Anda di halaman 1dari 20

JOURNAL READING

COVID-19 and anosmia: A review based on up-to-date knowledge

Disusun Oleh:

Juliva Syahira 1102016094


Khansa Alifia Syafiqah1102016097
Lathifah Hanum Yuhen 1102016101

Pembimbing : dr. Hastuti Rahmi Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 2 NOVEMBER 2020 – 13 NOVEMBER 2020
ABSTRAK
Pandemi Coronavirus
Disease 2019 Menyebabkan bencana besar di seluruh dunia
(COVID-19)

Disfungsi
Dapat terjadi pada pasien COVID-19 seperti anosmia
penciuman

Mekanisme Disfungsi penciuman dan karakteristik klinisnya pada pasien dengan COVID-19
patogeniknya masih belum jelas

Studi cross- Angka kejadian disfungsi penciuman pada pasien COVID-19


sectional bervariasi dari 33,9–68% dengan dominasi perempuan

Spesialis THT harus


memperhatikan Agar tidak menunda diagnosis penyakit
gejala anosmia

Dalam makalah ini, bertujuan untuk meninjau pengetahuan yang relevan berdasarkan literatur terkini.
Pendahuluan
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merebak terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei,
Desember 2019
China dan menyebar dengan cepat ke seluruh dunia

WHO menamai penyakit ini sebagai COVID-19. Bukti klinis menunjukkan bahwa
12 Februari 2020 coronavirus menyebabkan sindrom pernafasan akut berat & dapat ditularkan dari orang
ke orang

WHO melaporkan bahwa 3.349.786 orang telah didiagnosis dengan


3 Mei 2020
COVID-19 di seluruh dunia, dengan 238.628 kematian, termasuk 214 negara

Manifestasi Manifestasi utama berupa demam dan batuk dan ditandai dengan limfositopenia dan
Ground Glass Opacity pada pemeriksaan Radiologi

Penderita infeksi parah juga dapat mengembangkan manifestasi neurologis akut


seperti penyakit serebrovaskular, cedera otot rangka dan gangguan kesadaran

Selain itu, beberapa pasien mungkin datang dengan gejala pernafasan atas seperti
faringodynia, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, rinore dan perubahan penciuman
Pendahuluan

Anosmia dan hiposmia, merupakan gejala yang paling menonjol di antara gejala-
Disfungsi penciuman gejala pada pasien COVID-19.
(OD) Namun, sejauh mana potensi manifestasi OD pada pasien COVID-19 msaih
belum jelas.

Memperjelas hubungan Dilakukan pencarian database literatur, termasuk PubMed, GS, CDC, Medrxiv,
antara OD dan COVID- Biorxiv, dan secara manual menjelajahi beranda beberapa jurnal otolaringologi
19

Merangkum publikasi penelitian tentang OD selama pandemi COVID-19 dan cara


Ulasan ini
penularan dan strategi penanggulangannya
SARS-CoV-2 dan Rongga Hidung
SARS-CoV-2, Coronavirus Sindrom Pernapasan Akut Parah (SARS-CoV),
Tujuh virus corona sindrom coronavirus (MERS-CoV), HCoV-229E, HCoV-NL63, HCoV OC43 dan
yang diketahui HCoV-HKU1.
menyebabkan infeksi
pada manusia SARS-CoV-2 dan SARS-CoV milik β-genus dari keluarga dan berbagi virus corona
82% kesamaan dalam urutan gen

membuat virion menempel pada membran sel dengan berinteraksi dengan inang
Virus SARS-CoV-2 ACE2
menggunakan protein reseptor (ACE2 adalah reseptor fungsional untuk SARS-CoV-2)
berduri S1

ekspresi serta distribusinya dalam sistem saraf menunjukkan bahwa SARS CoV-2
dapat menyebabkan manifestasi neurologis melalui langsung atau tidak langsung.

