Disusun oleh :
2023/2024
METODE LIVING SUNNAH
I. PENDAHULUAN
Kajian terhadap hadis Nabi sampai saat ini masih menarik, meski
tidak sesemarak yang terjadi dalam studi atau pemikiran terhadap Al-Qur’an.
Kajian yang ada dalam studi hadis biasanya tidak beranjak dari kajian
apakah teks-teks hadis yang ada otentik dari Nabi atau tidak? Rasul berperan
sebagai apa dalam sabdanya; sebagai manusia biasa, pribadi, suami, utusan
Allah, kepala Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang ataukah
sebagai hakim? Serta apa yang menjadi asbab al-wurud teks hadis tersebut?.
Arah living sunnah dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu tulis, lisan,
dan praktik. Ketiga model dan bentuk living sunnah tersebut satu dengan
yang lainnya sangat berhubungan. Pada awalnya gagasan living sunnah
1|Page
banyak pada tempat praktik. Hal ini dikarenakan prektek langsung
masyarakat atas hadis masuk dalam wilayah ini dan dimensi fiqh yang lebih
memasyarakat ketimbang dimensi lain dalam ajaran Islam.
1
Sahiron Syamsudin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta; Teras, 2007), Hal.89
2
Agusl Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung; Pustaka Setia, 2009), Hal. 19
3
Sahiron Syamsudin, Op. Cit.,Hal. 93
2|Page
adalah Sunnah Nabi, kemudian ditafsiri berbeda-beda pada wilayah masing-
masing yang disesuaikan pada kebutuhannya.
Fazlur Rahman menyebut Hadis Nabi sebagai “Sunnah yang hidup”,
formulasi sunnah atau “verbalisasi Sunnah”, oleh karenanya harus bersifat
dinamis. Dia memberikan tesis bahwa istilah yang berkembang dalam kajian
ini adalah sunnah dahulu baru kemudian menjadi Hadis. Karena Hadis
berkembang dan bersumber dalam tradisi Rasulullah. Teladan Nabi
diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek keseharian mereka
dengan menyebutnya menjadai Living Tradition atau Sunnah yang hidup.
ْْن ُع َم َر َعن ِ َّ اق َح َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ َس ِاب ٍق َح َّد َث َنا َزا ِئ َدةُ َعنْ ُع َب ْي ِد
ِ َّللا ب َ َح َّد َث َنا ْال َح َسنُ بْنُ إِسْ َح
َّ صلَّى
َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َي ْو َم َخ ْي َب َر َ َّللاِ َّ َّللا ُ َع ْن ُه َما َقا َل َق َس َم َرسُو ُل َّ ْن ُع َم َر َرضِ َي ِ َناف ٍِع َعنْ اب
جُل َف َرس َفلَ ُه َث ََل َث ُة أَسْ ه ٍُم ِ َّان َم َع الر َ ْن َولِلرَّ ا ِج ِل َس ْهمًا َقا َل َفس ََّرهُ َنافِع َف َقا َل إِ َذا َك ِ س َس ْه َمي ِ ل ِْل َف َر
َفإِنْ لَ ْم َي ُكنْ لَ ُه َف َرس َفلَ ُه َسهْم
3|Page
namun Nafi' menafsirkannya dengan mengatakan; Jika seseorang mempunyai
kuda, maka ia peroleh tiga bagian (dua bagian untuk kudanya, yang satu
untuk pemiliknya) dan jika tidak mempunyai kuda maka ia peroleh satu
bagian.”5
Namun Umar bin Khattab mengambil kebijaksanaan dengan
membiarkan tanah- tanah rampasan perang di daerah taklukan Islam, serta
mewajibkan mereka untuk membayar pajak tertentu, sebagai cadangan bagi
generasi-generasi Muslim yang datang kemudian, dengan pertimbangan
keadilan sosial ekonomi. Kebijaksanaan Umar ini, semula ditentang secara
keras oleh cukup banyak sahabat senior Nabi seperti Bilal, Abdurrahman bin
Auf dan Zubair bin Awwam, bahwa dengan kebijaksanaan itu ia
meninggalkan kitab Allah. Satu hal yang menarik adalah, tindakan Umar ini
akhirnya mendapat dukungan dari Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib.
