Anda di halaman 1dari 20

Gerhana Matahari

Usai pemakaman, Rasulullah SAW pun menjelaskan bahwa keduanya tidak


saling berkaitan satu sama lain karena masing-masing merupakan peristiwa
alam biasa.
“Usai memakamkan putranya Rasulullah SAW menjelaskan gerhana tidaklah
berhubungan dengan hidup matinya seseorang,”
Dengan usainya Perang Tabuk, maka selesailah amanat Allah
diajarkan ke seluruh Jazirah Arab. Dan Rasulullah sudah merasa
aman dari setiap permusuhan yang akan ditujukan kepada agama
Islam.

Utusan-utusan dari pelbagai daerah datang menghadap beliau


dengan menyatakan kesetiaan serta mengumumkan keislaman
mereka. Perang Tabuk bagi Rasulullah merupakan ekspedisi
terakhir. Sesudah itu, beliau menetap di Madinah.

Ibrahim, putra beliau, saat itu berusia antara 16-18 bulan. Apabila
beliau selesai menerima para utusan, mengurus masalah-masalah
kaum Muslimin, menunaikan kewajiban kepada Allah serta hak
kewajiban seluruh keluarganya, beliau selalu melihat Ibrahim dan
mengawasi pertumbuhannya. Cinta kasih Rasulullah kepada Ibrahim
semakin dalam. Dan sepanjang bulan itu, yang menjadi pengasuh
Ibrahim adalah Ummu Saif, yang menyusuinya.

Cinta kasih Rasulullah kepada Ibrahim bukan karena suatu maksud


pribadi yang ada hubungannya dengan risalah yang beliau bawa,
atau nanti Ibrahim disiapkan menjadi penggantinya. Rasulullah tidak
memikirkan anak atau siapa yang akan mewarisinya. Bahkan beliau
bersabda, "Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami
tinggalkan untuk sedekah."

Dan cinta kasih kepada Ibrahim ini kian mendalam, karena


sebelumnya beliau telah kehilangan kedua puteranya—Qasim dan
Tahir—saat keduanya masih bayi dalam pangkuan Khadijah Al-
Kubra. Setelah Khadijah wafat, Rasulullah kehilangan putri satu demi
satu, setelah mereka bersuami dan menjadi ibu. Sekarang tak ada
lagi yang masih hidup selain Fatimah.

Namun, masa hidup Ibrahim tak berlangsung lama. Setelah saki


keras yang dideritanya, Ibrahim meninggal dunia. Rasulullah SAW
begitu sedih dengan kematian putranya itu. Beliau kemudian
meletakkan Ibrahim di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam
sembari bersabda, "Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari
kehendak Allah."

Melihat kesedihan Rasulullah SAW, kaum Muslimin turut berduka-


cita. Beberapa orang sahabat menyinggung larangan berbuat
demikian. Namun Nabi SAW bersabda, "Aku tidak melarang orang
berduka cita, tapi yang kularang menangis dengan suara keras. Apa
yang kamu lihat dalam diriku sekarang adalah pengaruh cinta kasih
di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayang, maka
orang lain pun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya."

Kemudian, setelah dimandikan oleh Ummu Burdah, sumber lain


menyebutkan oleh Fadl bin Abbas, Ibrahim dibawa oleh Nabi SAW
dengan diantarkan sejumlah kaum Muslimin menuju ke Baqi'. Di
tempat itu ia dimakamkan setelah dishalatkan oleh Nabi.

Bersamaan dengan kematian Ibrahim, kebetulan terjadi pula gerhana


matahari. Kaum Muslimin menganggap peristiwa itu suatu mukjizat.
Mereka menganggap gerhana matahari terjadi karena kematian
Ibrahim. Hal ini terdengar oleh Nabi.

Kemudian beliau menemui kaum Muslimin dan menegaskan


terjadinya gerhana matahari bukan karena kematian
Ibrahim. "Matahari dan bulan adalah tanda kebesaran Allah, yang
tidak ada hubungannya dengan kematian atau hidup seseorang.
Kalau kalian melihat hal itu, maka berlindunglah kepada Allah
dengan dzikir dan doa," sabda beliau.

Sungguh suatu kebesaran jiwa yang tiada taranya. Rasulullah SAW


tidak melupakan risalahnya dalam suatu situasi yang demikian
gawat. Kondisi jiwa yang dilanda keharuan dan kesedihan nan amat
dalam.

