Anda di halaman 1dari 14

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG TUJUAN

PENDIDIKAN

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Ilmu Alamiah Dasar
Diampu Oleh : Dr. H. Hamdani Mu’in, M.Ag

Disusun oleh :
1. Sri Winarni (093111126)
2. Masromah (093111129)
3. Soelistiyowati (093111192)
4. Isriyah (093111353)

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN

I. PENDAHULUAN
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar
dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya
memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-
institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi
tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya,
visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang
beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada
pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan
moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi.
Dari kondisi tersebut diatas hendaknya setiap institusi pendidikan Islam
mengkaji kembali tujuan pendidikan dalam Islam sehingga jelas ke arah mana
melangkah dan menuju. Untuk menjawab tujuan pendidikan dalam Islam maka
dalam makalah ini kami akan membahas beberapa ayat tentang tujuan pendidikan
dalam Islam, yaitu :
1. Surat Adz-Dzariyat ayat 56.
2. Surat Al Baqarah ayat 247.
3. Surat Al Qashash ayat 26.
4. Surat Ali Imron ayat 19.
Dengan harapan setelah pembahasan ayat-ayat tersebut, menjadi jelaslah
tujuan pendidikan dalam Islam, sehingga dapat segera dipraktekkan dalam dunia
pendidikan yang selama ini kita geluti.

II. PEMBAHASAN
1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat 56

Artinya :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat (51) : 56)

1
Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa
tujuan penciptaan jin dan manusia tidak lain hanyalah untuk
“mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam gerak langkah dan hidup
manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi kepada Allah.
Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah
agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini
sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga
dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau
anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT
semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan
beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia
adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya
akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa
yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak
keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki
kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak terbatas. Ibadah dalam
pandangan ilmu Fiqh ada dua yaitu ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru
mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang telah ditentukan oleh
Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti halnya sholat, zakat, puasa
dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya, kurang
lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk
memperoleh ridho dari Allah SWT.1
Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya
adalah termasuk dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda
Nabi SAW :
“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-
laki dan perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)

“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah


termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah)
1
Drs. H. Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1978 )
hlm. 13.

2
hingga ia sampai pulang kembali”. (H.R. Turmudzi)

Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan


hidup individu termasuk akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan
tingkah laku. Melalui pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan
oleh Allah SWT dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk
menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga
pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak hanya
dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa
peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada
zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah
terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam,
pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan
kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada
Allah.2
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu
merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh
Allah.3
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas
pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat,
ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu
mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau
disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam
untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang
benar.4
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan
serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan,
pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.5

2. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 247


2
Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung : Diponegoro, 1988), hlm. 28-
29.
3
Ibid.
4
Ibid
5
Ibid.

3
Artinya :
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah
Telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab:
“Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata:
“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya
ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2] :
247)

Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut


sebagai raja Bani Israil. Allah menceritakan kisah ini dengan sangat
indah, dimana orang yang berpendidikan dan mempunyai fisik kuatlah
yang pantas menjadi pemimpin dan melaksanakan titah sebagai khalifah
fil ardl.
Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah
SWT telah mengangkat Thalut sebagai raja. Orang-orang Bani Israil
tidak mau menerima Thalut sebagai raja dengan alasan, bahwa menurut
tradisi, yang boleh dijadikan raja itu hanyalah dari kabilah Yahudi,
sedangkan Thalut sendiri adalah dari kabilah Bunyamin. Lagi pula
disyaratkan yang boleh menjadi raja itu harus seorang hartawan, sedang
Thalut sendiri bukan seorang hartawan. Oleh karena itu secara spontan
mereka membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah kami,
padahal kami lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup untuk
menjadi raja?”

4
Nabi Syamuil menjawab bahwa Thalut diangkat menjadi raja
atas pilihan Allah SWT karena itu Allah menganugerahkan kepadanya
ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa sehingga ia mampu untuk
memimpin Bani Israil.
Karena tdak kepercayaan bani Israil tentang terpilihnya thalut
seba.gai pemimpin akhirnya timbul pertanyaan mengapa yang menjadi
pemimpin kok thalut bukan yang lain, padahal thalut bukan termasuk
keturunan, lagi pula ia juga tidak mempunyai kekayaan? Karena, adanya
perasaan bahwa merekalah yang lebih berhak terhadap kekuasaan itu
berdasarkrn kewarisan, sedangkan thalutbukan keturunan raja dikalangan
mereka. Lagi pula rnereka tidak mempunyai kekayaan yang berlimpah
sehingga ia tidak layak mewarisi. Kekayaan itu karena tidak punya ilmu,
akhirnya bani Israil menjadi pembangkang maka dalam ayat tersebut
mejelaskan bahwa ilmu dan keluasan ilmu yang dimilikinya dan mempunyai
keperkasaan jasmani akhirnya dia dipilih Allah Yang Maha Mengetahui
yang diseleksi dan semua anggota masyarakat, termasuk pemimpin yang
keberatan kepadanya.6
Dari ayat ini diambil pengertian bahwa seorang yang akan
dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah memiliki sifat-sifat
sebagai berikut :
1. Kekuatan fisik sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya
sebagai kepala negara.
2. Ilmu pengetahuan yang luas, mengetahui di mana letaknya
kekuatan umat dan kelemahannya, sehingga dapat memimpinnya
dengan penuh kebijaksanaan.
3. Kesehatan jasmani dan kecerdasan pikiran.
4. Bertakwa kepada Allah supaya mendapat taufik daripada-Nya
untuk mengatasi segala kesulitan yang tidak mungkin diatasinya
sendiri kecuali dengan taufik dan hidayah-Nya.
Manusia sebagai khalifah di bumi bisa melaksanakan amanah
memakmurkan bumi jika manusia tersebut mempunyai 4 karakter
6
M. Qurasih Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 532.

