Anda di halaman 1dari 32

Mata Kuliah : Fiqih Zakat dan Wakaf

A. Materi Zakat
1. Zakat dalam Islam
a. Pengertian Zakat, Infak dan Sedekah
 Zakat adalah harta yg dikeluarkan untuk mensucikan diri yg sudah terdapat
ketentuan
 Infaq adalah harta yg dikeluarkan untuk mensucikan diri tetapi tidak memiliki
batasan
 Sedangkan sedeqah mirip dengan infaq tetapi tidak hanya harta bisa juga
tenaga dll
b. Dasar Hukum Zakat
Terdapat pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 43
َّ ٰ ‫ٱلزك َٰوة َ َو ۡٱر َكعُواْ َم َع‬
َ‫ٱلر ِكعِين‬ َّ ‫َوأَقِي ُمواْ ٱل‬
َّ ْ‫صلَ ٰوة َ َو َءاتُوا‬
Arinya : “Dan dirikanlah shalat dan bayarkanlah Zakat dan ruku’lah kamu
beserta orang-orang yang ruku”

At-taubah ayat 60 :
ِ َّ ‫يل‬
‫ٱَّلل‬ ِ ِ‫سب‬ ٰ ۡ
َ ‫ب َوٱلغَ ِرمِينَ َوفِي‬ ُ َّ ۡ
ِ ‫علَ ۡي َها َوٱل ُم َؤلفَ ِة قُلوبُ ُهمۡ َوفِي‬
ِ ‫ٱلر َقا‬ ۡ
َ َ‫ِين َوٱل ٰ َع ِملِين‬
ِ ‫سك‬ َ ٰ ‫صدَ ٰقَتُ ل ِۡلفُقَ َرآءِ َوٱل َم‬
ۡ َّ ‫۞ ِإنَّ َما ٱل‬
‫ِيم‬ٞ ‫علِي ٌم َحك‬ َّ ‫ٱَّلل َو‬
َ ُ‫ٱَّلل‬ ٗ
ِ ِۗ َّ َ‫ضة مِن‬ َ ‫يل فَ ِري‬ ِ ِۖ ِ‫سب‬
َّ ‫َو ۡٱب ِن ٱل‬
Artinya : Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,orang
miskin, amil zakat, yang digunakan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan)
hamba sahaya,unuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah
dan untuk orang yang sdang dalam perjalanan, sebagai kewajiban.
c. Ancaman Bagi orang yang menolak Zakat
Maka disebutkan dalam Al-Qur’an ancaman bagi orang-orang yang enggan
membayar zakat. Allah berfirman : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas
perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan
punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu.” (QS. At Taubah : 34-35).

Seseorang yang tidak membayar zakat telah diberikan ancaman baginya ketika
di dunia dan juga di akhirat. Ketika di dunia, seseorang yang enggan membayar zakat
maka akan di ambil secara paksa darinya zakat tersebut. Pada masa ke khalifahan Abu
Bakar RA. terdapat segolongan orang yang enggan membayar zakat, maka Abu Bakar
RA pun berkata, “Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat
dengan zakat. Karena zakat adalah hak harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan
membayar zakat di masaku, padahal padahal mereka menunaikannya di masa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, niscaya akan tetap kuperangi dia”.
Ancaman baginya ketika di akhirat telah disebutkan di atas, pada surat At-
Taubah ayat 34-35. dan juga terdapat pada hadits Rasulullah, “Siapa yang memiliki
emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, niscaya di hari kiamat akan
dibuatkan setrika api untuknya yang dinyalakan di dalam neraka, lalu disetrikakan ke
perut, dahi dan punggungnySetiap setrika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali
lalu disetrikakan kembali kepadanya setiap hari –di mana sehari setara lima puluh
tahun di dunia – hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalannya
keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka.” (HR. Muslim).

d. Hikmah dan Manfaat Zakat


 Menyempurnakan Iman
 Membersihkan Harta
 Menghapus Dosa
 Mempererat Persaudaraan
 Melatih Kerendahan Hati
 Meningkatkan Rezeki

2. Harta ( Mal ) Sumber Zakat


a. Pengerian Harta (Mal)
Harta merupakan sesuatu yang boleh atau dapat dimiliki dan digunakan
(dimanfaatkan) sesuai kebutuhannya.
b. Syarat harta wajib Zakat
Pada syarat pertama, pemilik wajib berzakat apabila hartanya berada di bawah
kekuasaannya secara utuh. Lalu, harta harus berasal dari usaha yang halal, bukan cara
haram seperti mencuri, merampok, korupsi. Jika harta telah mencapai batas minimum
atau nisab, pemilik wajib mengeluarkan zakat 2,5 persen dari total
c. Jenis-jenis harta yang wajib dizakati
 Penghasilan bekerja
 Hasil perdagangan
 Hasil pertanian dan peternakan
 Simpanan logam mulia
 Kepemilikan saham
 Tabungan diam
 Barang temuan

3. Orang-orang yang berhak menerima zakat di zaman modern (musahiq)


Berikut 8 golongan atau orang-orang yang berhak menerima zakat:
1) Fakir
Pertama, orang yang berhak menerima zakat adalah fakir. Fakir adalah orang-orang
yang memiliki harta namun sangat sedikit. Mereka tidak berpenghasilan dan hampir tidak
memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.

2) Miskin
Kedua, orang yang berhak menerima zakat adalah miskin. Secara harta, miskin
berada di atas fakir. Mereka adalah orang-orang yang memiliki harta namun juga sangat
sedikit.

Penghasilannya sehari-hari hanya cukup untuk memenuhi makan, minum dan tak lebih dari
itu.

3) Amil
Ketiga, orang yang berhak menerima zakat adalah amil. Amil adalah mereka yang
mengumpulkan dan mendistribusikan zakat kepada orang yang membutuhkan.

4) Mualaf
Orang yang berhak menerima zakat adalah mualaf. Orang yang baru masuk Islam
atau mualaf juga menjadi golongan yang berhak menerima zakat.
5) Riqab
Orang yang berhak menerima zakat adalah riqab. Riqab adalah budak atau hamba
sahaya yang ingin memerdekakan dirinya.

6) Gharim
Orang yang berhak menerima zakat adalah gharim. Gharim adalah mereka yang
berhutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan izzahnya.

