Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ISTINJA DAN PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU


Dosen Pengampuh : Abdur Rahim,S.H,M.H

Disusun oleh :
Kelompok 3 : 1. Arora Yuliani (2323130163
2. Sinta (2323
3. Andika (2323

UINIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO


BENGKULU
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah yang berjudul “Istinja dan perkara yang membatalkan wudhu” ini dapat kami
selesaikan dalam kurun waktu yang telah di tentukan. Sholawat berserta salam tidak lupa kita
junjungkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah memberi kita kesempatan untuk
merasakan dunia yang penuh dengan ilmu teknologi yang serba canggih pada saat ini.
Selain itu kami ucapakan terimakasih kepada bapak Abdur Rahim S.H.M.H sebagai dosen
pengampuh mata kuliah fiqih ibadah yang telah memberi kami kesempatan untuk
mempelajari lebih dalam tentang istinja dan perkara yang membatalkan wudhu, Serta kepada
semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah karena untuk mempelajari dan mengkaji
lebih dalam tentang istinja dan perkara yang membatalkan wudhu, selain itu kami berharap
dengan adanya makalah ini dapat membantu teman-teman sekalian untuk dapat memahami
materi ini lebih dalam lagi. Kami selaku penyusun makalah ini menyadari masih banyak
terdapat kekurangan baik dari penyusunan maupun tata cara penyampaian dalam makalah ini,
maka dari itu kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar kami
bisa memperbaiki dan bisa menjadi lebih baik lagi kedepannya. Kami berharap makalah ini
dapat memberikan manfaat untuk semuanya.

Bengkulu, 04 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Istinja.....................................................................................................
B. Hukum Istinja..........................................................................................................
C. Alat-Alat istinja.......................................................................................................
D. Cara Beristinja.........................................................................................................
E. Adab Tata Cara Beristinja.......................................................................................
F. Tempat-tempat Yang Dilarang Dalam Beristinja....................................................
G. Etika Dalam Beristinja.............................................................................................
H. Doa Istinja Dan Hikmahnya....................................................................................
I. Perkara Yang Membatalkan Wudhu........................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang komprensif yaitu menjelaskan semua hal atau aspek
dalam segala kehidupan manusia, mulai dari hal yang berkaitan dengan hubungan
antara manusia dengan Allah (Hablum min Allah) dan juga yang berkaitan dengan
hubungan antara manusia dengan sesamanya (Hablum minan Nas). Allah telah
menjelaskan syari’at islam dengan sempurna. Tidaklah ada satupun dari perkara yang
kecil maupun besar, dari perkara-perkara yang bersentuhan dengan kehidupan dan
kemaslahatan umat manusia. Salah satunya yang mendapat perhatian tinggi dari islam
adalah masalah istinja. Rasulullah shallallahu’alaihiwassalam telah menggambarkan
dalam suatu riwayat shahi, bahwa ada orang yang di azab dalam kuburnya dengan
sebab tidak membersikan dirinya dari kencing yang menimpa dirinya, dan rasulullah
menggambarkan pula bahwa kebanyakan siksa kubur adalah dari sebab kencing. Hal
ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa perkara yang berkaitan dengan adab
istinja dan buang air sangatlah penting untuk diketahui dan kemudian kita praktikkan
dalam kehidupan kita. Dalam makalah singkat ini penulis akan menjelaskan hal yang
harus dimengerti untuk melakukan istinja, mulai dari bagimana cara beristinja hingga
doa dan hikmah beristinja.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah :
1. Apa pengertian dari istinja?
2. Hukum beristinja?
3. Alat-Alat Istinja?
4. Cara beristinja?
5. Adab tata cara beristinja?
6. Tempat-tempat yang dilarang untuk beristinja?
7. Etika dalam beristinja?
8. Doa istinja?
9. Perkara yang membatalkan wudhu?

