Anda di halaman 1dari 126

KONSEP PENATAAN RUANG PADA DAERAH

RAWAN BENCANA SEDIMEN TEKNOLOGI


SABO SEBAGAI ELEMEN PENGENDALI
BANJIR LAHAR DALAM PENATAAN RUANG
Dl KAWASAN GUNUNGAPI MERAPI
DSMJKJ.01.01/01.1/La..SAB0/201 4
PUSUTBANG SUMBER DAYA AIR

NASKAH ILMIAH
KONSEP PENATAAN RUANG PADA DAERAH RAWAN BENCANA SEDIMEN:
TEKNOLOGI SABO SEBAGAI ELEMEN PENGENDALI BANJIR LAHAR
DALAM PENATAAN RUANG Dl KAWASAN GUNUNGAPI MERAPI

OUTPUT KEGIATAN
Studi Konsep Penataan Ruang
pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen

DESEMBER, 2014

.,~ ...... K E M E N T E R I A N PEKERJAAN UMUM

a.,_;~
,l. f.~}( J ~!NL , ~!AiB . ~Yjl
Faks. (022) 2500163. PO Box 841, E-mail: pusat@pusalr-pu.go.id, H ttp://www.pusair-pu .go.id
DSMIKJ.01.01/01.1/La-SAB0/2014
PUSLITBANG SUMBER DAYA AIR

NASKAH ILMIAH
KONSEP PENATAAN RUANG PADA DAERAH RAWAN BENCANA SEDIMEN:
TEKNOLOGI SABO SEBAGAI ELEMEN PENGENDALI BANJIR LAHAR
DALAM PENATAAN RUANG Dl KAWASAN GUNUNGAPI MERAPI

OUTPUT KEGIATAN
Studi Konsep Penataan Ruang
pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen

DESEMBER, 2014

.-~ KEMNTRIA PEKER-.JAAN UMUM

~
..__..-;;;;;;;;;;;;;;a
f.~T1,!i)NLJAEv] Faks . (022) 2500163. PO Box 841 , E-mail : pusat@pusair-pu .go.id , Http:/twww.pusair-pu .go.id
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi 5abo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

NASKAH ILMIAH
KONSEP PENATAAN RUANG PADA KAWASAN RAW AN BENCANA SEDIMEN:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam
Penataan Ruang di Kawasan Merapi

© Pemegang Hak Cipta Puslitbang Sumber Daya Air


Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air-


Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Jln. lr. H Juanda 193 Bandung 40135
Telp : {022) 2501083;2501554
Fax :{022)2500163
E-mail : pusair-pu.go.id
Website : http://www.pusair-pu.go.id
Penyusun : F. Tata Yunita, lka Prinadiastari, Banata Wachid Ridwan
Editor : Soewarno, Chandra Hassan, Sutikno H.S., C. Bambang Sukatja,
Djudi
Mitra Bestari : Dr. lr. Krishna Nur Pribadi, M.Sc., M.Phil.

Cetakan Pertama 2014


Hak cipta dilindungi undang-undang
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

NASKAH ILMIAH KONSEP PENATAAN RUANG PADA KAWASAN RAWAN BENCANA


SED/MEN: Tekno/ogi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan
Ruang di Kawasan Merapi; -cet.1-

Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air


Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2014
ISBN:

Pus at Litbang Sumber Daya Air ii


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

SAMBUTAN
MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

Dengan diiringi rasa syukur kehadirat Allah SWT., saya menyambut baik atas penerbitan buku
yang berjudul Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sed/men: Teknologi
Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi.
Melalui buku ini dapat diperoleh beragam informasi mengenai karakteristikKawasan
Gunungapi Merapi sebagai kawasan rawan bencana banjir lahar hujan dan peran Teknologi
Sabo dalam upaya pengendalian bencana banjir lahar hujan serta tantangan terkait penataan
ruang pada kawasan tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa wilayah Indonesia memiliki potensi rawan bencana sedimen
yang tinggi karena kondisi topografi dan geologinya . Upaya mitigasi bencana sedimen di
Indonesia berupa penerapan Teknologi Sabo menjadi sangat penting dalam rangka
mengamankan kawasan-kawasan strategis yang memiliki potensi bencana.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai kementerian yang memiliki misi
menyelenggarakan pengelolaan SDA secara efektif dan optimal untuk meningkatkan
kelestarian fungsi dan keberlanjutan pemanfaatan SDA serta mengurangi risiko daya rusak air,
menerbitkan buku Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen: Teknologi
Sabo sebagaiEiemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
dengan tujuan memberikan informasi mengenai peran Teknologi Sabo dalam mendukung
upaya penataan ruang df kawasan rawan bencana banjir lahar hujan di kawasan Merapi.

Semoga buku ini dapat dijadikan sumber informasi bagi masyarakat serta pihak-pihak terkait
lainnya dalam melaksanakan pembangunan, sehingga diharapkan masyarakat dapat ikut
berperan dalam usaha-usaha pengamanan daerah hulu sungai untuk mendukung peningkatan
kesejahtaraan rakyat.

Jakarta, Desember 2014

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,

BASUKI HADIMOEUONO

Pusat Litbang Sumber Daya Air iii


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen :
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang berada pada jalur Lingkar Api
Pasifik (Pasific Ring of Fire) dengan 129 gunungapi yang tersebar di hampir semua pulau, di
satu sisi merupakan berkah dengan kekayaan sumber daya alam . Namun, di sisi lain kondisi ini
menyebabkan kawasan ini juga memiliki potensi bencana alam, termasuk bencana sedimen
seperti banjir debris, lahar hujan, dan tanah longsor.

Pada Sensus Penduduk 2010, penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa dan diperkirakan
pada tahun 2050 akan mencapai 288 juta jiwa . Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini
memberikan konsekuensi meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk tinggal dan beraktivitas.
Kebutuhan tersebut mendorong pertumbuhan pada kawasan yang rawan bencana sehingga
terjadi konflik pemanfaatan ruang, dimana pembangunan dilakukan pada kawasan yang
seharusnya tidak terbangun. Oalam hal ini, penataan ruang merupakan salah satu upaya dalam
mengurangi konflik pemanfaatan ruang.

Naskah ilmiah "Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen: Teknologi
Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi"
menyajikan informasi, meliputi gambaran kondisi Kawasan Gunungapi Merapi serta konsep
penataan ruang yang mensinergikan antara Kawasan Rawan Bencana (KRB), pola pemanfaatan
ruang, dan Teknologi Sabo sebagai elemen pengendali banjir lahar hujan .

Semoga buku ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam penataan kawasan rawan
bencana di Indonesia, khususnya pada kawasan rawan bencana sedimen.

Jakarta, Oesember 2014

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan,

lr. Waskito Pandu, M .Sc.


NIP. 19560113 198503 1 001

Pusat Litbang Sumber Daya Air iv


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

KATA PENGANTAR

Buku naskah ilmiah "Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan
Merapi" merupakan output dari kegiatan penelitian dan pengembangan di Balai Sabo, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, dengan judul Studi Konsep Penataan Ruang
pada Daerah Rawan Bencana Sedimen (2431.001.001.107). Kegiatan penelitian dan
pengembangan ini dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, pada tahun anggaran 2014. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk sinkronisasi antara upaya penanggulangan bencana sedimen dengan
Teknologi Sabo terhadap penataan ruang pada kawasan rawan bencana sedimen.

Dalam penyusunan konsep ini, diambil kawasan Gunungapi Merapi sebagai lokasi kajian karena
gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi teraktif di dunia yang memiliki potensi bencana
banjir lahar hujan yang tinggi, terlebih pasca erupsi 2010. Pemanfaatan lahan yang kompleks
terkait fungsi strategis dari wilayah Merapi membuat lokasi ini menjadi objek kajian yang
menarik dan dapat dijadikan model bagi kawasan rawan bencana yang memiliki kesamaan
karakteristik dan tantangan.

Dalam buku ini dibahas gambaran kondisi kawasan Gunungapi Merapi sebagai wilayah kajian,
yang meliputi karakteristik, riwayat dan sejarah bencana, fungsi dan peran strategis, serta
kondisi fisik dan nonfisik kawasan Gunungapi Merapi. Secara khusus juga dibahas konsep
penataan ruang di kawasan Merapi yang mensinergikan antara Kawasan Rawan Bencana (KRB),
pola pemanfaatan ruang, dan Teknologi Sabo sebagai elemen pengendali banjir lahar hujan.

Terima kasih diucapkan kepada Tim Utbang Bidang Sabo Achmad Yusuf, ST., F. Tata Yunita, ST.,
MT., M.Sc., lka Prinadiastari, S.T, Banata Wachid Ridwan, S.Si. dan semua pihak yang telah
bekerja sama dan membantu sehingga buku ini dapat tersusun, khususnya lbu Catharina Dwi
Astuti Depari, S.T., M.T. dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bapak lr. Hananto Hadi
Purnomo, M.Sc. dari Dinas PUP-ESDM Daerah lstimewa Yogyakarta, lbu Rita Probowati, ST.,
M.T. dari BAPPEDA Kabupaten Sleman, serta Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman,
Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Magelang. Semoga buku naskah ilmiah ini dapat dijadikan
referensi bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah, khususnya di
kawasan rawan bencana sedimen.

Bandung, Desember 2014

Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air,

L Dr. lr. Suprapto. M.Eng.


rNIP.19570507 1983011 001 '!

Pus at Litbang Sumber Dayu Air v


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

RINGKASAN
Indonesia, secara alami, merupakan wilayah dengan potensi bencana. Hal ini sebagai
konsekuensi bentang Indonesia yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng benua, yaitu
Lempeng Eurasia, Australia, dan Pasifik. Potensi bencana yang dapat timbul akibat adanya
aktivitas pergerakan lempeng, antara lain gempa bumi, letusan gunungapi, tanah longsor, dan
tsunami. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan makin masifnya
pengembangan kawasan untuk permukiman maupun ruang aktivitas penduduk, bahkan pada
kawasan rawan bencana. Kawasan Gunungapi Merapi merupakan salah satu kawasan rawan
bencana yang menghadapi tantangan tersebut, dimana konflik pemanfaatan ruang pada
kawasan rawan bencana ditemukan sangat tinggi, khususnya pada daerah sepanjang aliran
sungai lahar hujan. Hal ini menjadikan kawasan ini harus memiliki ketahanan terhadap bencana
alam dan kemampuan untuk pemulihandari dampaknya, khususnya terkait bencana gunungapi.
Ketahanan dan kemampuan pemulihan ditentukan oleh faktor-faktor kerentanan kawasan
yang diakibatkan oleh konflik pemanfaatan ruang yang menimbulkan kerugian. Oleh sebab itu,
penataan ruang pada kawasan bencana alam, pada prinsipnya adalah mengurangi atau
meminimalkan konflik ruang yang mungkin terjadi sehingga tingkat risiko bencana dapat
ditekan.Pada kajian konflik penataan ruang di Kawasan Gunungapi Merapi terkait bencana
sedimen atau lahar hujan, memiliki potensi ancaman yang berbeda-beda tergantung dari fase
lahar hujan yang dibagi atas tiga zonasi, yaitu Daerah Produksi (Production Area), Daerah
Transpor (Transportation Area), dan Daerah Pengendapan (Sedimentation Area).
Ancaman daerah produksi adalah erosi galur, pergerakan massa, dan longsor. Untuk
mengurangi potensi bahaya aliran lahar hujan yang akan mengalir ke hilir, maka pada daerah
pembentukan mutlak diperuntukkan sebagai kawasan lindung. Pada kawasan ini, konsep
Teknologi Saba yang diimplementasikan adalah bersifat nonstruktural, seperti pekerjaan
konservasi lahan atau percepatan pemulihan kondisi vegetasi pasca erupsi.
Ancaman daerah transpor adalah longsor tebing dan aliran liar banjir lahar hujan. Untuk
mengurangi kerentanan ancaman, penataan ruang sepanjang sungai lahar hujan pada daerah
ini dilakukan dengan membebaskan daerah sempadan sungai dan memfungsikannya sebagai
RTH. Teknologi Saba perlu diimplementasikan untuk mengurangi energi luncuran aliran lahar
hujan, menahan material, dan mengarahkan aliran sehingga potensi meloncat keluar alur dapat
dieliminir.
Ancaman daerah pengendapan adalah sebaran endapan material lahar hujan dan benturan
boulders, khususnya pada titik bukaan kipas aluvial pada peralihan daerah transpor ke daerah
pengendapan. Sementara ancaman di hilirnya adalah pendangkalan sungai dan limpasan, jika
sedimen berlebih sampai ke hilir. Pada daerah ini, dilakukan dengan penataan ruang daerah
sempadan sebagai RTH. Khususnya pada daerah kipas aluvial, batas wilayah sempadan hingga
300 m dari tepi sungai, dan sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk permukiman. Teknologi Saba
yangdapat diterapkan adalah tanggul pengarah (training dyke) dan kantong lahar hujan (sand
pocket). Sementara di hilir kipas aluvial, diimplementasikan kanalisasi (channel works) dengan
kombinasi groundsi/1 untuk mengarahkan aliran dan menjaga kemiringan dasar sungai.
Konsep Teknologi Sabo dengan pendekatan penataan ruang dalam upaya mengatasi ancaman
banjir lahar hujan sesungguhnya tidak bertentangan bahkan dapat saling mendukung satu
sama lain. Teknologi Saba mengisi peran dalam meminimalkan ancaman sehingga kebutuhan
untuk pemanfaatan ruang pada daerah rawan bencana dapat lebih toleran. Namun demikian,
peran dari Teknologi Sabo hanya meminimalisir, tidak menghilangkan potensi sehingga
kemungkinan terjadinya bencana tetap ada. Untuk itu, aspek kepedulian dan kesiapsiagaan
masyarakat tetap menjadi faktor penting dalam upaya mitigasi bencana banjir lahar hujan.

Pus at Litbang Sumber Daya Air vi


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

DAFTAR lSI

Halaman Judul....................................................................................................................... ii
Sambutan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.......................................... iii
Sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan................................................... iv
Kata Pengantar ...................................................................................................................... v
Ringkasan............................................................................................................................... vi
Daftar lsi................................................................................................................................. vii
Daftar Gambar....................................................................................................................... ix
Daftar Tabel ........................................................................................................................... xi
Daftar lstilah .......................................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN TEORITIK PENATAAN RUANG KAWASAN RESISTAN TERHADAP


BENCANA GUNUNGAPI............................................................................................. 5
2.1. Tinjauan Umum terhadap Kebencanaan .................................................. 5
2.1.1. Pengertian ....................................................................................... 5
2.1.2. Fase-Fase Bencana .......................................................................... 5
2.2. Manajemen Bencana.................................................................................. 7
2.3. Manajemen Risiko Bencana....................................................................... 10
2.4. Tinjauan Khusus terhadap Bencana Gunungapi (Vulkanik)..................... 13
2.4.1. Pengertian Bencana Gunungapi (Vulkanik)................................... 13
2.4.2. Karakteristik Bencana Gunungapi dan Bahaya Bencana Sedimen 14
2.5. Penataan Ruang Kawasan Resistan terhadap Bencana Vulkanik............ 17
2.5.1. Pengertian ....................................................................................... 17
2.5.2. Aspek Penataan Ruang Kawasan Resistan terhadap Bencana
Gunungapi ....................................................................................... 17
2.5.3. Prinsip Penataan Ruang Kawasan Resistan terhadap Bencana
Gunungapi ....................................................................................... 18
2.6. Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar Hujan............. 20
2.7. Perundang-Undangan dan Regulasi Penataan Ruang Kawasan dalam
Paradigma Bencana .................................................................................... 26

BAB Ill TINJAUAN TERHADAP KONDISI KAWASAN GUNUNGAPI MERAPI......................... 29


3.1. Karakteristik Gunungapi Merapi................................................................ 29
3.2. Riwayat dan Sejarah Bencana Gunungapi Merapi................................... 29
3.3. Fungsi dan Peran Strategis Kawasan Merapi............................................ 32
3.4. Kondisi Fisik Kawasan Merapi.................................................................... 34
3.4.1. Geologi............................................................................................. 34
3.4.2. Klimatologi....................................................................................... 35
3.4.3. Hidrologi .......................................................................................... 36
3.4.4. Topografi dan Kelerengan .............................................................. 37
3.4.5. Geomorfologi .................................................................................. 39
3.4.6. Pemanfaatan La han (Land Use)..................................................... 41

Pus at Litbang Sumber Daya Air vii


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
3.5. Kondisi Nonfisik Kawasan Merapi ............................................................. 43
3.5 .1. Demografi ........................................................ .................. ...... ..... ... 43
3.5.2. Ekonomi ........................................................................................... 47
3.5.3. Kultural ............................................................................................ 45

BAB IV PENATAAN RUANG Dl KAWASAN MERAPI.............................................................. 50


4.1. Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi ................................................... 50
4.1.1. .Penetapan Kawasan Rawan Bencana (KRB).................................. 50
4.1.2 .. Kebijakan Pemanfaatan Ruang di KRB Merapi ............................. 51
4.2. Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjir Lahar Hujan Merapi ................... 54
4.2.1. Penentuan Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjir Lahar Hujan. 54
4.2.2. Potensi Risiko Bencana Banjir Lahar Hujan................................... 56
4.2.3. Kajian Perencanaan Tata Ruang Kawasan Rawan Bencana (KRB)
Banjir Lahar hujan Merapi dengan Studi Kasus Kecamatan
Srumbung dan Kecamatan Salam di DAS Putih ............................ 76
4.3. Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Merapi ........................................... 91
4.4. lmplementasi Teknologi Sabo di Kawasan Merapi .................................. 97
4.4.1. Pengaruh Bangunan Sabo terhadap Perubahan Pola Ruang....... 97
4.4.2. Potensi Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir
Lahar Hujan ..................................................................................... 99

BAB V PENUTUP ................................................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................. 105

INDEKS 108

Pus at Litbang Sumber Do yo Air viii


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Lempeng Tektonik di Wilayah Indonesia................................................... 1


Gambar 1.2 Potensi Agrowisata Salak Pondoh ...................................................................... 2
Gambar 1.3 Obyek Wisata Candi Prambanan ........................................................................ 3
Gambar 2.1 Manajemen Bencana dan Tanggap Darurat menurut Siena dan Michael ...... 7
Gambar 2.2 Hubungan Antara Kerentanan Daerah dengan Kejadian Pemicunya
Dalam Kebencanaan............................................................................................ 12
Gambar 2.3 Candi Borobudur dengan Latar Gunungapi Merapi dan Merbabu .................. 13
Gambar 2.4 Kejadian Banjir Lahar hujan ................................................................................ 15
Gambar 2.5 Daerah Limpasan Banjir Lahar hujan di K. Putih di Desa Jumoyo .................... 15
Gambar 2.6 Runtuhnya Jembatan Tlatar di Kali Pabelan akibat Banjir Lahar hujan ........... 16
Gambar 2.7 (a) Kerusakan Rumah Penduduk di Tepi Kali Pabelan (Kiri);
(b) Reruntuhan Rumah yang Terkena Dampak Longsor Tebing Di Kali
Pabelan (Kanan)................................................................................................... 16
Gambar 2.8 (a) Vegetation Works (b) Dam Tipe Terbuka (Slit Type) (c) Oprit Dam
(d) Kantong Lahar hujan...................................................................................... 22
Gambar 2.9 Skema Penanggulangan Pengendalian Banjir Lahar hujan dengan
Teknologi Saba..................................................................................................... 23
Gambar 2.10 Contoh Sistem Peringatan Dini dan Evakuasi .................................................... 25
Gambar 3.1 Grafik Statistik Letusan Gn. Merapi Sejak Abad Ke-18 Sampai Abad Ke-19.... 30
Gambar 3.2 Peta Sebaran AwanPanas Gn. Merapi yang Terjadi Sejak Tahun 1911-2006.. 31
Gambar 3.3 Peta Sebaran Awan Panas pada Erupsi Merapi 2010 ....................................... 31
Gambar 3.4 Posisi Kawasan Merapi yang Memiliki Nilai Strategis di Kab. Magelang......... 33
Gambar 3.5 Peta Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)................................................. 34
Gambar 3.6 Peta Kondisi Geologi Kawasan Merapi............................................................... 35
Gambar 3.7 Peta Curah Hujan Kawasan Merapi.................................................................... 36
Gambar 3.8 Peta Kondisi Topografi Kawasan Merapi ........................................................... 38
Gambar 3.9 Peta Kondisi Kelerengan Kawasan Merapi ........................................................ 39
Gam bar 3.10 Peta Kondisi Morfologi Kawasan Merapi ........................................................... 41
Gambar 3.11 Peta Penggunaan Lahan Kawasan Merapi Pra Erupsi 2010.............................. 42
Gambar 3.12 Peta Penggunaan La han Kawasan Merapi Pasca Erupsi 2010.......................... 43
Gambar 3.13 Peta Kepadatan Jumlah Penduduk..................................................................... 45
Gambar 3.14 PDRB Kabupaten Magelang Tahun 2009-2012.................................................. 46
Gambar 3.15 PDRB Kabupaten Boyolali Tahun 2010-2012..................................................... 46
Gambar 3.16 PDRB Kabupaten Magelang Tahun 2010-2013.................................................. 47
Gambar 3.17 Aktivitas Kultural Masyarakat Merapi ................................................................ 49
Gambar 4.1 Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi........................................... SO
Gambar 4.2 Diagram Tingkat Kompleksitas Pemanfaatan Ruang di Sekitar Bangunan
Sabo Kali Putih ..................................................................................................... 53
Gambar 4.3 Diagram Tingkat Kompleksitas Pemanfaatan Ruang di Sekitar Bangunan
Saba Kali Wore..................................................................................................... 53
Gambar 4.4 Diagram Tingkat Kompleksitas Pemanfaatan Ruang di Sekitar Bangunan
Sabo Kali Boyong ................................................................................................. 54
Gambar 4.5 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen (Lahar hujan) Merapi ........... 55

