Anda di halaman 1dari 48

GAMBARAN FOTO TORAKS PADA PASIEN COVID-19 DENGAN

PENYAKIT GINJAL KRONIK DI RSUP Prof. Dr. R. D. KANDOU


PERIODE MEI - AGUSTUS 2021

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

ANDREIA STEPHANIE SINTA

18011101023

Dosen Pembimbing :

dr. Yovana P. M. Mamesah, M.Kes, Sp.Rad

dr. Alfa G. E. Y. Rondo, M.Kes, Sp.Rad

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

2021
LEMBAR PENGESAHAN

GAMBARAN FOTO TORAKS PADA PASIEN COVID-19 DENGAN


PENYAKIT GINJAL KRONIK DI RSUP Prof. Dr. R. D. KANDOU
PERIODE MEI - AGUSTUS 2021

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan


Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Oleh :

ANDREIA STEPHANIE SINTA

18011101023

Menyetujui

Dosen Pembimbing

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

dr. Yovana P. M. Mamesah, M.Kes, Sp.Rad dr. Alfa G. E. Y. Rondo, M.Kes, Sp.Rad
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) diawali dengan kasus pneumonia
yang tidak diketahui penyebabnya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina pada
Desember 2019. 1,2 Peneliti menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus
baru dari genus beta-coronavirus yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan merupakan genus yang sama dengan Middle
East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) serta Severe Acute
Respiratory Coronavirus (SARS-CoV).1,3 Dikarenakan tingginya tingkat
penyebaran COVID-19 secara global, World Health Organization (WHO)
menyatakan penyakit ini telah memenuhi kriteria sebagai pandemi pada 11 Maret
2021.4
Penyebaran infeksi virus SARS-CoV-2 yang sangat tinggi di seluruh
dunia, sehingga pada 24 Agustus 2021 WHO melaporkan sebanyak 211.288.358
jiwa kasus COVID-19 yang terkonfirmasi dengan total kematian 4.422.666 jiwa.
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh WHO pada bulan 24 Agustus 2021,
Indonesia berada pada urutan ke 3 tertinggi se-Asia Tenggara dengan jumlah kasus
terkonfirmasi sebanyak 125.102 jiwa dan kasus kematian tertinggi se-Asia
Tenggara yaitu 8.784 jiwa. 5 Situasi COVID-19 di Indonesia terus mengalami
peningkatan, berdasarkan data terakhir dari Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia tercatat bahwa terdapat 4.056.354 jiwa kasus COVID-19 yang
terkonfirmasi serta 130.781 jiwa kasus yang meninggal.6
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara melaporkan pada 26 Agustus
2021, kasus terkonfirmasi COVID-19 di Sulawesi Utara telah mencapai 31.703
jiwa dan sebanyak 917 jiwa meninggal dunia.7 Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia mencatat pada tanggal 27 Agustus 2021, Sulawesi Utara merupakan
provinsi dengan urutan ke 23 tertinggi untuk kasus aktif di Indonesia setelah
Bangka Belitung dan Sumatera Selatan.8

1
Individu yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 akan mulai menunjukkan
gejala setelah masa inkubasi selama 5-14 hari. Selama periode ini, individu tersebut
dapat menularkan virus saat 1-3 hari sebelum onset gejala COVID-19 muncul.9
Gejala yang timbul oleh karena infeksi virus SARS-CoV-2 bervariasi, beberapa
diantaranya mengalami demam, batuk, fatigue, anoreksia, sesak napas atau
myalgia. 10,11 Berdasarkan studi epidemiologis dan virologis ditemukan bahwa
transmisi SARS-CoV-2 terjadi oleh karena adanya kontak dekat melalui droplet
respirasi antara individu yang simtomatis maupun asimtomatis. 12–15 Oleh karena
itu, untuk menghindari penularan COVID-19 sangat penting dilakukan penerapan
protokol kesehatan untuk mengurangi risiko penularan ke individu lain.16
Pemeriksaan baku emas dalam pemeriksaan infeksi virus SARS-CoV-2
untuk semua suspek COVID-19 yaitu dengan Reverse Transcription Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR).1 Jika tidak tersedia RT-PCR, maka Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) merekomendasikan penggunaan Rapid Diagnostic
Test (RDT) antigen untuk penggunaan pada pasien COVID-19 simtomatis dengan
viral load yang tinggi. Sampel yang dapat digunakan untuk pemeriksaan ini yaitu
swab pada nasofaring atau nasal dari pasien..17
Untuk mendiagnosis COVID-19, pemeriksaan radiologi dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam mengetahui perkembangan serta progresifitas
penyakit. 18 Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien COVID-19 dengan fungsi
respirasi yang memburuk atau beresiko mengalami perkembangan penyakit yang
lebih serius. Akan tetapi American College of Radiology (ACR) tidak
merekomendasikan pemeriksaan radiologis sebagai pemeriksaan utama dalam
mendiagnosis COVID-19. 19,20 Suatu studi retrospektif terhadap 64 pasien yang
terinfeksi virus SARS-CoV-2 ditemukan bahwa konsolidasi dan ground-glass
opacities (GGO) merupakan gambaran yang paling sering ditemukan.21 Pada suatu
studi yang dilakukan di Cina ditemukan bahwa pemeriksaan foto toraks abnormal
didapat pada 60% pasien rawat inap, sementara pada pemeriksaan Computed
Tomography (CT) scan ditemukan 86% pasien yang memiliki gambaran radiologis
abnormal. 22 CT scan umumnya lebih membantu dalam penentuan diagnosis pasti,
akan tetapi sulit digunakan pada kondisi di mana dibutuhkan pemeriksaan secara
cepat dengan keadaan insidensi COVID-19 yang tinggi sehingga akan lebih baik

2
jika menggunakan foto toraks sebagai alat penunjang diagnosis. 23,24 Foto toraks
dapat menunjukkan berbagai gambaran stadium pneumonia pada fase awal dari
COVID-19 maupun coronavirus lainnya yang juga menyebabkan severe acute
respiratory syndrome.25 Meskipun foto toraks mempunyai sensitivitas yang lebih
rendah dibandingkan dengan CT scan, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
mengetahui prognosis dan juga perkembangan pasien selama masa pengobatan.
Foto toraks merupakan pemeriksaan yang cepat dan mudah digunakan untuk
menilai adanya abnormalitas pada paru.24
Pasien COVID-19 yang berusia usia diatas 65 tahun serta yang
mempunyai penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, penyakit
ginjal kronik, penyakit paru obstruktif kronik, asma, kondisi immunocompromised,
kehamilan, gagal jantung, dan sickle cell disease merupakan kelompok individu
yang rentan terhadap risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas apabila
terinfeksi virus SARS-CoV-2. 23 Adanya penyakit ginjal kronik sebagai komorbid
pada pasien COVID-19 dapat meningkatkan risiko sebesar 5 kali lipat sehingga
pasien ini mempunyai risiko yang tinggi terkait dengan perkembangan penyakit
yang lebih serius. Manajemen pencegahan penularan yang proaktif sangat
dibutuhkan pada pasien COVID-19 dengan komorbid untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas mereka. 26
Jumlah individu yang terkena COVID-19 semakin meningkat setiap saat
dan mayoritas pasien yang terinfeksi merupakan komunitas dengan penyakit kronik
yang rentan terkena dampak serius dari penyakit ini. Sesemakin bertambahnya
jumlah pasien COVID-19 dengan penyakit ginjal kronik serta tingginya angka
permintaan pemeriksaan foto toraks di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
membuat peneliti tertarik untuk membuat suatu penelitian yang belum pernah
dilakukan sebelumnya mengenai gambaran foto toraks pada pasien COVID-19
dengan penyakit ginjal kronik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada periode Mei –
Agustus 2021.

3
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diambil suatu rumusan


masalah yaitu bagaimana gambaran foto toraks pada pasien COVID-19 dengan
penyakit ginjal kronik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode Mei - Agustus
2021.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
a. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran foto toraks
pada pasien COVID-19 dengan penyakit ginjal kronik di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou periode Mei – Agustus 2021.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui diagnosis dan prognosis yang dialami pasien COVID-19
dengan penyakit ginjal kronik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode
Mei – Agustus 2021.
b. Mengetahui derajat keparahan pada pasien COVID-19 dengan penyakit
ginjal kronik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode Mei – Agustus
2021.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Akademik dan Penelitian
a. Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai acuan untuk
penelitian selanjutnya.
b. Penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
langsung bagi dunia akademik dalam melaksanakan penelitian.
2. Bagi Masyarakat
a. Penelitian diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai
gambaran foto toraks yang dapat muncul pada pasien COVID-19 dengan
penyakit ginjal kronik.
b. Penelitian diharapkan agar masyarakat dapat lebih waspada terhadap
dampak yang ditimbulkan COVID-19 pada individu dengan penyakit
kronik.

