Kata norma berasal dari bahasa Belanda, yaitu “Norm” yang artinya patokan,
pedoman atau pokok kaidah. Namun beberapa pendapat mengatakan bahwa
istilah norma berasal dari bahasa latin, “Mos” yang artinya kebiasaan, tata
kelakuan, atau adat istiadat.
Bagi Robert Mz. Lawang, arti norma yaitu gambaran mengenai apa yang
diinginkan baik dan pantas sehingga sejumlah angggapan yang baik dan perlu
dihargai sebagaimana mestinya.
6. Broom dan Selznic
Dan menurut Craig Calhoun, pengertian norma yaitu pedoman atau aturan
yang menyatakan mengenai bagaimana seseorang supaya bertindak dalam
situasi-situasi tertentu.
Ciri-Ciri Norma
Untuk mengenali norma yang berlaku di masyarakat kita dapat memperhatikan
karakteristiknya. Berikut ini merupakan beberapa ciri-ciri norma:
Berfungsi sebagai pelengkap norma lain dengan sanksi yang tegas dan nyata.
Berfungsi mengatur berbagai hal yang belum ada pada norma lain.
Dalam norma agama juga terdapat sanksi yaitu berupa hukuman di akhirat.
Dengan kata lain, sanksi norma agama tidak langsung diberikan, namun akan
diberikan setelah manusia meninggal dunia. Contoh dari Norma Agama:
Norma kesusilaan adalah aturan atau pedoman hidup yang dianggap sebagai
suara dari sanubari manusia yang berhubungan dengan baik-buruknya suatu
perbuatan. Untuk norma kesusilaan biasanya pemberian sanksi bersifat tidak
tegas.
Bentuk sanksi norma kesusilaan biasanya lebih banyak pada rasa malu, rasa
bersalah, penyesalan atas pelanggaran. Contoh dari Norma Kesusilaan:
5. Norma Kebiasaan
Norma kebiasaan adalah aturan sosial yang terbentuk secara sadar atau pun
tidak sadar, dimana terdapat petunjuk perilaku secara terus menerus yang
akhirnya menjadi kebiasaan.
Sanksi yang diberikan kepada seorang pelanggar norma kebiasaan ini biasanya
berupa kritikan, ejekan, bahkan dikucilkan dari masyarakat. Contoh dari Norma
Kebiasaan:
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian
filsafat praktis (practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-
pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara
lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang
lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai
etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan
refleksi.Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek
dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu
lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang
normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap
perbuatan manusia.
Jenis etika
Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari
kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu,
etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan
dari filsafat. Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita
harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua
sifat etika:
Etika Teologis
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika
teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat
memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan
bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya
yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah
memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik
tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria
pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam etika Kristen,
misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-
presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan
bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.[butuh
rujukan] Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika
transenden dan etika teosentris. Etika teologis Kristen memiliki objek yang
sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia.[butuh rujukan]
Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa
yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan
kehendak Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang
diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara
agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam
merumuskan etika teologisnya.
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam
ranah etika.[butuh rujukan] Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika
ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di
atas, yaitu:[8]
Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika
teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika
filosofis.
Sintesis
Diaparalelisme
Etika Terapan
Salah satu ciri khas etika terapan sekarang ini adalah kerja sama yang erat
antara etika dan ilmu-ilmu lain. Etika Terapan tidak bisa dijalankan dengan baik
tanpa kerja sama itu, karena ia harus membentuk pertimbangan tentang
bidang yang sama sekali di luar perhatiannya.
1. Sikap Awal
2. Informasi
3. Norma-norma Moral
4. Logika
Etika Terapan harus bersifat logis juga. ini tentu tidak merupakan tuntutan
khusus bagi etika saja. Logika dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan
penalaran dan inkonsistensi yang barangkali terjadi dalam argumentasi.