Pus at Litbang SUmber Daya Air ix


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Gambar 4.6 Peta Zonasi Potensi Sumber Sedimen Kawasan Merapi................................... 57
Gambar 4.7 Peta Potensi Konflik pada Oaerah Produksi ...................................................... 57
Gambar 4.8 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen OAS Putih .............................. 58
Gambar 4.9 Peta Penggunaan La han di Kali Putih ................................................................. 59
Gambar 4.10 Peta Potensi Konflik Penataan Ruang pada OAS Putih ..................................... 59
Gambar 4.11 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Putih Bagian Hulu
(PU-05 s.d PU-e11/12)........................................................................................ 61
Gambar 4.12 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Putih Bagian Tengah
(PU-e10 s.d PU-R05)............................................................................................ 62
Gambar 4.13 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Putih Bagian Hilir
(PU-CBA s.d PU-e2) .............................................................................................. 63
Gambar 4.14 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen OAS Boyong .......................... 64
Gambar 4.15 Peta Penggunaan La han di Kali Boyong ............................................................. 65
Gambar 4.16 Peta Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang pad a OAS Boyong ........................... 65
Gambar 4.17 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Boyong Bagian Hulu
(B0-07 s.d 80-CB)................................................................................................ 67
Gambar 4.18 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Boyong Bagian Tengah
(BO-e7 s.d BO-e11A) ........................................................................................... 68
Gambar 4.19 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Boyong Bagian Hilir
(BO-e12 s.d 80-GSS) ........................................................................................... 69
Gambar 4.20 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen OAS Woro ............................. 70
Gambar 4.21 Peta Penggunaan La han di Kali Woro ................................................................ 71
Gambar 4.22 Peta Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang pad a OAS Woro .............................. 71
Gambar 4.23 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Woro Bagian Hulu
(W0-06 s.d WO-C3)............................................................................................. 73
Gambar 4.24 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Woro Bagian Tengah
(WO-e Junut s.d WO-e Jaten) ............................................................................. 74
Gambar 4.25 Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboOAS Woro Bagian Hulu
(WO-e Wonoboyo s.d WO-e Geneng) ............................................................... 75
Gambar 4.26 Perbandingan Mata Pencaharian Utama dan Sampingan Kecamatan
Srumbung dan Kecamatan Salam....................................................................... 83
Gambar 4.27 Nilai Keren1;anan Kawasan di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam.. 86
Gambar 4.28 Tipologi Bangunan di Kawasan Srumbung pada Lokasi Pengamatan 1........... 87
Gambar 4.29 Tipologi Bangunan di Kawasan Srumbung pada Lokasi Pengamatan 2........... 88
Gambar 4.30 Peta Jalur evakuasi pada salah satu area di Kec. Salam.................................... 90
Gambar 4.31 Tipologi Bangunan di Kawasan Srumbung pada Lokasi Pengamatan 3........... 90
Gambar 4.32 Peta Sebaran Limpasan Lahar hujan di Oesa Jumoyo ...................................... 91
Gambar 4.33 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Oaerah Rawan Bencana Sedimen pada
OAS Putih tanpa lmplementasi Teknologi Sabo ................................................ 96
Gambar 4.34 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Oaerah Rawan Bencana Sedimen pada
OAS Boyong tanpa lmplementasi Teknologi Sabo ............................................ 96
Gambar 4.35 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Oaerah Rawan Bencana Sedimen pada
OAS Woro tanpa Jmplementasi Teknologi Sabo ................................................ 97
Gambar 4.36 Pola Pemanfaatan Ruang yang Dipengaruhi oleh WO-e (Junut) ..................... 98
Gambar 4.37 Pola Pemanfaatan Ruang yang Oipengaruhi oleh PU-C9 (Kiri) dan
PU-e10 (Kanan).................................................................................................... 99
Gambar 4.38 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Oaerah Rawan Bencana Sedimen
dengan Jmplementasi Teknologi Sabo ............................................................... 101

Pusat Litbang Sumber Da)IO Air x


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

DAFTARTABEL

Tabel2.1 Pembagian Daerah Pengendalian Aliran Debris Berdasarkan Kemiringan


Alur Sungai ................................................................................................................. 21
Tabel3.1 DAS Sekitar Kawasan Gunungapi Merapi ............................................................... . 37
Tabel4.1 Konflik Ruang Kawasan Merapi sebagai Kawasan Rawan Bencana ...................... . 52
Tabel4.2 Zonasi Perilaku Aliran Lahar hujan dan Potensi Bencana Lahar hujan
(Lahar Hujan Hazard) ................................................................................................ 56
Tabel4.3 Klasifikasi dan Pembobotan Kerentanan Fisik ......................................................... 78
Tabel4.4 Nilai Kerentanan Fisik di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam .............. . 78
Tabel4.5 Kepadatan Penduduk Tahun 2013 ........................................................................... 79
Tabel4.6 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2013 ..................................... 79
Tabel4.7 Klasifikasi dan Pembobotan Kerentanan Sosial. ..................................................... . 81
Tabel4.8 Nilai Kerentanan Sosial di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam............. 81
Tabel4.9 Klasifikasi dan Pembobotan Kerentanan Kultural................................................... 82
Tabel4.10 Nilai Kerentanan Kultural di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam......... 82
Tabel4.11 Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar
Harga Berlaku (%) Tahun 2010-2012........................................................................ 84
Tabel4.12 Klasifikasi dan Pembobotan Kerentanan Ekonomi ................................................. 85
Tabel4.13 Nilai Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam........ 85
Tabel4.14 Nilai Kerentanan Keseluruhan di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam.. 85
Tabel4.15 Konsep Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Sedimen ................................ 95

Pus at Litbang Sumber Dayo Air xi


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

DAFTAR ISTILAH

1. Aliran adalah gerakan air yang dinyatakan dengan gejala dan parameter.

2. Aliran debris adalah aliran air sungai dengan konsentrasi sedimen tinggi pada sungai
dengan kemiringan sangat curam. Aliran sungai ini seringkali membawa batu -batu besar
dan batang-batang pohon.

3. Ancaman (hazard) adalah suatu keadaan yang diakibatkan fenomena alam yang luar biasa
ataupun manusia yang berotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia,
menyebabkan kehilangan harta benda, mata pencaharian, dan kerusakan lingkungan.

4. Angkutan sedimen adalah pergerakan material batuan dan tanah yang berasal atau
berada di lembah, tebing, dan dasar sungai oleh aliran air.

5. Bangunan Sabo adalah prasarana sumber daya yang berfungsi sebagai bangunan
pengendali daya rusak air berupa aliran lahar hujan dan aliran debris serta aliran sedimen
berlebih lainnya.

6. Banjlr adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai.

7. Bantaran sungal adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam
yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai.

8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

9. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor.

10. Daerah Allran Sungal (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke taut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di taut sampai dengan daerah perairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan.

11. Garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan
sebagai batas perlindungan sungai.

12. Kapasitas (capadty) adalah kondisi (kekuatan dan sumber daya yang tersediayang
menunjukkan kemampuan seseorang (komunitas) untuk mengurangi risiko atau dampak
bencana.

Pusat Litbang SUmber Da).O Air xii


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
13. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.

14. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

15. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan sumber daya buatan.

16. Kerentanan (vulneabi/ity) adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidroligis,
klimatologis, geografis, soslial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah
untuk jangka panjang waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menghadapi dampak
buruk dari bahaya tertentu.

17. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

18. Lahar hujan adalah aliran material vulkanik yang biasanya berupa campuran batu, pasir,
dan kerikil akibat adanya aliran air yang terjadi di lereng gunung (gunung berapi).

19. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.

20. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang.

21. Peringatan dlnl adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.

22. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

23. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah
untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk
bahaya tertentu.

24. Resistan adalah sifat yang mampu mengurangi, menahan, ataupun mengatasi
perkembangan sesuatu yang menyerangnya atau merugikan.

25. Rislko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat.

Pusat Litbang Sumber Dayo Air xiii


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
26. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia serta makhluk
lainnya hidup untuk melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.

27. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

28. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana
dansarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

29. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air
beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri
oleh garis sempadan.

30. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

Pus at Litbang SUmber Daya Air xiv


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

BABI
PENDAHULUAN

Wilayah Indonesia, secara alami, merupakan daerah dengan potensi bencana . Hal ini sebagai
konsekuensi bentang Indonesia yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng benua, yaitu
Lempeng Eurasia, Australia, dan Pasifik. Pergerakan ketiga lempeng ini mengakibatkan
terbentuknya deretan pegunungan dan gunungapi aktif di sebagian besar pulau-pulau
Indonesia. Potensi bencana yang dapat timbul akibat adanya aktivitas pergerakan lempeng,
antara lain gempa bumi, letusan gunungapi, tanah longsor, dan tsunami.

Sumber: http://inatews.bmkg.go.id/tentang_ eq.php, diunduh tangga/23 Juni 2014


Gambar 1.1 Peta Lempeng Tektonik di Wilayah Indonesia
Kawasan Indonesia juga merupaka n bag ian dari Cine in Api Pasifik (The Pasific Ring of Fire). Ada
±129 gunungapi aktif yang terdapat di wilayah Indonesia (Simandjuntak dan Barber, 1996),
sebanyak 77 gunungapi Tipe A, 28 Tipe B, dan21 Tipe C (Andreastuti, 2013) . Gunungapi
tersebut tersebar di hampir seluruh pulau, yaitu 13 gunungapi di Sumatera dan Selat Sunda, 19
gunungapi Jawa, 22 gunu.ngapi di Bali danNusa Tenggara, 7 gunungapi di Kepulauan Banda,
Sulawesi dan 11 gunungapi di Kepulauan Sangir, serta Sgunungapi di Maluku Utara
(Andreastuti, 2013) .Letusan atau erupsi gunungapi kerap terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini (2013-2014), telah tercatat beberapa gunungapi
mengalami peningkatan aktivitas atau bahkan berkembang hingga menjadi erupsi, sebut saja
Gunungapi Rokatenda, Gunungapi Kelud, Gunungapi Sinabung, Gunungapi Slamet, dan terakhir
Gunungapi Sangeang. Namun, tiga gunungapi yang aktivitasnya cukup mendapat perhatian
adalah erupsi Gunungapi Merapi di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, Gunungapi Kelud
di Kediri, Jawa Timur, dan Gunungapi Sinabung di Karo, Sumatera Utara. Erupsi Gunungapi
Merapi pada penghujung tahun 2010 merupakan erupsi Merapi terbesar dalam kurun waktu 80
3
tahun dengan total material vulkanik yang dilontarkan diperkirakan mencapai 150 juta m •
Peristiwa erupsi Kelud juga menjadi perhatian nasional karena dampak letusannya, khususnya
lontaran abu vulkanik yang mencapai Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara erupsi
Gunungapi Sinabung, terjadi dalam kurun waktu yang lama, sejak setahun yang lalu dan hingga
saat ini belum dapat dipastikan kapan akan berakhir.

Erupsi gunungapi menimbulkan ancaman bencana primer dan bencana sekunder. Ancaman
bencana primer merupakan ancaman bencana yang terjadi akibat peristiwa erupsi atau letusan

Pus at Litbong Sumber Dayu Air 1


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNOn Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
langsung, seperti lontaran material vulkanik, aliran lava,dan aliran awan panas (pyroclastic).
Sedangkan ancaman dari bencana sekunder, salah satunya adalah ancaman banjir lahar hujan.
Banjir lahar hujan terjadi karena ada kejadian hujan dengan curah hujan cukup tinggi dan
intensitas lama pada bagian hulu sungai sehingga membawa turun material hasilletusan yang
terendap pada lereng-lereng melalui sungai-sungai yang berhulu di gunungapi.

Di sisi lain, masih banyak


penduduk yang memilih tinggal
dan beraktivitas di tempat-tempat
yang memiliki potensi bencana
gunungapi. Hal ini dikarenakan
pada umumnya, wilayah
gunungapi memiliki potensi
ekonomis yang cukup tinggi,
misalnya dalam sektor pertanian,
sektor pertambangan, dan sektor
Sumber: http://kfk.kompas.com/kfk/view/5917-Pasar-Salak
pariwisata. Potensi ekonomi
Gambar 1.2 Potensi Agrowisata Salak Pondoh dalam sektor pertanian
disebabkan karena di daerah
vulkanik biasanya memiliki tanah yang subur sehingga baik untuk bercocok tanam .Selain itu,
kondisi iklim yang sejuk pada dataran tinggi juga cocok untukjenis tanaman sayur-sayuran dan
buah-buahan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sektor pertambangan juga menjadi salah
satu magnet pada kawasan gunungapi karena pada daerah tersebut kaya akan sumber material
bangunan dan mineral. Pada kawasan gunungapi tertentu juga menjadi daya tarik sektor
pariwisata. Hal ini disebabkan karena keindahan alam, warisan budaya, dan kondisi medan
yang menantang sehingga dimanfaatkan untuk wisata alam/budaya maupun wisata olahraga
ekstrem. Sebagai contoh Gunungapi Merapi, Gunungapi Bromo, Gunungapi Dieng, dan
gunungapi lainnya.

Disamping potensi-potensi tersebut, kawasan gunungapi umumnya juga merupakan kawasan


lindung, dimana terdapat areal yang difungsikan sebagai taman nasional. Kawasan lindung ini
terletak pada daerah di sekitar puncak gunungapi, dimana kawasan tersebut tidak boleh
dimanfaatkan sebagai kawasan hunian atau bahkan budidaya, baik pertanian maupun
perkebunan. Beberapa contoh kawasan gunungapi yang memiliki fungsi sebagai kawasan
lindung di antaranya yang cukup terkenal adalah Taman Nasional Gunung Merapi, Taman
Nasional Gunung Semeru, Taman Nasional Gunung Kerinci, dan Taman Nasional Gunung
Rinjani.

Masyarakat yang tinggal maupun beraktivitas di sekitar gunungapi aktif maupun sungai-sungai
yang bermuara di gunungapi berpotensi untuk terdampak ancaman bencana sehingga
diperlukan upaya mitigasi bencana. Upaya-upaya mitigasi bencana diatur dalam Undang-
Undang No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dimana dapat dilakukan secara fisik
maupun nonfisik. Penanggulangan secara fisik telah dilakukan Pemerintah dengan Teknologi
Sabo. Teknologi Sabo sudah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 70-an pada beberapa
gunungapi, seperti Gunungapi Merapi, Gunungapi Kelud, Gunungapi Semeru, Gunungapi
Galunggung, dan Gunungapi Agung. Penanggulangan nonfisik, salah satunya dilakukan dengan
penataan ruang pada daerah rawan bencana sedimen, khususnya bencana banjir lahar hujan di
daerah vulkanik. Namun disayangkan, kedua upaya tersebut kurang bersinergi dalam
pengimplementasiannya dan terkesan berjalan sendiri-sendiri walaupun sebenarnya memiliki
potensi untuk dikolaborasikan dan saling mendukung.

Pusat Litbang Sumber Daya Air 2


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebogai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Secara yuridis, penataan ruang
berbasis mitigasi bencana telah
diakomodir dalam Undang-Undang
Penataan Ruang (UUPR) No.
24/1992, yang kemudian direvisi
menjadi No. 26/2007. Dalam UUPR
dijelaskan, Pemerintah Daerah, baik
provinsi maupun kabupaten/kota
harus menyusun Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) yang
mengatur secara teknis dan detail
peruntukan ruang sebagai upaya
meminimalisasi terjadinya bencana
oleh alam dan manusia secara
komprehensif dan bersinergi antar
wilayah yang berdekatan. Namun,
masih banyak daerah yang belum Sumber: http://www.indonesiakaya.com/kanal/fato-detai/
/eksotika-candi-prambonan-kekayaon-indonesio-untuk-
memasukkan aspek kebencanaan
dunio#L/893
dalam Perda RTRW di daerahnya
Gambar 1.3 Obyek Wisata Candi Prambanan
atau bahkan belum menyusun
Perda RTRW. Sebagai salah satu contoh adalah Gunungapi Merapi, yang tercatat sebagai salah
satu gunungapi teraktif di dunia. Gunungapi ini terletak di perbatasan Provinsi Oaerah lstimewa
Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah . Disebut sebagai gunungapi teraktif karena memiliki
periode erupsi yang pendek, yaitu 4 - 7 tahun. Akhirnya pasca erupsi Merapi 2010, keempat
kabupaten yang masuk dalam kawasan Gunungapi Merapi memiliki Perda RTRW (Kab. Sleman,
Magelang, Klaten, dan Kota Yogyakarta) . Perda RTRW berperan penting karena akan mengatur
peruntukan ruang, meliputi struktur dan pola ruang pada kawasan bencana dengan
mempertimbangkan risiko dampak bencana sehingga dapat meminimalisir kerugian yang akan
ditimbulkan oleh bencana. Permasalahannya adalah meskipun telah disusun RTRW untuk
mengarahkan pertumbuhan wilayah, namun pada kenyataannya hal ini sangat sulit diterapkan
karena wilayah tersebut terlanjur dihuni oleh penduduk.

Sejalan dengan RENSTRA 2009-2014, khususnya bidang peningkatan kualitas mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim serta pengelolaan bencana yang terkait dengan air, pada tahun 2014
telah dilakukan kegiatan penelitian terkait studi konsep penataan ruang pada daerah rawan
bencani3 sedimen, dalam hal ini bencana lahar hujan di kawasan gunungapi. Kegiatan
penelitian ini mengambil lokasi di Kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan dengan
pemanfaatan ruang yang cukup kompleks dengan potensi bencana vulkanik tinggi.

Buku naskah ilmiah ini memuat hasil dari studi tersebut yang mencakup pembahasan potensi
bencana vulkanik pada kawasan tersebut, RTRW yang telah disusun pada masing-masing
daerah, dan upaya-upaya implementasinya oleh pemerintah serta peran Teknologi Saba
sebagai elemen pengendali banjir lahar hujan yang berpeluang mendukung arah pola
pemanfaatan ruang sehingga terjadi sinergi yang baik.

Adanya konsep ini diperlukan mengingat kejadian banjir lahar hujan yang akan terus terjadi
setiap tahunnya pada musim penghujan dan banyaknya penduduk yang tinggal di wilayah
potensi bencana . Diharapkan buku naskah ilmiah ini ini dapat digunakan sebagai model untuk
mengarahkan pemanfaatan ruang, tidak hanya di kawasan Gunungapi Merapi, namun juga di

Pusat Litbong Sumber Doya Air 3


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencona Sedimen:
Teknolagi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
daerah-daerah yang memiliki kerentanan atau rawan terhadap bencana banjir lahar hujan dan
permasalahan penataan ruang yang sama.
Mempertimbangkan banyaknya tantangan yang ada seputar pemanfaatan ruang di kawasan
rawan bencana karena kompleksnya kepentingan dan kebutuhan fungsi ruang, maka tentunya
akan banyak kendala dalam upaya implementasi penataan pemanfaatan ruang di kawasan
rawan bencana agar sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan. Di satu sisi, Pemerintah
berusaha melindungi masyarakat dari bahaya dampak bencana, namun di sisi lain masyarakat
sendiri membutuhkan ruang untuk tinggal dan beraktivitas. Terlebih lagi karena banyak
kawasan rawan bencana tersebut yang terlanjur dihuni penduduk sehingga makin menyulitkan
upaya pengendalian.
Hal ini menunjukkan kurangnya kesinergian antara upaya penganggulangan bencana sedimen
secara fisik, dimana salah satunya dengan Teknologi Sabo, dan upaya nonfisik, dalam hal ini
melalui penataan ruang kawasan bencana sedimen. Kedua komponen mitigasi bencana ini
seharusnya dapat saling mendukung dan memperkuat ketahanan masyarakat terhadap
bencana.
Oleh sebab itu, Studi Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen
dilakukan dengan maksud untuk menyediakan sebuah referensi dalam penataan ruang
kawasan yang bersinergi dengan upaya penanggulangan bencana sedimendan karakteristik
aktivitas lokal dengan mengambil kasus pada beberapa kawasan rawan bencana di kawasan
Gunungapi Merapi. Naskah ilmiah ini merupakan salah satu alternatif pendekatan pengelolaan
bencana pada suatu kawasan rawan bencana, khususnya bencana gunungapi, dimana masih
banyak kelemahan yang dapat dikembangkan lebih lanjut melalui penelitian yang lebih lanjut.
Diharapkan buku naskah ilmiah ini ini dapat digunakan sebagai model arahan penataan ruang
kawasan yang tanggap terhadap dampak bencana gunungapi lainnya di Indonesia, yang
tentunya dengan melalui penyesuaian terhadap konteks lokal.

Pusat Litbang SUmber DaJ.G Air 4


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebogai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

BAB II
TINJAUAN TEORITIK PENATAAN RUANG KAWASAN RESISTAN
TERHADAP BENCANA GUNUNGAPI

2.1. Tinjauan Umum terhadap Kebencanaan

2.1.1. Pengertian
Bencana terjadi sebagai konsekuensi dari adanya aktivitas, baik yang bersifat alami maupun
yang disebabkan oleh manusia. Bencana alam, meliputi gempa bumi, longsor, tsunami, angin
ribut, badai, tornado, banjir, kebakaran hutan, dan vukanik. Bencana yang disebabkan oleh
aktivitas manusia dapat bersifat disengaja, misalnya eksploitasi minyak bumi secara berlebih
atau tumpahan limbah beracun yang bersumber dari kebocoran suatu reaktor nuklir. Seluruh
tipe bencana pada hakikatnya dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia, kelestarian
flora fauna, dan keseimbangan ekosistem.
Bencana, menurut UU No. 24 Tahun 2007, adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yangmengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupanmasyara kat yang disebabkan,
baik oleh faktor alamdan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehinggamengakibatk an
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakanlingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.Menurut beberapa penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga kemanusiaan
termasuk USAID (2006), dinyatakan bahwa kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap
dampak bencana adalah masyarakat miskin. Kondisi tersebut disebabkan oleh minimnya akses
warga miskin terhadap sumber daya setempat dan rendahnya kapasitas lokal dalam
menghadapi risiko bencana (USAID, 2006).
Bencana dapat pula diartikan sebagai sebuah gangguan serius terhadap keberlangsungan
fungsional suatu komunitas yang mengakibatkan sejumlah kerugian, baik yang berkaitan
dengan aspek manusia, material maupun lingkungan, memiliki dampak yang luas dan
melampaui kemampuan setempat dalam mengatasi dampak akibat dari terbatasnya sumber
daya yang dimiliki (UNDHA, 2001).
Menurut World Health Organization (Sena & Michael, 2006), bencana adalah fenomena ekologi
yang tidak terduga dengan dampak bencana tertentu yang membutuhkan
perhatian/pendampin gan eksternal. Bencana diartikan pula sebagai suatu peristiwayang
biasanya terjadi secara tiba-tiba dan mengakibatkan kerusakan, gangguan ekologi, kehilangan
nyawa manusia, deteriorasi terhadap tingkat kesehatan, dan layanan kesehatan dengan jenis
gangguan melampaui kapasitas lokal hingga sampaipada skala membutuhkan bantuan atau
dukungan dari luar (Landsman, 2011).
Berdasarkan pada berbagai pemahaman dari pengalaman kebencanaan di berbagai daerah
rawan bencana, kejadian bencana tidak dapat dengan tepat diprediksi karakteristiknya, baik
waktu, durasi maupun skalanya sehingga dampaknya tidak dapat dihindari sehingga diperlukan
perencanaan untuk menghadapinya. Dengan demikian, dibutuhkan langkah-langkah
pencegahan atau preventif untuk membantu suatu daerah dalam menyusun suatu
perencanaan sebelum bencana sehingga dampak bencana yang akan datang dapat direduksi.

