Anda di halaman 1dari 24

ISTINJA' DAN WUDHU

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Ibadah

Dosen Pengampu :

Muhammad Abdul Ghofur, M.H

Disusun Oleh :

Kelompok 3

1. Aidil Firmayuda 23862302721


2. Fauzan Annassyah 23862302713
3. Rifqi Vebryan Alimuddin 23862302842

KELAS 1C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STAIN SULTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga
kami sebagai tim penyaji dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan, “Istinja’ dan
Wudhu”, dengan tepat waktu dan berjalan lancar.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Abdul Ghofur, M.H
selaku dosen mata kuliah Fiqh Ibadah yang selalu membimbing kami dalam pembelajaran.
Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Fiqh Ibadah dengan tujuan dapat menambah
informasi dan wawasan seputar wudhu dan istinja’ dengan memahami secara definitif, tata
cara, hingga sifat atau hukum-hukum nya.

Selama proses penyusunan dan hasil yang disajikan dalam bentuk makalah ini, tim
penyaji menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan. Tidak ada manusia yang
sempurna maka dari itu kami sekiranya memohon maaf kepada para pembaca apabila masih
menemukan kesalahan dalam penulisan. Tim penyaji juga mengharapkan adanya kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca, dengan begitu dapat meningkatkan dan membantu
tim penyaji untuk mengembangkan makalah yang lebih baik.

Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini dapat menambah wawasan bagi para
pembaca secara umum serta kami secara khusus, semoga dari makalah ini dapat memberikan
kebermanfaatan khususnya dibidang keilmuan Islam.

Bintan, 16 September 2023

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………….……………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR……………….………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….iii
BAB I: PENDAHULUAN………….………………………………………………………….1
A. Latar Belakang……………………………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………..1
C. Tujuan Penulisan……………….…………………………………………………………...2
D. Metode Penulisan…………………………………………………………………………...2
BAB II : PEMBAHASAN…………….………………………………………………………..3
A. Pengertian dan Dalil Istinja’……….………………………………………………………..3
B. Syarat-Syarat Istinja’……………….……………………………………………………….4
C. Alat-Alat Istinja’……………………………………………………………………………6
D. Pengertian dan Dalil Wudhu……….……………………………………………………….7
E. Syarat-Syarat Wudhu……………………………………………………………………….8
F. Rukun Wudhu…………………….…………………………………………………………9
G. Sunnah Wudhu…………….………………………………………………………………11
H. Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu………………………………………………………15
I. Hikmah Istinja’ dan Wudhu………………………………………………………………..16
BAB III: PENUTUP………………………………………………………………………….19
A. Kesimpulan….…………………………………………………………………………….19
B. Saran………….…………………………………………………………………………...20
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………..21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang komprehensif yaitu meliputi semua hal atau aspek dalam
segala kehidupan manusia, mulai dari hal yang berkaitan dengan hubungan antara manusia
dengan Allah (hablummin Allah) dan juga yang berkaitan dengan hubungan antara manusia
dengan sesamanya (hablummin an Nas). Allah telah menjelaskan syari’at Islam dengan
sempurna. Tidak ada sesuatupun dari perkara yang kecil maupun yang besar luput dari
pandangan-Nya. Salah satu hal yang diperhatikan dalam Islam yaitu bersuci. Dalam
beribadah seorang muslim harus memenuhi syarat wajib dan mampu menyikapi permasalahan
yang dapat membuat batal atau tidak sahnya beribadah. Sebelum melakukan ibadah kita wajib
membersihkan diri atau menyucikan diri terlebih dahulu dengan cara berwudhu atau mandi,
jika tidak ada air maka diperbolehkan tayamum. Dalam hal ini, Islam sangat memperhatikan
kesucian dan kebersihan seseorang dengan berwudhu dan beristinja’.
Adapun istinja’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengabarkan dalam
suatu riwayat yang shahih, bahwa ada seorang yang diazab dalam kuburnya dengan sebab tidak
membersihkan dirinya dari kencing yang menimpa dirinya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam telah mengabarkan pula bahwa kebanyakan siksa kubur adalah dari sebab kencing.
Hal ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa perkara yang berkaitan dengan adab istinja’
dan buang air, sangatlah penting untuk diketahui dan kemudian kita praktekkan dalam
kehidupan kita.
Adapun kunci seorang muslim untuk melaksanakan salat ialah dengan berwudhu.
Seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan salat. Berwudhu bisa pula
menggunakan debu yang disebut dengan tayammum. Sejarah disyariatkannya wudhu terdapat
dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Ma'idah ayat 6 yang bersamaan dengan perintah salat fardu
yaitu enam bulan sebelum Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah. Dari kedua cara bersuci
tersebut, memiliki beberapa ketentuan yang harus diketahui. Namun pada praktiknya, banyak
diantara umat Islam masih belum memahami secara mendalam. Maka dari itu, makalah ini
hadir sebagai sarana meningkatkan pemahaman mengenai wudhu dan istinja’.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan istinja'?
2. Apa yang dimaksud dengan wudhu?
3. Apa saja dalil-dalil yang berkaitan dengan istinja' dan wudhu?
4. Apa saja alat-alat yang dapat digunakan ketika beristinja'?
5 Apa saja syarat-syarat sah berwudhu?
6. Apa saja rukun-rukun wudhu?
7. Apa saja sunnah-sunnah wudhu?
8. Hal apa saja yang dapat membatalkan wudhu?
9. Apa hikmah setelah beristinja' dan berwudhu?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami pemahaman tentang istinja' dan wudhu
2. Untuk mengetahui kemuliaan yang terkandung pada dalil-dalil istinja' dan wudhu
3. Untuk mengetahui dan memahami cara beristinja' dengan alat-alat bersuci yang disahkan
4. Untuk memahami syarat-syarat, rukun-rukun, dan sunnah-sunnah wudhu
5. Untuk memahami beberapa hal yang dapat membatalkan wudhu
6. Untuk memahami hikmah penting yang terkandung pada aktivitas beristinja' dan berwudhu

D. Metode Penulisan
Dalam penulisan tugas makalah ini, tim penyusun menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (library research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka. Menurut Abdul Rahman Sholeh, penelitian kepustakaan (library
research) merupakan penelitian yang mengunakan cara untuk menemukan data informasi
dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpustakaan seperti buku, majalah, dokumen,
catatan kisah-kisah sejarah atau penelitian kepustakaan murni yang terkait dengan obyek
penelitian. Selain itu, tim penyusun menggunakan sumber pustaka daring melalui media
Google sebagai rujukan sumber pustaka yang tentunya mengambil referensi terpercaya guna
menunjang keaslian informasi atau ilmu yang disajikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dalil Istinja'


Istinja dipahami sebagai perbuatan membersihkan qubul atau dubur, dalam bahasa Arab
merupakan dari kata najâ yanjû, yang berarti memotong atau melepas diri (qatha‘a). Seseorang
yang beristinja’ artinya orang yang sedang berupaya melepas dirinya dari kotoran yang
menempel pada anggota tubuhnya. Istinja’ dalam terminologi syariat adalah membersihkan
kotoran yang keluar dari kemaluan, qubul ataupun dubur, menggunakan air atau batu yang
terbelit beberapa syarat tertentu.
Menurut H. Abda’i, salah satu cara membersihkan diri dalam Islam adalah melalui
istinja’, yaitu menyucikan diri dari najis. Beliau mengatakan, “Istinja adalah membersihkan
najis yang keluar dari dubur dan qubul atau kemaluan menggunakan air, batu, tisu, atau benda
semacamnya yang suci dan bersih".
Dari beberapa riwayat hadits, Rasulullah Saw. bersabda: Beliau telah melewati dua
buah kuburan, ketika itu beliau bersabda, “Kedua orang yang ada dalam kubur ini disiksa.
Seorang disiksa karena mengadu domba orang, dan yang seorang lagi karena tidak mengistinja’
kencingnya.” (Muttafaqun ‘alaihi). Kemudian dari periwayatan hadits lainnya yakni, “Apabila
salah seorang dari kamu beristinja’ dengan batu, hendaklah ganjil.” (H.R Bukhari dan Muslim).
Serta salah satu sabda nabi yang berbunyi, Sulaiman berkata, “Rasulullah Saw. telah melarang
kita beristinja’ dengan batu kurang dari tiga.” (H.R Muslim)
Dalam hadits tersebut disebutkan tiga batu. Maksudnya adalah setiap benda yang keras,
suci, dan kesat seperti kayu, tembikar, dan sebagainya. Adapun benda yang licin tidak sah
dipakai istinja’ karena tidak dapat menghilangkan najis. Demikian pula benda yang dihormati
seperti makanan dan sebagainya karena dinilai sebagai mubazir.
Dari beberapa istilah dan pendapat mengenai seputar istinja’, dapat disimpulkan bahwa
istinja’ adalah menghilangkan kotoran atau najis yang berasal dari qubul (lubang kemaluan)
dan dubur (lubang belakang) dengan menggunakan perantara air, batu, dan alat-alat beristinja’
lainnya yang suci dan bersih. Selain itu disepakati oleh ulama bahwa hukum beristinja’ adalah
wajib untuk dibersihkan.
Berikut beberapa dalil yang membahas tentang istinja’ berdasarkan riwayat hadits
Rasulullah Saw, diantaranya:
a. Memegang kemaluan dengan tangan kiri

