Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk kebutuhan hidup orang

banyak bahkan untuk semua makhluk hidup, oleh karena itu pemenuhan

kebutuhan air bersih menjadi salah satu persyaratan. Upaya untuk pemenuhan

kebutuhan pengembangan air bersih harus dilakukan dengan baik sehingga tidak

saja dapat memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang lama, namun juga

dapat menjaga kelestarian keberadaannya. Sumber air untuk memenuhi

kebutuhan air bersih dapat berasal dari berbagai sumber antara lain adalah air

permukaan, air sungai, air rawa/danau, air tanah dangkal, air tanah dalam, dan

mata air. Untuk meningkatkan kebutuhan dasar masyarakat akan air bersih, maka

perlu disesuaikan dengan sumber air baku serta teknologi yang sesuai dengan

tingkat penguasaan teknologi. Salah satu alternatif yakni dengan menggunakan

teknologi pengolahan air sederhana dengan Saringan Pasir Lambat. Dimana

tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk meningkatkan kualitas air. Saringan

pasir lambat menggunakan butiran pasir yang sangat kecil sebagai media filter.

Sistem saringan pasir lambat adalah pengolahan air yang sangat sederhana

dengan hasil air bersih dengan kualitas yang baik. Sistem saringan pasir lambat

ini mempunyai keunggulan antara lain tidak memerlukan bahan kimia (koagulan)

yang mana bahan kimia ini merupakan kendala sering dialami pada proses

pengolahan air. Cara ini sangat sesuai untuk pengolahan yang air bakunya

1
mempunyai kekeruhan yang rendah dan relatif tetap. Biaya operasi rendah karena

proses pengendapan biasanya tanpa bahan kimia. Jika kekeruhan air baku cukup

tinggi, pengendapan dapat juga memakai bahan kimia (koagulan) agar beban

filter tidak terlalu berat. Salah satu jenis Saringan Pasir Lambat adalah jenis Up

Flow, dimana pada jenis ini, aliran air yang akan diolah dialirkan dari bawah

keatas didalam filter, sehingga waktu operasional filter bisa lebih lama serta

proses pencucian kembali filter (backwash) akan lebih mudah.

Tidak semua sumber air dapat dijadikan air baku untuk air bersih secara

langsung, dimana hal ini terkait dengan pencemar atau polutan yang terkandung

didalamnnya. Sehingga harus diolah sedemikian rupa untuk memenuhi syarat –

syarat yang telah ditentutkan. Termasuk Waduk Batujai sebagai sumber air

potensial, untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, harus dilakukan penelitian lebih

awal untuk mendapatkan data – data yang diperlukan.

Sehubungan dengan itu maka penulis tertarik untuk mengajukan proposal

penelitian dengan judul “Pengaruh Penggunaan Saringan Pasir Lambat Type

Up Flow Pada Pengolahan Air Baku Waduk Batujai Untuk Pengujian

Parameter Kekeruhan, Bakteri E. Coli, Total Coliform, BOD dan COD”

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam proposal penelitan tugas akhir ini yaitu :

1.2.1 Bagaimana kualitas air bendungan Batujai sebagai sumber air baku air minum,

untuk pengujian parameter kekeruhan, bakteri E. Coli, Total Coliform, BOD

2
dan COD berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 492 / MENKES

/ PER / IV / 2010 tentang baku mutu kualitas air minum ?

1.2.2 Bagaimana kualitas air bendungan Batujai hasil pengolahan air dengan

Saringan Pasir Lambat Up Flow, untuk pengujian parameter kekeruhan,

bakteri E. Coli, Total Coliform, BOD dan COD berdasarkan Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor : 492 / MENKES / PER / IV / 2010 tentang baku

mutu kualitas air minum ?

1.2.3 Bagaimana efektifitas pengolahan air dengan Saringan Pasir Lambat Up Flow,

untuk pengujian parameter kekeruhan, bakteri E. Coli, Total Coliform, BOD

dan COD berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 492 / MENKES

/ PER / IV / 2010 tentang baku mutu kualitas air minum ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini antara lain :

1.3.1 Untuk mengetahui kualitas air bendungan Batujai sebagai sumber air baku air

minum, untuk pengujian parameter kekeruhan, bakteri E. Coli, Total Coliform,

BOD dan COD berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 492 /

MENKES / PER / IV / 2010 tentang baku mutu kualitas air minum.

1.3.2 Untuk mengetahui kualitas air bendungan Batujai hasil pengolahan air dengan

Saringan Pasir Lambat Up Flow, dengan pengujian parameter kekeruhan,

bakteri E. Coli, Total Coliform, BOD dan COD berdasarkan Keputusan

3
Menteri Kesehatan Nomor : 492 / MENKES / PER / IV / 2010 tentang baku

mutu kualitas air minum.

1.3.3 Untuk mengetahui efektifitas pengolahan air dengan Saringan Pasir Lambat

Up Flow, dengan pengujian parameter kekeruhan, bakteri E. Coli, Total

Coliform, BOD dan COD berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor :

492 / MENKES / PER / IV / 2010 tentang baku mutu kualitas air minum.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang didapatkan pada penelitian ini antara lain :

1.4.1 Dapat mengetahui kualitas air bendungan Batujai sebagai sumber air baku air

minum, sebelum dan sesudah dilakukan proses pengolahan air dengan

Saringan Pasir Lambat Up Flow, dengan pengujian parameter kekeruhan,

bakteri E. Coli, Total Coliform, BOD dan COD berdasarkan peraturan yang

berlaku.

1.4.2 Dapat mengetahui efektifitas pengolahan air dengan Saringan Pasir Lambat

Up Flow, dengan pengujian parameter kekeruhan, bakteri E. Coli, Total

Coliform, BOD dan COD berdasarkan peraturan yang berlaku.

1.4.3 Memberikan masukan kepada pihak terkait tentang kondisi Waduk Batujai

sebagai sebagai sumber air baku air minum.

1.5 Batasan masalah

4
Untuk menghindarkan melebarnya pembahasan yang membuat hasil penelitian

berubah dari tujuan awal maka perlu di buat batasan masalah pada penelitian ini.

Adapun batasan – batasan pada penelitian ini adalah : 1. Air baku yang digunakan

berasal dari Waduk Batujai Kabupaten Lombok Tengah. 2. Jenis pengolahan air

yang digunakan adalah Saringan Pasir Lambat Up Flow. 3. Parameter yang

diamati adalah kekeruhan, bakteri E. Coli, Total Coliform, BOD dan COD.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Hidrologi dan Air Tanah

Bumi memiliki sekitar 1,3 - 1,4 milyar km³ air, yang terbagi atas laut sejumlah

97,5%, dalam bentuk es sejumlah 1,75% dan sekitar 0,73% berada di darat. Air

hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan mengalir ke daerah yang lebih rendah

dan masuk ke sungai akhirnya mengalir sampai ke laut, dalam perjalanan air

tersebut sebagian akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi) dan ada pula yang

menguap kembali (Suripin, 2001). Air tanah adalah air yang melekat pada butir-

butir tanah, air yang terletak diantara butir-butir tanah, dan air yang tergenang di

atas lapisan tanah yang terdiri dari batu, tanah lempung yang amat halus atau

padat yang sukar ditembus air. Kebanyakan air tanah berasal dari hujan. Air

hujan yang meresap ke dalam tanah menjadi bagian dari air tanah, perlahan

mengalir ke laut, atau mengalir dalam tanah atau di permukaan dan bergabung

dengan aliran sungai. (Sutrisno,1987) Banyaknya air yang meresap ke tanah

bergantung pada selain ruang dan waktu, juga di pengaruhi kecuraman lereng,

5
kondisi material permukaan tanah dan jenis serta banyaknya vegetasi dan curah

hujan. Meskipun curah hujan besar tetapi lerengnya curam, ditutupi material

impermeabel, persentase air mengalir di permukaan lebih banyak daripada

meresap ke bawah. Sedangkan pada curah hujan sedang, pada lereng landai dan

permukaannya permiabel, persentase air yang meresap lebih banyak. Sebagian air

yang meresap tidak bergerak jauh karena tertahan oleh daya tarik molekuler

sebagai lapisan pada butiran-butiran tanah. Kecendrungan memilih air tanah

sebagai sumber air bersih dibandingkan air permukaan mempunyai keuntungan

sebagai berikut : 1. Tersedia dekat dengan tempat yang memerlukan, sehingga

kebutuhan bangunan pembawa/ distribusi lebih murah. 2. Debit (produksi) sumur

biasanya relatif stabil. 3. Lebih bersih dari bahan cemaran (polutan permukaan).

4. Kualitasnya seragam. 5. Bersih dari kekeruhan, bakteri, lumut atau tumbuhan

dan binatang liar. (Suripin, 2001)

2.1.1 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi atau siklus air adalah suatu sirkulasi air secara terus menerus

terjadi dari atmosfer turun ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer melalui

berbagai proses. Proses yang terjadi pada siklus air adalah sebagai berikut: 1.

Proses kondensasi atau pengembunan yaitu suatu proses perubahan dari wujud

benda ke wujud yang lebih padat, seperti gas menjadi cairan. 2. Proses

presipitasi yaitu suatu proses turunnya air dari atmosfer ke permukaan,

presipitasi dapat berupa hujan , hujan salju, kabut, embun, hujan es. Di

Indonesia yang merupakan wilayah yang beriklim tropis, yang memberikan

sumbangan paling besar adalah hujan. 3. Proses evaporasi atau penguapan

6
yaitu suatu proses perubahan molekul di dalam keadaan cair dengan spontan

menjadi gas, proses ini berkebalikan dengan kondensasi. 4. Proses transpirasi

yaitu proses penguapan air yang berlangsung pada jaringan hidup yang

dipengaruhi oleh fisiologi tumbuhan. Air naik ke udara dari permukaan laut

meupun dari daratan melalui proses evaporasi. Air yang berada di atmosfer

yang berbentuk uap tersebut dalam massa yang besar di atas daratan serta

dipanaskan oleh radiasi tanah.

Siklus hidologi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Siklus pendek: air yang

berasal dari laut menguap lalu melalui proses kondensasi berubah menjadi

butir-butir air yang halus atau awan dan selanjutnya hujan langsung jatuh ke

laut. 2. Siklus sedang: air yang berasal dari laut menguap lalu melewati proses

kondensasi berubah menjadi awan dan dibawa oleh angin menuju daratan dan

jatuh sebagai hujan di daratan dan selanjutnya meresap ke dalam tanah lalu

kembali lagi ke laut melalui sungai-sungai atau saluran air. 3. Siklus panjang:

air yang berasal dari laut menguap, setelah itu menjadi awan melalui proses

kondensasi, lalu terbawa oleh angin ke tempat yang lebih tinggi di daratan dan

terjadilah hujan salju atau es di pegunungan. Bongkahbongkah es mengendap

di puncak gunung dank arena gaya gravitasi meluncur ke tempat yang lebih

rendah, mencair dan terbentuklah gletser lalu mengalir melalui sungai-sungai

kembali ke laut. Daerah aliran sungai sebagai ekosistem alami berlaku proses-

proses biofisik hidrologis di dalamnya dimana proses-proses tersebut

merupakan bagian dari suatu daur hidrologi atau siklus air.

2.1.2 Penggolongan Air Tanah

7
Penggolongan air tanah berdasarkan asal mulanya dapat dibagi menjadi empat

tipe, yaitu : 1. Air meteorik yakni air yang berasal dari atmosfer dan mencapai

mintakatkejenuhan baik secara langsung (infiltrasi permukaan tanah dan

kondensasi uap air ) maupun tidak langsung (perembesan influen). 2. Air

Juvenil yaitu air baru yang ditambahkan pada mintakat kejenuhan dan kerak

bumi yang dalam (seperti air magmatik, air gunung api dan air kosmik). 3. Air

diremajakan (rejuvenated) ialah air untuk sementara waktu telah dikeluarkan

dari daur hidrologi oleh pelapukan, dan sebab-sebab lain,kembali kedaur lagi

dengan proses-proses yang serupa. 4. Air kinat adalah air yang dijebak pada

beberapa batuan sendimen atau gunung saat asal mulanya. Air tersebut

biasanya sangat termineralisasi dan mempunyai salinitas yang lebih tinggi

daripada air laut. (Seyhan,1977)

2.1.3 Kondisi air tanah

Air tanah merupakan suatu bagian dalam proses sirkulasi alamiah. Jika

pemanfaatan air tanah itu memutuskan sistem sirkulasi, yakni jika air yang

dipompa melebihi besarnya pengisian kembali (recharge), maka akan terjadi

pengurangan volume air tanah yang ada. Berkurangnya volume air tanah itu

akan kelihatan dalam bentuk penurunan permukaan air tanah atau penurunan

tekanan air tanah, ini akan mengakibatkan penurunan intensitas pemompaan,

dan jika penurunan ini melampaui suatu limit tertentu maka fungsi

pemompaan akan hilang. Akhirnya sumber air tanah itu menjadi kering. Jadi

untuk menghindari pengurangan volume air tanah yang ada, maka harus dijaga

supaya besarnya pemompaan itu sesuai dengan pengisian kembali.

8
(Sasrodarsono dan Takeda,1993) Terjadinya penyedotan air tanah yang terus–

menerus tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya dapat

menyebabkan permukaan air tanah melebihi daya produksi dari suatu akuifer

yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap sumber air bawah serta

menyebabkan penurunan lapisan tanah. Penyedotan air bawah tanah yang

berlebihan dibeberapa tempat yang berakibat menurunnya permukaan air

tanah setempat secara menyolok dapat kita lihat misalnya di Jakarta,

permukaan air tanah tanah turun sampai 25 meter di bawah permukaan air laut

dan di Bandung sampai 20 meter dipermukaan air tanah setempat, disamping

itu untuk beberapa kota yang terletak ditepi pantai seperti Medan, Jakarta ,

Semarang terjadi penyusupan air laut ke dalam lapisan tanah yang

mengandung air tawar akibat penurunan permukaan air tanah tersebut.

(Sasrodarsono dan Takeda, 1993)

2.1.4 Air Tanah Dangkal

Air tanah dangkal adalah air tanah berada pada kedalaman maksimal 15 m di

bawah permukaan tanah sedangkan air tanah dalam adalah air tanah yang

berada minimal 15 meter di bawah permukaan tanah (Surbakti, 1986). Tanah

di zona air tanah dangkal berada di dalam keadaan tidak jenuh, kecuali

kadang-kadang bila terdapat banyak air di permukaan tanah seperti berasal

dari curah hujan dan irigasi. Zona tersebut dimulai dari permukaan tanah

sampai ke zona perakaran utama (major root zone) tebalnya beragam menurut

jenis tanaman dan jenis tanah Soemartono (1995).

9
2.1.5 Akuifer

Suatu akuifer diuraikan sebagai suatu batuan geologi yang menahan dan

menyalurkan air tanah. Secara umum air tanah akan mengalir sangat perlahan

melalui suatu celah yang sangat kecil dan atau melalui butiran antar batuan.

Batuan yang mampu menyimpan dan mengalirkan air tanah ini kita sebut

dengan akuifer. Akuifer yang tersusun oleh material batu pasir diperkirakan

memiliki derajat kelulusan yang cukup tinggi dan apabila dipengaruhi intrusi

air laut maka batu pasir akan lebih cepat terintrusi oleh air laut dibandingkan

dengan material pasir atau kerikil, mengingat batu pasir bersifat lebih poros.

Struktur geologi berpengaruh terhadap arah gerakan air tanah, tipe dan potensi

akuifer. Stratigrafi yang tersusun atas beberapa lapisan batuan akan

berpengaruh terhadap akuifer, kedalaman dan ketebalan akuifer, serta

kedudukan air tanah. Jenis dan umur batuan juga berpengaruh terhadap daya

hantar listrik, dan dapat menentukan kualitas air tanah. Pada mulanya air

memasuki akuifer melewati daerah tangkapan (recharge area) yang berada

lebih tinggi daripada daerah buangan (discharge area). Daerah tangkapan

biasanya terletak di gunung atau pegunungan dan daerah buangan terletak di

daerah pantai. Air yang berada dibagian bawah akuifer mendapat tekanan

yang besar oleh berat air diatasnya, tekanan ini tidak dapat hilang atau

berpindah karena akuifer terisolasi oleh akiklud diatas dan dibawahnya, yaitu

lapisan yang impermeable dengan konduktivitas hidrolik sangat kecil sehingga

tidak memungkinkan air melewatinya. Lapisan yang dapat dilalui dengan

mudah air tanah seperti lapisan pasir kerikil disebut lapisan permeable.

10
Lapisan yang sulit dilalui air tanah seperti lempung, disebut lapisan kedap air,

atau disebut juga impermeable. (Sasrodarsono dan Takeda,1993). Permukaan

air tanah di sumur dari air tanah bebas adalah permukaan air bebas dan

permukaan air tanah dari akuifer terkekang adalah permukaan air terkekang.

Jadi permukaan air bebas adalah batas antara zona aerasi atau zona yang tidak

jenuh di atas zona jenuh. (Linsley dan Franzini, 1991) Uraian mengenai

terbentuknya air tanah menunjukkan bahwa peranan formasi geologi atau

akuifer amatlah penting. Formasi geologi tertentu, baik yang terletak pada

zona bebas (unconfined aquifer) maupun zona terkekang (confined aquifer),

dapat memberikan pengaruh tertentu pula terhadap keberadaan air tanah.

Dengan demikian, karakteristik akuifer mempunyai peranan yang menentukan

dalam proses pembentukan air tanah. Dengan demikian, karakteristik akuifer

mempunyai peranan yang menentukan dalam proses pembentukan tanah.

Untuk usaha-usaha pengisian kembali air tanah melalui peningkatan proses

infiltrasi tanah serta usaha-usaha reklamasi air tanah, maka kedudukan akuifer

dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda: 1. Zona akuifer tidak jenuh adalah

suatu zona penampung air di dalam tanah yang terletak di atas permukaan air

tanah (water table) baik dalam keadaan alamiah (permanen) atau sesaat setelah

berlangsungnya periode pengambilan air tanah. 2. Zona akuifer jenuh adalah

zona penampung air tanah yang terletak di bawah permukaan air tanah kecuali

zona penampung air tanah yang sementara jenuh dan berada di bawah daerah

yang sedang mengalami pengisian air tanah. Zona akuifer tak jenuh

merupakan zona penyimpan air tanah yang paling berperan dalam mengurangi

kadar pencemaran air tanah dan oleh karenanya zona ini sangat penting untuk

11
usaha-usaha reklamasi dan sekaligus pengisian kembali air tanah. Sedang zona

akuifer jenuh seperti telah diuraikan di muka lebih berfungsi sebagai pemasok

air tanah yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan zona akuifer tidak

(Asdak, 1995).

Berdasarkan kemampuan meluluskan air dari bahan pembatasnya, akuifer

dapat dibedakan menjadi : 1. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer) yaitu

akuifer yang seluruh jumlah airnya dibatasi oleh lapisan kedap air, baik yang

diatas maupun dibawah, serta mempunyai tekanan jenuh lebih besar daripada

tekanan atmosfer. 2. Akuifer Bebas (unconfined Aquifer) yaitu lapisan lolos air

yang hanya sebagian terisi oleh air dan berada di atas lapisan kedap air.

Permukaan tanah pada akuifer ini disebut water table (preatiklevel), yaitu

permukaan air yang mempunyai tekanan hidrostatik sama dengan atmosfer. 3.

Akuifer Semi Tertekan (Semi Confined Aquifer) yaitu akuifer yang seluruhnya

jenuh air, dimana bagian atasnya dibatasi oleh lapisan semi lolos air dibagian

bawahnya merupakan lapisan kedap air. 4. Akuifer Semi Bebas (Semi

Unconfined Aquifer) yaitu akuifer yang bagian bawahnya merupakan lapisan

kedap air, sedangkan bagian atasnya merupakan material berbutir halus,

sehingga pada lapisan penutupnya masih memungkinkan adanya gerakan air.

Dengan demikian akuifer ini merupakan peralihan antara akuifer bebas dengan

akuifer semi tertekan.

2.2 Air Baku

12
Sumber air baku memegang peranan yang sangat penting dalam industri air

minum. Air baku atau raw water merupakan awal dari suatu proses dalam

penyediaan dan pengolahan air bersih.

2.2.1 Definisi Air Baku

Berdasarkan SNI 6774:2008 tentang tata cara perencanaan unit paket instalasi

pengolahan air pada bagian istilah dan definisi yang disebut dengan air baku

yaitu air yang berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan atau

air hujan yang memenuhi ketentuan baku mutu tertentu sebagai air baku untuk

air minum. Sumber air baku bisa berasal dari sungai, danau, sumur air dalam,

mata air dan bisa juga dibuat dengan cara membendung air buangan atau air

laut. Sumber air yang layak harus berdasarkan ketentuan berikut: a. Kualitas

dan kuantitas air yang diperlukan b. Kondisi iklim c. Tingkat kesulitan pada

pembangunan intake. d. Tingkat kesalamatan operator. e. Ketersediaan biaya

minimum operasional dan pemeliharaan untuk IPA. f. Kemungkinan

terkontaminasinya sumber air pada masa yang akan datang. g. Kemungkinan

untuk memperbesar intake pada masa yang akan datang.

Dalam jumlah air yang kecil, air bawah tanah, termasuk air yang dikumpulkan

dengan cara rembesan, bisa dipertimbangkan sebagai sumber air. Dimana

kualitas sumber air bawah tanah secara umum baik bagi air permukaan. Hal

ini adalah menghemat biaya operasional dan pemeliharaan karena secara

umum kualitas air bawah tanah sangat baik sebagai air baku.

2.2.2 Karakteristik Air Baku

13
Penyediaan air bersih, selain kuantitasnya maka kualitasnya pun harus

memenuhi standar yang berlaku. Dalam hal air bersih, sudah merupakan

praktek pada umumnya bahwa dalam menetapkan kualitas dan karakteristik

untuk mendapatkan air baku dengan mutu tertentu (standar kualitas air). Maka

untuk mendapatkan gambaran yang nyata tentan karakteristik air baku, maka

kita memerlukan pengukuran sifat-sifat air yang disebut parameter kualitas air.

Standar kualitas air adalah baku mutu ditetapkan berdasarkan sifat-sifat fisika,

kimia, radioaktif maupun bakteriologis yang menunjukkan persyaratan

kualitas air tersebut. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun

2001 tentang pengolahan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas yaitu : Kelas satu, air

yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau

peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan

tersebut; Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk

prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air

untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan

mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas tiga, air yang

peruntukannya digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,

air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang

mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas empat,

air yang peruntukannya dapat digunakan mengairi pertanaman dan atau

peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan

tersebut.

14
2.3 Air Minum dan Pengolahan Air

Air Minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses

pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

2.3.1 Definisi Air Minum

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/2010 Pasal 3, “Air minum

aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis,

kimiawi dan radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan tambahan”.

Persyaratan fisika, yaitu: a. Tidak berbau. b. Jumlah zat padat yang terlarut,

kurang dari 500 mg/L. c. Kekeruhan, kurang dari 5 skala NTU. d. Tidak

berasa. e. Suhu 0ºC, suhu udara ±3ºC. f. Tidak berwarna, kurang dari 15 skala

NCU. Persyaratan kimia, yaitu: a. pH 6,5-8,5. b. Kadar kimia anorganik dan

kimia organik, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan no. 492/2010

(terlampir). Persyaratan mikrobiologi, yaitu: a. Koliform tinja (E. Coli), 0 per

100ml. b. Total koliform, 0 per 100ml. Persyaratan radioaktif, yaitu: a.

Aktifitas alpha, kurang dari 0,1 Bq/L. b. Aktifitas beta, kurang dari 1,0 Bq/L.

2.3.2 Pengolahan Air

Dalam mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan air bersih diperlukan

penerapan teknologi penjerihan air yang sesuai dengan kondisi sumber air

baku, kondisi sosial budaya, ekonomi dan SDM masyarakat setempat. Tujuan

penjernihan air adalah menghilangkan pencemar (polutan) yang ada didalam

air atau mengurangi kadarnya agar air dapat menjadi layak untuk digunakan

15
untuk masyarakat pada akhir dari proses penjernihan. Terdapat berbagai teknik

penjernihan air yang bisa dilakukan. Teknik-teknik tersebut di antaranya

adalah: 1. Penyaringan yaitu penjernihan dengan cara menyaring air dengan

menggunakan bahan sperti kain, kapas, pasir, kerikil, ijuk dan atau bahan

lainnya untuk mendapatkan mutu air yang layak untuk dipakai oleh

masyarakat. 2. Perebusan yaitu penjernihan dengan cara dipanaskan hingga

mendidih (untuk air 100˚C). Proses ini diperuntukkan membunuh bakteri,

spora, ova, kista dan mensterilkan air. 3. Disinfeksi kimia yaitu teknik

penjernihan air menggunakan disinfektan atau bahan kimia yang bersifat racun

dan mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme. Penjernihan air

dengan disinfektan kimia dapat dipergunakan pada genangan air, air dalam

sumur dan lain sebagainya. 4. Bubuk pemutih yaitu penjernihan dengan cara

menggunakan bubuk pemutih semisal tawas dan kapur gamping. 5. Tablet

klorin yaitu penjernihan dengan cara menggunakan tablet klorin atau kaporit.

6. Filter yaitu penjernihan dengan cara menggunakan filter air khusus yang

dibuat oleh pabrikan tertentu. Contoh yang biasa terdapat di pasaran adalah

filter keramik ‘lilin’ dan UV filter. 7. Desalinasi yaitu penjernihan dengan cara

serangkaian metode dan alat khusus yang memanfaatkan pemanasan dengan

sinar matahari.

2.3.3 Beberapa Bahan Dalam Pengolahan Air

Dalam pengolahan air, ada beberapa bahan yang umum digunakan antara lain :

karbon aktif atau yang sering disebut sebagai arang aktif adalah suatu bentuk

padat yang berpori dan yang mengandung 85% hingga 95% karbon di

16
dalamnya. Karbon aktif juga merupakan jenis karbon yang memiliki luas

permukaan yang sangat besar. 1 gram karbon aktif setara dengan suatu

material yang memiliki luas 500-1500 m2 . Karbon aktif juga memiliki

kemampuan adsorpsi yang besar. Karbon aktif banyak digunakan untuk

menghilangkan kontaminan astetik, berguna untuk menghilangkan beberapa

kontaminan dari senyawa polutan seperti volatile. Karbon aktif yang bersifat

molecular juga mampu menyerap molekul organik dengan baik. Maka dari itu

bahan ini digunakan dalam proses pemurnian udara, gas dan larutan atau

cairan. Bahan ini dipakai juga dalam permurnian gas dan udara, safety mask

dan respirator, seragam militer, adsorbent foams industry nuklir, electroplating

solutions, deklorinasi, penyedap rasa dan bau dari air, aquarium, cigarette

filter dan juga penghilang senyawa-senyawa organik dalam air.

Zeolit adalah mineral yang berstruktur Kristal lumino-silikat yang

mengandung ion natrium (Na), kalsium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca)

dan besi (Fe) serta molekul air (H2O). Material yang berbentuk rangka 3

dimensi dan memiliki rongga dan 18 saluran. Zeolit sering digunakan sebagai

penukar kation (cation exchangers), pelunak air (water softening), penyaring

molekul (molecular sieves) serta sebagai bahan pengering (drying agents).

Zeolit yang terdehidrasi akan mempunyai struktur pori terbuka dengan internal

surface area yang besar sehingga kemampuan menyerap molekul selain air

semakin tinggi. Ukuran cincin dari jendela yang menuju rongga menentukan

ukuran molekul yang dapat terserap. Sifat ini yang menjadikan zeolit

mempunyai kemampuan oenyaringan yang sangat spesifik yang dapat

17
digunakan untuk pemurnian dan pemisahan. Chabazite (CHA) merupakan

zeolit pertama yang diketahui dapat menyerap dan menahan molekul kecil

seperti asam formiat dan metanol tetapi tidak dapat menyerap benzena dan

molekul yang lebih besar. Chabazite telah digunakan secara komersial untuk

menyerap gas polutan SO2 yang merupakan emisi dari cerobong asap.

Kemampuan zeolit sebagai ion exchanger telah lama diketahui dan digunakan

sebagai penghilang polutan kimia. Dalam air zeolit juga ternyata mampu

mengikat bakteri E. coli.

2.4 Filtrasi / Penyaringan dan Jenisnya

2.4.1 Definisi Filtrasi / Penyaringan

Filtrasi adalah suatu proses pembersihan partikel solid dari cairan dimana

cairan (air) dilewatkan melalui suatu media yang berongga atau materi

berongga lainnya untuk menyisihkan sebanyak mungkin materi tersuspensi

tersebut. Filtrasi digunakan di pengolahan air untuk menyaring air yang telah

terkoagulasi dan mengendap untuk menghasilkan air baku dengan kualitas

yang lebih baik dan lebih layak pakai.

2.4.2 Jenis Filtrasi / penyaringan

Menurut tipe media yang digunakan penyaringan diklasifikasikan sebagai

berikut: 1. Filter dengan media tunggal. 2. Filter dengan media ganda. 3.

Filter dengan multi media. Menurut laju filtrasinya, filter dibedakan menjadi

2, yaitu: 1. Saringan Pasir Lambat / Slow Sand Filter (SSF), dimana pada filter

18
ini medium pasir yang pada umumnya hanya disyaratkan bebas lumpur dan

organik. Urutan ukuran diameter butiran pasir dari atas ke bawah tidak teratur

(tidak terstratifikasi). Proses penyaringan yang lambat dalam slow filter sand

maka untuk menciptakan kontak yang cukup lama antara air dengan media

filter sehingga proses biologis terjadi, terutama pada permukaan media

tersebut. Biomassa yang terbentuk pada medium filter bersama suspended

particle disebut sebagai “Schmutzdecke” yang memiliki sifat aktif dalam

proses penyisihan senyawa organik dan anorganik. 2. Saringan Pasir Cepat /

Rapid Sand Filter (RSF) dimana mekanisme penyaring ini sama dengan

mekanisme yang ada pada slow sand filter. Perbedaan di antara keduanya

adalah pada beban pengolahan dan penggunaan media filter. Beban

pengolahan yang diperuntukkan pada RSF jauh lebih tinggi dari pada SSF.

RSF mempergunakan hampir seluruh 20 media sebagai media filter (in-depth

filter) sedangkan SSF hanya pada lapisan paling atas saja. Selain itu, RSF

hanya efektif untuk menyaring suspensi kasar dalam bentuk flok halus yang

lolos dari sedimentasi sedangkan pada SSF dapat menyaring suspensi halus

(bukan koloid) dan memiliki lapisan biomassa yang aktif. Dalam proses

filtrasi granular filter terdapat beberapa mekanisme yang terjadi, yaitu : 1.

Mechanical straining dimana pada proses ini terjadi dikarenakan oleh partikel

atau flok tertahan karena memiliki ukuran yang lebih besar dari lubang pori,

sehingga partikel tidak lolos. 2. Sedimentasi dimana sebagian partikel halus

yang berat jenisnya lebih besar dari air akan mengalami pengendapan akibat

dari tarikan gravitasi. 3. Adsorpsi dimana sebagian partikel yang halus akan

terserap oleh permukaan media dikarenakan oleh adanya tumbukan dan gaya

19
tarik antar partikel. Ketika mekanisme filtrasi tersebut terjadi dengan cara

simultan, secara kuantitatif umumnya mekanisme yang pertama lebih

dominan. Untuk meningkatkan efektivitas media, dalam arti meningkatkan

volume atau kedalaman media, digunakanlah “dual media” yang umumnya

menggunakan media yang lebih ringan. Persyaratan dari penggunaan dual

media adalah kecepatan pengendapan dari medium yang paling besar harus

lebih kecil dari kecepatan pengendapan media yang lebih berat dengan

diameter yang paling kecil. Persyaratan ini diperlukan agar kedua media

tersebut tidak tercampur setelah pencucian dengan teknik backwashing.

20
Tabel 2.1 Perbedaan Saringan Pasir Cepat / Rapid Filter Sand (RFS) dengan

Saringan Pasir Lambat / Slow Filter Sand (RFS).

2.4.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penyaringan

Adapun faktor yang mempengaruhi penyaringan antara lain : 1. Luas

permukaan lapisan pasir dimana kehadiran dari suatu lapisan tipis yang

disebut schmuztdecke yang berada di permukaan lapisan pasir dan di dalamnya

terdapat berbagai macam jasad renik; zat organik akan mengisi atau menutupi

celah pasir sekitar 0,5 sampai 2 cm dari ketebalan lapisan pasir maka semakin

banyak lapisan schmuztdecke yang akan terbentuk. 2. Ketebalan lapisan pasir

21
dimana semakin tebal lapisan pasir, semakin luas permukaan partikel dan

semakin besar jarak yang harus ditempuh sehingga air yang dihasilkan

semakin baik kualitasnya. Ketebalan lapisan pasir yang standart digunakan

sebagai media penyaringan adalah 50 - 60 cm. 3. Diameter butiran dimana

semakin kecil diameter butiran pasir menyebabkan semakin kecil celah butir

pasir, sehingga akan meningkatkan efektifitas penahanan partikel. Ukuran

efektifitas untuk diameter yang akan digunakan dalam saringan pasir lambat

antara 0,3 - 1 mm. 4. Jenis pasir dimana Jenis pasir yang baik adalah pasir

yang mengandung senyawa kimia SiO2 (silika oksida). Semakin tinggi

kandungan SiO2 dalam pasir akan semakin meningkatkan tingkat kekerasan

pasir. 5. Lama pemakaian media saring dimana bila proses pemakaian

penyaringan sudah tidak lancar maka pasir harus dicuci kembali. 6. Suhu air

dimana akan mempengaruhi penerimaan masyarakat akan air tersebut dan

dapat mempengaruhi pula reaksi kimia dalam pengolahan, terutama apabila

temperatur tersebut sangat tinggi. 7. Kecepatan penyaringan dimana

Kecepatan penyaringan akan mempengaruhi masa operasi filter, agar masa

operasi saringan dapat diperpanjang, diperlukan tekanan pada pada lapisan

pasir dengan menambah ketinggian air diatas lapisan media saring. Kecepatan

penyaringan pada saringan pasir lambat adalah 0,1-0,2 m/jam hal ini

dikarenakan dalam penyaringan pasir lambat tanpa pengolahan terlebih dahulu

sehingga lama. 8. Kualitas air baku dimana bila air baku mempunyai

kekeruhan yang tinggi maka harus dilakukan proses pendahuluan sebelum

dilakukan proses penyaringan.

22
2.4.4 Saringan Pasir Lambat (Slow Sand Filtration)

Saringan pasir lambat adalah bak saringan yang menggunakan pasir sebagai

media filter dengan ukuran butiran sangat kecil, namun mempunyai

kandungan kuarsa yang tinggi. Proses penyaringan berlangsung secara

gravitasi, sangat lambat, dan simultan pada seluruh permukaan media. Proses

penyaringan merupakan kombinasi antara proses fisika (filtrasi, sedimentasi

dan adsorpsi), proses biokimia dan proses biologis. Saringan pasir lambat

lebih cocok mengolah air baku, yang mempunyai kekeruhan sedang sampai

rendah, dan konsentrasi oksigen terlarut (dissolved oxygen) sedang sampai

tinggi. Kandungan oksigen terlarut tersebut dimaksudkan untuk memperoleh

proses biokimia dan biologis yang optimal. Bila air baku kekeruhannya tinggi

dan konsentrasi oksigen terlarut rendah, maka sistem saringan pasir lambat

membutuhkan pengolahan pendahuluan, yang direncanakan terpisah. (SNI

3981:2008). Saringan pasir lambat merupakan instalasi pengolahan air yang

mudah, murah, dan efisien. Mempunyai efisiensi yang tinggi untuk

menghilangkan kekeruhan, rasa, dan bau pada air, mampu menghilangkan

bakteri dengan sangat baik. Untuk menghilangkan rasa dan bau pada air perlu

dilengkapi dengan karbon aktif, dan untuk menghilangkan bakteri sering

dipergunakan kaporit.

2.4.5 Mekanisme Penyaringan Saringan Pasir Lambat

23
Langkah awal pengoperasian saringan pasir lambat yaitu pertama-tama harus

dilakukan pengisian air dari dasar atau secara upflow dengan air bersih. Hal

ini akan mendorong keluarnya udara yang masuk melalui pori-pori media.

Kemudian operasi filtrasi dapat dimulai dan membutuhkan waktu beberapa

minggu untuk membentuk lapisan Schmutzdecke dan menghasilkan kualitas

effluent yang dapat diterima. Selama operasi air yang ada pada unit saringan

pasir lambat ini harus selalu menggenangi media pasir untuk menjaga agar

organisme yang ada pada permukaan lapisan pasir tidak mati. Proses

pengaliran air baku dilakukan kontinyu, sehingga menyebabkan

miokroorganisme tumbuh dengan sendirinya di lapisan paling atas media pasir

(Gambar 2.1). Pada lapisan Schmutzdecke terjadi proses pengurangan partikel

tersuspensi, bahan organik, dan bakteri melalui proses oksidasi biologis

maupun kimiawi.

Gambar 2.1 Diagram proses system saringan pasir lambat

24
Air baku dialirkan ke tangki penerima, kemudian dialirkan ke bak pengendap

tanpa memakai zat kimia untuk mengendapkan kotoran yang ada dalam air

baku. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan saringan pasir lambat dan

kemudian dialirkan ke bak penampung air bersih.

Jika air baku dialirkan ke saringan pasir lambat, maka kotoran-kotoran yang

ada di dalamnya akan tertahan pada media pasir oleh karena adanya akumulasi

kotoran baik dari zat organik maupun anorganik pada media filternya akan

terbentuk lapisan (film) biologis. Dengan terbentuknya lapisan ini maka di

samping proses penyaringan secara fisika dapat juga menghilangkan

(impuritis) secara biokimia. Biasanya ammonia dengan konsentrasi yang

rendah, zat besi, mangan dan zat-zat yang menimbulkan bau dapat dihilangkan

dengan cara ini.

Cara ini sangat sesuai untuk pengolahan air baku yang mempunyai kekeruhan

yang rendah dan relatif tetap. Biaya operasi rendah karena proses

pengendapan biasanya tanpa bahan kimia dan proses pencucian media saring

dengan mengeruk lapisan pasir bagian atas dan dicuci dengan air bersih.

Tetapi jika kekeruhan air baku cukup tinggi, pengendapan dapat juga memakai

bahan kimia (koagulan) agar beban filter tidak terlalu berat.

25
Tabel 2.2. Kedalaman Saringan Pasir Lambat

Sumb

er: SNI 3981:2008

Adapun Kriteria bahan media penyaring sebagai berikut: 1. Jenis pasir yang

mengandung kadar SiO2 lebih dari 90%. 2. Ukuran efektif butiran minimal 0,2

mm dan maksimal 0,4 mm. 3. Ukuran keseragaman butiran minimal 2 dan

maksimal 3. 4. Berat jenis minimal 2,55 gr/cm3 dan maksimal 2,65 gr/cm3. 5.

Kelarutan pasir dalam air selama 24 jam kurang dari 3,0% beratnya 6.

Kelarutan pasir dalam HCl selama 4 jam kurang dari 3,5% beratnya.

Sedangkan kriteria Media Penahan sebagai berikut: 1. Jenis kerikil berbentuk

bulat. 2. Media penahan tersusun dengan lapisan teratas butiran kecil dan

berurutan ke butiran kasar pada lapisan paling bawah; gradasi butir media

kerikil dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.3 Gradasi Butir Media Kerikil

Sumber: SNI 3981:2008

26
Siklus ini akan berulang-ulang, sehingga tersisa ketebalan minimum pada

medium saringan, sehingga perlu dibersihkan. Pertumbuhan biologis dalam

saringan bisa sangat mempengaruhi kinerja saringan dan mekanisme

pembersihannya. Saringan pasir lambat yang beroperasi dengan baik akan

menyisihkan hampir 98 - 99,5 % dari jumlah bakteri yang terdapat dalam air

baku dimana dalam saringan sudah terbentuk suatu lapisan tipis pada

permukaan pasir, yang sudah terbentuk setelah lebih kurang selama 2 minggu.

Lapisan tipis ini disebut dengan lapisan Schmutzdecke.

Lapisan Schmutzdecke secara biologi merupakan lapisan media yang sangat

aktif, yaitu dapat menyisihkan bahan-bahan organik tersuspensi dan

mikroorganisme dengan proses biodegradasi dan proses-proses lainnya.

Lapisan ini terdiri atas lapisan mikroba yang tumbuh dan berkembang biak.

Bakteri, protozoa dan mikroorganisme besar lainnya seperti helminthes dan

materi mengapung sangat banyak dilapisan ini. Kandungan E. Coli dalam air

baku dapat dikurangi sebesar 102 – 103. Kista Giardia dan Crytosporidium

dapat dibersihkan dengan tingkatan mendekati sempurna (99,9%) dalam

operational saringan pasir lambat yang sempurna. Pada lapisan Schmutzdecke

ini paling banyak terjadi penguraian atau pengurangan partikel tersuspensi,

bakteri dan bahan organik. Namun setelah beberapa lama pengoperasian

headloss akan meningkat sehingga harus dilakukan pencucian dan

pengurangan lapisan Schmutzdecke pada permukaan saringan dengan dikeruk.

Kekeruhan air umpan sebaiknya kurang dari 50 NTU agar operasional

saringan tidak terganggu, akan tetapi bila nilai kekeruhan melebihi angka itu

27
dapat ditoleransi waktu operasi yang pendek. Juga dapat dilakukan

pretreatment seperti pembersihan sedimentasi atau memperkasar ukuran

saringan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian saringan pasir

lambat dengan arah aliran dari atas ke bawah antara lain yakni : 1. Kecepatan

penyaringan harus diatur sesuai dengan kriteria perencanaan. 2. Jika

kekeruhan air baku cukup tinggi sebaiknya kecepatan diatur sesuai dengan

kecepatan disain mimimum. 3. Pencucian media penyaring (pasir) pada

saringan awal (pertama) sebaiknya dilakukan minimal setelah 1 minggu

operasi, sedangkan pencucian pasir pada saringan ke dua dilakukan minimal

setelah 3 - 4 minggu operasi. 4. Pencucian media pasir dilakukan dengan cara

membuka kran penguras pada tiap bak saringan, kemudian lumpur pada dasar

bak dibersihkan dengan mengalirkan air baku sambil dibersihkan dengan sapu

sehingga lumpur yang mengendap dapat dikeluarkan. Jika lumpur di dalam

lapisan pasir belum bersih sempurna, maka pencucian dilakukan dengan

mengalirkan air baku ke bak saringan pasir tersebut dari bawah ke atas dengan

kecepatan yang cukup besar sampai lapisan pasir terangkat (terfluidisasi),

sehingga kotoran yang ada di dalam lapisan pasir terangkat ke atas.

Selanjutnya air dipompa keluar sampai air yang keluar dari lapisan pasir

cukup bersih. Pencucian media filter dilakukan bila filter telah clogging,

terlihat dengan kecepatan filtrasinya menurun, menandakan bahwa media

filter tidak dapat lagi menampung flok pengotor yang ada, sehingga muka air

media terus naik. Pada saat pencucian filter akan berlangsung, harus

28
dipastikan tidak ada air dalam reaktor. Untuk dapat mengeruk lapisan

Schmutzdecke stebal dikeruk ± 0.5 - 2 cm. Setelah lapisan tersebut dikeruk,

filter dapat dioperasikan kembali.

2.5 Saringan Pasir Lambat Konvensional (Down Flow)

2.5.1 Mekanisme Pasir Lambat Konvensional (Down Flow)

Teknologi saringan pasir lambat yang banyak diterapkan di Indonesia

biasanya adalah saringan pasir lambat konvesional dengan arah aliran dari atas

ke bawah (down flow), sehingga jika kekeruhan air baku naik, terutama pada

waktu hujan, maka sering terjadi penyumbatan pada saringan pasir, sehingga

perlu dilakukan pencucian secara manual dengan cara mengeruk media

pasirnya dan dicuci, setelah bersih dipasang lagi seperti semula, sehingga

memerlukan tenaga yang cukup banyak. Ditambah lagi dengan faktor iklim di

Indonesia yakni ada musim hujan air baku yang ada mempunyai kekeruhan

yang sangat tinggi. Hal inilah yang sering menyebabkan saringan pasir lambat

yang telah dibangun kurang berfungsi dengan baik, terutama pada musim

hujan.

29
Gam

bar 2.2. Komponen-komponen Saringan Pasir Lambat Down Flow.

Biasanya saringan pasir lambat hanya terdiri dari sebuah bak yang terbuat dari

beton, ferosemen, bata semen atau bak fiber glass untuk menampung air dan

media penyaring pasir. Bak ini dilengkapi dengan sistem saluran bawah, inlet,

outlet dan peralatan kontrol. Kapasitas pengolahan dapat dirancang dengan

berbagai macam ukuran sesuai dengan kebutuhan.

Proses ini secara umum terdiri atas : 1. Unit proses, yaitu: bangunan penyadap,

bak penampung, saringan pasir lambat, bak penampung air bersih. 2. Unit

pengolahan air dimana unit pengolahan air dengan saringan pasir lambat

merupakan suatu paket. Air baku yang digunakan yakni air sungai atau air

danau yang tingkat kekeruhannya tidak terlalu tinggi. Jika tingkat kekeruhan

air bakunya cukup tinggi misalnya pada waktu musim hujan, maka agar

supaya beban saringan pasir lambat tidak telalu besar, maka perlu dilengkapi

dengan peralatan pengolahan pendahuluan misalnya bak pengendapan awal

dengan atau tanpa koagulasi bahan dengan bahan kimia.

30
2.5.2 Kelebihan dan Kekurangan SPL Down Flow

Pengolahan air bersih dengan menggunakan sistem saringan pasir lambat

konvensional ini mempunyai keunggulan antara lain: 1. Tidak memerlukan

bahan kimia, sehingga biaya operasinya sangat murah. 2. Dapat

menghilangkan zat besi, mangan, dan warna serta kekeruhan. 3. Dapat

menghilangkan ammonia dan polutan organik, karena proses penyaringan

berjalan secara fisika dan biokimia. 4. Sangat cocok untuk pedesaan dan

proses pengolahan sederhana.

Sedangkan kelemahan dari sistem saringan pasir lambat konvensiolal tersebut

antara lain : 1. Jika air bakunya mempunyai kekeruhan tinggi, beban filter

menjadi besar, sehingga terjadi kebuntuan. Akibatnya waktu pencucian filter

menjadi pendek. 2. Kecepatan penyaringan rendah, sehingga memerlukan

ruangan yang cukup luas. 3. Pencucian filter dilakukan secara manual, yakni

dengan cara mengeruk lapisan pasir bagian atas dan dicuci dengan air bersih,

dan setelah bersih dimasukkan lagi ke dalam bak saringan seperti semula. 4.

