Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN ANALISIS FIKIH TERHADAP PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN PENDISTRIBUSIAN ZAKAT DI


LEMBAGA ZAKAT INDONESIA (BAZNAS): TELAAH
PEMIKIRAN MADZHAB SYAFI’I
Arini Abidatuzzakiyyah
210201110088
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
(ariniabidaa@gmail.com)
Abstrak
Artikel ini merupakan sebuah kajian analisis fikih terhadap peraturan perundang-
undangan pendistribusian zakat di Lembaga Zakat Indonesia (BAZNAS), dengan fokus
pada pemikiran Imam Syafi'i. Zakat memiliki peran penting dalam menangani kemiskinan
dan ketidakadilan sosial dalam Islam. BAZNAS adalah lembaga yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan dan pendistribusian zakat di Indonesia berdasarkan undang-undang.
Artikel ini membandingkan dan menganalisis persamaan, perbedaan, dan kesesuaian
antara peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip fikih zakat. Pendistribusian
zakat dilakukan dalam bentuk konsumtif, di mana dana zakat langsung diberikan kepada
mustahik yang membutuhkan. Mustahik yang berhak menerima zakat termasuk fakir,
miskin, amil, muallaf, riqab, gharimin, sabilillah, dan ibnu sabil. BAZNAS juga
melakukan pendistribusian zakat pada bidang pendidikan, kesehatan, kemanusiaan,
dakwah, dan advokasi. Artikel ini memberikan gambaran tentang proses pendistribusian
zakat di BAZNAS berdasarkan peraturan perundang-undangan dan perspektif fikih zakat,
dengan tujuan meningkatkan efisiensi, keadilan, dan transparansi dalam pengelolaan zakat
di Indonesia.
Kata Kunci: BAZNAS; Pendistribusian; Zakat; Konsumtif.
PENDAHULUAN
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang memiliki peran penting dalam membantu
menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) merupakan lembaga yang memiliki peran sentral dalam pengelolaan dan
pendistribusian zakat di Indonesia. BAZNAS didirikan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan transparansi dalam pendistribusian zakat. Undang-Undang ini memberikan
landasan hukum yang kuat bagi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk
melaksanakan tugasnya dalam mengelola dan mendistribusikan zakat. Pendistribusian
zakat yang efektif dan efisien merupakan hal yang sangat penting dalam memastikan
manfaat zakat dapat mencapai penerima yang berhak. Manajemen pendistribusian zakat
di BAZNAS melibatkan berbagai proses yang meliputi pengumpulan, pengelolaan, dan
distribusi zakat kepada mustahik (penerima zakat) sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
dalam agama Islam.
Selain landasan hukum yang diatur dalam Undang-Undang, manajemen
pendistribusian zakat juga didasarkan pada prinsip-prinsip fikih (hukum Islam). Fikih
zakat memberikan panduan yang lebih rinci mengenai kewajiban membayar zakat, jenis-
jenis harta yang dikenakan zakat, kriteria penerima zakat (mustahik), serta persyaratan
dan proporsi zakat yang harus didistribusikan.
Prinsip-prinsip fikih zakat juga mendorong transparansi, keadilan, dan efisiensi
dalam pengelolaan dan pendistribusian zakat. Dalam konteks BAZNAS, prinsip-prinsip
fikih ini diimplementasikan dalam proses identifikasi mustahik yang memenuhi syarat,
verifikasi data, dan pencatatan yang akurat. BAZNAS juga diharuskan untuk melakukan
pengawasan dan evaluasi terhadap program-program yang dilaksanakan untuk
memastikan bahwa zakat dikelola dan didistribusikan dengan tepat. Secara umum mazhab
Syafi’i berpendapat bahwa zakat diberikan secara langsung kepada orang yang berhak
menerimanya. Namun demikian, di dalam mazhab Syafi’i terdapat dua orang ulama murid
Imam Syafi’i yaitu Imam An-Nawawi dan Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi yang
menjelaskan terkait permasalahan pendistribusian zakat produktif dengan mensyaratkan
beberapa hal dalam pendistribusian zakat tersebut, meski tidak dituliskan secara gamblang
namun adanya indikasi yang menunjukan kebolehan pendistribusian zakat produktif.1
Kajian tentang pendistribusian zakat tentu bukan hal yang baru di indonesia.