4
3. Bagi Pemerintah
a. Penelitian diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan pemerintah pada
masa pandemi COVID-19.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
a. Definisi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular
infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dari genus beta-
coronavirus.1,3
b. Epidemiologi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan kasus COVID-19


telah mencapai 4.056.354 jiwa serta jumlah kematian 130.781 jiwa.6 Terhitung
pada 24 Agustus 2021 Indonesia menjadi wilayah ke-3 tertinggi se-Asia
Tenggara dengan jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 125.02 jiwa dan kasus
kematian tertinggi dengan 8.784 jiwa.5 Berdasarkan laporan perkembangan
COVID-19 di Indonesia dari WHO diketahui bahwa dari 5 hingga 7 Agustus
2021 terdapat penurunan rerata kasus baru yaitu 30.983 jiwa per hari
dibandingkan dengan minggu sebelumnya yaitu 34.977 jiwa per hari (Gambar
2.1).27

Gambar 2.1. Perkembangan kasus COVID-19 di Indonesia per 11 Agustus 2021.27

6
Pada 2 Agustus 2021 hingga 8 Agustus 2021 dilaporkan bahwa terdapat 23
provinsi di Indonesia dengan level transmisi komunitas yang tinggi (CT3) dan
insidens tertinggi pada provinsi Kalimantan Utara diikuti oleh DI Yogyakarta,
Kalimantan Timur, Bangka Belitung dan DKI Jakarta (Gambar 2.3.). Provinsi
dengan insidens kasus COVID-19 tertinggi di Pulau Sulawesi adalah Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Terdapat tujuh kategori untuk
klasifikasi transmisi komunitas yang digunakan oleh WHO yaitu (1) tidak ada
kasus aktif; (2) kasus sporadik; (3) kasus kluster; (4) transmisi komunitas 1 (CT1);
(5) transmisi komunitas 2 (CT2); (6) transmisi komunitas 3 (CT3); (7) transmisi
komunitas 4 (CT4). 27

Menurut data dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19 total kumulatif


kasus aktif untuk Sulawesi Utara adalah 3.403 kasus dengan kasus meninggal
sebanyak 925 kasus per tanggal 27 Agustus 2021. Sulawesi Utara menempati
urutan ke-22 sebagai provinsi dengan jumlah kasus sembuh sebanyak 27.581 jiwa
diikuti oleh Kalimantan Utara dan Jambi.(8)

Gambar 2.2. Insidens kasus COVID-19 di Indonesia untuk 100.000 populasi per
minggu pada 2 Agustus 2021 hingga 8 Agustus 2021.27

7
c. Etiologi

SARS-CoV-2 adalah virus RNA rantai tunggal positif dari famili


coronaviridae yang menjadi etiologi utama penyakit COVID-19. Virus ini
berasal dari genus beta-coronavirus dan merupakan salah satu dari tujuh
coronavirus yang dapat menginfeksi manusia. Selain SARS-CoV-2, terdapat
dua coronavirus lainnya yang menyebabkan infeksi serius bagi manusia yaitu
Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) serta Severe
Acute Respiratory Coronavirus (SARS-CoV).3

Struktur utama dari virus SARS-CoV-2 terdiri dari spike (S), envelope
(E), membrane (M), dan nucleocapsid (N). Ciri khas dari coronavirus adalah
spike glikoprotein pada permukaannya yang bertujuan untuk mediasi
pengikatan reseptor dan masuknya sel pada saat infeksi terjadi. Jika dilihat
melalui mikroskop elektron, spikes ini yang memberikan gambaran seperti
mahkota atau corona pada virus SARS-CoV-2.23

d. Faktor Risiko
1) Usia >65 tahun

Terjadi peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien


dengan usia >65 tahun.23 Hal ini disebabkan oleh karena penurunan
fungsi sel imun serta peningkatan produksi sitokin proinflamasi
yang membuat pasien lanjut usia sangat rentan terkena infeksi
COVID-19. Pasien lanjut usia yang disertai dengan penyakit
penyerta seperti diabetes, penyakit jantung, penyakit ginjal,
penyakit paru obstruktif kronik, kanker, dan penyakit imun
merupakan kelompok yang rentan terhadap kematian akibat
COVID-19.28

2) Riwayat kontak dan perjalanan bersama orang dengan COVID-19


Terdapat riwayat kontak dengan individu dengan COVID-19
dan yang melakukan perjalanan ke daerah dengan transmisi yang
tinggi adalah faktor risiko penting dalam COVID-19 serta harus
dilakukan screening secepatnya untuk mengetahui apakah mereka
simtomatik atau tidak.23

8
3) Latar belakang sosial dan ekonomi
Minoritas dan populasi dengan latar belakang sosial-ekonomi
yang rendah merupakan kelompok yang memiliki risiko mortalitas
dan morbiditas yang tinggi.23
4) Faktor komorbid
Pada dewasa dengan usia lebih dari 65 tahun serta memiliki
penyakit bawaan kronis seperti hipertensi, diabetes tipe 2, obesitas,
penyakit paru kronis, penyakit ginjal kronik serta individu
immunocompromised merupakan kelompok yang rentan terhadap
peningkatan risiko kematian dan disabilitas apabila terinfeksi virus
SARS-CoV-2.23
a) Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Hubungan antara penyakit ginjal dengan infeksi
SARS-CoV-2 masih belum diketahui secara pasti. Efek
langsung SARS-CoV-2 pada ginjal dapat disebabkan
karena sel renal memiliki reseptor ACE-2 lebih banyak
daripada paru-paru sehingga menjadikan ginjal sebagai
salah satu organ yang menjadi target langsung dari virus
ini.29
b) Hipertensi
Pasien dengan hipertensi lebih rentan terinfeksi
COVID-19 dibandingkan dengan orang yang tidak
mempunyai penyakit ini. Pada suatu systematic review yang
menjelaskan asosiasi antara hipertensi dan COVID-19
didapatkan peningkatan risiko keparahan COVID-19
hingga 2x lipat pada pasien dengan hipertensi.30 Pasien ini
juga mempunyai kemungkinan yang tinggi dalam risiko
komplikasi COVID-19 yang berat selama progresifitas
penyakit.28
c) Obesitas
Infeksi virus SARS-CoV-2 dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan paru. Pada pasien dengan obesitas
fungsi paru telah menurun sehingga ini membuat pasien
lebih sulit mengkompensasi hipoksia dengan alat bantu
9
napas. Kondisi proinflamasi pada obesitas juga
memperburuk keadaan inflamasi yang ditimbulkan oleh
karena infeksi COVID-19.28
d) Diabetes Mellitus (DM)
Pasien COVID-19 dengan DM memiliki mortalitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien COVID-19
yang tidak memiliki DM. Terdapat dua klasifikasi untuk
diabetes yaitu tipe 1 dan tipe 2. Penurunan produksi insulin
oleh karena kerusakan pada sel ß pankreas dikategorikan
sebagai DM tipe 1. Untuk DM tipe 2 fungsi sel ß pankreas
normal akan tetapi tubuh tidak mampu untuk merespon
insulin secara normal. DM tipe 2 merupakan jenis yang
paling sering ditemukan sehingga menjadi komorbid
COVID-19 yang signifikan. Hal ini diduga disebabkan oleh
karena perubahan profil imun dari sel T regulator menjadi
sel T proinflamasi Th1 dan Th17 CD4+ yang menyebabkan
individu dengan DM rentan terhadap infeksi. Kondisi
inflamasi ini dapat mengakibatkan peningkatan risiko
perburukan gejala dan komplikasi jika mengalami infeksi.28
e. Patofisiologi

Virus SARS-CoV-2 memiliki beberapa target sel seperti sel epitel


nasal dan bronkus dan pneumosit atau sel alveolar. SARS-CoV-2 masuk ke sel
target dengan protein spikes (S) yang berikatan dengan reseptor Angiotensin
Converting Enzyme 2 (ACE-2). Setelah terjadi perikatan antara spikes
glikoprotein dengan reseptor ACE-2 maka virus SARS-CoV-2 akan masuk ke
dalam sel inang dengan bantuan enzim transmembrane serine protease.
Selanjutnya gen SARS-CoV-2 ditranslasi menjadi poliprotein dan akan
dipecah oleh protease sel inang dan virus. Reseptor ACE-2 memiliki distribusi
jaringan yang luas dan didalamnya terdapat pada organ paru, jantung, saluran
pencernaan, ginjal dan sel-sel endotel pada jaringan lainnya. Hal inilah yang
menjelaskan mengapa COVID-19 memiliki manifestasi gejala yang luas.31

Fase awal infeksi SARS-CoV-2 ditandai dengan replikasi virus yang


mengakibatkan kerusakan jaringan, kemudian diikuti dengan fase akhir ketika

10
sel inang yang terinfeksi memicu respons imun. Terjadi peningkatan jumlah
limfosit T, monosit, dan neutrofil yang melepaskan sitokin seperti faktor
nekrosis tumor-α (TNF ), faktor perangsang granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), ), IL-
1β, IL-8 , IL-12 dan interferon (IFN)-γ.32

Aktivasi sistem imunitas tubuh yang berlebihan dapat menghasilkan


cytokine storm yang ditandai dengan pelepasan sitokin dalam jumlah besar,
terutama IL-6 dan TNF-α, ke dalam sirkulasi, menyebabkan respons inflamasi
lokal dan sistemik.32

f. Cara Penularan

Waktu yang diperlukan oleh seorang individu untuk menunjukkan


gejala COVID-19 adalah sekitar 5-14 hari. Selama periode inkubasi ini,
individu tersebut dapat menularkan virus SARS-CoV-2 saat 1-3 hari sebelum
onset gejala muncul.9 Seorang yang berada dalam kontak yang lama dengan
individu yang terinfeksi sangat rentan terkena COVID-19.33

Cara penularan utama COVID-19 adalah melalui transmisi yang terjadi


melalui droplet respirasi seperti batuk dan bersin.23 Transmisi melalui droplet
terjadi ketika individu yang terpapar berada dalam jarak dekat (< 2 meter) dari
individu yang terinfeksi sehingga sekret respirasi mereka dapat kontak dengan
membran mukosa individu yang sehat. Transmisi dengan aerosol dapat terjadi
akan tetapi dampaknya belum diketahui secara pasti.31 Studi menunjukkan
bahwa transmisi aerosol dapat bertahan di udara selama periode yang panjang.
Oleh karena itu, penggunaan masker dalam komunitas merupakan salah satu
langkah dalam pencegahan penularan virus SARS-CoV-2.16

Sumber penyebaran infeksi virus SARS-CoV-2 juga dapat terjadi


ketika seorang individu menyentuh permukaan yang terkontaminasi lalu
menyentuh wajah atau membran mukosa, hal ini disebut sebagai transmisi
fomite. Virus SARS-CoV-2 dapat bertahan hingga beberapa hari pada karton,
besi dan permukaan plastik serta dapat dideteksi pada kamar pasien dan
pakaian tenaga kesehatan.31 Akan tetapi virus SARS-CoV-2 sangat sensitif
terhadap sinar ultraviolet dan panas. Virus ini juga dapat diinaktivasi dengan

11
pelarut lemak seperti ethanol, ether dan desinfektan yang mengandung
klorin.23

g. Manifestasi Klinis

Gejala COVID-19 bervariasi namun secara umum pasien mengeluh


merasa demam, batuk, fatigue, anoreksia, sesak napas dan myalgia. Terdapat
gejala non spesifik seperti buntu hidung, sakit tenggorokan, anosmia, ageusia,
sakit kepala, diare, nausea, dan muntah yang dapat terjadi.10,11 Spektrum
gejala dari penyakit ini luas dan dapat mencakup infeksi asimtomatik hingga
pneumonia berat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
bahkan kematian.23