Tata Cara Shalat Gerhana

Hukum Sholat Gerhana

Para ulama berbeda pendapat


tentang hukum sholat gerhana.
Jumhur (mayoritas) ulama
berpendapat bahwa sholat
gerhana hukumnya adalah sunnahmu`akkadah (sunnah yang sangat
ditekankan). Bahkan sampai ada
yang mengklaim bahwa hukum
sunnah mu`akkadah ini adalah
dengan dasar ittifaq al-Fuqohâ`
(kesepakatan ulama ahli fikih).
Imam Nawawî rahimahullâhu juga
berpendapat demikian, beliau
mengatakan:
‫ﻊﻤﺟﺃﻭ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺎﻬﻧﺃ ﺔﻨﺳ‬
“Para ulama berkonsensus bahwa
hukum sholat gerhana adalah
sunnah” ( Syarh Shahîh Muslim
VI/451)
Pendapat Imam Nawawî ini perlu
ditinjau ulang. Sebab, ada
sebagian ulama yang
berpandangan bahwa sholat
gerhana hukumnya adalah wajib.
Sebagaimana dituturkan oleh al-
Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâhu ,
beliau berkata :
‫ ﺡﺮﺻﻭ‬، ‫ﺭﻮﻬﻤﺠﺎﻟﻓ ﻰﻠﻋ ﺎﻬﻧﺃ ﺔﻨﺳ ﺓﺪﻛﺆﻣ‬
‫ ﻢﻟﻭ‬، A‫ﻮﺑﺃ ﺔﻧﺍﻮﻋ ﻲﻓ ﻪﺤﻴﺤﺻ ﺎﻬﺑﻮﺟﻮﺑ‬
‫ ﻻﺇ ﺎﻣ ﻲ ُﻜﺣ ﻦﻋ ﻚﺎﻟﻣ ﻪﻧﺃ‬،‫ﻩﺭﺃ ﻩﺮﻴﻐﻟ‬
‫ ﻞﻘﻧﻭ ﻦﻳﺰﻟﺍ ﻦﺑ‬،‫ﺎﻫﺍﺮﺟﺃ ﻯﺮﺠﻣ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ‬
‫ ﺍﺬﻛﻭ‬،‫ﺮﻴﻨﻤﻟﺍ ﻦﻋ ﻲﺑﺃ ﺔﻔﻴﻨﺣ ﻪﻧﺃ ﺎﻬﺒﺟﻭﺃ‬
‫ﻞﻘﻧ ﻦﻋ ﺾﻌﺑ ﻲﻔﻨﺼﻣ ﺔﻴﻔﻨﺤﻟﺍ ﺎﻬﻧﺃ‬
‫ﺔﺒﺟﺍﻭ‬
“Jumhur berpendapat bahwa
hukumnya (sholat gerhana) adalah
sunnah mu`akkadah . Abû ‘Awânah
menegaskan di dalam Shahîh- nya
bahwa hukumnya wajib. Saya
tidak melihat ada orang lain yang
berpendapat demikian, kecuali
yang diriwayatkan dari Mâlik
bahwa beliau menganggap
pelaksanannya sama dengan
sholat Jum’at. Az-Zain bin al-
Munîr mengutip dari Abu Hanifah
bahwa beliau mewajibkanya,
demikian pula dinukil dari
sebagian penulis Mushonnaf yang
bermadzhab Hanafiyah bahwa
sholat gerhana hukumnya
wajib.” ( Fath al-Bârî II/527)
Ahli Tafsir kontemporer,
al-‘Allâmah as-Sa’dî
rahimahullâhu mengatakan :
‫ﻝﺎﻗﻭ ﺾﻌﺑ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ ﺏﻮﺟﻮﺑ ﺓﻼﺻ‬
‫ ﺍﻟﻜﺴﻮﻑ؛ ﻥﻷ ﻲﺒﻨﻟﺍ‬r ‫ﺎﻬﻠﻌﻓ ﺮﻣﺃﻭ ﺎﻬﺑ‬
“Sebagian ulama berpendapat
akan wajibnya sholat gerhana,
sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam mengamalkan dan
memerintahkannya.” ( al-Mukhtârât
al-Jalîyah minal Masâ`ili al-
Fiqhîyah hal. 73)
Pendapat yang râjih adalah :
sholat gerhana hukumnya adalah
wajib. Sebagaimana dituturkan
oleh Faqîh az-Zamân, al-‘Allâmah
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâhu
beliau berkata :
“Sebagian ulama berpendapat
bahwa sholat gerhana wajib
hukumnya, dengan dasar sabda
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
“Apabila kalian melihat gerhana,
maka sholatlah ”. Ibnul Qoyyim
berkata di dalam buku beliau,
Kitâb ash-Sholâh , pendapat yang
kuat dalam masalah ini yaitu wajib
hukumnya. Beliau rahimahullâhu
benar, sebab Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam memerintahkan
sholat gerhana dan beliau sendiri
keluar (dari rumahnya) dalam
keadaan ketakutan. Beliau berkata
bahwa (hikmah syar’i terjadinya)
gerhana untuk menakuti
(manusia). Nabi pun berkhutbah
dengan khutbah yang agung dan
dipaparkan kepada beliau surga
dan neraka. Kesemua ini
merupakan indikasi ( qorînah ) yang
besar atas kewajiban sholat
gerhana. Seandainya kita katakan
bahwa sholat gerhana tidak wajib,
sedangkan manusia di kala
terjadinya gerhana mereka
meninggalkan sholat, padahal ada
perintah dari Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam dan ada
penekanan untuk
melaksanakannya, namun mereka
dianggap tidak berdosa. Maka
pendapat ini perlu diteliti kembali.
Bagaimana mungkin gerhana itu
untuk menakuti manusia namun
kita tidak memperdulikannya
seakan-akan ini suatu hal yang
biasa. Lantas di mana rasa takut
kita? Sungguh pendapat (Ibnul
Qoyyim) ini adalah pendapat yang
sangat kuat. Saya tidaklah
memandang bahwa manusia
ketika mendapati gerhana
matahari atau bulan, kemudian
mereka tidak mempedulikannya,
semuanya sibuk dengan
perniagaannya, sibuk dengan
bersenda gurau, dan semuanya
sibuk dengan perkebunannya.
Maka hal ini dikhawatirkan akan
menjadi penyebab turunnya
hukuman yang Allôh telah
memperingatkannya dengan
terjadinya gerhana ini. Maka
pendapat akan wajibnya sholat
gerhana lebih kuat ketimbang
pendapat yang menyatakan
sunnah.” ( asy-Syarh al-Mumti’
V/237-240)
Pendapat ini pula yang dipegang
oleh Syaikhunâ Masyhur Hasan
Âlu Salmân hafizhahullâhu di
dalam buku beliau al-Qoul Mubîn
fî Akthâ’il Mushollîn.
Adab & Anjuran Ketika Terjadi
Gerhana
Ketika terjadi gerhana, baik
gerhana matahari dan bulan,
dianjurkan dan disunnahkan untuk
melakukan sebagai berikut :
1. Merasa takut kepada Allôh
