Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
     Lembaga merupakan suatu tempat untuk mengurus atau mengordinir suatu
kegiatan agar lebih terstruktur dan berjalan dengan baik, salah satu lembaga yang
sedang berkembang di Indonesia adalah Lembaga Keuangan Syari’ah yang mengatur
seluruh kinerja dan kegiatan operasional masalah keuangan berbasis pada prinsip-
prinsip syar’i,sejak berdiri pada 1992 berbagai lembaga keuangan bergerak cepat dalam
menjalankan aksinya di Indonesia, seperti Bank Syari’ah, Pegadaian Syari’ah, Baitul
Mal Wa Tamwil, dan lain-lain.
      Fungsi lembaga sebagai markas komando juga diterapkan dalam masalah
pengelolaan keuangan yang bersifat ibadah vertikal seperti zakat, infaq dan wakaf, yang
bertujuan agar uang suci tersebut dapat tersalurkan dengan tepat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dasar hukum dari zakat?
2. Apa saja lembaga pengelola zakat?
3. Apa itu wakaf dan dasar hukum yang melandasinya?
4. Apa yang dimaksud dengan wakaf tunai?
5. Apa maksud dari pengelola wakaf itu?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Zakat
1. Pengertian
     Zakat merupakan salah satu pilar dalam islam karena termasuk dalam instrument
atau rukun islam, zakat menurut bahasa berarti‫التطهير‬ (mensucikan) dan ‫النماء‬ (tumbuh),
[1] sedangkan secara syara’ zakat adalah suatu istilah untuk barang yang wajib
dikeluarkan seseorang atas harta bendanya dengan syarat-syarat tertentu serta harus
didistribusikan untuk kelompok-kelompok tertentu.
     Zakat dapat dikenakan kepada seseorang jika sudah memenuhi beberapa ketentuan:
1. Islam, 2. Merdeka, 3. Harta milku al-tam, 4. Sudah mencapai nisab, 5. Mencapai haul
(setahun penuh) kecuali untuk zakat pertanian. Zakat sendiri terbagi menjadi 2, yaitu :
a. Zakat fitrah
Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan pada semua orang muslim sehingga
zakat fitrah juga disebut zakat badan, yang bertujuan untuk memfitrahkan
(mensucikan) sho`im(orang yang berpuasa) dari kotoran rohani atau sebagai penambal
kekurangan saat berpuasa, bahkan ada yang menggambarkan puasa ramadlan dan zakat
fitrah itu seperti sholat dan sujud sahwi, dimana hal satu menjadi pengisi kekurangan
dalam hal lainnya.[2]
Pada zakat fitrah tak mengenal nishab dan haul, karena syarat wajib pada zakat fitrah
cukup ketika muzakki mempunyai kelebihan dari kebutuhannya dan orang-orang dalam
tanggungannya pada malam hari raya dan esoknya.[3]Pembayarannya dengan
menggunakan makanan pokok yang ada dalam wilayah muzakki, sedangkan waktu
pembayaranya adalah sebelum datangnya fajar hari raya idul fitri.
b. Zakat mal
Zakat mal diwajibkan oleh Allah pada tahun ke 2 H, zakat mal sendiri terbagi  menjadi
beberapa macam, diantaranya: zakat emas perak, zakat ternak, zakat pertanian,
zakat tijarah(perdagangan) dan lain-lain.
2. Dasar Hukum Zakat
Hukum islam adalah hukum yang tak akan lepas dari 2 pedoman pokoknya yaitu al-
Qur’an dan Hadits, begitu juga dengan zakat dimana ketentuan-ketentuan tentangnya
dibahas dalam 2 sumber tadi kemudian baru dirumuskan oleh fuqoha’ agar lebih mudah
dikonsumsi oleh umat islam yang ingin mempelajarinya. Diantara dalil-dalil pada al-
Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan zakat adalah :
1) Kewajiban Zakat
‫ن لَّهُمۡۗ َوٱهَّلل ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ٞ ‫ك َس َك‬ َ ‫ص ِّل َعلَ ۡي ِهمۡۖ ِإ َّن‬
َ َ‫صلَ ٰوت‬ َ ۡ‫ُخ ۡذ ِم ۡن َأمۡ ٰ َولِ ِهم‬
َ ‫ص َدقَ ٗة تُطَهِّ ُرهُمۡ َوتُ َز ِّكي ِهم بِهَا َو‬

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.[4]Pada ayat diatas biasanya menjadi dasar dari pemaknaan
zakat dalam hal pembersihan, karena selain menunaikan kewajiban zakat juga sebagai
pembersih harta halal yang mungkin tercampur dengan harta kotor.
ٞ ‫ص‬
 ‫ير‬ ِ َ‫خَي ٖر تَ ِجدُوهُ ِعن َد ٱهَّلل ۗ ِ ِإ َّن ٱهَّلل َ بِ َما ت َۡع َملُونَ ب‬ ْ ‫وا ٱل َّز َك ٰو ۚةَ َو َما تُقَ ِّد ُم‬
ۡ ‫وا َأِلنفُ ِس ُكم ِّم ۡن‬ ْ ُ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬ ْ ‫َوَأقِي ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬

Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.[5]
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa zakat merupakan tonggak penting dalam
islam, hal tersebut dapat dilihat dari beriringannya perintah sholat yang notabenenya
sebagai afdhol al-‘ibadat dengan perintah zakat dalam beberapa ayat, mungkin juga
karena pengaruh zakat yang tidak hanya bagi individu juga berdampak banyak terhadap
pembangunan sosial.
2) Para Mustahiq
Salah satu poin penting dalam pengertian zakat adalah tersalurkannya terhadap
orang-orang tertentu yang biasa disebut dengan delapan ashnaf, ketentuan akan
kelompok ini sudah tertera dalam surat at-Taubah ayat 60, yang berbunyi:

ِ ِ‫ب َو ۡٱل ٰ َغ ِر ِمينَ َوفِي َسب‬


ِ ۖ ِ‫يل ٱهَّلل ِ َو ۡٱب ِن ٱل َّسب‬
‫يل‬ ُ َ‫ص َد ٰق‬
ِ ‫ت لِ ۡلفُقَ َرٓا ِء َو ۡٱل َم ٰ َس ِكي ِن َو ۡٱل ٰ َع ِملِينَ َعلَ ۡيهَا َو ۡٱل ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُوبُهُمۡ َوفِي ٱل ِّرقَا‬ َّ ‫ِإنَّ َما ٱل‬

‫يم‬ٞ ‫ض ٗة ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َح ِك‬


َ ‫فَ ِري‬ 

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-


orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3) Hukuman dalam Zakat
Selain mendapat keuntungan, dalam hal zakat pun terdapat hukuman yaitu ketika
menolak untuk menunaikannya. Allah berfirman:
ُ َ‫اس بِ ۡٱل ٰبَ ِط ِل َوي‬ ۡ ٗ ِ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا ِإ َّن َكث‬
ِ ۗ ‫ص ُّدونَ عَن َسبِي ِل ٱهَّلل‬ ِ َّ‫ار َوٱلرُّ ۡهبَا ِن لَيَأ ُكلُونَ َأمۡ ٰ َو َل ٱلن‬
ِ َ‫يرا ِّمنَ ٱَأۡل ۡحب‬

‫ب َألِ ٖيم‬
ٍ ‫يل ٱهَّلل ِ فَبَ ِّش ۡرهُم بِ َع َذا‬ َّ ِ‫َب َو ۡٱلف‬
ِ ِ‫ضةَ َواَل يُنفِقُونَهَا فِي َسب‬ َّ َ‫َوٱلَّ ِذينَ يَ ۡكنِ ُزون‬
َ ‫ٱلذه‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-


orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan
jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih.

B. Lembaga Pengelola Zakat


Salah satu instrument yang tak bisa lepas dari zakat adalah seorang amil atau
penyalur zakat, seorang amil juga mempunyai hak bagian atas zakat karena ia berjasa
dalam pendistribusian zakat pada para mustahik, pada mulanya amil hanya bersifat
sebagai penyalur saja, dengan berjalannya waktu amil pun juga mempunyai fungsi lain
yaitu sebagai pengelola dana zakat.
Pada masa Rasulullah, pengelolaan zakat diamanatkan pada baitul mal yang
berfungsi sebagai pengelola keuangan Negara, sehingga zaman dahulu zakat pun
dimasukkan dalam instrument fiskal Negara selain jizyah, ghanimah, dan lain-lain,
pengelolaan zakat pun menjadi lebih tertata rapi pada masa umar bin khattab dengan
adanya diwan(departemen) yang khusus mengatur tentang zakat.
Pengelolaan zakat sendiri mempunyai arti kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
[6] Maka dari itu lebih dari satu orang saja ketika bertugas menjadi amil bahkan
diperlukan juga pembentukan suatu lembaga, organisasi atau badan yang fokus
menjalankan misi tersebut.
Lemahnya pendistribusian zakat yang tak merata pun terkadang disebabkan karena
banyaknya muzakki yang enggan untuk mengamanahkan zakatnya pada amil tetapi
malah lebih memilih untuk membagikan sendiri dengan kurangnya pengetahuan kepada
siapakah ia memberikan atau tepat kah orang yang ia beri, atau keenganan tersebut
hanya akan memberikan dampak konsumtif pada mustahik zakat sehingga dana zakat
yang seharusnya bisa dikembangkan untuk jangka panjang hanya akan stagnan untuk
memenuhi kebutuhan mustahik untuk sesaat.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pengelolaan zakat yang baik, maka banyak
instansi yang menamakan dirinya sebagai OPZ (organisasi Pengelola Zakat),
diantaranya:
a. BAZ (Badan Amil Zakat) adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh
pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas
mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan
ketentuan agama. BAZ di Indonesia mempunyai beberapa tingkatan:
1) BAZNAS Pusat; aturan tentang BAZNAS diatur di Keputusan Presiden no.8 tahun
2001, dimana BAZNAS harus terdiri dari  Badan Pelaksana (melaksanakan
kebijakan BAZ), Komisi Pengawas (melaksanakan pengawasan internal atas
operasional kegiatan badan pelaksana), dan Dewan Pertimbangan (memberikan
pertimbangan fatwa, saran, rekomendasi tentang pengembangan hukum).
2) BAZNAS Provinsi; pembentukan tentangnya diatur dalam keputusan Menteri
Agama no.118 tahun 2014.
3) BAZNAS Kabupaten/Kota; yang dibentuk dengan dasar keputusan Direktorat
Jenderal Bimbigan Masyarakat Islam no. DJ.II/568 tahun 2014.
b. LAZ (Lembaga Amil Zakat) adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya di
bentuk oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial atau
kemasyarakatan umat Islam, dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah.[7]
Dalam dasar hukum pengelolaan zakat yang baru yaitu UU no.23 tahun 2011
disebutkan bahwasanya LAZ berfungsi sebagai alat pembantu BAZNAS dalam
pelaksanaan mengelola zakat sehingga terkesan adanya perbedaan tingkat antara
keduanya. Dasar pembentukan LAZ pun berbeda dengan adanya amandemen undang-
undang tentang zakat tersebut, pada UU no.38 tahun 1999 hanya menyebutkan dua
pasal yang menyinggung LAZ tetapi pada UU no.23 tahun 2011 pembentukan LAZ
mendapat ketentuan yang lebih ketat dari pemerintah yaitu pada pasal 17 s/d 20,
semisal pada pasal yang menentukan LAZ harus mendapat izin dari pemerintah serta
harus berbentuk lembaga hukum dan terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan islam
yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial.
c. UPZ (Unit Pengumpul Zakat) adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh Badan
Amil Zakat di semua tingkatan dengan tugas mengumpulkan zakat untuk melayani
muzakki, yang berada pada desa/kelurahan, instansi-instansi pemerintah dan swasta,
baik dalam negeri maupun luar negeri.[8]
Tak berbeda dengan lembaga keuangan syari’ah lainnya, pada lembaga
pengelola zakat juga terdapat analisis SWOT, yaitu:
1) Strenght; aspek kekuatan utama pada LPZ terletak pada dasar hukum syari’ah yang
selalu dipegangnya, lalu adanya paying hukum yang melegalkan adanya praktek
pengelolaan yang dilakukannya, selain dua hal tersebut LPZ mempunyai tonggak
kekuatan lainnya yaitu dengan menjamurnya jaringan OPZ di Indonesia.
2) Weakness; kelemahan yang terlihat pada LPZ di Indonesia adalah kurangnya
transparansi dan akuntabilitas pengelola zakat terhadap masyarakat
3) Opportunity; Peluang meningkatnya zakat adalah karena mayoritas penduduk
Indonesia yang beragama islam , bahkan menurut para pengamat potensi zakat di
Indonesia mencapai 30 triliun per tahun,[9]kesempatan peningkatan juga dapat
ditimbulkan dengan adanya instruksi presiden no.3 tahun 2014.
4) Threat; ancaman akan menurunnya tingkat pembayaran zakat pada LPZ biasannya
dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya membayar zakat
kepada amil serta dikarenakan tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap pihak
LPZ.[10]

C. Wakaf
1. Pengertian
Menurut bahasa, Wakaf berasal dari  kata bahasa arab Waqafayang berarti menahan
atau berhenti di tempat. Wakaf bermakna “pembatasan” atau “larangan”. Sehingga
Waqf digunakan dalam islam untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” harta benda
tertentu untuk kemanfaatan sosial yang ditetapkan dengan maksud mencegah
penggunaan harta wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah ditetapkan.[11]
Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal atau
disebut tahbisul ashli, lalu menjadikan manfaatnya berlaku
umum. Tahbisul Ashli sendiri mempunyai artimenahan barang yang diwakafkan itu
agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya.
Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf (waqif) tanpa imbalan.[12]
2. Dasar hukum wakaf           
Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman
teks ayat al-Qur’an dan as-Sunnah, pada hakekatnya tidak ada dalam ayat al-Qur’an
yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf tetapi hanya terdapat indikasi yang
dapat ditafsirkan menjadi wakaf, diantaranya adalah pada surat al-Baqarah ayat 261
yang berbunyi:
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha mengetahui.[13] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah pada ayat tersebut
adalah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit,
usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Dasar wakaf juga diambil dari Sunnah Rasulullah SAW yang berbunyi:
‫ او ولد صالح يدعو له‬,‫ او علم ينتفع به‬,‫ صدق جارية‬: ‫اذا مات ابن آدم انقطع عمله اال من ثالث‬
Artinya: Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya,
kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang
mendoakannya.  Shadaqah jariyah yang dimaksud diatas sering dimaknai oleh para
ulama sebagai wakaf.

D. Wakaf dalam Sejarah


Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan
kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti.
Namun setelah masyarakat Islam merasakan manfaat lembaga wakaf, maka timbullah
keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang
mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al-
Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd Malik. Ia sangat tertarik dengan
pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri dibawah
pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam
administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Saat itu juga, hakim
Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf
dibawah departemen yang dikelola dengan baik.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut “shadr al-wuquf”
yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola wakaf. Demikian
perkembangan wakaf masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh masyarakat sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan
pengaturan administrasinya.
Pada masa dinasti ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, dimana hampir semua tanah pertanian menjadi harta wakaf dan
semuanya dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Pertama kali
orang yang mewakafkan tanah milik negara (baitul mal) kepada yayasan keagamaan
dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Syahid dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan
oleh seorang ulama Ibnu ‘Ishrun dan didukung oleh para ulama lainnya bahwa
mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil)
memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab pada dasarnya harta yang dimiliki
negara tidak boleh diwakafkan.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan  umat,madzhab Sunni
Shalahuddin al-Ayyuby meneteapkan kebijakan (1178M/572H) bahwa bagi orang
kristen yang datang dari iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai.
Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha dan keturunannya. Harta
milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan
madzhab Sunni dan menggusur madzhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti Fathimiyah.
Pada dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam yang paling banyak
diwakafkan tanah pertanian dan bangunan. Masa ini juga terdapat wakaf hamba sahaya
yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama. Seperti mewakafkan budak
untuk memelihara masjid dan madrasah. Perundang-undangan wakaf padadinasti
Mamluk dimulai sejak raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676 H)
dimana dengan undang-undangtersebut raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-
masing empat madzhab Sunni. Padaorde al-Dzahir Bibers perwakafan dibagi tiga
kategori: pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada
orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekah
dan Madinah) dankepentingan masyarakat umum.
Perkembangan perluasan wilayah kekuasaan kerajaan Turki Utsmani secara otomatis
mempermudah untuk menerapkan syari’at Islam diantaranya ialah peraturan tentang
perwakafan.DiantaraUndang-undang tersebut ialah peraturan tentang pembukuan
pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H.
undang-undang tersebutmengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf,
cara pengelolaan wakaf,
upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalammerealisasi wakaf dari si
si administratif dan perundang-undangan. Padatahun 1287 H dikeluarkan undang-
undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani
dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-
undang tersebut negara-negara Arab masih mempunyai banyak tanah yang
berstatus wakaf dan dipraktikkans ampaisekarang.
Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai
sekarang wakaf masih dilaksanakan diseluruh negeri Muslim termasuk Indonesia. Hal
ini terlihat dari kenyataan bahwalembaga wakaf yang berasal dari agama Islam
ini telah diterimamenjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri.
Bahkan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang sangat baik
sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada
masyarakat banyak. Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang bersamaan
dengan laju perubahanzaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan,
seperti bentukwakaf tunai, wakaf HAKI dan lain-lain. Untuk saat ini pun sepertinya
Indonesia mulai memperhatikan wakaf dengan cukup serius, hal tersebut terlihat
dengan dikeluarkannya UU no. 41 tahun 2004
tentang wakaf sebagai upaya pengintegrasian terhadap beberapaperaturan perundang-
undangan wakaf yang terpisah-pisah.[14]