2.1.2. Fase-Fase Bencana


Situasi bencana bersifat dinamis, senantiasa berubah dan membutuhkan sebuah
respon/tindakan. Bencana dapat dipandang sebagai sebuah rangkaian fase dalam satu
kontinum waktu. Meskipun situasi bencana dapat terlihat bersifat menerus, namun identifikasi
dan pemahaman terhadap tahapan-tahapan tersebut dapat membantu warga dalam

Pusat Litbong Sumber Da).(J Air 5


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Benrona Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
merumuskan berbagai kebutuhan dan mengkonsepkan aktivitas pengelolaan bencal18 yang
sesuai. Tahapan atau fase bencana, meliputi:
1. Fase Pra Tanggap Darurat (Pre Emergency Phase)
Sebuah periode sebelum bencana terjadi, dapat dimanfaatkan untuk menentukan
tingkat frekuensi suatu komunitas terancam terhadap berbagai risiko bencana (risk
mapping) dan bagaimana tingkat persiapan yang telah dimiliki oleh warga setempat.
Tindakan perlindungan yang dapat dilakukan adalah dengan berdasarkan pada
peringatan dini dan sumber-sumber yang ada, misalnya mengidentifikasi tempat
penampingan sementara yang didukung oleh perlengkapan dasar bahan pangan, rute
evakuasi, dan memonitor kecenderungan/perubahan sifat alam.
2. Fase lmpak Bencana (Disaster Impact Phase)
Ketika bencana terjadi, maka akan mendorong meningkatnya jumlah warga yang
meninggalkan huniannya. lamanya waktu yang berlangsung pada tahap ini tergantung
dari tipe bencana, jumlah warga yang terkena dampakbencana, dan jarak yang harus
ditempuh untuk memperoleh perlindungan yang diharapkan. Pencarian dan
penyelamatan serta tindakan pendampingan lainnya seperti penyediaan sara na
transportasi, pusat evakuasi, dan persediaan dasar bagi korban bencana seharusnya
dipenuhi untuk menekan jumlah kehilangan pada nyawa manusia dan properti lokal.
3. Fase Tanggap Darurat/Akut (Acute Phase)
Tahap akut dimulai secara cepat dan tanggap setelah terjadi bencana dan ditandai
oleh aktivitas yang intensif dari berbagai lembaga kemanusiaan. Prioritasnya adalah
untuk menjaga agar nyawa manusia tetap dapat diselamatkan sehingga keamanan
merupakan perhatian utama dalam situasi darurat. layanan kritis yang berhubungan
dengan persediaan makanan, air, sanitasi, rawat kesehatan serta perlindungan dari
kekerasan dan pelecehan harus diatur secara cepat.
4. Fase Pasca Tanggap Darurat (Post Emergency Phase)
Pergerakan populasi semakin melambat setiap harinya. Pada tahapan setelah tanggap
darurat, dibutuhkan penekanan baru, yaitu pada kapasitas membangunlokal dan
mendorong partisipasi warga.
s. Fase Pengembalian (Repatiratlon Phase}
Dilakukan setelah situasi darurat selesai, warga yang mengungsi diharapkan untuk
kembali ke tempat asalnya,baik secara mandiri maupun dengan bantuan dari lembaga
kemanusiaan.
6. Fase Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Rehabilitation and Reconstruction Phase}
Merupakan sebuah solusi permanen yang fokus pada pengembangan dan
pembangunan secara mandiri. Tanggungjawab dalam menyediakan pendampingan
dialihkan pada komunitas yang terkena dampak, otoritas setempat, lembaga
pembangunan, dan organisasi nonpemerintah lainya.
Dalam perencanaan upaya penanggulangan bencana perlu dipahami fase-fase bencana
tersebut, dimana pada setiap fase bencana dibutuhkan upaya pendekatan yang berbeda untuk
mengatasinya. Selain itu, identifikasi fase bencana ini akan membantu dalam kegiatan
mengelola bencana, seperti menentukan prioritas tindakan yang perlu dilakukan agar tepat
sasaran dan sesuai dengan kebutuhan.

Pusat Litbong Sumber Daya Air 6


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
2.2. Manajemen Bencana
Manajemen bencana (emergency management) mencakup aktivitas persiapan bencana,
tanggap bencana, recovery, pasca bencana yang berkaitan dengan pengawasan daerah,
manajemen lingkungan, dan mitigasi bencana (USAID, 2006:113). Siklus proses manajemen
bencana disajikan pada Gambar 2.1.

MANAJEMEN DARURAT

Kesiapsiagaan Tanggap Darurat

)
Rehabilitasi
Mitigasi/ /
Pencegahan ../
........,__ . Rekonstruksi
Pra Bencana: Pengurangan Risiko
Pasca Bencana: Pemulihan

MANAJEMEN BENCANA
PENANGGULANGAN
PEMBANGUNAN

Sumber: USAID_ 2006


Gambar 2.1 Manajemen Bencana dan Tanggap Darurat Menurut Siena dan Michael

Tujuan manajemen bencana secara umum, yaitu:

a) Menekan tingkat kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh bencana.


b) Memastikan agar pendampingan terhadap korban bencana secara tepat dan sesuai
dapat dilakukan apabila dibutuhkan .
c) Memperoleh kemampuan recovery yang cepat dan berjangka panjang.

Berikut akan diuraikan setiap aktivitas manajemen bencana untuk meningkatkan resistansi
daerah terhadap dampak bencana secara umum.

1. Perslapan Bencana
Persiapan bencana dapat diartikan sebagai sebuah keadaan siap menghadapi suatu
bencana, krisis atau berbagai jenis situasi darurat lainnya . Tahap persiapan mencakup
sikap kepemimpinan, training untuk menanamkan pemahaman mengenai bencana,
kesiapan dan dukungan latihan, serta dukungan teknis dan finansial untuk
memperkuat ketahanan warga, daerah, suku , pemerintah, dan pekerja profesional
lokal yang khusus menangani masalah kebencanaan . Tujuan persiapan bencana adalah
untuk dapat mereduksi kemungkinan besarnya jumlah korban jiwa dan luka dengan
menyediakan pelayanan darurat yang siaga dan lengkap. Tahap persiapan mencakup
pula sistem peringatan dini (early warning system)untuk menghadapi perubahan
musim karena faktor iklim, risiko kelaparan, dan banjirtermasuk sistem informasi yang
mendukung pada skala regional dan daerah. Persiapan terhadap bencana terdiri dari
tiga langkah dasar, yaitu mempersiapkan sebuah rencana (preparing the

Pusat Lit bang Sumber Daya Air 7


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiiiiC1n Bencona Sedimen:
Teknolagi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/om Penataan Ruang di Kawasan Merapi
p/an),melakukan pemahaman pelatihan terhadap rencana(training the plan), dan
melatih rencana melalui simulasi (exercising the plan). Alat pendukung untuk tanggap
darurat, meliputi:
a) Rute penyelamatan diri/evakuasi.
b) Komunikasi keluaga.
c) Keamanan dan mematikan daya utilitas.
d) Rekaman asuransi dan dokumen penting.
e) Kebutuhan khusus.
f) Keahlian khusus.
2. Tanggap Bencana
Tanggap bencana merupakan reaksi awal dan cepat terhadap bencana yang dapat
terjadi karena bencana telah diantisipasi sebelumnya, Contoh kasus adalah pada
evakuasi massal, pembangunan infrastruktur sebagai proteksi dari banjir, menyimpan
makanan dan minum untuk situasi darurat, menutup/melapisi jendela, menyediakan
layanan medik darurat, serta menyediakan program pencarian dan penyelamatan.
Aktivitas tanggap darurat dilakukan pada saat bencana terjadi dan/atau
langkah/tindakan yang diakukan sebelum bencana terjadi. Di dalamnya mencakup
evakuasi dari warga yang terancam, pendampingan saat bencana, dan tindakan yang
dilakukan ketika warga tidak dapat diatur serta layanan dasar maupun infrastruktur
tidak befungsi optimal.
3. Pemulihan Setelah Bencana (Recovery)
Tujuan utama dari proses recovery adalah untuk mendukung warga yang terkena
dampak bencana untuk memperoleh kembali suatu level pengoperasian dan
fungsional secara optimal, setelah bencana terjadi dalam jangka panjang. Recovery
menekankan pada rehabilitasi dan pembangunan alat-alat untuk mengurangi dampak
bencana yang akan datang dan seharusnya dapat menciptakan situas warga yang
membaik setelah peristiwa bencana. Misalnya, dengan membangun tempat
perlindungan yang memiliki aliran listrik, adanya pendampingan kerja, pinjaman bisnis
dan pembersihan lingkungan hunian dari reruntuhan bangunan. Tahap recovery sering
diabaikan dalam manajemen bencana namun sangat krusial bagi warga yang terkena
dampak. Tahap ·recovery harus mengidentifikasi kesempatan bagi pembangunan
warga khususnya yang berkaitan dengan menciptakan komunitas yang berkelanjutan,
lebih aman, dan adaptif terhadap bencana. Empat elemen penting dalam proses
recovery, meliputi:

a) Pemulihan warga termasuk pada aspek psikologis.


b) Pemulihan infrastruktur.
c) Pemulihan ekonomi.
d) Pemulihan lingkungan hidup.
4. Mltlgasl Bencana
Mitigasi adalah sebuah aksi berkelanjutan untuk menekan atau menghilangkan risiko
warga dan properti dari bencana dan ancaman dengan seluruh dampak yang
ditimbulkan. Fungsi mitigasi berbeda dengan langkah kebencanaan lainnya karena
mitigasi menawarkan sejumlah solusi jangka panjang untuk mereduksi risiko. Mitigasi
bencana mencakup aktivitas yang dirancang untuk mencegah dan mereduksi tingkat
kerugian akibat bencana yang disadari sebagai fase penting dalam manajemen
bencana.Contohnya, adalah rencana tata guna lahan untuk membatasi dan mencegah
pembangunan secara berlebihan di sekitar daerah bencana, kode membangun yang
Pusat Litbang SUmber Daya Air 8
Noskah 1/mioh Konsep Penotoon Ruong podo Kowoson Rowan Bencono Sedimen:
Tekno/ogi Sobo sebogai Elemen Pengendoli Bonjir Lahar do/om Penotoon Ruong di Kowoson Meropi
diterapkan untuk mereduksi kehilangan akibat dampa k bencana gempa bumi
misalnya, dan infrastruktur dam yang dibangun untuk mencegah potensi banjir.
Mitigasi bencana pada dasarnya merupakan upaya yang mencakup kebutuhan,
meliputi:
a) Rumah darurat khususnya pada kasus bencana banjir.
b) Penyediaan pendukung hidup sehari-hari seperti air yang a man untuk dikonsumsi.
c) Perbaikan darurat terhadap hun ian, ketersediaan air dan infrastruktur sanitasi.
d) Early warning system untuk mengidentifikasi dampak pada kesehatan dan
mendeteksi penyakit tertentu yang mungkin muncul seperti malaria, dan kolera.
Tujuan mitigasi bencana adalah menciptakan kondisi ekonomi yang aman, lingkungan
sosial yang stabil, pembangunan yang lebih baik, dan komunitas yang lebih sadar
lingkungan sehingga dapat terhindar dari situasi yang mengancam. Beberapa alat yang
digunakan untuk mereduksi dampak bencana, antara lain:
a) ldentifikasi dan pemetaan bahaya bencana.
b) Aplikasi desain dan konstruksi.
c) Rencana tata guna lahan.
d) lnsentif keuangan.
e) Asuransi.
f) Kontrol struktural.
ldentifikasi risiko bencana suatu kawasan ditujukan untuk mereduksi ancaman dan
memperkecil dampak bencana. Ketika satu zona daerah telah diidentifikasi, program
pembangunan daerah pedesaan yang komprehensif dan terintegrasi harus segera
dilakukan, antara lain mencakup:
a) Pengembangan pertanian dan memodifikasi pola tanam dan pengenalan jenis
benih tanaman yang resistan terhadap dampak bencana.
b) Manajemen lahan termasuk pengembangan lahan dan pola serta lahan
penyimpanan makanan dan proteksi terhadap tamanan semak atau vegetasi
tertentu.
c) Sumber air yang dibangun dengan meningkatkan kualitas irigasi dan fasilitas
penampungan/penyimpanan air, perlindungan terhadap permukaan air dari
penguapan, introduksi terhadap sistem irigasi, dan metode penyimpanan air,
seperti dam retensi dan subpermukaan dam.
d) Aktivitas kawin silang ternak termasuk pada jenis ternak yang lebih kecil, serta
mereduksi jumlah ternak yang tidak produktif serta meningkatkan kualitas dan
produktivitas ternak melalui praktik kawin silang.
Rencana tata guna lahan merupakan sebuah pendekatan mitigasi bencana.
Pengendalian tata guna lahan sama halnya dengan penerapan regulasi zonasi lahan
pada suatu daerah yang diadopsi oleh pemerintah setempat. Kontrol terhadap pola
pembangunan daerah dapat dengan turut mengatur beberapa hal berikut:
a) Jumlah ternak pada setiap unit area.
b) Kepadatan penduduk maksimum.
c) Batas jumlah air yang dapat diambil dari sumber air milik publik yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan pertanian atau industri.
d) Mekanisme yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mendeklarasikansituasi
darurat.

Pusot Litbong Sumber Da)O Air 9


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra!NDn Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
s. Asesmen terhadap Kebutuhan Lokal Pasca Bencana
Periode pasca bencana membutuhkan asesmen yang menyediakan informasi yang
dibutuhkan untuk memasuki masa atau tahap recovery. Langkah pertama yang harus
dilakukan adalah asesmen terhadap kapasitas lokal dan tingkat
kerawanan/kerentanan daerah termasuk pada aspek fisik, kondisi sosial serta perilaku
penduduk dan motivasi setempat untuk pulih. Komunikasi harus dibangun antar
warga yang terkena dampak bencana dengan lembaga daerah. Jenis kebutuhan antar
lain dapat dijaring dengan mengunjungi daerah setempat dan melakukan wawancara
dengan kelompok warga serta dengan menyelenggarakan asesmen kesehatan secara
cepat melalui metode survei. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan saat
melakukan asesmen dalam konteks kesehatan, antara lain:

a) Memaksimalkan kegunaan dari pengawasan sebelum bencana sebagai data awal


berupa informasi fisik dan nonfisik kawasan dan untuk memodifikasi kondisi
setempat agar resistan terhadap bencana.
b) Koordinasi upaya setelah bencana dengan aktivitas pengawasan normal,
khususnya pada sektor kesehatan.
c) Menghindari duplikasi upaya.
d) Familiar dengan epidemi dari berbagai penyakit di bawah pengawasan otoritas
kesehatan nasional.
e) Memperkuat sistem pelaporan.
f) Memperkuat sistem dokumentasi pada level pusat di rumah sakit maupun klinik
pada level menengah.

6. Manajemen Kesehatan Llngkungan


Dampak bencana tidak hanya mengakibatkan kerugian pada dimensi manusia namun
juga pada lingkungan alami setempat. Kondisi lingkungan dapat memperparah
dampak bencana dan sebaliknya. Aktivitas perambahan hutan secara liar serta praktik
eksplorasi alam yang mencakup sistem hutan dan pertanian akan meningkatkan
dampak negatif bencana. Penekanan dan perkuatan terhadap pertimbangan
lingkungan telah menjadi prioritas utama dalam manajemen sumber daya alam
sebagai alat untuk mencegah besarnya dampak bencana yang dapat diakibatkan.
Pemahaman komprehensif yang berdampingan dengan proses evaluasi lingkungan
serta risiko dapat memberi kontribusi dalam mereduksi risiko dan dampak bencana.

2.3. Manajemen Risiko Bencana


Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa bencana memberikan dampak kerugian, baik
terhadap kehidupan manusia maupun lingkungan. Dampak kerugian akibat bencana tersebut
merupakan risiko bencana. Dengan demikian risiko bencana adalah setiap kerusakan,
kehilangan, dan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana, baik langsung maupun tidak
langsung, dapat berupa kerugian materiil dan imateriil.

Pendekatan yang umum dalam manajemen risiko bencana dapat dilakukan dengan 2 cara
(Oosterberg, 2005), yaitu mengendalikan sumber bencana (disaster probability) dan
meminimalkan komponen terdampak (potential damage). Upaya untuk mengendalikan sumber
bencana dilakukan dengan mengurangi probabilitas terjadinya bencana (disaster probability).
Sementara upaya untuk meminimalkan komponen terdampak dilakukan dengan mengurangi
potensi kerusakan atau kerugian (potential damage).

Pendekatan lain dalam manajemen risiko bencana digunakan oleh Kron (2002). Dalam
pendekatan tersebut, Kron menguraikan risiko bencana sebagai interaksi tiga faktor yang sa ling
Pusat Litbang Sumber Da).(l Air 10
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
mempengaruhi, yaitu ancaman (hazard), keterpaparan (exposure) dan kerentanan
(vulnerability). Menurut Kron, ketiga faktor ini dapat dikonversikan menjadi tiga upaya utama
pengurangan risiko bencana:
Pengurangan faktor bahaya (hazard) merujuk pada strategi "keep disaster away from
people",
Pengurangan faktor kerentanan (vulnerability) merujuk pada strategi "prepare people for
disaster", dan
Pengurangan faktor keterpaparan (exposure) merujuk pada strategi "keep people away
from disaster".

Hampir serupa dengan Kron, BNPB dalam lndeks Risiko Bencana lndonsia Tahun 2013
menjabarkan risiko bencana (risk) sebagai fungsi dari tiga parameter, yaitu ancaman (hazard),
kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity) yang diformulakan sebagai berikut:
Risk= Hazard x {Vulnerability/Capacity)

Ancaman (hazard) merupakan rata-rata dari tingkat bahaya yang dinilai berdasarkan data
frekuensi dan magnitude dari bencana alam, seperti banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, dan
bencana lainnya. Frekuensi dalam hal ini menggambarkan probabilitas atau peluang dari
kejadian bencana, semakin tinggi frekuensinya maka semakin besar peluang terjadinya
bencana. Sementara magnitude merepresentasikan skala bencana yang berbanding lurus
dengan dampak kerusakan atau kerugian dari bencana sehingga semakin besar magnitude
suatu bencana, maka dampak yang ditimbulkan akan semakin besar juga.
Kerentanan (vulnerability) mewakili kondisi sosial budaya, ekonomi, fisik dan lingkungan suatu
kawasan rawan bencana yang memberikan peluang timbulnya kerugian dan/atau kerusakan
apabila terjadi bencana. Sementara kapasitas (capacity) merepresentasikan aspek-aspek dalam
suatu kawasan rawan bencana yang dapat meminimalkan atau mencegah dampak kejadian
bencana yang dapat merugikan kawasan tersebut, seperti kondisi regulasi, kelembagaan,
sistem peringatan, pendidikan pelatihan dan keterampilan, serta mitigasi dan kesiapsiagaan.
Apabila melihat definisi kerentanan dan kapasitas, keduanya merupakan parameter yang tidak
dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi, bahkan dalam beberapa pendekatan keduanya
dijadikan sebagai satu parameter sebagai tingkat kerawanan.
Tingkat kerawanan terhadap bencana dapat diasosiasikan dengan tingkat potensi kehilangan
suatu daerah akibat adanya ancaman bahaya dengan tingkat intensitas tertentu. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya tingkat kerawananterhadap bencana adalah demografi
kependudukan, usia, kemampuan lingkungan lokal dalam beradaptasi/untuk cepat pulih,
teknologi lokal, perbedaan sosial, serta keanekaragaman dalam ekonomi dan politik pada skala
regional maupun global. Beberapa hal yang dapat memicu meningkatnya tingkat kerawanan
suatu daerah terhadap risiko bencana, antara lain:
1. Kemiskinan
Secara virtual, setiap kajian bencana membuktikan bahwa populasi terkaya dari suatu
komunitas masyarakat yang terkena dampak bencana cenderung mampu bertahan
dari dampak bencana bahkan seolah tidak terkena dampak bencana secara langsung
dan cepat mengalami kepulihan.
2. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk yang semakin meningkat, tetapi memiliki sumber daya yang minim
dan terbatas akan mengarah pada lahirnya konflik yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya migrasi.
Pus at Litbang Sumber Da).O Air 11
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Bencona Sedimen :
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
3. Urbanisasi yang Cepat
Kompetisi dalam meraih sumber daya yang semakin sedikit a kan mengundang
konsekuensi yang tidak diharapkan dan mengarah pada bencana yang disebabkan
oleh aktivitas manusia (human made disasters) .
4. Transisi dalam Praktik Kebudayaan
Komunitas masyarakat cenderung berubah dan senantiasa berubah (bersifat dinamis) .
Perubahan tersebut seringkali bersifat mengganggu secara ekstrem dan melahirkan
jurang yang Iebar antara mekanisme budaya dengan teknologi. Konflik termasuk
praktik kebudayaan yang mengalami transisi akan mengarah pada konflik publik yang
berujung pada tindakan kekerasan.
5. Degradasi Lingkungan
Perambahan hutan akan mengakibatkan aliran air hujan semakin cepat mengalir dan
mengundang bencana banjir pada daerah yang dilaluinya.
6. Rendahnya Kewaspadaan dan lnformasi
Bencana dapat terjadi karena warga setempat tidak memiliki pengetahuan yang
memadai untuk mengatasi dampak bencana atau untuk melindungi diri.
7. Peperangan dan Pemberontakan Publik
Mengakibatkan faktor-faktor yang dapat mengarah pada peristiwa bencana baru yang
lebih besar dan berdampak luas.

kerentanan ancaman

BENCANA
..------ - --------......
I penyebab: tekanan:
f kejadlan penllcu \
kemiskinan, akses ketiadaan dari institusi kondlsltldak aman:
lokal, pendidikan, llngj<ungan flsik yang gempa bumi
terbatas terhadap
training, keahlian yang rapuh: lokasi angin ribut,
struktur kekuasaan
sesuai, investasi lokal, berbahaya, bangunan banjir,
dan sumber daya, berbahaya
pasar . lokal, layanan longsor,
ideologi, sistem
daerah, kebebasan press erupsi gunungapi,
ekonoml, usia, jenis kondlsi ekonomi yang kekeringan,
keiamin dan lernah: tingkat
Kekuatan makro:
peperangan,
penyakit/ pendapatan yang
penyebaran penduduk, rendah, lingj<ungan
krisis ekonomi,
kelumpuhan
urban isasi dan degradasi yang berlsikotindakan keoela kaan teknologi
lingkungan publik

Sumber: USAID, 2006 diskemakan ulang


Gambar 2.2. Hubungan Antara Kerentanan Daerah dan Pemicunya Dalam Kebencanaan
Model penilaian kerentanan suatu kawasan terhadap bencanadapat dikelompokkan menjad i 5
(lima) jenis kerentanan, yaitu (http://blog.umy.ac.id/restufaizah/important-parameter-in-
vulnerability/ ):

1. Kerentanan fisik (physical vulnerability), menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan


fisik lingkungan, baik alami maupun artifisial di suatu daerah yang rawan/rentan terhadap
faktor bahaya (hazard)tertentu . Kerapuhan fisik alami dapat berupa morfologi kawasan
atau kedekatan kawasan yang menyebabkannya berpotensi terdampak oleh bencana .
Sedangkan kerapuhan fisik artifisial disebabkan oleh kondisi bangunan dan infrastruktur
pada kawasan bencana yang tidak resistan terhadap bencana .