Apa yang dilakukan Umar dengan menafsirkan dan mengadaptasikan sunnah
Nabi sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi, pertimbangan
kemaslahatan dan kepentingan umum, adalah dalam usaha menangkap
semangat ketentuan keagamaan. Itu tidak berarti Umar mengingkari sunnah
Nabi atau sebagai penentang Nabi, justru inilah yang disebut sebagai
“sunnah yang hidup” atau living sunnah.6
5
H.R. Imam Al-Bukhari No. 3903
Tindakan Umar di atas oleh para fuqaha’ diistilahkan sebagai wakaf untuk seluruh umat Islam. Lihat Yusuf
6
Al-Qardhawi, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), hlm. 219-220.
4|Page
argumentasi berdasarkan madharat tertentu, maka boleh memilih cara yang
dipandang lebih utama. Hal ini berdasarkan pada kasus perang Hunain, juga
kasus Umar yang hanya menarik pajak dari hasil taklukan.7
7
Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah, hlm. 162-163.
8
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 45.
5|Page
Islam. Sehingga untuk melakukan shalat Jum’at tidak cukup memanggil
hanya satu kali.
Kemudian tentang membaca shalawat di antara dua khutbah yang
dilakukan oleh muadzin, tidak terdapat hadis yang menyebutkan secara jelas.
Hal ini hanya didasarkan pada hadis riwayat Abu Burdah, bahwa waktu di
antara duduknya khatib setelah khutbah pertama sampai dilaksanakanya
shalat Jum’at adalah waktu mustajab untuk berdoa.9
Sedangkan tentang bacaan surat setelah al-Fatehah. Dalam hadis
yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa setelah selesai membaca surat al-
Fatehah, Rasulullah biasa membaca surat al-Jumu’ah dan surat al-
Munafiqun. Adapun menurut hadis riwayat Ibnu Abbas dari Nu’man bin
Basyir, Rasulullah biasa membaca surat al-A’la dan surat al- Ghasiyah.10
Tetapi praktik yang dilakukan di masyarakat kita berbeda dengan apa yang
telah dituntunkan Rasulullah SAW. Para imam Jum’at biasanya membaca
surat-surat pendek ataupu juga potongan-potongan dari beberapa surat.
Kemudian tentang shalat sunnat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at.
Mustaqim mengutip kita Ibanat al-Ahkam syarah dari kitab Bulugh al-
Maram karya al-Asqalani, bahwa shalat sunnat Qabliyah Jum’at didasarkan
pada hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa barang siapa yang mandi kemudian
hendak melaksankan shalat Jum’at maka shalatlah sesuai kemampuan
(fasalla ma quddira lahu) kata tersebut ditafsirkan oleh para ulama sebagi
shalat sunnat Qabliyah. Adapun shalat sunat Ba’diyah Jum’at didasarkan
pada hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa barangsiapa yang melaksanakan
shalat Jum’at, maka setelah melaksanakan shalat Jum’at hendaklah shalat
sunnat empat rakaat. Adapun jika shalat sunat Ba’diyah Jum’atnya dilakukan
di rumah, maka cukup dua rakaat saja.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hadis Nabi Muhammad
SAW yang menjadi acuan ummat Islam telah termanifestasikan dalam
kehidupan masyarakat luas. Maka seidaknya ada tiga variasi dan bentuk
9
HR. Muslim: 1409
10
HR. Muslim: 1418
6|Page
living sunnah. Ketiga bentuk tersebut adalah tradisi tulis, tradisi lisan, dan
tradisi praktik :
1. Tradisi Tulis
Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living sunnah.
Karena tradisi itu tidak hanya sebatas bentuk ungkapan yang sering
terpasang pada tempat yang strategis seperti bus, masjid, sekolah,
pesantren, dan fasilitas umum lainnya, tapi juga ada yang bersumber
dari hadis Nabi Muhammad SAW sebagaimana terpasang di berbagai
tempat tersebut. Pada faktanya tidak semua tulisan yang terpasang
berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW, ada di antaranya yang bukan
hadis namun dianggap sebagai hadis oleh masyarakat. Seperti
“kebersihan itu sebagian dari iman”, “mencintai negara sebagaian dari
iman”, keduanya adalah perkataan ulama yang memotivasi pembacanya
untuk menjaga kebersihan dan membangkitkan nasionalisme.