7) Fi Sabilillah
Orang yang berhak menerima zakat adalah fi sabilillah. Fi sabilillah adalah mereka
yang berjuang di jalan Allah dalam bentuk kegiatan dakwah, jihad dan sebagainya.

8) Ibnu Sabil
Orang yang berhak menerima zakat adalah ibnu sabil. Ibnu sabil adalah mereka
yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah.

4. Sumber-sumber Zakat di Zaman modern


 Zakat PERUSAHAAN Sebagaimana dimaklumi, hampir sebagian besar
perusahaan dikelola tidak secara individual, melainkan secara bersamasama dalam
sebuah kelembagaan dan organisasi dengan manajemen yang modern. Misalnya
dalam bentuk PT, CV, atau koperasi.
NISHAB ZAKAT PERDAGANGAN = NISHAB ZAKAT EMAS 85 GRAM
EMAS
 Zakat saham : Pendapat pertama , jika perusahaan itu merupakan perusahaan
industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan, maka sahamnya
tidak wajib dizakati. Misalnya : perusahaan hotel, biro perjalanan, dan transportasi
(darat, laut, udara) Alasannya, adalah saham-saham itu terletak pada alat-alat,
perlengkapan, gedung, sarana dan prasarana lainnya. Sedangkan keuntungan yang
ada dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya
dikeluarkan bersama harta lainnya. Yusuf Qardhawi
Zakat saham Dari sudut hukum, saham termasuk harta yang wajib zakat. Dasarnya
adalah dengan analogi (qiyas) atas zakat perdagangan. Nishab dan kadarnya sama
seperti perdagangan, yaitu senilai 85 gram emas dan kadar zakatnya sebesar 2,5 %
Penghasilan profesi Penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui
keahliannya, baik keahlian yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama
Keahlian yang dilakukan sendiri seperti : profesi dokter, arsitek, ahli hukum,
penjahit, pelukis, da’i, dan lain-lain. t Sedangkan keahlian yang dilakukan
bersama-sama seperti : pegawai (pemerintah, swasta) dengan menggunakan sistem
upah atau gaji.

Nishab, Kadar, dan Waktu mengeluarkan Zakat Profesi Dianalogikan dengan zakat
perdagangan, maka nishab, kadar, dan waktu mengeluarkannya sama dengan zakat
perdagangan. 85 nishab Gram Emas 2,5 zakat % Dikeluarkan setahun sekali
setelah dikurangi kebutuhan pokok.
 Mengenai zakat obligasi ini, selama si pemilik obligasi belum dapat mencairkan
uang obligasi, karena belum jatuh temponya atau belum mendapat undiannya,
maka ia tidak wajib menzakatinya, sebab obligasi adalah harta yang tidak dimiliki
secara penuh, karena masih hutang, belum di tangan pemiliknya. Demikianlah
pendapat Malik dan Abu Yusuf. Apabila sudah bisa dicairkan uang obligasinya,
maka wajib segera dizakatinya sebanyak 2,5 %
 Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA), “Nisab zakat
pertanian, perkebunan, dan kehutanan senilai 653 kg gabah. Kadar zakat pertanian,
perkebunan, dan kehutanan sebesar 10 persen jika tadah hujan atau 5 persen jika
menggunakan irigasi dan perawatan lainnya.
 Zakat Hasil Ternak (salah satu jenis Zakat Maal) meliputi hasil dari peternakan
hewan baik besar (sapi,unta) sedang (kambing,domba) dan kecil (unggas, dll).
Perhitungan zakat untuk masing-masing tipe hewan ternak, baik nisab maupun
kadarnya berbeda-beda dan sifatnya bertingkat. Sedangkan haulnya yakni satu
tahun untuk tiap hewan.
Zakat atas Unta
Nishab & kadar zakat
1- 4 ekor tidak ada zakat

5- 9 ekor seekor kambing


10- 14 ekor dua ekor kambing

15 -19 ekor tiga ekor kambing


20 – 24 ekor empat ekor kambing
25 -35 ekor seekor unta betina 1 tahun

36 – 45 ekor seekor unta betina 2 tahun


46 – 60 ekor seekor unta betina 3 tahun
61-75 ekor seekor unta betina 4 tahun

76-90 ekor 2 ekor unta betina 2 tahun


91-120 ekor 2 ekor unta betina 3 tahun

Setiap tambahan 50 unta seekor unta 3 tahun dan tambahan 40 unta seekor unta 2
tahun
Zakat Atas Sapi

Nishab & Kadar


1-29 ekor tidak ada zakat
30-39 ekor seekor anak sapi

40 – 59 ekor seekor sapi satu tahun


60 -69 ekor seekor sapi usia 2 tahun

70 – 79 ekor 2 ekor anak sapi


80- 89 ekor seekor anak sapi & sapi 2 thn

90- 99 ekor 2 ekor sapi 2 tahun


100- 109 ekor 3 ekor anak sapi

110 119 ekor 2 ekor anak sapi & seekor sapi usia 2 tahun
Kemudian setiap pertambahan 30 ekor seekor anak sapi dan pertambahan 40 ekor -
> seekor sapi usia 2 tahun.

5. Zakat dan Pajak


1) Zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah SWT dan
Rasulullah SAW, sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warga negara
kepada pemimpinnya.
2) Zakat telah ditentukan kadarnya di dalam al-Quran dan Hadis, sedangkan pajak
dibentuk oleh hukum negara.
6. Pengelolaan Zakat di Indonesia
Pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh BAZNAZ (Badan Amil Zakat
Nasional) yang mengelola zakat dalam lingkup nasional. Dan dalam pengelolaan zakat
di Indonesia ada juga UPZ (Unit Pengumpul Zakat) yaitu organisasi yang dibentuk
BAZNAZ untuk mengumpulkan zakat dari masyarakat