Karena anatomi unik dari sistem penciuman, termasuk bulbus olfaktorius dan saraf
penciuman, virus juga dapat menyebabkan infeksi sistem saraf pusat melalui
lempeng kribriform.
SARS-CoV-2 dan Rongga Hidung
Rongga Hidung Bagian vital daerah yang rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2

Para peneliti
Penelitian ini mengungkapkan bahwa virus korona patogen ini memiliki
membandingkan patologi
perbedaan utama situs patogen: SARS-CoV-2 (hidung dan
dan virologi SARS-CoV-2,
tenggorokan); SARS-CoV (paru-paru); MERS-CoV (pneumosit tipe II)
SARS-CoV dan MERS-CoV

Di rongga hidung lebih tinggi daripada viral load di faring, baik individu
Viral load bergejala maupun asimtomatik, mengisyaratkan rongga hidung sebagai
pintu gerbang pertama untuk infeksi awal

Para peneliti menyelidiki


ekspresi gen terkait masuk Melalui droplets yang menular, sel goblet dan sel bersilia di Mukosa
SARS-CoV-2, ACE2 hidung mungkin merupakan tempat awal infeksi SARS-CoV-2.
dan TMPRSS2

SARS-CoV-2 yang terdeteksi di air mata pasien COVID-19 dapat


Saluran nasolakrimal
menyebabkan infeksi hidung melalui saluran nasolakrimal

Temuan ini dapat menjelaskan sifat COVID-19 yang sangat menular dan sangat patogen
SARS-CoV-2 dan Rongga Hidung
Anosmia adalah kehilangan kemampuan indra penciuman yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab, salah satunya infeksi saluran pernapasan atas.

Di antara berbagai patogen, yang paling umum adalah virus, dan coronavirus adalah
salah satunya.
• Coronavirus 229E, varian flu biasa, telah terbukti menyebabkan hiposmia pada
manusia
• Anosmia yang disebabkan oleh SARS-CoV telah dilaporkan selama epidemi
SARS

Pasca-infeksi diduga disebabkan oleh kerusakan epitelium penciuman atau jalur pemrosesan
penciuman pusat.
Hubungan antara OD dan COVID-19

Masih sedikit bukti yang menunjukkan bahwa OD adalah salah satu tanda paling umum dari COVID-19. Gejala OD
telah menarik perhatian spesialis THT di seluruh dunia selama pandemi COVID-19. Ada banyak penelitian tentang
masalah ini. Di sini, peneliti telah merangkum penelitian yang diterbitkan dari akhir Maret hingga 1 Mei.
• Anosmia adalah tanda utama infeksi SARS-CoV-2.
• Pasien dengan COVID-19 dapat mengalami anosmia tiba-
tiba tanpa gejala lain. Sebelum timbulnya anosmia, gejala
ringan lainnya seperti batuk kering juga dapat muncul.

• Dalam penelitian retrospektif oleh Klopfenstein et al., 54 (47%) dari 114


pasien COVID-19 terkonfirmasi adanya gejala anosmia. OD sering disertai
dysgeusia pada pasien COVID-19.

Beberapa penelitian cross-sectional mengenai tingkat prevalensi OD pada


pasien COVID-19 telah diterbitkan, angka kejadian OD pada pasien COVID-19
sangat bervariasi di antara penelitian cross-sectional, dengan tingkat kejadian mulai
dari 33,9 hingga 68%. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu dengan
gangguan penciuman cenderung memiliki gangguan rasa, menunjukkan
kemungkinan hubungan antara keduanya.
• Sampai saat ini, dua penelitian case control mengenai hubungan antara OD dan
COVID-19 telah dilakukan.
• Penelitian Moein dkk melakukan tes fungsi penciuman (OFT) dari 60 pasien positif
SARS-CoV-2 dan mengambil 60 subjek dari penelitian sebelumnya sebagai
kelompok kontrol. Penelitian ini mengungkapkan bahwa pasien COVID-19
menunjukkan gejala OD yang jelas, cocok dengan kelompok kontrol dan data
normatif yang dipublikasikan.

• Penelitian lain, menggunakan kuesioner online, menganalisis tingkat


prevalensi gangguan bau dan/atau rasa pada pasien COVID-19
dengan pasien flu. Ini membuktikan bahwa angka kejadian pada
pasien COVID-19 cukup signifikan lebih tinggi dari pasien flu masing-
masing 39,2% dan 12,5%. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak
adanya OFT, hanya mengandalkan kuesioner yang dapat
memberikan hasil yang bias.
• OFT telah menjadi andalan untuk mendiagnosis OD. Namun, pasien di sebagian besar penelitian
belum diuji oleh OFT. Sejauh ini, OFT hanya tersedia dalam beberapa penelitian.