,ِ‫ّللَا – صلى هللا عليه وسلم – – ََل ي ُْم ِسك هَن أ َ َحدُكُ ْم ذَك ََرهُ ِبيَمِ ينِه‬ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل َ ه‬:َ‫ع ْن أ َ ِبي قَت َادَة َ – رضي هللا عنه – قَال‬ َ ‫َو‬
‫ َوالله ْفظُ ِل ُم ْسلِم‬,ِ‫علَ ْيه‬
َ ‫س فِي ا َ ْ ِْلنَاءِ – ُمتهفَ ٌق‬ ْ ‫ َو ََل يَتَنَفه‬,ِ‫س ْح ِم ْن ا َ ْلخ َََلءِ ِبيَمِ ينِه‬
‫ َو ََل يَت َ َم ه‬,ُ‫َوه َُو يَبُول‬

Artinya: Dari Abu Qotadah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu menyentuh
kemaluannya dengan tangan kanan ketika sedang kencing, jangan membersihkan bekas
kotorannya dengan tangan kanan, dan jangan pula bernafas dalam tempat air.”
(Muttafaqun Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim)

b. Larangan menghadap kiblat saat di tanah lapang

3
‫ّللَا – صلى هللا عليه وسلم – “أ َ ْن نَ ْست َ ْق ِب َل ا َ ْل ِق ْبلَةَ ِبغَائِطٍ أ َ ْو‬ ِ ‫ – لَقَدْ نَ َهانَا َرسُو ُل َ ه‬:َ‫س ْل َمانَ – رضي هللا عنه – قَال‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫َو‬
‫ظ ٍم” – َر َواهُ ُم ْسلِم‬ ْ ‫ع‬ َ ‫يع أ َ ْو‬ َ ‫ أ َ ْو أ َ ْن نَ ْست َ ْن ِج‬,‫ار‬
ٍ ‫ي ِبأَقَ هل ِم ْن ث َ ََلث َ ِة أ َ ْح َج‬
َ ‫ أ َ ْو أ َ ْن نَ ْست َ ْن ِج‬,‫ين‬
ِ ِ‫ي ِبا ْل َيم‬
َ ‫ أ َ ْو أ َ ْن نَ ْست َ ْن ِج‬,‫َب ْو ٍل‬
ٍ ‫ي ِب َر ِج‬

Artinya: Dari Salman Radiyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa


Sallam benar-benar telah melarang kami menghadap kiblat pada saat buang air besar
atau kecil, atau ber-istinja’ (membersihkan kotoran) dengan tangan kanan, atau
beristinja’ dengan batu kurang dari tiga biji, atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau
dengan tulang. (H.R Muslim)

B. Syarat-Syarat Istinja'
Dalam kitab Safinatun Naja, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menyebutkan
delapan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak beristinja’ hanya dengan batu saja
tanpa menggunakan air. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan:

‫ أن يكون بثَلثة أحجار وأن ينقي المحل وأَل يجف النجس وَل ينتقل وَل يطرأ عليه أخر وَل‬:‫شروط اجزاء الحجر ثمانية‬
‫يجاوز صفحته وحشفته وَل يصيبه ماء وأن تكون األحجار طاهرة‬

Artinya: “Syarat beristinja’ hanya dengan menggunakan batu ada delapan, yakni dengan
menggunakan tiga buah batu, batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis, najisnya
belum kering, najisnya belum pindah, najisnya tidak terkena barang najis yang lain, najisnya
tidak melampaui shafhah dan hasyafah, najisnya tidak terkena air, dan batunya suci.”

Kemudian disampaikan oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Kasyifatus


Saja tentang penjelasan dari kedelapan syarat beristinja’ sebagai berikut:
1. Dengan menggunakan tiga buah batu atau tiga buah sisi dari satu batu.
Meskipun dengan satu batu atau satu sisi batu tempat yang dibersihkan dari najis
telah bersih, tetap ada keharusan untuk terus melakukannya sampai batas minimal tiga
buah batu atau tiga sisi batu. Sebaliknya bila dengan tiga batu itu tempat yang
dibersihkan masih belum bersih dari najis maka wajib hukumnya untuk menambah
hingga tempatnya benar-benar bersih. Dalam hal penambahan ini disunnahkan dengan
bilangan ganjil meskipun telah bersih pada saat dibersihkan dengan bilangan genap.
2. Batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis.
Dengan batasan bahwa najis yang dibersihkan tak lagi tersisa pada tempat
keluarnya kecuali hanya sekedar bekasnya saja yang tidak bisa dihilangkan selain
dengan air atau lainnya.
3. Najisnya belum mengering.
Bila najisnya telah mengering maka tidak bisa beristinja’ hanya dengan batu
saja tanpa menggunakan air. Ini dikarenakan batu tidak bisa menghilangkan najis
tersebut setelah kering. Maka bila najis telah mengering secara keseluruhan atau
sebagiannya harus dibersihkan dengan menggunakan air.
4. Najisnya belum berpindah dari tempat yang ternodai ketika keluar.
Bila ada najis yang berpindah dan masih menyambung dengan tempat tersebut
maka wajib menggunakan air untuk menghilangkan najis tersebut secara keseluruhan.
Namun bila najis yang berpindah itu tidak menyambung dengan tempat keluarnya maka

4
yang wajib dibersihkan dengan air hanyalah najis yang berpindah saja, sedangkan najis
yang masih tetap berada pada tempatnya boleh dibersihkan dengan batu saja.
5. Najisnya tidak terkena barang najis yang lain.
Bila yang mengenainya adalah air keringat atau benda suci yang kering seperti
batu kerikil maka tidak mengapa. Namun bila yang mengenainya adalah barang najis
baik basah maupun kering atau barang suci yang basah maka istinja’ harus dilakukan
dengan menggunakan air, tidak bisa hanya dengan menggunakan batu saja.
6. Najisnya tidak melampaui shafhah dan hasyafah
Bagi orang yang buang air besar najis yang keluar tidak melampaui bagian
samping dubur, yakni bagian bokong yang apabila pada posisi berdiri maka akan
menempel satu sama lain. Sedangkan bagi orang yang buar air kecil najis yang keluar
tidak melampaui ujung zakar. Bila itu terjadi maka istinja’ yang dilakukan harus dengan
air, tidak bisa hanya dengan batu saja.
7. Najisnya tidak terkena air
Setelah atau sebelum beristinja’ menggunakan batu najis yang keluar tidak
terkena air yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan najis tersebut meskipun air
tersebut suci atau tidak terkena benda cair lain. Ini dikarenakan air atau benda cair
tersebut bisa menjadi najis. Apabila beristinja’ dengan menggunakan batu yang basah,
maka tidak sah istinja’nya, karena dengan basahnya batu tersebut dapat menjadikan
batu itu najis dengan najisnya tempat yang dibersihkan. Kemudian batu yang telah
menjadi najis itu dipakai untuk beristinja’ sehingga mengotori tempat yang dibersihkan
tersebut. Bila ini yang terjadi maka istinja’ harus dilakukan dengan air, tidak cukup
dengan batu saja.
8. Batu yang digunakan beristinja adalah batu yang suci.
Maka tidak cukup bila beristinja’ hanya dengan batu namun batunya mutanajis
(batu yang terkena najis). Lebih lanjut Syaikh Nawawi juga mengemukakan:

‫واعلم أن كل ما هو مقيس على الحجر الحقيقي وهو ما اذا وجدت القيود األربعة فيسمى حجرا شرعيا يجوز‬
‫اَلستنجاء به‬

Artinya: “Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang dapat diqiyaskan dengan batu secara
hakiki—yakni apapun yang padanya terdapat empat batasan—maka dapat digunakan
untuk beristinja’. Yang demikian itu disebut batu secara syar’i.”