Walau demikian, pembahasan atau analisis terhadap peraturan perundang-undangan serta
perbandingannya dengan fikih mengenai pendistribusian zakat di Indonesia belum banyak
dilakukan. Diantara yang melakukan kajian dalam bidang analisis peraturan perundang-
undangan pengelolaan zakat dilakukan oleh M Wahyuddin dengan judul “Peran Fungsi
Manajemen dalam Pendistribusian zakat : Distribusi Zakat dari Muzakki ke Mustahik
pada BAZ (Badan Amil Zakat)”2
Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode Analisis Perbandingan.
Metode ini melibatkan analisis mendalam terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam

1
Yuhasnibar, “Persyaratan dalam Pendistribusian Zakat Produktif Menurut Madzhab Syafi’i” Jurnal Al-
Mudharabah, No. 1 (2020): 96.
2
Wahyuddi Maguni, “Peran Fungsi Manajemen dalam Pendistribusian zakat : Distribusi Zakat dari
Muzakki ke Mustahik pada BAZ (Badan Amil Zakat)” Jurnal Al-‘Adl, no. 1(2013): 157.
undang-undang dan fikih yang berkaitan dengan pendistribusian zakat. Dalam artikel ini,
penulis akan membandingkan dan menganalisis persamaan, perbedaan, dan kesesuaian
antara dua sumber hukum tersebut. Penulis juga dapat menyoroti aspek-aspek tertentu dari
kedua sumber yang relevan dengan topik yang sedang dibahas.
PEMBAHASAN
Manajemen Pendistribusian Zakat di BAZNAS menurut Peraturan Perundang-
Undangan
Pendistribusian zakat dijelaskan secara rinci dalam PERBAZNAS No. 3 tahun
2018 tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat. Definisi dari Pendistribusian itu
sendiri terdapat dalam Pasal 1 ayat 15 yang berbunyi “Pendistribusian adalah penyaluran
Zakat kepada Mustahik dalam bentuk konsumtif”. 3 Yang dimaksud dari dalam bentuk
konsumtif itu sendiri adalah harta zakat secara langsung diperuntukkan bagi mereka yang
tidak mampu dan sangat membutuhkan, terutama fakir miskin.4 Pendistribusian zakat
dalam bentuk konsumtif mengacu pada penggunaan dana zakat untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan pengeluaran sehari-hari penerima zakat. Dalam konteks ini, dana
zakat diberikan kepada individu atau keluarga yang memenuhi syarat sebagai mustahik
(penerima zakat) yang membutuhkan bantuan finansial untuk memenuhi kebutuhan dasar
mereka.
Pendistribusian zakat dalam bentuk konsumtif bertujuan untuk memastikan bahwa
mustahik dapat memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan,
perawatan kesehatan, transportasi, dan kebutuhan lainnya yang diperlukan untuk
menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, dana zakat diarahkan langsung kepada
mustahik tanpa melalui lembaga atau program yang melibatkan investasi atau
pengembangan usaha.
Kepada siapa yang menerima zakat itu atau Mustahik, diatur dalam Pasal 2
PERBAZNAS no. 3 tahun 2018, Juga merujuk kepada Q.S. At-Taubah ayat 60 yaitu,
fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil. Dalam
Pasal 3 menjelaskan masing-masing dari mustahik tersebut, yaitu:
a. Fakir merupakan orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan dasar.

3
Pasal 1 ayat 15 Perbaznas No. 3 Tahun 2018 Tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat.
4
Prisma Hadiyanti, “Pengaruh Dana Zakat Konsumtif terhadap Konsumsi Mustahik”, Malang: (2017)
b. Miskin ialah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan
dirinya dan/atau keluarga yang menjadi tanggungannya.
c. Amil merupakan seseorang atau sekelompok orang yang diangkat dan/atau diberi
kewenangan oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan, lembaga yang diberikan
izin oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, dan/atau seseorang yang
mendapat mandat dari pimpinan Pengelola Zakat untuk mengelola Zakat.
d. Mualaf adalah orang yang sedang dikuatkan keyakinannya karena baru masuk
Islam.
e. Riqab merupakan orang Islam yang menjadi: a) korban perdagangan manusia. b)
pihak yang ditawan oleh musuh Islam. c) orang yang terjajah dan teraniaya.