7. Tinjauan terhadap UU No.23 tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat


Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan
perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan. Dalam upaya mencapai
tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang
berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota.
B. Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Wakaf adalah perbuatan menyerahkan sebagian harta benda untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, demi kemaslahatan umat.
2. Dasar Hukum Wakaf
Berdasarkan firman Allah SWT yang tercantum pada surah Albaqarah ayat 267,
Alhajj ayat 77, dan Ali Imran ayat 92, dapat disimpulkan bahwa dasar hukum wakaf adalah
sunnah. Bahkan menurut suatu riwayat dari Imam Muslim, dasar hukum wakaf adalah
sunnah yang sangat diutamakan sebab pahalanya akan terus mengalir bahkan sampai di
alam kubur. Sedangkan di Indonesia, dasar hukum wakaf sendiri telah diatur dalam
undang-undang tahun 2004 nomor 41 tentang wakaf.
3. Rukun dan Syarat Wakaf
a. Rukun Wakaf :
 Orang yang berwakaf (al-waqif).
 Benda yang diwakafkan (al-mauquf).
 Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi).
 Lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
b. Syarat wakaf
 Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) ada empat yaitu, 1). Pemilik secara
penuh harta itu, 2). berakal, 3). Baligh, dan 4). Mampu bertindak secara hukum
(rasyid).
 Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf), yaitu: 1). harus barang yang
berharga, 2). harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya, 3). Harta
yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif), 4). harta
itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau
disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
 Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih)

Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam:
 Tertentu (mu’ayyan), yaitu jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah
seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh
diubah, syaratnya yaitu bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki
harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang
memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba
sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
 Tidak tertentu (ghaira mu’ayyan) yaitu tempat berwakaf itu tidak ditentukan
secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin,
tempat ibadah, dan lain sebagainya. Syaratnya yaitu pertama ialah bahwa yang
akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan
yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya
ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

 Syarat-syarat Shigah
- Mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf
kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.
- Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau
digantungkan kepada syarat tertentu.
- Ucapan itu bersifat pasti.
- Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.

4. Jenis-Jenis Wakaf
1) Wakaf ahli atau biasa disebut dengan wakaf keluarga adalah wakaf yang dilakukan
kepada keluarganya dan kerabatnya.
2) Wakaf khairi adalah wakaf yang diberikan untuk kepentingan umum.
3) Wakaf musytarak adalah wakaf yang mana penggunaan harta wakaf tersebut
digunakan secara bersama-sama dan dimiliki oleh kegerunan si pewakaf.
4) Wakaf benda tidak bergerak yaitu harta-harta yang dimaksud adalah bangunan, hak
tanah, tanaman dan benda-benda yang berhubungan dengan tanah.
5) Wakaf benda bergerak selain uang, yaitu benda-benda yang bisa berpindah seperti
kendaraan.

5. Nadzir
Nadzir wakaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amanat untuk
memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut.
Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang wakaf
menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif
untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

6. Sejarah Wakaf dalam Islam


Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf
disyariatkan setelah Nabi hijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat
yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha) tentang siapa yang
pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian ulama, yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW, yakni mewakafkan tanah milik Nabi SAW
untuk dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr
bin Sa’ad bin Mu’ad, dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin
Muad berkata, Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin
menga takan adalah wakaf Umar, sedangkan orang- orang Ansor mengatakan adalah wakaf
Rasulullah SAW.
Pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa Sayyidina Umar adalah orang
pertama yang melaksanakan syariat wakaf berdasar pada hadis yang diriwayatkan Ibnu
Umar yang berkata, Bahwa sahabat Umar RA, memperoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudian Umar RA, menghadap.
Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, umar berkata: ‘Hai Rasulullah SAW,
saya mendapat sebi dang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?’ Rasulullah SAW bersabda: Bila engkau suka,
kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak
dihibah kan, dan tidak diwariskan.
Ibnu Umar berkata lagi: Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah)
kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah Ibnu sabil, dan tamu,
dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara
yang baik (sepantasnya) atau member makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta.
Selain Umar, Rasulullah juga mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah di
antaranya ialah kebun A’raf Shafiyah, Dalal, Barqah, dan lainnya. Nabi juga mewakafkan
perkebunan Mukhairik, yang telah menjadi milik beliau setelah terbunuhnya Mukhairik
ketika Perang Uhud. Beliau menyisihkan sebagian keuntungan dari perkebunan itu untuk
member nafkah keluarganya selama satu tahun, sedangkan sisanya untuk membeli kuda
perang, senjata dan untuk kepentingan kaum Muslimin. Mayoritas ahli fikih mengatakan
bahwa peristiwa ini disebut wakaf.

7. Sejarah Peraturan Perwakafan di Indonesia


8. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
1) Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
2) Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3) Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan
dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4) Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola
dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5) Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang
diwakafkan oleh Wakif.
6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat
berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
7) Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan
perwakafan di Indonesia.
8) Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas
Presiden beserta para menteri.
9) Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.

9. Pola Pengelolaan Wakaf di Indonesia dan Berbagai Negara


Pengelolaan wakaf di Indonesia dilakukan oleh lembaga wakaf yang secara khusus
mengelola wakaf dalam bentuk aset tetap dan atau wakaf tunai, serta beroperasi secara
nasional adalah badan wakaf Indonesia (BWI).

Mata Kuliah : Hukum Islam di Indonesia


A. Pengantar
1. Pengertian hukum islam di indonesia
Pengertian hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang
didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf
(orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat
bagi semua pemeluknya. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan
Allah Swt untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan
kepercayaan.
Definisi hukum Islam adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan oleh Allah
untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi SAW, baik hukum yang berhubungan
dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah
(perbuatan) yang dilakukan oleh umat Muslim semuanya.
2. Ruang lingkup hukum islam di indonesia
 Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
a) Munâkahât, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan
perceraian serta segala akibat hukumnya;
b) Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini disebut juga
hukum farâidh;
c) Mu’âmalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak, dan sebagainya.
 Hukum Publik
Hukum publik Islam meliputi:
a) Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman, baik dalam jarîmah hudûd (pidana berat) maupun
dalam jarîmah ta’zîr (pidana ringan).
b) Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasalahan yang berhubungan
dengan kepala negara/ pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang
pajak, dan sebagainya;
c) Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama
lain dan negara lain
d) Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