Dari ungkapan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa selain menggunakan batu ada
barang-barang lain yang juga dapat dijadikan alat untuk beristinja’. Barang-barang ini,
sebagaimana dijelaskan Syaikh Nawawi, secara syar’i disamakan dengan batu bila memenuhi
empat buah syarat sebagai berikut:
1. Barangnya suci.
Tidak bisa beristinja’ dengan menggunakan suatu barang najis atau mutanajjis
(barang yang terkena najis). Tentunya ini justru akan lebih menambah kenajisan tempat
yang akan dibersihkan, bukan malah membersihkannya.
2. Barangnya padat.

5
Tidak cukup beristinja’ dengan menggunakan sesuatu yang basah baik berupa
batu atau lainnya seperti minyak bunga mawar atau air cuka.
3. Barang yang dipakai beristinja’ berupa sesuatu yang dapat menghilangkan dan
menyerap najisnya. Maka tidaklah cukup beristinja’ dengan kaca atau bambu yang
licin.
4. Bukan sesuatu yang dihormati.
Maksudnya adalah seperti beristinja’ dengan menggunakan makanan manusia
semisal roti dan lainnya atau beristinja’ dengan menggunakan makanannya jin yaitu
tulang belulang.

Apa pun yang memenuhi keempat syarat tersebut maka dapat dijadikan pengganti batu
untuk beristinja’. Seumpama tisu, daun yang telah kering, batu bata dan lain sebagainya bisa
digunakan untuk beristinja’ karena ia memenuhi keempat syarat di atas. Sebagai penutup
Syaikh Nawawi menyatakan:

‫واذا استنجى بالماء سن تقديم قبله على دبره وعكسه في الحجر‬

Artinya: “Bila beristinja’ dengan air disunahkan mendahulukan membersihkan bagian qubul
dari pada dubur, sebaliknya bila menggunakan batu disunahkan mendahulukan bagian dubur
daripada qubul”.

C. Alat-Alat Istinja'
Istinja’ hendaklah dilakukan dengan menggunakan air, batu, atau yang semacamnya,
yaitu benda-benda yang keras, suci dan mampu menghilangkan kotoran dan juga barang
tersebut bukanlah barang yang berharga (terhormat) menurut syara'. Adapun dalil yang
menyatakan beristinja’ dengan menggunakan air sebagaimana yang diriwayatkan Anas bin
Malik radhiyallahu‘anhu sebagai berikut:

. ِ‫عنَزَ ة ً فَ َي ْست َ ْن ِجي ِبا ْل َماء‬


َ ‫سله َم َيدْ ُخ ُل ا ْل َخَلَ َء فَأ َ ْح ِم ُل أَنَا َوغُ ََل ٌم نَ ْح ِوي ِإدَ َاوة ً ِم ْن َماءٍ و‬
َ ‫ى هللا عليه و‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َ ‫س ْو ُل هللا‬
‫صل ه‬
‫علَيْه‬
َ ‫ِ ُمتهفَ ٌق‬

Artinya: “Bilamana Rasulullah saw masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka saya (Anas
ra) dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak pendek, lalu
beliau istinja dengan air tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)

Selain itu, beristinja’ dapat dilakukan selain menggunakan media air berupa batu. Hal
ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu
sebagaimana berikut:

‫ فَأ َ َخذَهُ َما‬،ٍ‫ فَأَت َ ْيتُهُ بِ َر ْوثَة‬.‫ فَ َو َجدْتُ َح َج َري ِْن ولَ ْم أ َ ِجدْ ثَا ِلثًا‬،‫ار‬
ٍ ‫ط فَأ َ َم َرنِي أ َ ْن آتِيَهُ بِث َ ََلث َ ِة أ َ ْح َج‬
َ ِ‫سله َم ْالغَائ‬ َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه و‬ َ ‫أَت َى النهبِي‬
‫ٌَوأ َ ْلقَى ه‬
‫ ِإنه َها ِرجْس‬:َ‫ َوقَال‬،َ‫الر ْوثَة‬

Artinya: “Suatu ketika ketika Nabi saw buang air besar, lalu memerintahkan saya agar
membawakannya tiga batu. Kebetulan, waktu itu saya hanya menemukan dua batu dan tidak
6
menemukan satu batu lagi. Lalu saya mengambil kotoran binatang (yang sudah kering).
Akhirnya, beliau pun mengambil kedua batu tersebut dan membuang kotoran binatang yang
saya berikan. Bersabda, ‘Sesungguhnya kotoran binatang itu najis’.” (HR al-Bukhari).

D. Pengertian dan Dalil Wudhu


Secara bahasa kata wudhu’ (‫)الوضوء‬
ُ dalam bahasa Arab berasal dari kata al-wadha'ah
(‫ضا َءة‬
َ ‫)ا َلو‬. Kata ini bermakna an-Nadzafah (‫ )النظافة‬yaitu kebersihan. Wudhu memiliki beberapa
pengertian dari beberapa kalangan ulama. Beberapa diantaranya ialah Imam an-Nawawi
mengatakan dalam karya fiqihnya yang termaktub pada kitab al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab:

‫وأما الوضوء فهو من الوضاءة بالمد وهي النظافة‬

Artinya: “Adapun kata Wudhu berasal dari wadha’ah yang maknanya adalah kebersihan”.

Adapun secara istilah syar’i menurut Imam Asy-Syirbini tertulis dalam kitab Mughnil Muhtaj
Ilâ Ma’rifati Ma’âni Alfadzi al-Minhaj menyebutkan:

‫ أو‬.‫وأما في الشرع فهو أفعال مخصوصة مفتتحة بالنية‬


‫استعمال الماء في أعضاء مخصوصة مفتتحا بالنية‬

Artinya: “Adapun wudhu menurut istilah syar’i adalah aktivitas khusus yang diawali dengan
niat. Atau aktivitas menggunakan air pada anggota badan khusus yang diawali dengan niat”.

Adapun makna wudhu menurut tinjauan syariat, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh
Sholih Ibnu Ghonim As-Sadlan (Al-Batawy 2012:61) menyatakan bahwa wudhu adalah
menggunakan air yang suci lagi mensucikan pada anggota-anggota badan yang empat (wajah,
tangan, kepala dan kaki) berdasarkan tata cara yang khusus menurut syariat.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan
wudhu adalah aktivitas penyempurnaan ibadah berupa bersuci yang diawali dengan niat untuk
bersuci dari hadats serta membasuh anggota-anggota badan seperti wajah, tangan, kepala, dan
kaki sesuai dengan ketentuan yang disyariatkan. Ulama sepakat bahwa wudhu hukumnya
adalah wajib sebelum melaksanakan salat.
Di dalam sumber ajaran pokok Islam yang utama, yakni Al-Qur’an al-Karim, Allah
SWT berfirman:

۟ ‫س ُح‬
‫وا ِب ُر ُءو ِسكُ ْم َوأ َ ْر ُجلَكُ ْم ِإلَى ٱ ْل َك ْعبَيْن‬ ِ ِ‫وا ُو ُجو َهكُ ْم َوأ َ ْي ِديَكُ ْم ِإلَى ٱ ْل َم َراف‬
َ ‫ق َوٱ ْم‬ ‫ِ ٰيََٰٓأَي َها ٱلهذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا ِإذَا قُ ْمت ُ ْم ِإلَى ٱل ه‬
۟ ُ‫صلَ ٰوةِ فَٱ ْغ ِسل‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan salat maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan kakimu
sampai dengan kedua mata kaki...” (QS. Al-Maidah : 6)

Adapun penyebutan dalil naqli wudhu lainnya terdapat pada hadits yang menyebutkan:

