan Perundang-
undangan

Labib Muttaqin, S.H., M.H.


Negara Hukum Indonesia
Penjelasan UUD 1945 Sebelum Amandemen
Negara Indonesia berdasar atas hukum, (rechtsstaat), tidak berdasarkan
01 kekuasaan belaka (Machtsstaat).

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Pasca Amandemen


02 Indonesia adalah negara hukum

Sisi Penyelenggara Negara


Segala sesuatu tindakan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
03 (dalam arti luas mencakup legislatif, eksekutif, dan yudikatif) harus
didasarkan atas PUU

04 Sisi Warga Negara


Warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus berdasarkan
PUU.
Sistem Hukum Nasional
Dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional
yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin
perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUDNRI Tahun 1945

Kebutuhan Hukum Pembentukan Hukum Sistem Hukum Nasional


Negara berkewajiban memenuhi Diperlukan pembentukan PUU yang Sistem hukum nasional adalah keseluruhan
kebutuhan masyarakat atas dilaksanakan dengan cara dan kaedah-kaedah hukum yang merupakan
Peraturan Perundang-undangan metode yang pasti, baku, dan satu kesatuan yang teratur, dan terdiri dari
(PUU) yang baik. standar yang mengikat semua sejumlah sub sistem (misal-nya sub sistem
lembaga yang berwenang HTN, HAN, HK Pidana, HK Perdata,
membentuk PUU Hukum Dagang dll), yang saling berkaitan
dan saling pengaruh mempengaruhi.
Pasal 1 angka 2
UU No. 15 Tahun 1 Peraturan tertulis
2019

PUU adalah peraturan 2 Memuat norma hukum


tertulis yang memuat
norma hukum yang
mengikat secara umum dan 3 Mengikat secara umum
dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang
4 Lembaga yang berwenang;
melalui prosedur yang
ditetapkan dalam PUU.
5 Prosedur sesuai dengan PUU
Pasal 1 angka 1
UU No. 15 Tahun 1 Perencanaan
2019

Pembentukan PUU adalah 2 Perumusan


pembuatan PUU yang
mencakup tahapan
perencanaan, perumusan, 3 Pembahasan
pembahasan, pengesahan
atau penetapan,
pengundangan.
4 Pengesahan atau penetapan

5 Pengundangan
Jenis & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 7 UU No. 12 UUD


Tahun 2011
TAP MPR RI

Kekuatan hukum peraturan


perundang-undangan
UU/PERPPU
sesuai dengan hiererki tsb.

PERATURAN PEMERINTAH

PERATURAN PRESIDEN

PERDA PROVINSI

PERDA KAB/KOTA
Jenis Peraturan Perundang-undangan Lain
(Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011)

(1) (2)
Jenis PUU selain sebagaimana PUU sebagaimana dimaksud pada
dimaksud pada ayat (1) mencakup ayat (1) diakui keberadaannya dan
peraturan yang ditetapkan oleh MPR, mempunyai kekuatan hukum
DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, mengikat sepanjang diperintahkan
Menteri, badan, lembaga, atau oleh Peraturan Perundang-undangan
komisi yang setingkat yang dibentuk yang lebih tinggi atau dibentuk
dengan UU atau Pemerintah atas berdasarkan kewenangan
perintah UU, DPRD Provinsi, DPRD
Kb/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
Asas-asas pembentukan PUU yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam Handboek Wetgeving
FORMIL MATERIIL
Asas tujuan yang jelas Asas terminologi dan sistematika yang benar
(beginsel van duidelijke doelstelling) (het beginsel terminologie en duidelijke systematiek)

Asas organ/lembaga yang tepat Asas dapat dikenali


(beginsel van het juiste orgaan) (het beginsel van de kenbaarheid)

Asas kedesakan pembuatan pengaturan Asas perlakuan yang sama dalam hukum
(het noodzakelijkheidsbeginsel) (hetechtsgelijkheidsbeginsel)