B. Sejarah perkembangan hukum islam di indonesia dan kedudukan dalam sistem


hukum nasional
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia,
yang menurut sebagian kalangan, telah berlangsung sejak abad ke-7 atau ke-8. Akses Islam
ke dalam kawasan Nusantara dimulai dari bagian utara Pulau Sumatra. Di sinilah berdiri
kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ke-13, yaitu Kerajaan Samudera Pasai yang
terletak di wilayah Aceh Utara. Eksistensi kerajaan ini tentu didukung oleh masyarakat
muslim yang dalam keseharian mereka menjunjung tinggi aturan-aturan hukum Islam.
Pada perkembangan selanjutnya tumbuh kerajaan-kerajaan Islam di berbagai wilayah
di Nusantara seperti Kesultanan Demak, Mataram, dan Cirebon (ketiganya di Pulau Jawa),
Kerajaan Gowa (di Sulawesi), dan Kerajaan Ternate-Ti(Jore (di Maluku), Sebagai kerajaan
Islam, tentu kesultanan-kesultanan tersebut menetapkan hukum Islamsebagai sumber
hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat dan negara.
Kedudukan hukum Islam sebagaimana termaktub dalam politik hukum pemerintan
dalam GBHN yang ditetapkan MPR Nomor IV/MPR/1999 menjelaskan bahwa arah
kebijakan pembangunan hukum mengakui dan menghormati hukum agama (termasuk
hukum Islam) dalam menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu, dan
diupayakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral
agama-agama (termasuk moral Islam).
Dalam konteks pembangunan hukum, maka hukum Islam selain sebagai norma
hukum yang dapat ditranformasikan menjadi hukum positif dalam sistem hukum nasional.
Islam dan sistem Hukum Islam akan selalu menjadi penyeleksi proses legislasi nasional,
karena secara filosofis, yuridis dan sosiologis kekuatan Islam menjadi cermin
pembangunan Indonesia kedepan. Kenyataan pluralitas bangsa Indonesia akan menjadi
pertimbangan dalam upaya legislasi nasional, sehingga nilai-nilai Islam akan lebih mudah
terserap dalam sistem hukum nasional

C. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan


1. Latar belakang lahirnya UU No. 1 tahun 1974
Undang-Undang Perkawinan merupakan inisiatif pemerintah atau negara ynag
bertujuan untuk melakukan unifikasi hukum nasional di bidang perkawinan. Tanggapan
yang muncul dari berbagai pihak bertujuan untuk menghapus semua pasal-pasal yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Umat Islam memberikan reaksi keras, misalnya
ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh Islam dan demonstrasi mahasiswa.
Kemunculan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh empat
tujuan, yaitu: (1) membatasi dan bahkan menghapus pernikahan anak, (2) membatasi
poligami, (3) membatasi hak sepihak dari talaq (talaq semena-mena), dan (4) membangun
persamaan hak untuk suami dan istri.
2. Landasan perumusannya
Perumusan Undang-Undang perkawinan tersebut. Pertama, memberikan kepastian
hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya Undang-Undang,
perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, melindungi hak-hak kaum wanita dan
sekaligus memenuhi keinginan dan harapan perempuan. Ketiga, menciptakan Undang-
Undang yang sesuai dengan tuntutan zaman
3. Sistematika dan isinya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal sudah
mengakomodir kebutuhan dan permasalahan yang terdapat dalam keluarga14. Rincian Bab
sebagai berikut:
1) Bab I: Dasar Perkawinan
2) Bab II: Syarat-Syarat Perkawinan
3) Bab III: Pencegahan Perkawinan
4) Bab IV: Batalnya Perkawinan
5) Bab V: Perjanjian Perkawinan
6) Bab VI: Hak dan Kewajiban Suami Istri
7) Bab VII: Harta Benda dalam Perkawinan
4. Peraturan yang terkait peraturan daerah No. 9 tahun 1975
 Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau
seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaannya itu selain agama Islam.
 Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak berdiam bersama dalam
satu rumah hanya diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan suami-isteri
itu beserta anak-anaknya.
 Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri tidak dapat
dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada
isterinya. Demikian pula tugas kewajiban suami-isteri itu terhadap anak-anaknya.
Harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama oleh
suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami menjadi terlantar atau tidak
terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian
kepada suami-isteri itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi
pihak ketiga.
 Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita itu dengan
bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka bagi wanita tersebut
tidak ada waktu tunggu; ia dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah
perceraian itu.
 Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh
baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh
instansi lain di luar Pengadilan.

D. Undang-undang peradilan agama (UU No. 7 tahun 1989 dengan perubahannya


yaitu UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun 2009
1. Latar belakang lahirnya UU peradilan agama
Lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan
memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan
peradilan lainnya. Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar terhadap fungsi,
kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia. Salah satu sektor yang
mengalami perubahan mendasar adalah beralihnya fungsi dan kedudukan lembaga
Peradilan Agama dari peradilan semu (quasi rechtspraak) menjadi lembaga kekuasaan
kehakiman yang mandiri (court of law) dalam Tata Hukum Indonesia, sehingga
mempunyai kedudukan yang sejajar dengan lembaga Peradilan yang lain.
2. Landasan perumusannya
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah
terakhir kalinya dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang dalam Pasal 2
menegaskan bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang undang.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi
agama.
Adapun pengertian peradilan dan pengadilan, menurut Hartono sebagai berikut :
1. Peradilan adalah tugas atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan yang
dibebankan kepada pengadilan.
2. Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan tugas dan fungsi
peradilan tersebut.
3. Sistematika dan isinya
 Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama
diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi
ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula,
kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
 Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan
juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-
orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-
hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini
 Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris,
dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan
atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris.
 Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku
setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
 Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan
tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum
untuk dimiliki.
 Yang dimaksud dengan "wakaf" adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang
(wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.
 Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
 Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada
orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
 Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa
dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu
Wata’ala dan pahala semata.
 Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a) bank syari’ah;
b) lembaga keuangan mikro syari’ah.
c) asuransi syari’ah
d) reasuransi syari’ah;
e) reksa dana syari’ah
f) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g) sekuritas syari’ah;
h) pembiayaan syari’ah
i) pegadaian syari’ah;
j) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
k) bisnis syari’ah.
4. Peraturan lainnya (peraturan mahkamah agung No. 02 tahun 2008 tentang
kompilasi hukun ekonomi syariah)
 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989vTentang Peradilan Agamq sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4611;
 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syari'ah Negara
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70 Tambahan Lembaran
Negara 4852;
 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari'ah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 941 Tambahan Lembaran Negara
4867;
 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9;

E. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia


1. Latar Belakang Lahirnya KHI
Kompilasi hukum islam atau yang biasa kita kenal dengan istilah KHI, merupakan
himpunan yang mengulas tentang kaidah hukum islam yang bersumber pada kitab fikih,
mazhab dan pandangan ulama. Dalam kehidupan sehari-hari, kompilasi hukum islam
(KHI) juga sering digunakan sebagai pegangan hakim di pengadilan agama untuk
memecahkan solusi. Ternyata KHI sangat mempengaruhi pengaruh besar terhadap
kebijakan hakim memberikan keputusan.
Kompilasi hukum islam di pengadilan agama lebih sering menjadi solusi terkait
beberapa masalah. Mulai dari masalah waris, perkawinan, hibah, wasiat dan masih banyak
lainnya.
Kompilasi hukum islam ini sebenarnya muncul pertamakali idenya sejak tahun 1985,
tepatnya tanggal 21 Maret. Dimana disebutkan bahwa Mahkamah Agung dan Menteri
Agama Nomor 07/KMA/1985 mengeluarkan surat SKB (Surat Keputusan Bersama) yang
berkaitan dengan penunjukan pelaksanaan prooyek pembangunan hukum islam melalui
yurisprudensi.
Inti dari isi surat keputusan bersama tersebut berisi instruksi kepada Kementrian
agama agar segera membentuk tim yang berisi para cendekiawan islam dan para ulama
melalui jalur Yurisprudensi atau kompilasi hukum. dimana tim yang terbentuk tersebut
bertangung jawab untuk mengkaji kitab-kitab fikih islam. Hasil kajian itulah yang nantinya
akan dipergunakan untuk hakim di pengadilan agama sebagai problem solving.
Lima sumber utama yang dipilih untuk penyusunan KHI yakni:
1. Peraturan perundang-undangan yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946 tentang Pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Produk yudisial pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, terutama yang
mengenai masalah waris dengan dukungan pengalaman tafsir hukum
mengantisipasi tuntutan di tengah hubungan konflik hukum Islam dengan hukum
adat;
3. Produk ekspalansi fungsionalisasi ajaran Islam melalui kajian hukum yang
dilakukan perguruan tinggi negeri Islam;
4. Rekaman pendapat hukum;
5. Hasil studi perbandingan di Maroko, Turki, dan Mesir.
Dapat disimpulkan bahwa di antara alasan mengapa KHI tidak dibuat dalam bentuk
undang-undang adalah karena tujuan awalnya hanyalah sebagai pedoman hakim
Pengadilan Agama dalam memutus perkara. Selain itu, alasan lainnya adalah karena
mendesaknya kebutuhan ketika itu hingga sasaran yang ditetapkan oleh MA yaitu berupa
KHI.
2. Landasan Perumusan KHI
Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan KHI di Indonesia adalah
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Instruksi presiden ini ditujukan
kepada Menteri Agama. Ini adalah merupakan Instruksi dari Presiden RI kepada Menteri
Agama untuk menyebarluaskan KHI yang sudah disepakati tersebut. Diktum keputusan ini
menyatakan: Pertama: Menyebarluaskan KHI, yang terdiri dari:
Buku I tentang Hukum Perkawinan
Buku II tentang Hukum Kewarisan
Buku III tentang Hukum Perwakafan
Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam lokakarya di
Jakarta pada tanggal 2-5 Februari 1998 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh
masyarakatnya yang memerlukannya.
Kedua: Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh
tanggungjawab.
Kompilasi hukum Islam yang sekarang diberlakukan di lingkungan peradilan agama
di Indonesia, berfungsi sebagai petunjuk dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara perkara yang berhubungan dengan keperdataan orang-orang Islam.
3. Sistematika dan Isinya
Adapun mengenai isi dari kompilasi hukum Islam dapat dikemukakan secara singkat
sebagai berikut:
1. Hukum Perkawinan Sistematika kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah
sebagai berikut:
Bab I Ketentuan umum (pasal 1)
Bab II Dasar-dasar perkawinan pasal (2-10)
Bab III Peminangan pasal (11-13)
Bab IV Rukun dan syarat perkawinan rukun pasal (14-29)
Bab V Mahar pasal (33-38)
Bab VI Larangan perkawinan pasal (39-44)
Bab VII Perjanjian perkawinan pasal (45-52) 76 Ibid. 77 Ibid., h. 65 43
Bab VIII kawin Hamil pasal (53-54)
Bab IX Beristri lebih dari satu orang pasal (55-59)
Bab X Pencegahan perkawinan pasal (66-94)
Bab XI Batalnya perkawinan pasal (77-76)
Bab XII Hak dan kewajiban suami istri pasal (77-78)
Bab XIII Harta kekayaan dalam perkawinan (98-97)
Bab XIV pemeliharaan anak pasal (98-106)
Bab XV perwalian pasal (107-112)
Bab XVI Putusnya perkawinan (pasal 113-114)
Bab XVII Akibat putusnya perkawinan (pasal 149-162)
Bab XVIII Rujuk pasal (163-169)
Bab XIX Masa berkabung (pasal 170)
2. Hukum kewarisan
Sistematika kompilasi, mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit bilamana
dibandingkan dengan hukum perkawinan. Karangka sistematikanya adalah sebagai
berikut:
Bab I ketentuan umum (pasal 171)
Bab II ahli waris pasal (172-175)
Bab III Besarnya bagian (pasal 176-191)
Bab IV Aul dan Rad (pasal 192-193)
Bab V Wasiat (Pasal 194-209)
3. Hukum Perwakafan
Bagian Akhir Buku ke-III Kompilasi Hukum Islam tentang hukum perwakafan.
Sistematika adalah sebagai berikut:
Bab I Ketentuan umum (pasal 215)
Bab II Fungsi, unsur-unsur yang syarat-syarat wakaf pasal (216- 220)
Bab III Tata cara perwakilan dan pendaftaran (Pasal 223-224)
Bab IV Benda wakaf pasal (223-224)
Bab V Ketentuan Peralihan (Pasal 228)

F. UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah


1. Latar Belakang Lahirnya UU Perbankan Syariah
Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI
memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah
berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia
perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian. Pada tahun 1983
tersebut pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam
perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah.Pada tahun 1988, Pemerintah
mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka
kesempatan seluas-luasnya kepada bisnis perbankan harus dibuk seluas-luasnya untuk
menunjang pembangunan (liberalisasi sistem perbankan). Meskipun lebih banyak bank
konvensional yang berdiri, beberapa usaha-usah perbankan yang bersifat daerah yang
berasaskan syariah juga mulai bermunculan.
Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-
diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, gagasan
perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung
(Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).
Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk
mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan
amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok
kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan
pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah
pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi
beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-
Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah
memperolehperhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional.
Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu hanya
diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank dengan sistem bagi hasil"pada UU No. 7
Tahun 1992; tanpa rincianlandasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang
diperbolehkan.
Pada tahun 1998, pemerintah dan DewanPerwakilan Rakyat melakukan
penyempurnaan UU No. 7/1992 tersebutmenjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas
menjelaskan bahwaterdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking
system),yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Peluang ini
disambut hangat masyarakat perbankan, yang ditandai dengan berdirinya beberapa Bank
Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega,
Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh dll.
Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan
meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
(sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983
tentang PPN Barang dan Jasa. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka
pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum
yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan
progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih
dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan
syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.Lahirnya UU
Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11
BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).
Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua
dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian kemajuan,
baik dari aspek lembagaan dan infrastruktur penunjang, perangkat regulasi dan sistem
pengawasan, maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap layanan jasa keuangan
syariah. Sistem keuangan syariah kita menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap
yang diakui secara internasional. Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12
Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum
Konvensional dan 162 BPRS dengan total aset sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa
pasar 4,61%. Khusus untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan,
dan Dana Pihak Ketiga(BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp. 201,397 Triliun, Rp.
85,410 Triliun dan Rp. 110,509 Triliun
Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah
dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Maka pengawasan dan pengaturan
perbankan syariah juga beralih ke OJK. OJK selaku otoritas sektor jasa keuangan terus
menyempurnakan visi dan strategi kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah yang
telah tertuang dalam Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang dilaunching
pada Pasar Rakyat Syariah 2014. Roadmap ini diharapkan menjadi panduan arah
pengembangan yang berisi insiatif-inisiatif strategis untuk mencapai sasaran
pengembangan yang ditetapkan.
2. Landasan Perumusan Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia,
maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar
Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-
aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka
di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan
universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam,
peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah
lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap
implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara
lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008
membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian
target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009
menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di
ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri
sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai
perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124
triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning,
differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling
menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif
dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan
beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli
investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank
syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan
syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan
universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan
strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang
beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan
dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah
dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten
dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan
nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah
secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui
berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik,
online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan
produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

3. Sistematika dan Isinya

Undann-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

BAB I Ketentuan Umum

Memberikan penjelasan mengenai definisi dan pengertian yang digunakan di undang-


undang ini.

BAB II Asas, Tujuan, dan Fungsi

Mengatur tentang prinsip syariah yang digunakan, serta menganut demokrasi ekonomi
dan prinsip kehati-hatian. Ketentuan fungsi bank syariah juga dipaparkan, dengan
tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional yang meningkatkan keadilan,
kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
BAB III Perizinan, Bentuk Badan Hukum, Anggaran Dasar, dan Kepemilikan

Mengatur tentang tata cara dan persyaratan dalam perizinan usaha bank syariah, serta
ketentuan mengenai badan hukumnya. Anggaran dasar dan ketentuan kepemilikan
juga diatur di bab ini.

BAB IV Jenis dan Kegiatan Usaha

Kelayakan Penyaluran Dana, dan Larangan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
Memberikan ketentuan mengenai jenis serta kegiatan usaha bank syariah dan unit
usaha syariah, serta ketentuan mengenai kelayakan penyaluran dana. Sejumlah
larangan bagi bank syariah dan unit usaha syariah juga diatur dalam babini.

BAB V Pemegang Saham Pengendali, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas


Syariah, Direksi, dan Tenaga Kerja Asing

Aturan ini memberikan ketentuan dan persyaratan mengenai pemegang saham


pengendali, dewan komisaris, serta direksi. Dijelaskan juga mengenai Dewan
Pengawas Syariah yang wajib dibentuk dan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang
Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Tenaga kerja asing juga bisa
digunakan selama sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB VI Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian, dan Pengelolaan Risiko Perbankan


Syariah

Aturan ini memberikan ketentuan mengenai tata kelola yang mencakup prinsip
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran. Selain
menerapkan prinsip kehati-hatian, bank syariah dan unit usaha syariah wajib
memberikan laporan keuangan kepada Bank Indonesia berupa neraca tahunan dan
perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya. Pengelolaan risiko juga dilakukan
dengan prinsip mengenal dan melindungi nasabah.

BAB VII Rahasia Bank

Aturan yang menegaskan kewajiban untuk merahasiakan keterangan nasabah, tapi ada
sejumlah pengecualian yang dibahas di bab ini.

BAB VIII Pembinaan dan Pengawasan

Aturan yang menyebutkan peran Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank
syariah dan unit usaha syariah. Sejumlah ketentuan yang wajib dilakukan bank syariah
dan unit usaha syariah juga dipaparkan di bab ini.

BAB IX Penyelesaian Sengketa


Aturan yang memaparkan mengenai penyelesaian sengketa, yang tak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.

BAB X Sanksi Administratif

Aturan yang memaparkan mengenai sanksi administratif yang bisa ditetapkan Bank
Indonesia kepada para pelanggar ketentuan undang-undang ini. Proses pemberian
sanksi administratif juga dipaparkan di bab ini.

BAB XI Ketentuan Pidana

Memberikan paparan mengenai sanksi pidana yang bisa dikenakan kepada para
pelanggar undang-undang ini. Ancaman pidana pun akan diberikan sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan.

BAB XII Ketentuan Peralihan

Setelah undang-undang ini berlaku, maka bab ini menjelaskan mengenai proses
peralihan yang harus dilakukan.