C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan dalam makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian dari istinja
2. mengetahui hukum istinja
3. Mengetahui tempat-tempat yang dilarang untuk beristinja
4. Mengetahui tata cara beristinja
5. Mengetahui alat-alat beristinja
6. Mengetahui etika dalam beristinja
7. Mengetahui doa istinja dan hikmahnya
8. Mengetahui perkara apa saja yang dapat membatalkan wudhu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istinja
Menurut etimologi, istinja adalah menghilangkan “al-najwa”, yaitu kotoran yang
keluar ketika buang air besar, atau sesuatu yang keluar dari tubuh berupa angin
(kentut) maupun kotoran. Arti lain dari kata “Istinja” adalah mengusap atau
membersihkan tempat keluarnya kotoran. Istinja menurut bahasa artinya terlepas atau
selamat, sedangkan menurut pengertian syariat islam adalah bersuci setelah buang air
kecil. Secara lengkapnya istinja adalah menghilangkan sesuatu yang keluar dari
kubul atau dubur dengan menggunakan air suci untuk mensucikan atau batu yang
suci, atau benda-benda lain yang memiliki fungsi sama dengan air dan batu.

Menurut Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Fikih Empat Madzhab Jilid 1


menjelaskan, istilah ini disebut juga dengan istithabah atau istijmar. Hanya saja,
istijmar biasanya dikhususkan untuk istinja dengan batu. Istijmar sendiri diambil dari
kata al-jimar yang berarti kerikil kecil. Sedangkan, disebut juga dengan istithabah
karena dampak yang ditimbulkannya (membersihkan kotoran) membuat jiwa terasa
nyaman.

Dalam pendapat lain sebagaimana dijelaskan oleh Rosidin dalam buku Pendidikan
Agama Islam, kata istinja berasal dari akar kata naja' yang artinya bebas dari penyakit
(kotoran). Jadi, disebut istinja karena orang yang beristinja berusaha bebas dari
penyakit dan menghilangkan penyakit tersebut.

B. Hukum Beristinja
Buang hajat merupakan kebutuhan sehari-hari manusia, baik buang air besar
maupun buang air kecil, mungkin dalam sehari lebih dari sekali mereka membuang
hajat. Buang hajat yang lancar merupakan tanda kesehatan tubuh, tersendatnya buang
hajat adalah indikasi adanya ketidakberesan pada tubuh. Agama Islam selalu
memperhatikan hal-hal besar ataupun kecil dalam kehidupan manusia. Termasuk
buang hajat dan istinja, bila selesai buang hajat, kita wajib ber-istinja, yaitu
menghilangkan bekas kotoran yang keluar dari salah satu lubang kemaluan, baik
dubur (anus) maupun kubul (vagina dan penis).Untuk menghilangkan kotoran
tersebut, diutamakan menggunakan air yang suci.

Para fuqaha memiliki pendapat tentang hukum istinja. Berikut ini adalah beberapa
pendapat dari berbagai kalangan yaitu :

 Kalangan madzhab Syafi'i


Berpendapat, bahwa istinja adalah wajib karena adanya hadits yang
memerintahkan mengenai hal ini. Juga karena ia adalah najis yang tidak sulit
dalam menghilangkannya. Maka tidaklah sah sholat seseorang jika dia belum
beristinja sebagaimana hukumnya semua najis.
 Menurut Abu Hanifah
Beliau berkata bahwa hukum beristinja itu adalah sunnah, ini juga
merupakan riwayat imam malik yang diriwayatkan dari Al-Muzanni, salah
seorang sahabat Asy-Syafi”i. Abu Hanifah menyebutkan bahwa ia adalah
najis. Maka jika ada najis yang sebesar dirham, yakni seperti bagian bawah
telapak tangan, maka dia dimaafkan, jika lebih dari itu maka tidak dimaafkan.
Demikian halnya dalam pandangannya mengenai istinja. Jika yang keluar
lebih dari ukuran dirham maka, wajib dicuci dengan air dan tidak boleh
menggunakan batu. Dalam pandangannya, tidak wajib beristinja' dengan
menggunakan batu. Abu Hanifah beralasan dengan hadits. "Barangsiapa yang
menggunakan batu dalam istinja', maka hendaknya dia melakukannya dengan
genjil. Dan barang siapa yang melalakukan itu, maka dia telah melakukannya
dengan baik. Dan barangsiapa yang tidak melakukan itu, maka tidak apa-apa”.