f. Gharimin merupakan orang yang berutang untuk:
1. Kemaslahatan diri dengan tidak berlebihan seperti untuk nafkah, mengobati
orang sakit, membangun rumah, dan lain sebagainya
2. Kemaslahatan umum seperti mendamaikan dua orang muslim atau lebih yang
sedang berselisih sehingga perlu adanya biaya yang harus dikeluarkan untuk
menyelesaikannya
3. Kemaslahatan umum lainnya seperti membangun sarana ibadah.
dan tidak sanggup membayar pada saat jatuh tempo pembayaran.
g. Sabilillah merupakan salah satu dari golongan dibawah ini, yaitu: a) orang atau
kelompok/lembaga yang sedang berjuang menegakan kalimat Allah. b) orang
yang secara ikhlas melaksanakan tuntunan agama baik tuntunan wajib, sunah, dan
berbagai kebajikan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. c) orang
yang secara ikhlas dan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu yang bermanfaat
bagi umat.
h. Ibnu Sabil merupakan para musafir yang kehabisan biaya atau bekal dalam
melakukan perjalanan untuk sesuatu yang baik.5
Pendistribusian Zakat dilakukan terhadap bidang Pendidikan, kesehatan,
kemanusiaan dan dakwah dan advokasi. Pendistribusian Zakat pada bidang pendidikan
diberikan dalam bentuk biaya Pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan Pendistribusian Zakat pada bidang kesehatan diberikan dalam bentuk
pengobatan kuratif. Dan Pendistribusian Zakat pada bidang kemanusiaan diberikan dalam
bentuk penanganan korban bencana alam, korban kecelakaan, korban penganiayaan, dan
korban tragedi kemanusiaan lainnya. Untuk Pendistribusian Zakat pada bidang dakwah

5
Pasal 3 Perbaznas No. 3 Tahun 2018 Tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat.
dan advokasi diberikan dalam bentuk bantuan kepada penceramah, pembangunan rumah
ibadah umat Islam, dan bantuan lain yang membantu kegiatan dakwah dan advokasi.
Dalam melakukan Pendistribusian Zakat dilakukan dengan tahapan: 1)
Perencanaan. 2) Pelaksanaan 3) Pengendalian. Perencanaan pendistribusian zakat
dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 6 PERBAZNAS no. 3 tahun 2018. Perencanaan
dilakukan dengan cara melakukan analisis sosial permasalahan dan kebutuhan mustahik,
menyusun perencanaan program, rencana kerja dan anggaran tahunan Pendistribusian
Zakat, menyusun rencana pencapaian indikator kinerja kunci Pendistribusian Zakat dan
menyusun rencana kegiatan Pendistribusian Zakat.6
Sedangkan untuk Pelaksaannya dijelaskan dalam pasal selanjutnya yang berbunyi
Pelaksanaan dilaksanakan dengan cara Menyusun usulan program dalam bentuk proposal
yang memuat kerangka acuan kegiatan pelaksanaan Pendistribusian Zakat, Menganalisis
usulan program Pendistribusian Zakat yang berasal dari institusi seperti lembaga
pemerintah, lembaga swasta, organisasi masyarakat, dan lembaga Pengelola Zakat dan
Menganalisis permohonan bantuan Zakat dari orang per seorangan, kelompok
masyarakat, dan/atau lembaga Pengelola Zakat lain. Dan untuk bisa melaksanakan
pendistribusian zakat, para pengelola zakat harus melakukan verifikasi kepada mustahik
berupa memeriksa berkas permohonan/usulan, melakukan wawancara pada para
mustahik, dan jika diperlukan, melakukan penelitian ke lapangan langsung. Dan verifikasi
ini dilakukan di domisili mustahik.7 Apabila terdapat calon Mustahik yang tidak layak
diberikan Zakat, Pengelola Zakat memberitahukan kepada calon Mustahik baik secara
lisan atau tertulis. Untuk Pengendalian pendistribusian zakat dilakukan dalam bentuk
monitoring dan evaluasi yang dilakukan sejak perencanaan dan pelaksaan.8 Sedangkan
dalam UU no. 23 tahun 2011 dan PP no. 14 tahun 2014 disebutkan bahwa Badan Amil
Zakat Nasional yang disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan
zakat secara nasional.9
Analisis Fiqhiyyah Tentang Manajemen Pendistribusian Zakat di BAZNAS
. Imam Syafi’i menjelaskan di dalam kitabnya Al-Umm bahwa inti dari distribusi
bagian zakat adalah berdasarkan dari kepantasan masing-masing individu, bukan dibagi
sesuai dengan jumlah mereka. Petugas zakat tidak boleh memberi satu bagian kepada
setiap golongan meskipun dia tidak mengetahui kebutuhan mereka. Untuk

6
Pasal 6 Perbaznas No. 3 Tahun 2018 Tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat.
7
Pasal 7 Perbaznas No. 3 Tahun 2018 Tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat.
8
pasal 12 Perbaznas no. 3 tahun 2018 Tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat.
9
Pasal 1 Ayat 7 UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 1 Ayat 2 PP No. 14 Tahun 2014
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
menyempurnakan bagian mereka, dia tidak dilarang untuk mengambil dari bagian
kelompok lain manakala ada kelebihan dari bagian kelompok lain.
Pada pendistribusian zakat yang dijelaskan oleh Imam Syafi‟i ada ketidakcukupan
bagian untuk sebagian golongan, bukan untuk sebagian yang lain. Apabila ada dua
golongan penerima zakat yaitu Fakir dan Miskin kemudian mereka meminta hak atas
zakatnya dibagi secara acak maka itu tidak boleh dilakukan, masing-masing dari mereka
diberi secara sempurna sesusai dengan kebutuhannya. Apabila bagian zakat mereka
mencukupi maka tidak ada permasalahan namun apabila bagian mereka tidak mencukupi
mereka, maka mereka tidak mendapatkan tambahan kecuali ada lebihan dari golongan
lain. Apabila tidak ada kelebihan dari golongan lain maka mereka tidak mendapatkan
tambahan apapun di luar bagian mereka.10
Dalam literatur Mazhab Syafi’i tidak ditemukan penjelasan secara eksplisit dan
terinci terkait zakat yang didistribusikan secara produktif. Namun adanya praktek yang
dilakukan bahkan pada masa Rasulullah SAW yang mengindikasikan bahwa telah adanya
proses pendistribusian secara produktif. Meski dalam mazhab ini tidak menjelaskan secara
terperinci akan pendistribusian secara produktif tidak menutup kemungkinan adanya
murid dari Imam Syafi’i yang menjelaskan pendistribusian zakat secara produktif tersebut
dengan mensyaratkan beberapa hal dalam prakteknya yang menunjukan adanya indikasi
kebolehan zakat dididstribusikan secara produktif.
Masing-masing dari murid Imam Syafi’i menyetujui zakat produktif dengan
beberapa syarat, yaitu :
1) Imam An-Nawawi.
Imam Nawawi memberikan konsep zakat produktif dalam kitab Al-
Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzhab. Dalam pandangan Imam An-Nawawi pada
pembahasan tentang kadar dan ukuran zakat yang disalurkan kepada fakir dan
miskin menyatakan bahwa: “Apabila mustahik terbiasa dalam melakukan suatu
keterampilan tertentu, maka ia diberi zakat untuk dapat membeli semua keperluan
yang dibutuhkan agar dapat menunjang keterampilannya tersebut ataupun untuk
membeli alat-alatnya, baik dalam harga murah maupun mahal”.11
Imam Nawawi membatasi pembagian zakat secara produktif yaitu zakat
yang diberikan kepada fakir miskin hanya bagi yang mampu untuk bekerja sesuai
dengan profesinya dan orang yang mau untuk berusaha namun terkendala dalam
masalah modal. Imam An-Nawawi dalam kitabnya memberikan konsep dasar

10
Imam Syafi’i, Al Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), 32.
11
Abu Zakariya Muhy al-Din ibn Syaraf al-Nawawi, Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzhab, Jilid 6, (Beirut: Dar
al-Kutub Ilmiah, 2007), 175.
yang menjadi syarat zakat itu boleh didayagunakan yaitu dengan melihat
kemampuan si mustahik yang akan menerima zakat tersebut dengan memberikan
modal guna membeli alat yang dpat digunakannya dalam kesehariannya yang
menunjang perekonomian orang tersebut, maka baginya boleh diberikan zakat
yang dapat didayagunakan. Namun apabila si mustahik tidak mempunyai
kemampuan untuk bekerja disebabkan oleh faktor usia, maka baginya diberikan
zakat konsumtif sesuai ketentuan yang telah diatur.
2) Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi
Pendapat Imam Abu Ishaq Asy-Syairazi tidak jauh berbeda dari Imam
Nawawi. Pada dasarnya keduanya membolehkan pendayagunaan zakat secara
produktif, hanya saja Imam Abu Ishaq agak ketat dalam hal keizinan dari mustahik
zakat sebelum zakat tersebut diproduktifkan. Imam Abu Ishaq Asy-Syairazi
memberikan syarat agar harta zakat itu tidak diproduktifkan terlebih dahulu
sebelum mendapatkan izin dari mustahik zakat. Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi
dalam kitabnya menerangkan tentang pendistribusian zakat produktif
bahwa:“Tidak diperbolehkan bagi amil begitu juga penguasa (pemerintah) untuk
mendayagunakan zakat yang merupakan suatu perbuatan fardhu sebelum sampai
kepada orang yang berhak menerimanya, karena orang-orang fakir tersebut
merupakan ahlu rusyd (orang yang pandai mendayagunakan zakatnya sendiri),
mereka juga tidak boleh menguasai zakat tersebut, dengan demikian tidak boleh
mendayagunakan harta zakat sebelum mendapat izin dari mereka”.
Perlu digaris bawahi disini perolehan izin dari mustahik zakat sangat perlu
didapatkan sebelum zakat tersebut didayagunakan. Dengan harta zakat itu dia
dapat mendayagunakannya sendiri. Lain halnya dengan ahlu baladah yaitu orang-
orang yang memang tidak memiliki skill atau kemampuan untuk mendayagunakan
harta zakat tersebut, sehingga ketika mereka menerima zakat, zakat tersebut akan
habis begitu saja. Terhadap golongan seperti ini amil dan pemerintah mempunyai
hak untuk mendayagunakan zakat mereka secara produktif demi kelangsungan
hidup mereka, dengan catatan baik amil atau pemerintah hendaknya transparan
dalam mendayagunakan zakat itu secara produktif sehingga ahlu baladah memiliki
kepercayaan terhadap amil zakat dan pemerintah.
Ulama Kontemporer Yusuf al-Qardhawi juga menyatakan bahwa Negara Islam
boleh membangun pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, PT-PT dan sebagainya,
kemudian dijadikan milik orang miskin seluruhnya atau sebagiannya. Dengan demikian
usaha yang dimiliki dapat menghasilkan keuntungan dan dapat membiayai seluruh
kebutuhan mereka. Akan tetapi jangan diberi hak menjual atau memindahkan hak
miliknya kepada orang lain sehingga menyerupai harta wakaf bagi mereka.12
Pada hakikatnya konsep dasar yang diterapkan oleh Imam Nawawi maupun Imam
Abu Ishaq Asy-Syirazi itu mengindikasikan adanya syarat sebelum zakat itu
didistribusakn dengan cara produktif. Dalam artian zakat itu tidak dapat didayagunakan
tanpa adanya syarat dan ketentuan itu sendiri.
Relevansi Pendapat Imam Madzhab Syafi’i dengan PERBAZNAS
Menurut penulis, pendistribusian zakat dalam bentuk konsumtif itu efisien, namun
ada beberapa mustahik miskin yang masih mempunyai keinginan, kekuatan, juga
kesehatan untuk mengelola zakat itu sendiri. Sehingga memang sebaiknya izin terlebih
dahulu terhadap mustahik, karena bagaimana pun itu adalah hak mereka. BAZNAS tidak
berlawanan dengan Pandangan Fikih Syafi’i, contohnya dengan verifikasi itu. Seharusnya
pada saat verifikasi itu juga para Pengelola Zakat meminta pendapat mustahik untuk lebih
baik diberi zakat dalam konsumtif atau produktif.
Menurut Didin Hafidhuddin beliau menambahkan dalam kitabnya bahwa: Badan
Amil Zakat (BAZ), jika memberikan zakat yang bersifat produktif, harus pula melakukan
pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat
berjalan, seperti memberi pembinaan rohani dan intelektual keagamaan agar semakin
meningkat kualitas keimanan dan keIslamannya.13 Zakat yang diberikan tidak hanya
dalam berbentuk konsumtif akan tetapi penerima zakat ini haruslah diberikan sebuah
modal dana baik itu berupa alat yang sesuai dengan profesi si mustahik . Pola
pendistribusain zakat produktif saat ini sudah sangat berkembang diantaranya dengan
terlebih dahulu memberikan bantuan bimbingan kepada si mustahik dalam pengelolaann
dana zakat produktif tersebut. Dengan begitu ketika adanya keselarasan dan kerjasama
antara mustahik dan muzakki diharapkan akan mampu menciptakan solusi perekonomian
masyarakat fakir miskin.
KESIMPULAN
Manajemen Pendistribusian zakat dijelaskan secara rinci dalam PERBAZNAS No.