• Penelitian Marchese-Ragona dkk melaporkan bahwa hiposmia adalah satu-satunya atau gejala
utama pada enam pasien COVID-19, dikonfirmasi oleh enam tes bau yang disebut “le nez du vin”.
Dan juga melakukan penelitian menggunakan uji identifikasi bau dengan 40 bau, fokus pada
hubungan antara OD dan pasien rawat inap COVID-19 menemukan bahwa 59 (98%) dari 60 subjek
COVID-19 menunjukkan gejala OD. Khususnya, penelitian ini menyediakan bukti nyata bahwa OD
sering dikaitkan dengan COVID-19.

• Penelitian Vaira dkk melakukan evaluasi penciuman untuk 23 pasien


COVID-19 yang melakukan karantina di rumah, menggunakan OFT
yang ditangani sendiri oleh pasien dengan konsentrasi larutan etil
alkohol terdenaturasi. Data OFT yang diberikan sendiri oleh pasien
dapat membantu deteksi dini dan isolasi mandiri pasien COVID-19.
• Google Trends(GT), fitur menarik layanan Google, telah diterapkan pada penelitian medis
Spesialis THT dalam beberapa tahun terakhir.
• Penelitian Gane dkk menggunakan GT mengenai anosmia dari bulan Oktober 2019 hingga
23 Maret 2020 di Inggris, Amerika Serikat (AS), dan Italia. Mereka menyimpulkan bahwa
kurva GT memiliki fluktuasi yang signifikan di ketiga negara selama pandemi, terutama di
Inggris.

• Penelitian serupa lainnya yang dilakukan Walker dkk melakukan eksplorasi di


internet mengenai kelainan hilangnya penciuman di Inggris, Prancis, Jerman,
Italia, Belanda, Spanyol, Iran dan AS. Penelitian ini mengungkapkan korelasi
yang kuat antara angka kejadian harian terkait dengan anosmia dan jumlah
onset pasien COVID-19 di negara-negara ini.
• Sayangnya, tidak ada data pada GT mengenai China yang tersedia di literatur
karena pembatasan akses.
Berdasarkan penelitian saat ini, OD memiliki angka kejadian
yang tinggi pada pasien COVID-19 di beberapa negara Eropa
dan Amerika, sedangkan OD jarang terjadi pada pasien di China.

• Lovato dan de Filippis meninjau ulang lima artikel tentang gejala klinis pasien COVID-19 dari
China, terdiri dari 1.556 kasus, tidak ada laporan mengenai OD.
• Penelitian Mao dkk. menganalisis secara retrospektif gejala neurologis dari 214 pasien di Wuhan,
Cina, dan menemukan bahwa 5,1% (n = 11) dari pasien menunjukkan gangguan penciuman.
Sepengetahuan peneliti, makalah tersebut adalah satu-satunya studi hingga saat ini yang
menggambarkan OD dengan COVID-19 di Cina.
Beberapa alasan yang menjelaskan kejadian OD dengan pasien
berbeda di berbagai negara:

1. Pertama, SARS-CoV-2 bisa bermutasi sangat cepat dan infeksius.


Penelitian Forster dkk melakukan analisis pada genom SARS-CoV-2 dan menemukan tiga varian
utama dengan asam amino yang berbeda. Genotipe A dan C SARS-Cov-2 memiliki proporsi yang
signifikan di Eropa dan Amerika. Sedangkan, tipe B adalah jenis yang paling umum di Asia
Timur. Strain tipe A dan C berspekulasi sebagai patogenisitas yang tinggi untuk rongga hidung
manusia, yang mengakibatkan peningkatan prevalensi gangguan penciuman di negara-negara
Eropa dan Amerika.

2. Kedua, kerentanan patogen terhadap SARS-CoV-2 juga dapat bervariasi antar individu.
Namun, bukti yang mendukung pernyataan ini tidak ada.

3. Ketiga, karena awalnya wabah COVID-19 terjadi di China, dokter tidak menyadari akan
kelainan ini, hanya mengenali gejala primer yang mengancam nyawa tetapi tidak memperhatikan
manifestasi gejala kelainan penciuman. OD juga merupakan salah satu gejala yang paling
diabaikan oleh pasien.