Asas kedapatlaksanaan Asas kepastian hukum


(het beginsel van uitvoerbaarheid) (het rechtszekerheidsbeginsel)

Asas konsensus Asas pelaksanaan hukum individual


(het beginsel van de consensus) (het beginsel van de individuele rechtsbedeling)
Pasal 5 UU No.
12 Tahun 2011
Kejelasan
tujuan

Kelembagaan
Keterbukaan atau pejabat
pembentuk yg
tepat

Asas
Pembentukan
Kejelasan
PUU Kesesuaian
antara jenis,
rumusan hierarki, dan
materi
muatan

Kedayagunan Dapat
dan kehasil- dilaksanakan
gunaan
Pasal 6 UU No. Selain mencerminkan asas
12 Tahun 2011 umum, PUU tertentu dapat berisi
asas lain sesuai dengan bidang
hukum PUU ybs.
ASAS MATERI MUATAN

Pengayoman Kemanusiaan Kebangsaan Kekeluargaan

Kesamaan
Kenusantaraan Bhinneka Keadilan Kedudukan
Tunggal Ika dalam Hukum &
Pemerintahan

Keseimbangan,
Ketertiban & Keserasian, &
Kepastian Hk Keselarasan
Terima kasih
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Mekanisme, Syarat, dan Teknik Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang Baik
Pertemuan III Seri Kuliah Teknik Penyusunan UU

Nunik Nurhayati,S.H.,M.H
Fakultas Hukum UMS

1
DAFTAR PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN
2. Mekanisme Pembentukan
a. Undang-Undang
b. Peraturan Daerah
3. Syarat Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang Baik
4. Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang Baik

2
PENDAHULUAN
Peraturan perundang-undangan:
peraturan tertulis
memuat norma hukum
mengikat secara umum
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.

3
Disebut “teknik” karena
• perancang UU = arsitek bangunan
• memiliki rasa seni
• memiliki pengetahuan
• keterampilan khusus bagaimana mendesain suatu
bangunan sehingga di samping dapat memenuhi
aspek keamanan bangunan, juga aspek kenyamanan
dan keindahan bangunan.

4
TAHAPAN Pembentuan Peraturan Per-UUan
• Perencanaan >> Prolegnas dan prolegda (skala prioritas
Program)
• Penyusunan >> dapat berasal dari eksekutif atau legislatif.
• Pembahasan dan Pengesahan >> dilakukan oleh eksekutif
bersama legislatif, apabila sdh disetujui bersama disampaikan
oleh Pimpinan legislatif kepada pimpinan eksekutif untuk
disahkan menjadi Undang-Undang.
• Pengundangan >> Lembaran Negara, Tambahan Lembaran
Negara , Tambahan Berita (setiap orang dianggap telah
mengetahuinya)
• Penyebarluasan >> dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak
penyusunan Prolegnas, Penyusunan Rancangan UU,
Pembahasan, hingga Pengundangan Undang-Undang untuk
memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat serta pemangku kepentingan.

5
Mekanisme Pembentukan UU
Dasar Hukum
• UUD 1945
a. Pasal 5 ayat (1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat
b. Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk UU ada pada Dewan
Perwakilan Rakyat. Ayat (2) bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU)
dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
• UU 12/2011 jo UU 15/2019
a. Pasal 16 UU 12/2011 s.d. Pasal 23 UU 15/2019
b. Pasal 43 UU 12/2011 s.d. Pasal 51 UU 12/2011
c. Pasal 65 UU 12/2011 s.d. Pasal 74 UU 12/2011.
• UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (UU MD3) dan perubahannya.
Pasal 162 UU MD3 s.d. Pasal 173 UU MD3.