Ta’âlâ di kala terjadi gerhana.
Sebagaimana sabda Nabi
Shallallâhu ‘alaihi Sallam :
‫ ﻥﺇ ﺲﻤﺸﻟﺍ ﺮﻤﻘﻟﺍﻭ ﻥﺎﺘﻳﺁ ﻦﻣ ﺕﺎﻳﺁ ﻪﻠﻟﺍ‬،
‫ ﻦﻜﻟﻭ ﻪﻠﻟﺍ‬،‫ ﺕﻮﻤﻟ ﺪﺣﺃ‬A‫ﻻ ﻥﺎﻔﺴﻜﻨﻳ‬
‫ﻑِّ ﻮﺨﻳ ﺎﻤﻬﺑ ﻩﺩﺎﺒﻋ‬
“Sesungguhnya matahari dan
bulan adalah dua tanda diantara
tanda-tanda Allôh. Gerhana
matahari dan bulan terjadi bukan
disebabkan oleh kematian
seseorang. Akan tetapi Allôh
bermaksud menakuti hamba-
hamba-Nya dengannya.” (HR
Bukhârî)
Di dalam hadits Abû Burdah dari
Abû Mûsâ Radhiyallâhu ‘anhu ,
beliau berkata :
‫ ﺖﻔﺴﺧ ﺲﻤﺸﻟﺍ ﻡﺎﻘﻓ ﻲﺒﻨﻟﺍ‬r ‫ﺎ ً ِﻋﺰَ ﻓ‬
‫ ﻰﺗﺄﻓ ﺪﺠﺴﻤﻟﺍ‬،‫ﻰﺸﺨﻳ ﻥﺃ ﻥﻮﻜﺗ ﺔﻋﺎﺴﻟﺍ‬
‫ ﺩﻮﺠﺳﻭ‬، ‫ ﻉﻮﻛﺭﻭ‬،‫ﻰﻠﺼﻓ ﻝﻮﻃﺄﺑ ﻡﺎﻴﻗ‬
‫ )) ﻩﺬﻫ ﺕﺎﻳﻵﺍ‬:‫ ﻝﺎﻗﻭ‬، ‫ﻪﺘﻳﺃﺭ ﻂﻗ ﻪﻠﻌﻔﻳ‬
‫ﻲﺘﻟﺍ ﻞﺳﺮﻳ ﻪﻠﻟﺍ ﻻ ﻥﻮﻜﺗ ﺕﻮﻤﻟ ﺪﺣﺃ ﻻﻭ‬
‫ ﺍﺫﺈﻓ‬، ‫ ﻦﻜﻟﻭ ﻑِّ ﻮﺨﻳ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻬﺑ ﻩﺩﺎﺒﻋ‬، ‫ﻪﺗﺎﻴﺤﻟ‬
‫ﻢﺘﻳﺃﺭ ﺎًﺌﻴﺷ ﻦﻣ ﻚﻟﺫ ﺍﻮﻋﺰﻓﺎﻓ ﻰﻟﺇ ﺮﻛﺫ‬
‫ ﻩﺭﺎﻔﻐﺘﺳﺍﻭ‬،‫((ﻪﻠﻟﺍ ﻪﺋﺎﻋﺩﻭ‬
“Ketika terjadi gerhana matahari,
Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam
sontak berdiri terkejut dan merasa
ketakutan kiamat akan datang.
Beliau lantas pergi ke masjid dan
melakukan sholat yang panjang
berdiri, ruku’ dan sujudnya. Aku
melihat beliau begitu ajegnya
melakukannya. Setelah itu Nabi
bersabda : “Gerhana ini adalah
tanda-tanda yang Allôh
mengutusnya bukan disebabkan
karena kematian atau kelahiran
seseorang. Namun gerhana ini
diutus supaya Allôh menakuti
hamba-hamba-Nya. Apabila kalian
melihat sesuatu dari gerhana,
maka takutlah dan bersegeralah
berdzikir kepada Allôh, berdoa dan
memohon pengampunan-
Nya.” ( Muttafaq ‘Alaihi )
Al-Hâfizh berkata : “Bisa jadi
ketakutan Nabi Shallallâhu ‘alaihi
Sallam ketika terjadinya gerhana
merupakan pendahuluan
terjadinya tanda-tanda kiamat
(besar), seperti terbitnya matahari
dari barat. Bukanlah suatu hal
yang mustahil terjadinya gerhana
merupakan perantara terbitnya
matahari (dari timur) dengan
terbitnya matahari (dari barat)
…” ( Fathul Bârî II/546)
Jadi, hendaknya seorang mukmin
tatkala mendapati gerhana, ia
merasa takut kepada Allôh Ta’âlâ,
khawatir Allôh akan menurunkan
adzabnya kepada kita. Apabila
Nabi yang mulia ‘alaihi ash-
Sholâtu was Salâm saja merasa
takut, padahal beliau adalah
hamba Allôh yang paling dicintai
Allôh, lantas mengapa kita
melewati waktu gerhana dengan
perasaan biasa saja, bahkan kita
lalui dengan perbuatan-perbuatan
yang sia-sia, bahkan maksiat.
2. Berusaha menghadirkan apa
yang dilihat oleh Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam berupa perkara-
perkara besar yang dilihat beliau
ketika sholat gerhana.
Hal ini akan membuahkan rasa
takut kepada Allôh Ta’âlâ . Karena
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
di dalam sholat gerhana, melihat
surga dan neraka. Beliau sampai-
sampai berhasrat hendak meraih
setandan buah dari surga
sehingga beliau merasa gembira.
Beliau juga melihat beberapa
bentuk siksa api neraka. Beliau
melihat seorang wanita yang
diadzab oleh sebab kucingnya,
beliau melihat ‘Amrû bin Luhay
menyeret ususnya di api neraka
dan dia adalah orang pertama
yang merubah agama Ibrâhîm
‘alaihi as-Salâm . Dan beliau
melihat bahwa penghuni neraka
terbanyak adalah kaum wanita,
disebabkan mereka seringkali
membangkang untuk berlaku baik
terhadap suaminya.
Dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs
Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau
berkata bahwa Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam bersabda
selepas gerhana :
‫ﻥﺇ ﺲﻤﺸﻟﺍ ﺮﻤﻘﻟﺍﻭ ﻥﺎﺘﻳﺁ ﻦﻣ ﺕﺎﻳﺁ ﻪﻠﻟﺍ‬
‫ ﺍﺫﺈﻓ‬،‫ﻻ ﻥﺎﻔﺴﺨﻳ ﺕﻮﻤﻟ ﺪﺣﺃ ﻻﻭ ﻪﺗﺎﻴﺤﻟ‬
‫ﻢﺘﻳﺃﺭ ﻚﻟﺫ ﺍﻭﺮﻛﺫﺎﻓ ﻪﻠﻟﺍ‬
“Sesungguhnya matahari dan
bulan itu adalah dua tanda dari
tanda-tanda Allôh. Gerhana
matahari dan bumi tidaklah terjadi
oleh sebab kematian atau
kelahiran seseorang. Apabila
kalian melihat gerhana maka
berdzikirlah kepada Allôh.”
Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasûlullâh, kami melihat Anda
sedang meraih sesuatu di tengah
sholat kemudian kami melihat
Anda mundur ke belakang.”
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
menjawab :
‫ ﻲﻧﺇ ﺖﻳﺃﺭ ﺔﻨﺠﻟﺍ ﺖﻟﻭﺎﻨﺘﻓ ﺎﻬﻨﻣ ﺍًﺩﻮﻘﻨﻋ‬،
‫ﻮﻟﻭ ﻪﺘﺒﺻﺃ ﻢﺘﻠﻛﻷ ﻪﻨﻣ ﺎﻣ ﺖﻴﻘﺑ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ‬،
‫ ﻂﻗ‬A‫ﺃﺭ ﻡﻮﻴﺎﻟﻛ‬
َ ‫ﺖﻳﺃﺭﻭ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻢﻠﻓ ﻣﻨﻈﺮً ﺍ‬
‫ ﺖﻳﺃﺭﻭ ﺮﺜﻛﺃ ﺎﻬﻠﻫﺃ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ‬، ‫ﻊﻈﻓﺃ‬
“Sesungguhnya aku tadi melihat
surga dan aku tadi berupaya
meraih setandan buah-buahan
darinya. Seandainya kamu
mendapatkannya dan
memakannya, niscaya kamu (tidak
