Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH HUKUM PENGGUNAAN

KATETER DALAM PELAKSANAAN SHOLAT

Penyusun :

1. Filda Khoerotun Nisa (202302054)


2. Fin'an Maulia Annisa (202302056)
3. Firda Putri Utami (202302057)
4. Hasna Shafa Nabila (202302067)
5. Heddianty Nurima Hayati (202302068)
6. Ikhsan Dwi Romadhoni (202302070)
7. Intan Auliya Alfina Ummah (202302076)
8. Irsyad Maulana Rachman (202302077)
9. Marsela Matul Shafrulloh (202302086)
10. Maygita Vania Putri (202302087)
11. Mismala Syamsihana (202302090)
12. Muchammad Risqi (202302092)
13. Nauval Ficky Alhafidz (202302101)
14. Nur Amalina Putri Santoso (202302106)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH GOMBONG
TAHUN 2023 / 2024

i
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas rahmat-Nya dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari
makalah ini adalah “HUKUM PENGUNAAN KATETER DALAM PELAKSANAAN SHALAT”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya


kepada dosen mata kuliah Agama yang telah memberikan tugas terhadap kami.

Kami jauh dari sempurna dan ini merupakan langkah yang baik dari study yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan
saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi
kami dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Gombong, 14 Januari 2023

ii
Daftar isi

Daftar isi................................................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................................................2
1. Hukum sholat bagi pasien yang mengalami kondisi medis tertentu, seperti yang dialami oleh
pasien dengan kateter dan colostomy...............................................................................................2
2. Prosedur pelaksanaan sholat yang benar bagi pasien dengan kateter dan colostomy sesuai
dengan ketentuan agama Islam.........................................................................................................3
BAB 3 PENUTUPAN...............................................................................................................................5
Kesimpulan........................................................................................................................................5
Saran..................................................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................6

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kateter merupakan sebuah alat berupa tabung kecil yang fleksibel dan biasa digunakan
pasien untuk membantu mengosongkan kandung kemih. Pemasangan alat ini dilakukan
khusus untuk pasien yang tidak mampu buang air kecil sendiri dengan normal. Umumnya
penggunaan kateter hanya untuk sementara, sampai pasien mampu kembali buang air kecil
sendiri. Kateter juga perlu diganti dalam jangka waktu tertentu agar tetap berfungsi dengan
baik dan tidak memicu infeksi. Selain dengan pemasangan kateter. Pemasangan kateter
pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit merupakan sesuatu hal yang lazim dilakukan.
Dengan begitu kita sebagai muslim yang mempunyai kewajiban untuk sholat perlu mengerti
bagaimana hukum penggunaan kateter dalam melaksanakan sholat, Salat merupakan rukun
islam yang kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi yang salah satunya adalah
salat. Maka, siapa yang mendirikan salat, ia telah mendirikan agama, dan barang siapa yang
meninggalkan salat, ia meruntuhkan agama. Shalat selamanya akan menjadi kewajiban
manusia selama di jasadnya masih ada ruh dan akal. Kewajiban melakukan salat tetap masih
dituntut sekalipun cara salatnya berbeda dengan orang sehat. Salat orang sakit tidak sama
dengan salat orang yang sehat. Islam banyak memberi kemudahan bagi umatnya. Syariat
islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak ada satu pun
beban syariat yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hukum sholat bagi pasien yang mengalami kondisi medis tertentu, seperti yang
dialami oleh pasien dengan kateter dan colostomy?
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan sholat yang benar bagi pasien dengan kateter dan
colostomy sesuai dengan ketentuan agama Islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui hukum sholat bagi pasien yang mengalami kondisi medis tertentu, seperti
yang dialami oleh pasien dengan kateter dan colostomy.
2. Mengetahui prosedur pelaksanaan sholat yang benar bagi pasien dengan kateter dan
colostomy sesuai dengan ketentuan agama Islam.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

1. Hukum sholat bagi pasien yang mengalami kondisi medis tertentu, seperti yang dialami
oleh pasien dengan kateter dan colostomy.
Pengguna kateter urine, setidaknya akan mengalami dua hal ini: ia tidak memiliki kendali
berkemih karena selangnya langsung masuk ke kandung kemih, dan urine akan langsung
mengalir; serta ia akan selalu membawa najis, baik di selang atau di kantung penampung
urinenya. Sejauh telaah penulis, merujuk pada kitab fiqih ulama Syafi'iyah, analogi yang
memungkinkan digunakan adalah menimbang kondisi pengguna kateter urine seperti orang
yang senantiasa berhadats. Contoh kasus orang yang senantiasa berhadats adalah pada
masalah istihadlah dan salisil baul. Ketidakmampuan pengguna kateter urine untuk
mengendalikan kencingnya, seperti orang yang beser, karena kehilangan kendali atas proses
berkemihnya. Konsekuensinya, ia wajib bersuci setiap akan melakukan shalat fardhu, dan
membersihkan diri dari najis yang ada. Selain itu, pengguna kateter urine akan senantiasa
membawa najis, baik pada selang atau kantong urine (urine bag). Ulama yang menilai bahwa
sisa kencing di kateter atau urine bag itu tidak dapat dimaafkan, maka status shalatnya
adalah lihurmatil waqti. Jika sudah mampu memenuhi syarat dan rukunnya saat sembuh
nantinya, maka shalat hendaknya diulang kembali atau i'adah. Hal ini merujuk pada
keterangan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab: ‫َفِإَذ ا َك اَن َعلَى َبَد ِنِه َنَج اَس ٌة‬
‫ َغْيُر َم ْع ُفٍّو َع ْنَها َو َعَج َز َع ْن ِإَز اَلِتَها َو َج َب َاْن ُيَص ِّلَي ِبَح اِلِه ِلُحْر َم ِة اْلَو ْقِت‬Artinya: "...Jika di badannya terdapat
najis yang tidak dapat dima'fu, dengan kondisi tersebut untuk lihurmat waqti..." (Imam an-
Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab [Beirut: Dar Al Fikr], juz 3 hal. 136). Penggunaan
‘ibarah tentang penggunaan kateter urine saat shalat tentu beragam di kalangan ulama.
Antar ulama mazhab juga berselisih pendapat tentang status najis dan mengganti shalat
pada orang yang sakit serta memiliki hambatan dalam memenuhi syarat dan rukun shalat.
Terlepas dari apakah shalat tersebut perlu diulang atau tidak, selama akal dan kesadaran
seorang pasien masih memungkinkan untuk shalat, hendaknya ia tetap melaksanakan shalat
sejauh yang ia mampu. 'Ala kulli hal, kiranya langkah praksisnya adalah sebagai berikut:
pertama, ketika waktu shalat tiba, hendaknya najis dapat dibersihkan dan diminimalisir.
Selain membersihkan pakaian atau alas, dalam kasus penggunaan kateter urine, kantong
penampung urine bisa dikosongkan terlebih dahulu sebelum dilakukan shalat. Terkait ada
sisa sedikit pada alat, pernyataan berikut dalam Hasyiyatul Jamal Syarh al-Minhaj bisa
dirujuk: ‫ ويعفى عن قليل سلس البول في الثوب والعصابة بالنسبة لتلك الصالة خاصة‬Artinya: "...Dan
dimaafkan najis yang sedikit pada salisil baul di pakaian atau anggota tubuh, merujuk pada
kondisi shalat yang demikian..." (Hasyiyatul Jamal 'alal Minhaj, juz 1, hal 242). Kedua, pasien
bersuci sesuai kemampuan dan kondisi fisiknya, baik wudhu ataupun tayamum. Perlu dicatat
bahwa seorang pasien dengan kateter urine, mengingat ia tidak dapat mengendalikan urine
dari selang yang keluar ke dalam kantong penampung, maka ia seperti orang yang
senantiasa menanggung hadats. Ia perlu bersuci dari hadats setiap kali masuk waktu shalat
fardlu. Biasanya, kateter urine tidak sering dilepas-pasang karena menimbulkan rasa tidak
nyaman dan meningkatan risiko iritasi atau infeksi. Karena itu, jika penggunaan kateter ini
indikasinya temporer, untuk lebih hati-hatinya, pasien dapat mengulang shalat fardu yang
telah lalu atau telah dilakukan shalat lihurmatil waqti, jika sudah tidak perlu menggunakan
kateter lagi. Kalau ternyata pemasangan kateter ini perlu dilakukan terus, maka perlu