6
Alur/ Proses Pembentukan Undang-Undang
• Perencanaan>> Prolegnas. Disusun oleh DPR, DPD, dan pemerintah
untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan RUU. [Pasal 16 UU 12/2011 jo. Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU
15/2019]
• RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD. [Pasal 163 ayat (1) UU
MD3]
• RUU dilengkapi dengan naskah akademik, [ Pasal 43 ayat (3) dan (4) UU
12/2011]
• RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau
Badan Legislasi. [Pasal 164 ayat (1) UU 17/2014 jo UU 2/2018]
• RUU dari presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR.
Apabila usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, pimpinan DPR
menyampaikannya kepada pimpinan DPD. [Pasal 165 UU MD3]
• RUU dari DPD. RUU beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis
oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR. [ Pasal 166 ayat (1) dan (2) UU
MD3]

7
• Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. [Pasal 168 UU MD3]
a. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat
Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. [Pasal 169 huruf a UU MD3]. Kegiatan dalam pembicaraan
tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian
pendapat mini. [Pasal 170 ayat (1) UU MD3
b. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi: [Pasal 171 ayat (1) UU MD3]
• penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil
pembicaraan tingkat I;
• pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta
oleh pimpinan rapat paripurna; dan
• pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.
• Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
[Pasal 171 ayat (2) UU MD3]
• RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk
disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan
dalam Lembaran Negara [Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1), (3), dan (4) UU 12/2011]
• Apabila RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan [pasal 73
ayat 92) UU 12/2011]
• Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah [pasal 88 UU 12/2011]

8
Mekanisme Pembentukan Perda
• Peraturan Daerah Provinsi: dibentuk DPRD Provinsi dengan persetujuan
bersama Gubernur.
• Peraturan Daerah Kabupaten : dibentuk DPRD Kabupaten dengan
persetujuan bersama Bupati
• Peraturan Daerah Kota : dibentuk DPRD Kota dengan persetujuan
bersama Walikota.
• Perda:
a. Penyelenggaraan Otda dan Tugas Pembantuan
b. penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundangundangan yang lebih
tinggi
c. Menampung kondisi khusus daerah.
• Untuk membuat Perda yang baik perlu diperhatikan Sistematika
penyusunan Perda dan Materi-materi muatan Perda dengan
memperhatikan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU Nomor 23 Tahun 2014,
dan UU lain yang terkait.

9
Alur Penyusunan Perda
• Perencanaan >> Prolegda : daftar judul Rancangan Peraturan Daerah, materi yang
diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya dalam
jangka waktu 1 tahun berdasarkan skala prioritas
• Penyusunan >> dapat berasal dr eksekutif (Gub,bupati, walikota) dan legislatif (DPRD
prov, Kab/kota)
• Pengharmonisasian >> Raperda dari DPRD oleh alat kelengkapan DPRD /baleg.
Raperda dari Gubernur/Bupati/walikota dikoordinasikan oleh biro hukum
• Pembahasan >> dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Yang dilakukan dalam
rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang
legislasi dan rapat paripurna. Dilaksanakan oleh:
• Perda Prov: DPRD Provinsi bersama Gubernur
• Perda Kabupaten: DPRD Kabupaten bersama Bupati
• Perda Kota: DPRD Kota bersama Walikota
• Pembahasan bersama Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh
DPRD dan Gubernur/Bupati/Walikota berdasarkan persetujuan bersama.

10
• Raperda yang telah disetujui bersama disampaikan oleh:
• Pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan
Daerah Provinsi.
• Pimpinan DPRD Kabupaten kepada Bupati untuk ditetapkan menjadi Peraturan
Daerah Kabupaten
• Pimpinan DPRD Kota kepada Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah
Kota
• Penyampaian Raperda dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama kemudian ditetapkan oleh Gubernur/ Bupati/
Walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak raperda tersebut disetujui bersama
• Apabila Raperda tidak ditandatangani oleh Gubernur/Bupati/Walikota dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama, raperda
tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan.
• Pengundangan dalam Lembaran Daerah Penyebarluasan
• Penyebarluasan Peraturan Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota

11
Syarat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik

• Dibentuk oleh Lembaga Negara atau Pejabat yang berwenang yang


mendapat atribusi atau Delegasi;
• Dirumuskan secara sistimatis dan jelas sehingga dapat memberikan
kepastian hukum;
• Tidak tumpang tindih atau kontradiktif dengan peraturan Perundang-
Undangan yang lain baik secara vertikal maupun secara horizontal;
• Bisa langsung diterapkan untuk menyelesaikan masalah hukum yang
diatur dalam arti berdaya guna dan berhasil guna;
• Tidak menimbulkan gejolak baik secara politis maupun secara
sosiologis.
Selain hal diatas, juga harus mempertimbangkan:
• Pertimbangan filosofis • Pertimbangan Ekologis
• Pertimbangan yuridis • Pertimbangan Ekonomis
• Pertimbangan Politis • Pertimbangan Kultural
• Pertimbangan Sosiologis • Pertimbangan Religiousitas

12
Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik

• Ketepatan Struktur
• Ketepatan perimbangan
• Ketepatan Dasar hukum
• Ketepatan bahasa hukum

13
14
Fungsi dan Materi
Muatan Peraturan
Perundang-undangan
di Indonesia

Labib Muttaqin, S.H., M.H.


Jenis & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 7 UU No. 12 UUD


Tahun 2011
TAP MPR RI

Kekuatan hukum peraturan


perundang-undangan
UU/PERPPU
sesuai dengan hiererki tsb.

PERATURAN PEMERINTAH

PERATURAN PRESIDEN

PERDA PROVINSI

PERDA KAB/KOTA
Jenis Peraturan Perundang-undangan Lain
(Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011)

(1) (2)
Jenis PUU selain sebagaimana PUU sebagaimana dimaksud pada
dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) ayat (1) diakui keberadaannya dan
mencakup peraturan yang ditetapkan mempunyai kekuatan hukum
oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, mengikat sepanjang diperintahkan
BI, Menteri, badan, lembaga, atau oleh Peraturan Perundang-undangan
komisi yang setingkat yang dibentuk yang lebih tinggi atau dibentuk
dengan UU atau Pemerintah atas berdasarkan kewenangan
perintah UU, DPRD Provinsi, DPRD
Kb/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
Fungsi PUU Fungsi Umum Fungsi Khusus
Sebagai instrumen Sebagai penentu atau
hukum suatu negara/ petunjuk mengenai
pemerintahan, untuk sistem ketatanegaraan
mengatur segala yang dianut oleh suatu
dimensi yang berkaitan Negara/ pemerintahan
dengan kehidupan
berbangsa dan
bernegara serta dalam
penyelenggaraan suatu
Negara/ pemerintahan
Pasal 6 UU No. Selain mencerminkan asas
12 Tahun 2011 umum, PUU tertentu dapat berisi
asas lain sesuai dengan bidang
hukum PUU ybs.
ASAS MATERI MUATAN

Pengayoman Kemanusiaan Kebangsaan Kekeluargaan

Kesamaan
Kenusantaraan Bhinneka Keadilan Kedudukan
Tunggal Ika dalam Hukum &
Pemerintahan

Keseimbangan,
Ketertiban & Keserasian, &
Kepastian Hk Keselarasan
Fungsi dan Materi Muatan UUD 1945
• Beradasarkan Alinea ke – 4 pembukaan UUD 1945, dapat disimpulkan
bahwa fungsi UUD 1945 adalah
a) Menyatakan pembentukan suatu pemerintahan Indonesia
b) Menyatakan penyusunan kemerdekaan kebangsaan Indonesia
yang terbentuk dalam suatu susunan NRI
• Norma dalam UUD 1945 merupakan norma fundamental negara
(state fundamental norm) yang merupakan landasan filosofis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara
• Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011: Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan
Kedudukan dan Materi Muatan TAP MPR
MATERI MUATAN
UU PERPPU PP PERPRES