Pusat Litbang Sumber Daya Air 12


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen :
Teknalogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
2. Kerentanan sosial (social vulnerability), menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial
dalam menghadapi bahaya . Pada kondisi sosial yang rentan, maka jika terjadi bencana
dapat dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa parameter
kerentanan sosial, antara lainkepadatan penduduk, pendidikan, mental, pengalaman dan
keahlian/keterampilan, kemiskinan, serta jaringan kerja sama.
3. Kerentanan ekonomi (economical vulnerability), menggambarkan suatu kondisi tingkat
kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya . Kemampuan ekonomi suatu
individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman
bahaya . Sebagai contoh adalah masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu
lebih rentan terhadap bahayakarena tidak mempunyai kemampuan finansial yang
memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
4. Kerentanan kultural (cultural vulnerability), menggambarkan suatu kondisi tingkat
kerapuhan budaya dalam menghadapi ancaman bahaya. Kondisi kultural yang rentan akan
menghambat suatu komunitas untuk mampu bertahan ataupun pulih dari dampak
bencana. Kerentanan kultural dapat berupa adat istiadat dan mental spiritual.
5. Kerentanan lingkungan (environmental vulnerability), menggambarkan kondisi lingkungan
hidup masyarakat yang dapat mempengaruhi kerentanan. Kondisi geografis dan geologis
suatu wilayah serta data statistik kebencanaan merupakan indikator kerentanan.

2.4. Tlnjauan Khusus terhadap Bencana Gunungapi (Vulkanik)


2.4.1. Pengertian Bencana Gunungapi (Vulkanik)
Sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa wilayah Indonesia secara alami
merupakan kawasan yang rentan bencana gunungapi karena berada pada jalur gunungapi aktif
dunia. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia sesungguhnya telah lama akrab dengan fenomena
erupsi gunungapi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kebudayaan kuno yang justru
berkembang ataupun berpusat di sekitar gunungapi, seperti Kerajaan Mataram dan Kerajaan
Kediri, terbukti beberapa situs kerajaan tersebut ditemukan di sekitar kawasan gunungapi.

Sumber: http://livingvolcanically.blogspot.com/2010/10/boro-by-morning.html
Gambar 2.3 Candi Borobudur dengan Latar Gunungapi Merapi

Pusat Litbang Sumber Da)!D Air 13


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawon Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Gunungapi merupakan lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya
cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi (www.esdm.go.id). Dari
perspektif proses pembentukannya, gunungapi atau volcano didefinisikan sebagai suatu
pegunungan atau gunung yang dibentuk oleh akumulasi material-material bahan erupsi dan
atau lelehan yang keluar dari dalam bumi melalui suatu pipa atau
vent(www.esdm.go.id).Bencana gunungapi adalah bencana alam yangdisebabkan oleh erupsi
gunungapi yangmengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda serta dampak psikologis sehingga mengancam danmengganggu kehidupan dan
penghidupanmasyarakat (SNI13-4689-1998).
Bencanagunungapi dapat berupa bencana primer atau langsung dan bencana sekunder atau
tidak langsung. Bencana primer akibat letusan gunungapi, antara lain
(http://rovicky.wordpress.com):

1. Leleran lava adalah aliran lava cair bersuhu tinggi hingga 1200"C dengan kecepatan
mencapai 30 km/jam atau lebih dalam keadaan cair (tidak mengental), bahkan pada
kemiringan lereng yang landai.
2. Aliran piroklastik adalah luncuran atau pergerakan blok lava bersuhu tinggi antara 1oo·c-
10oo·c diikuti oleh fragmen-fragmen kecillainnya yang menuruni lereng gunung dengan
kecepatan mencapai 150 km/jam- 250 km/jam.
3. Jatuhan piroklastik atau yang biasa diketahui sebagai hujan abu terjadi dari erupsi
gunungapi yang membentuk tiang asap cukup tinggi, ketika energi lontarannya habis,
maka akan jatuh ke permukaan bumi dan menyebar yang dipengaruhi oleh arah angin.
Hujan abu tidak hanya berbahaya bagi kesehatan manusia, tetapi juga bagi tanaman dan
bangunan rumah maupun aktivitas penerbangan.
4. Lahar hujan letusan terjadi pada gunungapi yang memiliki kawah yang akan
memuntahkan lumpur panas dari dalam kawah ketika erupsi terjadi.
5. Gas wlkanik beracun biasanya terjadi pada gunungapi dengan status aktif yang dapat
berupa gas CO, CO:z, HCN, H2S, 50 2 serta gas beracun lainnya dan apabila melebihi batas
ambang yang diperbolehkan dapat membahayakan manusia dan tanaman di sekitarnya.
Bencana sekunder dapat berupa aliranlahar hujan atau yang biasa disebut banjir lahar hujan,
banjir bandang maupun longsor vulkanik. Banjir lahar hujan terjadi apabila endapan material
lepas hasil erupsi gunungapi yang diendapkan di puncak dan lereng terangkut oleh hujan atau
aliran permukaanmenuruni alur lembah dan sungai di wilayah gunungapi.Banjir bandang dalam
hal ini merupakan banjir yang terjadi akibat longsoran material letusan lama pada lereng
gunungapi yang juga dipicu oleh curah hujan yang cukup tinggi sehingga membuat endapan
material lama longsor atau runtuh secara bersamaan dalam jumlah besar. Berbeda halnya
dengan bencana sekunder lainnya, longsor vulkanik biasanya tidak dipertimbangkan dalam
peta kawasan rawan bencana karena jarang terjadi, umumnya dipicu oleh getaran letusan
gunungapi yang cukup hebat, eksplosi uap air, dan alterasi batuan pada tubuh gunungapi
sehingga menjadi rapuh atau terkena gempabumi berintensitas kuat.

2.4.2. Karakteristik Bencana Gunungapi dan Bahaya Bencana Sedimen


Dari ketiga bencana sekunder yang telah dijelaskan sebelumnya, yang sering menjadi ancaman
penduduk sekitar daerah vulkanik adalah banjir lahar hujan.Banjir lahar hujan terjadi karena
adanya material hasilletusan yang terdeposisi di lereng-lereng gunungapi dan terangkut oleh
aliran permukaan akibat hujan dengan intensitas tertentu. Banjir lahar hujan adalah salah satu
jenis aliran debris yang terjadi di daerah vulkanik. Aliran debris didefinisikan sebagai gerakan
secara gravitasi dari campuran sedimen dan air, bentuknya seperti bubur dimana volume

Pusat Litbang Sumber Da)IO Air 14


jauh lebih besar dari
volume air (Takahashi dalam
Sumaryono dkk, 2011). Aliran lahar
hujan demikian pada level tertentu
dapat dikategorikan sebagai
mudflow dengan karakteristik umum
berikut (Sabo Plan, 1983):

1. Konsentrasi material dasar


berkisar antara 30-40%
2. Berat Jems relatif tinggi,
3
yaitu1,8-2,2 ton/m sehingga
energinya besar, khususnya gaya
Sumber: http://sains.kompas.com/read/2010/11/30
impak oleh boulders.
/22542459/Banjir.Lahar.Dingin.Lebih%20dari.Setahun
3. Kecepatan tinggi, yaitu antara 10- Gambar 2.4 Kejadian Banjir Lahar Hujan
20 m/detik dan arah aliran lurus,
sehingga terkadang dapat terjadi ali ran keluar dari alur sungai pada daerah kelokan.

Sebagai konsekuensi dari karakteristik tersebut, aliran banjir lahar hujan memiliki daya rusak
yang tinggi karena memiliki kecepatan tinggi sehingga sulit dikendalikan atau diarahkan. Arah
alirannya dapat meloncat keluar dari alur karena energinya yang tinggi dan dapat membawa
material boulders.

Banjir lahar hujan dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai akibat endapan material
yang dibawa aliran, seperti pendangkalan (degradasi) atau kenaikan elevasi dasar sungai
(agradasi). Hal ini berbahaya karenamengakibatkan kapasitas tampung palung sungai
berkurang sehingga apabila terjadi banjirlahar hujan, besar kemungkinan akan terjadi limpasan
pada titik dimana sungainya menjadidangkal atau bahkan terjadi perubahan arah aliran sungai.
Terjadinya perubahan arah alur sungai tersebut, menyebabkan daerah yang semula dianggap
aman oleh masyarakat menjadi daerah yangberbahaya . Contoh kasus adalah perubahan arah
aliran banjir Kali Putih di Desa Jumoyo, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang pasca erupsi
Merapi tahun 2010 (dapat dilihat pad a Gam bar 2.5) .

-. : arah limpasan
: normal

Sumber: seribubintang.com
Gambar 2.5 Daerah Limpasan Banjir Lahar Hujan di K. Putih di Desa Jumoyo

Pusat Litbang Sumber Dayo Air 15


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Daya rusak banjir lahar hujan juga dapat mengakibatkan kerusakan infrastruktur, seperti jalan,
jembatan, dan bangunan air yang ada di sungai maupun yang melintang di atasnya . Salah satu
contoh adalah Jembatan di Tlatar yang melintasi Kali Pabelan. Gambar 2.6 menunjukan proses
keruntuhan Jembatan Tlatar akibat banjir lahar hujan yang menggerus dasar sungai di hilir
sehingga mengakibatkan keruntuhan groundsi/1 di hilir jembatan yang kemudian disusul
dengan keruntuhan Jembatan Tlatar.

Sumber: Mitigasi Bencana Merapi, 2011


Gambar 2.6 Runtuhnya Jembatan Tlatar di Kali Pabelan akibat Banjir Lahar hujan

Dampak banjir lahar hujan juga dapat melanda permukiman, khususnya permukiman yang
berada pada daerah lembah atau bantaran sungai, maupun permukiman yang berada cukup
dekat dengan tebing sungai. Gambar 2.7 menampilkan beberapa ilustrasi dampak bencana
aliran lahar hujan terhadap permukiman penduduk.

Ba/ai Sabo, 2011


Gambar 2.7(a) Kerusakan Rumah Penduduk di Tepi Kali Pabelan (Kiri);
(b) Reruntuhan Rumah yang Terkena Dampak Longsor Tebing di Kali Pabelan (Kanan)

Menurut Maruyama et al. (1980} ada beberapa kondisi geomorfologi tertentu yang perlu
mendapat perhatian terkait dampak lahar hujan hujan, yaitu :

a) Pada titik dimana gradien atau kemiringan lereng tiba-tiba menjadi landai.
b) Tempat dimana lembah lahar hujan memotong lembah sungai lama.
c) Pada titik dasar sungai yang mendadak landai.

Pusat Litbang Sumber Daya Air 16


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
d) Tern pat dimana terdapat teras dalam lembah lahar hujan.
e) Pada lembah lahar hujan/lembah sungai yang mendadak menyempit dan dangkal.
f) Lembah sungai membelok dengan tajam.
Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang rentan terkena dampak banjir lahar hujan
yang perlu mendapat pengamanan ataupun antisipasi dengan pengaturan pemanfaatannya.
Oleh sebab itu, titik-titik rentan ini perlu diidentifikasi sebagai lokasi prioritas untuk penguatan
terhadap kerentanan banjir lahar hujan.

2.5. Penataan Ruang Kawasan Resistan terhadap Bencana Vulkanik

2.5.1. Pengertian
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
dinyatakan bahwa ruang secara terminologi adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang
lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan Tata
Ruang diartikan sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan
maupun tidak.
Terdapat dua unsur dalam Tata Ruang, yaitu struktur dan pola ruang. Struktur ruang adalah
susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Sementara pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya. Tata ruang dapat direncanakan, tetapi juga dapat terbentuk secara
alami karena pertumbuhan dan perkembangan kebutuhan masyarakat ataupun karena
aktivitas alam. Tata ruang wilayah Indonesia saat ini, dapat dikatakan belum sepenuhnya
melalui proses penataan ruang.
Sedangkan pengertian dari penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam konteks daerah maupun
nasional di Indonesia, upaya penataan ruang belum berjalan secara optimal, khususnya dalam
hal pengendalian pemanfaatan ruang. Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
dimiliki oleh setiap daerah perlu ditinjau kembali karena belum dapat memecahkan
permasalahan ruang secara komprehensif, misalnya dalam hal memprediksi dan membendung
laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat. Tata ruang wilayah yang tidak terencana,
rawan terhadap munculnya konflik ruang yang umumnya terjadi akibat dari benturan antara
dua atau lebih aktivitas pemanfaatan atau kepentingan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu
upaya penataan ruang untuk mengatur dan mengakomodir aktivitas-aktivitas dalam suatu
ruang wilayah, khususnya wilayah yang rawan terhadap bencana alam. Selain yang berkaitan
dengan potensi konflik, tata ruang suatu wilayah harus pula mempertimbangkan potensi
bencana alam sehingga terwujud tata ruang yang resistan terhadap bencana.

2.5.2. Aspek Penataan Ruang Kawasan Reslstan terhadap Bencana Gunungapi


Dalam kasus wilayah dengan potensi bencana alam vulkanik, hal yang harus diperhitungkan
dalam tata ruang, antara lain:
a) Menetapkan dan mengklasifikasikan kawasan rawan bencana berdasarkan tingkat risiko
bencananya.

Pusat Litbang SUmber Daya Air 17


Naskoh 1/mioh Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
b) Mempertimbangkan pemanfaatan kawasan berdasarkan tingkat risiko bencana. Prinsip
dari tata ruang yang resistan terhadap bencana alam adalah pembagian kawasan
sedemikian rupa sehingga meminimkan risiko bencana yang terjadi.
Penentuan tingkat risiko bencana untuk daerah dengan potensi bencana vulkanik diatur dalam
SNI 13-4689-1998 tentang Penyusunan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi. Standar
meliputiketentuan umum dan tatacarapenyusunan Peta KawasanRawan Bencana
Gunungapidalam skala tertentu sesuaicakupan wilayahgunungapinya.Peta Kawasan Rawan
Bencana Gunungapi harus menjelaskan beberapa informasi berikut:
a) Jenis dan sifat bahaya gunungapi.
b) Daerah rawan bencana.
c) Memuat arah/jalur penyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan fasilitas umum lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan kawasan rawan bencana gunungapi adalah kawasan yang
pernah terlanda atau diidentifikasikanberpotensi terancam bahaya erupsi gunungapi,
baiksecara langsung (bencana primer) maupun tidak langsung (bencana sekunder). Kawasan
Rawan Bencana Gunungapidinyatakan dalam urut-urutan angkadari tingkat kerawanan rendah
ketingkat kerawanan tinggi, yaitu:
a) Kawasan Rawan Bencana I,
b) Kawasan Rawan Bencana II, dan
c) Kawasan Rawan Bencana Ill.
Kawasan Rawan Bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar hujan, tertimpa
material jatuhan berupa hujan abu, dan/atau air dengan keasaman tinggi. Apabila letusan
membesar, kawasan ini berpotensi terlanda perluasan awan panas dan tertimpa material
jatuhan berupa hujan abu lebat serta lontaran batu (pijar). Kawasan Rawan Bencana II adalah
kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, lontaran batu (pijar) dan/atau
guguran lava, hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran lahar hujan, dan gas beracun.
Kawasan Rawan Bencana Ill adalah kawasan yang sangat berpotensi terlanda awan panas,
aliran lava, guguran lava, lontaran batu (pijar), dan/atau gas beracun.

2.5.3. Prinsip Penataan Ruang Kawasan Resistan terhadap Bencana Gunungapi


Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai
satukesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan
sertamemelihara kelangsungan hidupnya (UU No. 26 lahun 2007). Sedangkan lata Ruang
adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupuntidak. Dalam
hal ini ada dua unsur dalam lata Ruang, yaitu struktur dan pola ruang. Struktur ruang adalah
susunan pusat-pusat permukimandan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsisebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yangsecara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Sementara pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam
suatuwilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsilindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya.
lata ruang dapat direncanakan, tetapi juga dapat terbentuk secara alami karena pertumbuhan
dan perkembangan kebutuhan masyarakat ataupun karena aktivitas alam.lata ruang wilayah
Indonesia saat ini, dapat dikatakan belum sepenuhnya melalui proses penataan
ruang.Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalianpemanfaatan ruang. Selama ini upaya penataan ruang belum benar-benar
berjalan, khususnya yang terkait pengendalian pemanfaatan ruang. Meskipun sudah disusun
RlRW, baik untuk level nasional hingga lokal, namun dalam kenyataannya tidak dapat
Pusat Litbang Sumber Da)IO Air 18
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNtln Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataon Ruang di Kawasan Merapi
membendung laju pertumbuhan penduduk yang demikian cepat. Tata ruang wilayah yang tidak
terencana, rawan terhadap 'konflik ruang". Konflik ruang ini terjadi akibat benturan antara dua
atau lebih aktivitas pemanfaatan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu upaya penataan ruang
untuk mengatur dan mengakomodir aktivitas-aktivitas dalam suatu ruang wilayah, khususnya
wilayah yang rawan terhadap bencana a lam.
Tata ruang suatu wilayah harus mempertimbangkan potensi bencana alam yang ada di wilayah
tersebut sehingga terwujud tata ruang yang resistan terhadap bencana. Dalam kasus wilayah
dengan potensi bencana alam vulkanik, hal yang harus diperhitungkan dalam tata ruang adalah
menetapkan dan mengklasifikasikan kawasan rawan bencana berdasarkan tingkat risiko
bencananya, serta mempertimbangkan pemanfaatan kawasan berdasarkan tingkat risiko
tersebut. Prinsip dari tata ruang yang resistan terhadap bencana alam adalah pembagian
kawasan sedemikian rupa sehingga meminimkan risiko bencana yang terjadi.
Dalam suatu rencana tata ruang perlu diperhatikan jenjang perencanaan ruang. UU No. 26
Tahun 2007 menyebutkan penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi,
dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
Adanya jenjang ini dimaksudkan untuk menentukan tingkat ketelitian peta rencana tata ruang.
Menurut Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang,
ketelitian peta adalah ketepatan, kerincian dan kelengkapan data, dan/atau informasi
georeferensi dan tematik, sehingga merupakan penggabungan dari sistem referensi geometris,
skala, akurasi, atau kerincian basis data, format penyimpanan secara digital termasuk kode
unsur, penyajian kartografis mencakup simbol, warna, arsiran dan notasi, serta kelengkapan
muatan peta. Untuk perencanaan umum tata ruang ketentuan ketelitian peta adalah sebagai
berikut:
1. Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
• Sistem referensi geospasial ditetapkan Kepala Badan.
• Peta dasar skala minimall:SOO.OOO.
• Unit pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
2. Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
• Sistem referensi geospasial ditetapkan Kepala Badan.
• Peta dasar skala minimal1:250.000.
• Unit pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
• Sebagai pelengkap, yaitu data batimetri karena wilayah provinsi memiliki pesisir dan
laut.
• Wilayah provinsi digambarkan dengan wilayah yang berbatas langsung dalam koridor
5 km sepanjang garis perbatasan.
3. Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
• Sistem referensi geospasial ditetapkan Kepala Badan.
• Peta dasar skala minimall:SO.OOO.
• Unit pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
4. Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
• Sistem referensi geospasial ditetapkan Kepala Badan.
• Peta dasar skala minimal1:25.000.
• Unit pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.
Sementara untuk perencanaan rinci tata ruang ketentuan ketelitian diatur sebagai berikut:
1. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, Provinsi, Kabupaten, dan Kota
• Skala peta sesuai dengan bentang objek dan/atau sesuai kebutuhan, wajib
dikonsultasikan kepada Kepala Badan.
Pusat Litbang Sumber Da)Cl Air 19
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencona Sedimen:
Teknologi Saba sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
• Penyusunan peta dilakukan dari penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis
wilayahnya dalam Rencana Tata Ruang Wilayahnya.
2. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota
• Skala peta sesuai dengan bentang objek atau kawasan dan/atau tingkat kepentingan
objek atau kawasan yang digambarkan, wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.
3. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
• Skala peta yaitu 1:10.000 untuk satu wilayah dan 1:50.000 untuk dua wilayah atau
lebih dalam satu provinsi.
4. Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan
• Skala peta yaitu 1:10.000 untuk satu wilayah dan 1:50.000 untuk dua wilayah atau
lebih dalam satu kabupaten.
Rencana tata ruang kawasan rawan bencana gunungapi biasanya mencakup wilayah yang
cukup luas, meliputi beberapa kabupaten, bahkan terkadang lintas provinsi. Sebagai contoh
Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi, yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah
dan 0.1. Yogyakarta, serta meliputi empat kabupaten, yaitu Kab. Sleman, Kab. Klaten, Kab.
Boyolali, dan Kab. Magelang. Oleh sebab itu, merujuk aturan yang berlaku di atas, untuk
rencana umum tata ruang pada kawasan gunungapi digunakan peta rencana tata ruang
provinsi atau kabupaten yang memiliki skala minimal1:50.000.
Dalam menyusun peta zonasi rawan bencana gunungapi mengacu pada perencanaan umum
tata ruang provinsi atau kabupaten sebagai dasar untuk menyelaraskan perencanaan ruang
pada kawasan tersebut. Namun, untuk perencanaan rind tata ruang kawasan rawan bencana
minimal digunakan data detail hasil survey lapangan karena dalam peta tersebut harus jelas
memuat sistem jaringan evakuasi yang terdiri dari jalur evakuasi, titik kumpul, tempat evakuasi
sementara (TES), tempat evakuasi akhir (TEA), dan fasilitas evakuasi lainnya.

