Anda di halaman 1dari 182

PEARL

AH
AL

J
MA
eBook Kumpulan
Artikel Terpopuler
di Majalah Pearl
Grace Suryani Halim - Sarah Eliana - Lia Stolzfus -
Natalia Setiadi - Mekar A. Pradipta - Tabita D. Utomo -
Felisia Devi - Alphaomega P. Rambang - Fiona Harjono
Kata Pengantar

Shalom Pearlians!

Tak terasa Pearl telah berumur 10 tahun! Kami benar-benar terharu


ketika melihat kebelakang perjalanan Majalah Pearl. Semua yang telah
terjadi, benar-benar merupakan wujud kasih karunia Tuhan semata-
mata. Sebagai manusia yang terbatas, kami dapat melihat pimpinan
tangan Tuhan yang turut membantu menulis cerita Majalah Pearl,
bagaimana Dia telah memulia, dan setia menggunakan media ini
untuk memberkati saudari-saudari sekalian dalam Kristus.

E-book ini adalah salah satu bukti pimpinan Tuhan tersebut. Dalam
10 tahun ini, tulisan-tulisan yang dimuat dalam buku ini adalah
tulisan-tulisan yang paling diminati oleh para pembaca Pearl. Kami
yakin ini adalah bukti keterlibatan Roh Kudus.

Oleh karena itu, dalam rangka merayakan satu dekade Majalah


Pearl, kami para tim mengumpulkan smua artikel ini dan
mengkompilasikannya agar para teman-teman dapat sekali lagi
diberkati dan kiranya juga bisa memberkati orang lain.

Salam sejahtera,
Tim Majalah Pearl
Daftar Isi
Single
Tanda Jodoh 1
Tanda Jodoh 2
How do we know he loves God?
Sepertinya Tuhan bilang dia orangnya
Lebih berhaga dari permata

Relationship
Galau Pranikah
Pengaruh wanita terhadap pria
Sisakan perawan untuk kami!
Ada mereka di antara kita
Batasan fisik dalam berpacaran

Marriage
Penolong yang sepadan
Help! I marry the wrong person!
Kesalahan seorang istri
Letter to new wives
Why get married

Parenting
One of Godly mommy
Melatih ketaatan kepada anak
Atalya: mata rantai dosa
Nyanyian Pujian Hana
Let your curse be on me
Devotionals
Pohon ara dan salib Kristus
Pelecehan seksual dalam Alkitab
Spiritual refreshment
Gak peduli apa kata orang, kamu sangat berharga sayang!
Illustrasi keselamatan dengan cokelat
Single
Tanda Jodoh
(part 1)
GRACE SURYANI HALIM

“Gue rasa cowo itu beneran jodoh dari Tuhan, deh.”

“Kenapa loe ngerasa gitu?”

“Iya, kemaren tuh ya, dia udah lama banget ngga kontak-kontak gue.
Trus gue doa dan bilang sama Tuhan, “Tuhan kalo emang dia jodoh dari
loe, tolong supaya dia hari ini telepon gue.” Baru aja gue bilang “Amin”,
tiba-tiba telepon gue bunyi, dan tebak siapa yang telepon!? COWO ITU,
DONGG!! Gilaaaa gue amazed bangett! Sebelumnya dia ngga pernah
telepon pas jam kantor! Ini pasti bener-bener pertanda dari Tuhan!!” 
Okay Pearlians, siapa yang pernah berdoa dan minta tanda seperti itu?
:P Iya deh, mungkin tandanya bukan supaya dia telepon, tapi supaya
dia tiba-tiba dateng ke gereja, atau bahkan supaya dia tiba-tiba datang
ke gereja pake kemeja ijo!! Terus kalau si gebetan itu tiba-tiba nongol
di depan kita di gereja dengan kemeja ijo loreng-loreng, kita langsung
berpikir, “INI PASTI JODOH DARI TUHAN!!” Ha iyalahhh, karena
kita doa minta gitu dan Tuhan jawab! Jadi ngga mungkin salah lagi!!

Well, sebelum kenal sama Tepen, gue pernah deket sama seorang


cowo lain. Kisah gue sama dia ini gabungan antara cerita film Korea
(yang pembukaannya flashback ke masa lalu, dimana ada sepasang anak
kecil lagi bermain trus mereka terpisah bertahun-tahun, dan akhirnya
ketemu lagi setelah dewasa dan blablabla) dan serangkaian tanda-
tanda “supranatural” macem, “Kalo dia emang jodoh gue, dia bakal
telepon aku hari ini.” But all of you know the end of the story: Gue nikah
sama Tepen dan cowo itu nikah sama orang lain. :P

Yang lucu adalah… ketika gue lagi deket sama cowo itu dan ada
sekian “tanda” berseliweran, Tuhan mengingatkan gue sama sesuatu
yang simple tapi itu menjaga hati gue:

Ketika loe lagi naksir sama seseorang, loe akan tiba-tiba melihat dia di
mana-mana!! Mulai dari bintang film favorit doi yang nongol pas loe
nyetel TV, lalu loe naik mobil buat berangkat kuliah dan mobil loe ada
di sebelah mobil dengan warna kesukaan doi. Eits, masih ada lagi. Pas
berhenti di lampu merah, loe liat ada mobil yang jalan di depan loe and
guess what? Nomor plat mobil itu adalah tanggal lahir gebetan loe!! Luar
biasa! Ketika loe nyetel radio, lagu pertama yang loe denger adalah lagu
kesukaannya, lalu ternyata ada orang telepon ke radio itu dan namanya
sama persis dengan nama gebetan loe. Lalu loe berdoa dalam hati, “Tuhan,
kenapa dari tadi semua yang gue liat itu ada hubungannya sama dia! Apa
maksudmu Tuhan? Mungkinkah dia ini jodoh dari-Mu?”, tepat ketika loe
lagi bertanya-tanya, tiba-tiba telepon berbunyi dan tebak dari siapa itu?
Gebetan loe tercinta.

So apa kesimpulannya? He MUST BE THE ONE!

… is that true?

NOPE. 

Terlalu gegabah—bahkan bodoh (!!)—kalo hanya karena serangkaian


kejadian itu kita lalu berpikir, “Maybe he’s the one!” Padahal yang
sebenarnya terjadi adalah kita put a lot of attention to him ketika sedang
naksir seseorang. Kita tahu apa yang disuka dan tidak dia sukai,
dan kita jadi PEKA dengan itu. Alhasil dari semua yang dilihat, kita
seolah-olah melihat dia ada di mana-mana (udah kayak Tuhan aja
yang mahahadir haha). Sebelumnya apakah ada mobil yang lewat
di depan kita dengan angka di platnya berupa tanggal lahir si doi?
Mungkin ada, tapi sebelum itu kita ngga perhatian sama sekali. Lagian
common guess ajalahh, Pearlians… Kalo cowo itu lagi ngejar kita dan
dia udah ngga hubungin selama empat hari, maka kemungkinan dia
telepon di hari kelima itu sangat besar. :p As simple as that.

Tapi kita harus ingat: cara Tuhan bekerja itu jelas-jelas ngga seperti
itu. If that man is the right one, he’ll draw you near to God and love Him more.
He’ll inspire you to be more like Jesus Christ—bukannya malah menebak-
nebak dan main tanda-tandaan sama Babe!! Kalo iya, maka
blablablabla. Kalo bukan, maka berarti bukan. Come on, Pearlians! Grow
up!! Tuhan menginginkan tumbuhnya relasi di antara kita dengan-Nya,
bukannya main tebak-tebakan! Tuhan juga ingin agar dalam masa-
masa pergumulan seputar pasangan hidup itu, kita bertanya kepada-
Nya, dan menunggu Dia menjawab lewat FIRMAN-NYA—bukan
lewat tanda ntar-dia-pake-baju-apa.

Saat bergumul dengan Tepen, gue minta ayat sama Tuhan—dan


dapet; Tepen juga dapet ayat yang hampir mirip. Lalu ketika bergumul
lagi, gue bilang sama Tuhan, “Tuhan, aku minta tiga hal: Pertama,
aku cuma mau married sama cowo yang bisa aku hormati. Kedua,
dia juga harus cowo yang bisa aku percaya. Ketiga, dia adalah cowo
yang kalo aku sama dia aku bisa jadi diriku sebagaimana adanya aku
sebagai cewe.” Ketiga hal itulah yang gue rasakan ketika jalan sama
Tepen. Dua tahun berjuang bersama dalam long-distance relationship,
ngga pernah gue curiga dia selingkuh atau main-main sama cewe
lain. Nope. Never. Padahal tadinya gue sama sekali bukan tipe cewe
yang gampang percaya sama cowo. Tapi pas sama Tepen kok yah bisa
percaya…… Demikian juga dengan respect dan emosi positif lainnya.
Lalu setelah kami jadian, gue doa lagi dan bilang sama Tuhan,
“Tuhan, kalo emang dia orgnya, tolong supaya orang tuanya setuju,
orang tuaku juga setuju, dan gue bisa sayang sama dia.” Lagi-lagi
dijawab. Yah all of you know the end of the story lha yaa. Hehehe...

Intinya, ketika sedang bergumul dengan masalah pasangan hidup,


bener-bener hindari minta tanda macem telepon, ketemu, dan
sebagainya. It’s a must, Pearlians! Kenapa? Karena itu bisa membuat
kita salah persepsi, bahkan malah membuat kita bingung sendiri.
Mungkin pas berdoa dan Tuhan “jawab” sesuai keinginan kita, ehhh
kok orangnya suka merokok; atau di lain waktu kita berdoa dan iya
sih dijawab, tapi orang tuaku ngga setuju. That’s why berdoalah! Tapi
jangan asal berdoa; perhatikan juga apa yang kita doakan,
sesuai dengan firman Tuhan atau ngga. Ingat jugaa… Tuhan ingin
agar di antara kita dengan-Nya terjalin sebuah relasi, bukan cuma
main tebak-tebakan. As a wrap, kiranya kita selalu mengingat satu hal
yang Tuhan rindukan bagi kita, anak-anak-Nya: Dia mau agar kita
bertumbuh di dalam-Nya, semakin mengenal isi hati-Nya, serta taat
dan percaya pada-Nya di dalam semua aspek—khususnya ketika kita
mempergumulkan tentang pasangan.
Tanda Jodoh
(part 2)
GRACE SURYANI HALIM

Hi, Pearlians! Di artikel ini, gue pengen share deeper kenapa sebaiknya
kita menghindari minta tanda-tanda semacem ini, “Kalo dia beneran
jodoh gue, tolong supaya dia telpon gue/ dia ke rumah gue/ dia
ngajar gue ke gereja/ dia muncul di gereja pake kemeja pink dan
sebangsanya.” So in case Pearlians belum baca bagian pertamanya,
silakan baca part 1-nya di sini, yaa.

1. Tanda-tanda itu tidak valid.


Kenapa gue bilang tanda-tanda seperti itu sering ngga valid? Gini
Pearlians, misalnya ada obat baru yang mau diujikan ke manusia
(contohnya aja vaksin Covid-19). Obat itu pasti dites berulang kali di
laboratorium dulu kan, sebelum benar-benar diedarkan di masyarakat.
Nah menurut loe, kira-kira tes-tes yang dijalani obat itu kaya’ apa,
sih? Tentunya tes-tes yang—pada akhirnya—bisa membuktikan obat
ini efektif atau ngga, ada efek sampingnya atau ngga, kira-kira mesti
dikasih takaran berapa, dan sebagainya. 

Nah, seringkali kalau ada orang yang minta tanda-tanda, itu BUKAN
tanda untuk mengukur karakter seseorang. Tapi lebih ke arah untuk
memenuhi keinginan diri sendiri. Contohnya, kenapa tanda yang
paling sering diminta itu kayak, “Tuhan, kalo dia emang jodoh gue,
tolong supaya dia telepon/chat gue hari ini”? Kalo mau jujur nih,
itu karena sebenarnya kita sendirilah yang PENGEN ngobrol ama
cowo/cewe itu, tapi kita malu/gengsi/jaim. Jadilah Tuhan yang kita
“suruh” memenuhi keinginan hawa nafsu kita. >.< Jujur deh Pearlians,
sekalipun kita belum naksir sama cowo itu, tapi kalo ditelepon setiap
hari kita seneng juga, kan? Gue rasa karena itulah tanda yang paling
sering diminta.

“Tapi, abis itu ditelepon dia ngajakkin gue ke gereja/persekutuan doa/pelayanan/


pemahaman Alkitab/ doa malam/ mezbah doa (dan sebagainya), kok…”

Oh well… tingkat kematangan rohani seseorang ngga cukup dengan


hanya diliat dari dia ngajakkin kita ke gereja/persekutuan doa/
pelayanan/paduan suara/pelawatan/ etc. Kita bakal bahas ini bentar
lagi. :P

Seringkali tokoh Alkitab yang sering diidentikkan dan dijadikan


panutan untuk minta tanda adalah Gideon dengan bulu dombanya
(Hakim-hakim 6:33-40). Eitss, perlu diingat yaa, Gideon minta
tanda bukan untuk urusan jodoh—tapi untuk pergi berperang!! :p But
yeah, sebenarnya ada satu orang yang pernah minta “tanda” untuk
urusan perjodohan. Orang itu adalah Eliezer, pelayan Abraham yang
diutus untuk mencarikan istri bagi Ishak.
“Nah, Grace, BERARTI BOLEH DONGG kalo minta tanda juga!?”

Well, mari kita lihat cerita selengkapnya seperti apa, yess…

“Lalu berkatalah ia: “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya


tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada
tuanku Abraham. Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak
perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya
terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan
buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan
unta-untamu juga akan kuberi minum--dialah kiranya yang Kautentukan
bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa
Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu. Sebelum ia
selesai berkata, maka datanglah Ribka, yang lahir bagi Betuel, anak laki-
laki Milka, isteri Nahor, saudara Abraham; buyungnya dibawanya di atas
bahunya.”
—Kejadian 24 : 12-15. 

Pearlians, tanda yang diminta Eliezer itu bukan sembarangan tanda.


Tapi itu sebenarnya meminta Tuhan untuk menunjukkan karakter dari
wanita tersebut, yaitu mau melayani dan bersedia melakukan LEBIH
dari yang diminta (“do an extra mile”-lah istilahnya). Eliezer cuma mau
minta minum, tapi gadis itu diharapkan mau melakukan lebih—
memberi minum semua unta Eliezer. By the way, unta tuh ye kalo
minum bukan 1-2 cangkir kali… tapi beberapa ember!! So itu pasti
butuh kerja keras!

Nah, coba kita cek sendiri. Selama ini, tanda-tanda macam apa
yang kita minta? Tanda yang membuat kita lebih bisa mengenal
karakter si doikah? Atau tanda-tanda yang cuman untuk memuaskan
keinginan kita buat ngobrol sama dia, ketemu dia, jalan bareng dia
(sekalipun dibalut dengan aneka kedok rohani model pelayanan dan
sebangsanya)?

2. Tanda-tanda itu NGGA membuat kita makin dekat


dengan Tuhan 
Seringkali, bukannya membuat kita tambah deket sama Tuhan, tapi
tanda-tanda—bahkan yang seolah-olah dijawab—itu justru membuat
kita lebih banyak bertanya-tanya dalam hati, “Ih iyakah? Benarkah
dia? Wah, ternyataaa…”

Pearlians, kalo Tuhan memimpin kita lewat berbagai tanda “sepele”,


Dia ngga akan kasih Alkitab; Dia kasih DADU buat kita. Kalau
jumlahnya genap berarti iya, kalau jumlahnya ganjil berarti tidak.
Kalo angkanya lebih besar dari tiga berarti boleh, kalo lebih kecil dari
tiga berarti ngga boleh. Masalahnya adalah… Tuhan ngga kasih kita
dadu, tapi Alkitab! Kenapaa? Karena sebenarnya, Kekristenan
itu bukan bicara mana yang boleh dan yang tidak, serta
juga bukan mana yang iya dan yang tidak. Kekristenan itu
bicara soal hubungan, tepatnya antara kita dengan Tuhan.
Dia ngga menginginkan hubungan sedangkal “ini-boleh-itu-ngga-
boleh”. Tuhan ingin ada dialog dengan kita. Tuhan ingin
kita mengerti hati-Nya. Hubungan model “boleh-tidak boleh” itu
model hubungan Bos-Kuli, sedangkan hubungan yang Tuhan mau itu
hubungan yang dekat—seperti hubungan antara seorang bapa dengan
anaknya, suami dengan istrinya (yang tentu saja lebih dalam dari
sekadar “boleh-tidak boleh”).

Itulah kenapa Tuhan kasih surat cinta buat kita setebal 2000-an
halaman. Bukan buku manual yang isinya cuma poin-poin, atau
sehelai kertas berisi cara mengetahui kehendak Tuhan. Kehendak-
Nya hanya bisa diketahui lewat hubungan yang akrab, itupun Dia
menyingkapkannya setahap demi setahap—sesuai kapasitas dan
kesiapan kita. So, kalau kita cuma mau deket ama Tuhan hanya
sebatas biar dapet jodoh, dan cuman berdoa untuk minta tanda-
tanda, bertobatlahhh :p Duh kalau mau blak-blakan nih yaa, semua
yang Tepen bisa kasih ke gue itu ngga ada seujung kukunya dibanding
dengan semua yang TUHAN udah kasih buat gue. Bukan karena
Tepen ngga kasih apa-apa buat gue, dia emang kasih banyak hal…
tapi kalo itu dibandingin ama Babe mahh jauhhhhhh. :p 

So, kalau kita cuman mau deket ama Babe hanya demi jodoh, kitanya
yang rugi!! Serius. Itu kayak lebih milih makan gorengan di pinggir
jalan padahal sebenernya kita bisa makan All You Can Eat di Shangri-
La gratis!!

***

Kalo kayak gitu, mesti gimana, nih? Misal ada cowok yang potential
banget, nih… Trus kalo jangan minta tanda, kita kudu gimana, dong? 

1. Jalin hubungan yang intim dengan Babe 


Tanpa hubungan yang dekat dan personal sama Babe, kita bakal susah
buat jalin hubungan yang sehat bersama dengan (calon) pasangan
hidup kita.

2. Selidiki
Daripada minta tanda-tanda lucu bin aneh, mending minta
Tuhan bukakan mata kita biar bisa lihat kekurangannya, cara
dia memperlakukan keluarganya, siapa teman-teman
dekatnya, bagaimana hubungannya dengan Tuhan, apa
pandangannya soal tujuan hidup (kalo dia aja ngga punya tujuan
hidup, LUPAIN AJA!!), cara dia bekerja, prioritas hidupnya (dia
lebih mengutamakan Tuhan atau online games?), cara dia mengatur
waktu, dan sebagainya. Singkatnya, mintalah kepada Tuhan agar kita
bisa melihat hal-hal yang bisa membuat kita tahu karakternya dan
bisa membuat kita berpikir, “Apa orang kayak gini yang gue pengen
buat jadi ayah/ibu anak-anak gue?” Pastinyaa pikiran seperti ini
harus objektif ya, Pearlians! Minta Roh Kudus untuk terus-menerus
memurnikan hati kita agar bisa memandang si doi dengan netral dan
memakai logika dengan bijak (bukannya dihanyutkan sama perasaan
aja).

3. Tanya pendapat orang tua


Tanya pendapat mereka bahkan SEBELON Pearlians menembak/
menerima. Kenapa? Bukannya orang tua mah nanti aja kalo kitanya
udah mantap melangkah? Hmm… pertanyaannya adalah……… dari
mana kita bisa tahu kalo diri ini udah beneran siap (maupun cocok)
berelasi sama si doi? Ukurannya apa? Padahal—idealnya—orang
tua adalah orang-orang yang sangat pengen yang terbaik buat kita.
So merekalah orang-orang yang ada di pihak kita—sekalipun mereka
belum jadi orang percaya! Lagian nihh, kalo udah jalan dulu terus
baru tanya orang tua ehhhh ternyata mereka ngga setuju, itu bakal
lebih berat dan menyakitkan. So if you really love him/her, ask your parents
first!!

As a wrap, banyak hal berguna yang lebih valid untuk dijadikan dasar
pertimbangan kita dalam memilih pasangan hidup! Daripada minta
tanda-tanda ngga jelas, mending habiskan waktu baca Alkitab, denger
khotbah, maupun menyembah Tuhan! God bless you, Pearlians! :D
How Do We Know
He Loves God?
FELISIA DEVI

Dulu sebelum menikah, pemikiran gue dulu untuk cari pasangan


syarat utama adalah seagama. Habisnya sering banget dapat saran
kayak gitu, kan… Jadi, karena agama gue Kristen, berarti gue harus
cari cowo yang juga beragama Kristen. Masalahnya, saran kayak gitu
cuma garis besarnya doang, bukan secara detail. Semakin bertambah
dewasa, semakin sering gue melihat dan mendengar cerita maupun
pendapat dari orang lain yang bilang, “Mau agamanya Kristen kek,
enggak kek, sama ajalahhh. Ga beda, kok. Malah kalo dibandingin
sama orang yang agamanya Kristen, lebih baik jadian aja sama yang
bukan orang Kristen.”

LOH GIMANA, SIH? KOK GUE JADI GALAU, YA.

Yaaa intinya, pada saat itu gue mengalami kebingungan karena nggak
punya arah yang tepat bagaimana seharusnya mencari pasangan yang
diperkenan Tuhan. Seiring berjalannya waktu, yang gue pikirkan
adalah, “Asal suka sama suka, baik, ada chemistry, ya udah jalanin aja
dulu.” Apalagi kalo sama-sama beragama Kristen, gue udah sampai
berpikir, “Mungkin dia nih, yang Tuhan kasih buat gue.” Haiyaa cepet
banget kan penilaiannya, tanpa mengenali si doi dulu. Nggak heran
kalo kadang-kadang di dalam pelaksanaannya, gue tetap merasa ada
yang kurang dan nggak sreg kalo melihat ada sifat maupun kelakuan si
doi yang bisa membuat gue jadi illfeel.

Thanks God, semakin bergumul sebagai orang Kristen (bukan yang


abal-abal), gue benar-benar mengalami kehadiran Tuhan melalui
berbagai pergumulan yang ada. Dari situ gue udah nggak terlalu
memikirkan kebingungan yang ada di awal artikel ini. Gue cuma fokus
sama Tuhan aja, dan lagi nggak mau memikirkan tentang PH (a.k.a.
pasangan hidup) dulu—benar-benar cuma mau mengejar Tuhan dan
kebenaran-Nya yang membebaskan itu. Yes, salah satu hal yang gue
dapatkan di masa bergumul tentang PH adalah kenyataan bahwa
sebagai orang percaya (yang bukan cuma Kristen abal-abal), berelasi
secara khusus (alias pacaran—bahkan menikah) dengan yang hanya
beragama Kristen itu nggak cukup. Oke, secara teori gue tahu kalo
yang dimaksud dengan pasangan yang seiman adalah dia yang juga:

1. orang yang percaya kepada Tuhan Yesus secara pribadi;


2. mengalami kelahiran baru;
3. menginternalisasi Firman Tuhan di dalam kehidupannya
sehari-hari;
4. dan punya level iman yang nggak njomplang dari gue (idealnya
dia bisa memimpin kehidupan pernikahan dan keluarga kelak,
dan dibuktikan melalui relasi pacaran kami).

Walaupun begitu, gue tetap bingung dan jadi bertanya-tanya,


“Gimana gue tahu tuh orang benar-benar takut akan Tuhan
dan mengasihi Dia atau nggak?”

Thanks God, semakin gue ngerti isi hati Tuhan, semakin diubahkan
pula hidup gue oleh Dia. Gue jadi semakin dimampukan buat ngerti
kehendak Tuhan—mana yang baik, berkenan dan sempurna (Roma
12:2). Perubahan ini, salah satunya, termasuk mengenali orang-orang:
apakah dia ini benar-benar punya hubungan sama Tuhan atau nggak,
apalagi soal membangun hubungan pria dan wanita—untuk PH (ehh,
ini bukan untuk menghakimi ya, tapi kita jadi bisa mendeteksi sebelum
memantapkan hati buat melangkah lebih jauh). Gue bisa kayak gini
karena ada proses yang harus dilewati, sehingga gue jadi semakin
mengenal Tuhan dan disadarkan kalo PH yang Dia mau—dan gue
butuhkan—itu bukan sekadar berlabel agama Kristen: bukan
sekadar ke gereja tiap minggu, rajin pelayanan, suka ngomongin
Tuhan (intinya cuma Kristen KTP (Kristen Tanpa Pertobatan), deh).
Sebaliknya, yang Tuhan mau adalah gue berpasangan dengan cowok
yang takut akan Dia, punya hubungan yang intim dengan-Nya,
dan semuanya itu kelihatan jelas melalui kesehariannya, keputusan-
keputusannya, fokus hidupnya, cara berbicaranya, serta berbagai
perubahan hidupnya—yang selalu mengarah pada pertumbuhan di
dalam Tuhan. Well, dari kehidupan sehari-hari seseorang, kita bisa
melihat siapa yang memegang kendali kehidupannya (Tuhan atau dia),
dan apakah dia punya hubungan pribadi sama Tuhan atau nggak.

Pertanyaannya, bagaimana mengenali orang yang kita tahu dia


juga benar-benar berelasi dengan erat bersama Tuhan? Kalo dalam
memilih PH, kita kan punya tuh segudang list kriteria PH kelak
yang kita gumulkan: cinta Tuhan, punya hubungan sama Tuhan,
dan sebagainya. Nah, sebelum bisa nilaiin dan pengen dapetin PH
yang sesuai list itu, kita juga harus mengalami Tuhan terlebih
dahulu sesuai dengan list kita. Iya, dongg… Masa’ cuma dia
yang dituntut buat punya hidup yang berkenan di hadapan Tuhan,
sedangkan kita sendiri malah leha-leha dan nggak mau bertumbuh?
Begitu juga dengan gue; gue bisa mendeteksi seseorang punya
hubungan sama Tuhan atau nggak, karena gue udah mengalami dan
diubahkan Tuhan terlebih dahulu.

Tapi nggak cuma itu; kita juga membutuhkan orang-orang yang bisa
menjadi para penjaga biar nggak kecolongan. Disadari atau nggak,
orang yang jatuh cinta itu bisa lupa daratan. Walaupun udah tahu
banyak teori dan prinsip mengenai PH yang harus dipilih, kalo udah
jatuh cinta… sangat mudah bagi kita untuk melupakan semuanya.
Bahkan nggak jarang kita merasa he is the right one, sehingga kita nggak
bertanya (atau konsultasi) dulu pada orang-orang yang—biasanya—
bisa melihat dengan lebih netral.

Gue kasih contoh, nih.

Gue baru mulai belajar bahasa Inggris, jadi masih baru di tahap
beginner. Nah, ada orang (si A) yang ngaku sama gue kalo dia bisa
bahasa Inggris. Gue lihat dia ngomong sama orang bule, pake bahasa
itu, bla bla bla… ngomongnya lancar banget. Sebagai orang yang
pengetahuan tentang bahasa Inggrisnya masih cethek (dangkal), gue
merasa kagum, “Gilee jago nih orang. Tadi ngomongnya lancar, PD
banget sama tuh bule.”

Abis itu gue bilang sama temen gue yang lain (si B), “Si A jago loh
bahasa Inggrisnya. Tadi gue lihat dia ngomong pake bahasa Inggris
sama bule tuh lancar, bla bla bla…” Bedanya dari gue, si B ini punya
pengetahuan bahasa Inggris yang jauh di atas gue, tahu tenses, dan
lain-lain.

Setelah si B lihat si A dan dengar omongannya, diajak dialog pakai


bahasa Inggris, si B bilang ke gue, “Apanya yang jago? Dia salah tenses,
verb, kalimat, dan lain-lain. Dia cuma modal PD doang, tapi nggak bisa
bahasa Inggris.”

Ngeri kan, kalo kita pergi ke luar negeri dengan si A tapi dia ternyata
nggak benar-benar bisa berbahasa Inggris? Jangan-jangan kita bisa
tersesat! Apalagi kalo kita menikah dengan orang yang salah, yang
arah hidupnya juga nggak jelas! That’s why, kalo jatuh cinta, kita butuh
penilaian orang-orang sekitar—terutama pemimpin rohani yang cover
kita (karena kita mau PH yang takut akan Tuhan kan, jadi butuh
orang yang dewasa rohani untuk melihat pria ini dewasa rohani atau
nggak).

Kita butuh orang-orang yang bisa menolong kita dengan


melihat dari pandangan yang benar (dan jernih).

Kalo kita pengen punya PH yang takut akan Tuhan (beserta kriteria-
kriteria lainnya), selain didoakan, jangan lupa minta Tuhan menuntun
agar kita juga diubahkan terlebih dulu menjadi pribadi yang takut
akan Dia. Ibaratnya, kalo mau menikah dengan “pangeran”, kita
harus jadi “putri” dulu. Sebaliknya, kalo mau dapetin putri kerajaan
Allah, si dia harus jadi pangeran dulu.

Kalo sekarang kita baru deket sama seseorang, minta Tuhan


menuntun kita dalam mengenali apakah dialah yang Tuhan
kehendaki, yang Tuhan kehendaki untuk hidup bersama-sama dengan
kita. Jangan-jangan di mulutnya doang ngakunya cinta Tuhan, tapi
belum tentu ada Tuhan di hatinya—bahkan bisa jadi malah jauh
banget dari-Nya. Kita harus menguji dulu apakah dia benar-benar
cinta Tuhan atau nggak, sebelum menyerahkan hati dan emosi kita
untuk berkomitmen membangun sebuah relasi bersamanya. Intinya,
banyak-banyak tanya sama Tuhan dan orang-orang yang bisa
dipercaya, deh. Seringkali, mereka juga Tuhan pakai untuk menuntun
kita dalam memilih PH kok, Pearlians. Dari situ pula kita akan dilatih
untuk semakin peka dan taat pada suara Tuhan.

Agar kita benar-benar bisa mengenali seseorang punya


kualitas hubungan sama Tuhan atau nggak, kita sendiri
harus punya hubungan sama Tuhan dan mengalami-Nya
terlebih dulu.

Mari kita menundukkan hati dan pikiran di hadapan Allah dan


mengizinkan-Nya memerintah atas hidup kita. Seperti yang dikatakan
oleh Yesus dalam Matius 6:33, “Carilah dahulu kerajaan Allah dan
kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Remember, sometimes love story starts in an unpredictable way. So, prepare yourself
to be a Godly woman while God also prepares your Godly man before both of you
start a relationship.
(Sepertinya) Tuhan Bilang
Dia Orangnya
MEKAR A. PRADIPTA

Dulu kalo ada di antara kami yang mulai sparkling-sparkling’ sama


cowok, kakak rohani kami pasti langsung bilang, “Doakan dulu.
Cari kehendak Tuhan. Cari tahu apa dia memang orang
yang Tuhan kehendaki untukmu.” Lalu kalo ditanya bagaimana
cara mengetahui kehendak Tuhan, weeeewww, dia cuma bilang,
“Dia bisa bicara lewat apapun. You have to figure it out yourself. Bisa
lewat firman, bisa lewat damai sejahtera, atau mungkin suara hati.
Bisa juga peneguhan orang tua dan pemimpin rohani. Bisa juga
lewat supranatural things seperti tanda, mimpi, atau nubuatan.”

Seiring berjalannya waktu, dalam masa pertumbuhanku sebagai orang


Kristen, aku sering dengar kalo penyataan supranatural soal jodoh
itu emang ada, tapi harus sangat amat diuji. Soalnya bisa jadi karena
emosi kita yang terlalu banyak bicara, segala sesuatu malah bisa kita
anggap tanda (macem cocoklogilah). Kan, bisa jadi kita terlalu mikirin
si dia sampe kebawa mimpi yang sebenernya ga diilhami sama Roh
Kudus, tapi roh kudis alias KUbikin DramatIS (haha, singkatannya
maksa! :p).

Tuhan bisa saja menyatakan bahwa seseorang adalah pasangan


kita melalui cara apapun, bahkan sebenarnya—kalau mau blak-
blakan—Dia “hanya” menyediakan prinsip-prinsip umum, namun
menyerahkan keputusan siapa yang akan dipilih pada kita. Well,
kecuali dalam kasus-kasus tertentu ketika Tuhan memang memiliki
tujuan khusus, sehingga Dia memberikan konfirmasi yang jelas
pada kedua belah pihak. Yaps, that’s true. Masalahnya adalah ketika
pewahyuan itu datang kepada si wanita terlebih dulu, sang pria
justru belum tahu apa-apa. Kadang fakta ini bikin si wanita malah
jadi ngga tenang. Bawaannya jadi galauuuuu dan melauuuu (melow
maksudnyaaa, hehehe), apalagi kalau sang pria ngga segera bergerak.
Lhadalah, kenapa bisa gitu?

Pertama, sebagai wanita, kadang-kadang kita jadi terbeban dengan


pertanyaan apakah “janji” itu memang benar dari Tuhan. Pertanyaan
ini sih, normal dan bahkan harus muncul di benak kita (baca: ngga
cuma asal “iya” aja). Saat menerima janji tersebut, yang perlu kita
lakukan adalah mengujinya, seperti yang dikatakan Paulus dalam 1
Tesalonika 5:21a:

“Ujilah segala sesuatu...”

Bagaimana bisa tahu apakah itu benar dari Tuhan? Hmmm, yang
utama, kita harus memiliki habit membangun hubungan pribadi
dengan Tuhan. Semakin intim kita dengan Tuhan, semakin peka kita
dengan suara-Nya. Jangan lupa untuk mendiskusikannya dengan
wanita-wanita lain yang bijaksana dan minta mereka untuk ikut
berdoa dan memberikan pengawasan. Orang itu bisa saja pemimpin
rohani, orang tua, atau sahabat yang bisa dipercaya. Tahap ini penting
agar mata dan telinga kita tetap terbuka pada apapun penyataan
Tuhan. Diakui atau tidak, cinta di hati kita bisa membutakan dan
menulikan mata hati kita hehehe… Biasanya mereka bisa melihat
apa yang tidak bisa kita lihat, termasuk salah satunya kenyataan
bahwa pria itu mungkin tidak sebaik yang kita kira. Ngga mau kan,
kalo kita jadi menyalahkan siapapun (termasuk diri sendiri) setelah
mengabaikan feedback dari orang-orang yang Tuhan hadirkan di sekitar
kita, dan ternyata kita memang sedang berelasi (bahkan menikah)
dengan orang yang salah?

Kedua, kalo misalkan benar janji itu dari Tuhan, kadang kita
jadi gelisah dengan bagaimana janji itu akan digenapi. Kita
juga cenderung tidak sabar menunggu pemenuhan janji itu.
Ketidaksabaran ini nih yang kadang bikin kita lupa kalo God wants us to
behave like a ruby (kaya yang aku tulis di post ini). Mungkin aja kita, para wanita,
jadi berpikir it›s okay untuk bertindak duluan karena kita punya janji Tuhan (lewat firman,
mimpi, nubuatan atau tanda apapun, deh). Di sisi lain, bisa juga saking
ngga sabarnya, akhirnya kita jadi “sok menolong” Tuhan (dan pria-
pria itu) “menggenapi” janji yang kita terima. Misalnya dengan kirim
surat ke si pria (dengan kertas pink bunga-bunga beraroma bunga
sedap malam dan cap bibir di amplopnya :D), yang berisi, “Engkaulah
orangnya. Tuhan sudah menyatakannya padaku. Would you marry me?”
*Halaaaahhhh...*

Di buku A Good Man is Hard to Find ada pembahasan soal sikap kita ketika kita (sepertinya)
menerima pewahyuan bahwa si dia adalah pria yang dikehendaki Tuhan buat jadi pasangan
kita. Hoho... Kayak gini, nih...

Kalo Allah telah memberikan pewahyuan tentang seorang pria


tertentu sebagai suami Anda. Pertama-tama, tenanglah.
Kemudian, santailah dan biarkan dia pergi. Bebaskan pria
itu dari doa-doa perjodohan Anda, dan dari semua harapan tentang
bagaimana hal itu akan terwujud. Jangan berpikir bahwa Anda
dapat memaksakan Allah pada suatu rencana tindakan, karena
disini sama seperti kebanyakan tanggapan-Nya terhadap doa-
doa, jawaban diberikan dengan cara yang paling tidak Anda
perkirakan. Anda tidak bisa mengantisipasi tindakan-tindakan
Allah karena hal itu jarang mengikuti jalur yang telah Anda
siapkan. Ia adalah Allah yang berdaulat. Allah yang memegang
kendali. Jika pewahyuan itu benar dari Allah dan bukan
berdasarkan kekuatan, hawa nafsu ataupun emosi
Anda, maka realitanya akan terwujud tanpa dorongan
apapun dari Anda.

Anda akan merasakan bahwa duduk diam merasakan Allah


bekerja jauh lebih menyenangkan dan membangun iman Anda,
daripada melompat-lompat mendahului-Nya dan berusaha
melakukanNya sendiri. Beristirahat di tempat perhentian
adalah satu-satunya cara untuk membuktikan apa
yang Allah katakan.

Melepaskan cengkeraman dari seorang pria berarti melepaskan


kehendak Anda, yang artinya sama dengan melepaskan pria
itu. Betapapun sulitnya, respon Anda yang terbaik
terhadap pria yang dituju adalah bersikap tenang,
tetap manis dan ramah, serta tidak agresif. Tindakan
apapun yang Anda ambil untuk mendesaknya akan
membuat urusan menjadi kacau. Meskipun tidak mudah, berhentilah
memusatkan perhatian padanya sebagai calon teman hidup. Berdoalah tentang hal itu dan
mintalah agar Tuhan membiarkannya berada di balik pikiran Anda, sehingga ia
tidak menjadi obsesi bagi Anda.

Semua kecemasan, obsesi dan perencanaan Anda


tidak akan mempercepat rencana Allah sedikitpun. Jika
Anda tidak dapat mempertahankan fokus Anda pada Allah
dan bukan pada seorang pria, Anda hanya akan berhasil
membuat diri Anda sengsara. Tentu saja, Anda bebas untuk
memperlakukannya sebagai teman, dan untuk menikmati
kebersamaan dengannya, kalo memang ia ingin bersama Anda,
tetapi Anda tidak boleh lebih dari itu.

Kesimpulannya, kalo janji yang kita terima itu benar


dari Tuhan, peneguhannya akan diberikan kepada dua
belah pihak—dan pria yang akan jadi inisiator. Kalo
kita sudah terima janji Tuhan dan si pria nampaknya belum
mendapatkannya, well, the only way is just wait. Menunggu disini
sebenernya bukan menunggu si pria itu, tapi lebih kepada menunggu
Allah menyingkapkan kehendak-Nya, yang salah satunya mungkin
ditandai dengan adanya inisiatif dari si pria. Kalo memang Dia
orangnya, Tuhan pasti juga akan ngomong ke dia. Bisa jadi Tuhan
akan kirim malaikat untuk datang dalam mimpinya dan bilang,
“Jangan takut menikahi anakku si Ruby.... bla... bla... bla...” Dan si
pria langsung ngelamar kita di hari berikutnya :p Hahaha, terinspirasi
dari kisah Yusuf dan Maria gitu deh ceritanya... Anyway, Tuhan bisa
pakai cara apapun untuk menunjukkan apa yang Dia kehendaki, kok.
Tugas kita sebagai manusia adalah mempersiapkan diri, menajamkan
kepekaan terhadap suara-Nya, dan selalu melatih diri agar menjadi
pribadi yang berbuah di dalam Tuhan. Who knows hari itu akan tiba di
waktu yang tidak pernah kita duga sebelumnya. :)

Ya intinya, ga peduli how real the promise seems, tetap biarkan si pria yang
melakukan inisiatif. Kalo belum, tunggu. Dalam fase ini mungkin
timbul pertanyaan-pertanyaan, “Boleh ngga aku SMS (okelah, kalo
sekarang mah chat) dia?” atau “Boleh ngga aku sapa dia di Facebook
(atau Instagram)?” Mmm, itu kembali pada tiap pribadi, apa
tujuannya SMS/chat dia? Apakah memang ada sesuatu yang perlu
disampaikan? Atau hanya sekedar memuaskan rasa ingin ngobrol?
Atau jangan-jangan untuk memancing dia bertindak? Hal ini penting
karena kita perlu tetap menetapkan batasan-batasan untuk menjaga
hati kita tidak terikat padanya secara emosional (bisa baca artikel Ci
Grace Suryani tentang batasan fisik dan batasan emosi—khususnya
dalam berpacaran. Ngga apa-apa, baca-baca aja dulu biar bapernya
ngga bablas :p). Penting juga untuk menjaga perilaku kita kepada pria
itu tidak berlebihan. Kalo kata Mas Joshua Harris, “Keintiman adalah
upah dari komitmen.” ^^

Oke, mungkin dalam masa penantian itu akan muncul pertanyaan,


“Jadi aku harus menunggu sampai berapa lama?” Hmm, back again,
harus tanya Tuhan (ya soalnya saya bukan cenayang). Ngga ada
patokan pasti. It can be sooner or later. Lalu bagaimana kalo kita sudah
menunggu dan ternyata si pria tidak juga melakukan inisiatif (baca:
tindakan) apa-apa? Yaaah, mungkin memang belum waktunya, atau
bisa jadi kita memang salah mendengar suara Tuhan. Alasannya
adalah saat kita menunggu, sebenarnya itu juga menjadi momen
pengujian apakah ada kemungkinan kita salah dalam mengartikan apa
kehendak Allah tetap saja ada.

Mungkin kita jadi bertanya, kalo memang ternyata bukan dia, kenapa
Tuhan membiarkan aku menunggu? Kenapa Tuhan ngga bilang aja
langsung orangnya bukan dia? Kenapa Tuhan ngga bilang langsung,
“Woi, anak-Ku, itu bukan janji-Ku! Itu cuma perasaanmu aja!”?
Kenapa Tuhan justru mengizinkan kita menunggu? (here is a lil meme
video of what the talks can be) Wkwkwk… Maksud Tuhan bisa berbeda
pada setiap orang, tapi tetap saja, there are a lot of treasures we can learn when God  teaches
us how to wait upon Him. Trust me. Pada akhirnya ini bukan soal mendapatkan
siapapun pria itu, tapi soal mengalami Tuhan dan dibentuk serupa dia.
:) Percayalah bahwa jalan-Nya sangat bijaksana.

Bagi Pearlians yang pernah baca blognya Ci Nelly (yang belum bisa
klik di sini) dan baca post yang judulnya How I Know that He is The One
from God (yang ada tujuh jilid sejauh ini ^^) pasti udah tahu perjuangan
Ci Nelly buat menghidupi janji spesifik tentang Bang G. Tuhan bilang
Bang G adalah jodohnya, dan itu diteguhkan lewat firman, mimpi,
dan pemimpin rohani. Bahkan ketika Ci Nelly mau berhenti menunggupun,
Tuhan terus ingetin Ci Nelly buat terus menunggu. Bayangin
aja, Bang G udah naksir orang lain, Tuhan tetep suruh Ci Nelly
ngelanjutin proses itu. A big wooowww!!!

Satu hal yang pasti, dalam kisah Ci Nelly ini tetap ada bagian dimana
Ci Nelly melepaskan Bang G. Bukan berarti Ci Nelly give up on the
promises, tapi lebih kepada berserah kepada cara Tuhan dan waktu
Tuhan. Ci Nelly tidak melakukan apapun untuk mendorong pria itu
memilih Ci Nelly. She just prayed, prayed, and prayed. Consulted God and
her leader always. Bahkan dia terbuka pada kemungkinan kalo ternyata dia salah
dalam mendengarkan suara Tuhan. Kalopun pria itu ternyata tidak
jadi miliknya, dia juga ngga akan pernah kecewa karena Tuhan tetap
memakai masa menunggu itu untuk membentuk dan mempertajam
karakternya. Dia juga ngga akan kecewa karena Tuhan selalu cukup
buat dia. Hal ini jadi obat anti-galau buat dia. :)

Soal peneguhan tentang janji mengenai pasangan hidup ini memang


bisa jadi ribet banget. So, buat kamu yang sedang bergumul dengan
masa penantian akan seseorang, terutama kalo kamu merasa bahwa
Tuhan sudah menjanjikan orang itu untukmu, ikuti aja prosesnya,
tetap melekat kepada Allah dan ikuti tuntunan-Nya. Peganglah janji
Tuhan bahwa Ia adalah Allah yang sungguh rindu memberikan
tuntunan dan arahan bagi kita.

Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh;
Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.
Mazmur 32:8

God will never lead us anywhere He doesn’t want us to follow...


Lebih Berharga
dari Permata

MEKAR A. PRADIPTA

Beberapa tahun yang lalu, saya menemukan buku lama karangan Jo


Lynne Pool berjudul A Good Man is Hard to Find (Unless You
Ask God to Be Head of Your Search Committee). Buku ini
membahas tentang penantian mendapatkan pasangan hidup. Nah!
Jujur aja, tema ini pasti menarik banget buat para single yang kadang
merasa penantiannya tiada berujung.

Penantian dalam buku ini dibahas lewat Amsal 31:10:

Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya?


Ia lebih berharga dari pada permata.

Who can find a virtuous woman? For her price is far above rubies.

Ayat ini memang ngga membahas tentang penantian, tapi


tentang “find” atau “menemukan”. Di buku A Good Man itu, Mrs. Pool
menulis sesuatu yang menarik...

“Pay attention to the word ‘find’ in Proverbs, chapter 18 and 31. It is there for
a reason, it is up to the man to do the finding, the discovering. It is not for you to
go out and hunt down your own guy. The world will tell you there are millions of
hungry women out there looking for one good man and that you must join the fray.
Get out there, find one, fight for him. You’ve heard the whole routine. But the Bible
says that ‘he’ shall find you...”

Ilustrasinya begini, sebutir permata tidak akan meloncat keluar


dari dalam tanah, mengetuk-ngetuk jari-jari kaki para penambang
untuk menarik perhatian. Mereka menunggu dengan tenang sampai
ditemukan.

Anyway, ternyata di Amsal 18:22 juga ada, lho.

[He who] finds a wife finds a good [thing], And obtains favor from the LORD.

Dalam konteks seorang pria mendapatkan pasangan, selalu dipakai


kata ‹find›. Menurut kamus Oxford, kata ‘find’ itu berarti:
1. discover or perceive by chance or unexpectedly;
2. reach or arrive at by a natural or normal process.

Membaca definisi ini, saya menangkap kesan adanya faktor yang out


of our control and power, seperti ada ketidaksengajaan, sesuatu di luar
perkiraan, sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa campur tangan kita.

Sebagai contoh konkretnya nih, kita pasti pernah membaca kalimat ini
di undangan-undangan pernikahan.

Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktu-Nya. 

Indah, saat Ia mempertemukan, indah saat Ia menumbuhkan kasih, 

dan indah saat Ia mempersatukan dalam pernikahan kudus.

Tiga kalimat di atas bisa dirangkum dalam satu kalimat: an


enchanting love story is one which arranged by God.

Dunia boleh bilang, “Hai, wanita, go out, arrange something, chase some
men in that crowd and find a husband. Pergilah ke gereja dan duduk
paling depan supaya pemain musik itu menyadari kehadiranmu.
Bergabunglah dalam komsel, siapa tahu di sana ada pria baik cinta
Tuhan yang cukup potensial. :”) Mari bersikap ramah kepada pria-pria
itu, buatkan mereka makanan, kirimi mereka ayat-ayat Alkitab, kasih
senyum semanis lollipop, siapa tahu ada yang terjerat.”

Sounds familiar?

Kalau kita termasuk wanita-wanita yang melakukan hal itu, mari cek
lagi hati kita, perhatikan lagi motivasi kita. Memang sih, hanging out,
join with the new community, atau apapun dengan label “bergaul” itu tidak
salah, tapi saat kita melakukannya hanya untuk mendapatkan suami...
Apakah Tuhan tidak mampu membawa seorang pria menemukan kita,
sampai kita heboh menjemput pria-pria itu? Sebegitu khawatirkah kita
sampai harus berjuang memanipulasi keadaan?

Berikut kutipan dari buku A Good Man tentang bagaimana seharusnya


tindakan kita agar “ditemukan”:

Kehendak Allah akan digenapi dalam hidup anda, kalau anda adalah
miliknya dan mau menjalani hidup anda sesuai dengan firmanNya.

... 

Majulah dan mintalah apa yang menjadi kerinduan hati anda,


kemudian tenanglah dalam keyakinan bahwa Ia melakukannya,
tenang dan tinggallah dalam Tuhan. Ingatlah bahwa ‘tindakan’ harus
dilakukan oleh Tuhan. 

... 

Mintalah kepada Allah apa yang sesungguhnya anda inginkan,


hanya apabila anda sudah benar-benar siap untuk menerimanya,
Sediakan waktu yang sungguh-sungguh memeriksa hati anda sendiri.
Bersekutulah dengan sungguh-sungguh. Bersekutulah dengan Yesus
bukan dalam ‘doa-doa minta jodoh’, tetapi meminta tuntunan dan
pengarahannya. Katakan kepadaNya bahwa keinginan hati Anda
yang terdalam adalah untuk menerima suami yang disediakan-Nya
bagi anda dan yakini bahwa itu adalah benar. 

Kesimpulannya seperti ini:


Apa yang harus kita lakukan adalah membangun hubungan dengan
Allah, melakukan apa yang Dia ingin kita lakukan, menjadi maksimal
dengan masa single kita dan mempersiapkan diri kita untuk suami kita
di masa depan. 

Be still and know that He is God. Tenang dan ketahuilah bahwa Dia


Allah. Tenang dan ketahuilah bahwa Dia sanggup. Tenang dan
ketahuilah bahwa Dia setia. Tenang dan ketahuilah bahwa Dia punya
rencana. Tenang dan ketahuilah bahwa waktu-Nya tepat. Tenang
dan ketahuilah bahwa tindakan-Nya benar. Tenang dan biarkan Dia
bekerja...

Tuhan adalah arranger utama dari percintaan kita, setiap tindakan


berasal dari Dia. Kalaupun ada intervensi lain, itu bukan pada objek
yang ditemukan, tapi pada subjek yang menemukan, merekalah yang
melakukan usaha yang dibutuhkan untuk menemukan objek itu.
Tapi tentu saja usaha itu tetap ada di bawah arahan Tuhan, sebagai
sutradara dan produser utama. Ini berarti, kalau wanita adalah rubi
atau mutiara, maka usaha untuk menemukan rubi atau mutiara itu
adalah bagian para pria...

Let’s just remember our identity: far above rubies. Kalo untuk


sebutir rubi saja para penambang harus menggali dan masuk ke dalam
tanah sampe beribu-ribu meter, pria yang ingin mendapatkan kita
seharusnya juga tidak malas berusaha. They have to find our heart in the
palms of God’s hand and ask for it from God self. 

Perjuangan para pria itu tidak selalu berarti tentang menghadapi


penolakan kita. Bisa saja perjuangan itu tidak kelihatan yaitu
pergumulan dengan Tuhan secara pribadi, saat mereka mendoakan
kita. Tuhan yang akan menguji mereka sampai mereka bisa
membuktikan bahwa mereka benar-benar mengasihi kita, sampai
mereka cukup berani untuk mengambil inisiatif, cukup kuat untuk
berjuang, cukup lembut untuk memperhatikan, cukup rendah hati
untuk berkorban, cukup sabar untuk menunggu, seperti Kristus
mencintai dan mengasihi kita. Seram, ya? Diuji dengan Kristus
sebagai standar? Yup, because that is exactly what they are supposed to do.

Husbands, go all out in your love for your wives, exactly as Christ died for the
church--a love marked by giving, not getting.
Ephessians 5:25 (The Message) 

Saat para pria itu menjadi suami kita kelak, mereka memang dituntut
bisa mengasihi kita dengan cinta yang all out seperti cinta Kristus
kepada jemaat. Itulah kenapa Tuhan menetapkan kita hard to
find (Amsal 31:10 – the Message), supaya dalam proses menemukan
itu para pria diproses untuk memiliki kasih seperti Kristus. Di lain
pihak, dengan bersikap hard to find, kita juga diproses untuk menjadi
wanita dengan a gentle and quite spirit, yang ditandai dengan
ketenangan, kesabaran dan pengendalian diri. 

Masalahnya adalah kadang-kadang kita merebut apa yang seharusnya


menjadi bagian para pria itu; we did the effort, even sometimes too
much effort to get a man we love. Misalnya, mereka belum ngajak
kencan, kita udah ajak duluan. Mereka telepon cuma 10 menit,
sekali dalam seminggu, kita telepon sejam, setiap hari. Mereka belum
bicara dengan papa kita, kita udah ngomongin nikaaah mulu. Jangan
heran kalo pria-pria itu punya pride dan ego yang segunung dan
kurang menghargai kita. Pria-pria masa kini cenderung mengalami
penurunan maskulinitas, salah satunya karena kita, para wanita, yang
tidak membiarkan mereka berperan sebagai pria. We have to let
guys be the guys, having divine masculinity, a quality of a
man which is set by God itself, according to His image.

Tapi, bukan berarti lalu kita diem-diem aja kaya ulat yang kerjanya
cuma ngulet-ngulet. Dideketin-diem, digoyang-goyang-diem juga,
dilempar sandal deh lama-lama :D Peran kita sebagai wanita adalah,
tidak menyerahkan hati kita dengan gampang, namun justru ber-
partner dengan Allah dalam menguji para pria itu. Hard to find bukan
berarti jual mahal, tapi meresponi dengan hikmat. God has give us our
identity: far above rubies, let’s behave according to that identity. Mari melepaskan
kontrol untuk mendapatkan para pria dan membiarkan diri kita
“ditemukan”.
Relationship
Galau Pranikah
NATALIA SETIADI

Published here on October 17th, 2018

Berkaca dari pengalaman, biasanya ini nih, yang ada di pikiran para
calon pengantin:

Galau.

Bimbang.

Takut salah melangkah.

Masih belum sreg, belum yakin 100%.


Senang dan excited sih, tapi... (banyaaaak banget tapinya, bener apa
betul? ;))

Apa sebaiknya ditunda aja, ya?

Di film-film, kita dicekokkin drama yang serem-serem kayak gini:

1. Salah pilih suami/istri karena menikah pas dimabuk cinta,


padahal cinta sejatinya ternyata sahabatnya sendiri (inget film
Ayat-ayat Cinta? Atau Kuch Kuch Hota Hai?);

2. Ditinggal di altar karena pasangan mendadak batalin menikah


(inget film Runaway Bride?);

3. Setelah menikah, suami/istri dan mertua baru keliatan


belangnya—meneror dan menyiksa sambil morotin hartanya
si istri (ini mah sinetron banget, maap saya ga ada referensi
judulnya hehehehe...)

Trus kalo denger cerita, tingkat perceraian meningkat, baik di


kalangan orang biasa, public figure, tua atau muda, udah lama nikah
atau baru nikah, bahkan di antara para pemuka agama sekalipun.
Duh, hati jadi miris dan ciut ga sih dengernya? 

Sebagai orang yang udah been there, done that alias udah pernah


ngalamin bergumul dalam membuat keputusan menikah, saya bisa
bilang bahwa: GA YAKIN 100% ITU WAJAR. Sangat wajar. ‘Coz
keputusan menikah adalah salah satu keputusan terbesarrr dalam
hidup. So ga boleh salah, dong… Saya malah ragu-ragu, apa bener ada
orang yang 100% yakin bahwa keputusan menikah dengan calonnya
adalah keputusan yang benar. 
Kenapa saya bilang ga yakin 100% itu wajar? Karena sebagai
manusia, kita ga tau masa depan dan takut sama apa yang kita ngga
tau. Itu udah sifat dasar. Kita takut dan nervous pas hari pertama kerja,
atau kalo harus masuk ke komunitas baru, sebagian besar karena kita
ga tau bakal ngadepin apa. Ada keraguan apakah kita akan bisa survive
dalam kondisi-kondisi yang unpredictable, dan itu wajar kok. Walaupun
gitu, bukan berarti kita bisa mengabaikannya gitu aja, “Hayok maju
terus pantang mundur! HAJAR BLEH!” Nope, sama sekali bukan.

Ada kalanya hubungan kita bersama sang kekasih dirasa belum


mantep. Misalnya karena belum ada restu dari keluarga (khususnya
orang tua) dari kedua pihak, atau masih ada ganjelan maupun
masalah besar (kayak masalah agama, belum ada penghasilan tetap,
beda visi misi, masih ada masalah keluarga, atau hal-hal lain yang
prinsip). Kalo kayak gini kondisinya, adalah bijaksana bagi kita untuk
bener-bener mempertimbangkan kembali keputusan buat menikah.
Bukan berarti kalo ada masalah-masalah di atas ga mungkin bisa
menikah, tapi kalo ada perbedaan prinsip yang belum teratasi, bakal
jauh lebih sulit ngejalanin pernikahan.

Why?

Alasannya cuma satu: PERNIKAHAN TIDAK MENYELESAIKAN


MASALAH. Bahkan jika keadaan di atas dibiarkan, pernikahan
tersebut justru membawa masalah. 

LHO? Serem amat, sih!

Well, saya bukannya mau nyumpahin—cuma mau meluruskan, karena


banyak orang memutuskan menikah untuk “menyelesaikan masalah”.
Gimana maksudnya, tuh? Here are some examples:
Ada yang punya masalah ga dapet restu dari orang tua, terus nekat
kawin dan nikah, jadi para orang tua—mau ga mau—KUDU MAU
merestui. Terpaksa. 

Ada juga yang memutuskan untuk menikah supaya bebas dari


keluarga asal yang terlalu mengekang.
Ada juga yang menikah untuk dapetin bantuan finansial (kawin
ama rentenir kaleeee…).
Ada juga yang menikah untuk menaikkan status atau
menyembunyikan aib.
Haiyaaa macem-macem dah.

Okelah, pernikahan memang bisa mengubah keadaan, tapi biasanya


tidak bisa menyelesaikan masalah. Pearlians yang udah merid mungkin
tau ya, betapa susahnya menyatukan dua hati, dua pikiran, dan dua
kepala yang semuanya beda. Eh, masih ada lagi: kehadiran suami-
istri itu juga berarti menyatukan kedua keluarga besar—keluarga asal
suami dan keluarga asal istri. Artinya ada konteks yang (mau tidak
mau) menyatukan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda, pola pikir, nilai-
nilai, dan segunduk perbedaan lainnya. Biasanya nih, tahun-tahun
pertama pernikahan menjadi masa-masa adaptasi yang “seru”. :P
Belum lagi kalo udah ada anak. Ratatatatata… tambah ribet deh,
dijamin! 

Lah kalo segitu ngerinya, apa mendingan ngga usah nikah aja?

Ya ngga gitu atuh.

Apa yang saya mau bilang adalah… kalo udah ngelewatin


PERSIAPAN YANG MATANG, you should brace yourself and go for
it. Kuatkan hati dan jangan takut buat melangkah maju. 
Persiapan yang matang kek gimana, sih?
Wah bisa-bisa saya rempong kalo kudu me-review semua teori tentang
persiapan pernikahan. Hahaha… So, saya bakal sebut intinya aja di
tulisan ini, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
(Proklamasi kali…):

1. Sudah saling mendoakan dan menggumulkan, serta


mendapatkan jawaban doa bahwa Tuhan memang
menghendaki kita menikah dengan pasangan
Mungkin ini yang paling susah, ya. Tau dari mana bahwa ini kehendak
Tuhan? Feeling doang apa beneran Tuhan udah jawab? Ini akan butuh
penjelasan di satu ulasan tersendiri. :P Satu-satunya yang bisa kita
lakukan adalah dengan memiliki hubungan pribadi yang intim dengan
Tuhan, karena dari situ kepekaan terhadap suara serta kehendak-Nya
akan terus terasah. Ada kalanya yang terjadi justru Dia menghendaki
hubungan kita berakhir, karena dia melihat relasi tersebut semakin
tidak sehat (bahkan menjadi berhala untuk kita). Well, tapi seperti
yang ditulis oleh Dhieta di artikel “Sepertinya Tuhan Bilang Dia
Orangnya”, kita memerlukan pengujian terus-menerus terhadap relasi
yang sedang berjalan. Kalo semakin dimantapkan untuk menikah, ya
syukur pada Tuhan. Kalo jadi gamang dan akhirnya harus berakhir
(atau seenggaknya pernikahannya di-pending dulu), ya syukur pada
Tuhan karena Dia menghentikan relasi ini sebelum everyhting is getting
worse.

2. Udah melalui masa perkenalan yang cukup


Cukup di sini bisa dibilang satu sampe tiga tahun—idealnya, dan
pastinya juga dipenuhi deep talks ya, ga cuma haha hihi dan hore-
hore doang—tapi ini menurut saya. Hehehe… Saya pernah denger
and setuju banget sama perkataan yang bilang bahwa setelah dua
tahun berpacaran/menjalani courtship, itulah saatnya untuk membuat
keputusan apakah pasangan akan menikah atau putus. Karena
kalo dalam periode itu you still don’t have a clue if you two should tie the
knot, this probably isn’t a healthy relationship, atau hubungan ini belum
berhasil dibina dengan mantap (atau mungkin juga kalian mulai
pacaran terlalu dini, belum cukup umur untuk mikirin nikah :P). Kalo
udah lewat dua-tiga tahun—apalagi lima tahun dan seterusnya—
hubungan pacaran masih jalan tapi ganjalan mengenai hal-hal
prinsip yang ada belum juga terselesaikan, akan semakin susah
untuk membuat keputusan berpisah (alias break up). Ya iyalah, udah
keburu males untuk start over with someone new (kudu mulai dari awal
lagi: naksir-naksiran, usaha pedekate, abisin waktu untuk penjajakan,
dan sebagainya), atau udah males banget mikir “tanggung jawab
kekeluargaan” alias sungkan ama keluarga besar dan handai taulan
yang udah telanjur kenal baik dengan pasangan kita. Nantinya setelah
kita start over dengan pasangan dan relationship yang baru, biasanya akan
lebih susah buat pasangan barumu ini untuk ngerasa secure, karena
riwayat terdahulu dengan mantan yang kelewat lama dan udah dalem.
Bahkan ada kecenderungan untuk membandingkan mantan dengan
pasangan yang sekarang, sehingga dramanya akan berlanjut, “Yah,
coba dulu aku ga putus dari si ex.” Haiyaaa… Again, ini ga ada dasar
yang kuat, cuman hasil pengamatan dan renungan pribadi doang. ;)

3. Udah menyepakati prinsip-prinsip dasar untuk hidup


bersama setelah menikah
Ini beberapa contohnya:

• udah sepakat bahwa setelah merid/punya anak istri akan tetep


kerja atau jadi ibu RT;

• akan tinggal terpisah atau gabung dengan keluarga asal;

• visi & misi 5-10 tahun ke depan, dan sejenisnya.


4. Kedua pasangan sudah dewasa
Dewasa di sini bukan cuma secara fisik, tapi juga udah siap secara
psikis dan spiritual untuk menjalani kehidupan dengan menanggung
tanggung jawab sebagai orang dewasa. Misalnya nih, mampu
menyelesaikan masalah secara dewasa (ga sedikit-sedikit minta tolong
orang tua, apalagi ngacir ke rumah mereka tiap kali berantem sama
pasangan), dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, istri/suaminya,
dan kelak anak-anaknya. Inget ayat ini:

“Karena itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan
istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.”
(Matius 19:5)

Intinya kalo belum bisa nyelesaiin konflik dengan dewasa (baca: masih
dikendalikan ego diri dan bukannya belajar menundukkan diri di
hadapan Allah serta mau taat pada proses sanctification ini), ada baiknya
keputusan untuk menikah itu ditunda dulu. Hehe.

5. Sadar bahwa hidup ini dinamis, tidak statis


Segala sesuatu berubah (keadaan akan berubah, dan yess, suami/
istri juga PASTI AKAN BERUBAH—baik fisik/mental/spiritual).
Perubahan itu bisa ke arah yang lebih baik, bisa juga ke arah yang
lebih buruk. Oleh karena itu, bersiaplah menyesuaikan diri dengan
perubahan dan terus maju dengan optimis meskipun ada perubahan.
Percayalah bahwa Tuhan bisa memakainya untuk membentuk kita—
bahkan memenangkan pasangan ketika kita berserah pada-Nya
sebagai Sang Nahkoda bahtera rumah tangga.
6. Committed untuk menjalani peran sebagai suami/istri
sesuai kodratnya 

“Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi


jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.”
(Efesus 5:25)

“Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya


di dalam Tuhan.”
(Kolose 3:18)

7. Ingatlah bahwa marriage is for a lifetime


Once you enter it, there’s no way out—sampai maut memisahkan. Divorce
might seem to be a choice, tapi seperti halnya menikah tidak menyelesaikan
masalah, demikian juga bercerai tidak menyelesaikan masalah. Sesaat
tampaknya seolah-olah perceraian akan menyelesaikan masalah/
menghilangkan beban-beban tertentu. Tapi perceraian juga menabur
banyak benih-benih dosa & masalah di kemudian hari. Dampaknya
bukan hanya bagi kita dan pasangan, tapi juga ke anak-anak kelak.

“Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel”


(Maleakhi 2:16a)

Kalo entar mentok karena ada masalah megadahsyat yang tak


tertanggungkan lagi begimane dong?? Terus terang saya ga tau
jawabannya, kudu nanya ke konselor or hamba Tuhan kali. :P That’s
why konseling pranikah itu penting banget, tapi ga berarti kita—
misalkan udah tinggal H-sekian bulan mau merid—tiba-tiba dateng ke
mereka buat konseling. Nooo! Konseling harus dilakukan jauh sebelum
pernikahan kita tiba, karena dari situ kita bisa menerima berbagai
penyingkapan diri maupun pasangan—dan seringkali butuh waktu
yang lama untuk deal with them. Kalo udah merid dan mau konseling
juga bisa, sih (apalagi kalo beneran udah jelas tanda-tanda untuk cari
pertolongannya)… tapi kalo sekarang masih pacaran, I suggest Pearlians
buat konseling dulu. Anyway, ga ada salahnya juga buat konseling
walaupun itu dalam kondisi kita sebagai seorang lajang. Who knows
jatuh-bangun dalam berdamai dengan diri sendiri ini Tuhan pakai
untuk mendewasakan kita sebelum bertemu dengan pasangan kelak.

