Bab Iii
Bab Iii
16
17
B. Analisis Penulis
Setelah penulis menjabarkan semua yang berkaitan dengan buang air
kecil dan urinoar, maka penulis berpendapat bahwa penggunaan urinoar
di masjid hukumnya makruh karena susahnya menjaga percikan air
buang hajat dan dapat mengenai pakaian yang akan digunakan untuk
shalat dan tidak sesuai dengan adab yang telah dianjurkan oleh
Rasulullah yaitu aurat rentan terbuka dan Rasulullah lebih manganjurkan
untuk buang air kecil jongkok. Namun, apabila di masjid itu terdapat
pilihan tempat buang hajat seperti urinoar dan tempat bung hajat yang
memungkinkan penggunanya untuk jongkok maka dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa adanya urinoar di masjid tersebut boleh, dengan
syarat urinoarnya tertutup sehingga orang lain tidak melihat aurat orang
yang sedang menunaikan hajatnya. Adapun mengenai terperciknya air
buang hajat atau najis saat berdiri melakukan buang air kecil di depan
urinoar, memang merupakan satu kemungkinan. Namun, kemungkinan
itu belum sampai mengantar untuk mengharamkan buang hajat berdiri.
Bahkan belum sampai ke tingkat menajiskan pakaian. Dalam hal ini
penulis bersandarkan pada kaidah
ُ َ ُُْاليَ ِقن
َّ لُيزَ الُُبِال
ُش ِك
Artinya: “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”
Dengan demikian, jika sebelum buang air kecil seseorang yakin
bahwa pakaiannya suci dan setelah itu dia ragu apakah terkena najis atau
tidak, pakaiannya tetap di nilai suci berdasarkan kaidah tersebut.
Urinoar merupakan sarana yang mengharuskan penggunanya untuk
buang air kecil dengan berdiri, maka untuk menentukan hukumya
tergantung pada tujuannya. Jika penyediaan urinoar di masjid karena
lahan atau tempat untuk dibuatnya tempat buang air kecil tidak
memungkinkan karena luasnya ruangan wc yang dibutuhkan maka
penyediaan urinoar di masjid tersebut hukumnya boleh. Adapun jika
suatu masjid menyediakan urinoar untuk terlihat megah atau modernnya
fasilitas masjid tersebut maka hukumnya makruh. Dalam hal ini penulis
penulis bersandar pada kaidah
19
الوسلةُلهاُاحكامُالمقاصد
Artinya: “Hukum wasilah tergantung pada tujuannya.”
Berdasarkan seluruh pertimbangan diatas maka menurut penulis
penggunaan urinoar di masjid hukum asalnya adalah makruh. jika
terdapat pilihan tempat buang air selain urinoar maka hukumnya boleh
dengan syarat urinoarnya harus tertutup atau memiliki sekat. Jika
penggunaan urinoar di masjid tersebut karena tidak memungkinkan
membuat tempat buang air kecil dengan lahan yang tersedia maka
hukumnya boleh.