butuh lagi makanan) di dunia.
Kemudian aku melihat neraka dan
belum pernah aku melihat
pemandangan yang ngerinya
seperti itu. Dan kulihat
kebanyakan penghuninya adalah
kaum wanita.”
Para sahabat bertanya, “Oleh
sebab apa wahai Rasûlullâh?”
Rasûlullâh menjawab, “oleh sebab
kekufuran mereka”. Mereka
bertanya lagi, “apa karena mereka
kufur kepada Allôh?”. Rasûlullâh
menjawab :
‫ ﻮﻟ‬،‫ﻥﺮﻔﻜﻳ ﺮﻴﺸﻌﻟﺍ ﻥﺮﻔﻜﻳﻭ ﻥﺎﺴﺣﻹﺍ‬
‫ ﻢﺛ‬، ‫ﺖﻨﺴﺣﺃ ﻰﻟﺇ ﻦﻫﺍﺪﺣﺇ ﺮﻫﺪﻟﺍ ﻪَّﻠﻛ‬
‫ ﺎﻣ ﺖﻳﺃﺭ ﻚﻨﻣ‬:‫ﺕﺃﺭ ﻚﻨﻣ ﺎًﺌﻴﺷ ﺖﺎﻟﻗ‬
‫ﺍًﺮﻴﺧ ﻂﻗ‬
“Mereka mengkufuri suami dan
kebaikannya. Apabila kalian
berbuat baik kepada salah
seorang dari wanita setiap waktu,
kemudian dia melihat ada sesuatu
yang kurang baik darimu, dia akan
berkata : “aku tidak pernah
melihatmu berbuat baik
sedikitpun.”.” ( Muttafaq ‘alaihi)
3. Menyeru untuk melakukan
sholat jama’ah.
Sebagaimana dalam hadits
‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallâhu
‘anhumâ beliau berkata :
‫ﺎ ّ َﻤﻟ ﺖﻔﺴﻛ ﺲﻤﺸﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺪﻬﻋ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ‬
r ‫ ﻥﺇ ﺓﻼﺼﻟﺍ ﺔﻌﻣﺎﺟ‬:‫ﻱﺩﻮﻧ‬
“Ketika terjadi gerhana matahari di
zaman Rasûlullâh Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam , diserukan :
“Sesungguhnya sholat secara
berjama’ah”.” ( Muttafaq ‘alayhi )
Juga sebagaimana di dalam hadits
‘Â`isyah Radhiyallâhu anhâ beliau
berkata :
‫ ﺖﻔﺴﺧ ﺲﻤﺸﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺪﻬﻋ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ‬r،
‫ ﺮﻣﺄﻓ ﻲﺒﻨﻟﺍ‬r ‫ﺎًﻳﺩﺎﻨﻣ ﻱﺩﺎﻨﻳ ﻥﺃ ﺓﻼﺼﻟﺍ‬
‫ ﺍﻮﻌﻤﺘﺟﺎﻓ ﺍﻮﻔﻄﺻﺍﻭ ﻰﻠﺼﻓ ﻢﻬﺑ‬،‫ﺔﻌﻣﺎﺟ‬
‫ﻊﺑﺭﺃ ﺕﺎﻌﻛﺭ ﻲﻓ ﻦﻴﺘﻌﻛﺭ ﻊﺑﺭﺃﻭ ﺕﺍﺪﺠﺳ‬
“Pada zaman Rasûlullâh
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
terjadi gerhana matahari, lalu Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
memerintahkan untuk menyerukan
sholat secara berjama’ah.
Kemudian para sahabat berkumpul
dan berbaris melakukan sholat
empat kali ruku’ dan sujud di
dalam dua rakaat.” (HR an-Nasâ`î
dan Abû Dâwud, dishahihkan oleh
al-Albânî di dalam Irwâ` al-Gholîl
no 658).
4. Tidak ada adzan dan iqomah
pada sholat gerhana.
Karena Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam melakukan sholat gerhana
tanpa adzan dan iqomah.
Barangsiapa yang melakukan
sholat gerhana secara berjama’ah
diawali dengan adzan dan iqomah,
maka ia harus menunjukkan dasar
dan tuntunannya dari Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam .
Al-Hâfizh Ibnu Hajar menukil
ucapan Ibnu Daqîq al-Îd tentang
sholat gerhana, beliau
rahimahullâhu berkata :
‫ﺪﻗﻭ ﺍﻮﻘﻔﺗﺍ ﻰﻠﻋ ﻪﻧﺃ ﻻ ﻳُﺆَ َّﺫﻥُ ﺎﻬﻟ ﻻﻭ‬
‫ﻡﺎﻘُﻳ‬
“Telah sepakat para ulama bahwa
sholat gerhana tidak ada adzan
dan iqomah…” ( Fathul Bârî II/533)
Al-Imâm Ibnu al-Qudâmah
rahimahullâhu berkata :
‫ ﻻﻭ‬.. ‫ ﺓﻼﺼﻟﺍ ﺔﻌﻣﺎﺟ‬: ‫ﻭﻳُ َﺴﻦُّ ﻥﺃ ﻯﺩﺎﻨﻳ ﺎﻬﻟ‬
‫ﻦﺴﻳ ﺎﻬﻟ ﻥﺍﺫﺃ ﻻﻭ ﺔﻣﺎﻗﺇ‬
“Disunnahkan untuk menyerukan
di sholat gerhana dengan ash-
Sholâh Jâmi’ah … dan tidak
disunnahkan melakukan adzan
dan iqomah.” ( al-Mughnî III/323)
5. Mengeraskan bacaan ketika
sholat gerhana.
Dan mengeraskan bacaan ini
hukumnya adalah sunnah,
sebagaimana dalam hadits
‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ beliau
berkata :
‫ ﺮﻬﺟ ﻲﺒﻨﻟﺍ‬r ‫ﻲﻓ ﺓﻼﺻ ﻑﻮﺴﻜﻟﺍ‬
‫ ﺍﺫﺈﻓ ﻍﺮﻓ ﻦﻣ ﻪﺗﺀﺍﺮﻗ ﺮَّﺒﻛ‬،‫ﻪﺗﺀﺍﺮﻘﺑ‬
‫ )) ﻊﻤﺳ‬: ‫ ﺍﺫﺇﻭ ﻊﻓﺭ ﻦﻣ ﺔﻌﻛﺮﻟﺍ ﻝﺎﻗ‬،‫ﻊﻛﺮﻓ‬
‫ﻪﻠﻟﺍ ﻦﻤﻟ ﺣﻤﺪﻩُ ﺎﻨﺑﺭ ﻚﻟﻭ ﺪﻤﺤﻟﺍ(( ﻢﺛ‬
‫ﺩﻭﺎﻌﻳ ﺓﺀﺍﺮﻘﻟﺍ ﻲﻓ ﺓﻼﺻ ﻑﻮﺴﻜﻟﺍ ﻊﺑﺭﺃ‬
‫ ﻊﺑﺭﺃﻭ ﺕﺍﺪﺠﺳ‬، ‫ﺕﺎﻌﻛﺭ ﻲﻓ ﻦﻴﺘﻌﻛﺭ‬
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
mengeraskan bacaan beliau ketika
sholat gerhana. Apabila beliau
selesai membaca al-Qur`ân, maka
beliau bertakbir kemudian ruku’.
Ketika bangkit dari ruku’ beliau
mengucapkan Sami’a-Llôhu liman
hamidahu Robbanâ walaka-l
hamdu , kemudian beliau
mengulangi membaca al-Qur`an
di sholat gerhana sebanyak empat
ruku’ dan sujud dalam dua
raka’at.” ( Muttafaq ‘alaihi )
Para ulama berbeda pendapat
tentang mengeraskan bacaan di
sholat gerhana. Hanafiyah
berpendapat bahwa sholat kusuf
(gerhana matahari) dilakukan
dengan sirr (lirih) dengan
argumentasi bahwa hukum asal
sholat di siang hari adalah dengan
bacaan lirih. Adapun sholat
khusûf dilakukan secara sendiri-
sendiri dengan bacaan yang lirih.
Mâlikiyah dan Syâfi’iyah
berpendapat, sholat gerhana
matahari dilakukan dengan lirih
karena dilakukan di siang hari,
sedangkan sholat gerhana bulan
dilakukan dengan jahr (bacaan
keras) karena dilakukan pada
malam hari. Hanâbilah
berpendapat bahwa sholat
gerhana matahari dan bulan,
kedua-duanya dilakukan dengan
mengeraskan bacaan.