BAB XIII Ketentuan Penutup

Memberikan penjelasan mengenai sejumlah undang-undang lain terkait aktivitas


perbankan syariah yang tetap berlaku sepanjang tak bertentangan dengan undang-
undang ini. Undang-undang tentang Perbankan Syariah ini mulai berlaku sejak tanggal
diundangkan pada 16 Juli 2008.
4. Peraturan Perbankan Syariah yang Terkait dalam Peraturan Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan


bahwa kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha
yang tidak mengandung unsur:

a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam
transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu
penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan
Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok
pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti
dan bersifat untung-untungan;
c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali
diatur lain dalam syariah;
d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
UU 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga menindaklanjuti implementasi fatwa
yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank
Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan
dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya
berimbang.

G. UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf


1. Latar Belakang Lahirnya UU Wakaf
Lahirnya Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf di Indonesia
sebagai penyempurna dari peraturan perundang-undangan yang telah ada, merupakan
langkah yang perlu mendapat apresiasi dari umat Islam di Indonesia. Sebab, selain sebagai
penjamin kepastian hukum wakaf, undang- undang tersebut juga menjamin unifikasi
(penyatuan) hukum perwakafan di seluruh Indonesia.
Terdapat dua alasan yang mendasari dibentuknya undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam penjelasan
undang-undang tersebut. Dua alasan yang dimaksud adalah:
a) Memajukan kesejahteraan umum untuk mencapai tujuan tersebut, potensi yang
terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis perlu digali
dan dikembangkan. Dalam hal ini adalah wakaf, yang pada awalnya berfungsi
sebagai sarana ibadah dan sosial, menjadi pranata yang memiliki kekuatan
ekonomi yang diyakini dapat memajukan kesejahteraan umum.
b) Praktik yang sekarang ada pada masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan
efisien. Salah satu buktinya adalah diantara harta benda wakaf tidak terpelihara
dengan baik, terlantar, bahkan beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara
melawan hukum.
Said Agil Al-Munawwar (mantan Menteri Agama, wakil dari Pemerintah yang
berkedudukan sebagai pengusul Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf),
pernah menyatakan bahwa tujuan undang-undang wakaf adalah:
 Menjamin kepastian hukum di bidang perwakafan.
 Melindungi dan memberikan rasa aman.
 Sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggungjawab bagi para pihak
yang mendapatkan kepercayaan mengelola wakaf.
 Sebagai koridor hukum untuk advokasi dan penyelesaian kasus-kasus perwakafan
yang terjadi di masyakat (Jail Mubarok, 2008:57-59).
2. Landasan Perumusan
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang
diwakafkan oleh wakif, yakni pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
Perlu diperhatikan, harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki
dan dikuasai oleh wakif secara sah. Harta benda wakaf terdiri dari:
a) Benda tidak bergerak, meliputi:
 Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
 Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud
pada angka 1 di atas;
 Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
 Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
 Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b) Benda bergerak, meliputi:
1) Uang;
2) Logam atau batu mulia;
3) Surat berharga, berupa:
- Saham;
- Surat utang negara;
- Obligasi pada umumnya; dan/atau
- Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

4) Kendaraan, berupa:

- Kapal;
- Pesawat Terbang;
- Kendaraan Bermotor;
- Mesin Atau Peralatan Industri Yang Tidak Tertancap Pada Bangunan;

5) Hak Atas Kekayaan Intelektual, Berupa:

a. Hak cipta;
b. Hak merek;
c. Hak paten;
d. Hak desain industri;
e. Hak rahasia dagang;
f. Hak sirkuit terpadu;
g. Hak perlindungan varietas tanaman; dan/atau
h. Hak lainnya.

6) Hak sewa; dan


7) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, seperti:
- Hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak; ataU
- Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukkan bagi:
a. Sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah
dan peraturan perundang-undangan.

3. Sistematika dan Isinya


Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-
undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terdiri atas 11 (sebelas) bab, 61 (enam
puluh satu) pasal, meliputi pengertian tentang wakaf, nazhir, jenis harta wakaf, akta ikrar
wakaf dan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, tacara pendaftaran dan pengumuman harta
benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan, penukaran harta benda wakaf, bantuan
pembiayaan badan wakaf Indonesia, pembinaan dan pengawasan, sanksi administratif,
ketentuan peralihan, ketentuan penutup. Beberapa ketentuan hukum perwakafan menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang- undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang merupakan pengembangan dan
penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada perundang- undangan
sebelumnya, antara lain adalah terkait dengan obyek wakaf. Jika dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 obyek wakaf terbatas berupa tanah milik, maka dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf terjadi perluasan obyek wakaf. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (5) yang menyebutkan bahwa harta benda wakaf adalah
harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta
mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh waqif. Lebih lanjut
dipertegas dalam Pasal 16 yang menjelaskan bahwa harta benda wakaf terdiri dari ayat
(1) benda tidak bergerak, ayat (2) benda bergerak selain uang, ayat (3) benda bergerak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah benda yang tidak bisa habis karena
konsumsi, meliputi:
- Uang
- Logam
- Surat Berharga
- Kendaraan
- Hak atas Kekayaan Intelektual
- Hak Sewa
- Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Direktorat Jenderal Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, 2005)
4. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut Syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan
dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola
dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Mauquf alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari
peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan
dalam Akta Ikrar Wakaf.
6. Akta Ikrar Wakaf, yang selanjutnya disingkat AIW adalah bukti pernyataan
kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola Nazhir
sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk akta.
7. Sertifikat Wakaf Uang adalah surat bukti yang dikeluarkan oleh Lembaga
Keuangan Syariah kepada Wakif dan Nazhir tentang penyerahan wakaf uang.
8. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang selanjutnya disingkat PPAIW, adalah
pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat Akta Ikrar Wakaf.
9. Lembaga Keuangan Syariah, yang selanjutnya disingkat LKS adalah badan hukum
Indonesia yang bergerak di bidang keuangan Syariah.
10. Bank Syariah adalah Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dari Bank Umum
konvensional serta Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
11. Badan Wakaf Indonesia, yang selanjutnya disingkat BWI, adalah lembaga
independen dalam pelaksanaan tugasnya untuk mengembangkan perwakafan di
Indonesia.
12. Kepala Kantor Urusan Agama yang selanjutnya disingkat dengan Kepala KUA
adalah pejabat Departemen Agama yang membidangi urusan agama Islam di
tingkat kecamatan.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.

H. Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UU No. 38 Tahun 1999 dan perubahannya


UU No. 23 Tahun 2011)
1. Latar Belakang Lahirnya UU Zakat

Pertimbangan dalam UU 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah:

a. Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk


agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu;
b. Bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat islam yang mampu
sesuai dengan syariat islam;
c. Bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
d. Bahwa dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola
secara melembaga sesuai dengan syariat islam;
e. Bahwa undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat sudah tidak
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu
diganti;
f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk undang-undang tentang pengelolaan
zakat;

2. Landasan Perumusan
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan
syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara
melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian
hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang
diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan
BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS
merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip
pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha
produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila
kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah,
dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah,
dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan
sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan
dalam pembukuan tersendiri.
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil,
serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

3. Sistematika dan Isinya

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian


dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3. Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat
untuk kemaslahatan umum.
4. Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan
usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
5. Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan
zakat.
6. Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7. Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga
yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
8. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang
dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
9. Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi
yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
10. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11. Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya
operasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat Islam.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.

Pasal 2

Pengelolaan zakat berasaskan:

a. Syariat Islam;
b. Amanah;
c. Kemanfaatan;
d. Keadilan;
e. Kepastian hukum;
f. Terintegrasi; dan
g. Akuntabilitas.

Pasal 3

Pengelolaan zakat bertujuan:

a. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan


b. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan.

Pasal 4

1. Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.


2. Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Emas, perak, dan logam mulia lainnya; b. Uang dan surat berharga lainnya;
b. Perniagaan;
c. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan; e. Peternakan dan perikanan
d. Pertambangan;
e. Perindustrian;
f. Pendapatan dan jasa; dan
g. Rikaz.

3. Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki oleh
muzaki perseorangan atau badan usaha.
4. Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah dilaksanakan sesuai
dengan syariat Islam.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan
zakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

4. Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2014


Peraturan pemerintah No 14 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang
No 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.
1. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian
dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2. Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang
melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
3. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk
masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat
4. Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi yang
dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
5. Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya
operasional dalam pengelolaan zakat sesuai dengan syariat Islam.
6. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat.
7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.

I. Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggara ibadah haji.


1. Latar belakang lahirnya UU penyelenggaraan ibadah haji
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji ini
pada awalnya merupakan hasil reformasi untuk mengatasi berbagaipermasalahan
pengelolaan ibadah haji yang tidak kunjung selesai. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan lbadah Haji perlu diganti dan disesuaikan dengan
kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat agar lebih menjamin kepastian
dan ketertiban hukum serta memberikan perlindungan bagi masyarakat yang akan
menunaikan ibadah haji dan umrah.

2. Landasan perumusannya
UU No 13 tahun 2008 sudah diganti dengan uu no 8 tahun 2019

3. Sistematik dan isinya


BAB I Ketentuan Umum (Pasal 1 – Pasal 3)
BAB II Jemaah Haji (Pasal 4 – Pasal 9)
BAB III Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler (Pasal 10 – Pasal 43)
BAB IV Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Pasal 44 – Pasal 51)
BAB V Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (Pasal 52 – Pasal 56)
BAB VI Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (Pasal 57 – Pasal 85)
BAB VII Penyelenggaraan Ibadah Umrah (Pasal 86 – Pasal 106)
BAB VIII Koordinasi (Pasal 107 – Pasal 109)
BAB IX Peran Serta Masyarakat (Pasal 110 – Pasal 111)
BAB X Penyidikan (Pasal 112)
BAB XI Larangan (Pasal 113 – Pasal 119)
BAB XII Ketentuan Pidana (Pasal 120 – Pasal 126)
BAB XIII Ketentuan Peralihan (Pasal 127)
BAB XIV Ketentuan Penutup (Pasal 128 – Pasal 132)

4. Peraturan Menteri Agama No 29 Tahun 2015


Peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah yang
di hadapi, salah satunya Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
2015 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Haji Reguler ditetapkan pada tanggal 27 Mei 2015 dan mulai berlaku
pada musim haji 2016.
DalamPeraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 29 Tahun 2015 tersebut
diatur berbagai hal menyangkut tentang penyelenggaraan ibadah haji regular.
J. UU No 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal
1. Latar belakang lahrnya UU Penyelenggaraan JPH
Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan
Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan.
meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk
Halal.

2. Landasan Perumusan
Sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal (UUJPH), sudah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Instruksi Presiden (Inpres) Tahun 1991
tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan
Keputusan Menteri dan Keputusan Bersama Menteri.

3. Sistematika dan Isinya


Pemerintah Harus Bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal.
a.Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH
b. Menetakan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH
c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri.
d. Melakukan registrasiSertifikat Halal pada Produk luar negeri

K. Pelaksanaan hukum qanun diprovinsi aceh (UU no 11 tahun 2006 ttg


pemerintahan aceh)
a) Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan untuk melaksanakan wewenang
Peradilan Agama dan juga memiliki kekuasaan untuk melaksanakan sebahagian
wewenang Peradilan Umum. Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan yang lebih
luas dibandingkan dengan Peradilan Agama, seperti yang dikatakan oleh Tim Lindsey
and Cate Summer yang menjelaskan bahwa Kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi
oleh undang-undang hanya beberapa aspek dari hukum Islam. Namun demikian
Mahkamah Syar’iyah tetap merupakan bagian dari sistem peradilan nasional. Hal ini
secara tegas telah dinyatakan dalam UU Pemerintaha Aceh pasal 128 ayat (1). Lebih
lanjut Mohammad Laica Marzuki menjelaskan bahwa:“Keberadaan Mahkamah
Syar’iyah sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan taruhan
sekaligus "test case" dari kehendak politik pemerintah. "Pemberlakuan Mahkamah
Syariah adalah dalam rangka memenuhi cita-cita dan harapan rakyat di Nanggroe
Aceh Darussalam dalam penegakan Syariat Islam. Itu merupakan hak daripada
masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, jadi jangan sekali-kali pemerintah
mengecewakan mereka. Kekhawatiran adanya benturan-benturan itu tidak perlu
terjadi.
b) Qanun adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh.
Qanun terdiri atas:
 Qanun Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh
disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh.
 Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Qanun
kabupaten/kota disahkan oleh bupati/wali kota setelah mendapat persetujuan
bersama dengan DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten atau Dewan
Perwakilan Rakyat Kota).

Anda mungkin juga menyukai