Saat ini diestimasikan bahwa 40-45% dari infeksi virus SARS-CoV-2


adalah asimtomatik. Data yang didapatkan dari Cina, Italia dan Amerika
menunjukkan bahwa sekitar 80% dari kasus simtomatik adalah ringan dan
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Sementara 5% dari kasus yang
ada merupakan kasus kritis dan memerlukan perawatan intensif di rumah
sakit.34,35 COVID-19 memiliki manifestasi gejala yang mencakup berbagai
sistem di tubuh.31 Derajat COVID-19 dilihat berdasarkan beratnya kasus
menurut WHO adalah sebagai berikut :

1) Tanpa gejala (asimtomatis)


Kondisi yang paling ringan serta tidak terdapat keluhan dan
gejala klinis.1,16
2) Gejala ringan
Pada pasien ini terdapat gejala klinis COVID-19 seperti
demam, batuk, fatigue, anoreksia, mialgia dan napas pendek.
Gejala non spesifik seperti sakit tenggorokan, buntu hidung, sakit
kepala, diare, mual, hilang penciuman (anosmia) atau hilang
pengecapan (ageusia) yang dapat muncul sebelum onset gejala
respirasi juga dapat muncul. Pasien dengan derajat ringan tidak
memiliki gejala pneumonia virus atau tanpa adanya hipoksia.
Status oksigenasi pada pasien ini adalah SpO2 > 95% dengan udara
ruang.1,36

12
3) Gejala sedang
Terdapat gejala klinis pneumonia yaitu demam, batuk, sesak,
napas cepat tapi tidak ada tanda pneumonia berat.
a) Pasien remaja dan dewasa : tanda klinis pneumonia virus
namun tanpa pneumonia berat dan SpO2 ≥93% dengan
udara ruang.
b) Anak-anak : tanda klinis pneumonia tidak berat seperti
batuk atau sulit bernapas dengan napas cepat dan/atau
retraksi dinding dada.16,36
4) Gejala berat
Pasien mengalami tanda klinis pneumonia berat seperti demam,
batuk, sesak, napas cepat disertai satu dari : frekuensi napas
>30x/menit, distres pernafasan berat.16
a) Pasien remaja dan dewasa : terdapat tanda klinis pneumonia
ditambah satu dari frekuensi napas >30x/menit, distres
pernafasan berat atau dengan status oksigenasi pada SpO2
< 93% dengan udara ruang.
b)
Anak-anak : tanda klinis pneumonia disertai satu dari :
sianosis sentral atau SpO2 <93%, distress pernafasan berat,
atau terdapat tanda bahaya seperti tidak mampu menyusu
atau minum, letargi, penurunan kesadaran atau kejang.16,36
5) Gejala kritis
Pasien COVID-19 telah mengalami progresifitas gejala yang
lebih serius dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
sepsis dan syok sepsis. 16,36
h. Diagnosis
Diagnosis COVID-19 dapat ditegakkan melalui pemeriksaan medis
seperti riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi SARS-CoV-2 serta dari
gejala klinis dan hasil deteksi pemeriksaan penunjang baku emas COVID-19.1
Adapun untuk pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai bahan
konfirmasi adalah sebagai berikut :

13
1) Nucleic Acid Amplification Testing (NAAT)
WHO merekomendasikan semua pasien yang diduga terinfeksi
COVID-19 untuk menjalani pemeriksaan NAAT dengan metode
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).1
Berikut adalah tahapan dalam melakukan pemeriksaan RT-PCR :
a) Pengambilan spesimen dilakukan melalui swab nasofaring
dan orofaring. Pengambilan swab dilakukan pada hari ke-1
dan ke-2. Jika pemeriksaan menunjukkan hasil positif pada
hari pertama maka tidak diperlukan pemeriksaan di hari
berikutnya.
b) Pemeriksaan RT-PCR dilakukan secara berkala pada pasien
rawat inap.
c) Follow-up hanya dilakukan pada pasien derajat berat dan
kritis dan dilakukan setelah 10 hari dari pengambilan swab
terakhir yang positif.
d) Pada pasien derajat berat dan kritis jika terdapat perbaikan
gejala dan bebas demam selama 3 hari namun pada follow-
up RT-PCR menunjukkan hasil positif, maka sangat
mungkin terjadi kondisi positif persisten akibat
terdeteksinya fragmen virus yang sudah tidak aktif.36
2) Tes diagnostik cepat berbasis deteksi antigen

Pemeriksaan yang tersedia untuk mendeteksi antigen virus


SARS-CoV-2 yaitu melalui lateral flow assays (LFAs) atau disebut
dengan Antigen Detection Rapid Diagnostic Tests (Ag-RDTs). Ag-
RDTs bukan merupakan tes diagnostik yang dapat menggantikan
NAAT akan tetapi digunakan jika NAAT tidak tersedia atau
dibutuhkan hasil pemeriksaan yang cepat dalam <48 jam.37

Center of Disease Control (CDC) merekomendasikan tes


antigen untuk digunakan pada pasien COVID-19 simtomatik
dengan viral load yang tinggi. Spesimen pemeriksaan ini dapat
diambil dari swab nasofaring atau nasal pasien. Secara umum,
sensitivitas tes antigen lebih rendah dibandingkan dengan NAAT
seperti RT-PCR.17

14
3) Tes antibodi

Pemeriksaan antibodi tidak direkomendasikan dalam


diagnosis COVID-19 hal ini disebabkan karena proses
pembentukan antibodi membutuhkan waktu hingga 2 minggu.
Akan tetapi tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
riwayat infeksi di masa lalu yang berguna untuk kepentingan studi
dan penelitian.37

4) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini sangat penting dilakukan sebagai bahan
pertimbangan untuk mengetahui progresivitas penyakit serta untuk
memantau perkembangan pasien.18 Akan tetapi berdasarkan
rekomendasi yang diberikan oleh American College of Radiology
(ACR) bahwa penggunaan foto toraks dan Computed Tomography
(CT) scan tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan utama dalam
mendiagnosis COVID-19 serta hanya dapat dilakukan apabila
pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan
radiologi.20 Indikasi pemeriksaan ini yakni saat pasien COVID-19
mengalami fungsi respirasi yang memburuk atau beresiko
mengalami perkembangan penyakit yang lebih serius.19
Pemeriksaan radiologi tidak dapat dijadikan dasar dalam
menegakkan diagnosis pasti COVID-19 karena hasil yang tidak
spesifik dan menyerupai gambaran dari infeksi lain.20
a) Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks dapat menjadi pemeriksaan
awal terhadap pasien COVID-19 untuk mengetahui
keberadaan dari inflamasi pulmoner yang merupakan
manifestasi utama COVID-19.23 Gambaran yang umum
ditemukan dalam pemeriksaan radiologis pasien COVID-19
adalah konsolidasi dan ground-glass opacities (GGO). Akan
tetapi foto toraks tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan radiologis utama dalam mendiagnosis
pneumonia COVID-19.21 Hal ini disebabkan foto toraks
memiliki rasio deteksi yang rendah pada stadium awal

15
COVID-19 oleh karena insensitivitas pemeriksaan ini
terhadap GGO. Meskipun foto toraks mempunyai sensitivitas
yang lebih rendah dibandingkan dengan CT scan,
pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui
prognosis dan juga perkembangan pasien selama
pengobatan.24
b) CT scan
Pemeriksaan CT scan umumnya lebih membantu dalam
diagnosis pasti COVID-19 dibandingkan dengan x-ray..23
Akan tetapi ACR tidak merekomendasikan CT scan sebagai
pemeriksaan awal pasien COVID-19 oleh karena hasil yang
didapatkan tidak spesifik dan dapat tumpang-tindih dengan
infeksi seperti influenza, H1N1, SARS dan MERS.20
Berdasarkan konsensus dari Fleischner Society, CT scan
dapat dilakukan pada pasien COVID-19 dengan gejala yang
memburuk atau pada daerah dengan fasilitas RT-PCR yang
terbatas.19
Gambaran CT scan yang sering ditemukan pada pasien
COVID-19 adalah single, multifocal, atau diffuse air-space
opacities (GGO, konsolidasi atau keduanya), pada paru
unilateral atau bilateral dengan distribusi pada upper zone,
mid atau lower zone. Gambaran lain yang dapat ditemukan
yaitu atelektasis, penebalan peribronkovaskuler, peningkatan
retikulasi, limfadenopati dan efusi pleura.38
i. Komplikasi dan Prognosis

Mayoritas pasien COVID-19 bersifat asimtomatik atau hanya merasakan


gejala yang ringan disertai dengan penyembuhan total. Akan tetapi pasien
dengan penyakit bawaan memiliki risiko yang tinggi terkait dengan
komplikasi berat hingga kematian. COVID-19 merupakan penyakit
multisistem yang menyebabkan kerusakan pada berbagai organ seperti paru-
paru, hati, ginjal, jantung, pankreas, otak, traktus gastrointestinal dan kulit.23

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi pada pasien


COVID-19 dengan gejala berat/kritis yaitu mengurangi lamanya penggunaan

16
ventilasi mekanik invasif dengan melakukan penilaian harian kesiapan pasien
dalam bernapas spontan. Mengurangi risiko terjadinya ventilator-associated
pneumonia (VAP) dengan melakukan intubasi oral pada pasien remaja dan
dewasa, pertahankan pasien dalam posisi semi-recumbent (posisi kepala
pasien dinaikkan sehingga membentuk sudut 30-45°). Gunakan obat
profilaksis seperti heparin untuk menghindari terjadinya tromboemboli vena.16

Pasien anak dengan COVID-19 dapat mengalami suatu gangguan


hiperinflamasi yang dapat menyebabkan demam, gangguan gastrointestinal
serta disfungsi miokardium. Penyakit ini dapat muncul dalam 2-4 minggu
setelah infeksi SARS-CoV-2 dan dinamakan dengan Multisystem
Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C).23

2. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)


a. Definisi dan Epidemiologi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada fungsi dan
struktur ginjal yang bertahan selama lebih dari 3 bulan. Ada beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
kerusakan pada ginjal yakni albumin, serum kreatinin serta pemeriksaan
radiologis seperti ultrasonografi ginjal.39 Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
diasosiasikan dengan penurunan progresif pada laju filtrasi glomerulus (LFG)
sehingga menyebabkan terganggunya fungsi fisiologis ginjal.40 LFG <60
ml/menit/1,73 m2 merupakan salah satu tanda identifikasi pasien yang berisiko
mengalami penurunan fungsi ginjal.39 Pada pasien PGK, kerusakan ini dapat
menyebabkan gangguan fungsi ginjal secara progresif yang terus muncul
meskipun penyakit yang mendasari telah hilang.41
Global Burden of Disease (GBD) melaporkan pada tahun 2017,
prevalensi penderita PGK di seluruh dunia adalah 697.509.472 kasus dengan
total kematian akibat PGK mencapai 1.230.168 jiwa. PGK berada pada urutan
ke-12 sebagai penyebab kematian di tahun 2017. Prevalensi PGK stadium 1-3
lebih tinggi pada perempuan dan mortalitas PGK lebih tinggi pada laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa progresifitas PGK menjadi end stage kidney
disease (ESKD) lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Manajemen penilaian faktor risiko yang baik sejak pepelayanan kesehatan
primer akan membantu menurunkan angka mortalitas akibat ESKD.42

17
Berdasarkan data Riset Dasar Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas)
2018 ditemukan bahwa prevalensi PGK pada umur ≥15 tahun mencapai
0,38%. Data ini menunjukkan prevalensi PGK meningkat seiring
bertambahnya usia, dengan prevalensi tertinggi pada kelompok umur 65-74
tahun (0,84%). Prevalensi pada laki-laki sebanyak 0,42% sementara pada
perempuan lebih rendah yaitu 0,35%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi
adalah Kalimantan Utara sebesar 0.64%, diikuti dengan Maluku Utara 0,56%
dan Sulawesi Utara 0,53%. Provinsi dengan prevalensi hemodialisis tertinggi
di Indonesia yaitu DKI Jakarta sebesar 38,71%.43

Gambar 2.3. Prevalensi hemodialisis pada populasi umur ≥ 15 tahun dengan PGK pada tahun
2018 menurut provinsi di Indonesia.43

b. Etiologi dan Faktor Risiko


1) Usia
Usia merupakan faktor risiko untuk penurunan LFG <60
ml/menit/1,73m2 sehingga meningkatkan risiko menjadi PGK.44
2) Jenis kelamin
Perempuan merupakan kelompok yang rentan terhadap PGK
akan tetapi memiliki risiko yang lebih rendah terhadap ESKD
dibandingkan dengan laki-laki.44
3) Latar belakang sosial dan ekonomi
Individu dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang rendah
lebih rentan terhadap risiko PGK dan penurunan LFG. Hal ini
dapat disebabkan karena terbatasnya akses menuju fasilitas
kesehatan sehingga meningkatkan risiko perkembangan PGK
menjadi lebih berat.44

18
4) Faktor komorbid
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko
terkena PGK yaitu obesitas, hipertensi, DM, penyakit auoimun,
lanjut usia, riwayat acute kidney injury (AKI), albuminuria (adanya
albumin dalam urin) atau terdapat abnormalitas struktural pada
saluran kencing.40
DM dan hipertensi merupakan penyebab utama PGK baik di
negara maju maupun negara berkembang. Pasien PGK dengan DM
akan meningkatkan risiko albuminuria, perkembangan keparahan
PGK serta komplikasi untuk penyakit yang lain termasuk gangguan
kardiovaskuler. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol kadar
glukosa darah, tekanan darah dan penggunaan obat-obatan anti
hipertensi.44
Hipertensi merupakan penyebab dan komplikasi yang timbul
oleh karena PGK serta dapat meningkatkan progresifitas PGK
menjadi ESKD.44
Obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya PGK dalam
jangka panjang. Hal ini dapat disebabkan oleh karena obesitas
meningkatkan risiko perkembangan penyakit hipertensi dan DM.
Individu dengan obesitas diharapkan untuk mengontrol berat badan
agar dapat menurunkan risiko menjadi PGK.44
Sangat penting untuk mengetahui risiko progresifitas penyakit
dari tiap pasien agar tenaga kesehatan dapat melakukan manajemen
tatalaksana yang tepat. Hal ini penting untuk diperhatikan terutama
pada pasien dengan penurunan LFG, hipertensi tak terkontrol atau
proteinuria karena terdapat peningkatan risiko menjadi PGK
stadium 5. Jika hal ini terjadi maka toksin akan terakumulasi
menyebabkan terganggunya aktivitas, nutrisi serta keseimbangan
cairan dan elektrolit hingga menjadi uremic syndrome. Tatalaksana
yang sesuai untuk uremic syndrome akan mencegah terjadinya
kematian akibat akumulasi toksin pada tubuh pasien.40

19
5) Diet
Menurut laporan GBD, faktor risiko PGK terbanyak pada tahun
2017 adalah peningkatan kadar gula darah puasa, hipertensi,
obesitas serta diet yang tinggi akan natrium.40
c. Patofisiologi
Fungsi fisiologis dan metabolik yang dilakukan oleh ginjal mencakup
regulasi tekanan darah, fungsi endokrin, mengatur konsentrasi ion pada cairan
interseluler dan ekstraseluler,serta ekskresi dari produk sisa yang tidak
dibutuhkan tubuh. Adanya gangguan pada fungsi ini dapat menyebabkan
kerusakan ginjal yang luas dan berkembang menjadi PGK.40,41
Patofisiologi yang mendasari terjadinya penyakit ini melibatkan
mekanisme kerusakan yang luas yakni, adanya mekanisme spesifik terhadap
etiologi yang mendasari seperti abnormalitas pada fungsi dan struktur ginjal
pada penyakit tertentu; dan mekanisme hiperfiltrasi dan hipertrofi yang
menimbulkan kerusakan pada nefron.40
Kejadian yang menyebabkan fibrosis sangat kompleks serta tumpang
tindih satu dengan yang lain. Infiltrasi ginjal dengan sel inflamasi ekstrinsik;
aktivasi, proliferasi, dan hilangnya sel-sel ginjal intrinsik (melalui apoptosis
atau nekrosis); aktivasi dan proliferasi sel yang memproduksi extracellular
matrix (ECM) termasuk miofibroblas dan fibroblas; serta deposisi ECM
menggantikan sel ginjal normal dapat mengakibatkan perkembangan menjadi
PGK.40
Kehilangan nefron mengakibatkan fungsi ginjal untuk mengeluarkan
natrium terganggu. Hal ini menyebabkan nefron lain yang masih berfungsi
akan bekerja lebih keras untuk mencapai keseimbangan ion. Jika terjadi
akumulasi ion yang berlebihan maka dapat mengakibatkan kondisi
hiperkalemia. Ketika peningkatan asupan natrium telah melebihi ekskresi
ginjal maka hipertensi dan edema dapat terjadi.41
Hilangnya nefron akan mengganggu kemampuan ginjal untuk
mengeluarkan fosfat sehingga dapat mengakibatkan pembentukan kompleks
kalsium-fosfat. Kondisi ini akan menstimulasi calcium sensing receptors pada
kelenjar paratiroid untuk merangsang produksi dan sekresi para-thyroid
hormone (PTH). Peningkatan sekresi PTH akan mengurangi reabsorpsi fosfat
dan meningkatkan ekskresi fosfat yang terakumulasi di ginjal.41
20
Fungsi ginjal akan terus menurun meskipun penyakit yang mendasari
kerusakan ini sudah tidak aktif. Mekanisme yang terjadi yaitu hipertensi
sistemik, cedera hemodinamik pada ginjal, proteinuria dan akumulasi
nefrotoksin.41 Jika kerusakan terjadi secara terus-menerus maka dapat
menyebabkan peningkatan tekanan dan arus pada nefron sehingga
menimbulkan kerusakan pada struktur dan fungsi ginjal.40
d. Klasifikasi dan Diagnosis
Pasien dengan PGK biasanya tidak akan memperlihatkan gejala hingga
mencapai stadium akhir. Secara umum pasien ini dapat mengeluhkan gejala
seperti sulit tidur, nokturia (kencing di malam hari), nyeri kepala, adanya rasa
metalik di mulut, dispnea (sulit bernapas) saat berolahraga atau beristirahat,
fatigue, keram otot, kejang, kehilangan nafsu makan, nyeri abdomen, nausea,
muntah dan penurunan berat badan. Pasien dengan gejala diatas dapat
dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah pasien tersebut mengalami
PGK.44
Kriteria diagnosis PGK menurut Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO) 2012 adalah adanya abnormalitas pada struktur atau
fungsi ginjal yang menetap selama >3 bulan dan mempunyai efek terhadap
kesehatan penderitanya.39

Tabel 2.1. Kriteria penyakit ginjal kronik menurut KDIGO 2012.39

Salah satu gejala di bawah ini selama >3 bulan

Tanda kerusakan ginjal (satu Albuminuria (AER ≥ 30 mg/24 jam; ACR ≥ 30 mg/g
atau lebih) [≥ 3mg/mmol])
Abnormalitas sedimen urin
Abnormalitas elektrolit dan lainnya yang berhubungan dengan
gangguan pada tubulus ginjal
Abnormalitas struktur ginjal yang dapat dideteksi lewat
pemeriksaan radiologi
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan LFG LFG < 60 ml/menit/1,73 m2

21
Tenaga kesehatan perlu melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap
pasien yang diduga mengalami PGK, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut :

1) Evaluasi onset penyakit

Pada pasien dengan LFG <60 ml/menit/1,73 m2 atau


memiliki tanda kerusakan ginjal, lakukan anamnesis dan
pemeriksaan mendalam untuk mengetahui durasi dari kerusakan
ginjal. Jika durasi kerusakan >3 bulan maka pasien terkonfirmasi
mengalami PGK dan lakukan penilaian lain yang sesuai untuk
mengetahui derajat keparahan dan tatalaksana pada pasien. Jika
durasi <3 bulan atau tidak diketahui maka diagnosis PGK tidak
dapat dikonfirmasi. Pasien kemungkinan mengalami Acute Kidney
Disease (AKI) dan perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
mengetahui diagnosis pasien.39