Namun, untuk alasan yang spesifik dalam perbedaan ini masih perlu dipelajari lebih lanjut untuk
kedepannya.
Respon Organisasi Profesional
Banyak organisasi profesional yang mengetahui bahwa pada pasien COVID-
19 mungkin memiliki gejala OD (Olfactory dysfunction) dan telah memasukkan
gejala ini dalam pedoman diagnostik COVID-19, serta mengeluarkan peringatan
terkait gejala tersebut.

Pada 21 Maret, Prof Claire Hopkins, Presiden British Rhinological Society, pertama
kali secara resmi menekankan anosmia sebagai gejala awal umum infeksi COVID-
19.

Pada 26 Maret, akademi otolaringologi-bedah kepala dan leher Amerika


mengeluarkan pernyataan bahwa anosmia dengan dysgeusia adalah gejala yang
terkait dengan pasien COVID-19. Akademi juga telah membuat Alat Pelaporan
Anosmia COVID-19, sebuah kuesioner online, bagi pasien secara global untuk
mengirimkan data.

Pada 17 April, CDC merangkum dan memperbarui gejala COVID-19 yang paling
umum, menambahkan "hilangnya rasa atau bau" ke daftar gejala.
Strategi Koping untuk Otolaringologis

• Karena anosmia bisa menjadi satu-satunya presentasi klinis


pasien COVID-19 tanpa tanda-tanda signifikan lainnya, hal itu
mendorong ahli THT ke garis depan.
• Ahli THT harus selalu waspada saat menangani pasien rawat
jalan agar tidak menunda diagnosa COVID-19, dan menghindari
infeksi silang, ahli otolaringologi dapat mempertimbangkan
evaluasi penciuman jarak jauh untuk pasien COVID-19 dengan
OD.
• Otolaringologi merupakan departemen yang berisiko tinggi untuk
COVID-19, terutama untuk ahli THT di atas 60 tahun. Oleh
karena itu, sangat penting bagi tenaga medis untuk melakukan
perlindungan pribadi.
• Pengujian laboratorium dan isolasi diri diperlukan untuk pasien
yang menunjukkan anosmia.
Kesimpangsiuran dan Petunjuk untuk Penelitian Selanjutnya

• Mekanisme pasti SARS-CoV-2 terhadap sistem penciuman masih


belum diketahui, penelitian dan bukti saat ini tidak sistematis serta
pemahaman antara OD dan COVID-19 masih jauh dari cukup.
• Belum jelas apakah OD dihasilkan dari kerusakan saraf penciuman
yang diinduksi virus atau peradangan lokal pada rongga hidung
atau keduanya.

• Studi saat ini tidak memiliki hasil dari perubahan penciuman pasien COVID-19, dari
awal hingga pemulihan total.
• Oleh karena itu, apakah penderita OD dengan COVID-19 bersifat sementara atau
permanen masih harus dijelaskan. Serta berapa prevalensi pasti OD pada pasien
COVID-19 secara global dan bisakah OD digunakan sebagai indikator berharga
untuk diagnosis dan prognosis pasien COVID-19.

Studi yang lebih ekstensif, baik dasar maupun klinis, perlu dilakukan
untuk mengungkap misteri ini di masa mendatang.
• Dalam beberapa studi cross-sectional, pasien diidentifikasi dengan
7. Limitasi
kuesioner yang dilaporkan dan diserahkan sendiri, yang tidak
diverifikasi oleh para peneliti.
• Beberapa informasi penting, seperti jenis kelamin dan usia, tidak
muncul dalam beberapa penelitian.
• Untuk meliput pengetahuan terkini, review ini juga menggunakan data
dari beberapa literatur pracetak yang belum melalui review lengkap.

8. Kesimpulan

• OD merupakan tanda karakteristik penderita COVID-19, dapat


timbul secara mandiri atau dengan gejala lain, namun
patogenesisnya belum dipahami dengan baik.
• Studi mendalam diperlukan untuk menjelaskan gambaran klinis
dan patogenesis OD pada pasien COVID-19.
• Ahli THT harus mewaspadai anosmia untuk menghindari
penundaan diagnosis COVID-19
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai