Disusun Oleh:
Disfungsi
Dapat terjadi pada pasien COVID-19 seperti anosmia
penciuman
Mekanisme Disfungsi penciuman dan karakteristik klinisnya pada pasien dengan COVID-19
patogeniknya masih belum jelas
Dalam makalah ini, bertujuan untuk meninjau pengetahuan yang relevan berdasarkan literatur terkini.
Pendahuluan
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merebak terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei,
Desember 2019
China dan menyebar dengan cepat ke seluruh dunia
WHO menamai penyakit ini sebagai COVID-19. Bukti klinis menunjukkan bahwa
12 Februari 2020 coronavirus menyebabkan sindrom pernafasan akut berat & dapat ditularkan dari orang
ke orang
Manifestasi Manifestasi utama berupa demam dan batuk dan ditandai dengan limfositopenia dan
Ground Glass Opacity pada pemeriksaan Radiologi
Selain itu, beberapa pasien mungkin datang dengan gejala pernafasan atas seperti
faringodynia, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, rinore dan perubahan penciuman
Pendahuluan
Anosmia dan hiposmia, merupakan gejala yang paling menonjol di antara gejala-
Disfungsi penciuman gejala pada pasien COVID-19.
(OD) Namun, sejauh mana potensi manifestasi OD pada pasien COVID-19 msaih
belum jelas.
Memperjelas hubungan Dilakukan pencarian database literatur, termasuk PubMed, GS, CDC, Medrxiv,
antara OD dan COVID- Biorxiv, dan secara manual menjelajahi beranda beberapa jurnal otolaringologi
19
membuat virion menempel pada membran sel dengan berinteraksi dengan inang
Virus SARS-CoV-2 ACE2
menggunakan protein reseptor (ACE2 adalah reseptor fungsional untuk SARS-CoV-2)
berduri S1
ekspresi serta distribusinya dalam sistem saraf menunjukkan bahwa SARS CoV-2
dapat menyebabkan manifestasi neurologis melalui langsung atau tidak langsung.
Karena anatomi unik dari sistem penciuman, termasuk bulbus olfaktorius dan saraf
penciuman, virus juga dapat menyebabkan infeksi sistem saraf pusat melalui
lempeng kribriform.
SARS-CoV-2 dan Rongga Hidung
Rongga Hidung Bagian vital daerah yang rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2
Para peneliti
Penelitian ini mengungkapkan bahwa virus korona patogen ini memiliki
membandingkan patologi
perbedaan utama situs patogen: SARS-CoV-2 (hidung dan
dan virologi SARS-CoV-2,
tenggorokan); SARS-CoV (paru-paru); MERS-CoV (pneumosit tipe II)
SARS-CoV dan MERS-CoV
Di rongga hidung lebih tinggi daripada viral load di faring, baik individu
Viral load bergejala maupun asimtomatik, mengisyaratkan rongga hidung sebagai
pintu gerbang pertama untuk infeksi awal
Temuan ini dapat menjelaskan sifat COVID-19 yang sangat menular dan sangat patogen
SARS-CoV-2 dan Rongga Hidung
Anosmia adalah kehilangan kemampuan indra penciuman yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab, salah satunya infeksi saluran pernapasan atas.
Di antara berbagai patogen, yang paling umum adalah virus, dan coronavirus adalah
salah satunya.
• Coronavirus 229E, varian flu biasa, telah terbukti menyebabkan hiposmia pada
manusia
• Anosmia yang disebabkan oleh SARS-CoV telah dilaporkan selama epidemi
SARS
Pasca-infeksi diduga disebabkan oleh kerusakan epitelium penciuman atau jalur pemrosesan
penciuman pusat.
Hubungan antara OD dan COVID-19
Masih sedikit bukti yang menunjukkan bahwa OD adalah salah satu tanda paling umum dari COVID-19. Gejala OD
telah menarik perhatian spesialis THT di seluruh dunia selama pandemi COVID-19. Ada banyak penelitian tentang
masalah ini. Di sini, peneliti telah merangkum penelitian yang diterbitkan dari akhir Maret hingga 1 Mei.
• Anosmia adalah tanda utama infeksi SARS-CoV-2.
• Pasien dengan COVID-19 dapat mengalami anosmia tiba-
tiba tanpa gejala lain. Sebelum timbulnya anosmia, gejala
ringan lainnya seperti batuk kering juga dapat muncul.
• Penelitian Marchese-Ragona dkk melaporkan bahwa hiposmia adalah satu-satunya atau gejala
utama pada enam pasien COVID-19, dikonfirmasi oleh enam tes bau yang disebut “le nez du vin”.
Dan juga melakukan penelitian menggunakan uji identifikasi bau dengan 40 bau, fokus pada
hubungan antara OD dan pasien rawat inap COVID-19 menemukan bahwa 59 (98%) dari 60 subjek
COVID-19 menunjukkan gejala OD. Khususnya, penelitian ini menyediakan bukti nyata bahwa OD
sering dikaitkan dengan COVID-19.
• Lovato dan de Filippis meninjau ulang lima artikel tentang gejala klinis pasien COVID-19 dari
China, terdiri dari 1.556 kasus, tidak ada laporan mengenai OD.
• Penelitian Mao dkk. menganalisis secara retrospektif gejala neurologis dari 214 pasien di Wuhan,
Cina, dan menemukan bahwa 5,1% (n = 11) dari pasien menunjukkan gangguan penciuman.
Sepengetahuan peneliti, makalah tersebut adalah satu-satunya studi hingga saat ini yang
menggambarkan OD dengan COVID-19 di Cina.
Beberapa alasan yang menjelaskan kejadian OD dengan pasien
berbeda di berbagai negara:
2. Kedua, kerentanan patogen terhadap SARS-CoV-2 juga dapat bervariasi antar individu.
Namun, bukti yang mendukung pernyataan ini tidak ada.
3. Ketiga, karena awalnya wabah COVID-19 terjadi di China, dokter tidak menyadari akan
kelainan ini, hanya mengenali gejala primer yang mengancam nyawa tetapi tidak memperhatikan
manifestasi gejala kelainan penciuman. OD juga merupakan salah satu gejala yang paling
diabaikan oleh pasien.
Namun, untuk alasan yang spesifik dalam perbedaan ini masih perlu dipelajari lebih lanjut untuk
kedepannya.
Respon Organisasi Profesional
Banyak organisasi profesional yang mengetahui bahwa pada pasien COVID-
19 mungkin memiliki gejala OD (Olfactory dysfunction) dan telah memasukkan
gejala ini dalam pedoman diagnostik COVID-19, serta mengeluarkan peringatan
terkait gejala tersebut.
Pada 21 Maret, Prof Claire Hopkins, Presiden British Rhinological Society, pertama
kali secara resmi menekankan anosmia sebagai gejala awal umum infeksi COVID-
19.
Pada 17 April, CDC merangkum dan memperbarui gejala COVID-19 yang paling
umum, menambahkan "hilangnya rasa atau bau" ke daftar gejala.
Strategi Koping untuk Otolaringologis
• Studi saat ini tidak memiliki hasil dari perubahan penciuman pasien COVID-19, dari
awal hingga pemulihan total.
• Oleh karena itu, apakah penderita OD dengan COVID-19 bersifat sementara atau
permanen masih harus dijelaskan. Serta berapa prevalensi pasti OD pada pasien
COVID-19 secara global dan bisakah OD digunakan sebagai indikator berharga
untuk diagnosis dan prognosis pasien COVID-19.
Studi yang lebih ekstensif, baik dasar maupun klinis, perlu dilakukan
untuk mengungkap misteri ini di masa mendatang.
• Dalam beberapa studi cross-sectional, pasien diidentifikasi dengan
7. Limitasi
kuesioner yang dilaporkan dan diserahkan sendiri, yang tidak
diverifikasi oleh para peneliti.
• Beberapa informasi penting, seperti jenis kelamin dan usia, tidak
muncul dalam beberapa penelitian.
• Untuk meliput pengetahuan terkini, review ini juga menggunakan data
dari beberapa literatur pracetak yang belum melalui review lengkap.
8. Kesimpulan