7
‫س َل َو ْج َههُ َك َما‬ َ ‫غ‬ َ ‫ ث ُ هم ِإذَا‬،ِ‫ َوفِي ِه َو َخ َياشِي ِمه‬،ِ‫طا َيا َو ْج ِهه‬ َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ َو َي ْست َ ْن ِش ُق فَ َي ْنتَث ُِر ِإ هَل خ هَر‬،‫ض‬ُ ‫ض َم‬ ْ ‫َما ِم ْنكُ ْم َر ُج ٌل يُقَ ِربُ َوضُو َءهُ فَ َيت َ َم‬
‫طا َيا َيدَ ْي ِه مِ ْن أَنَامِ ِل ِه‬َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ ِإ هَل خ هَر‬،‫ ث ُ هم َي ْغ ِس ُل َيدَ ْي ِه ِإلَى ا ْل ِم ْرفَقَي ِْن‬، ِ‫ط َرافِ ِل ْح َيتِ ِه َم َع ا ْل َماء‬ ْ َ ‫طا َيا َو ْج ِه ِه ِم ْن أ‬َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ ِإ هَل خ هَر‬،ُ‫أ َ َم َرهُ هللا‬
‫طا َيا‬َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ ِإ هَل خ هَر‬،‫ ث ُ هم َي ْغ ِس ُل قَدَ َم ْي ِه ِإلَى ا ْل َك ْع َبي ِْن‬، ِ‫ش ْع ِر ِه َم َع ا ْل َماء‬
َ ِ‫ط َراف‬ ْ
ْ َ ‫طا َيا َرأ ِس ِه مِ ْن أ‬ َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ ِإ هَل خ هَر‬،ُ‫سه‬ ْ
َ ‫س ُح َرأ‬ َ ‫ ث ُ هم َي ْم‬، ِ‫َم َع ا ْل َماء‬
‫ف‬َ ‫ص َر‬ َ ‫ ِإ هَل ا ْن‬،‫ّلِل‬ِ ‫ َوفَ هرغَ قَ ْلبَهُ ِ ه‬،ٌ‫علَ ْي ِه َو َم هجدَهُ ِبالهذِي ه َُو لَهُ أ َ ْهل‬ َ ‫هللا َوأَثْنَى‬ َ َ‫ فَ َح ِمد‬،‫صلهى‬ َ َ‫ام ف‬َ َ‫ فَإِ ْن ه َُو ق‬، ِ‫ِرجْ لَ ْي ِه ِم ْن أَنَامِ ِل ِه َم َع ا ْل َماء‬
‫ُ ِم ْن خَطِ يئَتِ ِه َك َه ْيئَتِ ِه يَ ْو َم َولَدَتْهُ أُمه‬

Artinya: “Tidaklah salah seorang dari kalian yang menyempurnakan wudhu, lalu ia berkumur
dan menghirup air ke dalam hidung lalu menghembuskannya kecuali leburlah dosa-dosa dari
wajahnya, bibirnya dan hidungnya. Kemudian apabila ia membasuh wajahnya sebagaimana
yang diperintahkan oleh Allah, niscaya leburlah dosa-dosa yang ada di wajahnya bersama air
dari ujung-ujung jenggotnya. Dan tidaklah ia membasuh kepalanya kecuali dosa-dosa di
kepalanya ikut lebur bersama air dari ujung-ujung rambutnya. Dan tidaklah ia membasuh kedua
kakinya hingga mata kaki kecuali dosa-dosa kedua kakinya juga ikut lebur bersama air dari
jari-jari kakinya. Dan apabila ia berdiri melaksanakan sholat lalu memuji Allah serta
menyanjung-Nya dan juga memujinya dengan sesuatu yang memang Dialah yang berhak atas
pujian tersebut lalu ia fokuskan hatinya semata-mata untuk Allah, maka niscaya ia akan
terbebas dari dosa-dosanya sebagaimana hari ia dilahirkan oleh ibunya. [HR. Muslim : 832]

E. Syarat-Syarat Wudhu
Dalam kitab Safinatun Naja, syarat wudhu artinya ialah jika salah satu syarat tidak
terpenuhi, maka wudhu dianggap tidak sah. Kemudian hal ini dijelaskan mengenai beberapa
syarat sah berwudhu diantaranya: Islam, tamyiz (bisa membedakan yang baik dan buruk),
bersih dari haid dan nifas, bersih dari sesuatu yang menghalangi air meresap pada kulit, tidak
ada pada anggota wudhu yang mengubah air, mengetahui wudhu itu wajib, tidak meyakini
wajib wudhu sebagai sunnah wudhu, air yang suci dan menyucikan, masuk waktu salat, dan
muwalah bagi yang terus menerus berhadats.
1. Islam
Syarat wajib sah nya wudhu ialah mereka yang berkeyakinan penuh dengan Islam,
bukan dalam keadaan kafir.
2. Tamyiz
Artinya adalah seseorang dapat membedakan suatu hal antara yang benar dan yang
salah (batil) dari suatu pekerjaan. Karena suatu ibadah tidak dapat dipaksakan kepada
seseorang yang tidak dapat suatu pemahaman yang benar, seperti orang gila karena
akalnya tidak sehat sehingga tidak sah apabila berwudhu.
3. Bersih dari haid dan nifas
Haid adalah keluarnya darah dari rahim wanita dalam rentang waktu tertentu yang
bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit (dalam kondisi tubuh sehat) atau
dikarenakan adanya proses persalinan, melainkan keluarnya darah tersebut sebagai
sunnatullah yang ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita minimal sehari
semalam, dan maksimal 15 hari. Sedangkan nifas adalah darah yang keluar dari rahim
wanita setelah melahirkan minimal sehari semalam, dan maksimal selama 60 hari.
Dalam hal tersebut, dua kondisi ini adalah keadaan wanita sedang tidak suci atau bersih
secara jasmani sehingga bersih dari kedua hal tersebut bagi seorang wanita adalah
syarat sah nya suatu wudhu.
8
4. Bersih dari sesuatu yang menghalangi air meresap ke kulit
5. Tidak ada sesuatu yang dapat mengubah air wudhu
Yaitu kondisi air yang murni tidak bercampur dengan kandungan apapun di dalamnya
sehingga tidak mengubah kesuciannya. Adapun yang dapat mengubah kandungan air
secara mutlak seperti adanya campuran tinta, minyak, dan campuran cairan lainnya.
6. Mengetahui Wudhu itu Wajib
7. Tidak meyakini wajib wudhu sebagai sunnah wudhu
8. Air yang suci dan menyucikan
9. Masuk waktu salat
10. Muwalah bagi yang terus menerus berhadats
al-Muwalah atau al-Wala’ adalah beriringnya membasuh anggota wudhu sekiranya
diantara anggota tersebut tidak terjadi pemisah secara urf. Al-Muwalah dapat juga
diartikan beriringnya membasuh anggota tubuh sebelum keringnya anggota yang
sebelumnya telah dibasuh, beserta keadaan, waktu, tempat dan iklim yang normal.
Contoh keadaan muwalah yaitu seorang wanita istihadha dan wanita keputihan, dimana
wanita tersebut harus melaksanakan wudhu setiap kali masuk waktu salat.

F. Rukun Wudhu
Pentingnya kita mempelajari rukun wudhu ini, sebenarnya untuk mengetahui apakah
wudhu kita dianggap sah atau tidak. Rukun wudhu adalah sesuatu yang harus ada atau wajib
kita lakukan ketika berwudhu. dalam Madzhab Syafi'i disebutkan bahwa rukun wudhu itu ada
6. Berikut adalah penjelasan mengenai rukun wudhu versi madzhab Syafi'i, yakni:
a. Niat ketika membasuh wajah
Rukun wudhu yang pertama adalah niat ketika membasuh wajah. Dalam
madzhab Syafi'i, niat itu ada yang hukumnya wajib dan ada yang sunnah. Niat yang
hukumnya wajib yaitu niat yang kita hadirkan dalam hati kita sendiri, pada saat
membasuh wajah. dan niat yang diucapkan sebelum berwudhu itu hukumnya sunnah.
Syarat sah atau tidak sahnya wudhu adalah tergantung pada niat seseorang. Dalam kitab
Kasyifatus Saja karya Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H) niat dalam hati itu
minimal menyebutkan sebagai berikut: “Saya niat berwudhu untuk menghilangkan
hadats kecil fardhu karena Allah ta’ala”. Adapun bagi orang yang memiliki uzur atau
sudah sepuh, selalu mengeluarkan air kencingnya karena penyakit dan lain-lain, maka
niatnya: “Saya niat berwudhu untuk membolehkan shalat fardhu karena Allah ta’ala”.
Dan bagi yang memperbarui wudhunya (tajdidul wudhu’), maka niatnya cukup dengan
mengucapkan: “Saya niat berwudhu fardhu karena Allah ta’ala”. Dalam hal tersebut,
madzhab Syafi'i menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim:.
Artinya: Dari sahabat Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw.
bersabda: Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niat. Dan setiap
orang mendapatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa hijrahnya karena Allah dan
Rasulnya maka hijrahnya benar-benar kepada Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa
hijrahnya karena dunia atau wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya hanya pada
itu saja. (HR. Bukhari & Muslim).