Satu hal yang pasti, we have Almighty God who will carry us and our marriage
all the way through. Itulah alasan penting banget dari awal mindset harus
di-setting dulu, to NEVER CONSIDER DIVORCE AS A WAY
OUT. Pikiran yang berbunyi, “Merid aja dululah, entar kalo ada
masalah tinggal cerai” kudu DIHAPUS bersih-bersih dari pikiran
kita. BIG NO NO. PAMALI. TABU. HARAM! Kalopun ada keluarga
(atau bahkan orang tua) yang pakai perceraian untuk menyelesaikan
masalah pernikahan, well biarlah rantai kegelapan itu diputuskan
melalui pernikahan kita—dengan pertolongan Tuhan, tentunya.

8. Em… apa lagi ya? Belum kepikir, to be continued aja ya di


tulisan selanjutnya tentang MARRIAGE :P
Biar mantep, saya anjurkan supaya para calon penganten baca sendiri
buku-buku YANG WAJIB DIBACA selama membina hubungan dan
sebelum menikah. Contohnya:
a. Lima Bahasa Kasih – Gary Chapman
b. Love for A Lifetime (saya lupa judul bahasa Indonesia, kalo ga salah
Cinta Kasih Seumur Hidup) – Dr. James Dobson
Banyak temen saya yang juga merekomendasikan buku-buku ini,
tapi baru sebagian yang saya baca, so ga berani bilang wajib deh.
Walaupun gitu, sebaiknya sih dibaca juga buat bekal, siapa tau ada
beberapa buku lain yang bisa ngejawab pertanyaan yang mengganjal
di pikiran kita. :)

a. Sacred Marriage – Gary Thomas


b. This Momentary Marriage – John Piper
c. Love Must Be Tough – Dr. James Dobson

Hidup itu penuh liku-liku (jadi lagu dangdut deh halaaah…), ga tau
kapan nanjak, kapan turun, kapan belok kiri or belok kanan. Kaya
naik roller coaster, eh tiba-tiba kita masuk ke gua—yang nunjukkin
adanya kegelapan total. :) Namun selama kita naik roller coaster-nya
bersama Tuhan, hidup berjalan bersama Tuhan, menikah di dalam
Tuhan, dan menjadikan Dia sebagai yang terutama dalam hidup
pernikahan kita, we can trust Him. He will be there along the way. Pasang
baik-baik sabuk pengamannya, merem kalo takut, and ENJOY THE
RIDE! 

Ga ada jaminan bahwa di depan sana semua bakal indah terus. Ga


ada yang bisa menjamin di ujung sana bakal selalu dihiasi pelangi dan
bintang-bintang, ga ada hujan badai atau sengatan sinar matahari,
bunga-bunga di mana-mana tanpa ada ulatnya. Sebaliknya, yakinlah
bahwa di depan sana pasti ada banyak tantangan—but we know God
holds the future. Buang aja segala kuatir, taroh di bawah salib. Have faith
that with Him, you and hubby/wifey will make it through. Just walk together by
faith, not by sight.

Saya berdoa buat kalian semua yang akan memasuki pernikahan,


semoga baca tulisan ini jadi dapet pencerahan (bukan tambahan
kebimbangan wkwkwk… or kalopun ada kebimbangan, semoga itu
kebimbangan yang membangun, ya). Selamat berproses, Pearlians!

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang
lain apabila yang seorang menaruh dendam* terhadap yang lain; sama seperti
Tuhan telah mengampuni kamu, perbuatlah juga demikian. Di atas semuanya itu,
kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.
Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah
kamu telah dipanggil dalam satu tubuh. Dan bersyukurlah.”
(Kolose 3:13-15)

(*kata dendam ini dalam versi bahasa Inggrisnya adalah grievance, yang artinya a cause or reason for
complaint, atau bahasa prokemnya GANJELAN alias UNEG-UNEG).
Pengaruh Wanita
Terhadap Pria
FELISIA DEVI

Ada hal yang menarik dari khotbah pak Jeffrey Rachmat (pastor
JPCC) yang menyinggung tentang kejadian di awal penciptaan,
dimana Iblis mencobai manusia. Pastor Jeffrey memberikan ilustrasi
dari pemikiran dia, “Bisa aja si Iblis terlebih dahulu mencobai pria tapi
ga berhasil, makanya iblis mencobai Hawa” (*mungkin sih, tapi ingat
ya, ini tidak tertulis di Alkitab) 

Artinya mungkin saat awal penciptaan, saat Iblis memang


merencanakan mau menggagalkan rencana Tuhan dengan mencoba
menjatuhkan manusia, bisa saja iblis mencobai Adam terlebih dahulu,
tetapi ga berhasil, karena Adam taat sama Tuhan, bener2 memegang
apa yang Tuhan perintahkan. 
Tapi iblis berusaha lagi dengan coba menjatuhkan manusia lewat
memanipulasi Hawa.

Pastor Jeffrey bilang, karena mereka belum jatuh dalam dosa, natur
mereka, keinginan mereka belum berdosa, tapi iblis memanipulasi
Hawa, mungkin maksud Hawa mulia, demi kebaikan Adam, tapi tidak
sesuai perintah Allah yang melarang mereka makan buah pohon itu,
jadi jatuhlah mereka berdua. 

Yang gue belajar dari statement disini bahwa begitu besar pengaruh


wanita terhadap pria, saat iblis mencobai pria secara langsung
mungkin ga berhasil, karena pria tau bahwa Firman Tuhan bilang
jangan makan buah, ya gak dimakan. Tetapi iblis menggunakan
wanita untuk menggoda, menjatuhkan pria dari yang taat menjadi
tidak taat. Begitu pria yang adalah kepala, otoritas, jatuh dalam dosa,
“hancurlah” apa yang dikepalainya. 

Pesan untuk pria yang belum menikah, mereka harus benar-benar


berdoa, mengandalkan Tuhan untuk memilih pasangan hidup mereka
yang sungguh takut akan Tuhan, punya hubungan sama Tuhan, hidup
dalam firman, pulih, tahu fungsinya sebagai wanita, Godly. 

Gue punya cerita yang bisa jadi contoh dalam hidup sehari-hari
tentang wanita lebih berpengaruh. Dalam keluarga-keluarga yang
gue temui, sebagian besar lebih deket ke keluarga nyokap. Klo sang
istri gak mau deket sama keluarga pria, ya udah keluarganya jauh dari
keluarga besar suami. 

Gue sendiri mau semakin belajar untuk jadi wanita yang taat firman,
karena hanya kebenaran Firman Tuhan yang membuat gue mengerti
fungsi gue sebagai penolong seperti apa, terutama buat para pria.
Gue pengen dalam hal kecil: perkataan, pakaian, tingkah laku, tidak
menjatuhkan mereka, membuat mereka tersandung jatuh dalam dosa,
tetapi memberkati mereka, membangun mereka...

Dalam kata-kata, gue belajar untuk bener-bener mikir sebelum


berbicara, termasuk waktu marah, dan kesel, karena biasanya banyak
yang sakit hati sama kata-kata gw. 

Dalam pakaian juga, perlu bener2 belajar banget, apalagi setelah baca
buku Every Young Man’s Battle, betapa kasihannya para pria,
bener-bener butuh anugrah untuk hidup dalam kekudusan ditengah
dunia yang banyak memakai pakaian “miskin”, dan teknologi canggih
yang tinggal enter muncul situs-situs porno. 

Ketika gue tanya Tuhan kenapa wanita begitu mempengaruhi pria


dari ujung rambut sampe ujung kaki. Mulai dari penampilan, mulut,
perkataan, hati, pakaian, mood… Renungan yang gue dapet adalah,
karena Hawa diciptakan dari bagian tubuh Adam, rusuk. Kalo
rusuknya “sakit”, otomatis tubuh jadi “sakit”, makanya begitu kuat
pengaruh wanita untuk pria.

Sekarang pilihan di tangan kalian, mau hidup sebagai penolong atau


sebaliknya? Mau membangun atau menjatuhkan pria? Mulai lah dari
hal kecil dan berdoa minta Tuhan hikmat untuk jadi penolong dalam
hidupmu, karena apapun statusmu saat ini, sebagai wanita, kamu
punya pengaruh terhadap para pria di sekitarmu. 
Sisakan Perawan
untuk Kami
SARAH ELIANA

WARNING: Post yang satu ini berisi bahasa vulgar. You’ve been warned! 

Beberapa waktu lalu, gw baca sebuah artikel dari seorang cowok


Kristen. Artikel ini isinya tentang purity... Bagaimana kita sebagai
anak - anak Tuhan harus menjaga kekudusan tubuh kita, bahwa
yang single diperintahkan Tuhan untuk tidak menyerahkan tubuh
mereka kepada pacar yang belum menjadi suami/istri mereka,
bagaimana tubuh kita adalah bait Allah dan harus kudu MUSTI
dijaga sebaik2nya dan diserahkan hanya kepada pasangan yang
sudah resmi menjadi suami/istri kita. *Sarah manggut2 tanda setuju*
Di artikel ini, si penulis juga ngomongin tentang cewek-cewek di
Indonesia yang udah gak lagi menghargai kekudusan sehingga susah
sekali bagi cowok-cowok untuk bisa mendapat istri yang... treng
treng treng... perawan. Bahkan, di akhir artikel, si penulis nulis gini:
SISAKAN PERAWAN UNTUK KAMI! 

Emang ya kalo dipikir2 di jaman sekarang ini iblis bekerja begitu lihai
sekali, sehingga banyak dari kita anak-anak Tuhan yang jatuh bangun
dalam masalah yang satu ini: seksualitas dan kekudusan/purity.
Tapi, yang mau gw bahas di sini bukanlah gimana kita harus menjaga
kekudusan tubuh kita, karena gw yakin kita udah seringgggg banget
dengar tentang yang satu ini baik di gereja, di persekutuan muda/i, cell
group, dan tentu dari orang tua juga kan? So, what do I want to talk
about? Gw mau ngomongin tentang PURITY AND VIRGINITY! hehe...
Kenapa? Karena menurut gw kita sering kecele antara dua hal
ini, dalam pikiran kita, kalo seorang cewek itu menjaga kekudusan
tubuhnya maka dia pasti... PERAWAN. Padahal pada nyatanya gak
gitu! HEH? Yup!

Kenapa gak begitu? Well, guys, pernah denger sebuah ‘pepatah’: “Every


saint has a past” or “Setiap orang kudus memiliki masa lalu.” Kita,
anak-anak Tuhan, adalah orang-orang kudus panggilan-Nya.
1 Korintus 1:2 katakan bahwa kita yang sudah percaya kepada
Tuhan Yesus telah dikuduskan oleh darah-Nya, dan kita dipanggil
menjadi orang-orang kudus! So... kita yang sudah dikuduskan
oleh darah Yesus dan telah dipanggil menjadi orang kudus sudah
seharusnya hidup sesuai panggilan kita, dan salah satunya adalah
menjaga kekudusan tubuh kita dengan gak ‘bobo’ dengan orang yang
bukan suami/istri kita. Betuuuulll??? YUP! Tapi, guys... jangan lupakan
satu hal... biarpun kita udah dikuduskan, itu gak berarti kita
gak punya masa lalu. 

Ingat Raja Daud yang mencuri Batsyeba dari suaminya? Ini masa lalu
Daud yang terus kita ingt sampe sekarang, dan yang bahkan dicatat
dalam silsilah Tuhan Yesus! Poin gw adalah banyak anak-anak Tuhan
yang, dulu sebelum mengenal Tuhan, jatuh dalam dosa seks karena
mereka duluuuu gak mengerti bahwa hal-hal itu mendukakan hati
Tuhan. Akibatnya... gak sedikit jumlah cewek-cewek dan cowok-cowok
yang sekarang udah terima Tuhan, dan betul-betul 100% cinta Tuhan
tapi .. gak perawan/perjaka! 

Nah... di sinilah gw mau teman-teman mulai melihat perbedaan


antara kekudusan dan keperawanan/keperjakaan. Banyak
orang, terutama cowok-cowok nih (maaf ya but it’s the truth! hehe)
yang ngomong, “Gw sih gak mau tau, kalo married HARUSSSSS
(emphasis on HARUSSS sampe berdesis kayak ular... hehe) sama
cewek yang masih perawan!!!” Gw cuman bisa geleng-geleng kepala.
Kenapa? Gak salah toh pengen married sama perawan? Siapa sih yang
mau married sama cewek yang udah, maaf, bekas orang lain?? Ya gak
salah sihhh... tapi, gw jadi pengen nanya. Kenapa MUSTIII sama
perawan? Bagaimana kalo dia bukan perawan karena kesalahan di
masa lalu sebelum dia terima Yesus, tapi sekarang udah bertobat dan
betul-betul menjaga kekudusan tubuhnya?? Apakah jawabannya tetep
“GAK MAU TAU!!! Pokoknya malam pertama kudu musti keluar
darah?” (Buset! hehehe).

Dulu, waktu gw pelayanan di kapal, kami ke satu negara yang hukum


negaranya sangat amat ketat. Nah, salah satu hukum agama di situ
adalah SEMUA cewek yang single harus menjaga keperawanan
mereka, dan kalo nanti married, di malam pertama di ranjangnya tuh
ditatakin kain putih. Kalo nanti ternyata gak ada darah keluar, siap-
siaplah si cewek ini dirajam oleh sang suami! Gak boong loh! Bener-
bener dirajam pake batu sampe mati! Cewek-cewek di negara itu
banyak yang cerita dan salah satu cerita yang paling bikin gw kaget
adalah bagaimana mereka menjaga keperawanan mereka! Kalo
misalnya nih mereka pacaran, dan, maaf, gak tahan pengen you-
know-what... Apa yang mereka lakukan? Well, of course mereka gak
senggama! One of the girls told us sambil senyum2 gak jelas, katanya
begini “Badan kita kan ada lubang-lubang yang lain, gak hanya (maaf)
lubang vagina saja!” *Sarah KEJENGKANG!!!!* 

Nah, kembali lagi kemasalah purity dan keperawanan. Boys and girls, gw


pengen nanya... mendingan mana:
1. Cewek/cowok yang gak perawan/perjaka lagi karena kesalahan di
masa lalu, tapi sekarang udah bertobat and menjga kekudusan tubuh
mereka, atau
2. Cewek/cowok yang sangat menjaga keperawanan mereka dengan
cara2 well... seperti yang disebutkan di atas? 

Poin gw adalah .. guys, bedakan antara purity dan keperawanan/


keperjakaan. Banyak dari kita yang hanya mau married sama orang
yang masih perawan/perjaka. Tapi... sorry nih, menurut gw that’s
just our ego talking! Bukankah lebih baik menikah dengan orang
yang dengan jujur bisa bilang ke kita “I made a mistake. It was a sin
to God and to you as my future wife/husband, and I am sorry,” bertobat,
dan menjaga kekudusan tubuhnya bukan hanya supaya kita bisa
menikah dengan orang yang gak pernah ‘dipake’ orang lain, tapi
because he/she loves God, and wants to please and glorify Him?
(Of course ya... option terbaik adalah orang yang dari sejak kecil sudah
mengerti tentang purity dan menjaga kekudusan tubuhnya hingga
menikah). Bukankah itu lebih baik daripada menikah dengan orang
yang kelihatannya mengerti tentang purity/kekudusan, tapi ternyata
pengertiannya hanya sejauh menjaga keperawanan, dan tidak berakar
dalam kebenaran Firman Tuhan? Remember, orang yang perawan/
perjaka gak berarti dia hidup kudus! Bisa jadi seperti cewek2 di negara
itu mereka hanya memanipulasi tubuh mereka sendiri, dan suami-
suami mereka nantinya!!!

Ingat salah satu God’s purpose for marriage? No? Let me remind you: supaya
melalui pernikahan kita, kebesaran kasih Kristus
disebarkan. =) Love... kalo ngomongin love, we can’t go far from 1
Korintus 13: kasih itu sabar... kasih itu murah hati... Ia tidak
menyimpan kesalahan orang lain. Tuhan, Pencipta semesta alam
mengasihi kita, dan membuang jauh2 kesalahan kita, Dia memilih
untuk gak mengingat lagi dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kita yang
telah bertobat dan menerima-Nya dalam hati dan hidup kita. Kasih
yang seperti ini yang Tuhan mau kita laksanakan dalam pernikahan
kita! Hubungannya dengan purity apa? Well, kalo Tuhan bawa dan
kenalkan seorang cewek/cowok dan Tuhan bilang “Look! She/he is
beautiful in my sight, although she/he has made some mistakes in the past, she/he
has now turned back to ME, I love her/him, and I think she/he will be very good
for you.” Boys and girls, jangan ditolaaaakkkk hanya karena dia pernah
melakukan kesalahan di masa lalu dan sekarang gak perawan/perjaka
lagi! Yang penting adalah sekarang dia mencintai Tuhan with all of
his/her heart, mind and soul! Dan kalo you accept this gift from God, jangan
simpan2 kesalahannya... buang jauh-jauh, lupakan, and always
remember that he/she is precious in God’s sight! 

Kalo ngomongin purity, gw selalu ingat kisah tentang Hosea. Tau


cerita tentang Hosea? Ia disuruh Tuhan menikahi seorang cewek...
dan cewek ini... bukan main2: seorang PELACUR!! Aje gile!!!!
Malah, yang lebih gila lagi... bahkan setelah menikah pun si istri ini
berkali-kali selingkuh lho! Pake acara kabur dari rumah segala pula!
Dan berkali-kali pula Tuhan bilang ke Hosea «Bring her back. Love her...
love her... love her!!» Talk about TRUE LOVE! Dari kisah Hosea ini ya,
satu hal yang nyantel di otak gw adalah: “Hey! Tuhan ternyata gak
pernah lho memerintahkan kita untuk menikah dengan perawan/
perjaka!” Tuhan memerintahkan kita untuk menjaga kekudusan
tubuh kita dan menjadi our brothers and sisters keeper by helping them untuk
menjaga kekudusan mereka juga. Tuhan mau kita menikah
dengan orang yang menjaga kekudusan, gak hanya kekudusan
tubuh dia aja, tapi juga pikiran dan perkataanya! Gile
gak tuh? Untuk Tuhan, purity itu gak hanya sekedar
keperawanan dan keperjakaan, tapi juga kekudusan
dalam segala hal termasuk perkataan, perbuatan, dan
pikiran kita. GOD’s idea of purity is soooo much deeper than our shallow
one! Jadi, guys... percuma married sama perawan/perjaka kalo orang ini
ternyata penuh dengan pikiran-pikiran kotor, hobby nonton blue film,
suka ngomong jorok, karena pasangan yang seperti itu tidak bisa walk
together with us in Christ! God sees what is in the heart! 

Tuhan gak mau kita menjadi seperti para Farisi yang menyeret seorang
cewek yang ketauan berselingkuh untuk dihukum dan dirajam. God
is saying, «Kalo ada di antara kamu yang gak pernah berbuat salah,
cast the first stone!” He wants us to be MERCIFUL AND GRACIOUS just like
Him, NOT judgmental like the Pharisees. 

Yang Tuhan mau adalah kita menikah dengan orang yang betul-betul
cinta Tuhan sekarang, bukan orang yang masa lalunya bersih dari
kesalahan (karena setiap orang pasti pernah berbuat salah dan dosa!).
Yang Tuhan mau kita menikah dengan orang yang hatinya pure karena
dari hatilah terpancar kehidupan. =) Yang Tuhan mau kita gak so
shallow dengan hanya mau menikah dengan perawan/perjaka, tapi
Tuhan mau kita go deeper than that dan menikah dengan orang yang
menjaga kekudusan hati, pikiran dan perkataannya juga, bukan karena
takut dirajam batu sampe mati, tapi because he/she LOVES GOD. =)
Orang yang dalam doanya berkata:

Create in me a pure heart, O God, and renew a steadfast spirit within me. 

Daripada kita mulai gerakan ‘sisakan perawan/perjaka’, mendingan


kita mulai gerakan ‘Stay pure in thoughts, heart, words, and deeds for Christ’ =)
Ada Mereka
di Antara Kita
GRACE SURYANI HALIM

Widihhhh... Judulnya! Hahaha... Ada Mereka di Antara Kita. Well,


sebenernya gue mo nulis soal pentingnya komunitas sebelum dan saat
pacarana, karena itu kepikiran bikin judul “Ada Mereka (baca: Tuhan,
ortu, pemimpin KTB/Komsel/Cell Group, temen-temen) di Antara
Kita.” 

Pastor Jeffrey Rachmat sekitar tahun 2004 pernah bilang satu kalimat
yang kira-kira bunyinya begini, “Apa sih yang salah dengan para artis
kita yang suka kawin cerai? Ya, karena ketika mereka pacaran, mereka
sembunyi-sembunyi. Ngga ngaku. Tapi begitu mereka married, ada
masalah, panggil infotainment. Padahal seharusnya sewaktu mereka
pacaran, buka lebar-lebar, dan setelah menikah, tutup rapat-rapat. “ 
Menurut gue itu bener banget. Banyak orang pas pacaran, diem-diem,
sembunyi-sembunyi, ngumpet2, pas udeh married, kalo ada masalah,
telpon mami, curhat ama sahabat. KEBALIK!! Pas waktu masih
pacaran, buka semuanya lebar-lebar, undang orang-orang untuk kenal
dan menilai pasangan kita. Tapi, begitu menikah, TUTUP RAPAT-
RAPAT. Sejak gue married sampe sekarang kalo gue berantem ama
Tepen, NGGA PERNAH gue kasih tau nyokap gue. Never. Bukan
karena gue ngga sayang lagi sama nyokap gue, tapi karena sekarang
urusan Tepen dan gue itu urusan INTERNAL kami berdua. 

Tapi ketika masih pacaran, itu harus dibuka... Gue dulu kalo berantem
ama Tepen, cerita ama bokap nyokap gue, dan seringnya gue yang
kena tegur -.- Hehehe... Oke sekarang coba kita bahas satu-satu ya...

WHAT? 

Apa sih yang gue maksud dengan komunitas itu? Komunitas itu
adalah tempat di mana kita mengizinkan orang-orang terdekat yang
kita tahu sayang dan mengasihi kita untuk melihat the best, the good, the
bad and the ugly di dalam diri kita. Tempat kita bisa saling bertumbuh. 

Allah Bapa di awal penciptaan sudah mengatakan, “Tidak baik


jika manusia itu seorang diri saja.” Artinya di dalam benak Allah
ketika Ia membayangkan manusia, IA TIDAK membayangkan
seorang lone ranger - seorang penyendiri, seorang yang asosial. Justru
Ia membayangkan manusia itu akan hidup dengan manusia lain. Ia
merancang manusia itu menjadi makhluk sosial. Jadi hidup di luar
komunitas itu BUKAN rencana Bapa. 

Di dalam Perjanjian Baru, ada 39 kata ‘saling’. Ada saling membantu,


saling mengasihi, saling menolong, saling mengaku dosa. Sebagian
besar dari kata ‘saling’ itu digunakan dalam konteks gereja Tuhan,
jemaat Tuhan yang ada interaksi satu sama lain. 

Menurut gue pribadi, sayangnya Gereja yang tadinya adalah


kumpulan orang berdosa yang sudah diselamatkan, kini banyak
berubah menjadi perkumpulan orang baik-baik >.<. Semua yang
di gereja maunya hanya kelihatan yang baik saja. Kalo sedikit
keliatan yang tidak baik, langsung digosipin, dikucilkan, diomongin,
“Ih... orang kristen/majelis/pelayan/usher/worship leader/pianis/
pembina/ketua komsel, kok begituuu?!?!” Dan lupa bahwa gereja
itu BUKAN kumpulan orang BAIK. Gereja itu kumpulan ORANG
BERDOSA yang... DIBENARKAN hanya oleh darah Kristus, bukan
yang udeh bener dari sononyee. Jadilah ketika ada orang-orang yang
bermasalah dengan perzinahan, dengan pornografi, mereka ngga
berani bilang... takut... >.< Komunitas ini gagal menjadi gereja
yang Tuhan sebenernya rindukan. Yaitu di mana ada tempat bagi
pengampunan dan PEMULIHAN. 

Tapi ngga papa, Tuhan selalu rindu ada anak-anak-Nya yang mau
membawa perubahan. Kalo kalian baca note ini trus kalian manggut-
manggut pada paragraf di atas, itu artinya YOU ARE THE ONE
that must offer grace and forgiveness in your church. :)) You’re the one that
must pray for YOUR church so that your church can really be the Church of
Christ. Bukannya trus malah ngomel-ngomel dan bilang, “Betullll
banget ci Grace, kemaren tuh di gerejaa gueee...” jadi gossip ngalor
ngidulll... No... Tuhan rindu kalo kalian merasa ada sesuatu yang
kurang, itu artinya ada sesuatu yang bisa kalian berikan untuk gereja
kalian :)) 

Nah untuk masalah pacaran ini, tidak semua gereja memang


menawarkan pembinaan yang khusus. But If your church doesn’t have it,
you can personally ask beberapa orang di gerejamu yang menurutmu
cukup dewasa secara rohani untuk membantu jadi mentor kalian
selama kalian menjalin hubungan. Dulu gereja gue juga ngga ada
begini-beginian, ya gue cari pembimbing sendiri loh di gereja gue
hahaha... Gitu aja kok repot :p 

WHO? 

Siapa sih orang-orang yang bisa kalian jadikan “mereka” untuk berada
“di antara” kalian dan calon pasangan kalian?? 

1. Orang tua (Ini hukumnya wajib. :p)


“Tapi cik... Ortu gue tuh belum percayaaa... Trus pikirannya kolot
abiss!! Bener-bener bertentangan ama firman deh.” 

Ini komentar paling sering yang gue denger. You know what guys, baca
Alkitab kalian. Tidak pernah sekalipun ditulis, “Hormatilah ayahmu
dan ibumu KALO MEREKA KRISTEN,” atau “Hormatilah ayahmu
dan ibumu, kalo mereka sudah dibaptis,” atau “Hormatilah ayahmu
dan ibumu kalo mereka rajin ke gereja.” Ngga pernah guys. Kecuali
Alkitab kalian beda sama Alkitab gue :p Di alkitab LAI punya gue
sih itu cuman tertulis “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut
umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” 

Tidak ada prasyarat. Hormat kepada orang tua itu hukumnya WAJIB.
TITIK. 

Papa mama mertua sampe detik ini masih belon percaya. Kita terus
berdoa supaya Tuhan jamah hati mereka. Kalau selama gue pacaran
ama Tepen mereka belon percaya, prinsipnya beda dong!? Oh ya pasti
ada yang beda. Tapi TIDAK SEMUA prinsip mereka salah. Tidak
semua sesuai firman Tuhan, iya, tapi ngga sedikit juga prinsip Papa
Mama yang bagus. 
So, ortu HARUS dijadikan dan dimasukkan ke dalam orang yang kita
mintai pendapat tentang pasangan hidup karena mereka punya tiga
kriteria penting yang tidak dimiliki oleh hamba Tuhan yang paling
penuh urapan sekalipun. 

A. THEY LOVE YOU. Orang tua itu orang yang BENAR-


BENARRRRR sayang sama kalian. Hamba Tuhan belum tentu
sayang dan bener-bener peduli sama kesejahteraan kalian tapi ortu
kalian itu sangat peduli!! 

B. THEY KNOW YOU. Orang tua itu kenal sama anaknya. 


“Cik Grace salaahhh... Bonyok gue ngga tau apa-apa tentang
gueee. They don’t understand me...” 
Well, kadang kelihatannya mereka ngga tau kalian. Ngga ngertiii
isi hati kalian. Tapi sebenernya secara naluri mereka itu tau kalian.
Mereka tau titik-titik lemah kalian yang orang laen ngga tau. Mereka
tau kecenderungan-kecenderungan kalian. 

C. Because God said so :) Karena itu perintah Tuhan. Tuhan


yang menempatkan mereka untuk menghadirkan kalian ke dunia ini,
merawat kalian, mendidik kalian dan Tuhan juga memberikan otoritas
kepada mereka untuk mengarahkan kalian. 

Guys, percayalah ketika kalian menghormati ortu kalian, even ada


hal-hal tertentu yang tidak kalian setujui, berkat dari Tuhan akan
mengalirrr di dalam hubungan kalian. 

2. KAKAK ROHANI DENGAN JENIS KELAMIN SAMA :p


Ini bisa pemimpin komsel, KTB, cellgroup, atau seseorang yang kita liat
cukup dewasa karakter dan imannya. Kenapa ada penekanan harus
sejenis? Simpel, itu untuk mengurangi conflict of interest. Hehehe... Alias
siapa tau kalo ternyata kakak KTB-nya cowok malah diem2 naksir
sama anak KTB-nya dan anak KTB-nya itu naksir cowok laen, heem
bisa-bisa pandangannya kurang obyektif. Hihihi... :p 

Lalu, kakak rohani ini haruslah seseorang yang kamu TEMUI dalam
KEHIDUPAN NYATA. Bukan nemu di medsos, atau di website.

Kenapa gue perlu nyatakan itu dengan jelas? Karena, sejak gue sering
nulis notes di facebook banyak email yang masuk. Banyak yang cerita
dan curhat. Tapi masalahnya, kadang gue bener-bener ngga tau mesti
jawab apa. Terutama kalo pertanyaan-pertanyaannya model:

“Jadi, cik, gue perlu putusin pacarku ngga ya?” 

“Menurut cici, is he the one?” 

“Kapan kira-kira aku perlu cerita tentang masa laluku yang rada
kelam sama dia?” 

Waduh, I CAN’T ANSWER!! Kenapa?? Karena semuaaa pertanyaan


itu sangat erat kaitannya dengan karakter kamu dan pasanganmu,
dengan kepribadian kalian, kematangan kalian, kerohanian kalian
yang jelas-jelas TIDAK BISA KELIHATAN hanya dari beberapa
kali email... Itu butuh orang-orang yang melihat kalian dalam
kehidupan sehari-hari. Orang-orang yang tau dan kenal kalian!! 

Kalo dapet pertanyaan begitu, biasanya gue cuman bisa berdoa, “Oh
Tuhan... Mesti jawab gimanaa?!?!” :p 

Paling banter gue cuman bisa kasih kalian few insights, and pray for you,
but I will strongly recommended you to go back to your church and find someone that
you can trust and ask for his/her guidance. :)) 

Why? Karena guys... Semua tulisan yang gue tulis ini sebenernya gue


tulis untuk mendukung Tubuh Kristus alias Gereja. Kalo kalian
diberkati, go back to your church and bless your church! I want to partner with
the Body Of Christ... karena untuk itulah sebenernya semua pelayanan
kita. untuk membangun tubuh Kristus. Bagian2 yang tidak bisa gue
lakukan, itu pasti bisa dilakukan oleh orang laen dalam tubuh Kristus.
:) Dalam hal percurhatan dan per-kakak rohanian ini gue yakin bisa
dilakukan dengan lebih baik oleh Pembina-pembina di gereja kalian.
:)) 

Tapi, gimana oh gimana kalo saat ini di sekitar kalian sepertinya tidak
orang yang cocok buat jadi kakak rohani? 

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan


mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena
setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari,
mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.”
(Matius 7:7-8)

Kalau kalian bener-bener rindu punya komunitas punya kakak rohani


tapi saat ini kalian belon punya, maka don’t worry. Pray and Ask God!! 

Awal tahun kemaren ketika gue pindah ke Singapura, gue juga sempet
merasa sedih dan kering. Waktu itu gue baru ikut lomba Weddingku
dan di situ ketemu dengan banyak amazing woman. Buat gue yang
baru married, berteman secara maya dengan mereka-mereka ini sangat
menguatkan. Gue bolak balik kembali diingatkan untuk put my husband
first, buat jadi istri yang baik, dan lain-lain. Dari sharing2 dengan
mereka gue tuh sangat diberkati. But... sometimes gue begitu kangen,
begitu rindu punya kakak rohani yang NYATA, yang bisa gue ajak hang
out, yang bisa gue denger suaranya di telpon... So I prayed... and God gave
me ONE. :D Dia ternyata kakak kelas gue di SMA dulu yang sekarang
lagi lanjut kuliah teologi disini, and we’re in the same church!! We share a
lot of common things, have the same values, dan dia juga yang nemenin gue
nangis-nangis ketika sebuah impian retak. 

So guys, jangan patah semangat. Ask God... 

3. SAHABAT-SAHABAT YANG PUNYA NILAI YANG SAMA


Penting juga untuk kalian share dengan sahabat-sahabat kalian yang
punya nilai-nilai yang sama. Contohnya: NO SEX before married, no
backstreet, jaga kekudusan, pacaran bukan untuk main-main. 

Alkitab bilang,
“Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.”
(1 Kor 15:33)

Untuk sahabat itu hukumnya wajib mencari yang punya nilai-nilai


yang sama. Selera cowok bisa beda, but at least kalian punya kesamaan
nilai-nilai. Apa yang baik, apa yang benar, mana yang tidak benar.
Karena kalo ngga, bukannya kalian dikuatkan, didukung yang ada
malah bisa-bisa mereka ngeledekkin kalian, CAPEE DEEHHH... :p 

So menurut gue, untuk sahabat kalian harus cari yang punya nilai-nilai
kristiani yang sama. Bukan hanya sekedar Kristen dan pelayanan tapi
bener-bener punya prinsip hidup yang jelas. 

WHY? 

Kenapa sih penting ada komunitas di antara kalian?


Yang pertama, karena itu perintah Tuhan. Udah ada ayatnya di atas. 

Yang kedua, orang-orang itu penting untuk membantu menjaga


batasan-batasan fisik dan emosi yang kalian sudah buat. Kita
perlu ada orang-yang bisa mengingatkan, menegur kalo kita sudah
melanggar batasan. Orang-orang ini juga penting karena biasanya
orang laen lebih bisa melihat dengan jelas dibanding dengan kita
yang sedang dimabuk cinta... Bahkan ortu yang belon percaya pun,
mereka memang kadang kritis dan menurut kita ngga nyambung, but
somehow mereka punya kemampuan untuk melihat kemunafikan lebih
jelas. Kalo ada yang ngga bener, biasanya cepet banget mereka sadar.
Hehehe. 

WHEN? 

Idealnya, kalian sudah terlibat dalam komunitas SEBELUM kalian


pacaran :p Jadi pas masih naksir lirak-lirik kalian sudah dibantu
dengan berbagai macam pihak (ortu, kakak rohani, sahabat-sahabat)
untuk menyeleksi para kandidat, dan juga untuk membuat kalian
tetap MENJEJAKKAN KAKI KE BUMIII!! 

Karena, guys, pas kita lagi oh jatuh cintaaaa... kapan saja selalu


berjuta-juta rasanyaaaa... Kadang kalo kita jalan jadi ngga
menjejakkan kaki ke tanah! Karena itu orang-orang di sekitar kita
inilah yang bisa jadi pagar buat kita. 

Tapi kalo ternyata kalian sudah pacaran, don›t worry... kalian tetep


bisa mulai kok. Ajak pacar kalian ke rumah. Kenalkan dengan ortu.
Ajak pacar kalian pergi dengan komunitas kalian, dengan temen-
temen cellgroup/komsel. Selalu ada kesempatan kalo ada kemauan :)) 
HOW?

Nah, di bagian sini gue bakal bahas HOW nya dengan lebih detail. 

Gimana sih caranya melibatkan ‘mereka’ untuk ada di antara kita dan
pasangan kita? 

1. UNDANG MEREKA
Itu kunci pertama. Kita harus mengundang mereka. Kita harus bilang
dulu sama mereka kerinduan kita untuk membawa mereka terlibat ke
dalam pergumulan kita mengenai masalah CPH alias calon pasangan
hidup. 

Terutama dengan ortu, kita harus nyatakan dengan jelas bahwa kita
pengen mereka bantu kita, kasih kita input, dan nyatakan kalo kita akan
menghargai semua masukan mereka. Kenapa gue bilang kita harus
NYATAKAN? Karena ortu zaman sekarang itu beda guys. Mereka
rata-rata menghargai anak-anak mereka dan mereka juga tau bahwa
urusan pacar tuh urusan ‘anak-anak muda’. Pernah denger kata-kata,
“Ya, kita jadi ortu mah ngikut aja, kalo anaknya udah suka ya udah.” 

Keliatannya oke ya, guys? :p Tapi sebenernya that’s NOT what God


wants! Tuhan pengen para ortu itu berperan aktif, dan sebenernya para
ortu juga pengen berperan aktif, hanya saja mereka takut kalo terlalu
bawel, bisa-bisa anaknya malah marah trus ngga mau ngomong lagi.
>.< So sad huh... Karena itu, sebagai anak kita yang harus bilang sama
mereka bahwa we know that they care about us, they want the best for us so we
invite them untuk ikut membantu kita. 

Gue ama adek cewek gue dulu bikin perjanjian ama bokap gue. Ada
beberapa poin tapi intinya, kalo ada cowok yang mau deketin gue
(ngajak gue jalan bareng BERDUA SAJA) maka gue akan suruh dia
kenalan ama bokap gue, dan gue ngga akan membicarakan masalah
pernikahan dengan seorang cowok sampai dia bicara sama bokap gue. 

Sehabis gue bikin perjanjian itu, gue balik ke China dan bokap gue di
Jakarta.

“Emang bisa jalan?! Kan loe jauh dari bokap loe?” 

Guys, sekarang itu zaman udah majuuuu!!! Jarak itu bukan lagi


masalah. :p Waktu Tepen mo ngajak gue jalan, dia di Singapore, gue
di Jakarta. Waktu dia mau ngajakkin gue jalan, pas dia balik, gue
bilang, “Gue ada perjanjian ama bokap gue untuk kagak bakal jalan
berdua sama cowok sebelom cowok itu minta izin ama bokap gue.
Loe kalo mo ajak gue jalan, sana gih minta izin ama bokap gue. Loe
mo email kek, mo telpon kek, mo kirim surat kek, terserah elu.” 

Cowok laen gue gituin senyam senyum, keder lalu kaburrr :p Tepen,
gue gituin, minta email bokap gue, dan, beneran dia email bokap gue.
Minta izin mo ngajakin gue jalan. My father was impressed. :p 

Gals, melibatkan ortu dalam hubungan itu MELINDUNGI KITA


TAU. Melindungi dari banyak cowok-cowok ngga serius. Yakin deh
kalo itu cowok ngga serius, cuman mau maen-maen, cuman mau
iseng, cuman mau seneng-seneng, loe suruh kenalan ama bokap loe
or engkong loe or abang loe pasti KABUR! :P Tapi kalo dia serius
atau paling ngga bener-bener mau coba kenal elu, dia pasti berani
maju. That will PROTECT YOUR HEART dari cowok-cowok ngga
bertanggung jawab yang cuma mau seneng-seneng tapi ngga mau
komitmen!! 
Pas Tepen mo ngelamar, he also knew the rule. Grace ngga akan
mau bicara soal marriage kalo cowok itu belon bicara sama
bokapnya. So dia... kirim surat. :p Itu kejadian di tahun 2008 bukan di
tahun 1908!!! Kirim surat masih zaman kok sekarang hehehe. (cerita
lengkapnya bisa dibaca di Tuhan Masih Menulis Cerita Cinta).

2. TERBUKA 
Setelah kita mengundang mereka dan mereka mulai ‘masuk’, siap-
siaplah merasakan ketidak nyamanan. :p Akan ada saran-saran yang
ugghhhhh bikin kuping gatel, akan ada pertanyaan-pertanyaan yang
bikin hati gerah. That’s natural and that’s healthy! Kalau orang-orang
yang kamu ajak untuk terlibat itu benar-benar orang-orang yang
sayang dan peduli denganmu, mereka akan BUKA MATA mereka
lebar-lebar menyelidiki pasanganmu dari atas, bawah, kiri, kanan,
depan, belakang. Itulah tujuan utama mengundang mereka :p Untuk
membuat kita bisa melihat pasangan kita dari sudut-sudut yang
berbeda. Di mata kita, pasangan kita pasti sempurna. Pasti bener.
Kita pasti SELALU bisa mengerti pasangan kitaaa *maklum lagi jatuh
cintaaaa*, tapi di mata orang laen yang tidak punya ikatan emosi,
mereka akan bisa melihat dengan lebih jernih. 

So, ketika mulai ada masukan-masukan, kritikan, tegoran, BUKA


kuping dan MATA mu lebar-lebar. Jangan keburu cemberut. Jangan
keburu ngambek. Inget itu konsekuensi mengundang orang laen
masuk ke dalam hubungan kalian :)) But tiap kali kalian merasa bete,
pikirkan hal ini, “They love me en mereka bilang begitu untuk supaya
gue hati-hati dan berpikir dengan jernih.” 

Don’t worry, kalo pasanganmu itu bener-bener baik dan serius, mereka


juga akan bisa melihat hal-hal yang baik di dalam dirinya. :)) Bahkan
mungkin mereka bisa melihat hal-hal baik dari pasanganmu yang
kamu sendiri NGGA BISA lihat. :p 
Jadi guys, pentingggg banget untuk juga spend time dengan mereka,
bersama dengan pasangan kalian, jadi mereka tuh bisa melihat
pasangan kalian apa adanya. :) 

*** 

Membawa ‘mereka’ ke dalam hubungan pacaran itu bener-bener


banyak manfaatnya. You’ll never walk on in this relationship. Kalo ada
masalah, kalian tau ada MEREKA yang siap dan ada buat kalian. :)
Batasan Fisik
dalam Berpacaran
GRACE SURYANI HALIM

Pertama kali gue sama Tepen LDR (Singapura-Jakarta), salah satu


hal pertama yang kita lakukan adalah ngerjain bareng love language
test. Dan hasilnya sangat membuat gue shocked, sodara-sodaraaaa!!!
KENAPA?!?! 

Karena ternyata…  primary love language Tepen adalaaah... *deng deng


deeeenggg...* physical touch!! >.< OH NOOOO... Gue langsung panik
kebakaran jenggot. GILA ini gimana bisa pacaran jaga kekudusaaan?
Mateng, kon, mateeennggggg ... 

Gue emang sensi banget soal kekudusan ini, karena dengan mantan
gue, gue tuh nyarrisss jatuh ke dalam dosa-dosa yang tak diharapkan
tetapi diinginkan >.< (jujur lah gue mah muna abis kalo gue bilang
gue kagak pengen). Makanya gue jadi sangaaaattt hati-hati. 

Apalagi pas tes, primary love language gue itu adalaahh...(ada yang bisa


tebak?? Gampang kok, liat aja dari tulisan gue yang berlembar-lembar
hahaha)... primary love language gue adalah words of affirmation dan quality
time, sedangkan yang paling minim adalah... physical touch. Apalagi
ama cowo, aduh jauh-jauh deh loe! Kalo duduk jaraknya mesti dua
TEGEL!! By the way, ukuran tegelnya kudu yang minimal 30 cm loh,
ya. Hehehe.

Jadilah gue pusing tujuh keliling dan gue tanya ama Babe, “Be... Be,
ini kalo begini, begimane yeee?! Gue mo jaga kekudusan tapi tapiii...
kalo primary love language-nya Tepen physical touch gimana caranya to show
that I love him without compromising our purity!?”

Akhirnya gue dan Tepen duduk bareng dan set some rules.
Rules no.1 : NO LIPS KISSING until marriage.
Rules no 2 : No hugging. 
Rules no 3 : Grace yang putusin kapan boleh gandengan tangan, dll. 

Yang laennya lupa. Hahaha. Tapi kita berdua sama-sama


berkomitmen untuk jaga kekudusan sampe menikah. Ketika ada
sesuatu yang membuat kita ngga nyaman kita langsung kudu
bilang. Buat rules no 3, itu gue ambil dari didikan nyokap. Cewe itu
penjaga gawang, jadi kudu garang. Kalo ngga boleh ya ngga boleh. :p 

Nah, tapi dalam hati gue itu tetep bergumul. I know that primary love
language itu sangat penting buat seseorang untuk dia merasa dikasihi.
En gue pengen Tepen juga merasa dikasihi dalam bahasa yang dia
mengerti. So, gue bener-bener berdoa dan tanya Tuhan minta Tuhan
kasih gue hikmat untuk bisa ‘bicara’ dalam bahasa yang paling Tepen
mengerti dalam tetap menjaga kekudusan. Lalu gue baca buku itu
sekali lagi, en Tuhan kasih gue jawabannya.

Selama ini gue selalu mikir, physical touch = sentuhan fisik = sensual.


Padahal buat orang-orang yang bahasa kasihnya physical touch mereka
ngga selalu berpikir ke arah sensual. Gue menemukan ternyata ada
sentuhan-sentuhan fisik tertentu yang tidak berbau sensual tapi itu
berarti buat mereka yang bahasa kasihnya sentuhan fisik: tepukan
di bahu, tepukan di punggung, dan tepukan di lengan. Ingat loh
TEPUKAN bukan belaian :p

So, setiap Tepen pulang dan kita hang out bareng, kalo gue pengen
nunjukkin gue sayang dan kepedulian gue sama dia, gue kasih tepukan
di bahu sambil bilang “Cape ya?” Laen waktu gue tepuk-tepuk di
punggung. And he loved it! Kadang kalo SMS, gue suka bilang, *hugzzz*
*pok pok pok* (kalo  virtual hugs boleh, hahaha). 

Selain itu, gue juga selalu cross check ama dia. “Kalo begini, kamu turn
on ngga?” Kalo dia bilang, “Iya”, gue stop. Kalo ngga, ya ngga papa. 

Jadi gals, buat kalian yang punya pasangan yang primary love language-
nya physical touch ...  Ask God for wisdom and BE CREATIVE!!! Ada
banyak sentuhan fisik ringan yang bisa diberikan tanpa mengarah
ke hal-hal sensual. Jangan keburu panik  or langsung cap pasangan
kalian maniak, etc. No, no, no... Physical touch is just one of the love language,
and guesswho created that love languages?! GOD. Dan Tuhan Yesus selama
di dunia juga menggunakan bahasa kasih itu... Dia menyentuh
orang kusta, memeluk anak-anak, menyentuh mata orang buta,
membungkuk. 

Physical touch itu bukan love language yang lebih ‹kotor›, lebih ‹rendah›,


daripada love languages yang laen. Tapi, memang perlu banget
keterbukaan di antara pasangan. Sebagai cewek, dulu gue blak-blakan
bilang sama Tepen, “Gue ngga tau apa yang bikin loe turn on, karena
itu gue sangat menghargai kalo loe mau kasih tau gue. So gue bisa jaga
loe dan loe bisa jaga gue.” 

Beberapa kali kejadian, waktu kita naek motor bareng, gue duduk
terlalu deket, terlalu dempet, pas nyampe Tepen bilang, “Mmm, nanti
duduknya jangan deket-deket ya.” Lalu pernah juga, Tepen belai-belai
rambut gue dan itu bikin gue ngerasa ngga nyaman trus gue bilang.
Alhasil sampe MARRIED, Tepen jarraaaangggg banget belai-belai
rambut gue lagi. Hahaha. keterusan :p Lupa kalo udeh married.

Kalo yang gue pelajari selama ini, sentuhan-sentuhan yang tidak


mengarah ke hal-hal sensual itu biasanya sentuhan yang ringan, pada
tempat-tempat yang tidak bersentuhan langsung dengan kulit (bahu,
punggung ketutupan baju hahaha), atau daerah pergelangan tangan
yang ada tulangnya. Kalo yang bahaya itu yang model usap-usap,
belai membelai. Nah, itu tuh hindari yaahhh. :p 

 Jadi, apa batasan fisik dalam pacaran? 

Kalo ada orang tanya jadi apa batasannya, gue suka kembali ke tulisan
gue yang gue tulis bertahun-tahun yang lalu ini :p

*** 

Ini sepertinya pertanyaan wajib dalam session LSD (Love, Sex, Dating).
Gue dah ikut sesi LSD dari sejak kelas 2 SMP. Itung-itung dah lebih
dari 5-6 kali gue ikutan sesi LSD. Pastiii deeeh ada pertanyaan ini!!
Mulai dari gue di Jakarta, Surabaya, balik Jakarta lagi, sampe di China
pun, ini pertanyaan wajib keluar. 
Ada banyak jawaban yang diberikan. Tapi sejujurnya ngga ada satu
jawaban pun yang memuaskan gue dan memuaskan para penanya :p
Kenapa? Karena buktinya tiap tahun pertanyaan itu keluar lagi dan
lagi dan lagi!! 

Menurut gue, pertanyaan itu salah. Karena pertanyaannya salah, ngga


heran kalo jawabannya tidak menyelesaikan masalah. 

Kenapa menurut gue pertanyaan itu salah? 

Tata bahasa dari pertanyaan itu bener sih, tapi MOTIVASI di balik
pertanyaan itu yang salah. Kenapa gue ampe berani bilang itu salah?
Jawab dengan jujur, guys, kenapa pertanyaan itu selalu muncul di
benak kita? Karena kita... pengen bermain-main sedekat mungkin
dengan jurang dosa. Kita pengen bermain-main dengan dosa tapi kita
MENOLAK untuk dikatakan berdosa.

Contohnya: Kalo ada pembicara yang bilang, “Oh, batasan dalam


pacaran ngga boleh sampe intercourse atau berhubungan seks!!» 

Kita bilang, “Oke. Kita ngga sampe intercourse. Cuman petting aja. Ngga


sampe masuk kok. Ngga dosa kan!? “ 

Lalu batasannya diperketat, “Petting juga ngga boleh. Ngga boleh


sampe buka baju!!” 

Kita bilan lagi, “Oke, kita ngga buka baju. Tangan aja yang masuk.
Baju ngga kebuka. Ngga dosa donks!” 

*Nah loh ... Mau bilang apa, guys?


Kalo dibilang, “Ngga boleh cium bibir.” 

Kita bilang, “Oke, ngga cium bibir. Cuma cium tangan, cium leher,
cium kuping, cium mata, dan cium-cium yang laen. Yang penting ngga
cium bibir kan!? Gue ngga cium bibir. Ngga dosa dong! Bearti boleh,
tuhh....”

Guys, kata temen gue, maling itu biasanya lebih pinter daripada polisi.
Kita anak muda, punya segudang alasan buat ‘mengakali’ peraturan-
peraturan yang ada. Akui aja, kita tuh paling pinter buat cari-cari
celah untuk tetap melakukan dosa, tapi ngga keliatan dosa. Dulu tuh
ye, gue paling pinter cari alasan buat hal-hal begini. 

Waktu gue pacaran ama mantan gue, gue tetapin peraturan. Kalo
duduk jaraknya mesti dua tegel. Nah loh. Tapi tetep aje, gue bisa
berdosa dalam batasan-batasan gue. Gue sih ngga ngelanggar, tapi
akal kadal gue nemuin celah-celah dari batasan itu dan gue pakelah
celah-celah itu buat memuaskan hawa nafsu gue.

So, guys, menurut gue, pertanyaan itu salah karena sebagian besar
motivasi dari penanya (baca : kita) adalah mencari kesempatan untuk
berbuat dosa. Kalo kita ngomongin batasan, dibikin batasan seketat
apapunnnn kita tetep bisa mencuri-curi kesempatan kok. Kayak gue
dulu. >.<

“Biarlah berakhir kejahatan orang fasik, tetapi teguhkanlah orang yang benar,
Engkau yang menguji hati dan batin orang, ya Allah yang adil”
Mazmur 7 : 9

Tuhan ngga liat peraturan kita. Yang Tuhan liat itu hati kita… Tuhan
menguji hati, bukan menguji peraturan.
“Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah
yang menguji hati.”
Amsal 21 : 2

Kita mungkin mengira banyaknya peraturan kita, ketatnya batasan


kita itu yang membuat kita kudus di hadapan Tuhan. Nope. Yang
membuat kita kudus di hadapan-Nya itu cuman darah anak-Nya yang
kudus dan menyucikan kita. Yang bisa menjaga kita tetap kudus itu
cuman Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Karena itu
semestinya pertanyaan kita bukan, “Apa batasannya?”, tapi, “Kalo
gue begini apakah Babe senang?”, “Kalo gue lakukan ini/kalo gue
membiarkan pacar gue melakukan ini, apakah Yesus yang sudah mati
buat kita tersenyum?” Orientasi kita bukan lagi peraturan, batasan,
boleh tidak boleh, tapi apakah ini menyenangkan hati Tuhan? 

Mungkin yang lebih konkret, sebelon kita melakukan sesuatu dengan


pacar kita, coba bayangkan dulu. Kalo di ruangan itu ada ortu kalian
dan ada camer alias calon mertua kalian, berani ngga kalian lakukan
itu? Kalo tidak, berarti jangan dilakukan! :p 

*** 

Dari hubungan gue ama Tepen, yang gue pelajari adalah ada satu
hal yang lebih penting dari sekedar set rules, yaitu hati yang SERIUS
mau jaga kekudusan sehingga begitu ada sesuatu hal kecil aja yang
membuat kita ngerasa kita bermain-main dengan kekudusan kita
langsung bilang, bukannya malah mikir, “Ah ini ngga termasuk
dalam aturan kok.” Set rules, itu awal yang sangat baik, tapi di dalam
perjalanannya, kita harus kudu tetap denger-dengeran ama suara Babe
dan peka dengan kondisi dan keadaan kita sendiri! Begitu ada hal kecil
yang ngga beres langsung speak it up. Motivasi kita bukan MENJAGA
supaya tidak melanggar peraturan tapi MENJAGA supaya hubungan
kita MENYENANGKAN HATI TUHAN.

Gue dan Tepen tidak menyesal sedikitpun menjaga kekudusan sampe


kita married. :) Salah satu yang bikin we have a great sex adalah karena
kita berdua tidak bergumul dengan ‘guilty feeling’ akibat melakukan
sesuatu yang tidak seharusnya kita lakukan.
Marriage
Penolong yang
Sepadan
GRACE SURYANI HALIM

Udah lama engga nulis apa-apa guys. Papa Mama sedang berkunjung
ke Singapore. Kemarin gue sempet lunch sekalian ngobrol bareng sama
seorang temen gue, Karmel. Setelah ngobrol ngalor ngidul tiba-tiba
tercetus soal “penolong yang sepadan”.

Selama ini kalo kita denger kata penolong yang sepadan muncul deh
serangkaian list berisi daftar kriteria penolong sepadan. Sama-sama
anak Tuhan, bobot bibit bebet seimbang, pendidikan setara, dan lain-
lain. Tapi sadarkah kita bahwa selain syarat penolong itu harus sama-
sama anak Tuhan, sebenernya tidak ada standard atau definisi khusus
untuk penolong yang sepadan?
Kenapa begitu?

Karena setiap pria itu berbeda. Tuhan menciptakan setiap pria itu
berbeda. Mereka semua punya tujuan masing-masing, punya visi
masing-masing, punya impian masing-masing, punya kelebihan
masing-masing dan punya kekurangan masing-masing. Karena mereka
berbeda, maka engga heran juga kalo mereka membutuhkan penolong
dengan standard yang berbeda.

Contohnya, suami temen gue, dia seorang theolog yang suka berdiskusi.
Istrinya menjadi penolong yang sepadan buat dia ketika istrinya
berdiskusi dan memberi pendapat kepada suaminya.

Nah, di awal pernikahan, kadang terjadi bentrok karena itu. Istri-istri


muda masuk ke dalam pernikahan dengan sebuah definisi Istri yang
baik adalah istri yang... (titik-titik silahkan diisi sendiri sesuai dengan
isi hati masing-masing). Sedangkan belum tentu itu adalah yang
dibutuhkan oleh suaminya. That’s why penting sekali yang namanya
ada brainstorming, keterbukaan, diskusi mengenai impian dan harapan
masing-masing.

Dan satu hal yang kita harus ingat... People learn and grow along the way.
Manusia bisa bertumbuh dan berubah tiap waktu. Apa yang jadi
impian dan ketakutan pasangan kita tahun lalu, belum tentu tetap
menjadi ketakutannya tahun ini.Apa yang jadi harapannya 2 tahun
yang lalu belum tentu tetap sama. People change. Demikian juga dalam
pernikahan. Karena pernikahan itu terdiri dari 2 orang jadi sangat
salah kalo kita beranggapan sekali menikah dengan kondisi A maka
selamanya akan A. A bisa berubah menjadi Z bisa juga berubah
menjadi AA atau bahkan triple A, atau ABCDEFG :p

Ketika gue merenungkan itu semua gue jadi makin sadar akan salah
satu panggilan yang Tuhan berikan kepada para istri. Bagian para
istri bukan lagi mengenal dan dekat dengan sebanyak mungkin orang
(bandingkan dengan tulisan Bersahabat dengan Lawan Jenis) tapi
mengenal suaminya sedalam mungkin. Panggilan istri dalam hal
hubungan bukan lagi melebar tapi berubah menjadi mendalam.

So, buat para cewe yang masih single,

Don’t waste your time dengan bermellow-mellow kenapa gue belon juga
punya pacar... Use your time to serve God, to build a strong relationship with
Him, and berteman sebanyak-banyaknya…

Khusus buat para cowo yang masih single,

Selain pakai waktu kalian untuk bertumbuh di dalam Tuhan,


bertemanlah sebanyak-banyaknya, kalian juga punya 1 tugas penting.
Tanya Tuhan apa tujuan hidup kalian! Apa visi yang Tuhan ingin
kalian selesaikan selama kalian di dunia ini! Ini penting banget...
karena kalau kalian tahu tujuan hidup kalian, kalian akan lebih bisa
peka cewek seperti apa yang cocok buat jadi penolong yang sepadan
buat kalian. Cewe baik, anak Tuhan saja engga cukup! Cewe itu
harus punya kemampuan dan karakter untuk bisa menolong kalian
mencapai visi dari Tuhan. Masalahnya kalo kalian saja engga tahu
Tuhan mau kalian jadi apa, gimana kalian bisa tahu istri macam apa
yang kalian mau? Kalau belum tau istri macam apa yang kalian mau,
gimana kalian berani macarin seorang cewe??

Buat para istri senasib seperjuangan,

God has gave us a privilege to be a helper for our husband. Engga semua wanita
dapat kehormatan itu. So, kita semestinya menginvestasikan waktu
khusus untuk mengenal suami kita dengan lebih baik, dengan lebih
dalam.
Help! I Married
the Wrong Person!
NATALIA SETIADI

Waduh, serem amat ya judulnya?


Terbayang reaksi Pearlians yang baca kayak gini…

Single:
“Aduh, amit-amit deh, jangan sampe kejadian...”

Istri/suami baru:
“Puji syukur, gue married the RIGHT person...”

Istri/suami sudah menikah agak lama yang jujur:


“Kadang rasanya gue married the wrong person, kadang rasanya the
right person. Mana yang bener ya?”

Istri/suami yang sudah menikah lama yang terlalu jujur:


“Huh, gue yakin gue married the wrong person. Gue dulu nikah
cuma demi... Bla bla... Sekarang bertahan juga cuma demi...
bla bla...”

Artikel ini menyambung karangan saya terdahulu yang berjudul


“Galau Pranikah”. Buat yang belum membaca tapi ingin baca, bisa
cek dan baca di blog majalah Pearl.

Tahun pertama pernikahan


Selain excitement, biasanya tahun pertama diwarnai “ribut-
ribut” menyangkut perbedaan-perbedaan, miscommunication, dan
penyatuan visi & misi secara lebih real dan detail. Misalnya: tidur
mau pakai AC atau tidak? Natal mau ke keluarga suami atau
keluarga istri? Dan seterusnya. Kalau ada perbedaan mendasar
yang belum terselesaikan selama masa pacaran, ribut yang ada
biasanya lebih besar daripada “ribut yang normal” (ada ya,
ribut normal? Hihi...)

Tahun kedua pernikahan


Komunikasi lebih baik, lebih saling memahami dan memenuhi
kebutuhan fisik, mental, dan spiritual pasangan. Kalau
udah ada anak, mulai sibuk mengurus anak dengan segala
kehebohannya. Excitement di awal menikah dulu mulai memudar
. Sad but true, kan secara ilmiah katanya hormon cinta alias
endorfin mulai memudar efeknya setelah 6 bulan, “setruman
ser-ser-an” di masa pendekatan and awal nikah mulai “low
voltage” :)

Sekitar tahun kelima sampe kesepuluh


Many things can go wrong dalam fase ini, mungkin lebih dari fase-
fase lain. Kalau hubungan suami istri tidak terus dipelihara,
excitement bisa semakin pudar. Pergumulan hidup bertambah,
tinggal terpisah dari keluarga kandung, jadi suami dan istri
semakin saling bergantung satu sama lain. Hampir SEMUA
kejelekan suami/istri terlihat JELAS. Mulai terlihat juga
pernikahan yang fulfilling dan sehat, atau pernikahan yang
mulai goyah. Banyak orang bilang, kalau tahun pertama sampai
tahun ke-7 dalam pernikahan itu adalah masa kritis. Mayoritas
perceraian/perpisahan terjadi dalam 7 tahun pertama, tapi
bukan berarti sesudah 7 tahun berarti aman. Zaman sekarang
banyak yang sudah menikah sampai 20 tahun lebih tetap
bercerai, menyedihkan ya…

Sekitar tahun ke 25 - 30 (periode perak)


Pernikahan yang bertahan, akan mulai masuk ke fase baru: fase
empty nest. Bahasa Indonesianya kurang lebih “rumah kosong”,
yaitu fase di mana anak-anak udah dewasa, meninggalkan
rumah, dan memulai rumah tangga baru. Saya pernah dengar
pasangan suami istri yang jadi lebih banyak mengkritik suami/
istrinya karena sudah tidak mengurus anak-anak dan cenderung
memiliki banyak waktu luang. Ada juga yang justru lebih
bahagia karena lebih mapan secara finansial, sebagian besar
“impian masa muda” sudah tercapai, bisa pelayanan, traveling
ke berbagai tempat, dan bisa melakukan banyak hal yang
diinginkan.

Tahun ke-40 dan seterusnya (periode emas dan


seterusnya)
Seorang misionaris yang sangat saya hormati menyebut
periode ini sebagai periode AMAZING GRACE. Bagi beliau,
yang udah menikah hampir 50 tahun, bisa melihat cicitnya itu
sesuatu yang LUAR BIASA karena masih diberi umur panjang,
kesehatan dan kesempatan melihat buah-buah (yang sangat
lebat!) dari pelayanannya selama puluhan tahun bersama suami
tercintanya dan menjadi inspirasi bagi keluarganya. Masih bisa
travel mengarungi separuh bola dunia dan terus mengerjakan
ladang pelayanannya sambil menjadi kakek/nenek yang
supportive buat cucu-cucunya, masih memenangkan jiwa-jiwa, is
truly an amazing grace.

Hmm... Kalau ada pernikahan yang bertahan sekian lama tapi tidak
harmonis, apa itu masih bisa dikatakan amazing grace? Menurut saya
itu juga amazing grace karena untuk BERTEKUN dalam pernikahan
yang sulit dan bertahan dengan orang yang sama selama itu, jelas
butuh amazing grace.

Nah, buat pembaca yang merasakan kalimat “HELP!! I married the


wrong person...” mencerminkan isi hatinya, saya ingin bilang bahwa
kemungkinan besar itu adalah TIPUAN IBLIS. Karena iblis sangat
giat berusaha untuk menghancurkan pernikahan dan keluarga.
Keluarga adalah komunitas yang paling berpotensi memuliakan
Tuhan sehingga tentunya iblis tidak ingin itu terjadi.

Sebuah pernikahan seharusnya ONCE YOU’RE IN, THERE’S NO WAY


OUT. Kalau sudah berani menikah, maka harus berani menjalani
sampai garis finish (salah satu atau keduanya dipanggil Tuhan, atau
Tuhan Yesus datang ke-2 kali). Tidak ada lagi istilah salah pilih, karena
dari awal kita yang memilih.

Suami/istri kamu itu God’s beloved son/daughter loh. Kamu udah


meminta dia dari Bapa Sorgawi untuk kamu nikah dan mendampingi
kamu seumur hidupmu. Tuhan udah berikan dan juga memberikan
berkat, masa sekarang bilang salah pilih?
PERNIKAHAN ADALAH SEKOLAH KEHIDUPAN. Murid-murid
(yaitu suami dan istri) harus mau belajar. Harus taat sama Pak Guru
(yaitu Tuhan sendiri). Harus BERTEKUN. Ada ujiannya. Kita bisa
naik kelas, atau tinggal kelas dan harus mengulang pelajaran yang
sama, atau bisa juga drop out (DO), tapi tentu saja sebaiknya jangan
sampai DO yang dipilih ya...

Kadang kita merasa bahwa pelajaran yang kita terima terlalu susah,
rasanya tidak sanggulagi. Too much pain, too much tears. Daripada saling
menyakiti, bukannya lebih baik disudahi saja?

Tapi Tuhan bilang,

“... Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam


berbagai-bagai pencobaan. Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu
menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang
matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa
pun.”
(Yakobus 1:2b-4)

Saya suka sekali dengan versi The Message dari Yakobus 1:4-5:

“So don’t try to get out of anything prematurely. Let it do its work so you become
mature and well-developed, not deficient in any way. If you don’t know what
you’re doing, pray to the Father. He loves to help. You’ll get His help, and won’t be
condescended to (=tidak akan dipermalukan) when you ask for it.”
(James 1:4-5)

“Tapi kami sering bertengkar...”

Well, so what? Tidak banyak orang yang mau mengaku jika sedang
bertengkar sama pasangannya. Jadi jangan dikira yang terlihat
bahagia itu tidak pernah berselisih atau tidak punya masalah. Setiap
pernikahan pasti punya pergumulan masing-masing.

Tentang bertengkar, menurut saya tergantung dari temperamen


pasangan itu. Ada orang yang cenderung emosional dan meledak-
ledak, ada yang cenderung tenang dan diam. Yang meledak-ledak
otomatis lebih gampang berselisih. Yang penting ada penyelesaian
dan perbaikan. Ada pengertian dan pertumbuhan dalam hubungan
suami-istri. Pak James Dobson mengatakan, pernikahan yang kuat
dan bertahan adalah a marriage that breathes, yaitu pernikahan yang ada
pasang surutnya.

Memang ada beberapa pernikahan yang sangat bermasalah sehingga


perlu pertolongan, misalnya konseling, terapi, rehabilitasi, dll. Dan
kalau memang ini yang terjadi, jangan pernah ragu untuk CARI
BANTUAN. Hubungi orang-orang yang kompeten (misalnya konselor
pernikahan, gembala gereja, mentor rohani, dll), JANGAN CURHAT
KE SEMBARANG ORANG. Ini hanya akan membuat masalah
tambah kacau dan kompleks, karena masalah rumah tangga itu bukan
konsumsi umum. Be wise, carilah Tuhan terlebih dahulu, agar kita bisa
menerima bantuan yang tepat.

“Tapi gue enggak bahagia dalam pernikahan gue, gimanaaa?”

Kalau menurut saya, yang terpenting dalam pernikahan bukanlah


harus bahagia. Tapi pernikahan itu harus FULFILLING atau
MEMENUHI. Tentu saja SEMUA orang ingin pernikahannya
bahagia, tidak ada yang tidak mau, termasuk saya. Tapi bukan itu
yang harus dikejar.

Yang harus dikejar adalah memenuhi rancangan Tuhan buat


pernikahan ini.

Dan juga memenuhi kebutuhan anggota-anggota keluarga, seperti


kasih sayang, rasa aman, companionship, dan lain-lain. Mungkin tidak
semua akan bisa terpenuhi 100%, karena kita hidup di dunia yang
penuh dengan dosa dimana tidak ada satu pun yang sempurna.

Kalau rancangan Tuhan sudah berhasil terpenuhi dan kebutuhan-


kebutuhan terpenuhi, apa masih tidak bahagia?

Zaman sekarang sejak balita anak-anak (terutama anak perempuan)


sudah tergila-gila dongeng princess. Inilah salah satu tipuan iblis yang
DAHSYAT efeknya. Rasanya kalo punya anak perempuan, saya gak
mau mengenalkan mereka ke hal seperti itu. Kenapa?

Karena propaganda princess membuat anak-anak tumbuh dengan pola


pikir yang salah: bahwa pangeran tampan akan membuat princess yang
cantik bahagia.

(Cantik – satu lagi serangan dahsyat iblis: propaganda bahwa hanya


orang yang cantik yang bisa bahagia/berharga. Ini beda lagi topiknya
ya...)

Jadinya banyak istri yang merasa tidak bahagia karena suaminya


kurang begini dan begitu. Banyak suami yang merasa istrinya tidak
menghargai padahal dia udah begini dan begitu. Jadi lingkaran setan.
Suami istri sama-sama makin tidak bahagia.

Padahal kebahagiaan kita seharusnya tidak tergantung pada orang


lain. We choose to be happy. Bahagia itu pilihan.
Teorinya begitu. Tapi saya sendiri terjebak di sini, hihihi... Saya
cenderung mengharapkan suami untuk memenuhi SEMUA
kebutuhan saya. Padahal mengetahui bahwa suami sibuk sekolah, dan
dia juga sudah berusaha mendahulukan kepentingan saya & anak
saya di atas kepentingannya sendiri. Tapi otak dan hati kadang tidak
sejalan.

Saya suka merasa tidak bahagia kalau ‘love tank’ saya kosong (baca
buku Lima Bahasa Kasih, atau Five Love Languages, karangan Gary
Chapman). Memang tugas suami membuat istri merasa disayang,
mengisi love tank-nya, tapi sebagai wanita dewasa, saya seharusnya bisa
mencari kebahagiaan sendiri (LOH?!). Maksudnya bukan suka pergi-
pergi keluar karena haus kasih sayang, tapi punya kehidupan sendiri
supaya saya tidak jadi istri perongrong, atau penodong :) Tidak perlu
sampai punya identitas rahasia (emangnya Catwoman), tapi sebaiknya
punya komunitas, kesibukan yang memenuhi kebutuhan saya, untuk
aktualisasi diri misalnya membuat blog, kerja part time, melakukan hobi
supaya kita senang, dan masih banyak lagi. Karena TIDAK ADIL
kalau saya menuntut suami untuk bisa jadi sumber kebahagiaan saya.
Tidak ada manusia yang bisa memenuhi ekspektasi setinggi itu.

Saya pernah share artikel berjudul Angry Women and Passive Men di
Facebook. Bagi yang belum membacanya, HIGHLY RECOMMENDED
untuk dibaca ya (it’s in English sih). Lebih bagus lagi kalau membaca
bukunya: Love Must Be Tough, karangan dr. James Dobson.

“Kalau pernikahan saya TIDAK fulfilling gimana?”

Bukan “tidak”, tapi “BELUM” :)

Sama kayak menonton film, kapan kita bisa menilai film itu bagus
atau tidak? Pasti setelah menonton dan terlihat tulisan THE END.
Demikian juga pernikahan, baru bisa dinilai di akhirnya, jadi jangan
terlalu cepat menyimpulkan bahwa pernikahan ini tidak fulfilling.

Pernikahan kita juga adalah medan perangnya Tuhan, melawan


serangan dari iblis dan roh-roh jahat di udara.

God’s is the battle, God’s shall be the praise (dikatakan oleh Elisabeth Elliot di
buku Through the Gates of Splendor).

“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan
bersorak-sorai.
Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang
dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.”
(Mazmur 126:5-6)
Kesalahan
Seorang Istri
GRACE SURYANI HALIM

Sebagai istri,

kita merindukan suami yang bisa menjadi imam dalam keluarga.

Namun ketika suami kita menegur kesalahan kita dan mengingatkan


kita, kita marah dan berkata, “Kamu pikir kamu Tuhan? Kamu juga
masih blablabla” (dan kita membeberkan semua kesalahan dan dosa-
dosanya).

Kita mengharapkan suami kita menjadi pemimpin.


Namun ketika ada masalah dan suami kita menetapkan suatu
keputusan, kita berpikir bahwa keputusannya kurang pas/kurang
baik/kurang tepat/kurang efisien/kurang memikirkan orang lain
dan kita mengatakan bahwa keputusan kita lebih baik daripada
keputusannya.

Atau sewaktu ia memimpin suatu kelompok, kita mengkritik gaya


kepemimpinannya.

Kita mengharapkan suami yang peduli.

Namun ketika ia menunjukkan kekhawatiran atas banyaknya aktifitas


kita, kita marah dan berkata bahwa ia tidak punya hak membatasi
pergaulan kita.

Kita mengharapkan suami kita memiliki inisiatif.

Namun ketika dia mengusulkan sesuatu, kita menganggap usulannya


tidak sebaik solusi kita.

Ketika ia mencoba memberikan usulan lain, kita berkata bahwa kita


tidak harus menuruti semua perintahnya.

Kita mengharapkan suami kita banyak bercerita kepada kita.

Namun ketika ia bercerita tentang masalah di kantornya, kita langsung


berkomentar dan berkata, “Yah gitu aja kok jadi masalah sih...”, dan
sibuk membeberkan solusi terbaik di dunia menurut kita.

Kita mengharapkan suami kita membantu pekerjaan rumah.


Namun ketika ia membantu kita mencuci piring, kita berkata bahwa
piring yang dicucinya tidak bersih, cara mencucinya boros air dan ia
tidak meletakkan piring dan mangkok pada posisi yang seharusnya.

Ketika di lain waktu, ia berinisiatif membantu kita membereskan


rumah, kita mengeluh karena ia tidak meletakkan remote control di
tempat kita biasa.

Kita mengharapkan suami kita punya selera humor yang baik,

Namun ketika dia bercanda, kita bilang bahwa candannya tidak lucu.

Kita mengharapkan suami kita lebih aktif dan membantu kita


mengasuh anak-anak,

Namun ketika bayi kita menangis di dalam gendongan suami, kita


buru-buru mengambil bayi kita dan menenangkannya tanpa memberi
kesempatan kepada suami kita untuk belajar memenangkan si bayi.

Ketika di lain waktu, ia mencoba untuk mengganti popok, kita


menertawakannya dan bilang bahwa popoknya tidak rapi.

Ketika di lain waktu, ia mencoba memberi makan si bayi, kita bilang


ia lama dan berantakan.

Kita mengharapkan suami kita mengambil peran dalam mendidik


anak-anak,

Namun ketika ia menegur anak-anak, kita berkata bahwa dia menegur


anak-anak dengan terlalu keras dan membuat mereka terluka.
Ketika ia melarang anak-anak melakukan sesuatu, kita bilang bahwa ia
tidak mengerti keinginan anak-anak.

Kita mengharapkan suami kita mendapat promosi dan kenaikkan gaji,

Namun, ketika ada acara di kantor atau dia bekerja lembur, kita
mengeluh dan berkata, “Kamu kok kerja terus sih?!?! Jangan jadi
workalholic donk. Inget sekarang dah punya anak istri.” (padahal salah
satu alasan dia bekerja keras adalah karena ia INGAT dia punya anak
istri).

Kita berharap suami kita membawa kita masuk ke dalam


kehidupannya,

Namun ketika ia mengajak kita pergi ke acara kantor, kita menolak


dengan alasan teman-teman kantornya sinis dan engga asik.

Kita mengharapkan suami kita lebih mengasihi kita,

Namun ketika suami kita mengajak kita berduaan, kita bilang, “Aduh
aku cape...”

Dan setelah semuanya terjadi,

Kita mengeluh dan merasa kenapa suami kita tidak pernah menjadi
pemimpin keluarga di dalam Tuhan, pasif, pendiam, jarang bercerita,
sibuk sendiri nonton bola, cuek dengan pekerjaan rumah tangga, tidak
pernah memeluk anak kita dan jarang menghabiskan waktu dengan
anak-anak.
Kita mengeluh dan berkata, “Yah suamiku payah...” dan mulai
membanding-bandingkan dia dengan suami teman kita/saudara kita/
tetangga kita, “Tuh coba kamu liat si X, dia blablablabla...”

Di dalam hati kita bertanya-tanya, kemana pria gagah yang selalu


mengambil inisiatif, pemimpin yang dihormati, punya segudang ide,
selalu bercerita tentang banyak hal, singkatnya pria mengagumkan
yang kita lihat di dalam diri suami kita sebelum kita menikahinya.

Lalu kita pun mengeluh kepada teman-teman wanita kita, “Ah cowok
kalo udeh married beda.”

Tanpa kita sadar bahwa kita pun berbeda. Tak lagi mengaguminya,
tak lagi mendukung idenya, tak lagi menghormatinya, tak lagi
menganggapnya pintar.

Lalu kita melakukan berbagai cara untuk membuat suami kita


berubah.

Tanpa kita sadar bahwa kita pun perlu berubah.

Dan setelah mencoba berbagai cara dari sindiran yang halus,


omelan yang pendek, mengeluh tiada henti, sampai berkata yang
kasar akhirnya kita menyerah dan berkata, “Yah, cowok mah emank
begitu...”

***

Tuhan tahu bahwa sebagai istri, kita merindukan suami yang menjadi
pemimpin, berinisiatif, pelindung bagi keluarga, mengasihi istri dan
anak-anak. Dan Tuhan pun menanamkan kerinduan yang sama di
dalam hati suami kita untuk menjadi seperti itu.

Namun seringkali, kita yang menggagalkan suami kita menjadi pria


yang kita inginkan, hanya karena ia tidak melakukannya seperti yang
kita mau.

Tuhan tahu bahwa kita rindu punya suami yang akan memimpin
keluarga, karena itu Ia memberikan perintah supaya kita tunduk
kepada suami kita.

Namun kita berkata bahwa perintah-Nya itu tidak up-to-date dan


maksud perintah itu ditulis hanya cocok untuk zaman itu atau bahwa
makna kata itu di dalam bahasa aslinya tidak seperti itu.

***

“Isteri yang cakap adalah mahkota suaminya, tetapi yang membuat malu adalah
seperti penyakit yang membusukkan tulang suaminya.”
(Amsal 12:4)

“Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada
permata. Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan
keuntungan. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang
umurnya.”
(Amsal 31 : 10-12)
Letter to New Wives:
You’re A Wife Now!
LIA STOLTZFUS

You are a wife now... uda ganti ‘status’ :) Sebuah status baru yang disertai
dengan tanggung jawab baru tentunya.

Bukan lagi ‘anak mama’ yang bisa manja-manja menikmati masakan


mama setiap harinya.

Bukan lagi single yang ‘bebas’ kelayapan and say ‘yes’ kalo diajak hang


out sama temen-temen yang masih single lainnya.

Bukan lagi anak kuliahan yang bisa bebas maen game, baca komik atau
nonton DVD korea begadangan sampe tengah malem.

Bukan lagi ‘wanita karir’ yang bebas pake duit gajinya beli sepatu,
tas branded dan macem-macem aksesoris lainnya.

Nope... nope... nope...

Statusmu sudah beda dan kamu harus SADAR akan hal itu :)

You are a WIFE, a heavenly-gift bride to your husband. 

“He who finds a wife finds what is good and receives favor from the LORD.” 
(Proverbs 18:22)

Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan


TUHAN. Kamu adalah ‘sesuatu yang BAIK’ yang Tuhan berikan
dalam hidup suamimu. Tapi meskipun kita adalah ‘a heavenly-gift’, kita
kudu yang namanya TERUS BELAJAR gimana untuk menjalani role
kita as a wife.

Seorang istri diciptakan Tuhan untuk menjadi seorang ‘penolong’.

TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri
saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan
dia.”
(Kejadian 2:18)

Penolong atau bahasa kerennya “A HELPMEET” itu adalah tujuan


kita diciptakan oleh Tuhan. Kita diciptakan untuk membantu,
menolong, membuat hidup suami menjadi lebih produktif, lebih
efektif, lebih maksimal dalam menggenapi panggilan hidupnya. Jadi
yang namanya jadi istri itu adalah melayani. Suatu kesempatan untuk
melayani Tuhan lewat melayani pria yang kamu kasihi.
nget... PELAYANAN (ministry), yang namanya pelayanan itu kan gak
jauh-jauh sama yang namanya ‘sacrifice’ yah?

Menjadi istri artinya kita bersedia dengan rela dan senang


hati to answer husband›s needs. Helpmeet = help (to) meet his
needs, berusaha menjawab/memenuhi kebutuhan pasangan/suami
kita masing-masing.

Apa sih kebutuhan pria sebagai suami? 

Puji Tuhan, pria itu makhluk yang cukup ‘simple’ yang pasti gak


‘serumit’ kita para wanita :) Huehehehe... Asal ada hal2 dibawah ini,
biasanya pria bakalan ngerasa cukup ‘content’:

1. His Biological Needs


Sudah pasti suami kita butuh makan, so sebagai istri... belajarlah
memasak. Tapi gue gak bisa masak nih... gak papa, asal punya modal
kemauan, bisa belajar kok. Tapi gue kan kerja juga, capek kalo mesti
masak pulang rumah... Inget, pernikahan itu pelayanan :) Capek
sedikit gak papalah, baru juga cooking for two, belon yang mesti masak
MPASI anak. At least masak pas weekend deh, pasti bisa kan? Masak
mau beli di luar terus, boros kaliiiiii...

Enakan beli, klo masak lama udah gitu kudu nyuci piringnya lagi... if
money is not your problem, sok atuh tapi inget juga... suami bisa punya
‘kebanggaan’ tersendiri klo tau istrinya bela-belain belajar masak
apalagi makanan kesukaannya :) Lagian someday juga pasti ‘mentok’
kudu masuk dapur juga pas uda punya anak, gak ada yang rela
kan kasih makan anaknya makanan gak jelas kebersihan dan juga
kualitasnya? Masak sendiri lebih irit, lebih terjamin kebersihannya dan
juga pastinya bisa bebas dari MSG kan? =)
Dan percayalah, klo masak emang awal-awal cukup ribet dan makan
waktu lama tapi kalo uda ‘terbiasa’ jadi cepet kok, malah bisa sambil
‘merem’ masaknya ;p huehehehe *lebay!* Tapi bener, berlaku prinsip
‘bisa karena biasa’ dalam hal ini :)

Some tips:
- Belajar masak yang simple-simple dulu, ngecah/ numis-numis/ nge-
soup.
- Belajar masak makanan kesukaan suami (minta mertua ajarin dan
kasih tau resep-resepnya).

Suami juga butuh pakaian yang bersih dan tersetrika rapi. Belajar jadi
penolong dalam hal-hal kecil seperti mempersiapkan baju kerja suami
(kemeja, celana, kaos kaki, dasi) sudah siap ketika dia mandi. Jangan
sampe kaos kaki cuma ada sebelah, yang sebelah lagi jadi ‘emutan’
anjing peliharaan.

Suami butuh rumah yang cukup nyaman untuk ditinggali. Asal


ada rumah yang cukup bersih untuk tetap menjadi sehat, suami
akan happy-happy aja kok. Pria itu biasanya ‘gak punya tuntutan super
duper tinggi’ kayak rumah kudu selalu super kinclong sampe gak ada
debu sedikit pun or bisa sambil ngaca di ubin yang mengkilap *duh
ngapain juga ngaca di ubin gitu heh?* Jangan lupa menciptakan
atmosfer yang ‘homey’ buat suamimu! Itu yang terpenting. Rumah yang
jadi tempat istirahat, a place of sanctuary. (Bacaan lebih lanjut: Making A
HOME)

Suami juga butuh keintiman fisik (baca: sex)


Kebutuhan sex pada pria lebih besar daripada wanita so jangan kaget
kalo suami menginginkan frekuensi sex yang lebih sering. Itu normal
dan we need to answer his sexual needs.
2. His Social Needs
Suami butuh companion, someone who he can share his joys and sorrow, successes
and failures, fears and dreams. Istri bisa menjawab kebutuhan ini dengan
terus menjadi his best friend yang give support, lots of encouragements dan
juga advice when he needs it. 

Dan jangan lupa juga kalo suamimu tetap butuh ‘teman-teman pria’-
nya sama seperti kamu juga butuh teman-teman wanitamu so jangan
‘kekang’ dia kalo dia mau pergi olahraga dengan teman-temannya
main bola atau bulutangkis or yg lainnya (tentunya dengan frekuensi
yg normal).

3. His Deepest Need of Respect and Trust


Pria butuh melihat bahwa istrinya menghargai dirinya as a
leader dengan bersikap respect dan submit sama suaminya. Sekalipun
mungkin si istri punya gaji lebih besar or punya background ‹anak orang
kaya’ yang beda jauh dengan kondisi ekonomi keluarga suami. Tell your
husband that you love him not only with words but with acts of respect.

“You are a good man! A good husband. I am so proud to be your wife!”

“Saya ngerasa diberkatiiiiiii banget punya suami kayak kamu yang


mau nolong saya kerjain house chores.”

// Respect
- Gak ngomong dengan nada ‘bossy’ ke suami.
- Gak koreksi perkataan or tingkah laku suami dengan sikap I-am-wiser-
than-you.
- Gak kasih masukan/ kritik/ advice dengan sikap ‘menggurui’.
- Gak menceritakan ‘peristiwa memalukannya’ sebagai bahan ledekan
khususnya pas lagi kumpul sama temen-temen.
- Gak ‘ember’ ceritain kelemahan dia khususnya ke sembarang orang
yang gak tepat.
- Minta izin/ approval dari suami klo mau pergi-pergi (Inget, kamu
bukan single lagi) atau mau beli barang yang harganya cukup mahal.
- Appreciate and be thankful for his hardwork.
- Be thankful for his efforts to find and buy something as your gift (Eventhough
barangnya gak sesuai ‘seleramu’, namanya juga pasangan baru, butuh
pengenalan terus-menerus yah...).

// Trust
- He needs you to trust him, sekali pun dia pernah gagal dalam make
a good decision for the family, sekali pun dia juga sempet gagal dalam
mengembangkan bisnisnya, sekalipun dia gagal dalam menangin
proyek or dapetin customer ‘kelas kakap’. Tetaplah percaya bahwa dia
mampu, suatu kali akan sukses, suatu hari bakalan berhasil. Terus
dukung suamimu, setia di sampingnya... Dalam suka maupun duka,
dalam miskin maupun kaya... Dalam keadaan apa pun juga :) Itu kan
yang jadi bagian ‘wedding vow’-mu?

Belajar nikmati menjalani role barumu sebagai seorang istri.


Inget... istri = penolong = helpmeet = help (to) meet his
needs.

Nanti responsibility tentunya akan bertambah dengan bertambahnya


‘status’ kamu (baca: as a mom) tentunya dengan level ‘sacrifice’ yang lebih
tinggi :)

Jangan nyerah... Belajar... Belajar dan terus punya hati mau belajar
(dan diajar).

Tuhan mengurapi kamu untuk menjadi penolong buat suamimu!


Kamu dimampukan dan diberi kasih karunia. Teruslah belajar
mengandalkan Tuhan. Biarkan hatimu terus diisi dan dipenuhi oleh
Kasih Yesus sehingga kasih itu yang bisa kamu alirkan untuk suamimu.

God bless you!


Why Get Married?
SARAH ELIANA

*Girls, your worth is not in your marital status or in how many children you have.
There is nothing wrong in wanting to be married and to be a mother. What is evil is
making marriage and parenthood the sole objective and goal to define womanhood or
to find worth.

Pernah kepikir gak kenapa sih kebanyakan manusia (terutama cewek)


punya impian untuk menikah? Apa sih tujuan kita menikah? Aku
rasa kalo kita tanya ke orang lain (atau diri sendiri), 90% jawabannya
adalah, “Karena aku mencintai dia.” Untuk yang masih single,
mungkin jawabannya, “Because I want to grow old with someone who can
complete me.” Lover, soulmate, love of my life—apa pun sebutannya, rata-
rata kita memiliki pikiran bahwa kalau kita punya special someone, hidup
kita akan menjadi utuh. Kita akan bahagia.

Kalo begitu, kenapa pernikahan begitu penting untuk Tuhan?


Sampe banyak banget ayat-ayat di Alkitab yang ngomongin tentang
pernikahan. Kalo cuman supaya kita bisa hidup dan grow old dengan
orang yang kita cintai, ngapain sih Tuhan sampe panjang lebar
ngebahas tentang hubungan dan peran suami istri? Kalo emang
cuman supaya kita bahagia, kenapa musti ada aturan-aturan itu di
Alkitab? Toh happy gak happy-nya kita kan gak tergantung aturan. Yang
penting kita jalani rumah tangga sesuai dengan karakter kita sebagai
suami istri, beres deh, ya kan? Kalo Tuhan ciptakan yang namanya
pernikahan hanya supaya kita gak kesepian, ngapain Tuhan sampe
susah payah membahas tentang siapa yang boleh dan tidak boleh kita
nikahi? Kenapa anak Tuhan gak boleh menikah dengan orang yang
belum percaya? Toh biarpun belum percaya Tuhan gak berarti orang
itu jahat kan? Banyak koq buktinya, orang yang belum percaya Tuhan
yang mengasihi dan memperlakukan pasangan mereka dengan super
duper zuper luar biasa baiknya. Banyak koq pernikahan orang-orang
gak percaya yang super bahagia sampe akhir hayat. Jadi, kenapa
Tuhan ciptakan yang namanya pernikahan? Kenapa kita menikah?
Apa yang membuat beda pernikahan anak Tuhan dan orang yang
belum percaya?

Saat ngomongin tentang pernikahan, otomatis kita berpikir tentang


diri kita. We think about our happiness. We think about how
we should treat our spouse, and how our spouse should treat
us. But, we really should stop thinking about us and start
thinking about the Creator of marriage: GOD! Have you ever
thought that perhaps marriage is more about you and God
than about you and your spouse?

Satu hal yang aku tau, Tuhan tidak ciptakan pernikahan itu hanya
supaya kita bisa “live happily ever after”. Aku baru menikah 9 tahun
dan aku tau kalo pernikahan itu gak gampang. Banyak pengorbanan
yang harus kita lakukan saat menikah: waktu, diri kita sendiri, uang,
karir, dll. Pada dasarnya, pernikahan adalah panggilan, dan sama
seperti panggilan-panggilan yang lain, pernikahan itu juga butuh kerja
keras. Reality check: cinta doank gak cukup bow!! Pernikahan juga bukan
satu hal yang bisa membuat kita bisa ngerasa “utuh”. Suami/istri gak
mungkin bisa kita jadikan object yang dapat memberikan rasa utuh ke
diri kita. Ada buku dari Gary Thomas yang judulnya Sacred Marriage,
dan di dalam bukunya, dia bilang gini:

“The problem with looking to another human to complete


us is that, spiritually speaking, it’s idolatry. We are to find
our fulfillment and purpose in GOD... and if we expect
our spouse to be ‘God’ to us, he/she will fail every day. No
person can live up to such expectations.”

(Bila kita mencari seorang manusia untuk melengkapi kita, hal itu
—secara rohani— adalah penyembahan berhala. Kita semestinya
mencari kepenuhan dan tujuan hidup di dalam Tuhan... Dan bila
kita mengharapkan pasangan menjadi ‘tuhan’ bagi kita, dia akan
senantiasa gagal. Tidak ada manusia yang dapat memenuhi ekspektasi
setinggi itu.) (Terj. Editor)

HOW TRUE!!! Karena itu selagi single, bangunlah hubungan yang


intim dengan Tuhan. Cari jati dirimu di dalam Tuhan. Fokus ke
Tuhan. Nah, nanti kalo Tuhan panggil untuk married, kita akan lebih
siap untuk itu.

Ya, Tuhan pengen kita bahagia, tapi Dia lebih pengen lagi kita
punya hubungan yang intim dengan-Nya, karena itulah sumber
kebahagiaan yang sejati. Listen to this, girls: Tuhan ciptakan pernikahan
karena Tuhan mau lewat pernikahan itu kita bisa memiliki keintiman
spiritual dengan-Nya. Tuhan panggil kita untuk menikah karena
Tuhan mau suami dan istri saling mengingatkan tentang Tuhan,
saling membangun di dalam Tuhan, saling menopang di dalam
Tuhan. Misalnya gini: waktu lagi aku lagi sakit/capek, suami gak
malu-malu masuk ke dapur untuk membuatkan makanan. Untukku,
waktu ngeliat dia yang rela melakukan hal ini untukku, aku melihat
Yesus, sang Raja Surgawi, yang rela menjadi hamba yang melayaniku.
Pinjem kata-katanya Gary Thomas: Suamiku “is modeling God to me,
revealing God’s mercy to me, and helping me to see with my own eyes a very real
spiritual reality.” Dan hopefully, sebaliknya juga demikian. Bahwa lewat
aku istrinya, suamiku bisa melihat karakter dan kasih Kristus yang
sejati. Apa yang tuhan inginkan melalui pernikahan anak-anak-Nya
adalah bahwa kita dan pasangan semakin bertumbuh di dalam Tuhan,
semakin merasakan betapa nyatanya Tuhan kita itu.

Suami dan istri itu udah pasti beda banget. Yang satu mahkluk logika,
yang satu feeling-nya lebih berbicara. yang satu diciptakan to provide,
yang satu diciptakan to build relationships. Yang satu suka yang praktis-
praktis, yang satu suka yang indah-indah. Nah, penyatuan dari dua
orang yang sangat berbeda ini justru sebetulnya melahirkan satu
kesatuan yang indah. Dari dua orang yang berbeda ini kita melihat
pribadi Allah yang utuh: Tuhan yang menciptakan ombak dan
badai topan, tapi juga Tuhan yang menciptakan angin sepoi-sepoi.
Tuhan yang menciptakan singa yang gahar, tapi juga Tuhan yang
menciptakan cuddly little rabbits! Tuhan yang mengobrak-abrik Bait
Allah, tetapi juga Tuhan yang menangisi Yerusalem. Tuhan yang
mendisiplin anak-anak-Nya, tapi juga Tuhan yang rela mati di kayu
salib demi anak-anak-Nya! Tuhan ciptakan pernikahan karena dari
kesatuan pria dan wanita we represent the totality of God! Tuhan ciptakan
pernikahan juga supaya orang lain yang melihat pernikahan kita
bisa melihat seperti apa Tuhan itu. Karena kita dan suami kita yang
mengasihi Tuhan, orang lain dapat melihat the total image of God, jadi
lebih mengenal seperti apa Tuhan itu... bukan hanya Tuhan yang
mendisiplin anak-anak-Nya, tapi juga Tuhan yang berhati lembut dan
mengayomi. Bukan hanya Tuhan sang Pencipta, tapi juga Tuhan sang
Pemelihara.

Lho, kalo kayak gitu doank, yach kenapa harus married sama orang


percaya? Orang gak percaya juga punya karakter-karakter baik yang
bisa represent the image of God koq. Yes and no. You see, the difference is kalo
orang yang cinta dan takut akan Tuhan selalu tau kalo semua hal baik
yang ada pada dirinya (termasuk karakternya) itu datang hanya dari
Tuhan, jadi orang yang cinta Tuhan ini gives all the credit and glory to God,
and steer others towards Him too. =) Orang yang cinta Tuhan tau tugasnya
untuk memuliakan nama Tuhan, sehingga mereka berjalan bersama
menuju tujuan yang sama. Sementara orang yang gak kenal Tuhan?
Gimana bisa memuliakan Tuhan kalo siapa Tuhannya aja dia gak tau?

Jadi ini sebenernya alasan Tuhan menciptakan pernikahan, gak


cuman sekedar supaya kita happy. His reasons are way beyond our wildest
imaginations. Through marriage, He wants us to see God who longs to have
intimate relationship with us: God who just loves to wow us with His never-
failing love. Lewat pernikahan, Tuhan mau kita dan orang lain melihat
Tuhan. Seperti kata Gary Thomas:

“God did not create marriage just to give us a pleasant


means of repopulating the world and providing a steady
societal institution to raise children. He planted marriage
among humans as yet another signpost pointing to HIS own
eternal, spiritual existence.”

(Tuhan tidak hanya menciptakan pernikahan sebagai carai yang


menyenangkan untuk memenuhi dunia dan menyediakan lembaga
yang stabil untuk membesarkan anak. Dia membuat pernikahan
antara manusia sebagai salah satu papan penanda yang menunjuk
pada diri-Nya sendiri, yang kekal dan spiritual.) (Terj. Editor)

Kalo Tuhan ciptakan pernikahan hanya supaya kita happy,


waduuhhh...bisa gawat tuh. Berantem sedikit, CERAI! Kalo
Tuhan ciptakan pernikahan hanya karena, “Oh..because we love each
other,” Wahh, kebayang deh: suami sibuk sedikit, lupa hari ultah kita,
langsung deh ngerasa gak disayang. CERAI! Kalo kita menikah karena
kita ingin diperlakukan seperti princess, like we are the only woman alive on
the planet, duh duh duh, bahaya juga nih. Begitu suami marah sedikit,
ngebentak sedikit, langsung CERAI! Sori, mas, loe lupa to treat me like a
princess!

Dan sedihnya, ini yang makin banyak terjadi. People get married for all
the wrong reasons, karena itu tingkat perceraian makin tinggi. “But if we
marry for the glory of God, to model His love and commitment to our children,
and to reveal His witness to the world, divorce makes no sense.” =) Itu sebabnya
juga, guys, kenapa Tuhan berkali-kali wanti-wanti dalam Firman
Tuhan bahwa anak-anak terang gak bisa bercampur dengan anak-
anak gelap. Anak-anak Tuhan gak boleh menikah dengan orang-orang
yang belum kenal Tuhan; karena bagaimana mungkin orang yang
belum kenal Tuhan bisa mengerti kalo ia harus memasuki pernikahan
dengan misi yang sangat penting: to glorify the Lord Creator God?

Tuhan ciptakan pernikahan supaya lewat pernikahan itu nama-


Nya dimuliakan! Karena itu di Alkitab banyak sekali yang Tuhan
katakan tentang pernikahan, tentang tugas-tugas suami, tugas-tugas
isteri, dan kenapa anak Tuhan gak boleh menikah dengan orang
yang belum kenal Tuhan. Tuhan mau supaya di dalam pernikahan
kita tetap tunduk kepada Dia; kita, bersama dengan pasangan kita,
tetap menjalankan fungsi kita sebagai anak-anak Tuhan, sehingga
melalui itu kita diajarkan tentang hubungan Tuhan dan gereja-Nya.
Waktu dua orang anak Tuhan menikah dan mereka saling mengasihi,
itu bukan semata-mata karena keharusan atau karena, “It’s just a
feeling I have for my husband/wife,” tapi betul-betul keluar dari hati
yang mengasihi dan takut akan Tuhan. Kita jadi mengerti bahwa
ada panggilan yang lebih besar bagi kita di dalam pernikahan—gak
cuman sekedar untuk menjadi happy. Tau gak, marriage is one of the things
here on earth that don’t have eternal value. Menikah atau gak sama sekali
tidak menentukan apakah kita masuk surga atau gak. Pernikahan gak
menyelamatkan jiwa kita! Tapiiii, tau gak bahwa lewat pernikahan
yang memuliakan Tuhan, banyak jiwa bisa diberkati bahkan
diselamatkan? Contohnya pernikahan Elisabeth dan John Elliot.
Waktu masih single aku sering baca buku-buku mereka, terutama
buku-buku Elisabeth. Dan cerita cinta serta jalan pernikahan mereka
betul-betul memberkati aku. Dan aku tau ada teman aku yang terima
Tuhan setelah baca tentang pernikahan mereka. Luar biasa kan? A
higher calling, my friends!

Kalo kita menikah cuman supaya happy, yah emang gak perlu susah2


baca Firman Tuhan. Gak perlu susah-susah ikutin tugas dan peran
yang Tuhan kasih ke suami isteri, bahkan gak perlu susah-susah cari
calon yang kenal Tuhan. Yang penting orang itu cinta kita, treats
us nicely, with love and respect, ya wes married aja. Gak perlu menikah
ama sesama anak Tuhan koq, buat memiliki pernikahan yang
bahagia. BUT as children of God, we are called to live not
just for our own happiness or our own sake. Sebagai anak-
anak Tuhan, kita punya panggilan yang lebih besar: kita
dipanggil untuk hidup untuk memuliakan Tuhan. Our lives
are not our own. Our lives belong to the Lord, and should
be treated as such. We give everything (and I mean everything) in our lives,
including our marriage, back to God to be used for His purpose and glory. For
you singles, it’s your choice. Do you want to be ‘just happy’ or do you want to live
according to the will and purpose of the Lord God, your Creator? Believe me when I
say that His will and purpose will rock your world more than any man/woman can
ever do!! =) There is more than just happiness in the Lord. =)

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-


Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan
damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan
kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
(Yeremia 29:11)
Parenting
One of Godly
Mommies
TABITA DAVINIA

Coba tebak, siapa saja wanita dalam Alkitab yang menjadi ibu? Hm,
rasanya banyak banget ya. Ada Hawa, Sara, Rahel, Lea, Rahab,
Delila, Ratu Syeba, Bernike, Klaudia, blablabla... Tapi, coba kita
persempit lingkarannya. Dari sekian banyak wanita yang menjadi ibu,
berapa banyak wanita yang menjadi ibu yang mengajarkan tentang
firman Tuhan kepada anak-anaknya? Kita bisa menyebut Maria, yang
adalah ibu dari Yesus Kristus, atau mungkin Hana, yang walaupun
setelah dia melahirkan Samuel dia menyerahkannya kepada Eli—
imam di Silo. Tapi pada tulisan kali ini, kita akan membahas tentang
seorang wanita yang mungkin jarang dibahas keberadaannya dalam
Alkitab. Dia adalah ibu dari salah satu anak rohani Paulus, di mana
kita bisa membaca dua surat Paulus kepada anak muda ini. Coba
tebak, siapa ibu yang dimaksud... She is Eunike!
Nama “Eunike” berarti “good victory”, dari kata eunich. Wanita ini
termasuk keturunan Yahudi. Ibunya bernama Lois. Eunike menikah
dengan seorang pria yang merupakan keturunan Yunani. Dialah
yang melahirkan Timotius, salah satu anak rohani Paulus itu.
Kisahnya hanya tercantum dua kali di dalam Alkitab, tapi di sana
Paulus menyatakan bahwa kehidupannya telah menjadi teladan bagi
Timotius—satu hal yang juga Paulus lihat.

“Paulus datang juga ke Derbe dan ke Listra. Di situ ada seorang murid bernama
Timotius; ibunya adalah seorang Yaudi dan menjadi percaya, sedangkan ayanya
seorang Yunani.”
Kisah Para Rasul 16:1

”Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-
tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku
yakin hidup juga di dalam dirimu.”
2 Timotius 1:6

Tidak ada yang tahu bagaimana Eunike lahir, menjalani


kehidupannya, bahkan bagaimana akhir hidupnya. Berdasarkan
beberapa tafsiran, Eunike dan Lois menjadi orang Kristen setelah
mendengar khotbah Paulus tentang Kristus. Mungkin sejak saat itulah,
mereka berdua yang mengajarkan Timotius tentang firman Tuhan.

Kalau mengingat kisah tentang Eunike dan Timotius, aku jadi teringat
dengan perintah Tuhan kepada orang Israel di Ulangan 6:6—7.

“Apa yang kuperintahkan (setelah Tuhan berfirman kepada Musa)


kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah
engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan
membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau
sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila
engkau bangun.”

Sekalipun suaminya bukan orang saleh—menurut orang Yaudi—


namun Eunike, bersama Lois, terus menanamkan firman Tuhan
dalam kehidupan Timotius, sampai akhirnya... Timotius bersedia
untuk mengikuti pelayanan Paulus. Mungkin Timotius masih sangat
muda saat memulai pelayanannya bersama Paulus. Bisa saja Eunike
berkata, “Tunggu dulu lah, Paulus! Timotius masih muda! Dia boleh kok,
melayani di daerah di sekitar sini dulu. Nanti kalau sudah tambah dewasa, dia
boleh ikut pelayananmu”.

Hati ibu mana yang tidak sedih saat melihat anaknya pergi jauh dan
bahkan tidak tahu kapan dia akan kembali? Mungkin hati kecil Eunike
merasa bingung saat mendengar Paulus mengajak Timotius untuk
melayani bersamanya. Tapi ternyata... Eunike let Timotius go with Paul!
Dia mengesampingkan keinginannya agar Timotius tetap bersamanya,
dan memilih untuk mengizinkan anaknya itu untuk pergi bersama
Paulus.

Ladies, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kelak saat kita memiliki
anak. Tapi satu hal yang perlu kita ingat, kita harus mengajarkan
firman Tuhan kepada mereka setiap saat. Bukan hanya melalui
perkataan kita, tapi juga lewat perbuatan kita (kalau omdo—omong
doang—‘kan kita bisa dianggap pembohong sama anak-anak nanti
hehe). Aku yakin Timotius telah melihat kehidupan ibunya yang luar
biasa, sehingga dia pun meneladani kehidupan ibunya itu.

Entah apapun status kita saat ini (single, masih sekolah/kuliah, mulai
meniti karier, baru saja menikah, sedang jadi bumil (ibu hamil), atau
bahkan telah mempunyai anak), perintah Tuhan itu harus selalu kita
ingat dan lakukan.
Mengajarkan anak-anak untuk melakukan firman Tuhan memang
tidak mudah, apalagi kalau anak-anak telah tumbuh dewasa tanpa
mengenal firman-Nya. That’s why... setiap ibu (dan calon ibu)
harus mempersiapkan diri sejak awal untuk mendidik anak-anak
berdasarkan firman Tuhan.

“But it’s very hard for me to teach my children to do God’s will!”

Mommies, mengajari anak tentang apapun itu memang tidak


mudah. Jangankan mengajari anak untuk membaca Alkitab, untuk
memberikan stimulus anak agar berjalan pun orang tua harus panjang
akal (duh, bahasa perkuliahannya mulai keluar huehehe). Karena itu,
setiap ibu (dan calonnya) harus selalu percaya dan bersandar kepada
Tuhan. We can’t through this moment without God.

Kita perlu belajar dari Eunike, yang dengan rendah hati menyerahkan
Timotius kepada Paulus untuk melayani di berbagai tempat. Aku
menduga, Eunike bisa melakukannya karena dia percaya bahwa
Tuhan yang akan menuntun Timotius untuk tetap hidup di dalam
kehendaknya.

And how about us? Sudah siapkan kita untuk menjadi seorang wanita
yang tetap percaya kepada Tuhan dalam segala pergumulan kita? Jika
suatu saat nanti Tuhan mengaruniakan anak-anak kepada kita, apakah
kita akan tetap hidup setia kepada-Nya, dan memberikan teladan
hidup benar kepada mereka?

Keep the answer in your heart, and pray that God will help us to be a Godly
mommy (wannabe) :)
Melatih Ketaatan
Kepada Anak
FIONA HARJONO

“Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu, akan dipatuk
gagak lembah dan dimakan anak rajawali”
(Amsal 30:17)

Perkembangan teknologi yang semakin pesat seiring berjalannya waktu


membuat informasi semakin mudah diakses. Berbagai penawaran
menarik dapat kita jumpai di mana pun; dalam gadget, media
massa, televisi, radio, papan iklan, dan sebagainya. Para orang tua
pun berlomba-lomba untuk memenuhi semua kebutuhan anak-anak
mereka dengan segala yang terbaik; mainan, makanan, pakaian,
pendidikan, dan sebagainya. Tidak ada yang salah dalam pemenuhan
kebutuhan jasmani tersebut sepanjang semuanya masih dalam jalur
yang benar. Namun yang terpenting, para orang tua hendaknya tidak
lupa untuk memenuhi kebutuhan rohani anak-anak. 
Ketaatan merupakan salah satu kebutuhan rohani seorang anak
yang wajib diperhatikan para orang tua. Kegagalan orang tua dalam
mengajarkan ketaatan kepada anak-anak akan menyebabkan mereka
sulit untuk taat kepada Allah, Tuhan dan Juruselamat hidup mereka.

“Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah
pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang” 
(Pengkotbah 12:13-14)

Di dalam proses mengajar dan melatih ketaatan kepada anak-anak,


para orang tua perlu mengenal anak-anak mereka dan mengerti apa
yang ada di dalam hati dan pikiran mereka. Para orang tua tidak dapat
mengenal anak-anak mereka dengan baik jika anak-anak tidak berada
di dekat orang tua untuk diajar dan dilatih. 

Allah sangat Menghargai Ketaatan

Karena ketaatan merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus


dikerjakan oleh orang tua, maka para orang tua perlu mengerti prinsip
dasar dalam menjalankan tugas dan fungsinya mendidik seorang
anak. Hal ini sangat penting untuk dipahami karena Allah sangat
menghargai sebuah ketaatan, bahkan Ia menganggap ketaatan lebih
berharga daripada banyak persembahan.

Salah satu kisah dalam Alkitab yang bisa kita pelajari adalah kisah
Raja Saul; seseorang yang dipilih dan diurapi oleh Tuhan untuk
menjadi raja pertama bangsa Israel (1 Samuel 11:15), bangsa pilihan
Allah; seseorang yang gagah perkasa dan membawa bangsa Israel
mengalami banyak kemenangan dalam peperangan; namun pada
akhirnya Tuhan menolak dia menjadi raja Israel akibat ketidaktaatan. 

Ketika tiba waktunya bangsa Israel memberikan korban persembahan


kepada Allah, Nabi Samuel, yang memiliki otoritas untuk membawa
persembahan kepada Allah, belum juga datang. Akibat desakan
rakyatnya, maka Raja Saul mengambil inisiatif untuk membawa
persembahan kepada Allah tanpa menunggu Nabi Samuel (1 Samuel
14). Raja Saul juga tidak taat kepada perintah Allah untuk menumpas
habis semua orang dan harta benda bangsa Amalek. Raja Saul
membiarkan raja bangsa Amalek tetap hidup dan membawa harta
benda bangsa Amalek yang terbaik untuk dijadikan persembahan
kepada Allah. Apakah Allah senang dengan korban bakaran tersebut?
Tidak. Ketaatan lebih berkenan kepada Allah dibandingkan korban
bakaran.

“Tetapi jawab Samuel: “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran
dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN?
Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan,
memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan”.
(1 Samuel 15:22)

“Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai
pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.”
(Hosea 6:6)

Kebenaran ini harus dipahami setiap orang tua agar anak-anak


mereka juga menerima prinsip ini sebagai kebenaran, bahwa ketaatan
merupakan hal yang penting dan sangat serius di mata Allah.

Mengapa ketaatan itu sangat penting?


Ketaatan adalah perintah Tuhan

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah


demikian. “
(Efesus 6:1-3)

Ketidaktaatan yang berulang-ulang adalah dosa

“Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah
sama seperti menyembah berhala dan terafim…” 
(1 Samuel 15:23a)

Ketaatan mendatangkan berkat (dan ketidaktaatan mendatangkan


kutuk)

“Hormatilah ayahmu dan ibumu--ini adalah suatu perintah yang penting, seperti
yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.”
(Efesus 6:2-3)

“Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau
mendengarkan suara TUHAN, Allahmu.. Tetapi jika engkau tidak mendengarkan
suara TUHAN, Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan
ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka segala kutuk ini
akan datang kepadamu dan mencapai engkau”
(Ulangan 28:2, 15)

Para orang tua perlu mengingat bahwa mengajarkan tentang Tuhan


kepada anak-anak tidak bisa lepas dari pelajaran mengenai ketaatan.
Para orang tua perlu menyadari bahwa Tuhan sudah memberikan
otoritas atas anak-anak kita agar kita dapat mengajar dan melatih
mereka untuk hidup dalam jalan Tuhan yang akan membawa anak-
anak pada hubungan yang kekal dengan Tuhan. Jika orang tua
tidak mampu mengambil otoritas yang diberikan Tuhan secara
optimal, maka pihak lain (budaya, media, dan orang lain) yang akan
memanfaatkan otoritas itu untuk membentuk hidup anak-anak kita.

Definisi Ketaatan

Definisi ketaatan yang harus diajarkan para orang tua adalah


melakukan perintah yang diberikan Tuhan atas hidup anak-anak
dengan segera dan tanpa keluhan. Ketaatan seperti ini mutlak
diperlukan seorang anak untuk bertumbuh di dalam karakter dan
cara hidup yang baik. Keberhasilan orang tua dalam mendidik anak
terutama dilihat dari kesediaan anak untuk taat. Tujuan utama para
orang tua dalam mengajar dan melatih ketaatan adalah menghasilkan
anak-anak yang memiliki karakter Kristus, anak-anak yang Ilahi, yang
memiliki hati dan pikiran seperti Kristus dan dengan penuh kerelaan
melakukan apa yang Kristus lakukan.

Mengajar vs Melatih

Dalam membentuk ketaatan anak-anak, orang tua tidak cukup


sekedar mengajarkan ketaatan, namun perlu melatihnya. Mengajar
adalah memberikan kepada anak-anak pemahaman dan kebenaran
yang mereka perlukan untuk hidup baik atau sukses. Melatih adalah
mendisiplin anak-anak untuk melakukan apa yang sudah mereka
pelajari.
Proses Melatih Ketaatan

Ketaatan bukanlah sesuatu yang diperoleh secara langsung, melainkan


sesuatu yang harus diusahakan dan dilatih. Orang tua tidak bisa
mengharapkan anak-anak mereka secara otomatis taat kepada
perkataan orang tua dan Firman Allah jika orang tua tidak pernah
melatih mereka melakukan itu.

Karena menjadi orang tua adalah pekerjaan seumur hidup, maka


tugas untuk melatih ketaatan kepada anak-anak juga harus dikerjakan
selama kita hidup menjadi orang tua dari anak-anak kita. Di sinilah
orang tua perlu memahami cara melatih dan mengajarkan ketaatan
kepada anak-anak sesuai usia mereka. Orang tua sangat memerlukan
kesabaran dan konsistensi di dalam mengajarkan ketaatan.

Tidak ada sebuah metoda cepat dan sebuah rumus pasti


untuk membentuk seorang anak yang taat dalam waktu
singkat. Allah menciptakan setiap pribadi secara unik; dengan
karakter khusus, tingkat kedewasaan yang berbeda, kemampuan yang
berbeda, ketertarikan yang berbeda; tidak ada satu orang pun yang
sama persis dengan orang lainnya.

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya
pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu”
(Amsal 22:6)
Proses mengajar dan melatih ketaatan kepada anak-anak
membutuhkan waktu dan tidak dapat dilepaskan dari tindakan disiplin
yang kita berikan selama proses itu.

Hal penting yang perlu disadari para orang tua adalah


semua tindakan disiplin yang diberikan seharusnya
diarahkan kepada hati anak, bukan kepada perilaku
anak. Jika kita memperhatikan isi Alkitab, kita akan menemukan
bagaimana Allah lebih memperhatikan kepada hati manusia untuk
mengasihi dan taat kepada-Nya karena Allah mengerti bahwa kita
adalah manusia yang masih dalam proses bertumbuh menjadi dewasa
dan membutuhkan waktu untuk memahami semua perintah-Nya.

Maka ketika para orang tua memberikan tindakan disiplin kepada


anak-anak, lihatlah kepada hati mereka. Apakah ketidaktaatan mereka
akibat dari hati yang memberontak? Apakah mereka lelah? Apakah
orang tua mengharapkan lebih banyak dari kemampuan anak-anak
sesuai usia mereka?

Saya dan suami pun masih terus belajar untuk memberikan tindakan
disiplin yang tepat kepada anak-anak saya. Kami membuat kesalahan
dan gagal berulang kali. Namun Firman Tuhan selalu mengingatkan
kami bahwa kedewasaan adalah hasil dari sebuah proses. 

“Maturity is as a result of training, time, growth, heart and will.”


(Sally Clarkson)

Keseimbangan antara Disiplin dan Kasih


Tindakan disiplin sangat diperlukan saat para orang tua melatih
dan mendorong anak-anak untuk bertumbuh menjadi seperti
Tuhan, karena hal itu akan membantu mereka untuk menemukan
kasih karunia Allah di dalam hidup mereka. Namun, dalam
memberikan tindakan disiplin kepada anak-anak, para
orang tua perlu mencari dan meminta hikmat Tuhan setiap
hari. Tindakan disiplin bukan hanya sekedar “boleh atau tidak boleh”
– memukul, membentak, menghukum -, namun lebih mengenai
persoalan untuk mendapatkan hati anak. Kisah kehidupan yang
dijalani orang tua setiap hari akan memberikan dampak lebih besar
dalam kehidupan anak-anak dibandingkan perkataan dan usaha kita
untuk memberikan disiplin kepada mereka.

Yesus melakukan hal yang sama kepada murid-murid-Nya, yaitu


memberikan teladan hidup untuk ditaati dan diikuti oleh murid-murid.
Para orang tua seharusnya tidak hanya memberitahukan kepada
mereka apa yang seharusnya mereka lakukan, tapi juga menunjukkan
kepada mereka bagaimana mereka harus melakukan hal itu.Disiplin
adalah persoalan hubungan hati ke hati, sebuah interaksi spiritual yang
berkelanjutan.

Tentu hal itu tidak mudah! Menghabiskan banyak waktu, menuntut


banyak pengorbanan, dan memerlukan ketekunan. Namun apa yang
dilakukan para orang tua akan memiliki dampak yang kekal. Apa pun
yang kita lakukan untuk kekekalan, iblis tidak akan suka. Iblis akan
membuat para orang tua merasa lelah, merasa gagal, merasa putus
ada, merasa bersalah, dan perasaan negatif lainnya.

Kekerasan tidak akan pernah menolong kita untuk memperoleh


hati seorang anak. Para orang tua perlu menggunakan hikmat untuk
mengerti situasi, hati seorang anak, serta cara terbaik untuk bertindak. 
Beberapa kesalahan yang umum dilakukan orang tua di dalam melatih
ketaatan kepada anak mereka seperti:

Mengancam terus menerus; memberikan rasa takut kepada anak jika


tidak taat

Menyogok sebagai ganti ketaatan; menawarkan imbalan untuk sebuah


ketaatan

Negosiasi di tengah konflik; melakukan sesuatu yang menyimpang dari


prinsip atau aturan demi ketaatan anak

Jangan pernah mendisiplin berdasarkan satu daftar kaku aturan-


aturan tanpa mempertimbangkan keadaan-keadaan yang unik dan
special.  Pakailah hikmat dari Tuhan untuk mengaplikasikan disiplin
dengan keadilan dan kasih sayang.

Paul M. Landis, di buku The Respponsibility of Parents in Teaching


and Training Their Children berkata, “Konsistensi dengan kelembutan,
sikap dan suara yang tenang, dan ketegasan, bukannya amarah dengan suara yang
tinggi, akan lebih meyakinkan seorang anak tentang ketulusan dan tujuan kita”. 

Beberapa hal yang penting diketahui para orang tua mengenai


disiplin:

Disiplin adalah sebuah proses jangka panjang yang didasari sebuah


hubungan keluarga.
Timotius merupakan salah satu contoh pemuda yang memiliki nenek
dan ibu yang sudah memberikan investasi kekekalan dalam hidupnya.

“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-
tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku
yakin hidup juga di dalam dirimu.”
(2 Timotius 1:5)

Allah memberikan kesabaran dan kelapangan hati-Nya untuk


membawa manusia ke dalam pertobatan.

Hal inilah yang perlu dilakukan para orang tua secara terus-menerus
untuk melatih anak-anak di dalam ketaatan.

“Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan


kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah
ialah menuntun engkau kepada pertobatan?”
(Roma 2:4)

Jangan pernah lelah untuk melatih anak-anak di dalam


ketaatan karena akan datang waktunya kita akan menuai apa yang
sudah kita tabur.

“Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya,
kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.”
(Galatia 6:9)

Melatih Ketaatan kepada Anak-anak

Melatih ketaatan kepada anak-anak dimulai dengan hubungan yang


baik antara orang tua dan anak. Semakin baik hubungan orang tua
dengan anak, maka semakin mudah anak bersikap taat kepada orang
tua.

Ketika orang tua memberikan sebuah instruksi, maka orang tua perlu
mengharapkan anak memberikan respon langsung dan lengkap sesuai
dengan apa yang dimaksudkan; tanpa menunda dan tanpa mengeluh.
Jangan pernah takut untuk menetapkan standar yang tinggi dan
memelihara standar itu. 

Ketika orang tua memberikan sebuah instruksi, jangan sekali-


kali memberikan instruksi yang sebenarnya tidak dimaksudkan
untuk ditaati atau dilakukan. Sediakan waktu untuk melatih anak-
anak sampai dapat bertindak seperti yang orang tua inginkan
mereka bertindak, dan sebagaimana orang tua percaya Tuhan juga
menginginkan anak-anak bertindak, bukan sebagaimana orang
lain atau budaya yang mengajar dan melatih anak-anak kita untuk
bertindak.  

Para orang tua harus konsisten dengan instruksi yang diberikan untuk
semua keadaan; tentu dengan tuntunan hikmat dari Tuhan yang perlu
dicari para orang tua setiap saat. 

Konsistensi bukan berarti “melakukan hal yang sama persis kepada


setiap anak” atau “mendisiplin dengan cara yang sama persis di
setiap keadaan”.  Tidak semua anak mempunyai kepribadian
atau emosi yang sama. Konsistensi sebenarnya artinya setiap kali
anak memerlukan koreksi, kita sebagai orang tua akan bangkit
dan melakukannya, dan tetap ada di situ untuk memimpin dan
bertahan lebih lama dari anak kita sampai pesan kita dapat
tersampaikan. Berusahalah keras untuk konsisten dengan tidak
menutup mata pada hal apapun yang kita tahu bahwa kita perlu
melakukan koreksi.

Awal pelatihan instruksi sebaiknya dimulai secara pribadi dari dalam


rumah; tidak di depan umum atau di tempat lain.

“Ketika aku masih tinggal di rumah ayahku sebagai anak, lemah dan sebagai
anak tunggal bagi ibuku, aku diajari ayahku, katanya kepadaku: “Biarlah hatimu
memegang perkataanku; berpeganglah pada petunjuk-petunjukku, maka engkau akan
hidup”
( Amsal 4:3-8 )

Berikan waktu dan perhatian di dalam proses melatih ketaatan kepada


anak-anak di dalam kegiatan rutinitas sehari-hari. Bangunlah suatu
hubungan dengan mereka yang akan membantu mendorong
mereka untuk mau mentaati orang tua dan akhirnya
Tuhan.  Kepercayaan anak kepada orang tua sangat penting
di dalam membantu orang tua untuk melatih ketaatan
kepada anak. Maka bangunlah kepercayaan itu setiap hari.

Bahasa tubuh yang bisa kita latih kepada anak-anak dalam merespon
sebuah instruksi adalah memberikan jawaban “ya” disertai dengan
menatap wajah orang tua pada level mata anak.

Respon seperti ini merupakan salah satu cara yang selalu kami
lakukan ketika memberikan instruksi atau menegur anak-anak. Sejak
mereka berusia 1 tahun, hampir selalu mereka dapat merespon
dengan jawaban “ya” dan menatap wajah kami, meskipun tidak selalu
instruksi kami dilakukan secara benar dan tepat. Seringkali kami harus
berkali-kali melakukan hal yang sama untuk sebuah instruksi, namun
kami yakin bahwa proses pelatihan yang konsisten akan memberikan
hasil yang baik.
Kekanak-kanakan dan Kebodohan

Seiring dengan pertambahan usia anak, para orang tua perlu


membedakan latar belakang ketidak-taatan yang dilakukan anak;
apakah karena sifat kekanak-kanakan (usia masih terlalu muda untuk
mengerti instruksi yang diberikan) atau karena kebodohan (hati yang
memberontak)

Kekanak-kanakan adalah tindakan yang menunjukkan kepolosan


(belum mengerti), kesalahn yang tidak disengaja dan tidak ada niat
memberontak.

Kebodohan adalah kekerasan hati dan pemberontakan, baik secara


terang-terangan maupun tidak; artinya ia mengerti kesalahannya dan
dengan sengaja melakukannya lagi. Tahap-tahap tindakan koreksi
yang sebaiknya dilakukan orang tua akibat ketidak-taatan karena
kebodohan misalnya: kata-kata peringatan, isolasi atau time-out, dan
kehilangan hak atau kesempatan.

Penting diingat para orang tua bahwa tujuan dari koreksi dan tindakan
disiplin adalah agar hati anak berubah, sehingga kebodohan dan
ketidak-taatan tidak menetap dalam hatinya dan tidak terulang
kembali. Faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan orang
tua dalam memberikan koreksi dan tindakan disiplin kepada anak usia
batita: frekuensi pelanggaran dalam periode tertentu, jenis dan alasan
pelanggaran anak, konteks kejadian, serta umur dan tipe kepribadian
anak.
Sikap orang tua saat melakukan tindakan koreksi dan disiplin kepada
anak perlu hati yang tenang dan berhikmat, dan tegas serta mantap.
Kegagalan utama orang tua di dalam melatih anak-anak adalah cepat
menyerah dan tidak tegas.

Kesimpulan

Mengajar dan melatih ketaatan kepada anak-anak dapat dirangkum


menjadi dua konsep sederhana berikut: 

Ketaatan adalah sebuah berkat.

Ketaatan bukan lah sesuatu yang membawa kesulitan di dalam hidup


manusia, malah sebaliknya, ketaatan selalu di dalam kebenaran selalu
menghasilkan sukacita, damai, dan kebebasan.

“Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh,
memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu
tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya.
Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum
TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada
banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan
dari sarang lebah. Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan
orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.”
(Mazmur 19:8-12)

Ketaatan adalah sebuah respon


Tidak hanya ketaatan mendatangkan suatu berkat, namun ketaatan
juga selalu menjadi sebuah respon. Kasih karunia Allah tidak
menghilangkan pentingnya ketaatan, melainkan memberikan kita
dorongan untuk memilki respon taat. Kita adalah penerima kasih
karunia dan anugerah Allah tanpa syarat, dan satu-satunya respon
yang perlu kita miliki adalah dengan taat kepada Allah yang telah
menyelamatkan hidup kita.

“Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia
mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keingina duniawi
dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang
ini dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan
penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus,
yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala
kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya
sendiri, yang rajin berbuat baik.” (Titus 2:11-14)

Mengajar dan melatih ketaatan kepada anak-anak bukanlah


pekerjaan mudah dan singkat; sangat dibutuhkan waktu dan proses
terus-menerus tanpa lelah. Tidak ada satu pun rumus singkat untuk
menghasilkan anak-anak yang taat secara langsung dan cepat. Namun

“Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan


mendatangkan sukacita kepadamu.”
(Amsal 29:17).

Referensi:
“Preparation for The Toddler Years” oleh Gary Ezzo & Anne Marie
Ezzo via Modul Training Early Childhood by Parenting Life Team 2010

“Preparation for Parenting” oleh Gary Ezzo & Anne Marie Ezzo via Modul
Training Early Childhood by Parenting Life Team 2010

Modul Training Early Childhood by Parenting Life Team 2010

Artikel “What does Obedience Have to Do with Freedom” oleh Ruth Schwenk via


Mom Heart

Artikel “Heartfelt Discipline – And a Giveaway!“ oleh Sally Clarkson via I Take


Joy

Artikel “The Balance between Grace and Discipline” oleh Sally Clarkson via I


Take Joy

“Raising Godly Tomatoes” oleh Elizabeth Krueger via Godly Parenting Groups
Atalya:
Mata Rantai Dosa
TABITA DAVINIA UTOMO

Halo, Pearlians! Bagaimana kabarnya? Masih bersemangat berjuang


menggapai mimpi-mimpi kita? Nah, kali ini kita akan belajar dari
seorang wanita yang sangat berpengaruh di zamannya. Bukan hanya
sebagai seorang istri dan ibu, tapi juga bagi cucu dan… seluruh
bangsanya! Ada yang tahu siapa dia? Well, the clue is… dia adalah
satu-satunya ratu yang pernah memerintah di sepanjang sejarah
kerajaan Yehuda dan Israel.

Wanita itu bernama Atalya, anak perempuan Ahab, raja Israel.


Kisahnya bisa kita temukan di 2 Raja-raja 8:26; 2 Raja-raja 11; 2
Tawarikh 22; 2 Tawarikh 23:13-21; 24:7. Seperti yang kita tahu,
Ahab dan Izebel, istrinya, telah membuat Israel sampai ke titik
kebobrokannya. Pada masa pemerintahan Ahab, ia membuat bangsa
Israel menyembah berhala dan mengakibatkan Tuhan murka—
sampai-sampai hujan tidak turun selama 3,5 tahun.

Atalya yang dibesarkan dengan orang tua seperti Ahab dan Izebel,
tumbuh pula menjadi wanita yang tidak mengenal Allah. Yuk, kita
belajar dan berefleksi dari empat peran buruk Atalya yang dicatat
dalam Alkitab!

1. ATALYA SEBAGAI ISTRI


Dengan membawa didikan mengenai penyembahan berhala dari
orangtuanya, Atalya pun memengaruhi Yoram—suaminya sekaligus
raja Yehuda—untuk memimpin kerajaan Yehuda dalam penyembahan
berhala. Padahal, Yoram adalah salah satu keturunan Daud, yang
seharusnya menjaga integritasnya untuk hidup dalam kehendak
Tuhan. Tapi Alkitab mencatat,

Ia (Yoram) hidup menurut kelakuan raja-raja Israel seperti yang dilakukan keluarga
Ahab, sebab yang menjadi istrinya adalah anak Ahab. Ia melakukan apa yang jahat
di mata TUHAN.
(2 Raja-raja 8:18 - TB)

Selama ini, kita mendengar bahwa seorang istri dapat memberikan


dampak yang besar terhadap kehidupan suaminya. Tapi kali ini,
Alkitab memberikan data akurat bahwa pengaruh seorang istri bisa
menjadi salah satu sumber kejatuhan suaminya dalam dosa. Seorang
istri dapat menjadi sarana bagi suaminya untuk mendekat kepada
Tuhan, atau justru menjauh dari-Nya.

Untuk menegaskan hal ini, berabad-abad kemudian, Petrus


menuliskan tentang bagaimana seorang istri harus bersikap, bahkan
saat suaminya tidak taat pada Firman Tuhan,
“Begitu juga kalian, istri-istri, harus tunduk kepada suami supaya kalau di antara
mereka ada yang tidak percaya kepada berita dari Allah, kelakukanmu dapat
membuat mereka menjadi percaya. Dan tidak perlu kalian mengatakan apa-apa
kepada mereka, sebab mereka melihat kelakukanmu yang murni dan saleh.”
(2 Petrus 3:1-2 - BIMK)

Dari peran pertama ini, kita bisa crosscheck dan bertanya ke diri kita
masing-masing. Apakah sebagai istri atau calon istri kita:

• Rindu agar kehidupan suami mengalami pertumbuhan, baik


secara iman dan karakter?

• Mendorong suami untuk bertumbuh bersama; baik melalui saat


teduh, komunitas pertumbuhan iman, dsb.?

• Mendorong suami untuk terlibat dalam pelayanan; baik di


gereja maupun di luar gereja—disertai pemahaman bahwa
melayani Tuhan bertujuan untuk memuliakan-Nya?

bukan hanya “memerintah” suami untuk melakukan ini atau itu,


melainkan juga bersedia untuk mengalami proses pertumbuhan iman
dan karakter di dalam Tuhan bersamanya—maupun tidak?

2. ATALYA SEBAGAI IBU

Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun
lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri. Ia
pun hidup menurut kelakuan keluarga Ahab, karena ibunya menasihatinya untuk
melakukan yang jahat. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN sama
seperti keluarga Ahab, sebab sesudah ayahnya mati, mereka (keluarga Ahab)
menjadi penasihat-penasihatnya yang mencelakakannya.
(2 Tawarikh 22:2-4 - TB)

Sejahat-jahatnya seorang ibu, pasti dia ingin anaknya mendapatkan


yang terbaik, bukan? Tapi sepertinya, apa yang Atalya lakukan ini
benar-benar di luar logika manusia dan tidak memiliki hati nurani.
Terlepas dari obsesinya untuk jadi ratu—lalu membunuh semua
calon penerus kerajaan Yehuda—pola asuh (parenting) dengan cara
mengajarkan hal-hal jahat bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan
orangtua maupun keluarga besar lainnya.

Yang lebih “aneh” lagi, usia Ahazia saat menjadi raja sudah 42 tahun.
Bukan usia yang muda, namun bisa dimaklumi jika dia memerlukan
penasihat (yah, kita tahu bahwa memimpin sebuah negara/kerajaan
pasti butuh nasihat yang bijak karena menyangkut kepentingan banyak
orang). But at least, seharusnya Ahazia paham kalau apa yang ibunya
lakukan itu salah. Tidak dijelaskan apakah kejahatan yang Ahazia
lakukan ini juga karena ayahnya yang melakukan hal yang sama; tapi
ada kemungkinan demikian. Jika tidak, kenapa Ahazia tidak menolak
usulan ibunya saat keluarga Ahab (yang notabene adalah musuh
kerajaan Israel waktu itu) menjadi penasihatnya?

Selain kepada suami, seorang wanita juga memiliki pengaruh besar


dalam kehidupan anaknya.

Dear mommies and mommies soon to be, mati kita periska diri kita, apakah
kita:

• Rindu agar anak kita mengalami pertumbuhan dalam Tuhan


secara pribadi, khususnya dalam iman dan karakter?
• Tidak segan menegur anak kita ketika dia melakukan
kesalahan, tentunya dengan cara yang bijak dan tidak asal
marah?
• Bersama suami – atau anggota keluarga lain bagi yang single
parents, berjuang mendidik dan memberikan teladan pada anak
untuk hidup dalam kebenaran Firman Tuhan?
• Mendorong anak untuk terlibat dalam pelayanan, disertai
pemahaman bahwa melayani Tuhan bertujuan untuk
memuliakan-Nya, bukan hanya sekedar kesibukan?
• Menjadi teladan dalam disiplin rohani, kepekaan iman, dan
aspek-aspek kerohanian maupun karakter lainnya?

3. ATALYA SEBAGAI NENEK


Saya yakin siapapun pasti ingin melihat keturunan-keturunan
berikutnya selagi bisa, dan berusaha mendidik mereka untuk hidup
dalam Firman Tuhan. Tapi Atalya melakukan sesuatu yang anti
mainstream dan bahkan brutal, yaitu membunuh semua calon penerus
tahta kerajaan Yehuda demi obsesinya untuk jadi ratu. Meskipun
Yoas, anak Ahazia yang luput dari pembunuhan itu, terselamatkan,
namun peran Atalya sebagai nenek menunjukkan bahwa dia gagal
menjalankan peran sebagaimana seharusnya (2 Tawarikh 22:10-12).

Inti pertanyaan refleksi di bagian ini sama dengan bagian sebelumnya,


tapi yuk, kita juga berdoa bagi anak kita agar dia dan pasangannya
dapat mendidik cucu kita kelak untuk bertumbuh dalam Firman
Tuhan. Selagi masih ada kesempatan, kita juga bisa menolong cucu
kita dengan cara menceritakan pengalaman iman kita.
4. ATALYA SEBAGAI RATU/PEMIMPIN
Obsesi Atalya untuk menjadi ratu membuat bangsa Yehuda ketakutan.
Mereka takut melanggar perintahnya, tapi juga tidak tahu harus lari
ke mana. Bukankah sebenarnya ini adalah bentuk kegagalan seorang
pemimpin dalam menjadi “penjamin keamanan” bagi rakyatnya?

Menjadi pemimpin di sini bukan hanya soal memerintah sebagai


pemimpin negara, melainkan bagaimana kita memimpin anak-anak
rohani kita untuk bertumbuh dan berbuah di dalam Tuhan. Saya pun
harus mengakui kalau saya belum menjadi pemimpin yang baik bagi
anak-anak rohani saya. Tapi di sisi lain, saya juga tidak mau menjadi
pemimpin yang gagal seperti Atalya.

Pearlians, bagi kamu yang dipercaya untuk menjadi pemimpin


dalam sebuah perusahaan, yayasan, atau apapun itu, yuk kita belajar
bersama menjadi teladan iman bagi orang-orang di sekitar kita.
Berapapun usia dan apapun latar belakang kita, biarlah mereka dapat
menemukan Kristus dalam kehidupan kita dan memuliakan-Nya.

***

Kisah Atalya ini sesungguhnya menggambarkan sebuah pola tentang


dosa yang diwariskan hingga ke generasi selanjutnya. Dimulai dari
Ahab dan Izebel, kemudian Atalya dan suaminya, bahkan hingga ke
anak-anak dan cucu mereka. Dosa di dalam keluarga mereka seakan
menjadi rantai yang mengikat, dimana setiap orang di dalamnya
adalah mata rantainya. Tapi sebenarnya, alih-alih menjadi mata rantai
yang melanjutkan kehancuran bagi keluarga dan bangsanya, Atalya
punya pilihan untuk berbalik dan memutus rantai dosa. Sebenarnya
dia bisa menjadi seperti Yosia – raja Yehuda yang memutus rantai dosa
penyembahan berhala di keluarga dan bangsanya, meskipun hal itu
tidak dilanjutkan oleh keturunannya (2 Raja-Raja 22:1-20 dan 23:1-
30). Kakek dan ayah Yosia, Manasye dan Amon, melakukan hal-hal
yang jahat di mata Tuhan, tapi Yosia justru melakukan apa yang benar
dengan menghancurkan bukit-bukit pengorbanan, tiang-tiang berhala,
patung-patung pahatan dan patung-patung tuangan di Yehuda.
Yosia menjadi mata rantai yang berbeda dari kakek dan ayahnya dan
bahkan melakukan reformasi rohani bagi bangsanya.

Sebagai saluran berkat dan refleksi kasih Allah, mari kita menjadi
mata rantai yang meneruskan teladan Kristus dalam segala aspek dan
peran kita di dunia ini.
Nyanyian Pujian
Hana
NATALIA SETIADI

Ada 2 orang Hana yang lumayan terkenal di Alkitab.

Yang satu adalah Hana sang nabiah lanjut usia di Injil Lukas (Lukas
2:36-38).

Hana yang kedua kayaknya lebih terkenal, yaitu mamanya Samuel di


Perjanjian Lama.

Hana yang ingin saya bahas adalah Hana, ibu dari nabi Samuel.
Pendeta J. Ichwan dalam khotbahnya di gereja saya Minggu lalu
membahas tentang pujian Hana, makanya saya jadi ingin menggali
lebih dalam di sini.
Seperti yang telah kita semua ketahui, Hidup Hana sangat menderita,
seperti kisah tokoh protagonis di sinetron atau drama Korea. Dia
dimadu, di-bully oleh istri muda suaminya yang bernama Penina,
karena Hana tidak bisa punya anak sedangkan Penina punya banyak
anak. Alkitab berkata, Elkana, suami Hana, mengasihi Hana. Jadi,
kemungkinan Elkana nikah lagi sama Penina bukan karena cinta, tapi
karena tekanan budaya Israel pada masa itu, yaitu harus memiliki
keturunan.

Sayangnya, Elkana tidak mengerti penderitaan istrinya yang disebut


MANDUL atau bahasa modern-nya infertil. Salah seorang temen baik
saya bergumul dengan masalah yang sama, yaitu infertilitas. Dan
pergumulan tentang masalah ini bukan main, berat banget. Buat
budaya Indonesia aja kayanya sudah berat karena tuntutan dan hobi
orang Indonesia buat tanya2 nyinyir, seperti “Kapan merit?”, “Kapan
punya anak?”, “Kok belom hamil-hamil? Ayo cepetan bikin anak
dong...”, atau “Kapan punya anak kedua, anak pertama udah gede
gitu...” dst.

Seolah-olah punya anak itu semudah buang air besar. Padahal buang
air besar aja tidak bisa sesuka hati kita kan?

Simak kata Elkana,

“Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan?
Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu daripada sepuluh
anak laki-laki?”
1 Samuel 1:8.

Waduh, tidak peka sekali Elkana ya... biarpun cinta, tapi Hana
memiliki perasaan ingin diakui dan diterima sebagai wanita. Pada
zaman Perjanjian Lama, istri sebaik apa pun kalua tidak punya anak
bisa-bisa dikira, “jangan2 ada dosa tuh” atau “mungkin ada sesuatu
yang membuat Tuhan menutup kandungannya”. Alkitab penuh
dengan banyak kisah perempuan yang mandul, yang pada akhirnya
bisa memiliki anak secara mukjizat, sebut saja Sara isteri Abraham,
Ribka isteri Ishak, perempuan kaya di zaman nabi Elisa.

Jadi, Hana pun depresi. Benar-benar depresi. Ini kesimpulan pribadi


dari saya, karena baca beberapa gejalanya: banyak nangis, tidak mau
makan, selalu merasa sedih.

Suatu ketika setelah Hana di-bully lagi sama Penina, Hana tidak mau
makan lagi, lalu kabur dari keluarganya yang sedang berkumpul
setelah ibadah. Hana lari ke depan pintu Kemah Pertemuan (atau Bait
Suci). Di situ Hana berdoa sampai nangis dan sampai bernazar segala
bahwa kalau sampai diberikan anak, Hana akan menyerahkan anak
itu buat jadi hamba Tuhan. Demikian Hana berdoa sambil nangis
berurai air mata. Saya menduga itu nangisnya walaupun tidak keluar
suara, cukup heboh dan mungkin sedikit mengarah ke arah histeris
dengan gaya yang menarik perhatian orang lain. Soalnya imam Eli
yang sudah tua dan matanya mungkin mulai rabun, yang sedang
duduk di pintu Bait Suci saja memperhatikan Hana sambil nge-judge,
bahwa Hana itu pasti perempuan mabok! Sedemikian intens-nya
kesan itu, sampai imam Eli menegur Hana, supaya bertobat dari
kebiasaan maboknya!

Ingat, bahwa imam Eli ini anak-anaknya yang pada dursila aja
tidak dia tegur? Mungkin Eli lebih gampang menegur jemaat, entah
bagaimana, yang jelas imam Eli sampai menegur Hana supaya
bertobat, saya yakin tangisan dan doa Hana bukan nangis dan doa
biasa.

Setelah Hana mencurahkan isi hatinya kepada Eli, lalu Eli mendoakan
Hana, dan Hana mendapatkan janji Tuhan bahwa dia akan dapat
anak. Wuah! Ini baru BIG NEWS!!

Alkitab tidak merinci berapa tahun Hana berdoa dan berusaha


mendapatkan anak, tapi mungkin cukup lama, karena istri muda
suaminya aja saat itu udah punya beberapa orang anak. Hana
langsung gembira luar biasa, dan langsung mau makan.

Anyway, singkat cerita, Hana kemudian melahirkan baby Samuel. Oh


what joy!

Setelah menikah dulu, kami menunggu setengah tahun lebih untuk


memiliki anak. Saya sih biasa-biasa aja, karena memang mau
beradaptasi dulu dengan hidup berumah tangga, baru dipusingkan
soal anak. Tapi suami udah tidak sabar ingin segera punya anak.
Jadi lumayan beberapa bulan dilalui dengan berdoa meminta anak,
merasakan kecewa saat periksa ternyata tidak hamil atau tidak datang
bulan tapi ternyata Cuma karena terlambat alias tidak hamil. Saat
tahu hamil, wah rasanya susah dilukiskan dengan kata-kata. Campur
aduk antara senang, excited, waswas, khawatir, bersyukur, dll.

Bagi Hana, campur aduknya pastinya lebih ya, ada rasa lega, puas,
bangga, penuh syukur, sukacita, khawatir dan waswas yang normal
sekaligus yang “abnormal”, akibat ingat nazarnya dulu kepada Tuhan,
yaitu bahwa anak itu nanti harus diserahkan kepada Tuhan.

Mengetahui betapa singkatnya waktu yang Hana punya bersama bayi


yang sudah sekian lama dinanti-nantikannya itu, tentunya di bawah
tekanan tersendiri ya. Alkitab tidak mencatat apakah Hana mengalami
keraguan dalam menepati nazarnya ini. Tapi kalua dilihat keseluruhan
kisah Hana di kitab Samuel, keliatannya Hana sungguh-sungguh
teguh dalam pendiriannya tentang penyerahan Samuel kepada Tuhan.
Maka, Hana pun mengasuh Samuel sampe Samuel cerai susu, alias disapih. Saya
enggak tau umur berapa biasanya anak-anak Israel pada zaman itu disapih, tapi
saya perkirakan mungkin sekitar umur 2-3 tahun ya. Soalnya Alkitab sendiri
berkata demikian, “Setelah perempuan itu menyapih anaknya, dibawanyalah dia,
... lalu diantarkannya ke dalam rumah TUHAN di Silo. Waktu itu masih kecil
betul kanak-kanak itu.” 1 Samuel 1:24

Bagaimana rasanya harus nyerahin anak balita kita begitu aja ke


tangan orang lain? Memang teorinya diserahkan ke tangan Tuhan,
tapi kenyataannya, anak kita diserahkan dan diasuh oleh imam Eli ya,
yang udah mulai tua, apalagi kita tahu bahwa Imam Eli kurang bisa
membimbing anak-anaknya sendiri.

Baca deh kisah anak-anak imam Eli yang dursila di 1 Samuel 2:12-17
dan 1 Samuel 2:22-25.

Dan Tuhan menyinggung tentang gaya parenting-nya imam Eli:


“Sebab telah Kuberitahukan kepadanya bahwa Aku akan menghukum keluarganya
untuk selamanya karena dosa yang telah diketahuinya, yakni bahwa anak-anaknya
telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka!”
1 Samuel 3:13

Pada saat Samuel diserahkan kepada Tuhan, anak-anak imam Eli


mungkin belum sebobrok seperti yang dikatakan di 1 Samuel 2. Tapi
tentunya sudah terlihat potensi kedursilaan mereka yang membuat kita
mengelus dada: mengambil bagian terbaik korban persembahan yang
seharusnya untuk Tuhan, sampai meniduri perempuan-perempuan
yang melayani di Kemah Pertemuan.

Pastinya kebejatan seperti ini tidak terbentuk dalam sebulan dua


bulan, tapi makan waktu bertahun-tahun.
Bagaimana ya perasaan Hana saat ingin menyerahkan Samuel ke
tangan imam Eli?

Her precious little Samuel, yang diminta dengan doa bertahun-tahun,


depresi bertahun-tahun, bergalon-galon air mata, dan nazar yang
menyayat hati.

Sebuah ketaatan pada Tuhan dan langkah iman yang luar biasa!

Saya mencoba membayangkan bagaimana kalau saya harus


menyerahkan anak saya. Wah... membayangkannya saja membuat
ingin menangis, apalagi melakukannya.

Saya yakin hati Hana juga sangat sedih dan pasti Hana selalu
memikirkan Samuel-nya itu. Hana sangat mengasihi dan mencintai
Samuel, terbukti dari setiap tahun Hana membuatkan jubah untuk
Samuel dan setiap tahun Hana menjenguk Samuel lalu memberikan
jubah yang dibuatnya itu (1 Samuel 2:19).

Hanya setahun sekali bertemu Samuel, tetapi Hana bisa tahu dengan
tepat ukuran jubah yang harus dibuat untuk Samuel.

Lalu bagaimana caranya supaya Samuel hidup tanpa luka hati karena
“dibuang” orangtuanya (walaupun diserahkan kepada Tuhan)? Anak
saya saja merasa sedih jika papanya sibuk sampe 2-3 hari tidak bisa
bertemu. Bagaimana dengan Samuel yang sejak balita diserahkan ke
orang lain? Pastinya ini bukan perkara yang kecil.

Dan Hana bilang apa sebagai kalimat terakhir sebelum meninggalkan


Samuel pada imam Eli?
“Maka aku pun menyerahkannya kepada TUHAN; seumur hidup terserahlah
ia kiranya kepada TUHAN.” Lalu sujudlah mereka di sana menyembah kepada
TUHAN.
1 Samuel 1:28

Ayat di atas adalah ayat terakhir dalam 1 Samuel pasal 1.

Setelah itu, tidak ada lagi cerita tentang Hana yang sedih.

Bersambung langsung ke pasal 2, yang diberi judul “Puji-pujian


Hana”.

Dimulai dengan

“Lalu berdoalah Hana, katanya: “Hatiku bersukaria karena TUHAN, tanduk


kekuatanku ditinggikan oleh TUHAN; mulutku mencemoohkan musuhku, sebab
aku bersukacita karena pertolongan-Mu.”
1 Samuel 2:1

Pujian ini berlanjut sampe 10 yang berisi puji-pujian kepada Tuhan


dan betapa Hana kagum akan kehebatan Allahnya.

Sangat mengagumkan.

Bagaimana bisa dan mengapa Hana bisa memuji setelah menyerahkan


anaknya?

Karena Hana mengingat kebaikan Allah, mengingat apa yang sudah


Allah lakukan untuknya, yaitu anak yang dirindukannya.
Wow!

Sungguh sikap hati yang luar biasa!

Di saat-saat paling menyedihkan dalam hidupnya, alih-alih berkubang


galau dan bermuram durja atau mengasihani diri sendiri, Hana
mengingat kebaikan Allah. Hana menghitung berkatnya, mengingat
apa yang Tuhan sudah berikan untuknya.

Hana bisa memuji Tuhan di tengah kesedihan yang mendera.

Another interesting point, kelihatannya Hana sudah banyak bertumbuh


secara rohani dalam tahun-tahun dia mulai dari dia mengandung,
melahirkan, dan mempersiapkan diri untuk menyerahkan Samuel.

Dulu Hana adalah seorang yang tertekan, yang bisa dilakukannya


adalah menangis dan berdoa sampai dikira sebagai orang mabuk,
tapi sekarang Hana bisa memuji Tuhan meskipun dia baru saja
menyerahkan permata hatinya satu-satunya.

Semoga dengan kisah Hana ini, pembaca juga terinspirasi, untuk tetap
ingat memuji Tuhan baik di saat hidup sedang dalam keadaan baik
maupun dalam keadaan tidak baik karena kita mengingat kebaikan
Tuhan dan pemeliharaan Tuhan yang terus menerus tanpa henti, baik
di saat hidup kita baik maupun terlihat tidak baik.
Let Your Curse
be on Me
GRACE SURYANI HALIM

Kemarin saat F2 (Family Fellowship), dan membahas Kejadian 27, ada


satu ayat yang nancep cep cep di hati gue. Ayatnya bunyinya begini:

Tetapi ibunya berkata kepadanya: “Akulah yang menanggung kutuk itu, anakku;
dengarkan saja perkataanku, pergilah ambil kambing-kambing itu.”
Kejadian 27:13

So, ayat ini diambil ketika Ishak mau memberkati Esau lalu menyuruh
Esau membuat masakan daging kesukaannya. Lalu, terdengarlah oleh
Ribka dan Ribka buru-buru bilang sama Yakub supaya Yakub ‘pura-
pura’ jadi Esau. Nah, selama ini gue pikir Yakub sama dengan orang
yang engga sabar yang berusaha mengambil hak kesulungan dengan
caranya sendiri. Yakub berusaha menggenapi janji Tuhan pakai cara
dan kekuatannya sendiri. Tapi tuh kalo dibaca dengan teliti, ternyata
kejadiannya tuh kayak begini.

Berkatalah Ribka kepada Yakub, anaknya: “Telah kudengar ayahmu


berkata kepada Esau, kakakmu: Kej 27:7 Bawalah bagiku seekor
binatang buruan dan olahlah bagiku makanan yang enak supaya
kumakan, dan supaya aku memberkati engkau di hadapan TUHAN,
sebelum aku mati. 27:8 Maka sekarang, anakku, dengarkanlah
perkataanku seperti yang kuperintahkan kepadamu. 27:9 Pergilah ke
tempat kambing domba kita, ambillah dari sana dua anak kambing
yang baik, maka aku mengolahnya menjadi makanan yang enak
bagi ayahmu, seperti yang digemarnya. 27:10 Bawalah itu kepada
ayahmu, supaya dimakannya, agar dia memberkati engkau sebelum
ia mati.” 27:11 Lalu kata Yakub kepada Ribka, ibunya: “Tetapi Esau,
kakakku, adalah seorang yang berbulu badannya, sedang aku ini
kulitku licin. 27:12 Mungkin ayahku akan meraba aku; maka nanti ia
akan menyangka bahwa aku mau memperolok-olokkan dia; dengan
demikian aku akan mendatangkan kutuk atas diriku dan bukan
berkat.”

So, ternyata oh ternyata siapa yang membuat rencana untuk menipu


Ishak?? Yakub?? BUKAAAN!! Tapi RIBKA, mamanya! Yang pertama
kali punya ide menipu itu bukan Yakub! ALAMAKKK … salah dong
gue selama ini. Yang pertama kali punya ide itu si Ribka.

Ketika Yakub mencoba untuk ‘mengelak’, “Mak, koko gue tuh


bulunya banyak. Kagak kayak gue licin tak berbuluuu. Klo ntar
ketauan Babe, terus gue malah dikutuk gimana dong mak?! Bahaya
atuhhh.”

Nah, saat itulah Ribka buru-buru bilang, “Udeh kutukannya ntar


makyang tanggung. Lu kagak usah banyak cingcong, nak. Cepetan tuh
ambil itu kambing.”

Nah, sebagai young mother, ayat itu nuancep banget ke gue, karena
sekarang tuh gue mengerti sedikit dari maksudnya si Ribka. Kalo
gue dapet nubuatan tentang anak gue, gue rasa, gue juga bakal mati-
matian berusaha untuk genapin tuh nubuatan. Dan sebagai seorang
ibu, mungkin gue bakal mikir kayak Ribka, “Udeh ntar biar gue yang
tanggung harganya. Dikutuk dikutuk dah, yang penting tuh anak gue
dapet noh berkatnye.”

But, kita semua taulah ya, sekalipun akhirnya Ishak memberkati


Yakub tapi itu engga berarti engga ada konsekuensinya. Dan kata
siapa cuman Ribka yang ‘menanggung’ kutukan? Yakub juga lagiii
… Engga bisa ketemu mama tercinta sampe akhir hayatnya, terus di
rumah pamannya si Laban dipaksa kerja rodi 7 tahun, dibohongi pula.
Terus sewaktu sudah tua gantian dibohongi sama anak-anaknya.

Kata siapa cuma mamanya yang tanggung?

Hati gue jadi gentar tuh. Gue doa, “Tuhan pleaseee tolonggg
jangan sampe gue bersikap seperti Ribka. Tolong jaga gue biar gue
engga berusaha untuk ‘membuat kutukan’ dan sok jadi pahlawan
menanggung kutukan tersebut. Kagak sanggup aye. Aduh Tuhan,
tolooonggg … engga sanggup jadi seorang ibu kalo engga Tuhan
tolong. Karena gue ngerti banget kenapa Ribka bersikap begitu dan
bukan engga mungkin suatu hari nanti gue begitu. Karena ituuu
tolonggg kalo mau kejadian tolong ingetin!”

Gue jadi diingetin sebagai ibu, gue harus ati-atiii banget. Jangan
sampe gue berusaha buat jadi ‘Tuhan’ buat anak gue. Jangan sampe
gue berusaha untuk menggenapi rencana Tuhan buat anak-anak gue
pake cara gue sendiri.

Hal kedua yang gue pelajari dari ayat itu adalah soal ketaatan. Sebagai
ibu baru, yah jujur aje guys, salah satu cita-cita gue adalah punya anak
yang nurut. Siapa coba ibu yang engga mau punya anak yang nurut?
Semua pasti mauu … dan gue sadar bahwa Tuhan tuh kasih otoritas
kepada orangtua atas diri anak-anaknya, so, gue tau gue berkewajiban
untuk mendidik anak-anak gue jadi anak yang nurut kepada Tuhan
dan kepada orangtua.

TAPIII … abis baca itu ayat, gue jadi sadar engga cukup didik anak
supaya nurut sama gue. Nih yah, itu ayat bahasa inggrisnya bunyinya
kayak begini:
But his mother said to him, “Let your curse be on me, my son; only obey my voice,
and go, get them for me.”

Dan Yakub anak yang taat engga ya? Taat loh, soalnya ayat berikutnya
berbunyi demikian,

“So he went and got them and took them to his mother.”

Jadi sehabis Ribka bilang, “Taati aku nak!,” Yakub taat. Dia turutin
tuh semua perintah mamanya. Dia ambil tuh kambing dan bawa ke
Ribka.

Di sini gue baru ngeh. Gak cukup gue didik anak gue taat sama gue.
Di atas itu gue kudu didik anak gue untuk TAAT sama Babe, biar
ketika mungkin suatu hari nanti gue meminta dia melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Firma Tuhan, anak gue cukup punya
nyali untuk bilang, “Sorry mom, but I can’t obey you on this. Ini melanggar
Firman Tuhan, mom.”
Karena gue sadar gue tuh manusia biasa. Dan berlumuran dosa (ceila
hehehe), dan sekalipun gue berusaha untuk hidup dekat Tuhan dan
tahu bahwa gue dibenarkan oleh Kristus tetep saja sangat mungkin
ada kalanya gue jatuh. Sangat mungkin gue sesekali berdosa dan
mungkin tanpa gue sadari mau nyeret anak-anak gue ikut berdosa
juga (amit-amit … sekiranya mungkin jauhkanlah itu daripadaku), dan
ketika itu terjadi gue berharap anak-anak gue engga blindly obey me, tapi
berani untuk berdiri di atas Firman Tuhan dan meninggalkan their old
mom :p (dan, Be, tolong kalo sekiranya itu tadi toloonggg supaya gue
sadar dan sadar bahwa Tuhan itu sedang berbicara lewat anak-anak
gue, dan bukannya jadi bete).

By the way, kayaknya di artikel ini gue nulis banyak banget kata tolong
ya? Hehehe… Why? Yah karena jujur sejujur-jujurnya setelah 8 bulan
jadi ibu, rasanya banyak teori tentang parenting yang tadinya gue
pegang erat-erat hilang ditelan asap hahaha. Banyak cita-cita gue
tadinya mau begini mau begono jadi raib. Realitas ternyata kagak
segampang itu. Well, itu engga berarti terus I give up, but gue jadi sadar,
gue bener-bener teramat sangat banget-banget butuh yang namanya
God’s grace. Ya begitu deh, so bener-bener GOD HELP MEE! Hehehe.
Devotional
Pohon Ara dan
Salib Kristus
SARAH ELIANA

Zakheus ... orang pendek, kecil betul dia ... Teman-teman tau


lagu ini gak? Ini lagu sekolah minggu waktu gw kecil dulu.
Cerita Zakheus memang udah sering kita dengar dari jaman sekolah
minggu ... kita udah hafal ceritanya. Zakheus yg pendek mau melihat
Tuhan Yesus, tapi gak bisa karena terlalu ramai orang yg juga mau
melihat Yesus. Jadi, Zakheus memanjat pohon ara. Huebat! Waktu
Tuhan Yesus lewat di bawah pohon ara, Ia menengok ke atas, dan
mengajak Zakheus turun karena Ia mau ke rumahnya. Wuih ... hebat
euy! 

Maka berlarilah Zakheus mendahului banyak orang, 


lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ.
Lukas 19 : 4

Dulu waktu di sekolah minggu, gw cuman tau kalau si Zakheus itu


pendek, makanya harus manjat pohon biar bisa liat Tuhan Yesus.
Sekarang gw tau bahwa di Lukas 19:2, hal pertama yang ditulis
tentang Zakheus adalah pekerjaannya: kepala pemungut cukai,
dan bahwa ia seorang yang kaya. Teman-teman tentu tahu bahwa
pemungut cukai sangat dibenci oleh orang Israel pada jaman itu
karena mereka dianggap sebagai pengkhianat karena bekerja untuk
bangsa Romawi (yang notabene adalah penjajah Israel). Namun
demikian, menurut gw pribadi, kemungkinan besar pemungut cukai
dibenci karena mereka korupsi. Dari uang yang mereka terima,
banyak yang masuk ke kantong sendiri. Nah, si Zakheus ini bukan
hanya pemungut cukai, tapi KEPALA pemungut cukai. Otomatis
sebagai kepala pemungut cukai, si Zakheus ini pasti kaya banget donk?
Kalau ngebayangin Zakheus, gw ngebayangin orang dengan karakter
yang sangat jauh dari karakter anak Tuhan. Hobby korupsi. Penjajah
(ya iyalah penjajah, uang bangsa sendiri ditilep masuk kantong
pribadi!). Sombong (karenanya ia bisa dengan santai melahap uang
orang lain karena ia menganggap ia pantas mendapatkan uang itu). Ya
.. gak heran ia dibenci oleh bangsanya sendiri. 

Waktu di sekolah minggu, kita diajarkan bahwa untuk bisa melihat


Tuhan, kita harus seperti Zakheus yang berlari - lari dan berusaha
untuk mencari tempat supaya ia bisa mencapai dan melihat Tuhan.
Dulu waktu gw kecil, gw berpikir kalau gw mau masuk surga, gw
harus seperti Zakheus yang berlari - lari mendahului orang lain,
dan memanjat pohon. Kalau gw udah berusaha, maka Tuhan akan
melihat usaha keras itu, dan Dia akan mengijinkan gw masuk surga.
Theologi ngaco! Kenapa? Karena Efesus 2 :8-9 katakan: 

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman. 


Itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Tuhan. 
Itu bukan hasil pekerjaanmu, jangan ada oran yang memegahkan diri. 

Sekarang setelah dewasa, gw udah mengerti bahwa keselamatan


itu bukan karena perbuatan gw, bukan hasil usaha gw. Bahkan,
gw bisa beriman kepada Tuhan Yesus pun bukan karena usaha
gw sendiri, tetapi karena Tuhan Yesuslah yang mengadakan dan
menyempurnakan iman (Author & Perfecter of faith) (Ibrani 12 : 2). 

Anyway, tetapi yach cerita Zakheus ini sepertinya udah “jadul”.


Ah udah dengar berkali - kali! Bosan!!! Tapi, baru - baru ini gw
baca tentang pohon ara, dan JRENG! Mata gw dibukakan oleh
arti sesungguhnya dari kisah Zakheus dan pohon ara. Dulu yach
gak kepikiran kenapa kejadian tentang Zakheus ini diceritakan
dengan begitu detail sehingga nama pohonnya pun disebut - sebut.
Gak penting banget kan? Padahal Alkitab bisa saja menulis “Maka
berlarilah Zakheus mendahului banyak orang, lalu memanjat pohon
untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ”. Tidak mengubah isi
dan makna kisah Zakheus toh? Gak ada hubungannya dengan cerita
keselamatan Zakheus, bukan? Tapi ... ternyata, it has everything to do with
the story!!

Tau gak kalau pohon ara yang dipanjat Zakheus berbeda dengan


pohon - pohon ara lain yang disebutkan Alkitab? Dalam bahasa
Inggris, pohon ara yang dikutuk Tuhan Yesus di Markus 11:12-14
adalah “fig” (atau Ficus Carica), sementara pohon ara Zakheus adalah
Sycamore (atau Ficus Sycomorus). Sycamore ini satu spesies dengan fig,
tapi biarpun satu spesies pasti ada bedanya donk! Ara atau Fig yang
dikutuk oleh Tuhan Yesus bentuknya kayak gini nih: 
Nah, kalau ara atau sycamore yang pohonnya dipanjat Zakheus
bentuknya kayak gini nih;

Nah, biarpun sama - sama buah ara, tapi sycamore (yang


dipanjat Zakheus) adalah jenis yang lebih kasar dan lebih gak enak
dibanding Ficus Carica. Waktu gw baca tentang Sycamore, penulisnya
bilang bahwa Sycamore “has a disgusting sweetness taste”. Di Amos 7:14,
Amos berkata: 

Aku ini bukan nabi dan aku tidak termasuk golongan nabi, 
melainkan aku ini seorang peternak dan pemungut buah ara hutan.

Buah ara hutan yang disebutkan di sini adalah Sycamore, bukan buah
ara Ficus Carica. Di sini, kita melihat bahwa Amos merendahkan diri
dan berkata bahwa ia bukan nabi, bukan termasuk golongan yang
dihormati banyak orang. Ia seorang peternak, bahkan lebih rendah
dari seorang peternah, ia pemungut Sycamore. Di Israel jaman itu,
Sycamore hanya dimakan oleh orang - orang miskin atau bahkan jadi
makanan umpan babi peliharaan. Kita semua tau bahwa untuk
Bangsa Israel, babi termasuk binatang kotor dan haram. So, you see
... pohon ara alias Sycamore yang dipanjat Zakheus sebenernya adalah
pohon ara yang sangat inferior. Kebayang gak? Zakheus si orang
kaya ... si kepala pemungut cukai memanjat pohon yang buahnya jadi
makanan binatang haram. Perbuatan si Zakheus sebetulnya adalah
perbuatan yang sangat memalukan untuk orang Israel jaman itu.
Padahal buat apa dia panjat-panjat? Toh dia banyak uang ... kirim saja
salah satu budaknya untuk mengundang Yesus ke rumahnya, selesai
toh masalah? Sebegitu desperate-nya kah Zakheus sehingga ia rela
mengotorkan diri dan memanjat pohon yang inferior itu demi melihat
Yesus? 

Saat memikirkan itulah, Tuhan membantu gw utk melihat bahwa ada


satu hal lain yang juga inferior di mata manusia. Tau apa? Salib! Tau
gak kalau penyaliban adalah bentuk hukuman yang paling rendah dari
semua jenis hukuman di jaman Romawi? Penyaliban adalah bentuk
kematian yang paling memalukan. Di jaman itu, penyaliban adalah
bentuk hukuman yang dipakai untuk kriminal - kriminal rendahan:
budak, bajak laut, atau enemies of the state. Tapi, Yesus ... Raja segala
raja ... dibunuh dengan cara disalibkan! Yesus, yang dengan tangan-
Nya menciptakan langit, bumi dan seisi jagad raya rela merentangkan
tanganNya untuk dipaku dikayu salib yang tercela, dan meninggal
dengan cara yang memalukan. Mengapa? 

Karena Ia mengasihi engkau dan aku!! 

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia, hingga diberikannya


anakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya
tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
-Yohanes 3:16

Ayat yang saking seringnya kita baca sehingga kadang-kadang kita


gak sadar lagi betapa luas, dalam, dan lebarnya arti ayat ini. Tuhan
Pencipta langit dan bumi rela mati diatas kayu salib yang tercela ...
kematian yang sunguh amat memalukan! Kematian dengan cara
yang PALING tercela dan memalukan. Kita sering gak sadar betapa
luar biasanya karya dan arti penyaliban Tuhan Yesus. Kita beroleh
keselamatan itu dengan gratis. Kita hanya perlu berdoa, “Jesus, I believe
in You. Jesus, I believe that Your blood that was shed on the cross can wash away
all my sins. I am a sinner, please forgive me all my sins. Jesus, I accept you as
my personal Saviour. Come into my heart and reign as King.” Hanya dengan
berdoa seperti itu dengan hati yang jujur mau menerima-Nya sebagai
Juruselamat, maka kita diselamatkan, dibebaskan dari dosa, dan
diterima sebagai warna negara Kerajaan Surga! Tapi ... sayangnya,
saking mudahnya kita menerima keselamatan kekal itu, kita sering
lupa harga sebenarnya yang dibayar oleh Kristus! 