Karena tanpa bahan kimia, tidak dapat digunakan untuk menyaring air gambut

2.6 Saringan pasir Lambat Up Flow

Sistem saringan pasir lambat Up Flow merupakan sistem saringan dimana air

baku didistribusikan ke dalam alat penyaringan dengan arah aliran air dari bawah

ke atas Dengan sistem penyaringan dari arah bawah ke atas (Up Flow), jika

saringan telah jenuh atau buntu , dapat dilakukan pencucian balik dengan cara

membuka kran penguras. Dengan adanya pengurasan ini, air bersih yang berada

31
diatas lapisan pasir dapat berfungsi sebagai air pencuci media penyaring (back

wash). Dengan demikian pencucian media penyaring pada saringan pasir lambat

Up Flow tersebut dilakukan tanpa pengeluaran atau pengerukan media

penyaringnya, dan dapat dilakukan kapan saja.

2.6.1 Mekanisme Saringan Pasir Lambat Up Flow

Unit pengolahan air dengan saringan pasir lambat merupakan suatu paket. Air

baku yang digunakan yakni air sungai atau air danau yang tingkat

kekeruhannya tidak terlalu tinggi. Jika tingkat kekeruhan air bakunya cukup

tinggi misalnya pada waktu musim hujan, maka agar supaya beban saringan

pasir lambat tidak telalu besar, maka perlu dilengkapi dengan peralatan

pengolahan pendahuluan misalnya bak pengendapan awal atau saringan “Up

Flow” dengan media berikil atau batu pecah. Secara umum, proses

pengolahan air bersih dengan saringan pasir lambat Up Flow sama dengan

saringan pasir lambat Down Flow terdiri atas unit proses: 1. Bangunan

penyadap. 2. Bak Penampung / bak Penenang 3. Saringan Awal dengan sistem

“Up Flow”. 4. Saringan Pasir Lambat Utama “Up Flow”. 5. Bak Air Bersih.

6. Perpipaan, kran, sambungan dll. Kapasitas pengolahan dapat dirancang

dengan berbagai macam ukuran sesuai kebutuhan. Diagram proses pengolahan

serta contoh rancangan konstruksi saringan pasir lambat Up Flow ditunjukkan

pada Gambar.

32
Gambar 2.3 Diagram proses pengolahan air bersih dengan teknologi saringan

pasir lambat "Up Flow" ganda.

Prosesnya yaitu air dari masuk ke bangunan penyadap dan dialirkan ke bak

penenang kemudian ke bak pengendapan awal atau up flow dengan media

berikil atau batu pecah, dan pasir kwarsa/silika. Selanjutnya dialirkan ke bak

saringan pasir utama dengan arah aliran dari bawah ke atas (Up Flow). Air

yang keluar dari bak saringan pasir Up Flow tersebut merupakan air olahan

dan di alirkan ke bak penampung air bersih, selanjutnya didistribusikan ke

konsumen dengan cara gravitasi atau dengan memakai pompa.

2.6.2 Kriteria Saringan Pasir Lambat Up Flow

Untuk merancang saringan pasir lambat “Up Flow”, beberapa kriteria

perencanaan yang harus dipenuhi antara lain: 1. Kekeruhan air baku lebih

kecil 10 NTU. Jika lebih besar dari 10 NTU perlu dilengkapi dengan bak

pengendap dengan atau tanpa bahan kimia. 2. Tinggi Lapisan Pasir 70 – 100

33
cm. 3. Tinggi lapisan kerikil 25 -30 cm. 4. Tinggi muka air di atas media pasir

90 – 120 cm. 5. Tinggi ruang bebas antara 25- 40 cm. 6. Diameter pasir yang

digunakan kira-kira 0,2-0,4 mm. 7. Jumlah bak penyaring minimal dua buah

2.6.3 Keuntungan Pengolahan Menggunakan Saringan Pasir Lambat Up Flow

Pengolahan air bersih menggunakan sistem saringan pasir lambat dengan arah

aliran dari bawah ke atas mempunyai keuntungan antara lain :1. Tidak

memerlukan bahan kimia, sehingga biaya operasinya sangat murah. 2. Dapat

menghilangkan zat besi, mangan, dan warna serta kekeruhan. 3. Dapat

menghilangkan ammonia dan polutan organik, karena proses penyaringan

berjalan secara fisika dan biokimia. 4. Sangat cocok untuk daerah pedesaan

dan proses pengolahan sangat sederhana. 5. Perawatan mudah karena

pencucian media penyaring (pasir) dilakukan dengan cara membuka kran

penguras, sehingga air hasil saringan yang berada di atas lapisan pasir

berfungsi sebagai air pencuci sehingga pencucian dilakukan tanpa pengerukan

media pasirnya.

2.7 Kondisi Air Waduk Batujai

Waduk Batujai, terletak di selatan kota Praya Kabupaten Lombok Tengah,

Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sumber air waduk Batujai mayoritas berasal dari

air limpasan permukaan saat hujan. Adapun kondisi Air Waduk Batujai dalam

34
kondisi cemar ringan, sumber cemaran yang dijumpai antara lain berupa limbah

rumah tangga yang didominasi oleh sisa-sisa pellet / pakan ikan yang di buktikan

dengan kandungan TSS yang melewati baku mutu sebesar 527 mg/L, hasil

sekresi manusia yang ditandai dengan adanya Escherchial coliform dan

Escherchial coli tinja dengan nilai melewati baku mutu sebesar 14000 dan 3300

MPN/100ml. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat

organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses biologis dimana

nilai COD dari Waduk Batujai sebesar 48,5 mg/L dengan sumber pencemaran

berasal dari limbah domestik dan peternakan. Biological Oxygen Demand (BOD)

adalah ukuran umum kualitas air yang mencerminkan tingkat pencemaran bahan

organik dari bahan perairan. Berdasarkan hasil uji laboratorium BOD pada

Waduk Batujai merupakan BOD tertinggi sebesar 6,60 mg/L yang dihasilkan dari

berbagai kegiatan yang terdapat pada badan sungai antara lain kegiatan industri,

permukiman, dan peternakan. (Melinda dan Siswadi, 2021)

Adapun kondisi kualitas Air Waduk Batujai ditampilkan dalam tabel berikut :

35
Tabel 2.4 Kondisi Kualitas Air Waduk Batujai

36
Sumber : Melinda dan Siswadi, 2021

37
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Metode Penelitian dan Parameter yang Digunakan

Metode penelitian adalah tata cara untuk memandu peneliti mengenai urutan

bagaimana penelitian dilakukan dengan sistematis. Metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental, analisis

laboratorium, dan analisis Kuantitatif – Deskriptif. Survei adalah teknik riset

yang memberikan batasan yang jelas atas data; penyelidikan; peninjauan

(Depdiknas, 2005). Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu

pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data

primer merupakan pengumpulan data secara langsung dari hasil eksperimen /

percobaan. Data primer yang dibutuhkan, hasil laboratorium, hasil

pengukuran,. Sedangkan pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan

data tentang hasil penelitian terdahulu dan uraian lain yang berhubungan

langsung dengan penelitian. Komponen lingkungan serta parameter yang

berkaitan dengan penelitian yang akan digunakan antara lain : Kekeruhan,

Bakteri E. Coli, Total Coliform, BOD dan COD air yang akan diteliti baik

sebelum diberikan perlakuan maupun setelah diberikan perlakuan dengan

Saringan Pasir Lambat Up Flow.

3.2 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive

sampling yang merupakan bagian dari non probability sampling, yaitu

penarikan sampel dengan pertimbangan yang didasarkan pada kepentingan

38
atau tujuan penelitian. Sampel yang akan diambil adalah sampel air pada

Waduk Batujai baik sebelum diberikan perlakuan maupun setelah diberikan

perlakuan dengan Saringan Pasir Lambat Up Flow.

3.3 Perlengkapan Penelitian

Perlengkapan penelitian berupa bahan dan alat yang diperlukan saat penelitian

dilakukan baik di lapangan dan laboratorium antara lain : botol kaca gelap,

kamera digital, alat tulis-menulis, kalkulator, komputer dan printer, alat uji

laboratorium (Turbidity Meter, Quanty Tray, Reagen Colilerts18, Gelas Ukur),

incubator, Saringan Pasil Lambat Up Flow (hasil modifikasi menggunakan

pipa PVC 6 inch dengan aksesoris lengkap), jerigen plastik 40 liter, dan

meteran.

3.4 Persiapan Penelitian

Studi pustaka, dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan

penelitian yang akan dilakukan. Studi pustaka mencakup penelusuran literatur-

literatur, jurnal ilmiah, hasil penelitian terdahulu, dan buku yang berkaitan

dengan penelitian yang dilakukan. Pengumpulan data berupa penyiapan

perlengkapan dan peralatan yang mendukung pelaksanaan penelitian. Untuk

mendapatkan data primer dan sekunder perlu dilakukan identifikasi data

menggunakan perlengkapan yang telah disebutkan sebelumnya d. Observasi

lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan permasalahan

daerah penelitian, selain itu observasi dilakukan untuk mendukung data

39
sekunder sebagai pendukung dalam penelitian. Serta peta titik pengambilan

sampel nantinya dipakai untuk memutuskan tempat pengambilan sampel.

3.5 Pengambilan Sampel Untuk Uji Kualitas Air serta Bahan Pengolahan Air

Menggunakan Saringan Pasir Lambat Up Flow

Pengambilan sampel dilakukan pada waduk Batujai. Dalam pengambilan

sampel dilapangan diambil sesuai standar yang berlaku yang mengacu pada

SNI 06 – 2412 – 1991 Tentang Metode Pengambilan Contoh Kualitas Air.

Parameter yang dapat diukur langsung dilapangan akan langsung diukur.

Untuk pengambilan sampel pada outlet di saringan pasir lambat yanhg dibuat,

dilakukan (7) tujuh hari setelah diolah menggunakan Saringan Pasir Lambat

Up Flow. Pada saat masa tinggal, ketinggian supernatant dipertahankan di 1

m. hal ini dimaksudkan supaya proses biologis yang terjadi dalam Saringan

Pasir Lambat Up Flow dapat berlangsung sehingga hasil yang diharapkan

dapat tercapai.

Pengujian laboratorium dilakukan di UPT Puskesmas Aik mengunakan

Kesling KIT yang tersedia, kemudian disesuaikan dengan peraturan

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 492/ MENKES/ PER/ IV/ 2010 tentang

baku mutu kualitas air minum. Hal-hal yang akan diuji adalah kekeruhan,

kandungan bakteri E. Coli, Total Coliform. BOD dan COD.

Alat yang digunakan adalah Quanti Tray dan Collilert-18, 100 ml sampel yang

telah diberi reagen Collilert-18 dan dituang kedalam Quanty Tray lalu

dimasukan kedalam inkubator. Quanti Tray yang telan di inkubasi dan

40
berubah warna kemudian Quanty Tray dibawah sinar UV untuk menentukan

kandungan E. Coli inkubasi 18 jam. Kemudian setelah masa inkubasi dilihat

banyaknya kotak dalam tray yang berubah warna menjadi kuning dan

dilakukan pembacaan nilai kandungan bakteri dengan tabel MPN.

3.6 Kerja Untuk Sajian Evaluasi Hasil Penelitian

Setelah semua data-data dari parameter didapatkan, maka dilakukan analisis

kuantitatif-deskriptif pada data yang didapatkan dengan menyesuaikan dengan

strandar baku mutu air minum dari Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 492/

MENKES/ PER/ IV/ 2010 dan melakukan perhitungan untuk menentukan

efisiensi yang dihasilkan oleh Saringan Pasir Lambat Up Flow dalam

melakukan penyaringan. Perhitungan efisiensi dikerjakan menggunakan rumus

efisiensi penyaringan saringan pasir lambat.

41
DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2013 . Teknologi Pengolahan Air Bersih Dengan Proses Saringan Pasir
Lambat “Up Flow” . [online].
http://www.slideserve.com/taite/teknologi-pengolahan-air-bersih-dengan-proses-
saringan-pasir-lambat-up-flow. Diakses 26 Nopember 2021
http://www.slideserve.com/taite/teknologi-pengolahan-air-bersih-dengan-proses-
saringan-pasir-lambat-up-flow. Diakses 26 Nopember 2021
https://www.academia.edu/7555209/
Perencanaan_Instalasi_Pengolahan_Air_Bersih_Dengan_Saringan_Pasir_Lam
bat_Up_Flow_Di_Kampus_Universitas_Pasir_Pengaraian_Kabupaten_Rokan
_Hulupropinsi Riau Diakses 26 Nopember 2021
Mahdi, Ibnu Mirdad. 2011. Pengaruh Ketebalan Dan Diameter Media Saringan
Pasir Lambat Untuk Mengolah Air PDAM Ditinjau Dari Parameter E.Coli,
Zat Organik Dan Deterjen. ITS : Surabaya.
Melinda. T. dan Siswadi. E. Kajian Kualitas Air Waduk Batujai Dalam Upaya
Pengendalian Pencemaran Air Di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Jukung Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 7 No. 2 Tahun 2021
p-ISSN : 2461-0437, e-ISSN : 2540-9131 Jurusan Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.
Munandar, Agung. 2012. Saringan Pasir Lambat Up Flow.
http://www.bapelkescikarang.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=538:saringan-pasir-lambat-up-
flow&catid=71:teknologi-tepat-guna-kesehatan-lingkungan&Itemid=302.
Diakses 26 Nopember 2021
Nusa Idaman Said dan Arie Herlambang. A. 1999, Pengolahan Air Bersih Dengan
Proses Saringan Pasir Lambat Up Flow, Kelompok Teknologi Pengolahan
Air Bersih dan Limbah Cair, BPPT- Lingkungan, Jakarta.
Nusa Idaman Said dan Heru Dwi Wahyono, 1999, Teknologi Pengolahan Air Bersih
Dengan Proses Saringan Pasir Lambat, Kelompok Teknologi Pengolahan Air
Bersih dan Limbah Cair, BPPT- Lingkungan, Jakarta.

42
Reynold, D.T., 1982, Unit Operation & Processes in Environmental Engineering,
Brooks/cole Engineering Division, Monterey, California.
Ridwan, Muhammad http://ladawanpiazza.blogspot.com/2009/04/sistem-
pengolahan-air.html Diakses 26 Nopember 2021
Safira Astari dan Rofiq Iqbal, 2009, Kehandalan Saringan Pasir Lambat Dalam
Pengolahan Air. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil
dan Lingkungan, ITB.
Sarbidi, 1988, Operasi dan perawatan pengolahan air bersih sistem saringan pasir
lambat pada PDAM Purwakarta. Laporan Penelitian Lapangan, Puslitbang
Permukiman DPU, Jakarta.
SNI 03.3981:1995, Tata Cara Perencanaan Instalasi Saringan Pasir Lambat, BSN,
Jakarta.
SNI 03.3982:1995, Tata Cara Pengoperasian dan Perawatan Instalasi Saringan
Pasir Lambat, BSN, Jakarta.
SNI 3981: 2008, Perencanaan Instalasi Saringan Pasir Lambat, BSN, Jakarta.
Soeprijanto, dkk.Pengolahan Tersier Air Limbah Industri Menggunakan Metode
Saringan Pasir Lambat. ITS : Surabaya.
Subekti, Purwo, dkk .2012. Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Bersih Dengan
Saringan Pasir Lambat “Up Flow” Di Kampus Universitas Pasir Pengaraian
Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau
Sularso dan Haruo Tahara, 1983, Pompa dan Kompresor, Pradnya Paramita, Jakarta.
Susumu Kawamura. 1991, Integrated Design of Water Treatment Facilities, New
York –London, Jhon Wiley & Sons, Inc.
Utomo, Sudiyo, dkk . 2012. Desain Saringan Pasir Lambat Pada Instalasi
Pengolahan Air Bersih (Ipab) Kolhua Kota Kupang. Universitas Nusa
Cendana.

43

Anda mungkin juga menyukai