9
b. Membasuh wajah
Selanjutnya rukun wudhu yang kedua adalah membasuh wajah. Batasan
membasuh wajah itu sampai bagian atas kening tempat tumbuhnya rambut, sampai
dengan bagian dagu. Untuk yang memiliki jenggot tipis, wajib meratakan air ke bagian
luar dan dalam jenggot. Apabila bagian tersebut lebat maka cukup bagian luarnya saja
yg terkena air. Kemudian dari bagian telinga kanan hingga telinga yang kiri.
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

۟ ‫س ُح‬
‫وا ِب ُر ُءو ِسكُ ْم َوأ َ ْر ُجلَكُ ْم ِإلَى‬ َ ‫ٱم‬ ِ ِ‫وا ُو ُجو َهكُ ْم َوأ َ ْي ِديَكُ ْم ِإلَى ٱ ْل َم َراف‬
ْ ‫ق َو‬ ‫ٰيََٰٓأَي َها ٱلهذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا ِإذَا قُ ْمت ُ ْم ِإلَى ٱل ه‬
۟ ُ‫صلَ ٰوةِ فَٱ ْغ ِسل‬
‫ِٱ ْل َك ْعبَيْن‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah wajahmu, dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu
dan basuhlah kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah : 6)

c. Membasuh kedua tangan hingga siku.


Rukun wudhu yang ketiga adalah membasuh kedua tangan hingga siku. Boleh
dari ujung jari kemudian ke arah siku atau sebaliknya dari siku sampai ujung jari tangan.
Yang terpenting adalah meratakan air pada kedua tangan.

d. Mengusap sebagian kepala


Rukun wudhu yang keempat adalah mengusap sebagian kepala. Para ulama
Syafi’iyah memperbolehkan usapan pada sebagian kepala walaupun hanya beberapa
rambut saja yang terkena usapan. Tidak harus dan tidak wajib semua kepala diusap.
Artinya mengusap di sebagian kepala itu sudah mencukupi. Adapun hadits shahih yang
menyebutkan Nabi Saw. berwudhu dengan mengusap seluruh kepala dari depan ke
belakang itu dipahami oleh madzhab Syafi'i sebagai sunnahnya dalam wudhu. Jadi yang
wajib dan termasuk syarat sah itu mengusap sebagian kepala saja sebagaimana Nabi
Saw. pernah melakukannya.

e. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.


Rukun wudhu yang kelima adalah membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Ketika membasuh bagian kaki, dianjurkan atau disunnahkan dimulai dari jari-jari
terlebih dahulu, dan disunnahkan juga 3 kali saat dibasuh dimulai dari kanan.

f. Tertib.
Rukun wudhu yang keenam yaitu tertib. Yang dimaksud dari tertib ini yaitu
tertib dalam berwudhu, dan langkah-langkahnya sesuai syariat, dimulai dari niat sampai
dengan rukun wudhu keenam serta tidak boleh dibolak-balik urutannya atau gerakan-
gerakannya yang sudah ada ketentuan di dalam rukun wudhu tersebut. Apabila dibolak-
balik maka tidak sah pula wudhunya.

10
G. Sunnah Wudhu
Setelah kita mempelajari rukun wudhu, maka selanjutnya kita masuk ke sunnah-sunnah
dari wudhu tersebut. Sunnah dalam wudhu itu dianjurkan di dalam wudhu, tapi jika sunnah
wudhu tersebut tidak dilakukan, maka tidak mengapa, tetap akan sah wudhunya. Tetapi
alangkah baiknya mengikuti sunnahnya dan niat mendapatkan pahala sunnah tersebut. Berikut
yang termasuk sunnah wudhu dalam madzhab Syafi'i:
a. Menghadap kiblat
Kiblat adalah arah yang mulia. Maka dari itu berwudhu disunnahkan
menghadap arah kiblat. Lantas jika tidak menghadap kiblat apakah boleh? Tentu saja
diperbolehkan, hanya saja tidak mendapatkan pahala sunnahnya. Di dalam kitab al-
Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan kitab al-Fiqhu al-Manhaji Alaa Madzhabi al-Imam
Asy-Syaafi’iy disebutkan bahwa disunnahkan ketika berwudhu untuk menghadap ke
arah kiblat.

b. Bersiwak
Disunnahkan bersiwak atau sikat gigi sebelum berwudhu. Dalilnya adalah
hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
.
Artinya: “Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Saw. beliau
bersabda: Seandainya tidak memberatkan umatku maka sungguh akan aku perintahkan
mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

c. Membaca basmallah
Apabila seseorang lupa membaca kalimat basmallah diawal wudhu,
diperbolehkan untuknya membaca dipertengahan wudhu, Jika terlewati atau lupa
membaca, maka tidak menjadi permasalahan. Dalilnya adalah hadits hasan riwayat
Imam an-Nasa'i:

Artinya: “Dari sahabat Anas Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Saw. bersabda:


Berwudhulah dengan menyebut nama Allah.” (HR. An-Nasa’i).

d. Melafadzkan niat wudhu.


Niat adalah tekad yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan ibadah dengan
ridha karena Allah ta’ala, yang letaknya berada dalam hati. Adapun mengucapkan niat
berwudhu hukumnya sunnah, dan waktu untuk melafalkannya ketika pertama
membasuh sebagian muka. Biasanya lafadz niat wudhu yang diucapkan sebagai
berikut:

‫ّلِل ت َ َع ٰالى‬ ِ َ‫ن ََويْتُ ا ْل ُوض ُْو َء ل َِر ْف ِع ا ْل َحد‬


ْ َ‫ث اَْل‬
ِ ‫صغ َِر فَ ْرضًا ِ ه‬

Artinya : "Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadast kecil fardhu (wajib) karena
Allah ta'ala."

e. Membasuh kedua telapak tangan


11
Dalil disunnahkannya membasuh kedua telapak tangan sebelum
memasukkannya ke dalam wadah air, berkumur-kumur, istinsyāq dan mengusap semua
bagian wajah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi:

Artinya: “Dari Abdullahi bin Zaid Raḍiallāhu ‘Anhu bahwa dia ditanya tentang wudhu
Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi Wa sallam kemudian dia meminta air seember dan
memperlihatkan kepada mereka wudhu Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi Wa sallam dia
menuangkan air ke tangannya dari ember, kemudian membasuhnya tiga kali. Kemudian
dia memasukkan tangannya ke dalam ember, setelah itu berkumur-kumur, istinsyāq
(memasukkan air ke dalam hidung) dan instinsar (mengeluarkan air dari hidung)
sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam ember, lalu
membasuh wajahnya tiga kali dan membasuh kedua tangannya dua kali sampai ke siku.
Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam ember, lalu mengusap kepalanya. Dia
mengusap ke depan dan ke belakang sekali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya
sampai kedua mata kaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)

f. Berkumur-kumur
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa
termasuk sunnah wudhu adalah berkumur-kumur. Sebagaimana yang diriwayatkan
shahih Imam Bukhari dan Muslim berikut:

Artinya: “Dari Humran bahwa Utsman Raḍiallāhu ‘Anhu meminta air wudhu: … Lalu
berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung dan menghembuskannya keluar …
Kemudian Utsman berkata: Saya melihat Rasulullah saw berwudhu seperti wudhuku
ini. (HR. Bukhari dan Muslim).

g. Istinsyaq
Istinsyaq sendiri artinya memasukkan air kedalam hidung saat berwudhu dan
menyedotnya ke dalam hidung. Sebagaimana yang diriwayatkan shahih Imam Bukhari
dan Muslim:

Artinya: “Dari Humran bahwa Utsman ra meminta air wudhu: … Lalu berkumur-kumur
dan menghirup air dengan hidung dan menghembuskannya keluar … Kemudian
Utsman berkata: Saya melihat Rasulullah saw berwudhu seperti wudhuku ini.” (HR.
Bukhari Muslim).

h. Mengusap seluruh kepala


Pendapat para ulama tentang mengusap kepala terjadi perbedaan seperti
hukumnya wajib mengusap seluruh kepala menurut ulama madzhab Maliki dan
Hambali. Sedang mengusap seluruh kepala menurut ulama madzhab Syafi'i dan Hanafi
hukumnya sunnah. Tetapi menurut ulama madzhab hambali membolehkan mengusap
sebagian dan selebihnya disempurnakan dengan mengusap sorbannya jika ia sulit untuk
membukanya.