Oh ... that we all become like Zaccheus. You see, dengan memanjat pohon
sycamore itu, Zakheus merendahkan diri. Zakheus si kepala pemungut
cukai. Zakheus si orang kaya. Zakheus yang pasti punya banyak
pembantu dan budak untuk disuruh-suruh. Kenapa ia memanjat
pohon “najis” itu? Girls, lewat kisah Zakheus ini, semoga kita bisa
belajar bahwa untuk “melihat” Yesus, kita harus menyalibkan
kesombongan kita di salib Kristus. Tuhan mau merendahkan diri
serendah-rendahnya di hadapan salib Kristus dan meninggalkan
manusia lama kita untuk disalibkan. 

“Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan,
supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita
menghambakan diri lagi kepada dosa.”
-Roma 6:6

Tuhan mau kita sadar bahwa kita beroleh keselamatan dengan gratis,
tapi itu tidak berarti bahwa keselamatan itu murahan! Ada harga yang
harus dibayar untuk beroleh keselamatan. Yang pertama, saat Yesus,
Raja segala raja itu merendahkan diri dan mati untuk kita di atas kayu
salib yang hina. Yang kedua, kita juga harus rela merendahkan diri
dan menyalibkan manusia lama kita supaya kita tidak lagi menjadi
hamba dosa. 

Zakheus telah melakukan hal-hal najis, saking najisnya sampai-sampai


ia dibenci bangsanya sendiri, tapi karena ia rela merendahkan diri dan
rela ‘menyalibkan’ manusia lamanya, rela bertobat di hadapan Kristus,
Ia pun diselamatkan. 

Kata Yesus kepadanya: 


“Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang
inipun anak Abraham”. -Lukas 19:9

Tuhan mau kita seperti Zakheus yang merendahkan diri dan melihat


ke kayu salib yang hina itu, dan “memanjatnya”, menyalibkan
manusia lama kita disitu karena dikayu salib itulah kita dicuci dan
dikuduskan oleh darah sang Raja segala raja yang kudu. Sama
seperti Zakheus yang arti namanya adalah “suci, pure”, kita pun akan
diselamatkan dan disucikan. 

Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat


Tuhan.
-Matius 5:8
Pelecehan Seksual
dalam Alkitab
MEKAR ANDARYANI PRADIPTA

Baru-baru ini, lebih dari 300 aktris, penulis skenario dan sutradara di
Hollywood ikut serta dalam gerakan Time’s Up. Kampanye ini adalah
usaha untuk memerangi pelecehan seksual yang kerap terjadi di dunia
kerja, terutama di dunia hiburan. Kemunculan Time’s Up dipicu oleh
dari beberapa aktris mengenai pelecehan seksual yang dilakukan oleh
produser film Harvey Weinstein.

Pelecehan seksual memang bukan topik yang kerap dibahas secara


terbuka. Para korban Harvey Weinstein pun butuh waktu bertahun-
tahun sampai mereka punya keberanian untuk bicara. Pada akhir
2017 yang lalu, hashtag #MeToo muncul di Twitter untuk mendorong
korban pelecehan seksual membagikan apa yang mereka alami. Tidak
hanya itu, majalah Time edisi Desember 2017 memuat profil tokoh-
tokoh yang berbicara melawan pelecehan seksual, menjuluki mereka
sebagai “The Silence Breakers” dan mengangkatnya sebagai Person of the
Year 2017.

Kondisi dan gerakan sosial seperti ini seharusnya juga masuk


dalam radar gereja, jika memang gereja ingin menjadi jawaban
yang dibutuhkan dunia. Di Indonesia sendiri misalnya, survey yang
dilakukan oleh Komnas Perempuan menunjukkan adanya peningkatan
jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada tahun
2014, tercatat 4.475 kasus, di tahun 2015 tercatat 6.499 kasus dan
tahun 2016 telah terjadi 5.785 kasus. Tentu saja jumlah ini hanyalah
puncak dari gunung es, karena tidak semua kasus pelecehan seksual
dilaporkan ataupun diketahui.

Kondisi ini mungkin membuat kita bertanya, dimana peran gereja?


seberapa sering topik ini dibahas di dalam gereja? Seberapa kuat
gereja memperlengkapi diri untuk menjadi pelayan para korban
pelecehan seksual? Tentu hal ini menjadi bahan renungan yang
relevan saat ini.

***

Jika kita amati, Alkitab setidaknya pernah menceritakan tiga


peristiwa pelecehan seksual, semuanya adalah pemerkosaan. Kita
mungkin pernah membaca tiga peristiwa ini: pemerkosaan Dina
anak perempuan Yakub (Kejadian 34:1-31); pemerkosaan Tamar
oleh Abnon (II Sam 13:1-39); dan pemerkosaan gundik seorang Lewi
oleh penduduk kota (Hakim-Hakim 40:1-30). Kejadian yang disebut
terakhir bahkan membuat korbannya meninggal. Seram? Banget. 

Tapi sebelum kita membahas tiga peristiwa itu, ada baiknya kita bahas
dulu mengenai seks dan pelecehan seksual dalam perspektif Alkitab. 
Allah menciptakan seks sebagai suatu hal yang baik, untuk tujuan
yang baik. Untuk itu, Allah memberikan rambu-rambu yang jelas,
yaitu pernikahan. Tidak berhenti sampai disitu, Allah juga mengatur
kehidupan seks di dalam pernikahan. Dalam  Efesus 5:25 dan 28,
Ia menginginkan agar para suami mengasihi istrinya dan tidak
berlaku kasar, tentu saja termasuk dalam hal melakukan hubungan
seks. Sementara, bagi para istri, Allah menginginkan hubungan seks
dilakukan dalam penundukKan diri dan penghormatan kepada suami
(Efesus 5:22). Selain itu, prinsip lain yang Tuhan perintahkan adalah
agar seks di dalam pernikahan dilakukan atas dasar kerelaan, karena
tubuh para istri bukan lagi miliknya sendiri, melainkan milik suaminya,
dan demikian pula sebaliknya.

Unsur kerelaan inilah yang menjadi faktor penting untuk


mengidentifikasi pelecehan seksual. Kegiatan bersifat seksual, yang
dilakukan tanpa persetujuan adalah sebuah bentuk pelecehan. 

Nah, kembali kepada tiga cerita pelecehan seksual di Alkitab, ada


beberapa hal yang bisa kita pelajari:

1. Setiap kasus pelecehan seksual berbeda.


Pelecehan seksual tidak bisa disamaratakan. Masing-masing memiliki
sebab dan kondisi yang berbeda. Akibat yang ditimbulkan kepada
korban maupun reaksi pelaku juga berbeda. Dalam kasus Dina,
misalnya, Sikhem sebagai pemerkosa justru menenangkan Dina
dan bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara,
Amnon benci kepada Tamar setelah melakukan pemerkosaan kepada
Tamar. 

Prinsip ini menolong kita memiliki pendekatan personal saat


dihadapkan dengan orang-orang yang terlibat dalam pelecehan
seksual, baik itu korban, pelaku, atau orang-orang yang dekat dengan
mereka. Jalan keluar yang nampak lumrah, seperti menikahkan pelaku
dan korban pemerkosaan, tidak bisa semudah itu diterapkan. Tidak
semua korban seperti Tamar yang bersedia, bahkan meminta, untuk
dinikahi oleh pemerkosanya. Tidak semua pemerkosa seperti Sikhem
yang mau bertanggung jawab menikahi korbannya.

2. Hindari menyalahkan korban.


Korban pelecehan seksual sering kali tidak mengungkapkan apa yang
dia alami, karena takut menjadi pihak yang disalahkan. Misalnya saja,
pelecehan dianggap terjadi karena korban dianggap memakai baju
yang terlalu minim. Atau, dalam kasus Dina, Dina bisa disalahkan
karena keluyuran atau bergaul terlalu bebas. Dalam beberapa kasus,
korban memang membuka celah, namun bagaimanapun, tindakan
menyalahkan tidak akan  membantu korban.

Selain itu, tindakan menyalahkan ini akan semakin menyakiti korban,


jika ia menjadi korban pelecehan seksual karena perbuatan orang lain.
Misalnya seperti kasus gundik orang Lewi. Ia mengalami pelecehan
seksual karena diserahkan oleh suaminya kepada orang-orang kota.
Kita pasti pernah membaca tentang perempuan yang dijebak menjadi
pekerja seks, atau dengan kata lain diperdagangkan untuk keuntungan
orang lain. 

3. Korban perlu didorong berani berbicara.


Salah satu prinsip pemulihan yang penting adalah keterbukaan. Jika
kebetulan kita seorang awam, namun menemui korban pelecehan
seksual, maka hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mendorong
dia untuk terbuka pada orang lain yang bisa membantunya. Pelecehan
seksual tentu saja merupakan hal yang serius karena memiliki daya
rusak luar biasa, khususnya secara emosional. Beberapa kasus
membutuhkan terapi atau konseling khusus, baik secara gerejawi
maupun medis. Beberapa kasus juga perlu tindak lanjut secara hukum,
seperti membuat laporan ke kepolisian atau mengajukan tuntutan ke
pengadilan.

4. Fokus pada pemulihan, bukan balas dendam.


Pemerkosaan Dina dan Tamar berujung sama, yaitu balas dendam.
Kakak-kakak Dina membunuh Sikhem dan semua laki-laki di tempat
dia tinggal. Balas dendam membuat anak-anak Yakub jatuh dalam
dosa pembunuhan. Yakub sendiri mengatakan bahwa perbuatan balas
dendam itu telah mencelakakannya dan membusukkan namanya.
Padahal sebenarnya, ayah Sikhem telah melamar Dina sebagai bentuk
tanggung jawabnya. 

Pemulihan memang  tidak mudah, dan balas dendam tidak punya


kontribusi apapun pada pemulihan di dalam Tuhan. Firman Tuhan
mengatakan bahwa balas dendam adalah hak-Nya (Roma 12:19).
Hukuman kepada pelaku seharusnya dilakukan dalam koridor hukum,
oleh otoritas yang berwenang.

Keempat prinsip tadi setidaknya bisa menjadi pegangan dasar kita


memahami perspektif Firman Tuhan tentang pelecehan seksual. Pearl
mendorong teman-teman untuk membaca sendiri tiga kisah pelecehan
seksual di Alkitab tadi. Kalau ada prinsip lain yang teman-teman
dapatkan, please share ya di kolom komen, supaya teman-teman yang
lain juga semakin diperlengkapi ☺

Nah, kembali ke pertanyaan di awal artikel ini: dimana peran gereja?


seberapa sering topik ini dibahas di dalam gereja? Seberapa kuat
gereja memperlengkapi diri untuk menjadi pelayan para korban
pelecehan seksual? Butuh pendalaman untuk menjawabnya, karena
jika gereja ingin menjadi jawaban bagi pemulihan korban-korban
pelecehan seksual, maka gereja tidak bisa lagi mengambil jarak. Semua
bermula dari masing-masing orang percaya, untuk mulai belajar dan
memperlengkapi diri. 
Lalu, pesan apa yang akan gereja bawa saat bicara tentang pelecehan
seksual? Jawabannya jelas: pemulihan tersedia di dalam Kristus Yesus,
baik bagi korban dan pelaku.  

“Aku akan memulihkan kepadamu tahun-tahun yang hasilnya dimakan habis oleh
belalang pindahan, belalang pelompat, belalang pelahap dan belalang pengerip,
tentara-Ku yang besar yang Kukirim ke antara kamu.” (Yoel 2:25)

Ayat ini biasanya dipakai dalam konteks keuangan, tapi Firman Tuhan
jelas: Yesus sanggup mengubah kondisi yang buruk menjadi baik.
Dia sanggup menyembuhkan luka hati arena pelecehan. Dia sanggup
membuang perasaan bersalah dan tidak berharga, menggantikannya
dengan perasaan dicintai yang melimpah. Dia sanggup memampukan
korban pelecehan mengampuni pelaku dengan kasih dari Allah. Dari
perspektif pelaku, pelaku memiliki jaminan pengampunan dosa di
dalam Yesus, karena bagaimanapun dosanya telah ditanggung di kayu
salib. Yesus juga sanggup mencabut akar dosa yang membuat dia
melakukan kejahatan, termasuk tidak memiliki pandangan yang benar
terhadap lawan jenis

Beberapa orang memang butuh waktu untuk memberikan respon


benar dan mengalami kesembuhan, tapi pesannya jelas: di dalam
Yesus, selalu ada harapan*. 

Sudah saatnya gereja membuka mata.

God bless. 
Spiritual Refreshment

LIA STOLTZFUS

Much prayer, much power.


Little prayer, little power.
No prayer, no power.

Itu yang saya rasain, babak belur jatuh bangun kalo saya gak mulai
hari saya sama Tuhan. 

Saya bisa gampang irritated dan juga emosional banget, gak sabaran


khususnya kalo kudu deal sama ketidaktaatan anak-anak dan kalo
udah gak sabaran, emosi, marah, fyiiiuh... biasanya end up dengan
perasaan guilty yang melekat erat di hati kayak ditempel lem aica
aibon. Ngerasa jadi emak yang gagal dan bukan mama yang baik.

Orang pikir saya punya disiplin rohani yang baik tapi mereka gak tau
betapa saya juga bergumul untuk punya kehidupan doa dan juga lively
personal devotions. Saya gak bergumul soal bangun pagi, I am a morning
person and early riser. Bangun di antara jam 4-5 pagi itu sudah jadi
kebiasaan buat saya sejak saya masih single. Tapi saya bergumul untuk:
gak buka facebook or blog or email sebelum saya buka Firman Tuhan,
bergumul untuk ‘kendaliin’ pikiran saya (baca: FOKUS) selama saya
baca Firman, bergumul buat gak ‘nyasar’ kemana-mana kalo lagi
ambil waktu buat ngerenungin Firman dan pikir gimana caranya
saya bisa apply Firman dalam hidup saya sehari-hari. Bergumul...
bergumul... bergumul, kadang menang, kadang juga gagal, tapi saya
gak mau nyerah. Yah, saya juga ngalamin waktu-waktu dimana saya
gak merasa haus dan lapar akan Tuhan. I don’t desire God anymore dan
saya tau kalo saya kaya gitu, artinya ‘alarm’ uda kelap-kelip, spirit saya
tentu saja super duper weak dan saya kudu buru-buru BERTOBAT! 

Pada tahun 2013, saya banyak pengalaman pribadi yang indah sama
Tuhan tapi ada juga hal-hal yang saya GAK PUAS dalam hubungan
saya sama Dia. Saya tau banget hubungan saya sama Tuhan itu
SANGAT MEMPENGARUHI hubungan-hubungan lainnya, kalo
saya gak deket sama Tuhan yang paling bisa rasain efek negatifnya tuh
suami dan anak-anak saya. Begitu sebaliknya, kalo saya INTIM sama
Tuhan, mereka juga yang paling rasain ‘manis’-nya mama mereka
*hahaha, madu kaleee* 

Semakin lama jadi mama, semakin saya sadar kalo saya bener-bener
butuh kekuatan dan hikmat dari Tuhan buat jalanin fungsi saya.
KEKUATAN dan HIKMAT Tuhan itu kita dapatkan lewat Firman
Tuhan. Baca Alkitab doang gak cukup, kudu ngerenungin, bahkan
juga kalo bisa hafalin, perkatakan dan juga tentunya praktekkan
Firman Tuhan tersebut. Bagian kita adalah baca... baca... baca...,
renungin dan praktekkin. YES, sebisa mungkin kita kudu ‘store’ Firman
Tuhan di dalam hati kita, nanti Roh Kudus yang memberikan rhema.
Rhema adalah FIRMAN yang ‘dihidupkan’ Roh Kudus sesuai dengan
SITUASI yang kita hadapi untuk menjawab ‘KEBUTUHAN’ kita. 

So inilah yang saya lagi berusaha untuk terus bangun secara konsisten: 
Saat teduh pagi secara pribadi (doa dan baca Firman) jadi hal yang
diprioritaskan sebelom lakuin yang laen. 

Hafal minimal 1 ayat selama seminggu dan coba renungin secara


khusus ayat tersebut sepanjang minggu. 

Here are some practical tips or ideas to establish consistent devotions


and prayer life and develop your relationship with God: 

1. Wake up earlier before the kids wake up


Pagi hari adalah waktu yang paling baik buat saya sebelum pikiran
saya penuh dengan banyak hal dan terlalu lelah untuk ‘berpikir’. When
I start my day with God, it makes me more ready to face the day! Saya itu cukup
‘kejar-kejaran’ sama anak-anak karena anak-anak saya early risers juga,
mereka bangun di antara jam 5.15 - 5.45 pagi!

Sebelum mereka bangun saya berusaha udah selesai saat teduh,


tapi yah gak selalu kayak gitu juga, kadang saya capeeek sekali,
rough nights karena baby ngalamin growth spurts dan more frequent night
feeding bikin saya bangun telat. Makanya kalau ada anak yang udah
bangun, saya ajar mereka untuk main sendiri (quiet time). Yang
pasti, don’t be too hard on yourself if you feel like you aren’t spending a lot of time
in personal devotions. Fasenya emang udah beda, gak bisa kayak single dulu
yang bebas tengkurepan baca Firman dan ngejurnal saat teduh sampe
lama. Just make sure, start your day with GOD lewat doa ucapan syukur
dan baca Firman-Nya. However, ada orang-orang yang lebih alert di
waktu malam, artinya lebih demen ambil waktu saat teduh pas
malem habis anak-anak tidur, silahkan saja tapi tetep start your day with
God lewat doa, menyadari keterbatasan dan kebergantungan kita akan
Tuhan. 

2. Singing throughout the day


Usahain kerjaan rumah kayak nyuci piring, masak, ngepel or
even waktu nursing the baby dikerjain sambil nyanyi nyembah
Tuhan. Singing is a form of worship. Orang yang nyanyi memuji Tuhan
gak bakalan jadi org yang ‘grumpy’.Coba deh, setiap rasanya pengen
marah-marah, ada hal yang bikin jengkel or ngerasain burden yang
begitu kuat,start to sing out loud! It is hard to sing and continue to be grumpy.

3. Put a Bible in the bathroom


Manfaatin waktu terutama pas lagi ‘nongkrong’ di WC, hehe,
buat feeding your spirit. Steal time to catch up your bible reading. Saya juga
taruh selembar kertas setiap minggu yang saya tulis ayat hafalan untuk
saya baca dan renungkan mendalam pas saya di kamar mandi. 

4. Taruh buku rohani deket ranjang, jadi pas ‘ngelonin’


anak bobo bisa sambilan baca buku
Baca buku rohani berguna banget buat nambahin pemahaman kita
sama Firman Tuhan. Banyak orang ngga suka baca dengan alasan
mereka ngga punya waktu. Nah, daripada bengong waktu ngelonin
anak, mending curi-curi waktu yang ada buat baca. 

5. Download mp3 kotbah dan dengerin pas lagi nyetrika baju


Seri khotbah favorit yang saya dengerin berulang2 tiap taon adalah
the Godly Home Series by Denny Kenaston.Khotbahnya bisa di-
download di sini

6. Pray anytime
Anytime means anytime. When folding the laundry or washing the dishes, we can
pray for people who come into our mind or kadang bisa juga pelan-pelan
berbahasa roh membangun iman kita. Kita juga bias berdoa pas
malem-malem susah tidur, kebangun tanpa alasan ato juga waktu
menyusui anak. Selain itu, ambil waktu buat mendoakan orang lain
waktu doa ngucap syukur buat makanan. Babe mertua saya kalo
mimpin doa buat ngucap syukur pas meal time selalu ambil waktu buat
doain orang lain juga (buat mereka yang sakit/ngalamin kesusahan/
ada pergumulan khusus) gak heran anaknya (baca: suami saya) juga
kayak gitu ;p Yah, hal ini jadi momen yang bagus buat bikin sekeluarga
juga jadi doain orang lain.

7. Tulis ayat Firman Tuhan pake dry erase marker di pojok


kaca
Intinya sih, tulis Firman Tuhan di tempat-tempat yang sering kita
lihat. Biarkan otak kita di-expose dengan Firman. Kalau di kaca kan
tiap kali ngaca (hehe...) bisa sambil baca tuh Firman. Gak hanya
Firman Tuhan aja sih, bisa aja tulis: “I need You everyday, Lord.” Asiknya,
tulisannya bisa diganti-ganti, kan tinggal dihapus doang. 

8. Subscribe email buat langganan “makanan rohani”


Contohnya ini: httapi://www.cfcindia.com/web/mainpages/word_
for_the_week.php. Kalo subscribe, stiap minggu bakalan dikirimin
‘word of the week’. Selama 3 tahunan ini saya dibangun lewat baca
ginian tiap minggu. 

9. Gunakan alarm HP untuk pengingat buat berdoa


Dulu pas masih single saya suka set alarm di HP setiap jam 12 dan jam
3 sore buat pengingat doain anak-anak komsel, anak binaan dan juga
keluarga yang belum kenal Tuhan. Sekarang udah jadi mama tentunya
saya kudu sering nabur doa buat anak-anak saya dong ya... Tiga unyil
yang Tuhan udah percayain kepada kami. Pagi pas family devotions sih
selalu doain anak-anak tapi abis itu udah enggak lagi, hehehe... Cuma
sekarang saya pake ‘azan’ (panggilan sholat buat orang muslim)
sebagai pengingat buat saya doain anak-anak saya, hehe... Jadi tiap
kali denger azan, I whisper a prayer to heaven for my kids salvation.

Menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan bukan hal yang susah


kalo kita punya hati yang mau. Be creative aja cari cara-cara yang bikin
kita enjoy tiap hari jalan sama Tuhan. Yuks, kita bertumbuh bareng-
bareng tahun ini, saling mengingatkan dan mendukung untuk makin
deket sama Tuhan. Amin! 
Gak Peduli Apa Kata Orang,
Kamu Sangat Berharga
Sayanggggg!!! \(“,)/
ALPHAOMEGA PULCHERIMA RAMBANG

Seorang kawanku ngomel gak henti, gara-gara mendengar kata-kata


gak enak yang diucapkan seseorang padanya. Kata-kata gak baik lah
pokoknya, sama sekali gak membangun. Aku yang Cuma dengar aja
berasa gimaaannnnaaaa gitu, gak pantaslah diucapkan sama orang
lain menurutku. Kalo aku aja ngerasa gitu, gimana dengan dia yang
dikata-katain gitu? Aihhhh... Aku mengerti apa yang dirasakannya,
secara aku juga agak-agak sensi :p TAPIIIII... aku kesal mendengar dia
mengucapkannya berulang kali. Sampe aku bilang, please stop it, sakit
telingaku mendengarnya. Aku gak becanda waktu ngomong gitu,
tapi telingaku gak kuat dengar kata-kata negatif gitu SEPANJANG
HARI!!!

Kayak gini gampangnya, ada seorang yang ngatain kalo aku bodoh.
Trus aku jadi down dan kesal, wajar lah ya, sapa yang terima dikatain
gitu waktu ngerasa dah doing my best. Oke, itu wajar... awal-awal juga
aku pasti ngerasa down bin kesal. Tapi yang aku gak habis pikir,
setelah gitu, ngapain sepanjang hari aku bilang BERULANG KALI,
”Iya, emang aku ni bodoh.” Buat apaaaa???? Yang denger aja ikutan
kesal. Trus yang ngucapin tuh jadi tambah nelongso, apa gak jatuh-
jatuhnya jadi mengasihani diri sendiri?

Aku juga kadang down kalo dimarahin ato mendengar kata-kata


yang gak enak. Too sensitive, huh? Maybe ^^ But, sekarang down-nya
SEBENTAR saja, malah kadang cuek. Bukan berarti ndablek trus
gak meningkatkan kualitas yo, tapi CUEK dalam artian, aku gak
mau ngasihani diri sendiri lalu mengulang-ngulang kata-kata negatif.
NGAPAIN? Aku gak bakal biarin aku terintimidasi.

I KNOW MYSELF.

I KNOW WHO I AM.

Gak peduli apa pun yang dikatakan orang, apa yang paling penting
adalah apa yang aku pikirkan sendiri.

Errr... terdengar SOK bin SOMBONG ya???

Hehehehehe, I don’t mean it ^^

Mungkin lebih tepatnya gini:


Aku gak peduli apa yang dikatakan orang tentang aku, aku tahu siapa
diriku di mata Allah, aku tahu bagaimana Dia memandangku. Aku
gak akan biarkan pandangan orang lain mempengaruhi diriku. I
KNOW MYSELF IN GOD’S EYES.

Beberapa waktu yang lalu, aku share ke kawanku gini:

Sesuatu yang berharga layak untuk ditunggu. Jangan pernah merasa


terburu-buru

Trus tahu-tahu dia balas gini:

Menunggu jodoh ya Meg? Aku juga ^^ Tapi SMS mu membuatku


merasa berharga, karena tau ada seseorang yang menungguku.

Hahahahahahaha, kok menunggu jodoh sih? Maksudku kan


menunggu ni gak tentang jodoh, tapi menunggu sesuatu yang
berharga (apapun itu) :p

Seharusnya keberhargaan kita terletak bukannya karena ada yang


menunggu kita ato gak dunk, tapi karena Yesus yang sudah menebus
kita ^^ Ya toh?

Eh, kemaren dunk, aku dan Dhiet ketawa-ketawa membahas yang


namanya SINAMOT (eh, bener gini gak sih tulisannya). Katanya sih
itu bahasa BATAK. Artinya tu (maaf kalo salah ngartikan), hantaran/
jur-juran kata orang Banjar (sumber: orang Batak asli, Manogar
Simanullang), yang kayak pelaku kalo orang Dayak bilang. Haissss,
bingung jelasinnya, intinya sih kayak ‘bayaran’ yang harus dibayarkan
cowok waktu ngambil cewek jadi istrinya. Buat pemenuhan adat sih,
biasanya. Lah, katanya siiiii.... di beberapa tempat, kalo nilai yang
dibayarkan si cowok semakin gede buat ‘ngebeli’ si cewek, nah berarti
si cewek ini muahal alias berharga banget.....

Trus Dhieta becanda, ntar kalo merit, diam-diam tambahinlah ya


uang jur-jurannya, jadi nilai si cewek nampak naik di mata keluarga
besar si cowok. Huahahaahhahaha, ngakak-ngakaklah aku, penting ya
gitu...? Kan kita calon istri ideal sudah Dit *colek Dhiet* (hohohohoho,
muji diri sendiri).

Kami Putri Raja....

Kami adalah wanita-wanita yang MAHAL

TAPIIIIIII..................

Yang membuat kami mahal bukanlah HARGA JUR-JURAN/


PELAKU/ SINAMOT/ HANTARAN/ apalah itu ^^

Kami mahal, karena kami gak bisa ditebus dengan emas perak atau
duit ato barang yang fana lainnya.

Kami mahal…

kami berharga, karena kami ditebus dengan darah yang mahal, darah
Kristus.

Wahai, kawan-kawan di luar sana (aku di dalam, hahahahaha :p),


jangan biarkan apa kata orang merusak pandanganmu atas dirimu
sendiri.
DENGARKAN APA KATA TUHAN:

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini
mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu,
dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu.” -Yesaya 43:4

“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu
yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan
barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan
dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti
darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” -1 Petrus
1:18-19

See?

Kamu sangat MUAHAAAALLLLL.....

Bukan karena ‘HARGA’ yang ditetapkan manusia, tapi karena


KRISTUS memandang kita sangat berharga.

Kamu sangat berharga sayaannnggggg.....\(“,)/


Ilustrasi Keselamatan
dengan Coklat
ALPHAOMEGA P. RAMBANG

Jadi ceritanya gini, dulu aku mengikuti KAMBIUM (Komunitas


Pertubumbuhan Iman Untuk Menjadi Murid Kristus) di Jogja. Dan
ada 3 kelas yang bisa diikuti, itu berlanjut dari Kelas Berakar, Kelas
Bertumbuh dan Kelas Berbuah. Dalam setiap kelasnya, terdapat 2
sesi, Kelompok Besar dan Kelompok Kecil. Di kelompok besar, kami
mengikuti pengajaran dari seorang fasilitatornya,dia menjelaskan
dan mengajarkan materi di minggu itu. Kemudian, kami masuk ke
kelompok kecil (semacam KTB) dan mulai membicarakan materi itu
lebih dalam, dari penerapan, pengalaman pribadi, komitmen untuk
ke depan, tukaran pokok doa, dll. O, iya kelompok kecil ini orang-
orangnya biasanya sama setiap minggunya. 

Dalam sebuah sesi Kelompok Besar di Kelas Berakar yang aku ikuti
(materinya tentang Jalan Keselamatan waktu itu), fasilitatornya
mengacungkan tinggi-tinggi dua batang coklat Silver Queen,wahhh...
kami semua yang melihat langsung bermata coklat (kalau liat duit
katanya bermata hijau,berhubung ini coklat jadi bermata coklat deh
:p). 

Fasilitator bertanya, “Siapa yang mau coklat ini?” 

Kami semua tersenyum, ada yang malu-malu, ada yang malu-maluin.


Kami mengangkat tangan tinggi-tinggi, bahkan ada yang berdiri!!
Iyeee...aku yang berdiri :p 

Fasilitator tersenyum penuh arti  melihat tingkah kami. Nah lo, ucapku
dalam hati, bentar lagi kita disuruh ngapain nih buat dapat tu coklat.
Biasanya kan gitu ya, kalo kita ditawarin apa gitu ujung-ujungnya
ternyata syarat dan ketentuan berlaku. Paling bete sama promo ginian
di KFC, berasa ditipu, hahahaha. 

Lalu fasilitator bilang gini, “Siapa yang mau, silahkan maju dan ambil
coklat ini”. Kali ini tangannya yang memegang coklat itu diturunkan
dan diarahkan ke kami. 

Kami semua kebanyakan heran, gak percaya. Mosok sih tinggal


ngambil doang? Serius nih? Gak ada syarat dan ketentuan yang
berlaku. Wahhh...jangan-jangan dikerjain nih, ntar di depan disuruh
ngapain pulak. Aku gak percaya semudah itu mendapatkan tu coklat.
Aku gak maju. Aku gak dapat tu coklat. Terlalu banyak mikir. Terlalu
takut. Ada 2 orang kawanku yang maju dan mendapatkan coklat gratis
itu. Huaaa....pengennnn... #ngiri. 

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
-Yohanes 3:16
Kemudian fasilitator menjelaskan, kalau coklat itu seperti keselamatan
yang diberikan Allah melalui Kristus. Saat kita percaya dan
menerima Kristus, maka kita menerima keselamatan tersebut. Coklat
(keselamatan) tadi ditawarkan kepada semua orang, tapi yang mau
bertindak dan maju saja yang akan menerimanya. Butuh langkah
iman untuk mempercayai. Dan kita bertindak untuk menunjukkan
kepercayaan kita. Mereka yang maju tadi adalah yang percaya
dan mau bertindak. Allah mau kita semua menerima keselamatan
dan beroleh hidup yang kekal, tapi apakah kita mau percaya
dan menerimanya? Itu tergantung kita. Seringkali kita ragu dan
mencurigai kebaikan-Nya. Pikir kita, masa sih kita hanya harus maju
dan menerima? Beneran nih gak perlu syarat pake puasa, atau berbuat
baik ke sesama, atau melakukan ini itu? Kita susah mempercayai Dia.
Dan ini lah yang jadi masalah. Menerima keselamatan membutuhkan
kepercayaan kita untuk menerima dan maju. 

Satu lagi yang dikatakan fasilitator itu yang aku ingat sampai sekarang.
Coklat (keselamatan) itu diinginkan semua orang karena enak dan
sepertinya gratis, tapi itu tidak gratis. Kita sering lupa kalau coklat
(keselamatan) bisa kita terima karena sudah ada yang membayarnya
terlebih dahulu. Lunas. Ini gak gratis. Kristus sudah membayar
lunas keselamatan kita di kayu salib. Susah dipercaya memang, ada
seorang fasilitator (Kristus) mau memberikan coklat (keselamatan)
yang berharga itu dengan menanggung rugi, karena harus
membayarkannya supaya kita bisa menerima. Tapi bukankah bagian
kita adalah percaya? :-) Keselamatan tidak cuma-cuma, keselamatan
itu mahal. Kita tidak mampu membayarnya dengan apapun. Bahkan
dengan semua perbuatan baik dan amal kita. Puji Tuhan, ada Kristus
yang karena begitu besar kasihNya kepada kita bersedia menanggung
rugi dan berkorban sehingga kita menerima keselamatan itu. Bagian
kita adalah menerima kasihNya yang begitu besar itu. Maukah kamu
menerimanya.
Masih mau membaca lebih banyak artikel lainnya?
Bisa kalian temukan di

www.majalahpearl.com

Anda mungkin juga menyukai