2
dipertimbangkan agar pasien dapat melakukan shalat sesuai kondisi, dan hambatan-
hambatan yang ada dinilai sebagai kondisi dlarurat, dan permasalahan terkait najis
diminimalisir semampunya dengan langkah di atas tadi. Hemat penulis, hal yang perlu
dicermati pasien, keluarga pasien, maupun siapa saja yang merawat, adalah penggunaan
kateter ini perlu dipandang sebagai kondisi yang dlarurat dalam syariat, selalu sejalan
dengan indikasi yang ada. Kebutuhan syariat terkait dengan medis perlu ditinjau tidak hanya
dari sudut pandang fiqih saja, namun juga perlu ditinjau dari kebutuhan pasien, indikasi
medis, serta realita di lapangan.

2. Prosedur pelaksanaan sholat yang benar bagi pasien dengan kateter dan colostomy
sesuai dengan ketentuan agama Islam
Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan
kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi
kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan. Tindakan pemasangan
kateter urin dilakukan dengan memasukan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam
kandung kemih. Kateter 6 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Yogyakarta:
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), h. 18. 10 memungkinkan mengalirnya urin yang
berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang
mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada
klien yang status hemodinamiknya tidak stabil. Kateterisasi urin membantu pasien dalam
proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk
berkemih. Dalam keadaan seperti tersebut di atas, bagi seorang muslim tidak boleh
meninggalkan shalat. Shalat walaupun dalam keadaan bagaimanapun harus dkerjakan,
namun ada keringanan tersendiri bagi muslim. Dalam hal memakai kateter dalam fiqih
kontemporer disebutkan beberapa pendapat, yakni: 7 1. Dalam mazhab syafi’iyah dikatakan
bahwa: “Barang siapa berhadas secara terus menerus dia wajib berwudhu di setiap shalat
wajib”. 2. Mazhab Hanafiyah mereka mengatakan: “Tidak wajib berwudhu disetiap shalat,
namun dia wajib berwudhu di setiap waktu shalat”. 3. Mazhab Malikiyah menyebutkan
bahwa: “Dia tidak perlu berwudhu disetiap waktu shalat berwudhu jika ada yang membatal
wudhu saja seperti: keluar air seni, mengeluarkan tinja, baik shalat wajib maupun shalat
sunah”. Tempat pelayanan kesehatan merupakan salah satu tempat umum dimana seluruh
kalangan masyarakat akan berinteraksi disana. Diantaranya seperti Rumah sakit, Puskesmas,
Klinik, dan lain-lain. Rumah sakit (hospital) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan
profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan
lainnya. Beberapa pasien bisa hanya 7 Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Fiqih Kontemporer,
(Klaten: Inas Media, 2008), h. 46. 11 datang untuk diagnosis atau terapi ringan untuk
kemudian meminta perawatan jalan, atau bisa pula meminta rawat inap dalam hitungan
hari, minggu, atau bulan. Rumah sakit dibedakan dari institusi kesehatan lain dari
kemampuannya memberikan diagnosa dan perawatan medis secara menyeluruh kepada
pasien. Di tempat pelayanan kesehatan seperti itulah batasan antara laki-laki dan
perempuan menurut islam akan dikesampingkan. Maksudnya dikesampingkan pada kalimat
barusan adalah kaburnya hijab antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ini.
Dapat kita lihat di tempat pelayanan kesehatan bahwa baik dokter, perawat ataupun
petugas pelayanan kesehatan lainnya akan melakukan berbagai interaksi dengan pasien.
Tindakan-tindakan tersebut merupakan serangkaian prosedur yang mesti dijalani menurut
profesi masing-masing. Diantaranya seperti dokter atau perawat yang harus melakukan
pemeriksaan fisik terhadap pasiennya yang pastinya harus menyentuh tubuh pasien,
melakukan injeksi (suntikan) dibagian tertentu yang kadang harus mmbuat pasienmembuka

3
pakaiannya. Tidak hanya itu, bahkan kadang dokter atau perawat harus memegang alat vital
dari kliennya untuk brbagi keperluan seperti pada pemasangan kateter atau operasi pada
bagian tersebut yang tidak jarang bahwa petugas medis yang berlainan jenis kelaminlah
yang melakukan tindakan tersebut. Jadi sebenarnya bagaimanakah pandangan islam
mengenai fenomena yang ada di tempat pelayanan kesehatan ini. Suatu kondisi yang sangat
tidak mungkin untuk ditinggalkan sebab keurgentannya. Lalu bagaimana pula sosok seorang
tenaga medis dan para medis yang seharusnya agar dalam menjalankan tugasnya tetap
berjalan pada syariat agama Islam dan benar-benar akan mendatang kan 12 kemaslahatan
bagi para pasien yang datang untuk berobat di tempat pelayanan kesehatan tersebut.
Dengan tidak merusak syari’at dalam bermu’amalah kepada Allah dengan baik dan benar
khususnya dalam shalat.

4
BAB 3
PENUTUPAN
Kesimpulan
Dalam konteks penggunaan kateter dalam pelaksanaan sholat, penting bagi umat Muslim untuk
memahami hukumnya. Meskipun pemasangan kateter pada pasien di rumah sakit umum dilakukan
untuk kebutuhan medis, pemahaman tentang kewajiban salat perlu disesuaikan dengan kondisi
kesehatan. Islam memberikan kemudahan dan mempertimbangkan kemampuan individu dalam
menjalankan syariat. Meskipun salat orang sakit berbeda, kewajiban untuk melaksanakannya tetap
ada.Pemasangan kateter urine dapat memengaruhi kewajiban shalat bagi penggunanya, dengan
beragam pendapat ulama dalam konteks fiqih Syafi'iyah. Langkah praktis mencakup membersihkan
najis sebelum shalat, mengosongkan kantong urine, dan melakukan bersuci sesuai kemampuan.
Dalam pelayanan kesehatan, interaksi antara laki-laki dan perempuan perlu dikesampingkan,
meskipun petugas medis perlu menjalankan tugas sesuai syariat Islam. Penanganan medis juga
harus mempertimbangkan kebutuhan pasien, indikasi medis, dan realitas lapangan, sambil tetap
mematuhi prinsip-prinsip agama Islam.

Saran
Petugas medis harus memperdalam analisis pandangan ulama dari berbagai mazhab terkait
penggunaan kateter urine dalam ibadah. Menyertakan perspektif medis dan kebutuhan pasien
dalam penanganan kateter urine. Menyelidiki lebih lanjut pandangan ulama terhadap kebersihan
dan najis yang melekat pada kateter urine. Menyampaikan rekomendasi praktis bagi pengguna
kateter urine dalam menjalankan kewajiban ibadah dengan tetap memperhatikan aspek agama.

5
DAFTAR PUSTAKA
Kadun, M., & Zaly, N. W. (2020). Gambaran Praktek Ibadah Sholat Pasien Yang Dirawat Dirumah Sakit
X. Journal of Islamic Nursing, 5(1), 48.
https://doi.org/10.24252/join.v5i1.10843
Rosiska, M., Keperawatan, A., Insani, B., & Penuh, S. (n.d.). Pengaruh Pemberian Teknik Relaksasi
Genggam Jari Terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Post Op.
http://ejournal.undhari.ac.id/index.php/jikdi
Utami, A. K., & Sulisno, M. (2017). Gambaran Pengetahuan Perawat Mengenai Catheter Associated
Urinary Tract Infection (CAUTI) Di RSUD H. SOEWONDO Kendal. Jurnal Departemen Ilmu
Keperawatan, 1, 1–8.

Anda mungkin juga menyukai