2.6. Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendall BanJr Lahar hujan


Pengendalian aliran sedimen, khususnya untuk aliran banjir lahar hujan, yang sudah diaplikasi
pada daerah-daerah vulkanikdi Indonesia adalah Teknologi Sabo. Teknologi Sabo pertama kali
diperkenalkan padatahun 1970 di daerah gunungapi untuk penanganan aliran lahar hujan,
seperti di kawasan Gunungapi Merapi, Kelud, Semeru, Agung, dan Galunggung. Namun
demikian, sebenarnyakonsepsi pengelolaan gerakan sedimen sudah diaplikasikan di Indonesia
sejak zamanPemerintahan Belanda yang ditandai dengan adanya bangunan berupa kantong
lahar hujan di SungaiWoro dengan nama Woro Drie Hoek atau Segitiga Woro yang dibangun
sekitar tahun 1930-an.Pada waktu terjadi letusan Gunungapi Merapi pada tahun 1930, Sungai
Woro mendapatkan aliranmaterial yang cukup banyak dan pada waktu terjadi banjir terjadilah
sebaran lahar hujan yangberbentuk kipas, sehingga perlu dibuat tanggul pembatas daerah
lahar hujan yang berbentuk segitiga. Namun pada saat itu, penanganan banjir lahar hujan
belum dilakukan secara komprehensif karena lebih bersifat penanganan lokal.
Pada saat ini, meskipun sudah lebih dari 40 tahun implementasi Teknologi Sabo di
lndonesia,konsep pengendalian aliran lahar hujan secara menyeluruh dari daerahhulu sungai
hingga daerah hilir belum banyak dipahami sebagai konsep yang sesungguhnya sangat berbasis
ramah lingkungan (environmental friendly). Dikatakan sebagai teknologi ramah lingkungan
karena konsep ini tidak hanya menggunakan pendekatan struktural atau bangunan fisik, namun
juga mengaplikasikan pendekatan nonstruktural, seperti pekerjaan vegetasi dan kontur
(vegetation and hillside works) pada daerah sumber sedimen dengan potensi longsor lereng.
Selain itu, konsep ini juga mengedepankan kesetimbangan angkutan sedimen hulu-hilir, hal ini
dibuktikan dengan adanya fungsi bangunan sabo yang menahan sementara sedimen berlebih
pada saat banjir dan mengalirkan sedimen tersebut ke hilir secara perlahan-lahan saat aliran

Pus at Litbong Sumber Da)-(1 Air 20


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawason Ra'WC1n Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
normal. Konsep ini tentunya tidak hanya mendukung keselamatan manusia, namun juga
kelangsungan suplai sedimen pada alur sungai untuk pemeliharaan lingkungan sungai.
Teknologi Sabo secara luas mempunyai arti penanggulangan bencana yang diakibatkan
pergerakan tanah atau sedimen yang dibawa oleh aliran air. Penanggulangan bencana sedimen
ini dilakukan dengan berbagai pendekatan, tergantung dari karakteristik pergerakan atau aliran
sedimen. Berdasarkan karakteristik pergerakan tanah atau sedimen, daerah pengendalian
dengan Teknologi Sabo dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Daerah sumber sedimen (productionarea).
2. Daerah transportasi sedimen (transportationarea).
3. Daerah pengendapan sedimen (sedimentationarea).
Daerah sumber sedimen merupakan wilayah dimana aliran sedimen atau debris (debris flow)
mulai terbentuk akibat bercampurnya material hasil erupsi oleh air hujan atau erosi lereng
yang cukup tinggi. Tindakan pengendalian yang perlu dilakukan, antara lain membuang
material debris yang tersedia, menstabilkan material hasil erosi tetap berada di posisinya ketika
curah hujan tinggi, membuat kemiringan dasar sungai curam (torrent river) lebih landai atau
stabil, serta menahan material hasil erosi dan menjaga elevasi dasar sungai dengan bangunan
sabo seri sebagai pengendali dasar sungai.
Daerah transportasi sedimen merupakan wilayah dimana aliran sedimen mengalir atau
bergerak turun melalui lembah dan sungai. Tindakan pengendalian yang perlu dilakukan,
antara lain mengkondisikan alur sungai mampu dilewati debit aliran sedimen tententu agar
tidak terjadi limpasan serta mempengaruhi pergerakan aliran sedimen dengan membuat
bangunn sabo yang mampu menampung, menahan, dan mengendalikan aliran sedimen.
Daerah pengendapan sedimen merupakan wilayah dimana aliran sedimen mulai berhenti,
menyebar, dan mengendap di alur sungai. Tindakan pengendalian yang perlu dilakukan, antara
lain membuat bangunan sabo yang memiliki kapasitas tampung memadai pada bagian hulunya
dan dilengkapi saluran kanal (channel works) pada bagian hilirnya untuk mengalirkan debit
rencana. Daerah pengendalian aliran debris berdasarkan kemiringan alur sungai dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel2.1 Pembagian Daerah Pengendalian Aliran Debris Berdasarkan Kemiringan Alur Sungai
Kemlringan Kategori Perilaku Aliran Debris
(Slope)
Daerah produksi Tingkat erosi sangat tinggi
dominasi (aliran debris terjadi)
Daerah produksi dan transpor Pergerakan material, erosi terjadi
namun lebih rendah (aliran
debris terjadi dan turun)
Daerah transpor dan Proses erosi dan pengendapan
pengendapan (aliran debris turun atau
mengendap)
Daerah pengendapan Mulai terjadi pengendapan
boulders (aliran debris
mengendap)
Daerah pengendapan dan Pengendapan material halus
perhentian hingga aliran berhenti (aliran
sedimen mengendap)
Sumber: Yunita, F. T, dan Gardiawan, G.R., 2012 dan Perencanaan Saba, 1985

Pusat Litbang Sumber DaJ!D Air 21


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Elemen Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Sumber: Balai Saba


Gambar 2.8 (a) Vegetation Works(b) Dam Tipe Terbuka (Slit Type)( c) Oprit Dam
(d) Kantong Lahar Hujan

Teknologi Sabo dalam implementasinya sangat beragam dan bergantung pada perilaku aliran
debris yang akan dikendalikan . Beberapa jenis Teknologi Sabo yang sudah berkembang luas,
yaitu :

1. Pekerjaan vegetasi (vegetation work), digunakan untuk mencegah terjadinya erosi lereng
atau tebing sungai dengan media tanaman .
2. Dam seri tingkat (stepped dam) merupakan bangunan sabo yang dibangun secara seri
pada daerah produksi sedimen dengan jarak berdekatan untuk menahan angkutan
sedimen yang cukup besar, memperkuat tebing sungai sehingga dapat mengurangi
produksi sedimen akibat erosi tebing, dan menahan longsoran tebing agar tidak mengalir
langsung ke hilir.
3. Checkdam dibangun untuk dapat menahan dan menampung angkutan sedimen pada
daerah produksi sedimen.
4. Consolidation dam dibangun untuk mengendalikan angkutan sedimen dan menstabilkan
alur sungai yang rentan mengalami proses perubahan dasar sungai, baik agradasi maupun
degradasi.
5. Kantong lahar hujan (sand pocket) untuk menahan, menampung, dan mengendalikan
angkutan sedimen.
6. Kanalisasi (channel works) merupakan saluran buatan yang dilengkapi degan perkuatan
tebing (revetment) dan ambang dasar (groundsi/1) untuk mencegah erosi dan sedimentasi
sepanjang saluran, mengatur arah aliran, mencegah produksi sedimen dari tebing sungai
akibat ali ran air, serta mengalirkan debit banjir ke hilir.
7. Groundsi//dibangun pada bagian hilir suatu bangunan sungai yang terancam atau sudah
rusak akibat gerusan (scouring) pada struktur fondasi bangunan atau tebing sungai runtuh

Pusat Litbang SUmber Daya Air 22


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
dan longsor akibat erosi di alur sungai maupun kombinasi antara peristiwa erosi dasar
sungai dan tebing sungai.
B. Tanggul (training dyke) dapat diaplikasikan pada seluruh daerah alur sungai karena
disesuaikan dengan kebutuhan fungsinya, terutama pada wilayah yang rawan bencana
sedimen untuk mengurangi kecepatan aliran sepanjang tebing sungai, tetapi
mempercepat aliran di tengah sungai dan membelokkan arah a Iiran ke tengah sungai.
Beberapa contoh implementasi Teknologi Sabo dapat dilihat pada Gambar 2.8 sedangkan
skema penanggulangan pergerakan atau aliran sedimen dari hulu ke hilir pada daerah vulkanik
dengan Teknologi Sabo dapat dilihat pad a Gam bar 2.9.

Sumber: Balai Saba


Gambar 2.9 Skema Penanggulangan Pengendalian Banjir Lahar hujan dengan Teknologi Sabo
Pengendalian banjir lahar hujan tidak hanya dapat dilakukan secara fisik dengan Teknologi
Sabo, tetapi juga secara nonfisik dengan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System).Sistem
Peringatan Dini merupakan sebuah rangkaian penyampaian informasi hasil prediksi suatu
ancaman kepada masyarakat, sebelum terjadinya sebuah peristiwa yang menimbulkan risiko
yang bertujan untuk memberikan peringatan agar penerima informasi dapat segera siap siaga
dan bertinda k sesuai kondisi, situasi, dan waktu yang tepat.Prinsip utama nya adalah
memberikan informasi yang cepat, akurat, tepat sasaran, mudah diterima, mudah dipahami,
terpercaya, dan berkelanjutan.
Beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam Sistem Peringatan Dini, yaitu :
1. Prediksi, harus dilakukan dengan ketepatan dan memerlukan pengalaman.
2. lnterpretasi, menerjemahkan hasil pengamatan.
3. Respon dan pengambilan keputusan, dilakukan oleh pihak yang bertanggungjawab dalam
pengambilan keputusan karena akan dapat mempengaruhi dampak yang timbul.

Pusat Litbang Sumber DayrJ Air 23


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencona Sedimen:
Teknologi Sobo sebogai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Salah satu fungsi Sistem Peringatan Dini adalah memberikan informasi kepada masyarakat
melalui sistem jaringan informasi yang telah terbentuk pada saat kondisi darurat atau siaga.
lnformasi yang harus disampaikan kepada masyarakat, antara lain:
1. Kondisi curah hujan maupun level air saat diumumkan dan prediksinya untuk beberapa
waktu berikutnya serta waktu pengumuman.
2. Perkiraan arah sumber datangnya bencana dan waktu terjadinya bencana.
3. Wilayah sasaran yang diprediksi berbahaya (secara terperinci) dan arah evakuasi (jika
terdapat instruksi evakuasi).
4. lnformasi lainnya yang diperlukan dan dianggap penting untuk disampaikan kepada
masyarakat.
Sistem Peringatan Dini dibuat dengan memperhatikan beberapa parameter atau indikator yang
disesuaikan dengan kondisi daerah setempat, antara lain:
1. Terjadi longsor di beberapa daerah yang dekat dengan hulu sungai.
2. Terjadi hujan berturut-turut selama beberapa hari.
3. lntensitas maupun akumulasi curah hujan yang telah melebihi kondisi normal.
4. Ketinggian air sungai telah melebihi batas normal.
Empat (4) unsur kunci Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) yang terpusat pada
masyarakat, yaitu (Pedoman Penyusunan Sistem Peringatan Dini dan Evakuasi Banjir Bandang):
1. Pengetahuan tentang Rlsiko (Pengamatan)
Pengetahuan tentang risiko bencana diperoleh dengan pengumpulan data yang
sistematis dan melakukan prakiraan serta asesmen risiko untuk menetapkan proses
standar mencakup beberapa hal berikut:
a) ldentifikasi bahaya alam/potensi bencana.
b) Analisis kerentanan masyarakat terhadap bencana.
c) Pendugaan/prakiraan terhadap risiko bencana.
d) Penyimpanan informasi dan aksesnya.
2. Pemantauan dan Layanan Peringatan Dini
Pemantauan bahaya dan layanan peringatan dini dibangun secara efektif dengan
dasar ilmiah dan teknologi yang memadai dan sistem komando tertentu mencakup
beberapa hal berikut:
a) Pengembangan sistem pemantauan.
b) Pembentukan sistem peringatan dan tim.
3. Penyebarluasan dan Komunlkasi
Pengembangkan sistem komunikasi serta penyebarluasan informasi risiko dan
peringatan dini dilakukan untuk memastikan masyarakat memperoleh peringatan
lebih dini dalam menghadapi peristiwa bencana alam dan memfasilitasi koordinasi
serta pertukaran informasi mencakup beberapa hal berikut:
a) Pemasangan sistem komunikasi dan peralatan yang efektif.
b) Pengenalan dan pemahaman pesan peringatan.
4. Kemampuan Respons (Tanggap Darurat)
Memperkuat kemampuan masyarakat dalam merespons bencana alam (reaksi
tanggap darurat) melalui pendidikan yang lebih baik tentang risiko bencana alam,

Pusat Litbang SUmber Daya Air 24


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiN'On Bena:ma Sedimen:
Teknologi Sabo sebagoi Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruong di Kawasan Merapi
partisipasi masyarakat, dan kesiapsiagaan menghadapl bencana mencakup beberapa
hal berikut:
a) Perhitungan terhadap peringatan.
b) Pembangunan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dan rencana respons .
c) Pendugaan/prakiraan dan penguatan terhadap kapasitas respon masyarakat.
d) Peningkatan kesadaran publik dan pendidikan .
Sistem Peringatan Dini dibuat sedemikian rupa dengan mempertimbangkan durasi/selang
waktu yang dibutuhkan pada saat gejala awal banjir lahar hujan terdeteksi sampai pada saat
diterimanya informasi/perintah evakuasi di masyarakat, mengingat selang waktu gejala awal
kedatangan banjir lahar hujan sampai terjadinya banjir lahar hujan dapat terjadi dalam waktu
yang sangat singkat. Untuk itu, diperlukan sistem, tim, masyarakat yang tanggap dan terlatih
agar sistem peringatan dini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Contoh sistem peringatan
dini dan evakuasi dapat dilihat pada Gam bar 2.10.

Sumber: Draft Pedoman Perulaton Sistem Peringatan Dini A/iran Debris di Daerah Vulkanik, 2014
Gambar 2.10 Contoh Sistem Peringatan Dini dan Evakuasi

Tujuan kegiatan simulasi, yaitu:


1. Mengetahui kemampuan peserta simulasi dalam memahami tata cara penyelamatan dan
pengungsian yang terkoordinasi dengan balk.
2. Mengetahui kemampuan peserta simulasi dalam mengerjakan hal-hal yang prioritas di saat
darurat.
3. Menguji efektivitas alur informasi dan komunikasi yang terbentuk diantara petugas yang
berwenang dengan masyarakat setempat saat terjadinya evakuasi banjir lahar hujan.
4. Menguji fungsi fasilitas tanda peringatan darurat dan sistem pemberitahuan lainnya saat
terjadi situasi tanggap darurat.
5. Mengetahui fasilitas apa saja yang masih harus diperbaiki atau dilengkapi, termasuk
fasilitas SAR.
6. Menegaskan kembali komitmen bersama untuk mengurangi risiko bencana banjir lahar
hujan.
Pus at Litbang SUmber Da)KI Air 25
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra"WCJn Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

2.7. Perundang-Undangan dan Regulasi Penataan Ruang Kawasan dalam Paradigma


Bencana
Berdasarkan Rencana Pembangunan Wilayah RPJPN 2005-2025 dan prioritas RPJMN 2010-
2014, arah pengembangan wilayah ditujukan untuk mendorong pengembangan dan
pemerataan pembangunan wilayah secara terpadu sebagai kesatuan kegiatan sosial, ekonomi,
dan budaya dengan memperhatikan potensi, karakteristik dan daya dukung lingkungannya;
menciptakankeseimbangan pemanfaatan ruang antara kawasan berfungsi lindung dan
budidaya dalam satu ekosistem pulau dan perairannya; menciptakan keseimbangan
pemanfaatan ruang wilayah darat, laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil dalam satu wilayah
kepulauan. Arah pembangunan ini sejalan dengan cita-cita Bangsa Indonesia yang diamanatkan
dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945, • ..• mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur.nDengan demikian, prinsip dasar arah pengembangan wilayah bertujuan untuk
mendorong terwujudnya kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan secara terpadu, adil, dan
merata di seluruh wilayah dengan memperhatikan keseimbangan, kondisi, dan kapasitas
lingkungannya.
Sebagai konsekuensi dari arah pengembangan wilayah yang mempertimbangkan
keseimbangan, kondisi, dan kapasitas lingkungannya, maka pengembangan wilayah menuntut
perencanaan wilayah yang juga berbasis kebencanaan dan lingkungan hidup. Salah satu modal
dasar pembangunan nasional adalah sumber daya alam, yang antara lain dalam bentuk potensi
pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, dan energi. Sementara itu, pertumbuhan
penduduk yang tinggi membuat daya dukung sumber daya alam untuk mendukung
kelangsungan hidup manusia semakin terbatas. Sensus Penduduk Indonesia pada tahun 2010
jumlah tersebut meningkat menjadi 237,6 juta jiwa (BPS) atau meningkat sebesar 61,08%
dalam kurun waktu 20 tahun. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali dapat
mengancam kelestarian ekosistem dan kelangsungan hidup manusia karena kapasitas sumber
daya alam sebagai penopang kehidupan terbatas. Kondisi yang tidak berimbang ini
menimbulkan berbagai permasalahan seperti konflik antar sektor, kemiskinan/kelaparan,
degradasi lahan, dan pencemaran lingkungan bahkan bencana alam.
Perencanaan wilayah atau ruang yang berbasis kebencanaan dan lingkungan hidup, secara
tegas dinyatakan dalam UU Rl No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pada bagian
menimbang butir (e) "bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republiklndonesia berada pada
kawasan rawan bencanasehingga diperlukan penataan ruang yang berbasismitigasi bencana
sebagai upaya meningkatkankeselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan." Hal
ini menjadi landasan utama yang mendorong kebijakan penataan ruang berbasis mitigasi
bencana. Sementara upaya peningkatan keselamatan tersebut ditujukan kepada aspek fisik
masyarakat dan kenyamanan diarahkan pada aspek rasa atau nonfisik dari kehidupan, yaitu
manusia dan penghidupan, yaitu lingkungannya. Jadi, dalam hal ini yang diamankan tidak
hanya manusianya, namun juga lingkungannya yang menjadi sumber penghidupan.
Penyelenggaraan penataan ruang ini menjadi kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
(UU No. 26/2007 Pasal 7). Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkepentingan dalam
penyusunan rencana tata ruang sebagai arahan pelaksanaan pembangunan agar tercipta
keterpaduan dan keserasian pembangunan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, dalam menyusun rencana tata ruang tersebut
tetapmenghormati hak yang dimiliki orang sesuai denganketentuan peraturan perundang-
undangan. Rencana tata ruang harus ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima)

Pusat Litbang Sumber Da)O Air 26


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
tahun pada kondisi tertentu, salah satunya yang berkaitan dengan bencana alam skala besar
dan peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang tersebut bukan untuk pemutihan
penyimpangan pemanfaatan ruang (UU No. 26/2007 Pasal20 dan 26).
Keterkaitan kekuatan penataan ruang dalam upaya penanggulangan bencana ini juga diuraikan
di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Pasal 35 disebutkan
bahwapenyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidakterjadi
bencanadilakukan,salah satunya dengan penegakan rencana tata ruang. Dalam hal ini rencana
tata ruang merupakan pendekatan mitigasi bencana yang bersifat preventif atau pencegahan.
Lebih jauh pada Pasal42 disebutkan bahwa penegakan rencana tata ruang tersebut, mencakup
pemberlakuan peraturan tentangtata ruang, standar keselamatan, dan penerapan
sanksiterhadap pelanggar.
Sementara dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, aspek penataan ruang dalam
penanggulangan bencana a lam yang disebabkan oleh daya rusak air memang belum disebutkan
secara spesifik. Namun, pada Pasal 59 disebutkan bahwa rencana pengelolaan sumber daya air
(SDA) merupakan salah satu unsur dalam penyusunan,peninjauan kembali, dan/atau
penyempurnaan rencana tata ruang wilayah, dimana rencana pengelolaan SDA tersebut
disusun untuk menghasilkan rencana yang salah satunya berfungsi sebagai pedoman dan
arahan dalam pelaksanaan pengendalian daya rusak air.
Peran rencana pengelolaan SDA sebagai salah satu unsur pendukung rencana tata ruang juga
ditegaskan kembali dalam PP No. 42 Tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, khususnya dalam
Pasal 39. Sementara dalam pengendalian daya rusak air, Pasal 85 menyebutkan ada tiga upaya,
yaitu pencegahan sebelum terjadi bencana, penanggulangan pada saat terjadi bencana,
danpemulihan akibat bencana. Pencegahan ini mencakup kegiatan fisik dan nonfisik, namun
kegiatan nonfisik lebih diutamakan, melalui pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian serta penyeimbangan hulu-hilir (Pasal 86). Aspek penataan ruang yang dapat
ditemui dalam kegiatan pengaturan,yaltu dengan penetapan kawasan rawan bencana. Selain
itu, juga dalam kegiatan pengawasan dan pengendalian, yang berupa pengawasan dan
pengendalian penggunaan lahan pada kawasan rawanbencana serta upaya pemindahan
penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana. Demikian juga upaya penyeimbangan
hulu-hilir ini diantaranya dilakukan dengan mekanismepenataan ruang.
Penataan ruang yang telah mempertimbangkan antislpasi terhadap kemungkinan bencana
akan dapat meminimalkan korban, baik harta benda maupun jiwa ketika bencana
terjadi.Pendekatan penataan ruang dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan pada
aspek-aspek penggunaan ruang yang berdasarkan pada perlindungan terhadap keseimbangan
ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat yang dilakukan secara harmonis,
yaitu dengan Permen PU No. 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan
Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi yang memuat beberapa hal
berikut:
a) Penilaian pada struktur dan pola ruang pada daerah rawan bencana sesuai dengan tipologi
serta tingkat kerawanan fisik alami dan tingkat risiko.
b) Menjaga kesesuaian antara kegiatan pelaksanaan pemanfaatan ruang dengan fungsi
kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayahnya.
Dengan demikian penataan ruang pada daerah rawan bencana merupakan kegiatan
merencanakan tata ruang, mengatur pemanfaatan ruang, dan mengendalikan pemanfaatan
ruang pada kawasan yang berpotensi menimbulkan dampak bencana berdasarkan karakteristik
alamiah dan aktivitas manusia yang ada.Penanggulangan bencana selama ini umumnya lebih