3 tahun 2018 tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat. Perencanaan
pendistribusian zakat dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 6 PERBAZNAS no. 3 tahun
2018. Perencanaan dilakukan dengan cara melakukan analisis sosial permasalahan dan
kebutuhan mustahik, menyusun perencanaan program, rencana kerja dan anggaran

12
Yusuf al-Qardhawi, Fiqhu al-Zakat (Beirut : Muassasah Risalah, 1991), 567.
13
Didin Hafidhuddin, Panduan Zakat, (Jakarta: Republika, 2002), 45.
tahunan Pendistribusian Zakat, menyusun rencana pencapaian indikator kinerja kunci
Pendistribusian Zakat dan menyusun rencana kegiatan Pendistribusian Zakat. Dan untuk
bisa melaksanakan pendistribusian zakat, para pengelola zakat harus melakukan verifikasi
kepada mustahik berupa memeriksa berkas permohonan/usulan, melakukan wawancara
pada para mustahik, dan jika diperlukan, melakukan penelitian ke lapangan langsung.
Mazhab Syafi’i memiliki konsep yang fleksibel dalam memandang zakat sebagai
solusi dalam kehidupan masyarakat dengan mendistribusikan kepada delapan mustahik.
Meski dalam Mazhab Syafi’i tidak menjelaskan secara terperinci akan pendistribusian
secara produktif, tidak menutup kemungkinan adanya murid dari Imam Syafi’i ini yang
menjelaskan pendistribusian zakat secara produktif tersebut dengan mensyaratkan
beberapa hal dalam prakteknya yang menunjukan adanya indikasi kebolehan zakat
dididstribusikan secara produktif, mereka itu antara lain ialah Imam An-Nawawi dan
Imam Abu Ishaq Al-Syirazi.
Menurut Imam Nawawi sebelum zakat itu didayagunakan secara produktif untuk
terlebih dahulu si mustahik zakat harus dilihat kembali dimana letak kemampuan
mustahik itu sendiri lalu zakat itu dapat didayagunakan dengan cara memberikan alat yang
sesuai dengan kemampuan si mustahik tersebut. Lain halnya Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi
yang memberikan batasan berupa syarat sebelum zakat itu didayagunakan maka
hendaknya si mustahik itu dilihat kembali sama halnya seperti yang dilakukan oleh Imam
Nawawi terhadap si mustahik sebelum zakat diberikan, apakah ia (si mustahik )
memberikan izin atas zakat tersebut diproduktifkan.
Pendapat yang dikemukakan oleh kedua murid Imam Syafi’i ini sangat relevan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masa kini, karena dengan produktifitas zakat
ini diharapkan dapat mengubah tatanan perekonomian masyarakat secara luas dan
mengentaskan kemiskinan dan menjamin kehidupan masyarakat menjadi lebih makmur,
sesuai dengan fitrah yang Allah berikan kepada setiap manusia. Karena sungguh Allah
tidak akan mengubah suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang berkeinginan untuk
mengubah keadaannya. Dengan demikian tujuan disyariatkannya zakat akan tercapai
yaitu: zakat akan terus tumbuh dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Yuhasnibar, “Persyaratan dalam Pendistribusian Zakat Produktif Menurut Madzhab
Syafi’i” Jurnal Al-Mudharabah, No. 1 (2020): 96-114.
Maguni, Wahyuddi. “Peran Fungsi Manajemen dalam Pendistribusian zakat : Distribusi
Zakat dari Muzakki ke Mustahik pada BAZ (Badan Amil Zakat)” Jurnal Al-‘Adl, no.
1(2013): 157-183.
Prisma Hadiyanti, “Pengaruh Dana Zakat Konsumtif terhadap Konsumsi Mustahik”,
Malang: (2017)
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
Perbaznas No. 3 Tahun 2018 Tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat.
Imam Syafi’i, Al Umm. Jakarta: Pustaka Azzam, 2014.
Abu Ishaq al-Syirazi, al-Muhadzhab Jilid 1, Beirut : Dar al-Hikmah.
Abu Zakariya Muhy al-Din ibn Syaraf al-Nawawi, Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzhab,
Jilid 6,. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, 2007.
al-Qardhawi, Yusuf. Fiqhu al-Zakat. Beirut : Muassasah Risalah, 1991.
Didin Hafidhuddin, Panduan Zakat. Jakarta: Republika, 2002.

Anda mungkin juga menyukai