An-Nawawi berkata, Hadits di atas diriwayatkan Ad-Durimi. Abu Dawud,


dan ibnu Majah dengan derajat hasan. Sebab dia adalah najis yang tidak
diwajibkan untuk dihilangkan bekasnya (karena batu tidak bisa
menghilangkan bekas), demikian pula ia tidak bisa menghilangkan najisnya.
Sebagaimana darah kutu. Sebab ia juga bukanlah najis yang wajib dihilangkan
dengan air (sebagaimana najis-najisyang lain), maka yang lain juga tidaklah
wajib.

 Menurut Al-Muzanni
Beliau berkata bahwa kami sepakat tentang bolehnya mengusap dengan
batu, maka tidaklah wajib menghilangkannya sebagaimana mani. Kalangan
Asy-Syafi’i berpendapat dengan berdalilkan pada hadits Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda, "sesunggunya hanya aku
bagi kalian laksana seorang ayah. Maka jika salah seorang dari kalian pergi
buang air hendaklah dia tidak menghadap Kiblat dan jangan pula
membelakanginya, dan hendaklah dia beristinja dengan menggunakan tiga
batu". Hadits ini diriwayatkan Imam As Syafi'i dalam Musnadnya dan dalam
kitab hadits yang lain dengan sanad shahih. Sebagaimana ia dengan maknanya
juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa'i dan Ibnu Majah dalam Sunan
mereka dengan sanad-sanad yang shahih.

C. Alat-Alat Istinja
Istinja hendaklah dilakukan dengan menggunakan air, batu, atau yang semacamnya,
yaitu benda-benda yang keras, suci dan mampu menghilangkan kotoran dan juga
barang tersebut bukanlah barang yang berharga (terhormat) menurut syara’. Diantara
alat yang bisa digunukan untuk beristinja adalah kertas, potongan kain, kayu dan kulit
kayu. Dengan menggunakan alat-alat ini, maka tujuan istinja akan tercapai sama
seperti ketika menggunakan batu. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan
bahan yang keras dan juga air sekaligus. Yaitu, dengan menggunakan kertas dan
semacamnya, kemudian diikuti dengan menggunakan air, karena benda najis itu akan
hilang dengan kertas ataupun batu dan bekasnya akan hilang dengan menggunakan
air. Menggunakan air saja adalah lebih baik daripada menggunakan batu saja atau
seumpamanya, karena air mempu menghilangkan zat najis dan juga bekasnya.
Berbeda dengan batu, benda kertas dan seumpamanya. Diriwayatkan dari sahabat
Anas bin Malik, bahwa ketika ayat ke-108 Surah At-Taubah turun, yaitu “....Di
dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri....”

Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Kaum Ansar! Sesungguhnya Allah Swt telah
memuji kalian berkaitan dengan masalah bersuci. Apakah (jenis-jenis) bersuci yang
telah kamu lakukan?” dan mereka menjawab “kami berwudhu untuk shalat, mandi
karena jinabah dan ber-istinja dengan air.” Rasulullah berkata “Pahalanya adalah
untuk kalian, maka hendaklah kalian menggamalkannya.” Riwayat Ibnu Majah, Al-
Hakim, dan aAl-Baihaqi dan sanadnya hasan. Hadist ini didukung oleh kata-kata Ibnu
Abbas, “Ayat berikut ini diturunkan kepada penduduk, “Di dalamnya ada orang yang
ingin membersihkan diri, dan Allah mengasihi orang yang menyucikan dirinya!" Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka tentang cara bersuci
lalu mereka menjawab, "Kami menggunakan batu dan disusuli dengan air." (Nashbur
Rayah, jilid 1 halaman 218 dan seterusnya).