Pusat Litbang Sumber Da)fJ Air 27


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Benmna Sedimen:
Teknologi Sobo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
ditekankan secara fisik pada saat terjadinya bencana berupa pengendalian sumber bencana.
Sementara dalam UU dan peraturan terkait diamanatkan untuk mengutamakan
penanggulangan nonfisik, dimana salah satunya melalui penataan ruang.
Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi, yang ditetapkan pada tanggal 7 Juli 2014, merupakan salah satu wujud inisiasi
dari arah penanggulangan bencana secara nonfisik di Indonesia sebagaimana tertuang dalam
UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008, khususnya penerapan pada kawasan rawan
bencana di Merapi. Perpres ini diharapkan dapat menjadi alat operasionalisasi RTRW Nasional
dan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Secara tegas kebijakan penataan ruang pada kawasan tersebut, disamping mencakup
pelestarian lingkungan, juga menetapkan pengembangan kawasan yang berbasis mitigasi
bencana. Pengembangan kawasan yang berbasis mitigasi bencana ini ditandai dengan
memasukkan sistem evakuasi bencana dalam rencana sistem jaringan prasarana utama, dan
sistem jaringan pemantauan dan peringatan dini bencana alam geologi dalam salah satu
rencana sistem jaringan prasarana lainnya atau pendukung.
Perpres ini dapat menjadi model penataan ruang pada kawasan rawan bencana gunungapi lain
yang memiliki karakteristik serupa dengan Merapi, misalnya Gunungapi Sinabung. Namun yang
perlu diwaspadai, kelemahan dalam implementasi penataan ruang di kawasan rawan bencana
biasanya adalah penegakan rencana tata ruang dan pengawasan pemanfaatan lahan yang
sesuai dengan rencana tata ruang. Melihat hal tersebut, kebutuhan penanggulangan bencana
dalam rangka meminimalisir korban merupakan salah satu bagian penting yang harus
diakomodasi dalam kebijakan penataan ruang di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Pusat Litbang Sumber Da)>O Air 28


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Seclimen:
Tekno/agi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

BAB Ill
TINJAUAN TERHADAP KONDISI GUNUNGAPI MERAPI

3.1. Karakteristik Gunungapi Merapi


Dari 129 gunungapi yang ada di wilayah Indonesia, Merapi termasuk gunungapi yang paling
aktif dengan rata-rata frekuensi erupsi dalam 100 tahun terakhir ini terjadi sekali dalam jangka
waktu 2-5 tahun. Merapi adalah gunungapi dengan tipe Strato-Volcano dan secara petrologi
magmanya bersifat andesit-basaltik. Gunungapi berketinggian 2.978 m di jantung Pulau Jawa
ini mempunyai diameter sekitar 28 kmdengan luas berkisar 300-400 km 2 dan volume
gunung±150 km 3 • Ditinjau secara geografis, Merapi berada pada 7° 32' 5" LS dan 110° 26'5" BT,
dimana mencakup wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi 0.1 Yogyakarta.
Ditinjau secara geodinamik, Gunungapi Merapi terbentuk pada busur kepulauan akibat
subduksi pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Asia. Dinamika erupsi Merapi
umumnya didahului pertumbuhan kubah lava diikuti guguran awanpanas, guguran lava pijar,
dan jatuhan piroklastik. Bahaya utama yang mengancam kurang lebih 40.000 jiwa yang tinggal
di Kawasan Rawan Bencana adalah pyroclastic flow atau ali ran awanpanas, yang dalam bahasa
lokal (Jawa) disebut wedhus gembei.Di samping itu, pasca erupsi, kawasan sepanjang sungai
yang berhulu di Merapi juga terancam bahaya sekunder banjir lahar hujan yang dapat terjadi
pada musim hujan.
Di luar potensi ancaman bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi, Merapi memiliki aspek
sosial dan ekonomis yang penting bagi kemajuan wilayah sekitarnya. Material erupsi Merapi
seperti pasir dan batu menjadi penunjang pembangunan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pasir
Merapi ini memiliki kualitas yang sangat baik sebagal material untuk bahan bangunan karena
mengandung besi dan silika yang cukup tinggi. Demikian juga halnya dengan sektor pertanian,
kawasan lereng Merapi merupakan kawasan penghasil produk pertanian seperti sayur-mayur
dan buah-buahan karenadidukung oleh kondisi tanah yang subur. Perkembangan wisata di
kawasan Gunungapi Merapi juga ikut mendukung tumbuhnya ekonomi setempat. Secara lebih
detail karakteristik kawasan ini dalam berbagai aspek akan dibahas pada sub bab selanjutnya.

3.2. Riwayat dan Sejarah Bencana Gunungapi Merapi


Secara kronologis, letusan Gunungapi Merapi biasanya ditandai dengan keluarnya magma ke
permukaan membentuk kubah lava di tengah kawah aktif. Kubah lava yang terbentuk tersebut
dapat tumbuh membesar, dimana pertumbuhannya sebanding dengan laju aliran magma yang
besarannya bervariasi hingga mencapai ratusan ribu meter kubik per hari. Tekanan gas dari
magma mendorong kubah lava dan menyebabkan sebagian longsor sehingga terjadi awan
panas (pyroclastic flow) atau dalam bahasa lokal (Jawa) disebut "wedhus gembe/'. Awan panas
akan mengalir secara gravitasi menyusur lembah sungai dengan kecepatan 60-100 km/jam dan
akan berhenti ketika energi geraknya habis.
Letusan Gunungapi Merapi mulai tercatat dalam sejarah sejak awal masa kolonial Belanda,
yaitu sekitar abad ke-17. Karena letusan sebelum periode tersebut tidak tercatat dengan jelas,
maka letusan-letusan besar yang terjadi sebelum Periode Merapi Baru hanya didasarkan pada
penentuan waktu relatif. Aktivitas letusan Merapi pada Periode Merapi Baru pun dari masa ke
masa mengalami perubahan atau tidak selalu sama. Letusan Gunungapi Merapi pada umumnya
tidak besar, dengan indeks letusan VEl (Volcano Explosivity Index) antara 1-3. Jarak luncur awan
panas berkisar antara 4-20 km. Dalam periode antara250-3000tahun yang lalu, tercatat kurang
lebih pernah terjadi33 kali letusan, dimana 7 diantaranya merupakan letusan besar atau
Pusat Litbang Sumber Da)>O Air 29
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
dengan nilai VEl lebih dari 2. Data tersebut menunjukkan bahwa letusan besar terjadi sekali
dalam 150-500 tahun (Andreastuti dkk, 2000) .Sementara pada abad ke-18 hingga 19 tercatat
terjadi beberapa kali letusan besar, yaitu tahun 1768, 1822, 1849, dan 1872.Letusan pada abad
ke-20 terjadi setidaknya 28 kali letusan, dimana letusan terbesar (VEl = 3) terjadi pada tahun
1930-1931. Erupsi abad ke-19 jauh lebih besar dari letusan abad ke-20, dimana awan panas
mencapai 20 km dari puncak. Kemungkinan letusan besar terjadi sekali dalam 100 tahun
(Newhall, 2000).

Meskipun secara umum letusan Merapi tergolong kecil, namun berdasarkan bukti stratigrafi
ditemukan endapan awan panas yang diduga berasal dari letusan besar pada masa Merapi
Muda (3000 tahun yang lalu) dengan indeks letusan VEl 4 dan tipe letusan antara vulkanian
hingga plinian . Berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, Merapi meletus lebih dari
80 kali atau rata -rata sekali meletus dalam 4 tahun. Masa istirahat terpanjang yang pernah
tercatat adalah 18 tahu n. Diskripsi singkat jejak letusan Merapi disajikan pad a grafik di bawah
ini. Grafik tersebut menunjukkan statistik letusan Merapi sejak abad ke-18 .

6
N
II

92
., .... ·.. 1- cl
j~ :

~ 4
I : ..-
:
:

~ .~ ~......
(\1 :
~
......
......
(")

~......
......

~
::> ...... ~......
~
~ 2
w
0
~
0
1780 1800 1820 1~40 1860 1880 1900 1920 1940 1960 1980 2000
20 .. ..
16 ~. .~
~
I 12 l ~ 1-sl
~z
-::>
' '

r-I 8
~ct:
CJ)-
< ..... 4
ct:
~ 0
1780 1800 1820 1840 1860 1880 1900 1920 1940 1960 1980 2000

Sumber: http://www.vsi.esdm.go.id, diunduh tangga/22 Agustus 2014


Gambar3.1 Grafik Statistik Letusan Gunungapi Merapi Sejak Abad Ke-18 Sampai AbadKe-19
Arah letusan Merapi sejak tahun 1872-1931 cenderung menuju ke arah barat-barat laut.
Namun, sejak letusan besar tahun 1930-1931, arah letusan dominan ke arah barat daya sampai
dengan letusan tahun 2001, kecuali pada tahun 1994, terjadi penyimpangan ke arah selatan,
yaitu ke hulu Kali Boyong, antara Bukit Turgo dan Plawangan. Erupsi terakh ir pada tahun
2006dan 2010, kembali terjadi perubahan arah dari barat daya ke arah tenggara dengan
terbentuknya bukaan kawah yang mengarah ke Kali Gendol.

Pusat Lit bang Sumber Daya Air 30


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rav.KJn Bencana Sedimen:
Teknofogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Sumber: http://www.vsi.esdm.go.id, diunduh tangga/22 Agustus 2014


Gambar 3.2 Peta Sebaran AwanPanas Gunungapi Merapi yang Terjadi Sejak Tahun 1911-2006

PETA £NDAPAN PIROIUAS11K


L.ETUSAN TAHUH 2010
KAWASANMERAPI

.L .......

Gambar 3.3 Peta Sebaran Awan Panas pada Erupsi Merapi 2010

Melihat dari sejarahnya, erupsi Merapi sangat dinamis, yang ditandai dengan frekuensi
aktivitasnya yang tinggi, skala letusannya yang meskipun secara umum relatif rendah, namun
tetap memiliki potensi erupsi berskala besar serta arah letusan yang berubah-ubah dari waktu
ke waktu. Sebagaimana terjadi pada letusan terakhir Merapi di penghujung tahun 2010 yang
Pus at Litbang Sumber Daya Air 31
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RatNDn Benmna Sedimen:
Te/cnologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
berbeda dengan kejadian sebelumnya, dimana biasanya letusan Merapi bersifat efusif, letusan
yang terjadi pada 29 - 30 Oktober 2014 tersebut lebih bersifat eksplosif. Gambar 3.3
merupakan Peta sebaran sebaran awan panas pada erupsi tahun 2010.
Pada 3-4 November 2010 rentetan awan panas terjadi hingga mencapai radius 15 km. Tanggal
13 November 2010, intensitas erupsi mulai menurun hingga pada 3 Desember 2010 status
Merapi diturunkan dari 'Awas' menjadi 'Siaga'.Korban jiwa akibat erupsi Gunungapi Merapi
2010 sebanyak 347 orang (BNPB) dengan korban terbanyak berada di Kabupaten Sleman, yaitu
246 jiwa, menyusul Kabupaten Magelang 52 jiwa, Klaten 29 jiwa, dan Boyolali 10 jiwa
sedangkan pengungsi mencapai 410.388 orang (BNPB).

3.3. Fungsi dan Peran Strategis Kawasan Merapi


Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Kawasan Merapi memiliki fungsi dan peran
strategis sebagai konsekuensi dari posisinya serta kondisi alam yang merupakan nilai lebih dari
kawasan tersebut. Ditinjau dari posisinya yang terletak di perbatasan Provinsi D.l. Yogyakarta
dan Jawa Tengah, maka kawasan ini menjadi kawasan strategis karena dilalui oleh jalur
transportasi lintas provinsi. Kawasan ini menjadi penghubung antara wilayah utara dan selatan
Pulau Jawa bagian tengah dengan beberapa jalur transportasi utama yang melaluinya, yaitu:

a) Jalan Nasional Yogyakarta-Magelang.


b) Jalan Nasional Yogyakarta-Solo.
c) Jalan Nasional Semarang-Magelang.
d) Jalan Nasional Semarang-Solo.

Kawasan Merapi juga merupakan sentra perekonomian Yogyakarta dan Jawa Tengah,
khususnya dalam bidang pariwisata dan pertanian. Beberapa lokasi pariwisata dan pertanian
yang menjadi primadona kawasan ini, antara lain:

a) Situs candi Prambanan.


b) Situs candi Borobudur.
c) Agrowisata Salak Pondoh.
d) Wisata gunungapi.
Terkait dengan fungsi Kawasan Merapi sebagai penopang perekonomian di wilayah sekitarnya,
maka kondisi perekonomian tersebut sangat dipengaruhi oleh aktivitas wlkaniknya. Sebagai
contoh, erupsi pada tahun 2010 mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah wisatawan yang
berkunjung ke daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Sektor pariwisata selama beberapa
bulanmengalami penurunan yang signifikan dan berdampak pada perekonomian masyarakat
sekitar. Demikian juga yang dialami oleh Kabupaten Magelang, akibat erupsi tersebut terjadi
pelemahan di sektor pertanian yang menjadi penopang PAD karena banyak area pertanian
yang terkena dampak dan infrastruktur irigasi yang rusak.

Pusat Litbang Sumber Da,.o Air 32


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruong pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

~ - r_."! !_ ~ -~
_ _- _ - , ,I -
! I; I'£HIL,TAH UKP.Art:."i: IW:~"-
~: ! '=:-:f.J:.=.::
,-:-s:=.
\ I flltf ... ~-.•t
i ~1-

= =~
, 1
= :?
II -,_....,_
....
=:==:::::::::.---
=:
.,
e~

__
I
j -
_

. . ,=:.~ . ,. . _. ..,.. . ,
_ ...._
....,.__
_""JJ

,._.........,._
I
z,.
::=1"'-'"'&.L.-
.:=-~. _....,._....._

.·------ __ _
J' ~ - ...................
I - =-~:.
~ ..::....--:
....... ._...,_...._
I J -. . . . . . . . . . . . ~
._ ........
•--;- =:.- ~ . . .=.
i~ :.t~ --- -- --- •
- ~ -.:; -(-
- 1 • -"•. ~
It • - :-~
;!.--"<.":.....· ~
tT~,
• ~-
-':r._
.r•-"')--.
. I
I

~
-- __ ...:.;,· ... . )
; ~ =- ..
I ~=- -= -= - -

Gambar 3.4 Posisi Kawasan Merapi yang Memiliki Nilai Strategis di Kab. Magelang

Tidak kalah penting, kawasan Merapi juga memiliki Taman Nasional (TN) Gunung Merapi yang
berfungsi sebagai penopang lingkungan dengan perannya sebagai kawasan lindung.
Penunjukan Taman Nasional Gunung Merapi ditetapkanberdasarkan SK Menhut 134/Menhut-
11/2004 tanggal 4 Mei 2004. Kawasan lindung ini berfungsi untuk perlindungan bagi sumber-
sumber air, sungai, dan penyangga sistem kehidupan kabupaten dan kota-kota Sleman,
Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang. Luas total kawasan lindung sekitar 6.410 Ha
dengan 5.126,01 Ha di wilayah Jawa Tengah dan 1.283,99 Ha di Daerah lstimewa Yogyakarta.

Pus at Litbang Sumber Daya Air 33


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra11110n Bencana Sedimen:
Tekno/agi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Gambar 3.5 Peta Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)

3.4. Kondisi Fisik Kawasan Merapi


3.4.1 Geologi
Berdasarkan kajian geologi Mac Donald dan Partners (1984}, Formasi Sleman mempunyai
susunan pada bagian atas tersusun oleh abu vulkanik dan batu lempung setebal 0 hingga 20m
sedangkan pada kedalaman 20 hingga 80 m terdapat pasir lepas yang sering dijumpai lapisan
lempung. Sementara Formasi Yogyakarta membentuk singkapan di hampir seluruh dataran
rendah Yogyakarta. Formasi ini tersusun oleh lapisan selang-seling antara lapisan batuan pasir,
gravel, debu, dan lempung. Serna kin ke arah Selatan, jumlah kandungan lempungnya semakin
besar dengan ketebalan formasi berkisar antara 20 hingga 80 m. Kawasan Gunung Merapi
bagian Barat tersusun oleh satuan batuan tertua berumur Eosen hingga batuan-batuan yang
lebih muda berumur Kuarter. Urutan satuan batuan dari tua ke muda, yaitu:

1. Satuan batu lempung kaya fosil moluska, terdiri dari batu lempung cukup tebal dan kaya
mengandung fosil moluska. Satuan ini dinamakan Formasi Nanggulan dan berumur Eosen.
2. Satuan breksi vulkanik, terdiri dari breksi vulkanik dengan sisipan batupasir tufan. Satuan
ini dinamakan Formasi Andesit Tua, ada juga yang menyebutnya Formasi Bemmelen.
3. Satuan batuan andesit, terdiri dari batuan beku andesit (Batuan Terobosan).
4. Satuan aliran andesit porfir dan lahar hujan kasar. Satuan batuan ini dinamakan Andesit
Porfir dan Lahar hujan.
5. Satuan endapan vulkanik, satuan ini merupakan hasil aktivitas GunungMerapi Tua.
6. Satuan tuf, breksi, aglomerat, dan lelehan lava. Satuan batuan inimerupakan hasil aktivitas
Gunungapi Merapi Muda.
7. Satuan endapan koluvium, satuan ini dinamakan Endapan Koluvium.
8. Satuan batuan dasit, satuan ini dinamakan Batuan Dasit.
9. Satuan tuf, breksi, andesit, satuan ini dinamakan Endapan KerucutGunungapi.

Pusat Litbong Sumber Daya Air 34


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
10. Satuan breksi vulkanik, aliran lava, tuf, batupasir tufan, dan batu lempung. Satuan ini
dinamakan Formasi Kaligetas.
11. Satuan kerikil, pasir, lanau, dan lempung, dinamakan Aluvium.
Kawasan Gunung Merapi bagian Timur didominasi oleh formasi batuan Gunung Api Tak
Terpisahkan dan sedikit formasi Endapan Gunungapi Merapi Tua di bagian lereng Gunung
Merapi. Kondisi geologi kawasan Gunung Merapi bagian Utara berdasarkan kondisi fisik
permukaan dan batu-batuan yang ada, secara umum merupakan daerah yang tertutup oleh
endapan vulkanik kuarter dari batuan piroklastik dan terdiri dari rombakan batuan yang lebih
tua dari piroklastik atau endapan aluvial. Formasi geologi untuk kawasan Merapi bagian
Selatan, jenis batuan dan sebarannya menurut Wartono Raharjo dkk (1977), sebagian besar
terbentuk oleh Formasi Merapi Muda yang terdiri atas lava, tuf, dan breksi. Material hasil
aktivitas Gunung Merapi yang diendapkan secara bertahap dan membentuk perlapisan dapat
berfungsi sebagai media penyimpan air tanah yang penting. Kondisi geologi di Kawasan Merapi
disajikan dalam Gambar 3.6.

Gambar 3.6 Peta Kondisi Geologi Kawasan Merapi

3.4.2 Kllmatologl
Tipe iklim di wilayah Gunung Merapi adalah Tipe C menu rut klasifikasi curah hujan Schmidt dan
Ferguson, yakni agak basah dengan nilai Q antara 33,3 % - 66 % dan dengan curah hujan
sebagai berikut:

1. Bagian Barat kawasan (Kabupaten Magelang) : 2.250 - 3.627 mm/thn


2. Bagian Utara kawasan (Kabupaten Boyolali) : 2.250- 3.136 mm/thn
3. Bagian Timur kawasan (Kabupaten Klaten) : 1750-3.250 mm/thn
4. Bagian Selatan kawasan (Kabupaten Sleman) : 1.896-3.250 mm/thn

Pusat Lit bang Sumber Daya Air 35


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Secara umum, kawasan Merapi merupakan kawasan dengan curah hujan tinggi. Kawasan Barat
dan Utara memiliki curah hujan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan di
bagian Timur dan Selatan.Pada kondisi normal, pola musim hujan terjadi sekitar bulan
September sampai Maret, dengan puncak hujan terjadi pada bulan Januari-Februari. Kondisi
iklim ini berkontribusi terhadap tingginya potensi bencana sedimen atau banjir lahar hujan di
kawasan Merapi, khususnya pada bulan-bulan dengan intensitas hujan yang tinggi.

Gambar 3.7 Peta Curah Hujan Kawasan Merapi

3.4.3 Hldrologl
Wilayah Gunungapi Merapi merupakan sumber bagi tiga DAS (daerah aliran sungai), yakni DAS
Progo di bagian barat, DAS Opak di bagian selatan, dan DAS Bengawan Solo di bagian timur.
Keseluruhan, terdapat sekitar 14 sungai di seputar Gunungapi Merapi yang mengalir ke 3 (tiga)
DAS tersebut dengan sebagian besar sungai mengalir ke DAS Progo dan DAS terbesar adalah
2
Kali Pabelan dengan luas daerah tangkapannya 110 km . DAS Pabelan merupakan sungai lahar
hujan yang memiliki aliran cukup besar sepanjang tahun dibandingkan dengan sungai lahar
hujan yang lain, sehingga kawasan di sepanjang sungai tersebut dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian . Kali Pabelan terbentuk dari gabungan Kali Apu, Kali Trising, dan Kali Senowo yang
berhulu di sisi barat Merapi. Lebar rata-rata sungai lahar hujan di bagian hulu sekitar 10 m,
sementara di daerah hilir biasanya Iebar, yaitu berkisar antara 100 m hingga 300m, bahkan ada
yang mencapai 500 m. Secara lengkap Tabel 3.1 menyajikan informasi terkait DAS di Kawasan
Merapi.