pengaturan lebih lanjut Materi muatan PERPPU sama Materi untuk menjalankan materi yang
mengenai ketentuan UUDNRI dengan materi muatan UU. UU sebagaimana diperintahkan oleh UU
Tahun 1945; mestinya.
Dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, → untuk melaksanakan
perintah suatu UU untuk perintah UU atau untuk
diatur dengan UU; menjalankan UU sepanjang materi untuk
Putusan MK No. 138 Tahun
diperlukan dengan tidak melaksanakan PP;
2009:
menyimpang dari materi yg atau
pengesahan perjanjian • Ada masalah hukum yang diatur dlm UU ybs.
internasional tertentu; perlu tangani secara cepat
• Ada kekosongan
hukum/ada hukum tapi
tindak lanjut atas putusan tidak memadai
Mahkamah Konstitusi • Kekosongan hukum tersebut materi untuk
tidak bisa diatas dengan melaksanakan
Pembentukan UU, karena penyelenggaraan
Pemenuhan kebutuhan memakan waktu yang lam kekuasaan
hukum dalam masyarakat. pemerinthan.
MATERI MUATAN PERDA

Perda Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan Perda Kab/kota adalah Peraturan Perundang-
yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan undangan yang dibentuk oleh DPRD Kab/Kota dengan
bersama Gubernur persetujuan bersama Bupati/Walikota

Materi muatan Perda Prov dan Perda Kab/Kota:


- penyelenggaraan Otda dan tugas pembantuan
- menampung kondisi khusus daerah; dan/atau
- penjabaran lebih lanjut PUU yang lebih tinggi.
Ps. 14 UU 12/2011

Perda memuat materi muatan:


a. penyelenggaraan Otda dan Tugas Pembantuan;
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan PUU yang
lebih tinggi.
Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ps. 236 UU 23/2014
Terima kasih
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Prolegnas dan Prolegda

Perencanaan RUU melalui


Prolegnas
Sistem Hukum Nasional
Dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional
yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin
perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUDNRI Tahun 1945

Kebutuhan Hukum Pembentukan Hukum Sistem Hukum Nasional


Negara berkewajiban memenuhi Diperlukan pembentukan PUU yang Sistem hukum nasional adalah keseluruhan
kebutuhan masyarakat atas dilaksanakan dengan cara dan kaedah-kaedah hukum yang merupakan
Peraturan Perundang-undangan metode yang pasti, baku, dan satu kesatuan yang teratur, dan terdiri dari
(PUU) yang baik. standar yang mengikat semua sejumlah sub sistem (misal-nya sub sistem
lembaga yang berwenang HTN, HAN, HK Pidana, HK Perdata,
membentuk PUU Hukum Dagang dll), yang saling berkaitan
dan saling pengaruh mempengaruhi.
Pasal 1 angka 1
UU No. 15 Tahun 1 Perencanaan
2019

Pembentukan PUU adalah 2 Penyusunan


pembuatan PUU yang
mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, 3 Pembahasan
pembahasan, pengesahan
atau penetapan,
pengundangan.
4 Pengesahan atau penetapan

5 Pengundangan
1. Penyusunan NA

5. Perencanaan 2. Penyusunan
Penyusunan RUU di Prolegnas Jangka
Luar Prolegnas Menengah

PERENCANAAN
RUU

3. Penyusunan
4. Penyusunan RUU
Prolegnas Prioritas
Kumulatif Terbuka
Tahunan
Prolegnas adalah instrumen perencanaan program
pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana,
terpadu dan sistematis
(Ps 1 angka 9 UU No. 12 Th 2011)

Prolegnas merupakan skala prioritas program pembentukan


Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum
nasional.
(Ps 17 UU No. 12 Th 2011)

Prolegnas Prolegnas RUU


Jangka Prioritas
Menengah Tahunan
Daftar RUU 5 Daftar RUU
Tahunan Tahunan

Daftar
Kumulatif
Terbuka
mien-2015
Fungsi Prolegnas

• Memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum dibidang


pembentukan undang-undang.
1

• Menyusun skala prioritas penyusunan RUU sebagai program yang


berkesinambungan dan terpadu sehingga dapat menjadi pedoman bagi
2 lembaga yang berwenang membentuk undang-undang.