2) Evaluasi etiologi penyakit

Lakukan evaluasi terhadap riwayat penyakit pasien dan


keluarga, pengobatan, pemeriksaan fisik dan penunjang serta
faktor lain yang dapat menjadi penyebab dari PGK dari pasien.
Anamnesis yang menyeluruh dan mendetail mengenai riwayat
adanya faktor risiko PGK seperti hipertensi, albuminuria,
mikrohematuria (adanya darah pada urin) atau penyakit lainnya
yang dapat menjadi tanda adanya kerusakan ginjal.39

3) Evaluasi laju filtrasi glomerulus


Lakukan pemeriksaan LFG kembali jika diagnosis AKI dan
PGK masih belum jelas. Pemeriksaan dilakukan dalam 2 minggu
setelah pemeriksaan pertama. Pemeriksaan LFG dinilai
dengan serum kreatinin untuk mengetahui estimasi dari LFG atau
estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR).
Serum kreatinin sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan utama dalam evaluasi eGFR oleh karena hasil
pemeriksaan dapat normal dan jika telah terjadi penurunan fungsi
ginjal hingga 50%. Oleh karena itu sebaiknya pemeriksaan dengan

22
serum kreatinin dilakukan secara berkala sehingga dapat
mengestimasi kerusakan fungsi ginjal melalui LFG. Pemeriksaan
tambahan seperti cystatin-C dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis PGK apabila penilaian LFG dengan
serum kreatinin tidak akurat.39,44

Tabel 2.2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG menurut KDIGO
2012.39

Kategori LFG Keterangan


(ml/menit/1,73m2)
G1 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat
G2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
G3a 45-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
hingga sedang
G3b 30-44 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang
hingga berat
G4 15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat
G5 < 15 Gagal ginjal

4) Evaluasi albuminuria
Kultur urin dan pemeriksaan dipstick urin sangat penting
untuk melihat apakah terdapat mikrohematuria dan albuminuria
pada pasien.
Albuminuria merupakan tanda diagnostik dan prognostik
yang penting serta berperan dalam peningkatan risiko progresifitas
dan komplikasi PGK.44 KDIGO 2012 merekomendasikan
pemeriksaan albuminuria dengan urinary albumin-to-creatinine
ratio (ACR) atau albumin excretion rate (AER) serta pengambilan
spesimen diambil pada pagi hari. Kategori penilaian albuminuria
dapat dilihat pada Tabel 2.3.39

23
Tabel 2.3. Kategori penyakit ginjal kronik berdasarkan albuminuria.39

Kategori AER (mg/24 jam) ACR (mg/mmol) Keterangan


A1 < 30 <3 Normal sampai peningkatan
ringan
A2 30-300 3-30 Peningkatan sedang
A3 > 300 > 30 Peningkatan berat

5) Evaluasi dengan pemeriksaan radiologis ginjal


Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) dapat
memperlihatkan abnormalitas struktur serta keadaan penyakit
kronis pada pasien PGK. Gambaran ginjal dengan penurunan
ketebalan kortikal, peningkatan echo, kista multipel dan adanya
scarring menunjukkan terjadinya proses kronis yang sedang
berlangsung. Deteksi abnormalitas struktur seperti autosomal
dominant polycystic kidney disease (ADPKD), hidronefrosis oleh
karena obstruksi dapat diketahui lewat pemeriksaan ini.44
3. Hubungan COVID-19 dengan PGK

Adanya PGK pada pasien dengan COVID-19 meningkatkan risiko


perkembangan gejala COVID-9 menjadi lebih berat. Pasien PGK lebih rentan
terhadap infeksi SARS-CoV-2 dan komplikasi COVID-19 sehingga mempunyai
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien COVID-19 lain. Hal ini
menunjukkan bahwa pemantauan fungsi ginjal sangat penting untuk dilakukan
sehingga dapat mencegah terjadinya ESKD dan risiko mortalitas selama pandemi
COVID-19.45

Pada pasien PGK yang memerlukan dialisis mempunyai mortalitas yang


lebih tinggi jika dibandingkan dengan stadium PGK yang lain. Hal ini bisa
disebabkan adanya perubahan sistem imun oleh karena induksi uremia. Perubahan
imunitas tersebut dapat mengganggu aktivitas netrofil, monosit, dan fungsi dari sel
B dan sel T sehingga terjadi gangguan terhadap fungsi bakterisidal dan
antimikroba.46

24
a. Patofisiologi

Karakteristik COVID-19 yaitu adalah peningkatan produksi


sitokin proinflamasi yang berlebihan sehingga menyebabkan inflamasi
sistemik. Mekanisme yang mendasari hal ini yaitu berikatannya protein
spike pada permukaan virus SARS-CoV-2 dengan reseptor ACE-2
sehingga virus masuk ke dalam sel target. Enzim type-II transmembrane
serine protease (TRMPSS-2) juga membantu masuknya SARS-CoV-2 ke
dalam sel.47

Ekspresi reseptor ACE-2 dan TMPRSS-2 banyak ditemukan pada


sel epitel bronkus, sel pnemosit tipe II, sel epitel usus kecil, sel podosit
dan sel tubulus ginjal sehingga menjadikan sel ini sebagai target dari virus
SARS-CoV-2. Pada ginjal ekspresi reseptor ACE-2 diduga 100x lebih
banyak dibandingkan pada paru-paru. Sehingga penting untuk mengetahui
dampak yang dihasilkan oleh COVID-19 pada ginjal.47

Enzim angiotensin-converting enzyme 2 (ACE-2) berperan penting


dalam renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) dalam menghambat
efek dari angiotensin II. ACE-2 menurunkan kadar angiotensin I dan
angiotensin II sehingga menimbulkan efek vasodilatasi. Obat angiotensin-
converting enzyme inhibitor (ACE-I) memblokir konversi angiotensin I
menjadi II serta obat angiotensin receptor blockers (ARBs) yang
menghambat interaksi antara angiotensin II dengan reseptor angiotensin II
tipe I (AT1). Pengobatan menggunakan ACE-I dan ARBs digunakan
dalam terapi penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan PGK. Penggunaan
obat-obatan ini diduga dapat meningkatkan kadar enzim ACE-2. Sehingga
hal ini dapat menyebabkan inhibisi RAAS dan menurunkann efek
proinflamasi serta meningkatkan virulensi SARS-CoV-2 pada jantung,
ginjal dan paru.47

Interaksi antara SARS-CoV-2 dan RAAS menimbulkan


kekhawatiran dalam penggunaan obat-obatan RAAS inhibitor pada pasien
COVID-19. Akan tetapi hingga saat ini belum ada studi yang
membuktikan hubungan antara penggunaan RAAS inhibitor dengan
peningkatan ekspresi ACE-2.48 Pada penelitian BRACE CORONA yang

25
dilakukan di Brazil terhadap efek penggunaan ACE-I dan ARBs pada
pasien COVID-19 gejala ringan-sedang menunjukkan bahwa penghentian
penggunaan RAAS inhibitor tidak meningkatkan mortalitas pasien dalam
30 hari. Sehingga tidak ada manfaat klinis dalam penghentian terapi ACE-
I dan ARBs pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan-sedang.49

b. Manifestasi klinis COVID-19 dengan PGK


Pasien COVID-19 dengan PGK memiliki gejala yang berbeda
dibandingkan dengan pasien COVID-19 tanpa PGK pada saat awal
memasuki unit intensif di rumah sakit. Gejala non-spesifik yang dapat
muncul adalah perubahan status mental dan gejala gastrointestinal.48
Pasien COVID-19 dengan LFG < 60 ml/menit/1,73m2 saat masuk
rumah sakit memiliki manifestasi klinis yang buruk dibandingkan pasien
COVID-19 dengan fungsi ginjal normal. Keluhan yang muncul pada
pasien ini yaitu sesak napas, takipnea, dan penurunan SpO2 < 92%.
Penurunan fungsi ginjal pada pasien COVID-19 juga diasosiasikan
dengan peningkatan risiko AKI dan ARDS dibandingkan pasien dengan
fungsi ginjal normal.48
c. Manifestasi radiologis COVID-19 dengan PGK
1) Foto toraks

Sejauh ini studi mengenai gambaran foto toraks pasien


COVID-19 dengan PGK masih kurang dipelajari. Akan tetapi dari
beberapa studi yang dilakukan didapatkan gambaran foto toraks
berupa konsolidasi bilateral pada bagian perifer serta bilateral
opacities yang sugestif terhadap pneumonia.50

Gambar 2.4. Gambaran foto toraks pasien COVID-19 dengan PGK pada hari ke-1 menunjukkan
gambaran bilateral opacities yang dominan di lobus median paru kanan.50

26
Gambar 2.5. Gambaran foto toraks pasien COVID-19 dengan PGK pada hari ke-10 yang
menunjukkan perbaikan saat keluar dari rumah sakit.50

2) CT-scan

Gambaran radiologis CT scan toraks yang dapat muncul pada


pasien ini adalah bilateral involvement dengan pola difus dan distribusi
pada segmental posterior. GGO dan konsolidasi dapat diamati pada
gambaran CT scan. Berdasarkan salah satu penelitian dari Iran,
didapatkan bahwa keterlibatan paru pada pasien COVID-19 dengan
PGK tidak berbeda pada pasien dengan stadium PGK yang berbeda.
Gambaran yang paling sering ditemukan pada studi tersebut yaitu
GGO diikuti dengan pola retikular, bilateral lung involvement pada
perifer lobus posterior paru.51

d. Edukasi pasien COVID-19 dengan PGK

Pasien dianjurkan untuk terus mengkonsumsi obat seperti biasa.


Obat-obatan seperti ACE-I, ARB, imunosupresan dan diuretik dapat terus
dilanjutkan kecuali dihentikan oleh dokter. Hingga saat ini belum ada bukti
bahwa ACE-Inhibitor atau ARB meningkatkan risiko perburukan gejala
COVID-19. Lakukan pemantauan kembali fungsi ginjal pasien PGK yang
telah sembuh dari COVID-19.52

Pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisis atau cuci darah


merupakan kelompok yang rentan terkena COVID-19 karena memiliki
komorbid serta pasien mempunyai keterbatasan dalam menjalankan social

27
distancing karena perlu melakukan perawatan rutin di rumah sakit.
Kelompok ini mempunyai risiko yang tinggi terkait dengan peningkatan
derajat keparahan serta mortalitas jika terkena COVID-19. Oleh sebab itu
manajemen pencegahan yang baik untuk pasien dan rumah sakit dapat
menghindarkan pasien dan tenaga kesehatan dari bahaya terkena COVID-
19.48 Rekomendasi yang dapat dilakukan untuk pusat pelayanan dialisis
selama pandemi COVID-19 adalah :

a) Lakukan tindakan preventif dalam pencegahan infeksi dengan


menggunakan alat pelindung diri (APD), skrining suhu badan dan
gejala COVID-19 sebelum memeriksa pasien.
b) Pasien dianjurkan untuk menggunakan masker selama melakukan
proses dialisis.
c) Sebelum masuk ke pusat pelayanan pasien menjalani proses
skrining suhu dan gejala COVID-19.
d) Lakukan langkah keselamatan dan pencegahan yang tepat bagi
pasien dan staf rumah sakit agar terhindar dari COVID-19.
e) Pasien diharapkan dapat memberi tahu tenaga kesehatan jika
mengalami gejala COVID-19 sebelum datang ke pusat pelayanan
dialisis.
f) Pasien simtomatik yang menjalani perawatan dialisis harus
melakukan pemeriksaan RT-PCR untuk COVID-19 terlebih
dahulu sebelum dilakukan hemodialisis.48
4. Pemeriksaan Foto Toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang
sinar elektromagnetik untuk melewati tubuh pasien sehingga terbentuk suatu
gambar yang memperlihatkan struktur jaringan tubuh di dalam toraks.53
Tujuan pemeriksaan foto toraks adalah untuk mengidentifikasi suatu penyakit
pada rongga toraks serta mengetahui progresifitas dari penyakit tersebut.54
Pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, trauma toraks,
atelektasis, tuberkulosis, abses paru, ARDS, dan penyakit lainnya yang
berhubungan dengan rongga toraks.53

28
Indikasi pemeriksaan foto toraks menurut ACR yaitu untuk
mengevaluasi tanda dan gejala yang berhubungan dengan rongga toraks, untuk
follow-up proses perkembangan penyakit toraks, pemantauan pasien dengan
alat bantu hidup atau pada pasien pasca tindakan bedah toraks atau intervensi
lainnya. Pemeriksaan ini harus mengacu pada peraturan di masing-masing
negara mengenai pemeriksaan radiografi toraks.54
Pemeriksaan foto toraks standar dilakukan pada foto posteroanterior
(PA) dan lateral dekubitus kiri yang diambil saat pasien inspirasi penuh.
Inspirasi dilakukan agar posisi hemidiafragma dapat turun hingga kosta ke-10
atau ke-11 sehingga paru dapat tampak lebih jelas. Pasien diminta untuk
berdiri dan kaset film menempel pada dinding dada. Pada wanita hamil atau
anak-anak, pengambilan foto toraks dapat dilakukan sekali pada bagian frontal
pasien. Pasien dewasa yang tidak dapat berdiri atau mempunyai risiko jatuh
yang tinggi, pemeriksaan foto toraks dapat diambil pada anteroposterior (AP)
sambil duduk.53,54
Pengambilan foto toraks yang benar seharusnya dapat memperlihatkan
gambaran pembuluh darah paru dan juga hemidiafragma kiri pada belakang
jantung. Foto toraks harus menunjukkan gambaran kedua apeks paru dan
sulkus kostofrenikus. Posisi pasien harus benar sehingga skapula dan lengan
tidak menutupi paru. Kolumna vertebra harus dipusatkan di antara klavikula.
Korpus vertebra torakalis bagian bawah dan pembuluh darah pulmonal
retrokardiak harus dapat terlihat dengan jelas.53,54

Gambar 2.6. Gambaran foto toraks normal posisi PA.53

29
Gambar 2.7. Gambaran foto toraks normal posisi AP.53

Gambar 2.8. Gambaran foto toraks normal posisi lateral.53

5. Peran Foto Toraks dalam Diagnosis COVID-19

Berdasarkan konsensus yang dilakukan oleh Fleischner Society pada April


2020, pemeriksaan radiologis hanya diindikasikan pada pasien COVID-19 dengan
status respirasi yang memburuk dan pada pasien suspek COVID-19 yang datang
dengan gejala sedang hingga berat. Pemeriksaan tidak dapat dilakukan pada
pasien suspek COVID-19 dengan gejala ringan.19
Pemeriksaan foto toraks dapat dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama
pada pasien suspek COVID-19 ketika triase di rumah sakit. Walaupun CT Scan
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada foto toraks, risiko infeksi dan
ketersediaan CT scan yang terbatas pada beberapa pusat pelayanan kesehatan
membuat pemeriksaan ini kurang direkomendasikan sebagai pemeriksaan
diagnostik COVID-19. ACR menyarankan agar dapat digunakan portable chest x-
ray sebagai pengganti CT scan untuk mengurangi risiko infeksi.20,55

30
Penggunaan foto toraks sebagai pemeriksaan penunjang COVID-19 dapat
menjadi opsi untuk digunakan karena murah, tersedia luas dan memiliki risiko
yang rendah dalam menyebarkan infeksi pada staf radiologi.56
Penggunaan foto toraks dalam diagnosis COVID-19 harus memperhatikan
faktor-faktor seperti tidak tersedianya pemeriksaan diagnostik molekuler, adanya
hambatan dalam penggunaan CT scan, x-ray yang dapat digunakan di ruang gawat
darurat serta tingginya prevalensi kasus COVID-19.19
a. Spesifisitas dan sensitivitas

Ada beberapa penelitian yang menunjukkan sensitivitas dari


pemeriksaan foto toraks terhadap COVID-19 salah satunya yaitu studi yang
dilakukan oleh Stephanie et al pada September 2020. Hasil sensitivitas foto
toraks didapatkan meningkat seiring dengan perkembangan infeksi COVID-
19. Pada awal pemeriksaan didapatkan sensitivitas x-ray berkisar pada 55%
saat ≤ 2 hari onset gejala dan meningkat hingga 79% pada > 11 hari setelah
onset gejala muncul. Sensitivitas meningkat secara signifikan saat > 6 hari
setelah onset gejala muncul. Spesifisitas yang didapatkan pada foto toraks
pertama yang diambil > 3 hari setelah adanya gejala yaitu 80% dan pada foto
toraks kedua yang diambil > 8 hari setelah gejala adalah 73%.57

Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti foto
toraks yang diambil pada awal infeksi ketika belum ada perubahan pada
parenkim paru.57 Penyebab lainnya yaitu adanya hambatan dalam teknik
penggunaan foto toraks terutama pada x-ray portabel.58 Pasien lanjut usia
memiliki frekuensi yang lebih tinggi untuk mendapatkan hasil positif benar
pada foto toraks sehingga memiliki korelasi dengan faktor risiko COVID-19
yang lebih tinggi pada individu dengan lanjut usia.23,57

Hasil positif palsu dapat terjadi terutama pada postur tubuh yang tidak
baik, kurangnya inspirasi, atau penonjolan dada sehingga menyebabkan tulang
skapula dan jaringan lunak terproyeksi ke dalam lapangan paru. Hal tersebut
menyebabkan peningkatan densitas perifer paru serta tampak seperti GGO
sehingga menimbulkan hasil positif palsu.58

31
b. Gambaran foto toraks pada pasien COVID-19
Gambaran foto toraks dapat terlihat normal saat awal onset gejala
muncul, akan tetapi pasien dengan gejala yang lebih berat umumnya memiliki
abnormalitas pada paru mereka. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
gambaran foto toraks tidak terdapat adanya kelainan bukan berarti pasien
tersebut tidak mengalami infeksi COVID-19.55
Gambaran foto toraks yang sugestif terhadap COVID-19 adalah
interstitial reticular pattern, GGO, dan konsolidasi luas. Sebagian besar
menunjukkan distribusi bilateral, perifer subpleura. Dapat ditemukan
gambaran yang tidak spesifik pada pasien COVID-19 yang dapat
menunjukkan etiologi lain dari pneumonia yang ada seperti edema alveolar
atau infeksi lain. Gambaran ini adalah konsolidasi dan GGO dengan distribusi
sentral atau pada lobus atas secara unilateral.55
Temuan atipikal yang jarang ditemukan pada pneumonia COVID-19
yaitu konsolidasi pada lobus, nodul paru, adanya kavitas dan efusi pleura.
Gambaran ini dapat muncul pada pasien COVID-19 dengan progresifitas
penyakit yang serius.55

Gambar 2.9. Gambaran foto toraks normal pasien COVID-19 pada hari ke-1.57

32
Gambar 2.10. Gambaran foto toraks pasien COVID-19 terlihat adanya lung-predominant interstitial
and airspace opacities pada hari ke-9.57

Gambar 2.11. Gambaran foto toraks pasien COVID-19 terlihat adanya lung-predominant interstitial
and airspace opacities yang memburuk pada hari ke-15.57

c. Derajat keparahan
Klasifikasi pemeriksaan foto toraks untuk COVID-19 oleh Borghesi
dan Maroldi, merupakan suatu metode klasifikasi untuk menilai foto toraks
pada pasien COVID-19 yang dibuat pada tahun 2020.59
Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menggunakan
derajat keparahan ini. Pertama, pisahkan paru menjadi tiga zona pada
proyeksi foto toraks AP atau PA, tandai paru kanan dengan huruf A,B,C dan
paru kiri dengan D,E,F. Huruf ini akan memisahkan paru menjadi tiga bagian
yaitu zona atas, tengah dan bawah. Pada Gambar 2.12. dapat dilihat
bagaimana cara pembagian zona paru menurut skor Brixia. Garis A digambar
pada bagian bawah dinding inferior arkus aorta sehingga membagi A dan D
menjadi zona atas. Lalu terdapat garis B yang digambar pada bagian dinding