12
Dalam hal jumlah mengusap kepala, ulama Hanafi berpendapat sunnah
mengusap kepala sekali saja, sedangkan ulama Syafi'i sunnah mengusap tiga kali.
Hadits shahih menyebutkan Nabi Saw. berwudhu dengan mengusap seluruh kepalanya
dari depan ke belakang. Hal ini dipahami oleh madzhab Syafi'i sebagai kesunnahan
dalam wudhu. Sebagaimana yang diriwayatkan shahih Imam Bukhari dan Muslim:

Artinya: “Dari Abdullah bin Yazid bin Ashim Raḍiallāhu ‘Anhu tentang cara
berwudhu, dia berkata: “Rasulullah saw mengusap kepalanya dengan kedua tangannya
dari muka ke belakang dan dari belakang ke muka.” Dalam lafadz lain, “Beliau mulai
dari bagian depan kepalanya sehingga mengusapkan kedua tangannya sampai pada
tengkuknya lalu mengembalikan kedua tangannya ke bagian semula.” “ (HR. Bukhari
dan Muslim)

i. Mengusap kedua telinga


Disunnahkan ketika mengusap telinga menggunakan air yang baru lagi. Tetapi
bukan menggunakan air bekas usapan kepala. Sebagaimana yang diriwayatkan shahih
Ibnu ‘Abbas berikut:

َ ‫ظاه ِِر أُذُنَ ْي ِه فَ َم‬


‫س َح‬ َ ‫ف إِ ْب َها َم ْي ِه إِلَى‬ ‫س َح أُذُنَ ْي ِه دَاخِ لَ ُه َما بِال ه‬
َ َ‫سبهابَتَي ِْن َوخَال‬ َ ‫ َم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ّللَا‬ ِ ‫أ َ هن َرسُو َل ه‬
َ
‫ظاه َِرهُ َما َوبَاطِ نَ ُه َما‬

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian dalam kedua


telinganya dengan kedua jari telunjuknya dan kedua ibu jari mengusap bagian luar
telinga. Jadi, beliau mengusap bagian luar dan dalam dari dua telinga.” (HR. Ibnu
Majah)

j. Menyela jenggot dan jari


Disebutkan bahwa termasuk sunnah wudhu ketika seseorang menyela jenggot
yang lebat dan menyela jari-jari tangan dan kaki. Sebagaimana yang diriwayatkan
shahih Imam Abu Dawud & Imam al-Baihaqi:

Artinya: “Dari Anas bin Malik: Bahwa Nabi Saw. bila berwudhu mengambil
secukupnya dari air, dan memasukkannya ke bawah dagunya dan meresapkan air ke
jenggotnya. Beliau bersabda:" Beginilah Tuhanku memerintahkanku.” ” (HR. Abu
Dawud dan Baihaqi)

Adapun dalil kesunnahan menyela pada jari tangan dan kaki sebagaimana pada
hadits berikut:

Artinya: “Dari ‘Ashim bin Laqith, dari ayahnya (Laqith), ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda: Jika engkau berwudhu, ratakanlah wudhu dan basahi sela-sela jari dengan
air.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Abu Dawud)

k. Mendahulukan bagian kanan


13
Disebutkan bahwa termasuk sunnah wudhu adalah mendahulukan bagian
kanan, baru kemudian yang kiri. Bagaimanapun kondisinya, kanan lebih didahulukan
dibanding kiri. Ini dikarenakan tangan kiri adalah untuk beristinja atau membersihkan
kotoran. Dalilnya adalah hadits shahih berikut ini:

Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Bila kalian
berpakaian dan berwudhu maka mulailah dari bagian-bagian kananmu.” (HR. Ahmad,
Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Baihaqi).

l. Membasuh dan mengusap 3 kali


Adapun merupakan sunnah membasuh atau mengusap tiga kali yang
dikarenakan terdapat pahala yang dilipatgandakan. Sebagaimana yang diriwayatkan
pada hadits shahih berikut:

Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Bahwa Nabi Saw. membasuh anggota wudhu
masing-masing satu kali lalu bersabda: “Ini adalah amal yang Allah swt tidak akan
menerimanya kecuali dengan cara ini.” Kemudian beliau membasuh masing-masing
dua kali dan bersabda: "Ini yang membuat Allah melipat-gandakan amal dua kali lipat."
Kemudian Beliau membasuh masing-masing tiga kali dan bersabda: “Ini adalah
wudhuku dan wudhunya para Nabi sebelumku.” “ (HR. Daruquthni)

m. Berdoa setelah wudhu


Berdoa setelah wudhu merupakan sunnah yang apabila tidak dilakukan tidak
mengapa. Akan tetapi perkara ini ternyata bukan hanya sekedar mendapatkan pahala
sunnah, tapi Allah SWT. membukakan pintu-pintu surga. Sebagaimana yang
diriwayatkan pada hadits shahih sebagai berikut:

Artinya: “Dari Umar, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Siapapun di antara kalian
yang berwudhu, dan menyempurnakan wudhunya, lalu membaca: “asyhadu alla ilaaha
illallahu wahdahuulaa syariikalah, wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa
rasuuluh …”, pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu surga. (HR. Muslim dan
Tirmidzi). Dalam riwayat Tirmidzi ditambahkan bacaan: “Allahummaj’alni minat
tawwabiina waj’alni minal mutathohhiriin.” “ (HR. Tirmidzi)

n. Muwalah
Muwalah adalah berwudhu dengan tanpa jeda atau tanpa diputus-putus,
berkelanjutan atau berkesinambungan. Apabila wudhu seseorang masih diputus-putus
dan tidak muwalah maka wudhu tersebut tetap sah. Dasar kesunnahan muwalah dalam
wudhu berpijak pada salah satu hadits mauquf dari sahabat Ibnu ‘Umar sebagaimana
berikut:

‫علَى ُخفه ْي ِه‬ َ ‫ ث ُ هم دَ َخ َل ا ْل َمس ِْجدَ فَ َم‬،‫ع ْي ِه ث َ ََلثًا ث َ ََلثًا‬


َ ‫س َح‬ ِ ‫ضأ َ فِي السو‬
َ َ‫ فَغ‬،‫ق‬
َ ‫س َل يَدَ ْي ِه َو َو ْج َههُ َوذ َِرا‬ ‫أ َ هن ابْنَ عُ َم َر ت ََو ه‬
‫صلهى‬
َ ‫ف ُوضُو ُءهُ َو‬ ‫بَ ْعدَ َما َج ه‬

14
Artinya: “Ibnu Umar berwudhu di pasar, ia membasuh dua tangan, wajah dan kedua
lengannya sebanyak tiga kali, lalu masuk ke masjid dan mengusap dua selopnya setelah
wudhu nya kering, lalu ia shalat.” (HR. Baihaqi).

H. Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu


Wudhu merupakan sarana untuk menyucikan diri dari hadats kecil. Apabila terdapat
hal-hal yang membatasi atau menghalangi seseorang dengan sesuatu yang dapat membatalkan,
maka batal pula wudhu seseorang tersebut. Adapun empat hal yang dapat membatalkan wudhu
diantaranya:
a. Bersentuhnya kulit laki-laki dengan kulit perempuan
Apabila bersentuhan antara kulit laki-laki dengan kulit perempuan maka batal
pula wudhunya dan menjadi tidak sah. Akan tetapi hukum ini hanya berlaku ketika
keduanya sudah berumur atau dewasa serta diantara keduanya bukan mahram, baik
mahram pertalian, mahram sepersusuan, mahram turunan, ataupun mahram
perkawinan. Allah SWT berfirman:
َ ِ‫َأ َ ۡو ٰلَ َمسۡ ت ُ ُم ٱلن‬
‫سآَٰء‬
Artinya: “Atau kamu telah menyentuh perempuan”. (An-Nisa: 43)

Adapun pendapat tersebut adalah menurut madzhab syafi'i, sedangkan madzhab


lainnya berpendapat bahwa bersentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuan
tanpa diikuti dengan syahwat, maka tidak membatalkan wudhu. Adapun yang
membatalkan wudhu ialah bersetubuh. Pendapat tersebut berdasarkan atas penafsiran
kata “lâ mastum” yang berarti bersetubuh.