Pusat Litbang Sumber Da")O Air 36


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra'NCJn Bencana Sedimen:
Telcnologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Tabel3.1 DAS Sekitar Kawasan Gunungapi Merapi
Panjang Kemlringan Dasar Sungai Lebar Sungal (m)
Luas DAS
Sistem Sungai Sungai EL.SOOm-
(km2 ) <EL.SOOm >EL.l,OOOm Min. Maks.
(km) EL.l,OOOm
1. K. Progo
(1) K. Pabelan 110 32 1/53 1/21 1/3 10 180
a) K. Apu 8 6 - 1/14 1/4 10 100
b) K. Trising 10 11 - 1/17 1/5 10 120
c) K. Senowo 8 12 - 1/19 1/4 10 130
(2) K. Blongkeng 68 24 1/43 1/19 1/1 10 120
a) K. Lamat 14 19 1/38 1/21 1/2 10 110
b) K. Putih 26 23 1/39 1/16 1/6 10 200
(3) K. Satang 23 19 1/37 1/15 - 10 230
(4) K. Krasak 34 27 1/26 1/17 1/16 10 250
a)K.Bebeng 10 14 1/23 1/15 1/5 10 280
2. K. Opak
(1) K. Boyong 51 25 1/46 1/14 1/4 10 160
(2) K. Kuning 45 17 1/38 1/16 1/4 10 150
(3) K. Gendol 14 32 1/37 1/15 1/3 10 200
3. Bengawan Solo
22 25 1/35 1/14 1/4 10 500
(1) K. Woro

3.4.4 Topografi dan Kelerengan


Topografi Gunungapi Merapi secara umum memiliki ketinggian antara ±75 hingga 2.500 mdpl
dengan kemiringan lereng berbeda pada tiap bagian kawasannya dengan karakteristik sebagai
berikut:
1. Bagian Selatan kawasan memiliki topografi yang bervariasi dari dataran rendah dengan
ketinggian 100 mdpl sampai dengan daerah lereng Gunungapi Merapi pada ketinggian
2.000 mdpl.
2. Bagian tengah terdapat dua bukit, yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan
bagian kawasan wisata Kaliurang. Sementara pada bagian lereng puncak Merapi II
reliefnya curam sampai sangat curam.
3. Bagian Timur kawasan merupakan wilayah dengan kategori dataran rendah sampai sampai
berbukit yang memiliki ketinggian 200-2.000 mdpl.
4. Bagian Utara kawasan sebagian besar merupakan wilayah dataran tinggi, yakniberada
diantara Gunungapi Merapi yang masih aktif dan gunung Merbabu yang sudah tidak aktif
dengan ketinggian 400 - 2000 mdpl. Pada wilayah ini melintas 4 sungai (Serang, Cemoro,
Pepe, dan Gandul) serta terdapat sumber-sumber air lain berupa mata air dan waduk.
5. Bagian Barat merupakan wilayah dengan ketinggian yang bervariasi dari 200-2000 mdpl,
semakin kearah puncak Gunungapi Merapi kelerengan Ia han semakin curam.

Pusat Litbang Sumber Daya Air 37


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Gambar 3.8 Peta Kondisi Topografi Kawasan Merapi


Kawasan Gunung Merapi secara umum, meliputi beberapa bagian dengan karakteristik mulai
dari kawasan datar hingga sangat curam di wilayah puncaknya, yaitu :

1. Bagian Selatan kawasan berupa bentang alam yang didominasi oleh daerah yang relatif
datar dengan kisaran kem iringan 0% - 8%, sisanya berupa daerah dengan bentang alam
berbukit, curam, dan sangat curam yang berada di sekitar lereng dan puncak Gunung
Merapi dengan kemiringan 15% sampai lebih dari 40%.
2. Bagian Timur kawasan berupa bentang alam yang didominasi oleh daerah yang datar dan
berombak dengan kisaran kemiringan 0% - 15%, sisanya berupa daerah dengan bentang
alam berbukit, curam, dan sangat curam yang berada di sekitar lereng dan puncak Gunung
Merapi dengan kemiringan 15% sampai lebih dari 40%.
3. Bagian Utara kawasan berupa bentang alam yang didominasi oleh daerah yang datar dan
berombak dengan kisaran kemiringan 0% - 15%, sisanya berupa daerah dengan bentang
alam berbukit, curam, dan sangat curam yang berada di sekitar lereng dan puncak Gunung
Merapi dengan kemiringan 15% sampai lebih dari 40%.
4. Bagian Barat kawasan berupa bentang alam yang didominasi oleh daerah datar dengan
kisaran kemiringan 0% - 7%, sisanya berupa daerah dengan bentang alam berombak,
berbukit, curam, dan sangat curam yang berada di sekitar lereng dan puncak Gunung
Merapi dengan kemiringan 8% sampai lebih dari 40%.

Kondisi kelerengan Kawasan Merapi disajikan pada Gambar 3.9 .

Pusat Litbang Sumber Dayc Air 38


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Gambar 3.9 Peta Kondisi Kelerengan Kawasan Merapi

3.4.5 Geomorfologi
Sedangkan geomorfologi Gunung Merapi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Satuan morfologi puncak dan lereng atas, terjadi atas beberapa kubah lava dan aliran-
aliran lava dengan sudut kelerengan lebih besar dari 27".
2. Satuan morfologi lereng tengah yang tersusun oleh banyak aliran lava dan endapan
piroklastik dengan sudut kelerengan berkisar antara 27"-9" .
3. Satuan morfologi lereng bawah dengan sudut kelerengan lebih kecil dari 9", terdiri dari
endapan piroklastik, lahar hujan, dan endapan sungai (Andreastuti, 1999).
Satuan morfologi puncak dan lereng atas, terdiri atas beberapa kubah lava dan aliran-aliran
lava dengan sudut kelerengan lebih besar dari 27". Meskipun tidak selalu, namun perubahan
morfologi daerah puncak Merapi umumnya terkait oleh aktivitas erupsi dan pembentukan
kubah lava di antaranya adalah pembentukan Kubah Timur dan Kubah Barat, rangkaian erupsi
tahun 1930 - 1931, pembentukan kubah lava tahun 1940 serta erupsi 1961 dan 1998.
Perubahan morfologi daerah puncak dapat terjadi jika kubah lava yang terbentuk tidak habis
terhancurkan oleh erupsi karena ukuran kubahnya besar dan tinggi sehingga terjadi erupsi
sam ping namun dengan intensitas erupsi kecil. Erupsi sam ping terjadi ka rena tekanan dari
dalam tidak mampu mendorong kubah lava lebih tinggi lagi akibat beban material yang besar
sehingga tekanan berpindah ke daerah samping yang lebih lemah .
Sementara dengan menghancurkan kubah lava yang terjadi, maka yang terbentuk adalah
kawah baru. Baik sisa-sisa kubah lava yang tidak terhancurkan, yang utuh maupun kawah baru,
yang terbentuk akan menjadi bagian dari puncak Merapi bentuk morfologi daerah puncak
berubah di antaranya menambah ketinggian puncak Merapi akibat penumpukan material baru .
Beberapa erupsi dalam sejarah yang menyebabkan perubahan morfologi daerah puncak antara
lain periode erupsi tahun 1822-1823 menghasilkan kawah berdiameter 600 m, periode tahun

Pusat Litbang Sumber Daya Air 39


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Seclimen:
Teknologi Sabo sebagoi Elemen Pengda~Bjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
1846-1848 (diameter 200m), periode tahun 1849 (250- 400 m), periode tahun 1865-1871 (250
m), periode tahun 1872- 1873 (480 m - 600 m), erupsi tahun 1930 dan 1961 (Ratdomopurbo
dan Adreastuti, 2000). Apabila lidah-lidah lava tidak longsor atau hancur oleh erupsi, umumnya
membentuk morfologi bergelombang sehingga mengubah morfologi lereng atas sekitar daerah
puncak. Dengan adanya perubahan morfologi di daerah puncak, lereng atas, dan posisi kubah
lava aktif, maka dapat mempengaruhi arah dan distribusi endapan awan panas di bagian lereng
bawah termasuk catchment area nya.
Sebagian pusat kegiatan Gunung Merapi, kondisi dan posisi kubah lava menentukan bentuk
aktivitas Merapi pada saat erupsi. Bentuk kubah lava tergantung dari letak atau posisi
keluarnya magma ke permukaan yang membentuk kubah lava. Apabila magma keluar di tengah
daerah puncak yang datar atau tidak terlalu ke pinggir kawah, maka bentuk kubah lava simetris
sedangkan bila keluarnya magma terletak pada pinggir kawah atau di lereng, maka magma
akan meleleh di daerah lereng atas membentuk aliran lava berbentuk lidah lava memanjang
("coulee") mencapai ratusan meter. Satuan morfologi lereng tengah yang tersusun dari banyak
aliran lava dan endapan piroklastik dengan sudut kelerengan berkisar antara9"- 27".

Pada lereng tengah tersusun oleh aliran lava yang membentuk alur, seperti pematang karena
pada saat keluar tidak membentuk kubah lava, seperti di daerah puncak. Secara umum
morfologi lereng timur lebih terjal dan tersayat lebih dalam, namun tidak terpengaruh oleh
endapan hasil erupsi saat ini. Sebagian lagi dari aliran lava membentuk morfologi lereng
berelief kasar karena pembekuan ujung aliran lava sehingga ujungnya terjal seperti gawir sesar.
Celah-celah antara aliran lava umumnya lebih mudah diisi oleh endapan awan panas, terutama
di lereng barat. Awan panas tersebut hasil guguran kubah lava di daerah puncak dan awan
panas hasil letusan terdahulu. Dari beberapa aliran lava yang ada di daerah lereng tengah ini
ikut mempengaruhi sebaran/distribu si awan panas ke daerah lereng bawah hingga kaki. Oleh
karena itu, jika terjadi perubahan morfologi lereng di daerah ini, maka dapat mengubah pola
sebaran awan panas yang akan datang dan ini berbahaya bagi permukiman yang terletak di
lereng yang terjangkau oleh sebaran awan panas terutama yang berupa surge. Vegetasi
penutup pad a satuan morfologi ini terdiri atas hutan, pinus, dan semak belukar, meskipun pada
bagian tertentu tidak ditumbuhi vegetasi karena adanya awan panas maupun guguran lava
pi jar.
Satuan morfologi lereng bawah dengan sudut kelerengan lebih kecil dari 9", terdiri atas
endapan piroklastik, lahar hujan, dan endapan sungai (Andreastuti,199 9). Satuan morfologi ini
merupakan zona pengendapan karena mempunyai kelerengan landai sehingga awan panas,
jatuhan piroklastik, dan lahar hujan umum nya terendapkan di daerah ini. Oleh karen a itu,
batuan penyusun di sekeliling lereng juga mempunyai umur yang bervariasi. Pada lereng bawa h
barat laut, utara, timur taut, dan timur umumnya terdiri atas batuan produk erupsi Merapi
lebih tua sedangkan lereng barat daya dan selatan, terdiri atas dominan produk erupsi Merapi
lebih mudah, terdiri dari endapan awan panas, lahar hujan, dan endapan sungai.
Satuan morfologi ini tersusun atas 3 (tiga) bentuk kerucut gunung api yang tumbuh di lereng
Gunung Merapi. Secara morfometri, morfologi kerucut tua ini memiliki ketinggian berkisar
antara 200 m-500 m diatas daerah setempat atau 1.200 m hingga 2.400 m di atas permukaan
!aut. Keempat kerucut tua tersebut, terdiri atas Gunung Bibi di lereng timur laut, Gunung
Kendi!, Gunung Batulawang, dan Gunung Plawangan di lereng timur serta Gunung Turgo di
lereng selatan. Kemiringan lereng berkisar antara 60"-20". Satuan morfologi ini mempunyai
alur-alur erosi lebih dalam daripada lereng Merapi Muda dengan lembah dalam berbentuk V.
Tutupan lahan satuan morfologi ini, terdiri atas hutan alam dan semak belukar, walaupun di

Pusat Litbang Sumber Da~ Air 40


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra'NCin Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
beberapa tempat sudah agak gundul. Batuan penyusun satuan morfologi ini terdiri atas lava,
endapan aliran piroklastik (awan panas), dan jatuhan piroklastik.

Gambar 3.10 Peta Kondisi Morfologi Kawasan Merapi

3.4.6 Pemanfaatan Lahan (LDnd Use)


2
Kawasan Gunungapi Merapi memiliki luas keseluruhan ±781,65 km yang terdiri dari berbagai
macam jenis penggunaan Ia han. Antara tahun 2010 sampai tahun 2011 telah terjadi perubahan
yang sangat signifikan sebagai akibat dari dampak erupsi Merapi di akhir tahun 2010, dimana
ada beberapa jenis penggunaan lahan yang hilang. Secara keseluruhan luas wilayah yang
terkena dampak erupsi Gunungapi Merapi sebesar 8.551,29 Ha. Sebagian besar wilayah sudah
tidak dapat diidentifikasi lagi atau secara fisik sudah hancur. Di beberapa wilayah ada yang
masih bisa diidentifikasi secara fisik, umumnya rumah atau bangunan yang ada hanya tertutup
abu dari erupsi Gunungapi Merapi. Begitu juga dengan lahan pertanian dan hutan meskipun
tidak seluruhnya hancur, tetapi secara fisik kondisinya tertutup oleh abu vulkanik.

Ada beberapa penggunaan lahan di Kawasan Gunungapi Merapi sebelum terjadi erupsi, di
antaranya adalah permukiman, kebun, hutan, lapangan, lahan kosong, sawah, danau/sungai/
kolam, dan bahan galian golongan C. Sawah merupakan penggunaan Ia han terbesar di Kawasan
Gunungapi Merapi, yaitu sekitar 24.770,11 Ha yang sebagian besar berada di bagian barat
Kawasan Gunungapi Merapi, yaitu di Kabupaten Magelang. Sementara itu, untuk permukiman
sebagian besar juga berada di bagian barat Kawasan Gunungapi Merapi yang memiliki luas
6.681,10 Ha dengan luas keseluruhan mencapai 18.497,95 Ha. Sementara itu, untuk luasan
hutan di Kawasan Gunungapi Merapi mencapai 1.365,54 Ha yang sebagian besar berada di
bagian selatan Kawasan Gunungapi Merapi, yaitu di Kabupaten Sleman. Bahan tambang atau
bahan galian golongan C paling banyak terdapat di bagian selatan Kawasan Gunungapi Merapi
dengan luas 128,36 Ha yang secara keseluruhan luasnya mencapai 195,53 Ha. Selain sawah dan
permukiman, Kawasan Gunungapi Merapi juga didominasi oleh penggunaan lahan berupa
kebun campuran yang sebagian besar berada di bagian utara, yaitu Kabupaten Boyolali yang
Pusat Litbang Sumber Da}O Air 41
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
memiliki luas sebesar 9.308,63 Ha dengan luas keseluruhan mencapai 24.628,84 Ha.
Penggunaan lahan lainnya adalah lapangan yang biasa digunakan oleh penduduk sekitar untuk
menggembalakan ternak. Luasan areal lapangan ini mencapai 1.682,83 Ha dengan luasan
terbesar berada di bagian barat Kawasan Gunungapi Merapi (Kabupaten Magelang) yang
memiliki luas 810,52 Ha.

Kawasan Gunungapi Merapi memiliki Ia han kosong yang cukup besar, yaitu sekitar 6.634,80 Ha
yang sebagian besar berada di bagian barat dan utara Kawasan Gunung Merapi dengan luas
masing-masing 2.300,10 Ha dan 2.235,30 Ha dengan luasan keseluruhan mencapai 6.634,80
Ha. Lahan kosong ini bisa dimanfaatkan di kemudian hari untuk memenuhi kebutuhan sarana
dan prasarana penduduk di Kawasan Gunung Merapi. Untuk lebih jelasnya mengenai luasan
penggunaan Ia han sebelum dan sesudah erupsi Gunung Merapi dapat dilihat pada peta kondisi
penggunaan lahan sebelum dan sesudah erupsi tahun 2010 yang disajikan pada Gambar 3.11
dan Gam bar 3.12.

P£1ll PENOOUIIMH LAHAN


PRA ERUPSI 2010
KAWASAH MERAPI

Gambar 3.11 Peta Penggunaan Lahan Kawasan Merapi Pra Erupsi 2010

Pusat Lltbong Sumber Daya Air 42


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai £Iemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

P£TA PEHGGUIIAAN LA HAN


PASCA ERUPSf 2010
KAWASAN IIERAPt

_,L. ......

Gambar 3.12 Peta Penggunaan Lahan Kawasan Merapi Pasca Erupsi 2010

3.5. Kondisi Nonfisik Kawasan Merapi


3.5.1 Oemografi
Erupsi Gunungapi Merapi pada 2010 menyebabkan korban jiwa mencapai 347 orang meninggal
dan 258 orang luka-luka. Selain itu, juga menimbulkan kerusakan permukiman penduduk, yaitu
3.424 rumah di Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta dan 3.705 rumah di Provinsi Jawa Tengah
serta menimbulkan kerugian sebesar Rp 3,577 triliun (Widodo, 2010), yang meliputi ekonomi
produktif, infrastruktur, permukiman, dan sosial.
Walaupun erupsi Gunungapi Merapi telah menyebabkan kerugian kepada masyarakat yang
bermukim di sekitarnya, baik materiil maupun korban luka dan jiwa dengan dampak primer
berupa aliran piroklastik/awan panas, lava, abu vulkanik, dan gas beracun maupun dampak
sekunder berupa banjir lahar hujan, tetapi minat masyarakat untuk tetap tinggal dan hidup di
sekitar Gunungapi Merapi tetap tinggi sekalipun daerah yang mereka tempati masuk dalam
Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunungapi Merapi. Hal ini terlihat dari kepadatan penduduk di
kawasan Gunungapi Merapi yang cukup padat, dengan sebagian besar wilayah memiliki
2
kepadatan penduduk 484-816 jiwa/km melebihi rata-rata kepadatan penduduk Indonesia
2
sebesar 124 jiwa/km menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010. Berikut ini
merupakan tinjauan kondisi demografi di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi, yaitu:

1. Kawasan Rawan Bencana (KRB) Ill


KRB Ill merupakan kawasan yang memiliki kerentanan tinggi terkena dampak primer
erupsi gunungapi, berupa aliran piroklastik/awan panas, aliran lava pijar
(guguran/lontaran material lava pijar), dan gas beracun. KRB Ill di Kabupaten Sleman
(Provinsi DIY), Kabupaten Magelang dan Kabupaten Klaten (Provinsi Jawa Tengah)
2
memiliki kepadatan penduduk antara 484-816 jiwa/km sedangkan di Kabupaten
2
Boyolali memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi antara 817-1192 jiwa/km •

Pusat Litbang SUmber Daya Air 43


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Sekalipun dari tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Boyolali (Provinsi Jawa
Tengah) lebih tinggi dibandingkan ketiga kabupaten lainnya, tetapi tingkat kerentanan
untuk terdampak rendah karena caku pan area yang kecil dan kecenderungan arah
aliran ke lereng selatan Gunungapi Merapi.
Masyarakat yang tinggal di wilayah yang memiliki kerentanan paling tinggi untuk
terkena dampak primer erupsi adalah Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman,
Provinsi D.I.Y. Hal ini karena kecenderungan aliran yang mengarah ke lereng selatan
Gunungapi Merapi, tepatnya ke Sungai Gendol yang melewati Kecamatan
Cangkringan. Di wilayah ini juga memiliki struktur ruang sebagai Pusat Kegiatan Lokal
(PKL) dan banyak sumber air, baik berupa embung, mata air, maupun reservoir. PKL
adalah kawasan perkotaan yang memiliki fungsi untuk melayani kegiatan masyarakat
dalam skala kabupaten atau beberapa kecamatan (Permen PU No:16/PRT/M/2009).
Berarti dapat dikatakan bahwa kawasan ini merupakan pusat kegiatan masyarakat,
baik sosial, budaya, maupun ekonomi sekaligus sebagai penyedia air bersih bagi
masyarakat.

2. Kawasan Rawan Bencana (KRB) II


KRB II merupakan kawasan yang memiliki potensi terkena dampak primer erupsi
gunungapi, berupa aliran piroklastik/awan panas, guguran batu (pijar), dan gas
beracun maupun dampak sekunder berupa banjir lahar hujan. Wilayah yang masuk
dalam KRB II, baik di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah memiliki kepadatan
penduduk dan kerentanan yang hampir sama dengan wilayah yang ada dalam KRB Ill
dengan wilayah yang paling rentan adalah Kecamatan Cangkringan, Kabupaten
Sleman.

3. Kawasan Rawan Bencana (KRB) I


KRB I merupakan kawasan yang memiliki kerentanan tinggi terkena dampak sekunder
erupsi gunungapi berupa banjir lahar hujan walaupun tidak menutup kemungkinan
dapat terkena dampak primer juga berupa perluasan aliran piroklastik/awan panas.
Wilayah yang masuk dalam KRB I adalah daerah yang berada di sekitar sungai-sungai
yang berhulu di Gunungapi Merapi, terutama di lereng selatan. Di Kabupaten Sleman
(Provinsi DIY) terdapat Kali Gendol, Kali Opak, Kali Kuning, Kali Boyong, dan Kali
Krasak. Di Kabupaten Magelang terdapat Kali Bebeng, Kali Krasak, Kali Putih, Kali
Blongkeng, Kali Lamat, dan Kali Pabelan sedangkan di Kabupaten Klaten terdapat Kali
Woro.

Pada awalnya setelah erupsi 2010, banjir lahar hujan cenderung ke arah Kabupaten
Sleman, yaitu Kali Gendol dan Kali Boyong. Banjir lahar hujan di Kali Gendol
menyebabkan kedalaman sungai yang semula ±50 m menjadi ±20m, sedangkan di Kali
Boyong, hulu dari Kali Code yang melewati Kota Yogyakarta menimbulkan kepanikan
bagi warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai dan mengungsi ke tern pat yang
lebih tinggi karena rumah mereka terendam.
Memasuki tahun 2012, banjir lahar hujan cenderung mengalir ke arah yang berbeda,
yaitu ke Kabupaten Magelang di Kali Pabelan dan Kali Putih. Bahkan kejadian banjir
lahar hujan di Kali Putih, tepatnya di Desa Jumoyo menyebabkan Jalan Raya Jogja-
Magelang dan permukiman masyarakat di sekitarnya tertimbun material. Kemudian
pada awal tahun 2014, banjir lahar hujan cenderung ke arah Kabupaten Klaten, yaitu
Kali Woro yang menyebabkan truk dan alat berat (excavator) penambang hanyut
terbawa aliran. Dapat dikatakan bahwa banjir lahar hujan hampir terjadi di semua sisi

Pusat Litbang Sumber Da~ Air 44


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNC/n Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
lereng Gunungapi Merapi, baik barat, selatan, maupun timur, tetapi hanya sedikit
yang ke arah utara.
Kepadatan penduduk yang ada di wilayah KRB llebih tinggi daripada di KRB Ill maupun
2
KRB II, yaitu antara 1193-1736 jiwa/km di Kabupaten Sleman (Provinsi D.I.Y) dan
2
Kabupaten Klaten (Provinsi Jawa Tengah) dan 1739-2537 jiwa/km di Kabupaten
2
Magelang (Provinsi Jawa Tengah) serta 2574-5187 jiwa/km khusus di Kecamatan
Muntilan. Hal ini dapat dipahami mengingat semakin dekatnya wilayah tersebut
dengan pusat kota. Dilihat dari kepadatan penduduk dan kecenderungan kejadian
banjir lahar hujan di sungai-sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi, dapat dilihat
bahwa terdapat 3 (tiga) sungai yang memiliki kerentanan tinggi dibandingkan sungai
lainnya. Ketiga sungai tersebut adalah Kali Putih (Kabupaten Magelang), Kali Boyong
(Kabupaten Sleman), dan Kali Woro (Kabupaten Klaten).