33
inferior dari vena pulmonalis kanan sehingga membagi B dan E menjadi
zona tengah serta C dan F menjadi zona bawah.59

Gambar 2.12. Pembagian zona paru menjadi enam bagian menurut skor Brixia.59

Selanjutnya, berikan nilai sesuai dengan abnormalitas yang ditemukan


pada tiap zona paru. Total skor yang didapatkan merupakan jumlah
keseluruhan poin pada seluruh zona paru berkisar dari 0-18.59 Skor derajat
keparahan yang perlu dinilai dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Skor derajat keparahan foto toraks COVID-19 menurut skor Brixia dihitung pada
masing-masing paru.59

Skor Keterangan
0 Tidak terdapat kelainan
1 Infiltrat interstitial
2 Infiltrat interstitial dan alveolar
(dominan pada interstitial)
3 Infiltrat interstitial dan alveolar
(dominan pada alveolar)

Derajat keparahan ini dapat digunakan dalam memprediksi mortalitas


pasien saat dirawat rumah sakit serta pada pasien lanjut usia dan
imunosupresif.56

34
Gambar 2.13. Gambaran foto toraks pasien COVID-19 dinilai dengan Brixia score dengan total skor
3.59

Gambar 2.14. Gambaran foto toraks pasien COVID-19 dinilai dengan Brixia score dengan total skor
11.59

Gambar 2.15. Gambaran foto toraks pasien COVID-19 dinilai dengan Brixia score dengan total skor
8.60

35
B. Kerangka Teori

Gambar 2.16. Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep

Gambar 2.17. Kerangka Konsep

36
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional dengan desain
penelitian deskriptif retrospektif yang bertujuan untuk observasi suatu variabel pada
titik waktu tertentu terutama dalam mengetahui gambaran foto toraks pasien COVID-
19 dengan PGK di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada periode Mei-Agustus 2021.
B. Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua data rekam medik
pasien COVID-19 dengan PGK yang melakukan foto toraks di Bagian Radiologi
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada periode Mei-Agustus 2021.
C. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medik pasien
COVID-19 dengan PGK yang melakukan foto toraks di Bagian Radiologi RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou pada periode Mei-Agustus 2021 dan sesuai dengan kriteria eksklusi
dan inklusi penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel yaitu
total sampling.
1. Kriteria inklusi
a. Semua data rekam medik pasien COVID-19 dengan PGK yang melakukan
pemeriksaan foto toraks di Bagian Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Mei-Agustus 2021.
2. Kriteria eksklusi
a. Data rekam medik pasien tidak lengkap.
b. Pasien tidak memiliki riwayat PGK.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independent)
Penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu gambaran foto toraks.
2. Variabel terikat (dependent)
Penelitian ini menggunakan variabel terikat yaitu pasien COVID-19 dengan
PGK.

37
E. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1. Definisi operasional variabel penelitian

Variabel Definisi Alat Ukur Kategori Skala Ukur

Pasien COVID-19 Pasien yang datang ke Data sekunder 1. Tanpa gejala Nominal
RSUP Prof. Dr. R. D. dari rekam 2. Gejala ringan
Kandou dengan manifestasi medik 3. Gejala sedang
gejala COVID-19 baik 4. Gejala berat
gejala tipikal maupun 5. Gejala kritis
atipikal.
Faktor komorbid Penyakit penyerta PGK Data sekunder 1. Stadium 1 Ordinal
PGK yang diderita oleh pasien dari rekam 2. Stadium 2
COVID-19 serta tercatat medik 3. Stadium 3a
dalam rekam medik 4. Stadium 3b
5. Stadium 4
6. Stadium 5

Pemeriksaan foto Pemeriksaan radiologi Data sekunder 1. Normal Nominal


toraks dengan menggunakan x-ray dari rekam 2. Patologis :
untuk mendapatkan medik a. Konsolidasi
gambaran toraks pasien b. GGO
COVID-19 dengan PGK c. Efusi pleura
dari rekam medik RSUP d. Edema paru
Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado.
Derajat keparahan Penilaian derajat keparahan Data sekunder 1. Skor 0 : Tidak Ordinal
skor Brixia pasien COVID-19 rekam medik terdapat kelainan.
menggunakan foto toraks 2. Skor 1 : Infiltrat
dengan cara membagi interstitial
lapangan paru menjadi 3. Skor 2 : Infiltrat
enam bagian sehingga interstitial dan
mendapat kisaran skor 0- alveolar (dominan
18. pada interstitial)
4. Skor 3 : Infiltrat
interstitial dan

38
alveolar (dominan
pada alveolar)

F. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Bagian Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado.
2. Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2021 hingga bulan
November 2021.
G. Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data
Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder dari rekam
medik pasien COVID-19 dengan PGK yang melakukan pemeriksaan foto toraks di
Bagian Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada periode Mei-Agustus 2021.
H. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul akan diolah dengan menggunakan program komputer
yakni Microsoft Office Word, Microsoft Office Excel dan SPSS (Statistical Package
for Social Science) lalu akan dideskripsikan dan disajikan dalam bentuk tabel.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. COVID-19 Clinical management Living guidance. 2021;(January). Available


from: https://www.who.int/publications/i/item/WHO-2019-nCoV-clinical-2021-1

2. WHO. Novel Coronavirus. Situat Rep – 1 [Internet]. 2020;205(6):1–19. Available


from: https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-
reports/20200121-sitrep-1-2019-ncov.pdf

3. Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, Yang B, Song J, et al. A Novel Coronavirus from


Patients with Pneumonia in China, 2019. N Engl J Med. 2020;382(8):727–33.

4. WHO. Coronavirus disease 2019 (covid-19). Situat Rep – 51 [Internet].


2020;31(2):61–6. Available from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/331475/nCoVsitrep11Mar2020-
eng.pdf?sequence=1&isAllowed=y

5. World Health Organization. COVID-19 Weekly Epidemiological Update. World Heal


Organ [Internet]. 2021;(December):1–3. Available from:
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-
reports/weekly_epidemiological_update_22.pdf

6. Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Data Vaksinasi COVID-19 (Update per 4 Juli
2021). 2021;19:https://covid19.go.id/p/berita/data-vaksinasi-covi. Available from:
https://covid19.go.id/p/berita/data-vaksinasi-covid-19-update-4-juli-2021

7. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. Data Terkini COVID-19 Di Sulawesi Utara
[Internet]. 2021. Available from: https://dinkes.sulutprov.go.id/detailpost/kondisi-
epidemiologi-covid-19-provinsi-sulawesi-utara-26-agustus-2021

8. Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Grafik Kasus Aktif, Kasus Sembuh dan Kasus
Meninggal per Provinsi (Update per 27 Agustus 2021) - Berita Terkini |
Covid19.go.id. 2021; Available from: https://covid19.go.id/p/berita/grafik-kasus-aktif-
kasus-sembuh-dan-kasus-meninggal-provinsi-update-1-agustus-2021

9. Kimball A, Hatfield K, Arons M, James A, Taylor J, Spicer K. Asymptomatic and


Presymptomatic SARS-CoV-2 Infections in Residents of a Long-Term Care Skilled
Nursing Facility — King County, Washington, March 2020 [Internet]. Vol. 69.
Washington; 2020. Available from:
https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/pdfs/mm6913e1-H.pdf

10. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical Features of Patients


Infected with 2019 Novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet [Internet].
2020;395(10223):497–506. Available from:
https://www.thelancet.com/action/showPdf?pii=S0140-6736%2820%2930183-5

11. Chen N, Zhou M, Dong X, Qu J, Gong F, Han Y, et al. Epidemiological and clinical
characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan , China : a
descriptive study. Lancet [Internet]. 2020;395(10223):507–13. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7

12. Somsen GA, Rijn C Van, Kooij S, Bem RA, Bonn D. Small droplet aerosols in poorly
ventilated spaces and SARS-CoV-2 transmission COVID-19 and the impact of social
determinants of health. Lancet Respir [Internet]. 2020;8(7):658–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S2213-2600(20)30245-9

13. Burke RM, Midgley CM, Dratch A, Fenstersheib M, Haupt T, Holshue M, et al.
Active Monitoring of Persons Exposed to Patients with Confirmed COVID-19 —
United States, January–February 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep [Internet].
2020;69(9):245–6. Available from:
https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/pdfs/mm6909e1-H.pdf

14. Ong SWX, Tan YK, Chia PY, Lee TH, Ng OT, Wong MSY, et al. Air, Surface
Environmental, and Personal Protective Equipment Contamination by Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) from a Symptomatic Patient
[Internet]. Vol. 323, JAMA - Journal of the American Medical Association. 2020. p.
1610–2. Available from: https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762692

15. Lauer SA, Grantz KH, Bi Q, Jones FK, Zheng Q, Meredith HR, et al. The incubation
period of coronavirus disease 2019 (CoVID-19) from publicly reported confirmed
cases: Estimation and application. Ann Intern Med [Internet]. 2020;172(9):577–82.
Available from: https://www.acpjournals.org/doi/pdf/10.7326/M20-0504

16. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus


Disease 2019. 2020;18(2):1–214. Available from:
https://covid19.go.id/storage/app/media/Protokol/2020/Juli/REV-
05_Pedoman_P2_COVID-19_13_Juli_2020.pdf
17. CDC. Interim Guidance for Antigen Testing for SARS-CoV-2. Centers Dis Control
Prev [Internet]. 2020;1–8. Available from: https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/lab/resources/antigen-tests-guidelines.html

18. McFee RB. COVID-19 - A Brief Review of Radiology Testing [Internet]. Vol. 66,
Disease-a-Month. Elsevier Inc.; 2020. p. 1–5. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7386280/pdf/main.pdf

19. Rubin GD, Ryerson CJ, Haramati LB, Sverzellati N, Kanne JP, Raoof S, et al. The
Role of Chest Imaging in Patient Management During the COVID-19 Pandemic: A
Multinational Consensus Statement From the Fleischner Society. Chest [Internet].
2020;158(1):106–16. Available from:
https://pubs.rsna.org/doi/full/10.1148/radiol.2020201365