D. Cara Beristinja
Cara beristinja dapat dilakukan dengan salah satu tiga cara sebagai berikut :1
1. Membasuh atau membersihkan tempat keluar kotoran air besar atau air kecil
dengan air sampai bersih. Ukuran bersih ini ditentukan oleh keyakinan
masing-masing.
2. Membasuh atau membersihkan tempat keluar kotoran air besar atau air kecil
dengan batu, kemudian dibasuh dan dibersihkan dengan air.
3. Membasuh dan membersihkan tempat keluar kotoran air besar atau air kecil
dengan batu atau benda-benda kesat lainnya sampai bersih. Membersihkan
tempat keluarnya kotoran air besar atau air kecil ini sekurang-kurangnya
dengan tiga batu yang memiliki tiga permukaan sampai bersih. Rasullulah saw
bersabda sebagai berikut :

“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melalui dua buah kuburan, kemudian


beliau bersabda : Sesungguhnya kedua orang yang berada dalam kubur itu
sedang disiksa. Adapun salah seorang dari keduanya sedang disiksa karena
mengadu-ngadu orang, sedangkan yang satunya sedang disiksa karena tidak
menyucikan kencingnnya.” (HR. al-Bukharadin Muslim).
1 Supiana dan karman, Meteri PAI, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000
E. Adab Tata Cara Beristinja
Ada beberapa hal yang menjadi adab tata cara bagaimana beristinja yang benar dan
sesuai syariat, yaitu sebagai berikut :2
1. Istinja dengan menggunakan air
Air adalah seutama-utama alat bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan
tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur atau qubul, dibandingkan
dengan selainnya. Berkaitan dengan orang-orang yang bersuci dengan
menggunakan air. Allah SWT menurunkan firman-Nya:
“Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya
masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama
adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Didalam masjid itu ada orang-
orang yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya allah menyukai orang-
orang yang bersih.” (QS.at-Taubah:108)

2. Istinja dengan menggunkan batu


Istinja dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang
menempati kedudukannya yang dapat membersihkan najis yang keluar dari
dubur dan qubul diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Salmanal-
Farisiradhiallahu’anhu berkata : “Rasulullah Saw melarang kami dari istinja
dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang” (HR.Muslim).

Pengkhususan larangan pada benda-benda tersebut menunjukan


bawasannya Rasulluah Saw memperbolehkan istinja dengan menggunakan
batu dan benda-benda lainnya yang dapat membersihkan najis yang keluar dari
dubur dan qubul. Seseorang yang dikatakan suci apabila telah hilang najis dan
basahnya tempat disebabkan najis, dan batu terakhir atau yang selainnya
keluar dalam keadaan suci, tidak ada bekas najis bersamanya.

Beristinja dengan mengunkan batu dan selainnya tidaklah mencukupi


kecuali dengan menggunakan tiga batu. Salmanal Farizi radhiallahhu’anhu
berkata : “Rasulullah Saw melarang kami beristinja dengan menggunakan
tangan kanan atau kurang dari tiga batu”. (HR. Muslim).
2 Mustaqi Fauzal 2015 Istinja
3. Istinja dengan benda yang dimuliakan
Seseorang tidaklah diperbolehkan istinja dengan menggunakan tulang,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadist Salman radhiallahhu’anhu
diatas. Mengapa dilarang beristinja dengan tulang? Ulama mengatakan inilah
(sebab) dilarangnya beristinja menggunakan tulang :
a) Apabila tulang untuk istinja berasal dari tulang yang najis, tidaklah ia
akan membersihkan tempat keluarnya najis tersebut , justru makin
menambah najisnya tempat tersebut.
b) Apabila berasal dari tulang yang suci lagi halal, maka iamerupakan
makanan bagi binatang jin, dan harus kita muliakan dan harus kita
hormati. Dalam hadist riwayat muslim dari jalur Ibnu Mas’ud
radhiallahu’anhu, Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kalian istinja
dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang, sebab ia
merupakan bekal saudara kalian dari kalangan jin.”

Berdasarkan inilah (Sebab) yang disebutkan diatas, maka dikiaskan


kepadanya makanan manusia dan binatang, karena bekal manusia dan
kendaraannya harus lebih dihormati. Dan sedemikian juga segala
benda yang ditulisakan didalamnyailmu agama islam, karena ia lebih
mulia dari sekedar bekal fisik manusia, terlebih lagi bila didalamnya
tertulis al-Qur’an, sunnah dan nama-nama allah.

4. Istinja dengan tangan kanan


Tidaklah boleh beristinja menggunakan tangan kanan, karena tangan kanan
dipergunakan untuk sesuatu yang mulia, berdasarkan kepada kaidah-kaidah
umum syari’at islamiyyah dalam menggunakan tangan dan kaki. Dalam
masalah istinja ini ada larangan secara khusus dari Rasullulah Saw yang
disampaikan oleh sahabat Salman Farisira radhiallahu’anhu, yakni :
“Rasulullah Saw melarang kami dari istinja dengan menggunakan tangan
kanan atau kurang dari tiga batu” (HR.Muslim).

5. Disunnahkan buang jahat di tempat yang jauh dari manusia


Hal ini dimaksudkan agar auratnya tidak dilihat oleh orang lain (ketika
buang jahat). Ini merupakan suatu adab dan sopan santun yang mulia,
didalmnya terdapat penjagaan kehormatan seseorang, bagaimana telah
dimaklumi. Rasulullah Saw sebagai suritauladan utama kita, telah
mencontohkan hal ini, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh sahabat Jabir
bin Abdullah radhiallahu’anhu : “Rasulullah Saw pergi sehingga tidak terlihat
oleh kami, lalu menunaikan jahatnya.” (HR. Bukhari, Muslim).
Namun apabila sesorang buang jahat ditempat tertutup, sehingga tidak ada
seorangpun yang bisa melihatnya, maka hal itu telah mencukupinya, karena
telah didapatkan maksud dari menjauhkan diri dari manusia, yaitu agar
auratnya tidak diliat oleh orang lain (ketika buang jahat).3

3 Abu Muawiyah. 2008. adab-adab istinja (Buang Air)


6. Memlilih tempat empuk untuk buang air kecil
Bila seseorang melakukan buang air kecil ditanah lapang atau padang
pasir, maka hendaklah ia memilih tempat yang empuk,agar air kencingnya
tidak terpercik kembali keanggota tubuhnya sehingga ternajis oleh kencing
tersebut.

F. Tempat-tempat yang dilarang untuk istinja


Ada beberapa tempat yang dilarang untuk beristinja, diantaranya yaitu :
1. Ditempat teduh dan di jalan umum
Diharamkan buang air besar dan kecil ditempat ini dikarenakan mengganggu
orang yang memanfaatkan tempat tersebut untuk berjalan ataupun berteduh. Allah
Swt Berfirman :
‫َو اَّلِذ ْيَن ُيْؤ ُذ ْو َن اْلُم ْؤ ِمِنْيَن َو اْلُم ْؤ ِم ٰن ِت ِبَغْيِر َم ا اْك َتَسُبْو ا َفَقِد اْح َتَم ُلْو ا‬
‫ُبْه َتاًنا َّوِاْثًم ا ُّمِبْيًنا‬
Artinya :
“ Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul dosa
yang nyata.” (QS.Al-Ahzab:58)

Dan Rasulullah Saw Bersabda : “Takutlah kalian dari dua perkara yang
menyebabkan laknat!”. Para sahabatnya bertanya “ Wahai Rasullulah, apa dua
perkara yang menyebabkan laknat tersebut?”. Rasulullah Saw menjawab : “Orang
yang buang hajat dijalan manusia dantempat berteduh mereka.” (HR.Muslim)

2. Dibawah Pohon
Hal ini karena akan mengganggu terhadap orang yang akan memanfaatkan
phon tersebut, baik dalam hal memetik buah yang dapat dimanfaatkan maupun
mengambil kayu atau dahannya. Dan seorang muslim tidaklah boleh mengganggu
sesamanya, sebagimana keumuman ayat 58 dari surat al-ahzab diatas, dan juga
seorang muslim dilarang memudharatkan orang lain dan membalas kemudharatan
dengan kemudharatannya yang semisalnya.

3. Disumber air
Hal ini karena mengotori sumber air tersebut dan bahkan bisa jadi akan
menajiskannya. Hal tersebut memungkinkan kenapa bila najis yang keluar dari
orang yang buang hajat tersebut sampai kepada derajat mengubah rasa, warna,
atau bau air yang ada disumber air tersebut. Disamping itu buang air ditempat ini
juga mengganggu orang yang akan memanfaatkan sumber air tersebut. Disamping
itu, buang air ditempat ini juga akan mengganggu orang yang akan memanfaatkan
sumber air tersebut. Seorang muslim tidaklah boleh mengganggu sesamanya,
sebagaimana keumuman ayat 58dari surat al-Ahzabdiatas, dan juga seorang
muslim dilarang memudharatkan orang lain dan membalas kemudharatan dengan
kemudharatan yang semisalnya.