E. Pengelola Wakaf
Nazhir wakaf adalah seseorang yang bertanggung jawab mengawasi perputaran,
perkembangan, pertumbuhan, penjagaan, pengelolaan wakaf dan lain
sebagainya. Meskipun waqif telah menentukan seorang nazhir, pengelolaan itu
adakalanya dilakukan oleh waqif sendiri jika dia mensyaratkan bahwa pengelolaan
wakaf menjadi kewenanganannya. Adakalanya oleh penerima wakaf
jikawaqif mensyaratkan agar dia mengelola wakaf.[17] Dan adakalanya selain mereka,
yaitu pihak lain yang tidak ada kaitannya dengan wakaf jika memang dia mendapat
kewenangan mengelola wakaf. Pengelolaan wakaf harus mengikuti persyaratan
dari waqif, karena para sahabat mewakafkan dan menentukan persyaratan pada
seseorang yang mengelola wakaf.
Apabila waqif tidak menyertakan persyaratan pengelolaan pada seseorang, maka
hakim menjabat sebagai pengelola wakaf, karena hak penerima wakaf dan hak orang
menerima pengalihan wakaf berhubungan erat dengan pengelolaan tersebut, sehingga
hakim lebih tepat menjabat posisi tersebut. Sedangkan Pengelola Wakaf menurut
Perundang-undangan Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Syarat-syarat Nazhir
Nazhir yaitu pengelola harta wakaf, dalam Undang-undang RI No.41 tahun 2004
tentang wakaf, nazhir merupakan unsur wakaf yang harus dipenuhi,[18] bahkan
perspektif fiqih, nazhir dapat pula perorangan secara sendiri asalkan ditunjuk oleh
waqif, dan/atau waqif dapat menunjuk dirinya sendiri sebagai nazhir, pada Undang-
undang No. 41 tahun 2004 dikembangkan menjadi nazhir perseorangan , organisasi
atau badan hukum , dengan memenuhi syarat-syarat yang tertera dalam Undang-undang
yang bersangkutan.[19]
2. Pengangkatan dan Pemberhentian Nazhir
Pengangkatan dan pemberhentian nazhir, secara tersurat memang boleh dikatakan tidak
ada suatu ketentuan yang jelas baik oleh peraturan perundangan terdahulu seperti PP,
KHI maupun dalam UU 41/2004. Dengan hadirnya UU 41/2004 yaitu pengakuan
adanya nazhir perseorangan, organisasi dan badan hukum serta memperoleh pembinaan
dari Menteri. Disamping itu, UU 41/2004 juga mengkomodir Badan Wakaf Indonesia
(BWI) yang menetapkan kebijakan tentang harta benda wakaf dan pengelolaannya serta
memberikan bimbingan kepada para pengelolanya serta bertindak selaku nazhir wakaf
yang berskala nasional.[20]
Dalam pelaksanaan tugasnya, BWI dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah,
baik pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional dan
pihak lain yang dipandang perlu atau BWI dapat membentuk perwakilan di provinsi
dan/atau kabupaten/ kota sesuai dengan kebutuhan.[21]
3. Hak dan Kewajiban Nazhir
 Sebagai pemegang amanah yang diberikan amanat oleh waqif untuk memelihara,
mengurus dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan ikrar wakaf, nazhir
mempunyai kewajiban yaitu menyangkut hal-hal yang harus dikerjakan dan
diselesaikan demi tercapainya tujuan wakaf sebagaimana yang dikehendaki ikrar
wakaf. Adapun kewajiban nazhir yang diatur dalam UU No.41 tahun 2004, yaitu:
a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi
dan peruntukannya;
c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.[22]
Sedangkan hak nazhir adalah menyangkut penghargaan atas jasa atau jeri payah dari
nazhir yang telah mengelola harta wakaf baik berupa honor atau gaji maupun fasilitas
harta wakaf yang telah dikelolanya. Nazhir diberikan hak untuk memperoleh
penghasilan yang layak sebagi imbalan atas jerih payahnya mengelola harta wakaf. Hak
nazhir dirumuskan pasal 12 UU 41/2004, yaitu nazhir dapat menerima imbalan dari
hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda yang besarnya tidk boleh
melebihi 10%. Bahkan dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa nazhir berhak
mendapat pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
4. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai Pengelola Wakaf
Menurut UU No.41 tahun 2004 bab II Pasal 28 menyebutkan bahwa waqif dapat
mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah.
Menurut pakar hukum Syariah, funding structures ataupun financing vehicks yang
dapat digunakanuntuk mengelola asset wakaf tunai diantaranya adalah Mudharabah,
musyarakah, bay’al-istisna’, dan bay’al-salam. Dalam Mudharabahmisalnya, nazhir
setelah berhasil memobilisir dana wakaf tunai dari waqif kemudian pengelolaanya
diserahkan kepada bank syariah dengan aqad bagi hasil untuk membiayai
pembangunan project infrastuktur seperti rumah sakit , atau infrastuktur lainnya. Dari
hasil penyaluran dana ini, bank mendapatkan  profit kemudian berbagi keuntungan
dengang nazhir sebagai shahibul maal (orang yang mempunyai asset) sesuai nisbah
yang telah disepakati. Dari return yang diperoleh, kemudian nazhir digunakan untuk
membangun sarana sosial yang dapat digunakan oleh orang banyak  atau diinvestasikan
kembali untuk menambah modal.
BAB III
PENUTUP

Zakat merupakan suatu kewajiban bagi orang islam untuk mengeluarkan


sebagian hartanya ketika sudah terpenuhinya syarat-syarat di dalamnya, serta harus
dibagikan kepada orang-orang yang sudah ditentukan di dalam al-Qur’an.
Agar terpenuhi pendistribusian yang baik maka perlu digalakkan pembayaran
zakat melalui amil yang lebih mampu, atau dalam Indonesia dikenal dengan adanya
BAZNAS, LAZ, atau OPZ lainnya. Selain untuk pendistribusian yang rapi, adanya
lembaga tersebut bertujuan untuk pengelolaan dana-dana zakat untuk menuju hasil
yang lebih produktif tidak hanya untuk kepentingan komsumtif si mustahik zakat.
Selain zakat, pembangunan ekonomi juga dapat dilakukan melalui
dibudidayakannya wakaf untuk kepentingan sosial kemasyarakatan. Tak berbeda
dengan zakat, pada wakaf pun harus membutuhkan pihak pengelola atau nazhir untuk
menjaga keberlangsungan manfaat dari barang wakaf tersebut.

Anda mungkin juga menyukai