• Sebagai sarana untuk mewujudkan sinergi antarlembaga dalam


pembentukan undang-undang.
3

• Sebagai deteksi dini untuk mencegah tumpang tindih peraturan


perundang-undangan.
4

6
DASAR PENYUSUNAN PROLEGNAS

 Penyusunan dan penetapan


1. Perintah UUDNRI Tahun 1945 5. RPJPN Prolegnas jangka menengah
dilakukan pada awal masa
keanggotaan DPR;
 Prolegnas jangka menengah
2. Perintah TAP MPR 6. RPJMN dapat dievaluasi setiap akhir
tahun bersamaan dengan
penyusunan dan penetapan
Prolegnas prioritas tahunan;
3. Perintah UU lainnya 7. RKP  Penyusunan dan penetapan
Prolegnas prioritas tahunan
sebagai pelaksanaan Prolegnas
8. Aspirasi dan kebutuhan jangka menengah dilakukan
4. SPPN hukum masyrakat setiap tahun sebelum
penetapan RUU APBN
Penyusunan Prolegnas
Mekanisme Penyusunan
Prolegnas
Penyusunan RUU Kumulatif Terbuka

1. Pengesahan perjanjian internasional tertentu

2. Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi

3. APBN

4. Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan


daerah Provinsi dan/atau Kab/Kota

5. Penetapan/ Pencabutan Perppu


Penyusunan RUU Di Luar Prolegnas

1. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan


konflik, dan bencana alam

2. keadaan tertentu lainnya yang memastikan


adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang
dapat disetujui bersama Baleg dan Menkum

Pemrakarsa mengajukan Pemrakarsa menyampaikan Menkum mengajukan usul


izin prakarsa kpd Presiden + kpd Menkum usulan RUU di RUU di luar Prolegnas kpd
disertai dgn penjelasan luar Prolegnas Pimpinan DPR melalui Baleg
konsepsi pengaturan RUU  dgn melampirkan izin untuk dimuat dlm Prolegnas
 Jika disetujui RUU prakarsa + dokumen Prioritas Tahunan
disusun kesiapan teknis
Perencanaan Raperda
melalui Prolegda
PASAL 40 UU NO. 12 TAHUN 2011

Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan


Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal
38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap
perencanaan penyusunan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Pengertian Prolegda

instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan


Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
(Ps 1 angka 10 UU No. 12 Th 2011)

mien-2015
DASAR PENYUSUNAN PROLEGDA

1. Perintah PPU lebih tinggi;

 Penyusunan Prolegda dilaksanakan


2. Rencana Pembangunan Daerah; oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.
 Prolegda ditetapkan untuk jangka
waktu 1 tahun berdasarkan skala
prioritas pembentukan Raperda.
3. Penyelenggaraan otda dan tugas pembantuan  Penyusunan dan penetapan Prolegda
dilakukan setiap tahun sebelum
penetapan Raperda tentang APBD.

4. Aspirasi masyarakat daerah.


Penyusunan Prolegda
Prolegda memuat:
• judul Raperda,
• materi yang diatur,
• keterkaitannya dengan PPU lainnya.

Materi Raperda meliputi:


• latar belakang dan tujuan penyusunan
• sasaran yang ingin diwujudkan
• pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur
• jangkauan dan arah pengaturan
Penyusunan Raperda Kumulatif
Terbuka
Provinsi:
• Akibat putusan Mahkamah Agung
• APBD Provinsi

Kabupaten/Kota
• Akibat putusan Mahkamah Agung
• APBD Kabupaten/Kota
• pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan
atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan Desa atau nama lainnya
Penyusunan Raperda Di Luar Prolegda

1. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan


konflik, atau bencana alam;

2. akibat kerja sama dengan pihak lain

3. keadaan tertentu lainnya yang memastikan


adanya urgensi atas suatu Raperda yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani bidang legislasi dan biro
hukum.
Terima kasih
Wasslamu’alaikum

Anda mungkin juga menyukai