Selain itu,kencing disumber air merupakan salah satu hal yang dapat
menyebabkan laknat sebagaimana disebut kandala mhaditshasan yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud: Rasulullah Saw bersabda: "Takutlah dari tiga
perkara yangmenyebabkanlaknat!!Yaitu:buangairbesardisumberair jalan raya, dan
tempat berteduh."

4. Dilubang
Seseorang ketika buang air kecil di tanah lapang dilarang melakukan kencing
dilubang tempat serangga atau binatang melata lainnya.Larangan disini bersifat
makruh,bukan haram,karena itulah ia menjadi diperbolehkan jika lauberhajat
kepadanya dan tidak ada tempat yang lain kecuali lubang tersebut. Dasar dari
larangan ini adalah:

a) HaditsQotadahdariAbdullahbinSirjis, bahwasanya Nabi Dikatakan kepada


Qotadah "Ada apa dengan lubang?"Beliau menjawab: "Dikatakan bahwa
lubang adalah tempat tinggal bagi jin." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalihal-Utsaimin rahimahullah:
"Haditsinididho'ifkanolehsebagianulamadan dishohihkan oleh sebagian
yang lain. Dan paling rendahnya, hadits ini berderajat hasan, karena para
ulama menerimanya dan berhujjah dengannya." (Syarh Mumthi 1/119)

b) Ditakut kanter dapat serangga dan hewan melata lainnya yang bertempat
tinggal ditempat tersebut,sehingga kencing kita akan merusak tempat
tinggalnya atau ia akan keluar dan menyakiti kita. sedangkan kita sedang
kencing atau barang kali akeluar secara tiba-tiba lalu kita menghindarinya
dan akhirnya kita tidak selamat dari percikan kencing kita atau yang lebih
besar dari pada hal itu.

G. Etika saat membuang hajat


Ada beberapa etika dalam beristinja adalah sebagai berikut :
1. Membaca doa sebelum masuk WC
2. Tidak boleh membawah sesuatu yang mengandung lafaz Allah dan Rasulullah
3. Mendahulukan kaki kiri ketika masuk dan kaki kanan ketika keluar WC
4. Berhati-hati dari percikan najis
5. Tidak berbicara
6. Tidak beristinja dengan tangan kanan
7. Tidak boleh menghadap kiblat atau membelakangi kiblat
8. Bersembunyi atau berjauhan dari orang-orang agar tidak terlihat dan tercium
kotoran yang keluar
9. Tidak boleh buang air dibawah pohon rindang atau berbuah
H. Doa Beristinja
Usai buang hajat dapat melakukan istinja dan dianjurkan membaca doa pada saat
membersihkannya. Mengutip buku Doa-doa Mustajab Orang Tua untuk Anaknya
karya Aulia Fadhli, berikut bacaan doa istinja lengkapnya.

‫َالّٰل ُهَّم َح ِّس ْن َفْر ِج ْى ِم َن اْلَفَو اِخ ِش َو َظِّهْر َقْلِبْي ِم َن الِّنَفاق‬


Artinya: "Ya Allah bersihkanlah farjiku (kemaluan) dari keburukan dan bersihkan
hatiku dari nifaq (kemunafikan).

I. Perkara yang mebatalkan wudhu


Berikut adalah perkara yang membatalkan wudu, disarikan dari kitab Matan al-
Ghoyatu wat Taqrib karangan Abi Suja dan keterangan Ibnu Qasim al-Ghazi dalam
Fathul Qaribul Mujib :

1. Keluarnya sesuatu dari kemaluan perkara pertama yang membatalkan wudhu


adalah keluarnya sesuatu dari kemaluan depan (qubul) maupun belakang
(dubur) seperti darah haid, air mani, madzi, buang air besar, kencing, ataupun
kentut. Penjelasan tersebut berdasar pada firman Allah Swt. surah Al-
Maidah ayat 6 :