b. Hilang akal
Hilang akal karena mabuk atau gila, pingsan, atau disebabkan oleh obat-obatan,
baik sedikit maupun banyak. Selain itu, tidur juga menjadi hal yang membatalkan
wudhu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah bersabda: "Mata
adalah pengawal dubur. Oleh karena itu, barangsiapa tidur, maka dia wajib berwudhu."
(HR. Abu Dawud)
Adapun tidur dengan posisi duduk yang tetap keadaan badannya, tidak
membatalkan wudhu karena tidak ada timbul sangkaan bahwa ada sesuatu yang keluar
darinya. Ada pun hadits riwayat Muslim, bahwa para sahabat Rasulullah Saw. pernah
tertidur, kemudian mereka salat tanpa berwudhu lagi.

c. Keluar sesuatu dari dua pintu atau dari salah satunya


Maksud dari dua pintu adalah qubul (lubang kemaluan) dan dubur (lubang
belakang). Apabila keluar sesuatu baik berupa zat ataupun angin, sesuatu yang biasa
ataupun tidak biasa seperti darah, atau baik yang keluar najis maupun suci, seperti ulat.
Sebagaimana firman Allah SWT:

‫ِأ َ ْو َجا َء أ َ َحدٌ ِم ْنكُ ْم مِ نَ ا ْلغَائِط‬

Artinya: “Atau kembali dari tempat buang air.” (An-Nisa: 43)


15
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang datang dari jamban tidak
menemukan air hendaklah ia bertayamum. Berarti buang air termasuk membatalkan
wudhu. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda: “Allah tidak menerima salat seseorang
apabila ia berhadats (keluar sesuatu dari salah satu kedua lubang) sebelum ia
berwudhu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Menurut tafsiran Abu Hurairah, “ahdatsa” itu berarti keluar angin. Tetapi
menurut Syaukani artinya segala yang keluar dari kedua lubang. Sebagaimana yang
diriwayatkan Muslim, beliau (Rasulullah) menyuruh orang yang keluar madzi dari
qubul nya untuk berwudhu.

d. Menyentuh kemaluan atau dubur dengan telapak tangan


Hal ini dapat membatalkan wudhu saat memegang kemaluan, terkecuali jika
terdapat kain atau beralaskan kain yang menghalangi maka wudhu tidak batal.

‫س ذَك ََرهُ فَ ْليَت ََوضهأ‬


‫َم ْن َم ه‬

Artinya: "Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu." (HR. Ahmad
dan At-Tirmidzi)

I. Hikmah Istinja' dan Wudhu


Islam adalah agama yang sangat kompleks mengatur segala sendi kehidupan umat
muslim. Tidak terkecuali pada lingkup kebersihan, Islam mengatur sedemikian rupa. Dalam
hukum Islam, bersuci termasuk bagian ilmu yang penting untuk diketahui dan dipahami oleh
umat muslim. Hal ini dikarenakan syarat-syarat sah shalat adalah suci dari hadas kecil maupun
hadas besar yang menghinggapi badan, pakaian, dan tempatnya dari najis.
Dalam bersuci, ada dua istilah yang harus umat muslim pahami. Dua istilah tersebut
adalah istinja' dan wudhu. Setelah mengetahui cakupan pemahaman mengenai kedua hal
tersebut pada halaman sebelumnya, tim pemakalah menuliskan beberapa hikmah atau faedah
dari beristinja' dan berwudhu.
Adapun hikmah seorang muslim setelah melakukan istinja' yaitu dapat menyucikan diri
dan menghilangkan najis yang ada pada badan. Dalam hal ini bertujuan agar dapat menjaga
kebersihan tubuh dan terhindar dari berbagai penyebab penyakit. Hal ini diperkuat oleh
pendapat dari salah satu ulama yaitu Syekh Abdul Mun’in Qindil dalam kitabnya berjudul,
“Berobat dengan Al-Qur’an” memaparkan bahwa istinja dapat menjaga saluran air kencing
dari infeksi berdasarkan penelitian dari kalangan kedokteran. Sebaliknya, mereka yang tidak
membersihkan lubang anus dari kotoran akan terkena infeksi atau penyakit seperti infeksi pada
saluran anus dan penyakit fistula yang disebabkan oleh keluarnya nanah dari luka infeksi. Maka
dari itu, beristinja/ adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan agar terhindarnya
berbagai penyakit serta terjaga kebersihan pada tubuh seseorang.
Ketika umat muslim ingin melaksanakan ibadah salat atau ibadah lainnya yang
dianjurkan ataupun diwajibkan, berwudhu adalah kuncinya. Hal ini dikarenakan berwudhu
dapat menghilangkan hadats-hadats kecil sebagai syarat sah terpenuhi suatu ibadah. Dengan
berwudhu, maka terpeliharalah kebersihan pada seseorang dari kotoran ataupun sesuatu yang
16
membatalkan kesuciannya. Dalam hal ini, ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari aktivitas
tersebut, diantaranya:
a. Wudhu memurnikan badan dan hati
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menjelaskan bagaimana cara seorang
muslim menyucikan badan dengan air, salah satunya yaitu dengan berwudhu.
Sedangkan menyucikan hati adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang
maknanya sebagai pemurnian hati dari berbagai bentuk kesyirikan.Hal ini telah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dengan memberi petunjuk kepada umatnya bahwa
setelah selesai berwudhu dilanjutkan dengan membaca dua kalimat syahadat. Hal inilah
sebagai isyarat bahwa penggabungan keduanya sebagai dua bentuk penyucian.

b. Wudhu dapat meleburkan dosa-dosa


Rasulullah Saw. ditanya oleh salah satu sahabatnya tentang keutamaan wudhu,
beliau menjawab:

‫س َل‬َ ‫غ‬ َ ‫ ث ُ هم إِذَا‬،ِ‫ َوفِي ِه َو َخيَاشِيمِ ه‬،ِ‫طايَا َوجْ ِهه‬ َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ َويَ ْست َ ْن ِش ُق فَيَ ْنتَث ُِر إِ هَل خ هَر‬،‫ض‬ ُ ‫ض َم‬ ْ ‫َما ِم ْنكُ ْم َر ُج ٌل يُقَ ِربُ َوضُو َءهُ فَيَت َ َم‬
‫ت‬ ‫ه‬
ْ ‫ إَِل خ هَر‬،‫مِرفَقَي ِْن‬ ْ َ ُ ْ ْ َ
ْ ‫ ث هم يَ ْغ ِس ُل يَدَ ْي ِه إِلى ال‬، ِ‫طايَا َو ْج ِه ِه ِم ْن أط َرافِ ِل ْحيَتِ ِه َم َع ال َماء‬ َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ إِ هَل خ هَر‬،ُ‫َو ْج َههُ َك َما أ َ َم َرهُ هللا‬
‫ ث ُ هم يَ ْغ ِس ُل‬، ِ‫ش ْع ِر ِه َم َع ا ْل َماء‬
َ ِ‫ط َراف‬ ْ َ ‫طايَا َرأْ ِس ِه ِم ْن أ‬ َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ إِ هَل خ هَر‬،ُ‫سه‬ َ ْ‫س ُح َرأ‬ َ ‫ ث ُ هم يَ ْم‬، ِ‫طايَا يَدَ ْي ِه م ِْن أَنَا ِم ِل ِه َم َع ا ْل َماء‬
َ ‫َخ‬
ُ‫علَ ْي ِه َو َم هجدَه‬ َ ‫ فَ َح ِمدَ هللاَ َوأَثْنَى‬،‫صلهى‬ َ َ‫ام ف‬ َ َ‫ فَإِ ْن ه َُو ق‬، ِ‫طايَا ِرجْ لَ ْي ِه م ِْن أَنَا ِم ِل ِه َم َع ا ْل َماء‬ َ ‫ت َخ‬ ْ ‫ إِ هَل خ هَر‬،‫قَدَ َم ْي ِه إِلَى ا ْل َك ْعبَي ِْن‬
‫ف ِم ْن خَطِ يئَتِ ِه َك َه ْيئَتِ ِه يَ ْو َم َولَدَتْهُ أُمه‬ َ ‫ص َر‬ َ ‫ إِ هَل ا ْن‬،‫ّلِل‬ ِ ‫ َوفَ هرغَ قَ ْلبَهُ ِ ه‬،ٌ‫ُبِالهذِي ه َُو لَهُ أ َ ْهل‬