Yang lebih râjih adalah,
mengeraskan bacaan ini dilakukan
baik untuk sholat gerhana di siang
hari ataupun sholat gerhana di
malam hari, sebagaimana dalam
hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ
di atas. Sebab, sunnah yang
disyariatkan di dalam sholat
jama’ah adalah mengeraskan
bacaan, sebagaimana di dalam
sholat istisqô’ (sholat minta
hujan), sholat Îd dan sholat
Tarâwîh. Demikianlah pendapat
yang lebih râjih insyâ Allôh dan
pendapat inilah yang dipegang
oleh Imam Ibnu Qudâmah dan
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah.
6. Melakukan sholat gerhana
secara berjama’ah di masjid.
Sebagaimana dalam hadits Â’isyah
Radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata
:
‫ﺝﺮﺧ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﻰﻟﺇ‬
‫ ﻒﺻﻭ ﺱﺎﻨﻟﺍ‬، ‫ ﻡﺎﻘﻓ ﺮﺒﻛﻭ‬، ‫ﺪﺠﺴﻤﻟﺍ‬
‫ﻩﺀﺍﺭﻭ‬
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
keluar menuju ke masjid,
kemudian beliau berdiri dan
bertakbir, sedangkan manusia
berbaris di belakang
beliau.” ( Muttafaq ‘alaihi )
Para ulama berbeda pendapat
tentang disyariatkannya jama’ah
pada sholat gerhana. Mereka
membedakan antara sholat kusûf
(gerhana matahari) dan khusûf
(gerhana bulan).
Ulama ahli fikih bersepakat bahwa
sholat gerhana matahari disunnah
untuk dilaksanakan secara
berjama’ah di masjid dan
diserukan sebelumnya dengan
seruan : “ash-Sholatu Jâmi’ah ”.
Syâfi’iyah dan Hanâbilah
memperbolehkan untuk
melakukannya secara sendiri-
sendiri ( munfarid), dengan alasan
berjama’ah hanyalah sebatas
sunnah saja, bukanlah merupakan
syarat. Sedangkan Hanafiyah
berpendapat, apabila imam tidak
datang, maka manusia boleh
sholat sendiri-sendiri di rumah
mereka.
Adapun sholat gerhana bulan,
Hanafiyah dan Mâlikiyah
berpendapat lebih disukai untuk
melaksanakannya secara munfarid
sebagaimana sholat-sholat
sunnah lainnya. Sebab, menurut
mereka, sholat gerhana bulan
belum pernah ada yang
menukilkan pernah dilaksanakan
oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi
wa Sallam, padahal gerhana bulan
itu lebih sering terjadi ketimbang
gerhana matahari. Mereka juga
beralasan bahwa hukum asal
sholat yang bukan wajib adalah
tidak dilaksanakan secara
berjama’ah dan dilakukan di
rumah, sebagaimana sabda Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
‫ﺓﻼﺻ ﻞﺟﺮﻟﺍ ﻲﻓ ﻪﺘﻴﺑ ﻞﻀﻓﺃ ﻻﺇ‬
‫ﺔﺑﻮﺘﻜﻤﻟﺍ‬
“Sholatnya seseorang di rumahnya
adalah lebih utama, kecuali sholat
yang wajib.”
Kecuali, apabila ada dalil khusus
yang menunjukkan
pelaksanaannya secara
berjama’ah, seperti sholat îd,
tarawih dan gerhana matahari.
Menurut mereka, berkumpul pada
malam hari dapat menyebabkan
timbulnya fitnah.
Sedangkan Syâfi’iyah dan
Hanâbilah berpendapat bahwa
sholat gerhana bulan (khusûf)
dilakukan secara berjama’ah
sebagaimana sholat gerhana
matahari (kusûf). Mereka juga
melandaskan pendapatnya dengan
riwayat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallâhu
‘anhumâ yang melakukan sholat
gerhana bulan bersama manusia
di masjid, beliau berkata :
‫ﺖﻴﻠﺻ ﺎﻤﻛ ﺖﻳﺃﺭ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ‬
‫ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ‬
“Saya melakukan sholat
sebagaimana saya melihat
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam melakukannya.”
Sebagaimana pula di dalam hadits
Mahmûd bin Lubaid, beliau
mengatakan :
‫ﺍﺫﺈﻓ ﺎﻫﻮﻤﺘﻳﺃﺭ ﻚﻟﺬﻛ ﺍﻮﻋﺰﻓﺎﻓ ﻰﻟﺇ‬
‫ﺪﺟﺎﺴﻤﻟﺍ‬
“Apabila kalian melihat gerhana
bulan, maka bersegeralah ke
masjid.”
Pendapat yang râjih adalah, tidak
ada bedanya antara sholat
gerhana matahari dan bulan.
Disunnahkan untuk melakukannya
secara berjama’ah di masjid,
sebagaimana disebutkan oleh
Imam Ibnu Qudâmah. Walaupun
dibolehkan melakukannya secara
sendiri-sendiri, namun
mengamalkannya secara
berjama’ah adalah lebih utama,
sebab nabi melakukan sholat
gerhana secara berjama’ah dan
disunnahkan untuk
mengamalkannya di masjid. ( al-
Mughnî III/323)
Wallôhu a’lam bish showâb.
7. Wanita juga ikut sholat
gerhana.
Sebagaimana ‘Â`isyah dan Asmâ`
Radhiyallâhu ‘anhumâ melakukan
sholat gerhana bersama Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam . Dari
Asmâ` binti Abî Bakr Radhiyallâhu
‘anhumâ beliau berkata :
‫ﺖﻴﺗﺃ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻬﻨﻋ ﺝﻭﺯ ﻲﺒﻨﻟﺍ‬
r – ‫ﻦﻴﺣ ﺖﻔﺴﺧ ﺲﻤﺸﻟﺍ – ﺍﺫﺈﻓ ﺱﺎﻨﻟﺍ‬
‫ ﺍﺫﺇﻭ ﻲﻫ ﺔﻤﺋﺎﻗ ﻲﻠﺼﺗ‬، ‫ ﻡﺎﻴﻗ ﻥﻮﻠﺼﻳ‬،
‫ ﺎﻣ ﻟﻠﻨﺎﺱ؟ ﺕﺭﺎﺷﺄﻓ ﺎﻫﺪﻴﺑ ﻰﻟﺇ‬: ‫ﺖﻠﻘﻓ‬
ُ
‫ﻓﻘﻠﺖ‬ ، ‫ ﻥﺎﺤﺒﺳ ﻪﻠﻟﺍ‬: ‫ ﺖﺎﻟﻗﻭ‬، ‫ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ‬:
‫… ﺁﻳﺔ؟ ﺕﺭﺎﺷﺄﻓ ﻱﺃ ﻢﻌﻧ‬
“Saya mendatangi ‘Â`isyah