2. Tradisi Lisan
Tradisi lisan dalam living sunnah sebenarnya muncul seiring dengan
praktik yang dijalankan oleh umat Islam. Seperti bacaan shalat shubuh di
hari Jum’at, ada yang membaca surah Hamim Sajadah dan al-Insan, ada
juga yang membaca surah al-A’la dan al-Ghasyiah pada shalat
jum’atnya. Contoh lain pada saat berdzikir dan berdo’a seusai shalat
bentuknya macam-macam. Ada yang berzikir dan berdoa dengan
panjang maupun sedang. Keduanya merupakan rutinitas yang dilakukan
setelah melaksanakan shalat, setidaknya dilakukan minimal lima kali
dalam sehari semalam. Dan bisa juga dilakukan usai melaksanakan
sholat sunnah tertentu dan dalam keadaan apa saja, adapun apasaja ayat
atau zikir yang dibaca, tentu sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW.
3. Tradisi Prakti
Contoh tradisi praktik antara lain adalah tradisi khitan pada anak
perempuan11 yang telah ditemukan jauh sebelum Islam datang.
11
Istilah tersebut adalah khifad}, iz}a>r, sunat, sirkumsisi, dan tetes. Lihat Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, “Khitan”
dalam Majalah al-Azhar, edisi Jumadil Ula, 1415 H.,. 7. Lihat juga Waharjani, “Khitan dalam Tradisi Jawa” dalam Jurnal
Profetika UMS II, vol 2, Juli 2000, 205.
7|Page
Berdasarkan penelitian etnolog menunjukkan bahwa khitan sudah pernah
dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya,
suku Semit (Yahudi dan Arab) dan Hamit.12 Mereka yang dikhitan tidak
hanya anak laki-laki tapi juga anak perempuan.
Sedangkan di dalam teks ajaran Islam tidak secara tegas menyinggung
masalah khitan ini. Sebagaimana disebut dalam Q.S. an-Nahl (16): 123-
124, umat Nabi Muhammad SAW agar mengikuti Nabi Ibrahim sebagai
bapaknya nabi, termasuk di dalamnya adalah tradisi khitan. Dalam
perspektif ushul fiqh hal itu dikenal dengan istilah syar’u man qablana.
Terlebih ada hadis Nabi yang memberi informasi tentang tradisi khitan
bagi anak perempuan di Madinah:
“Diceritakan dari Sulaiman ibn Abd al-Rahman al-Dimasyqi dan Abd
al-Wahhab ibn Abd al-Rahim al-Asyja’i berkata diceritakan dari
Marwan menceritakan kepada Muhammad ibn Hassan berkata Abd al-
Wahhab al-Kufi dari Abd al-Malik ibn Umair dari Ummi Atiyyah al-
Ansari sesunggguhnya ada seorang juru khitan perempuan di Madinah,
maka Nabi Muhammad saw. bersabda jangan berlebih-lebihan dalam
memotong organ kelamin perempuan, sesungguhnya hal tersebut akan
dapat memuaskan perempuan dan akan lebih menggairahkan dalam
bersetubuh.” (H.R. Abu Dawud)
V. PENUTUP
Konsep living sunnah dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu tulis,
lisan, dan praktik. Ketiga model dan bentuk living sunnah tersebut satu
dengan yang lainnya sangat berhubungan. Gagasan living sunnah banyak
terdapat pada level praktik. Sementara dua bentuk lainnya, lisan dan tulis
saling melengkapi keberadaan dalam level praktis. Bentuk lisan adalah
12
Ahmad Ramali, Peraturan-peraturan untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam
(Jakarta: Balai Pustaka, 1956), 342-344.
8|Page
sebagaimana terpasang dalam fasilitas umum yang berfungsi sebagai
jargon atau motto hidup seseorang atau masyarakat. Sementara lisan
adalah berbagai amalan yang diucapkan yang disandarkan dari hadis
Nabi Muhammad Saw. berupa zikir atau yang lainnya.
9|Page
DAFTAR KEPUSTAKAAN
10 | P a g e