Artinya: “Tidak ada seorangpun yang mendekatkan air wudhunya, lalu dia berkumur,
kemudian memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya, kecuali akan
berjatuhan kesalahan-kesalahan wajahnya, kesalahan-kesalahan mulutnya, dan
kesalahan-kesalahan hidungnya. Jika dia mencuci wajahnya sebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah, maka kesalahan-kesalahan wajahnya akan berjatuhan
bersama tetesan air dari ujung jenggotnya. Kemudian jika dia mencuci kedua tangannya
sampai siku, maka kesalahan-kesalahan tangannya akan berjatuhan bersama air lewat
jari-jemarinya. Kemudian jika ia mengusap kepala, maka kesalahan-kesalahan
kepalanya akan berjatuhan melalui ujung rambutnya bersama air. Kemudian jika dia
mencuci kakinya sampai mata kaki, maka kesalahan kedua kakinya akan berjatuhan
melalui jari-jari kakinya bersama tetesan air. Jika ia berdiri lalu salat, kemudian dia
memuji Allah, menyanjung, dan mengagungkan-Nya dengan pujian dan sanjungan
yang menjadi hak-Nya serta mengosongkan hatinya hanya untuk Allah, maka dia akan
terlepas dari kesalahan-kesalahannya seperti pada hari ia dilahirkan dari perut ibunya.“
(Muttafaqun ’alaihi)
Ada empat anggota tubuh yang harus terkena air saat wudhu: Wajah; Kepala
(termasuk telinga); Tangan; dan Kaki. Keempat hal tersebut adalah anggota badan yang
paling banyak bergerak dan melakukan perbuatan dosa. Maka, membersihkannya
ketika wudhu adalah suatu peringatan untuk senantiasa membersihkan hati. Rasulullah
Saw. menjelaskan bahwa jika seorang muslim berwudhu, maka berguguran segala
kesalahan yang disebabkan karena anggota badannya. Dihapuskan kesalahannya
bersama dengan setiap tetesan air wudhu yang menetes.

17
c. Suatu kenikmatan dari Allah SWT atas meleburnya dosa-dosa saat berwudhu
Allah SWT memerintahkan syariat wudhu kepada hambanya untuk
menghapuskan dosa-dosa serta menyempurnakan nikmat yang diberikan. Sebagaimana
Allah SWT berfirman mengenai perintah wudhu:

‫علَ ْيكُ ْم لَ َعلهكُ ْم ت َ ْشكُ ُرون‬ َ ُ‫ج َولَـكِن ي ُِريدُ ِلي‬


َ ُ‫ط هه َركُ ْم َو ِليُتِ هم نِ ْع َمتَه‬ ٍ ‫علَ ْيكُم م ِْن َح َر‬
َ ‫َ َما ي ُِريدُ ّللَاُ ِليَ ْج َع َل‬

Artinya: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.“ (QS. Al
Maidah: 6)

d. Berwudhu adalah cerminan orang yang beriman


Pada awal pembuka ayat perintah wudhu, Allah SWT memanggil hamba-Nya
dengan panggilan yang penuh istimewa, yaitu (‫)ْيَا أَي َها الهذِينَ آ َمنُوا‬. Dari hal tersebut, Allah
SWT menunjukkan panggilannya secara khusus kepada orang-orang yang memiliki
sifat iman, karena hanya merekalah yang akan mendengar perintah-Nya serta
mengamalkannya dan mengambil manfaat dari-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw
bersabda:

‫َل يحافظ على الوضوء إَل مؤمن‬

Artinya: ”Tidaklah seseorang menjaga wudhu, kecuali dia seorang mukmin.” (HR. Ibnu
Hibban dan Ibnu Majah, shahih)

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu hal yang diperhatikan dalam Islam yaitu bersuci. Dalam beribadah seorang
muslim harus memenuhi syarat wajib dan mampu menyikapi permasalahan yang dapat
membuat batal atau tidak sahnya beribadah. Adapun materi yang dibahas pada makalah ini
adalah dua aktivitas bersuci, yaitu istinja’ dan wudhu. Berbagai hadits dari Rasulullah Saw.
mengungkapkan pentingnya umat muslim memahami dan menjaga kehormatannya dengan
bersuci.
Kemudian diketahui bahwa istinja’ adalah menghilangkan kotoran atau najis yang
berasal dari qubul dan dubur dengan menggunakan perantara air, batu, dan alat-alat beristinja’
lainnya yang suci dan bersih serta hukumnya adalah wajib demi kebersihan dan kesucian
seorang muslim. Selain itu, ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam
beristinja’. Diantaranya yakni dengan menggunakan tiga buah batu, batunya dapat
membersihkan tempat keluarnya najis, najisnya belum kering, najisnya belum pindah, najisnya
tidak terkena barang najis yang lain, najisnya tidak melampaui shafhah dan hasyafah, najisnya
tidak terkena air, dan batunya suci. Tentunya dalam beristinja’, media yang digunakan untuk
melakukan aktivitas bersuci ini yaitu dengan menggunakan air dan batu.
Sedangkan wudhu adalah aktivitas penyempurnaan ibadah yang wajib dikerjakan
berupa bersuci yang diawali dengan niat untuk bersuci dari hadats serta membasuh anggota-
anggota badan seperti wajah, tangan, kepala, dan kaki sesuai dengan ketentuan yang
disyariatkan. Umat muslim juga harus memperhatikan beberapa persyaratan dalam berwudhu.
Pada makalah ini, tim penyusun memaparkan 10 syarat-syarat wudhu yang diantaranya: Islam;
Tamyiz; Bersih dari haid dan nifas; Bersih dari sesuatu yang menghalangi air meresap ke kulit;
Tidak ada sesuatu yang dapat mengubah air wudhu; Mengetahui wudhu itu wajib; Tidak
meyakini wajib wudhu sebagai sunnah wudhu; Air yang suci dan menyucikan; Masuk waktu
salat; Muwalah bagi yang terus menerus berhadats.
Dalam berwudhu, kita dituntut untuk mengetahui dan memahami ruang lingkupnya.
Adapun ruang lingkup wudhu diantaranya enam rukun wudhu, beberapa sunnah wudhu, hingga
hal-hal yang membatalkan wudhu. Batasan-batasan ini adalah sesuatu yang penting diketahui
oleh umat muslim agar menjadi pedoman yang terarah atau terbimbing dalam bersuci.
Kemudian terdapat hikmah-hikmah yang dapat diambil dari beristinja’ dan berwudhu.
Adapun hikmah seorang muslim setelah melakukan istinja' yaitu dapat mensucikan diri dan
menghilangkan najis yang ada pada badan. Dalam hal ini bertujuan agar dapat menjaga
kebersihan tubuh dan terhindar dari berbagai penyebab penyakit. Selain itu, berwudhu dapat
menghilangkan hadats-hadats kecil sebagai syarat sah terpenuhi suatu ibadah. Dengan
berwudhu, maka terpeliharalah kebersihan pada seseorang dari kotoran ataupun sesuatu yang
membatalkan kesuciannya.

19
B. Saran
Dengan demikian, materi mengenai istinja’ dan wudhu perlu dipelajari dan ditelaah
kembali oleh umat muslim. Kedua aktivitas bersuci tersebut merupakan faktor penting dalam
menjalankan berbagai aktivitas khususnya dalam beribadah. Adapun perbedaan pendapat atau
ketentuan dari beberapa kalangan ulama menjadikan kita sebagai umat Islam untuk selalu
meningkatkan wawasan atau pemahaman yang lebih mendalam khususnya tentang bersuci.
Tim penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna secara keilmuan.
Kritik dan saran perbaikan diperlukan agar ilmu pengetahuan ini dapat tersebar dan terasa
kebermanfaatannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. A. (2020, Juli). Diambil kembali dari NU Online:


https://islam.nu.or.id/thaharah/mencicil-mandi-besar-apakah-sah-oL7vE
Ajib, M. (2019). Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi'iy. Jakarta Selatan: Rumah Fiqih
Publishing.
Al-Hadhrami, S. S. (2021). Safinatun Najah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Hidayat, A. D. (2021, Agustus). Diambil kembali dari NU Online:
https://islam.nu.or.id/thaharah/istinja-pengertian-hukum-dan-tata-caranya-L1KH6
Muttaqin, Y. (2017, Agustus). Diambil kembali dari NU Online:
https://islam.nu.or.id/thaharah/cara-sah-beristinja-hanya-dengan-batu-yKwyG
Purbasari, I., & Husen, R. (2020). Buku Materi Fiqih 01. Bandung: MHEDIA Publisher.
Rasjid, S. (2014). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

21

Anda mungkin juga menyukai