Radhiyallâhu ‘anhâ, isteri Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ketika
terhadi gerhana matahari. Saat itu
manusia tengah menegakkan
sholat. Ketika beliau (‘Â`isyah)
turut berdiri untuk melakukan
sholat, saya bertanya : “Kenapa
orang-orang ini?”. Beliau
mengisyaratkan tangannya ke
langit seraya berkata, “maha suci
Allôh”. Saya bertanya : “tanda
(gerhana)?”, beliau memberikan
isyarat untuk mengatakan iya…”
Imam Bukhârî membuat bab di
dalam Shahîh- nya “Bâb ash-
Sholâh an-Nisâ` ma’a ar-Rijâl fî
al-Kusûf ” (Bab tentang sholatnya
kaum wanita bersama pria di
sholat gerhana). Al-Hâfizh
mengomentari : “Beliau
menunjukkan dengan bab ini
untuk membantah orang yang
berpendapat dilarangnya wanita
sholat gerhana” ( Fath al-Bârî
II/543). Imam Nawawî
mengatakan : “hal ini menunjukkan
disunnahkannya sholat gerhana
bagi wanita, dan posisinya di
belakang kaum pria.” ( Syarh
Shahîh Muslim VI/462).
8. Sholat gerhana juga dilakukan
walaupun dalam keadaan safar.
Dalilnya adalah sabda Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
‫ﻥﺇ ﺲﻤﺸﻟﺍ ﺮﻤﻘﻟﺍﻭ ﻻ ﻥﺎﻔﺴﺨﻳ ﺕﻮﻤﻟ‬
‫ ﻥﺎﺘﻳﺁ ﻦﻣ ﺕﺎﻳﺁ‬A‫ ﺎﻤﻬﻨﻜﻟﻭ‬،‫ﺪﺣﺃ ﻻﻭ ﻪﺗﺎﻴﺤﻟ‬
‫ﻪﻠﻟﺍ ﺍﺫﺈﻓ ﺎﻤﻫﻮﻤﺘﻳﺃﺭ ﺍﻮﻠﺼﻓ‬
“Sesungguhnya gerhana matahari
dan bulan terjadi bukanlah
disebabkan oleh kematian atau
kelahiran seseorang, namun
keduanya merupakan dua tanda
dari tanda-tanda Allôh. Apabila
kalian melihatnya, maka
sholatlah!.” (HR Bukhârî)
Imam Ibnu Qudâmah
rahimahullâhu berkata :
‫ ﻥﺫﺈﺑ ﻡﺎﻣﻹﺍ‬، ‫ﻉﺮﺸﺗﻭ ﻲﻓ ﺮﻀﺤﻟﺍ ﺮﻔﺴﻟﺍﻭ‬
‫ﺮﻴﻏﻭ ﻪﻧﺫﺇ‬
“Disyariatkan sholat gerhana baik
dalam keadaan menetap maupun
bepergian (safar), baik dengan izin
imam maupun tanpa izin
imam.” ( al-Mughnî III/322)
9. Memperpanjang bacaan sholat.
Sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbâs
Radhiyallâhu ‘anhumâ tentang
sifat sholat gerhana Rasûlullâh
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam , yaitu
bacaannya sepanjang surat al-
Baqoroh kemudian melakukan
ruku’ dengan panjang. Lalu beliau
berdiri kembali dengan panjang
namun tidak sepanjang rakaat
pertama, dan melakukan ruku’
dengan panjang namun tidak
sepanjang ruku’
pertama.” ( Muttafaq ‘alaihi )
Namun, panjangnya sholat
hendaklah tidak sampai
memperberat makmum. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh al-
Imam Ibnu Baz rahimahullâhu di
dalam kumpulan fatwa beliau,
Majmû’ Fatâwa wa Maqolât
Mutanawwi’ah (XIII/35).
10. Disunnahkan untuk khutbah.
Sebagaimana hadits ‘Â`isyah
Radhiyallâhu ‘anhâ beliau berkata
: “Sesungguhnya Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam keluar dari
kediamannya dan tengah terjadi
gerhana matahari saat itu. Kami
pun keluar menuju ke kamar dan
kami bergabung dengan wanita-
wanita lainnya… kemudian Nabi
melakukan sholat berdiri yang
panjang, lalu ruku’ dengan
panjang. Lalu beliau mengangkat
kepalanya dan berdiri cukup
panjang namun tak sepanjang
berdirinya yang pertama,
kemudian beliau ruku’ tak selama
ruku’nya yang pertama. Lalu
beliau sujud kemudian beliau
berdiri kembali dan melakukan hal
yang sama dengan rakaat pertama
namun tak sepanjang rakaat
pertama. Kemudian beliau sujud
dan matahari pun mulai muncul.
Setelah selesai, beliau baik di atas
mimbar dan berkata :
‫ ﻲﻓ ﻢﻫﺭﻮﺒﻗ ﺔﻨﺘﻔﻛ‬A‫ﻥﺇ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻥﻮﻨﺘﻔﻳ‬
‫ﻝﺎﺟﺪﻟﺍ‬
“Sesungguhnya manusia akan
difitnah di dalam kubur mereka
sebagaimana fitnahnya Dajjâl”
Di dalam riwayat yang lain.
‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ
berkata : “Kami mendengar
khutbah beliau selepas sholat
gerhana, beliau memperingatkan
dari siksa kubur.” (HR an-Nasâ’î).
Beberapa ulama Mâlikiyah,
Hanafiyah dan sebagian riwayat
dari Hanâbilah berpendapat tidak
adanya khutbah sholat gerhana.
Menurut mereka, tidak ada riwayat
yang menjelaskan bahwa
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam melakukan khutbah.
Sedangkan Syâfi’iyah dan
madzhab ahli hadits menetapkan
adanya khutbah.
Imam Nawawî rahimahullâhu
berkata :
‫ﻒﻠﺘﺧﺍ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ ﻲﻓ ﺔﺒﻄﺨﻟﺍ ﺓﻼﺼﻟ‬
‫ ﻦﺑﺍﻭ‬، ‫ ﻕﺎﺤﺳﺇﻭ‬، ‫ﻑﻮﺴﻜﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻲﻌﻓﺎﺸﻟﺍ‬
‫ ﺀﺎﻬﻘﻓﻭ ﺏﺎﺤﺻﺃ ﺚﻳﺪﺤﻟﺍ‬، ‫ﺮﻳﺮﺟ‬
‫ ﻝﺎﻗﻭ ﻚﺎﻟﻣ‬، ‫ﺐﺤﺘﺴﻳ ﺎﻫﺪﻌﺑ ﻥﺎﺘﺒﻄﺧ‬
‫ ﻞﻴﻟﺩﻭ‬، ‫ ﻻ ﺐﺤﺘﺴﻳ ﻚﻟﺫ‬: ‫ﻮﺑﺃﻭ ﺔﻔﻴﻨﺣ‬
‫ ﻲﻓ‬، ‫ﻲﻌﻓﺎﺸﻟﺍ ﺚﻳﺩﺎﺣﻷﺍ ﺔﺤﻴﺤﺼﻟﺍ‬
‫ ﻦﻴﺤﻴﺤﺼﻟﺍ ﺎﻤﻫﺮﻴﻏﻭ ﻥﺃ ﻲﺒﻨﻟﺍ‬r‫ﺐﻄﺧ‬
‫ﺪﻌﺑ ﺓﻼﺻ ﻑﻮﺴﻜﻟﺍ‬
“Para ulama berbeda pendapat
tentang khutbah sholat gerhana.
Asy-Syâfi’î, Ishâq, Ibnu Jarîr dan
fuqohâ` ahli hadits,
menyunnahkan khutbah selesai
sholat dengan dua kali khutbah.