5
diatas. Karakter-karakter tersebut hanya bisa diperoleh dengan
pendidikan yang baik dan usaha yang terus menerus. Pendidikan
jasmani akan menghasilkan raga yang sehat, kuat dan tangguh.
Pendidikan rohani akan menghasilkan pengetahuan yang luas, akhlak
yang baik dan ketaqwaan kepada Sang Kholik. Kedua jenis pendidikan
ini saling terkait dan sama pentingnya untuk menghasilkan manusia-
manusia paripurna yang bisa mengemban amanat sebagai khalifah.
Adapun harta kekayaan tidak dimasukkan menjadi syarat untuk menjadi
raja (pemimpin) karena bila syarat-syarat yang empat tersebut telah
dipenuhi, maka mudahlah baginya untuk mendapatkan harta yang
diperlukan sebab Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui.
Hujair A.H. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam
dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya
pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal, yaitu
“Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis
pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup
multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas
kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-
kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang
makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh
Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal,
sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk
membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil,
damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.7

3. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 26

7
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia,
Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI, hlm. 142.

6
Artinya :
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Q.S. Al-Qashash (28) : 26)

Rupanya orang tua itu (Nabi Syuaib) tidak mempunyai anak


laki-laki dan tidak pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang
mengurus semua urusan keluarga itu hanyalah kedua putrinya saja,
sampai keduanya terpaksa menggembala kambing mereka, di samping
mengurus rumah tangga. Terpikirlah salah seorang putri itu untuk
memintanya supaya datang memenuhi undangan bapaknya alangkah
baiknya kalau Musa yang nampaknya amat baik sikap dan budi
pekertinya dan kuat tenaganya diangkat menjadi pembantu di rumah ini.
Putri itu mengusulkan kepada bapaknya angkatlah Musa itu sebagai
pembantu kita yang akan mengurus sebagian urusan kita sebagai
penggembala kambing, mengambil air dan sebagainya. Saya lihat dia
seorang yang jujur dapat dipercaya dan kuat juga tenaganya. Usul itu
berkenan di hati bapaknya, bahkan bapaknya bukan saja ingin
mengangkatnya sebagai pembantu, malah ia hendak mengawinkan
putrinya itu dengan Musa dan sebagai maharnya Musa harus bekerja di
sana selama delapan tahun dan bila Musa menyanggupi sepuluh tahun
dengan suka rela itulah yang lebih baik.
Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari
kejaran tentara Fir’aun untuk dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan
dua putri dari Nabi Syuaib dan membantunya mengambilkan air minum
untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah seorang pemuka agama dan
masyarakat di negeri Madyan. Konon Nabi Musa adalah seorang yang
gagah perkasa, kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya.
Karena sifat-sifat terpuji itulah yang membuat anak gadis Nabi Syuaib
terkesima dan Nabi Syuaib juga berencana menikahkan salah satu
diantara anak gadisnya dengan Nabi Musa.
Ibnu Taimiyah dalam bukunya as-Syiasah Asyriyyah merujuk

7
pada ayat di atas, demikian juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih
dan mengangkat Nabi Yusuf A.S sebagai kepala badan logistik negara.
“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), dia
berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari Ini menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami” (Q.S. Yusuf [12] :
54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya kedua sifat tersebut, yaitu
kuat dan dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat
mengemban tugas berat.
Pengertian kuat disini adalah kekuatan dalam berbagai aspek
dan bidang. Oleh karena itu terlebih dahulu harus dilihat bidang apa
yang akan ditugaskan kepada yang dipilih. Sedangkan kepercayaan
tersebut diatas yang dimaksud adalah integritas pribadi dari orang yang
diberi amanat. Di zaman modern sekarang ini diperlukan orang-orang
yang ahli di bidangnya masing-masing dan mempunyai integritas
pribadi yang unggul dan terpuji guna mengembangkan segala aspek
kehidupan yang lebih bermakna. Diharapkan orang mukmin
mempunyai spesialisasi tertentu di bidang iptek dan punya integritas
pribadi tangguh untuk mengembangkan ummat Islam menuju kejayaan.
Mukmin kuat dalam berbagai bidang lebih baik dibandingkan dengan
mukmin lemah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Dari Abu
Hurairah R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang
lemah, dan masing-masing mempunyai kebaikan. Gemarlah kepada hal-
hal yang berguna bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan
janganlah menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, jangan berkata:
Seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu. Tetapi
katakanlah: Allah telah mentakdirkan dan terserah Allah dengan apa
yang Dia perbuat. Sebab kata-kata seandainya membuat pekerjaan
setan.” (H.R. Muslim).

4. Kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imron [3] ayat 19

8
Artinya :
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Q.S. Ali Imron (3) : 19)

Sesungguhnya, semua agama dan syariat yang didatangkan oleh


para Nabi, ruh / intinya adalah islam (menyerahkan diri), tunduk dan
menurut. Masalah ibadah disyariatkan untuk mendidik ruh akhlak agar
si-empunya mudah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah hadits dari Qatadah,
Rasuluallah SAW mengatakan: "yang namanya islam adalah bersaksi
bahwa tiada tuhan selain Allah dan mengakui apa ynag datang dari sisi
Allah. Islam merupakan agama Allah SWT yang disyariatkan untuk
dirinya dan mengatur dengan para Rasul-Nya, dan dibuktikan oleh
kekasih-kekasih-Nya.' Allah tidak menerima selai islam, dan Allah
SWT tidaklah memberi kecuali melaluinya". Islam adalah berikrar
dengan ketahui dan disertai dengan keyakinan dan mengamalkan
syariatnya Allah SWT.
Orang-orang ahlul kitab tidak keluar dari islam yang dibawa
oleh para nabi mereka, sebagaimana sudah kami rincikan, sehhgga
mereka terpecah menjadi beberapa sekte yang saling bermusuhan dalam
beberapa masalah agama. Padahal agama adalah salah satu, tidak ada
persengketaan / pertengahan, kecuali karena kelakuan aniaya dan
melewati batas yang dilakukan para pemimpin mereka.8.
Keterangan di atas menunjukkan kedengkian dan kebencian
8
Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz 27. (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1982), hlm. 36

9
umat Yahudi dan Nasrani terhadap umat Islam pada zaman sekarang
setelah hujjah dan penjelasan datang pada mereka tentang kebenaran
Islam. Walaupun mereka diberi akal dan pengetahuan oleh Allah SWT,
tetapi karena hatinya tertutup oleh rasa sombong dan dengki terhadap
Islam sehingga tidak mau menerima kebenaran Islam. Pengetahuan
yang mereka peroleh digunakan untuk menuruti hawa nafsu mereka
belaka, seperti dapat kita lihat di negara-negara yang mayoritas
penduduknya Yahudi dan Nasrani. Pengetahuan yang telah diperoleh
untuk memperkaya diri, menyombongkan diri bahkan saling berusaha
menguasai dan menjajah diantara satu dengan lainnya dalam segala
bidang kehidupan. Sehingga pengetahuan yang mereka peroleh kering
dari makna serta membuat semakin kehilangan arah ke-ilahi-an dan
miskin dimensi transendental.
Tujuan pendidikan ala Al-Qur’an jelas beda dengan konsep
pendidikan di Barat yang mengedepankan materialistik. Dengan bekal
pendidikan dan pengetahuan yang didapat dari proses belajar-mengajar
secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim yang lebih tangguh,
berpengetahuan luas dan yakin akan kebenaran ajaran Islam.
Pengetahuan yang didapatpun akan lebih didayagunakan untuk
kemaslahatan umat Islam pada khususnya dan rahmatan lil alamin pada
umumnya.

III. ANALISIS AYAT-AYAT TUJUAN PENDIDIKAN


Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu
kegiatan selesai atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang
ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada
tujuan akhir (ultimate aims of education). Adapun tujuan pendidikan adalah
perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses
pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya
maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup,
selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga

10
berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses
pendidikan.
Sebagai pendidikan yang notabenenya Islam, maka tentunya dalam
merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan
tujuan pendidikan Islam yang disampaikan beberapa tokoh adalah :
1. Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identik dengan
tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam
adalah untuk menjadi hamba Allah. Hal ini mengandung implikasi
kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya .
2. Dr. Ali Ashraf; “tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang
menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu,
masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya”.
3. Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is
moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi
dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan
jiwa)”
4. Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk
manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas
dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai
semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian
teguh”.
Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia
yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai anggota masyarakat.

IV. KESIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan di atas, pemakalah menyimpulkan :
1. Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi

11
muslim yang sadar akan tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai
abid (hamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik
dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian
kepada Allah SWT semata, selain itu dalam setiap gerak langkahnya
selalu bertujuan memperoleh ridho dari Yang Maha Kuasa.
2. Pendidikan Islam mempunyai misi membentuk kader-kader khalifah fil
ardl yang mempunyai sifat-sifat terpuji seperti amanah, jujur, kuat
jasmani dan mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
Diharapkan akan terbentuk muslim yang mampu mengemban tugas
sebagai pembawa kemakmuran di bumi dan “Rahmatan Lil Alamin“.
3. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia
yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai anggota masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Bandung : Diponegoro, 1988.

12
H. Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, Semarang : PT. Karya Toha Putra,
1978.

Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz 27., Jakarta: PustakaPanji Masyarakat, 1982

Sanaky, Hujair AH. 2003. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat


Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI.

Shihab, M. Quraish, Tafiir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002

13

Anda mungkin juga menyukai