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ُقْم ُتْم ِاَلى الَّص ٰل وِة َفاْغ ِس ُلْو ا ُوُجْو َهُك ْم َو َاْيِدَيُك ْم ِاَلى اْلَم َر اِفِق‬
‫َو اْمَس ُحْو ا ِبُرُءْو ِس ُك ْم َو َاْر ُج َلُك ْم ِاَلى اْلَك ْع َبْيِۗن َو ِاْن ُكْنُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّهُرْو ۗا َو ِاْن ُكْنُتْم َّم ْر ٰٓض ى‬
‫َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َاْو َج ۤا َء َاَح ٌد ِّم ْنُك ْم ِّم َن اْلَغ ۤا ِٕىِط َاْو ٰل َم ْس ُتُم الِّنَس ۤا َء َفَلْم َتِج ُد ْو ا َم ۤا ًء َفَتَيَّمُم ْو ا‬
‫َص ِع ْيًدا َطِّيًبا َفاْمَس ُحْو ا ِبُوُجْو ِهُك ْم َو َاْيِد ْيُك ْم ِّم ْنُهۗ َم ا ُيِر ْيُد ُهّٰللا ِلَيْج َعَل َع َلْيُك ْم ِّم ْن َحَر ٍج‬
‫َّو ٰل ِكْن ُّيِر ْيُد ِلُيَطِّهَر ُك ْم َو ِلُيِتَّم ِنْع َم َتٗه َع َلْيُك ْم َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرْو َن‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak
melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku
serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki.
Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan,
kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak
memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah
wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan
bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.”
2. Tidur
Selanjutnya hal yang dapat membatalkan wudu adalah tidur karena dapat
menghilangkan kesadaran, dalam sebuah hadis dijelaskan:
‫َفَم ْن َناَم َفْلَيَتَو َّض ْأ‬
Artinya: “Barang siapa yang tidur maka berwudhulah,” (HR. Abu Dawud).
Sementara dalam keterangan lain tidur bisa tidak membatalkan wudhu kecuali
posisi duduk menetap seperti duduknya orang bersila.

3. Hilangnya akal sebab mabuk atau pingsan


Kehilangan akal karena mabuk, gila, atau pingsan juga menjadi salah satu
perkara yang dapat membatalkan wudhu. Hal tersebut didasarkan pada hadis
di atas, bahwa tanpa kesadaran, kita tidak mengetahui apa saja yang kita
lakukan, dan bisa jadi melakukan hal yang membatalkan wudhu.

4. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan


Menyentuh kemaluan sendiri ataupun orang lain dengan telapak tangan
dapat membatalkan wudu. Hal ini didasarkan atas dalil berikut:
‫ َعْن ِبْسَر ْة ِبْنِت َص ْفَو اْن َر ِض َي هللا‬، ‫َر َو ى ْالَخ ْم َس ُة َو َصَّح َح ُه الِّتْر ِمِذ ْى‬
‫ َم ْن َم َّس َذ َك َر ُه َفاَل ُيَص ِّلَي‬: ‫ َاّن الَّنِبَّي صلى هللا عليه وسلم َقاَل‬: ‫َع ْنها‬
‫َح َّتى َيَتَو َّض اَء‬
Artinya: “Dalam sebuah hadis yang dishahihkan oleh Imam Tirmidzi dari Bisrah binti
Shafwan r.a. bahwa Nabi Saw bersabda: Barang siapa yang memegang zakarnya
janganlah melakukan shalat hingga ia berwudhu.

5. Bersentuhan dengan yang bukan mahramnya


Bersentuhan dengan yang bukan mahramnya tanpa penghalang juga dapat
membatalkan wudu, keterangan ini merujuk pada firman Allah Swt dalam surah Al-
Maidah ayat 6 sebagaimana dijelaskan di atas.

6. Menyentuh lubang dubur


Menyentuh lubang dubur sama halnya dengan perkara sebelumnya, bagi siapapun
yang menyentuh lubang dubur dengan menggunakan bagian telapak tangan atau jari
jemari maka wudunya akan batal. Baik itu punya sendiri atau orang lain dan yang
yang disentuh masih hidup maupun sudah mati, anak kecil atau dewasa,
menyentuhnya secara sengaja atau tidak sengaja, atau kelamin yang
disentuh telah terputus.
BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai