Anda di halaman 1dari 4

BAB III

PANDANGAN ISLAM TERHADAP MASJID YANG


MENGGUNAKAN URINOAR

A. Pendapat Para Ulama terhadap Pengguanaan Urinoar


1. Ustadz Ahmad Anshori
Hukum buang hajat dengan berdiri boleh dengan dua syarat yang
harus terpenuhi, aman dari terkena najis dan tidak terlihat aurat. Jika
dikhawatirkan air seni terpercik pada pakaian atau badan, maka tidak
boleh. Karena diantara sebab adzab kubur, adalah ceroboh dalam
urusan buang air. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya dua mayit ini sedang disiksa, dan tidaklah mereka
disiksa karena perkara yang susah ditinggalkan. Namun sesungguhnya
itu adalah perkara besar, untuk yang pertama, dia suka melakukan adu
domba, sedang yang kedua, ia tidak menjaga diri dari air buang
hajatnya". Adapun syarat kedua, tentang syarat menutup aurat,
dalilnya adalah hadis dari Muawiyah bin Haidah radhiallahu’anhu.
Beliau pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang auratnya, kapan
wajib ditutup dan kapan boleh ditampakkan. Kemudian Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Jaga auratmu, kecuali untuk
istrimu atau budakmu". (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibn
Majah, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Kemudian, melihat bagaimana kondisi buang air kecil di urinoar,
apakah bisa memastikan tertutup aurat dan aman dari percikan najis.
Jika bisa tidak mengapa. Namun jika tidak, maka tidak boleh. Adapun
Ustadaz Ahmad Anshori pada perkara ini lebih condong tidak boleh.
Karena urinoar yang ada di fasilitas umum saat ini, belum relevan
terhadap dua syarat di atas. Di samping itu, urinoar yang ada saat ini
berada di tempat terbuka. Sehingga potensi terlihat auratnya besar dan
tidak elok dilakukan.
(https://alfurqanpaserkaltim.com/kencing-sambil-berdiri-bolehkah/,
diakses: 30 November 2022)

16
17

2. Ustadz Mu’tashim, Lc. MA


Bila tidak dalam keadaan sangat mendesak maka hindarilah buang
air di urinoar, di antara sebabnya, aurat rentan terbuka di depan umum,
buang air kecil dalam keadaan berdiri, cipratan dari air buang hajatnya
yang sangat rentan sekali bila tidak berhati-hati.
Diperbolehkan dalam kondisi tertentu untuk melakukan buang air
dalam keadaan berdiri, namun bila dibiasakan untuk jongkok atau
duduk maka itu adalah yang terbaik, di samping sunnah maka lebih
bisa menghindari diri dari cipratan air buang hajat.
Karenanya bila kita yakin bahwa celana kita atau badan kita
terkena cipratan tersebut harus kita bersihkan bila kita ingin
pergunakan untuk ibadah sholat, bila tidak kita lakukan dengan
kesengajaan maka sholatnya tidak sah. Terus berhati hatilah supaya
kita tidak terjebak ke dalam keraguan yang kita munculkan sendiri.
(https://bimbinganislam.com/kencing-berdiri-di-urinoir-aman-dari-
najis/, diakses: 1 Desember 2022)
3. Ustadz M. Ali Zainal Abidin
Buang hajat dengan keadaan berdiri adalah perbuatan yang
makruh, selama hal tersebut tidak dilakukan karena terdapat uzur yang
menyebabkan seseorang merasa kesulitan (masyaqqah) ketika buang
air kecil dilakukan dengan cara berdiri.
Sebaiknya sebisa mungkin bagi kita untuk menghindari buang air
kecil dengan cara berdiri selain karena uzur, meskipun realitas saat ini
banyak sekali ditemukan tempat buang hajat yang menuntut seseorang
melakukan buang hajat dengan cara berdiri. Tersedianya urinoar di
berbagai tempat fasilitas umum dan sudah menjadi mode bagi toilet-
toilet kekinian adalah di antara contohnya. Jika masih memungkinkan
mencari toilet lain untuk buang air kecil dengan cara duduk itu lebih
baik. Bila tidak memungkinkan maka kondisi tersebut masuk kategori
uzur. (https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-kencing-dengan-berdiri-
8Xki4,diakses: 1 Desember 2022)
18

B. Analisis Penulis
Setelah penulis menjabarkan semua yang berkaitan dengan buang air
kecil dan urinoar, maka penulis berpendapat bahwa penggunaan urinoar
di masjid hukumnya makruh karena susahnya menjaga percikan air
buang hajat dan dapat mengenai pakaian yang akan digunakan untuk
shalat dan tidak sesuai dengan adab yang telah dianjurkan oleh
Rasulullah yaitu aurat rentan terbuka dan Rasulullah lebih manganjurkan
untuk buang air kecil jongkok. Namun, apabila di masjid itu terdapat
pilihan tempat buang hajat seperti urinoar dan tempat bung hajat yang
memungkinkan penggunanya untuk jongkok maka dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa adanya urinoar di masjid tersebut boleh, dengan
syarat urinoarnya tertutup sehingga orang lain tidak melihat aurat orang
yang sedang menunaikan hajatnya. Adapun mengenai terperciknya air
buang hajat atau najis saat berdiri melakukan buang air kecil di depan
urinoar, memang merupakan satu kemungkinan. Namun, kemungkinan
itu belum sampai mengantar untuk mengharamkan buang hajat berdiri.
Bahkan belum sampai ke tingkat menajiskan pakaian. Dalam hal ini
penulis bersandarkan pada kaidah
ُ َ ُُ‫ْاليَ ِقن‬
َّ ‫لُيزَ الُُبِال‬
ُ‫ش ِك‬
Artinya: “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”
Dengan demikian, jika sebelum buang air kecil seseorang yakin
bahwa pakaiannya suci dan setelah itu dia ragu apakah terkena najis atau
tidak, pakaiannya tetap di nilai suci berdasarkan kaidah tersebut.
Urinoar merupakan sarana yang mengharuskan penggunanya untuk
buang air kecil dengan berdiri, maka untuk menentukan hukumya
tergantung pada tujuannya. Jika penyediaan urinoar di masjid karena
lahan atau tempat untuk dibuatnya tempat buang air kecil tidak
memungkinkan karena luasnya ruangan wc yang dibutuhkan maka
penyediaan urinoar di masjid tersebut hukumnya boleh. Adapun jika
suatu masjid menyediakan urinoar untuk terlihat megah atau modernnya
fasilitas masjid tersebut maka hukumnya makruh. Dalam hal ini penulis
penulis bersandar pada kaidah
19

‫الوسلةُلهاُاحكامُالمقاصد‬
Artinya: “Hukum wasilah tergantung pada tujuannya.”
Berdasarkan seluruh pertimbangan diatas maka menurut penulis
penggunaan urinoar di masjid hukum asalnya adalah makruh. jika
terdapat pilihan tempat buang air selain urinoar maka hukumnya boleh
dengan syarat urinoarnya harus tertutup atau memiliki sekat. Jika
penggunaan urinoar di masjid tersebut karena tidak memungkinkan
membuat tempat buang air kecil dengan lahan yang tersedia maka
hukumnya boleh.

Anda mungkin juga menyukai