20. Radiology AC of. ACR recommendations for the use of chest radiography and
computed tomography (CT) for suspected covid-19 infection. 2020; Available from:
https://www.acr.org/Advocacy-and-Economics/ACR-Position-
Statements/Recommendations-for-Chest-Radiography-and-CT-for-Suspected-
COVID19-Infection

21. Chan JF, Yuan S, Kok K, To KK, Chu H, Yang J, et al. A familial cluster of
pneumonia associated with the 2019 novel coronavirus indicating person-to-person
transmission : a study of a family cluster. Lancet [Internet]. 2020;395(10223):514–23.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30154-9

22. Guan W, Ni Z, Hu Y, Liang W, Ou C, He J, et al. Clinical Characteristics of


Coronavirus Disease 2019 in China. N Engl J Med [Internet]. 2020;382(18):1708–20.
Available from:
https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa2002032?articleTools=true

23. Kellerman R, Rakel D. Conn’s Current Therapy [Internet]. Philadelphia: Elsevier Inc.;
2021. 554–556 p. Available from: https://www.clinicalkey.com/#!/content/book/3-
s2.0-B978032379006200121X

24. Sadiq Z, Rana S, Mahfoud Z, Raoof A. Systematic review and meta-analysis of chest
radiograph ( CXR ) findings in COVID-19. Clin Imaging [Internet]. 2021;80:229–38.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.clinimag.2021.06.039
25. Chung M, Zeng X, Jacobi A. CT Imaging Features of 2019 Novel Coronavirus (2019-
nCoV). Radiology [Internet]. 2020;295:202–7. Available from:
https://pubs.rsna.org/doi/full/10.1148/radiol.2020200230

26. Nandy K, Salunke A, Kumar S, Pandey A, Doctor C, Puj K, et al. Diabetes &
Metabolic Syndrome : Clinical Research & Reviews Coronavirus disease ( COVID-19
): A systematic review and meta- analysis to evaluate the impact of various
comorbidities on serious events. Diabetes Metab Syndr Clin Res Rev [Internet].
2021;14(5):1017–25. Available from: https://doi.org/10.1016/j.dsx.2020.06.064

27. WHO. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) [Internet]. Vol. 9, Situation Report –
67. 2021. 192 p. Available from: https://cdn.who.int/media/docs/default-
source/searo/indonesia/covid19/external-situation-report-67.pdf?sfvrsn=3a1e8ba4_3

28. Gasmi A, Peana M, Pivina L, Srinath S. Interrelations between COVID-19 and other
disorders. Clin Immunol. 2020;224.

29. Valizadeh R, Baradaran A, Mirzazadeh A, Bhaskar LVKS. Coronavirus-nephropathy;


renal involvement in COVID-19. J Ren Inj Prev. 2020;9(2):2–4.

30. Lippi G, Wong J, Henry BM. Hypertension in patients with coronavirus disease 2019
(COVID-19): A pooled analysis. Polish Arch Intern Med. 2020;130(4):304–9.

31. Courtney B V. Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 7th ed. Ernst JD,
Jr TEK, Lazarus SC, editors. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2021. 622 p.

32. Azkur AK, Akdis M, Azkur D, Sokolowska M, Veen W van de, Brüggen M-C, et al.
Immune response to SARS-CoV-2 and mechanisms of immunopathological changes in
COVID-19. Allergy Eur J Allergy Clin Immunol [Internet]. 2020;75(7):1564–81.
Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32396996/

33. Pollán M, Pérez-Gómez B, Pastor-Barriuso R, Oteo J, Hernán MA, Pérez-Olmeda M,


et al. Prevalence of SARS-CoV-2 in Spain (ENE-COVID): a nationwide, population-
based seroepidemiological study. Lancet. 2020;396(10250):535–44.

34. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons from the Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a Report of 72314 Cases
from the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA - J Am Med
Assoc. 2020;323(13):1239–42.
35. Stokes EK, Zambrano LD, Anderson KN, Marder EP, Raz KM, El Burai Felix S, et al.
Coronavirus Disease 2019 Case Surveillance — United States, January 22–May 30,
2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020;69(24):759–65.

36. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/5671/2021 Tentang Manajemen Klinis Tata Laksana Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) di Fasilitas Pepelayanan Kesehatan. 2021 p. 1–106.

37. WHO. Recommendations For National SARS-Cov-2 Testing Strategies And


Diagnostic Capacities. World Heal Organ. 2021;(June):1–16.

38. Waheed KB, Naseer J, Ul Hassan MZ, Sarfraz S, Ahmed Z, Amin MS, et al. Imaging
trend and disease course in admitted COVID-19 patients. Saudi Med J. 2021;42(1):30–
7.

39. Kidney Disease: Improving Outcomes (KDIGO) CKD Work Group Global. KDIGO
2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease. Kidney Int Suppl. 2013;3(1):1–150.

40. Kasper D, Hauser S, Jameson JL, Fauci A, Longo D, Loscalzo J. Harrison’s Principle
of Internal Medicine. 19th ed. McGraw-Hill Education; 2015.

41. Goldman L, Schafer A. Goldman-Cecil Medicine [Internet]. 26th ed. Philadelphia:


Elsevier Inc.; 2020. 601–626 p. Available from: https://doi.org/10.1016/B978-0-323-
53266-2.00121-1

42. Bikbov B, Purcell CA, Levey AS, Smith M, Abdoli A, Abebe M, et al. Global,
regional, and national burden of chronic kidney disease, 1990–2017: a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2017. Lancet. 2020;395(10225):709–
33.

43. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Nasional 2018
[Internet]. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2019. 198 p. Available
from:
http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/Laporan_Nas
ional_RKD2018_FINAL.pdf

44. Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson RJ. Comprehensive Clinical Nephrology


[Internet]. Sixth Edit. Elsevier Inc.; 2019. 927–934 p. Available from:
https://doi.org/10.1016/B978-0-323-47909-7.00080-9

45. Liu YF, Zhang Z, Pan XL, Xing GL, Zhang Y, Liu ZS, et al. The chronic kidney
disease and acute kidney injury involvement in COVID-19 pandemic: A systematic
review and meta-analysis. PLoS One [Internet]. 2021;16(1 January):1–13. Available
from: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0244779

46. Henry BM, Lippi G. Chronic kidney disease is associated with severe coronavirus
disease 2019 (COVID-19) infection. Int Urol Nephrol [Internet]. 2020;52(6):1193–4.
Available from: https://doi.org/10.1007/s11255-020-02451-9

47. Mihalopoulos M, Dogra N, Mohamed N, Badani K, Kyprianou N. COVID-19 and


Kidney Disease: Molecular Determinants and Clinical Implications in Renal Cancer.
Vol. 6, European Urology Focus. 2020. p. 1086–96.

48. Pecly IMD, Azevedo RB, Muxfeldt ES. COVID-19 and chronic kidney disease : a
comprehensive review. Braz J Nephrol [Internet]. 2020;43(3):1–17. Available from:
https://www.scielo.br/j/jbn/a/NHTW8zh3KJyvV5w3TCp5dgG/?lang=en

49. Lopes RD, Macedo AVS, de Barros e Silva PGM, Moll-Bernardes RJ, Feldman A,
D’Andréa Saba Arruda G, et al. Continuing versus suspending angiotensin-converting
enzyme inhibitors and angiotensin receptor blockers: Impact on adverse outcomes in
hospitalized patients with severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-
CoV-2)–The BRACE CORONA Trial: BRACE CO. Am Heart J.
2020;226(January):49–59.

50. Collado S, Arenas MD, Barbosa F, Cao H, Montero MM, Villar-Garcia J, et al.
COVID-19 in Grade 4-5 Chronic Kidney Disease Patients. Kidney Blood Press Res.
2020;45(5):768–74.

51. Abrishami A, Khalili N, Dalili N, Tabari RK, Farjad R, Samavat S, et al. Clinical and
radiologic characteristics of covid-19 in patients with ckd. Iran J Kidney Dis.
2020;14(4):267–77.

52. NICE, (UK) National Institute for Health and Care Excellence. COVID-19 rapid
guideline: chronic kidney disease. NICE Guideline. 2020.

53. Mettler FA. Essentials of Radiology. Fourth. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2019. 36–92
p.
54. American College of Radiology. ACR–SPR–STR Practice parameter for the
performance of chest radiography. Am Coll Radiol [Internet]. 2017;1076(Revised
2017):1–9. Available from: https://www.acr.org/-/media/ACR/Files/Practice-
Parameters/chestrad.pdf

55. Wong HYF, Lam HYS, Fong AHT, Leung ST, Chin TWY, Lo CSY, et al. Frequency
and Distribution of Chest Radiographic Findings in Patients Positive for COVID-19.
Radiology. 2020;296(2):E72–8.

56. Flor N, Casazza G, Saggiante L, Savoldi AP, Vitale R, Villa P, et al. Chest
radiography predictor of COVID-19 adverse outcomes. A lesson learnt from the first
wave. Clin Radiol [Internet]. 2021;76(7):549.e1-549.e8. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.crad.2021.03.011

57. Stephanie S, Shum T, Cleveland H, Challa SR, Herring A, Jacobson FL, et al.
Determinants of chest radiography sensitivity for covid-19: A multi-institutional study
in the United States. Radiol Cardiothorac Imaging. 2020;2(5).

58. Manna S, Wruble J, Maron SZ, Toussie D, Voutsinas N, Finkelstein M, et al. COVID-
19: A multimodality review of radiologic techniques, clinical utility, and imaging
features. Radiol Cardiothorac Imaging. 2020;2(3):1–11.

59. Borghesi A, Maroldi R. COVID-19 outbreak in Italy: experimental chest X-ray scoring
system for quantifying and monitoring disease progression. Radiol Medica [Internet].
2020;125(5):509–13. Available from: https://doi.org/10.1007/s11547-020-01200-3

60. Wasilewski PG, Mruk B, Mazur S, Półtorak-Szymczak G, Sklinda K, Walecki J.


COVID-19 severity scoring systems in radiological imaging – A review. Polish J
Radiol. 2020;85(1):e361–8.

Anda mungkin juga menyukai