Sedangkan Mâlik dan Abû Hanîfah
tidak menyunnahkan demikian
(yaitu tidak menyunnahkan
khutbah setelah sholat gerhana).
Dalilnya asy-Syâfi’î adalah hadits-
hadits yang shahih, diantaranya
yang terdapat di dalam Shahîhain
dan selainnya, bahwa Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
berkhutbah selepas sholat
gerhana.” ( Syarh al-Muslim
VI/454)
Menceritakan perbedaan pendapat
ini, al-Hâfizh Ibnu Hajar setelah
menyebutkan ucapan Imam
Bukhârî “Bâb Khuthbah al-Imâm fî
al-Kusuf” berkata :
“Para ulama berbeda pendapat
tentang khutbah sholat gerhana.
Asy-Syâfi’î, Ishâq dan mayoritas
ahli hadits menyunnahkan
khutbah. Ibnu Qudâmah berkata :
Belum pernah sampai (riwayat)
kepada kami dari Ahmad
Rahimahullâhu bahwa ada khutbah
sholat gerhana. Penulis al-Hidâyah
dari kalangan Hanafiyah
mengatakan : “tidak ada khutbah
sholat gerhana, sebab belum
pernah ada nukilan (dari
Rasûlullâh) tentang hal ini.
Pendapat ini dibantah sebab
banyak hadits yang tsâbit yang
menjelaskan adanya khutbah.
Pendapat yang masyhûr menurut
Mâlikiyah adalah tidak ada
khutbah sholat gerhana, padahal
Mâlik sendiri meriwayatkan hadits
yang menyebutkan adanya
khutbah. Sebagian ulama
madzhab Mâliki menjawab bahwa
hadits (yang disebutkan oleh
Imam Malik) tidak dimaksudkan
untuk khutbah secara khusus,
namun dimaksudkan untuk
menjelaskan bantahan kepada
sebagian orang yang meyakini
bahwa gerhana terjadi oleh sebab
kematian beberapa orang.
Pendapat ini dibantah sebab ada
hadits-hadits yang shahih yang
menegaskan bahwa yang
dilakukan Rasûlullâh adalah
khutbah, sebab memiliki syarat
khutbah yang meliputi hamdalah,
pujian, wejangan dan selainnya,
sebagaimana terkandung dalam
hadits. Jadi bukan hanya terbatas
untuk menjelaskan sebab-sebab
terjadinya gerhana. Hukum asal
perkara yang disyariatkan adalah
diikuti dan pengkhususan tidak
bisa ditetapkan kecuali dengan
dalil…” ( Fath al-Bârî II/534)
Pendapat yang râjih adalah,
disunnahkannya melakukan
khutbah selepas sholat gerhana
sebagaimana yang telah tetap di
dalam hadits-hadits nabi, seperti
yang diriwayatkan dari Asmâ`,
Ibnu ‘Abbâs dan ‘Â`isyah,
semuanya muttafaq ‘alaihi.
Riwayat Muslim dari Jâbir, riwayat
Ahmad dan al-Hâkim dari
Samurah dan riwayat Ibnu Hibbân
dari ‘Amru bin al-‘Ash. Bahkan di
dalam riwayat Ahmad, an-Nasâ`î
dan Ibnu Hibbân dengan jelas
disebutkan di dalam lafazhnya
bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam naik ke atas mimbarnya.
(Lihat ad-Dirôyah fî Takhrîji al-
Hidâyah I/225 dan al-Mughnî
karya Ibnu Qudâmah III/328).
Faqîhuz Zamân, al-‘Allâmah
Muhammad Shâlih al-‘Utsaimîn
rahimahullâhu menguatkan
pendapat adanya khutbah sekali
setelah sholat gerhana,
sebagaimana dalam asy-Syarh al-
Mumti’ V/259).
Demikian pula dengan Imâm Ibnu
Baz rahimahullâhu di dalam
Majmû’ Fatâwa wa Maqolât
Mutanawwi’ah XIII/44.
Sifat khutbah sholat gerhana Nabi
Sifat dan cara khutbah Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di
dalam khutbah sholat gerhana
sebagaimana dalam hadits-hadits
yang shahih, terhimpun dalam
poin-poin sebagai berikut :
1. Selepas sholat gerhana, Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam naik
ke atas mimbar. (HR an-Nasâ`î :
1498)
2. Kemudian nabi berkhutbah,
mengucapkan hamdalah, memuji
dan menyanjung kemudian
mengucapkan amma ba’du . (HR
al-Bukhârî : 1053)
3. Kemudian Nabi menjelaskan
bahwa gerhana matahari adalah
dua tanda diantara tanda-tanda
Allôh, yang gerhana terjadi
bukanlah disebabkan karena
kematian atau kelahiran
seseorang. Lalu Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam memerintahkan
untuk berdzikir kepada Allôh,
bertakbir, sedekah, membebaskan
budak, beristighfar dan berdoa.
( Muttafaq ‘alaihi )
4. Beliau juga memerintahkan
untuk bersegera sholat ketika
terjadi gerhana dan melakukan
sholat sampai gerhana selesai.
(HR Bukhârî : 1063)
5. Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam menceritakan bahwa beliau
melihat surga dan neraka. Dimana
beliau sampai berkeinginan untuk
meraih setandan buah-buahan.
Beliau juga menceritakan ngerinya
siksa neraka yang apinya saling
melalap satu dengan lainnya dan
kebanyakan penghuninya adalah
wanita. ( Muttafaq ‘alaihi )
6. Beliau menceritakan tentang
fitnah dan siksa kubur. ( Muttafaq
‘alaihi )
7. Beliau juga menceritakan
tentang hal-hal lain yang
bermaksud membuat manusia
menjadi takut dan ingat kepada
Rabb-nya. Sebagaimana dalam
hadits-hadits lainnya yang shahih.
11. Bersegera melakukan amal
shalih
Seperti bedzikir, doa, istighfâr,
takbir, membebaskan budak,
bersedekah, sholat dan ber-
ta’awwudz (memohon
perlindungan) dari siksa neraka
dan kubur. Hadits-haditsnya
banyak, sebagiannya telah
disebutkan di atas.
Jadi, sungguh ironi apabila kita
menyibukkan diri dengan
perbuatan sia-sia, atau bahkan
melakukan kemaksiatan tatkala
terjadinya gerhana. Padahal, Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ,
manusia yang paling mulia,
merasa takut dan bersegera untuk
sholat serta banyak berdzikir dan
melakukan amal-amal shalih
lainnya. Wallôhul Musta’an
Sifat Sholat Gerhana Rasûlullâh
Para ulama berbeda pendapat
tentang sifat sholat gerhana.
Hanâbilah, Syâfi’îyah dan
Mâlikiyah berpendapat bahwa
sholat gerhana dilakukan
sebanyak dua rakaat, dan tiap
rakaatnya terdiri dari dua kali
berdiri, dua kali membaca al-
Qur`ân, dua kali ruku’ dan dua kali
sujud. Adapun Abû Hanîfah, ats-
Tsaurî dan an-Nakhâ’î serta
penduduk Kufah, berpendapat
bahwa sholat gerhana dilakukan
sebanyak dua rakaat dengan sifat
sama seperti sholat sunnah
lainnya, yaitu satu kali ruku’,
berdiri dan membaca al-Qur`ân.
Namun pendapat mereka ini
menyelisihi hadits yang lebih
shahih. (Lihat Syarh Muslim
VI/450, Nailul Authâr II/637 dan
al-Mughnî I/450).
Ada pula riwayat hadits yang
menjelaskan bahwa sholat
gerhana dilakukan sebanyak dua
rakaat, tiap rakaatnya 3 kali ruku’,
riwayat lain menyatakan 4 kali
ruku’, riwayat lain menyatakan 5
kali ruku’. Ini semua, menurut
Imam Ibnul Qoyyim adalah tidak
benar. Beliau rahimahullâhu
berkata :
‫ ﻡﺎﻣﻹﺎﻛ‬، ‫ﻻ ﻥﻮﺤﺤﺼﻳ ﺩﺪﻌﺘﻟﺍ ﻚﻟﺬﻟ‬
‫ ﻪﻧﻭﺮﻳﻭ‬، ‫ ﻲﻌﻓﺎﺸﻟﺍﻭ‬، ‫ ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍﻭ‬، ‫ﺪﻤﺣﺃ‬
‫(( ﺖﺒﻫﺫﻭ ﺔﻴﻔﻨﺤﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﺎﻬﻧﺃ ﻰﻠﺼﺗ‬. ‫ﺎًﻄﻠﻏ‬
‫ﻦﻴﺘﻌﻛﺭ ﺮﺋﺎﺴﻛ ﻞﻓﺍﻮﻨﻟﺍ‬
“Bilangan sifat tersebut tidak
dibenarkan, diantaranya oleh
Imam Ahmad, Bukhârî dan Syâfi’î,
mereka berpandangan hadits-
haditsnya gholath /keliru.” ( Zâdul
Ma’âd 453).
Sebagian ulama mencacat
riwayat-riwayat ini dan
mengatakan hukumnya syâdz
(ganjil), sebagaimana diutarakan
oleh Ibnu Hajar dalam al-Fath
(II/532) dan Syaikhul Islâm dalam
Fatâwa -nya (17-18/18).
Adapun yang râjih insyâ Allôh,
adalah sholat dua rakaat yang tiap
rakaatnya terdiri dari dua ruku’,
dua kali berdiri dan membaca al-
Qur`ân dan dua kali sujud. Berikut
ini adalah sifat sholat gerhana
Rasûlullâh sebagaimana yang
ma’tsur di dalam hadits-hadits
yang shahih :
1. Bertakbir dengan takbîratul
Ihrâm .
2. Membaca doa istiftah atau
iftitah.
3. Ber- ta’awwudz atau
mengucapkan A’ûdzu billâhi min
asy-Syaithân ar-Rajîm .
4. Mengucapkan Bismillâhi ar-
Rahmân ar-Rahîm .
5. Membaca surat al-Fâtihah dan
surat yang panjang secara keras
( jahr ).
6. Bertakbir kemudian ruku’ yang
cukup lama sembari membaca doa
ruku’ secara berulang-ulang.
7. Bangkit sembari mengucapkan
Sami’a Allôhu liman Hamidahu ,
dan mengucapkan Robbanâ
walaka al-Hamd .
8. Membaca surat al-Fâtihah dan
surat yang panjang secara keras
( jahr ), namun tidak sepanjang
surat yang pertama.
9. Bertakbir kemudian ruku’ yang
cukup lama –namun tidak selama
ruku’ yang pertama- sembari
membaca doa ruku’ secara
berulang-ulang.
10. Bangkit sembari mengucapkan
Sami’a Allôhu liman Hamidahu ,
dan mengucapkan Robbanâ
walaka al-Hamd . Dan yang lebih
benar adalah memanjangkan i’tidâl
kurang lebih sama dengan
panjangnya ruku’.
11. Bertakbir lalu sujud yang lama
sebagaimana lamanya ruku’
pertama.
12. Bertakbir, kemudian bangkit ke
posisi duduk diantara dua sujud.
Yang benar adalah memanjangkan
duduk ini yang panjangnya sama
dengan sujud.
13. Bertakbir lalu sujud yang lama,
namun lamanya tidak seperti
sujud pertama.
14. Bertakbir, kemudian bangkit
berdiri ke rakaat kedua, dan
melakukan hal yang sama dengan
rakaat pertama. Yaitu, melakukan
dua ruku’ dan dua sujud, dimana
ruku’ dan sujud pertama lebih
lama daripada ruku’ dan sujud
kedua.
15. Lalu duduk tasyahhud dan
mengucapkan sholawat atas nabi.
16. Lalu melakukan dua salam
sembari menengok ke kanan dan
kiri.
Demikianlah sifat sholat gerhana
matahari, sebagaimana
diriwayatkan oleh para imam ahli
hadits, dan disebutkan oleh Syaikh
Sa’îd Wahf al-Qohthônî dalam
buku Sholâh al-Kusûf fî Dho’i al-
Kitâb was Sunnah .
Dan alhamdulillah penulis banyak
mengambil faidah pembahasan
dari buku tersebut di atas, dengan
beberapa buku lainnya.
(buku Tata cara shalat gerhana)
Oleh : Abû Salmâ al-Atsarî

Anda mungkin juga menyukai