Ditinjau dari kondisi demogafinya, khususnya terkait kepadatan, Kawasan Merapi merupakan
2
kawasan dengan kepadatan rata-rata tinggi, yaitu 776 jiwa/km • Sementara ditinjau dari
sebaran penduduknya, terlihat pada umumnya penduduk menempati daerah dengan
kelerengan yang relatif landai, sehingga tampak pola kepadatan meningkat pada kawasan
tersebut yang merupakan pusat-pusat pertumbuhan daerah atau kota.

PETA K'EPADATAH PENDUOUK


KAWASAN IIERAPI

·- ......

Gambar 3.13 Peta Kepadatan Jumlah Penduduk

3.5.2 Ekonomi
Erupsi Gunungapi Merapi 2010 tidak hanya menimbulkan dampak kepada masyarakat yang
dapat terlihat secara fisik saja, dalam hal ini adalah kerugian materiil dan korban luka maupun
jiwa, tetapi juga mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan Gunungapi Merapi sebelum erupsi 2010 bersifat homogen atau seragam, baik dari
segi agama yang mayoritas beragama Islam maupun etnis yang mayoritas berbudaya Jawa .
Selain itu, mata pencaharian masyarakat juga didominasi sektor agraris, sebagai petani

Pus at Litbang Sumber Da}O Air 45


Noskoh 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencona Sedimen :
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
maupun peternak, seperti di Kabupaten Magelang (Gambar 3.14) dan Kabupaten Boyolali
(Gambar 3.15) terlihat bahwa lapangan usaha yang menyumbang pemasukan paling besar
pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku adalah sektor pertanian.
Hal berbeda dijumpai di Kabupaten Sleman dengan pemasukan paling besar dari sektor
perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 3.16) karena merupakan salah satu tujuan wisata
utama di Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta, baik wisata alam maupun budaya.

---- - ------- - - - - - - - - - · · -- ----


PCRB Atas Casar Harga Bertaku
Kabupaten Magelang Tahun 2009-2012

3,000,000
2,500,000
i
1i. 2,000,000
~

"' 1,500,000
I 1,000,000
~ 500,000

• 2009 • 20W • 2011 • 20U

Sumber:BPS Kabupaten Mage/ang, 2014


Gambar 3.14 PDRB Kabupaten Magelang Tahun 2009-2012

PCRB Atas Casar Harga Berlaku


Kabupaten Boyolali Tahun 2010-2012

4,000,000
3,500,000
i 3,000,000
l 2,500,000
a: ~0 .0
• 1,500,000
~ 1,000,000
500,000

• 2010 • 2011 • 2012

Lapanc•n Usaluo
'----:-------,-----.-'--7--=-- - - : - - - - - - - - - - -
Sumber:BPS Kabupaten Boyolali, 2014
Gambar 3.15 PDRB Kabupaten Boyolali Tahun 2010 -2012

Pusat Litbang SUmber Daya Air 46


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
Kabupaten Sleman Tahun 2010-2013

9,000,000
8,000,000
7,000,000
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000

• 20 10 • 20 11 • 2012 • 2013

t..panpn U..h•

Sumber:BPS Kabupaten Siemon, 2014


Gambar 3.16 PDRB Kabupaten Mage lang Tahun 2010-2013
Erupsi Merapi berdampak pada perubahan mata pencaharian penduduk di kawasan tersebut,
terutama yang terkait sektor perta nian, karen a kerusakan Ia han akibat tertutup material
vulkanik. Hal ini tentu berpengaruh juga terhadap pendapatan masyarakat dan perekonomian
daerah atau penerimaan asli daerah (PAD) . Jika dilihat dari sisi masyarakat, terjadi penurunan
pendapatan karena yang semula memiliki usaha mand iri menjadi buruh atau pekerja bagi
perusahaan pertambangan dengan upah kecil. Namun, jika dilihat dari sisi pemerintah, dalam
hal ini pemerintah daerah, terjadi peningkatan pendapatan asl i daerah (PAD) terutama dari
pajak usaha pertambangan . Di Kabupaten Magelang sendiri, pajak yang diterima dari usaha
pertambangan menyumbang 10% pendapatan asli daerah (PAD) setiap tahunnya sehingga
dapat dikatakan bahwa sektor pertambangan cukup memegang peranan penting dalam
pen ingkatan atau penurunan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Magelang.

Selain ikut berperan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di kawasan Gunungapi
Merapi, seperti di Kabupaten Sleman (Provinsi D.I.Y), Kabupaten Magelang, dan Kabupaten
Klaten (Provinsi Jawa Tengah), juga memberi pengaruh peningkatan jumlah penduduk yang
bekerja di sektor pertambangan. Penambahan pekerja di sektor pertambangan merupakan hal
yang wajar mengingat lahan serta sarana dan prasarana pertanian, perikanan, maupun
peternakan yang dimiliki masyarakat telah rusak akibat eruspi 2010. Walaupun sektor
pertambangan memberikan nilai yang cukup besar dalam pendapatan asli daerah (PAD), tetapi
besarnya biasa yang dikeluarkan akibat adanya usaha penambangan juga besar, terutama dari
perbaikan infrastruktur yang rusak, seperti jalan yang seharusnya tidak boleh dilintasi oleh truk,
menjadi rusak ketika dilintasi oleh truk penambang pasir.

3.5.3 Kultural
Pola erupsi Merapi mempengaruhi kehidupan masyarakat kawasan tersebut, tidak hanya
secara ekonomi sebagaimana diuraikan sebelumnya, namun juga secara kultural masyarakat.
Perubahan kultural yang paling terlihat adalah adanya perpindahan permukiman warga ke
tempat pengungsian (shelter) dan hunian sementara (huntara) karena rumah yang mereka
Pus at Litbang Sumber Daya Air 47
Naskoh llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Seclimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
tinggali telah rusak dan tertimbun material hasil erupsi Gunungapi Merapi. Perpindahan
permukiman warga tersebut menyebabkan beberapa perubahan kultural berikut:
1. Pola lnteraksi dan Hubungan Antar Warga
Dengan hidup di tempat pengungsian (shelter) maupun huntara (hunian sementara),
interaksi dan hubungan antara warga menjadi semakin erat karena memiliki kesamaan
nasib sehingga rasa solidaritas dan keharmonisan pun meningkat. Namun, karena
terbiasa untuk hidup dengan menerima bantuan pemerintah dan pihak swasta,
masyarakat menjadi cepat bosan dan cenderung untuk kembali ke rumah mereka
yang dulu sekalipun kemungkinan ancaman bahaya masih ada.

2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat yang semula di sektor agraris, pasca erupsi 2010 mulai
berubah menjadi buruh tambang pasir, usaha kecil dan menengah (UKM), maupun
pemandu wisata bencana (lava tour). Perubahan ini terjadi karena tidak adanya lahan
serta sarana dan prasarana yang rusak akibat aliran piroklastik/awan panas, abu
vulkanik, maupun banjir lahar hujan. Masyarakat yang selama ini terbiasa untuk hidup
mandiri dari lahannya, sekarang harus bergantung pada pihak luar untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Berlimpahnya material hasil erupsi 2010 yang memenuhi alur sungai-sungai yang
berhulu di Gunungapi Merapi menyebabkan banyak bermunculannya penambang,
baik dalam skala besar menggunakan alat berat (excavator) oleh perusahaan maupun
skala kecil secara manual oleh penduduk di sekitarnya. Ketimpangan pendapatan yang
diperoleh oleh penambang besar dan kecil, juga memunculkan permasalahan sendiri,
seperti semakin jauhnya jarak antara yang kaya dan miskin, dimana penduduk hanya
dimanfaatkan tenaganya saja dengan menjadi buruh.
Usaha kecil dan menengah (UKM) yang diusahakan masyarakat, kebanyakan berupa
warung makan atau toko kelontong, yang biasanya de kat dengan lokasi penambangan
maupun tempat pengungsian (shelter) dan huntara (hunian sementara). Wisata
bencana atau yang terkenal dengan sebutan lava tour merupakan primadona baru
objek wisata pasca erupsi Gunungapi Merapi di tahun 2010 yang lalu. Wisata ini
menawarkan pemandangan akan kedasyatan erupsi 2010 yang telah
meluluhlantakkan daerah di sekitarnya yang dapat terlihat dari sisa-sisa material dan
permukiman warga yang tertimbun. Potensi wisata ini membuka lapangan pekerjaan
baru bagi masyarakat untuk menjadi pemandu wisata berdasarkan pengalaman yang
telah mereka alami, walaupun secara akademisi atau teknis, pengetahuan tentang
bencana tidak terlalu mereka mengerti.
Nilai-nilai budaya masyarakat atau yang biasa disebut kearifan local (local wisdom) yang tinggal
di sekitar kawasan Gunungapi Merapi, terutama kebudayaan Jawa sangat kental dan sungguh
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah
kesulitan untuk memindahkan atau merelokasi masyarakat yang bermukim di kawasan rawan
bencana ke daerah yang aman karena ada ungkapan Jawa, sedumuk batuk senyari bumi, yang
berarti tanah yang dimiliki akan dipertahankan sampai titik darah penghabisan dan masyarakat
menganggap bahwa erupsi Gunungapi Merapi merupakan hal yang biasa terjadi dan
memberikan berkah/kesejahteraan, salah satunya berupa kesuburan tanah (sumber
kehidupan) dan pasir.
Bentuk penghormatan masyarakat kepada Gunungapi Merapi diwujudkan dengan
menyelenggarakan upacara labuhan, yang berasal dari kata "labuh"dengan arti persembahan
setiap tanggal 30 Rajab (penanggalan Islam) di Dusun Kinahrejo. Selain itu, juga ada upacara

Pus at Lit bang Sumber Da~ Air 48


Noskoh lfmiah Konsep Penataon Ruang pada Kawasan Ro-wan Bencana Sedimen:
Teknalogi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
lain, seperti sedekah gunung sebagai ungkapan terimakasih atas hasil panen yang melimpah
(biasanya setiap malam 1 Suro), becekan dengan memperbaiki aliran sungai dan jalur perairan
untuk meminta hujan turun di Kali Gendol, dan banjir lahar hujan, yaitu upacara peletakan
kelapa muda di sungai yang kemungkinan akan dialiri oleh banjir lahar hujan. Upacara-upacara
tersebut selalu dilaksanakan oleh masyarakat sekitar Merapi setiap tahunnya karena mereka
percaya bahwa persembahan mereka akan diterima oleh penguasa Merapi.

Sumber:http://dvahpratitasari.blogspot.com

Gambar 3.17 Aktivitas Kultural Masyarakat Merapi

Pus at Litbang Sumber Daya Air 49


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
BAB IV
PENATAAN RUANG 01 KAWASAN MERAPI

4.1. Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi


4.1.1. Penetapan Kawasan Rawan Bencana (KRB)
Kawasan rawan bencana gunungapi adalah kawasan yang pernah terlanda atau
diidentifikasikan berpotensi terancam bahaya erupsi gunungapi, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penetapan kawasan rawan bencana gunungapi disusun berdasarkan data
geologi, kegunungapian, sebaran permukiman, dan infrastruktur. Penentuan kawasan tersebut
ditampilkan dalam bentuk gambar melalui proses kartografi sebagai peta petunjuk tingkat
kerawanan bencana di suatu kawasan apabila terjadi erupsi gunungapi.

PETAKR8
(KAWAU.N AAWAN 8ENCANA)
OUNUNO MERAP1

+
---
~
--- BatMI(~

......
KJt82010 Radko~> :

CJ •<m
"""' CJ .o ...
"""' D••<m
,. ...

Gambar 4.1Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi


Pasca bencana erupsi Merapi 2010, pemerintah daerah setempat memperbaharui peta
Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi. Dasar penetapan KRB mengacu pada jarak luncuran
lahar hujan dan juga jara k an tara sungai yang dilalui lahar hujan dengan wilayah ancaman
bencana. Dari perhitungan jarak tersebut maka KRB dipetakan menjadi tiga kawasan yakni KRB
I,KRB II dan KRB Ill. Penjelasan lebih lanjut mengenai KRB terbagi sepertiberikut:

1. Kawasan Rawan Bencana I, yang untuk selanjutnya disingkat dengan KRB I, merupakan
kawasan yang berpotensi terlanda lahar hujan, tertimpa material jatuhan berupa hujan
abu, dan/atau air dengan keasaman tinggi. Apabila letusan membesar, kawasan ini
berpotensi terlanda perluasan awan panas dan tertimpa material jatuhan berupa hujan
abu lebat, serta lontaran batu pijar.
2. Kawasan Rawan Bencana II, yang untuk selanjutnya disingkat dengan KRB II, merupakan
kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, lontaran batu pijar, guguran
lava, hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran lahar hujan, dan/atau gas beracun.

Pusat Lit bang Sumber Daya Air so


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang poda Kawasan RaiNOn Bencana Sedimen:
Teknologi Sobo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
3. Kawasan Rawan Bencana Ill, yang untuk selanjutnya disingkat dengan KRB Ill, merupakan
kawasan yang sangat berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, guguran lava, lontaran
batu pijar, dan/atau gas beracun.
Dalam hal ini, KRB I adalah daerah atau kawasan rawan bencana yang mempunyai risiko
bencana paling kecil sedangkan KRB II adalah kawasan rawan bencana yang mempunyai tingkat
risiko sedang. Sedangkan KRB Ill merupakan kawasan rawan bencana yang mempunyai tingkat
paling berisiko.Dengan pertimbangan dasar penentuannya, terjadi hal yang unik dalam
implementasi KRB di Gunungapi Merapi, yaitu belum tentu wilayah atau daerah yang dekat
dengan puncak Merapi menjadi wilayah yang paling berisiko. Sebagai contoh, yaitu:
1. Desa Kujon, Kabupaten Boyolali memiliki jarak dengan puncak Merapi hanya sekitar 4 km
(masuk dalam KRB 1).
2. Dusun Canguk, Desa Tegalmulyo, Kabupaten Klaten memiliki jarak dengan puncak Merapi
hanya sekitar 3,5 km (masuk dalam KRB 1).
Hal ini dapat terjadi karena dalam penetapan tersebut, mempertimbangkan bahwa wilayah
diatas jauh dari jarak luncuran/aliran lahar hujan dalam sejarah erupsi Merapi. Namun, hal
sebaliknya terjadi, suatu wilayah dengan jarak yang cukup jauh dengan puncak Merapi menjadi
wilayah dengan tingkat tinggi, sebagai contoh, yaitu:
1. Daerah Golf Merapi, Kabupaten Sleman memiliki jarak dengan puncak Merapi sekitar 10
km (masuk dalam KRB II).
2. Daerah Kali Adem, Kabupaten Sleman memiliki jarak dengan puncak Merapi sekitar 6 km
(masuk dalam KRB Ill).

Adapun dasar kedua contoh wilayah ini, pada jejak sejarah erupsi Merapi mengalami sisi yang
selalu menjadi wilayah yang dilewati aliran lava. Sejauh ini untuk kawasan rawan bencana
banjir lahar hujan sudah ditetapkan sebagai KRB I, yaitu daerah di sepanjang sungai lahar
hujan Merapi dengan batas 300 m dari bibir sungai. Penetapan ini dibuat secara umum untuk
semua sungai dengan pertimbangan keamanan dan kejadian limpasan lahar hujan yang pernah
terjadi di masa lalu.

4.1.2. Kebijakan Pemanfaatan Ruang di KRB Merapi


Kebijakan terkait pemanfaatan ruang di Kawasan Gunungapi Merapi menghadapai tantangan
besar terkait ancaman erupsi Merapi. Selain ancaman langsung dari aktivitas vulkaniknya
sendiri, potensi banjir lahar hujan pasca erupsi juga menjadi tantangan tersendiri. Pasca mega
erupsi tahun 2010, hingga tahun 2013 masih ada peluang material erupsi turun menjadi banjir
lahar hujan. Menurut BPPTKG, ada sedikitnya 40 juta m 3 yang tersebar di beberapa sungai,
yakni di Kali Putih (7 juta m 3 ), Kali Woro (3,9 juta m\ Kali Trisik (5,6 juta m 3), Kali Apu (8,7 juta
m\ Kali Pabelan (8,1 juta mi, dan Kali Gendol (19 juta m\

Pusat Litbang Sumber Da)>O Air 51


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Tabel4.1 Konflik Ruang Kawasan Merapi sebagai Kawasan Rawan Bencana
No. I Konflik Ruang Klaten Sleman Magelang
1. I Penambangan Penambangan liar Penambangan liar
versus KRB
Penambangan diperbolehkan pada KRB I Pergub tentang penambangan bahan
galian golongan C berbasis mitigasl
Penambangan tidak memperhatikan
sudah finalisasi
konservasi terhadap alur sungai dan
keamanan Ketentuan teknis penambangan di
sekitar bangunan sabo masih
Penentuan zona penambangan
dilematis

Penentuan zona penambangan

Jalur penambangan menggunakan


jalan evakuasi

2 Pertanian
versus KRB
KRB, khususnya DAS Woro, diarahkan untuk
pertanlan kayu keras
I
KRB dlalokasikan untuk pertanian
dan peternakan.
Potensi pertanian di sepanjang
sungai lahar hujan (Kali Pabelan)

Fasilitas irigasi di sungai lahar hujan


rentan kerusakan

3 Permukiman KRB dapat dihuni dengan catatan saat Status lahan pada permukiman Banyak terdapat permukiman di KRB
versus KRB bencana dilakukan evakuasi yang direlokasl (KRB Ill)
Belum semua penduduk di KRB Ill
Pengembangan permuklman di dapat direlokasi
luar KRB

Pus at Litbang Sumber Daya Air 52


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknofogi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Tantangan ini tidak lepas dari tingginya konflik ruang di kawasan tersebut, dimana ada berbagai
aktivitas berlangsung dalam kawasan tersebut. Tabel 4 .1 menunjukkan beberapa konflik
pemanfaatan ruang yang berpotensi terjadi pada kawasan rawan bencana. Tantangan
penataan ruang akibat adanya konflik ruang ini ternyata muncul sebagai akibat dari
kompleksitas pemanfaatan lahan. Artinya, semakin banyak fungsi atau pemanfaatan ruang
yang berbeda maka semakin tinggi potensi konflik yang terjadi, khususnya apabila kawasan
tersebut merupakan kawasan rawan bencana yang memiliki kerentanan tinggi. Gambar 4.2,
4.3, dan 4.4 menunjukkan diagram tingkat kompleksitas pemanfaatan ruang di sekitar
bangunan sabo sepanjang sungai lahar hujan pada Kali Woro, Kali Boyong, dan Kali Putih saat
ini.Diagram tingkat kompleksitas pemanfaatan ruang dalam hal ini dibagi menjadi tiga level,
yaitu :

a) Levell : kompleksitas tinggi (merah), nilai > 6.


b) Level 2 : kompleksitas sedang (kuning), nilai antara 3- 6.
c) Level 3 : kompleksitas rendah (hijau), nilai < 3.

Nilai kompleksitas pemanfaatan ruang diukur dengan metode pembobotan (scoring)


berdasarkan jenis pemanfaatan ruang. Semakin t inggi intensitas kehadiran dan jumlah manusia
dalam ruang, maka semakin besar bobotnya sehingga diperoleh bobot untuk permukiman 4;
pertanian 3; penambangan 2; padang rumputfsemak/belukar l;dan hutan 0.

14.00
12.00 i
10.00 I
8.00 I - - ----- -
6.00 - - -- - - - -- - - -
4 .00
2.00
0.00
+----- ''
1
t.-.-.-.-1-1-=
- -
-: -
- ~~
--- -
-
-
-
--- - -
- - -
Ltl<:tM<:tMNNm .-4 N rtl <:tLI'l ~ ID r-. 00 N
9d~y 0 0 0 00 00 0 0 u u
a:
:::,
a: a:
:::,
a: a:
:::,:::,
u
:::,
a: a: :::, :::,
:::> :::> :::> ' ' :::> .-4 :::>
o..o..o..=>=>o...-to.. :::>' :::>' :::, 0.. 0..
0..0.. u 0.. 0.. 0.. 0..0.. 0.. 0.. 0..
:::,
0..

Gambar4.2Diagram Tingkat Kompleksitas Pemanfaatan Ruang di Sekitar


Bangunan Sabo Kali Putih

-
---

•I
t --·I ••
I I I =rU ~

Gambar 4.3Diagram Tingkat Kompleksitas Pemanfaatan Ruang di Sekitar


Bangunan Sabo Kali Woro

Pusat Litbang Sumber Da)KJ Air 53


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNOn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

14.00

12.00

10.00 -

8.00

6.00

4 .00

2.00
,H]-
0.00 -JTO '
I
I I I
I
..
I
I
I
I JV:
I

Gambar 4.4 Diagram Tingkat Kompleksitas Pemanfaatan Ruang di Sekitar


Bangunan Sabo Kali Boyong

Berdasarkan diagram, tampak tingkat kompleksitas pemanfaatan ruang di ketiga sungai lahar
hujan relatif tinggi sebagai kawasan rawan bencana, artinya pada kawasan terse but intensitas
kehadiran serta jumlah manusia dan objek yang berpotensi terdampak cukup besar. Tingkat
kompleksitas pemanfaatan ruang pada Kali Putih dan Woro masuk dalam kategori tinggi
dengan nilai sama, yaitu 6,47. Sedangkan tingkat kompleksitas pemanfaatan ruang pada Kali
Boyong masuk dalam kategori sedang dengan nilai sebesar 5,67.Pemanfaatan ruang di Kali
Putih dan Kali Woro sudah didominasi permukiman dan pertanian, dimana akan meningkatkan
nilai kerentanan terhadap risiko bencana banjir lahar hujan, sebagai konsekuensi tingginya
intensitas kehadiran dan jumlah objek yang potensi terdampak banjir lahar hujan.

Hal ini menunjukkan bahwa penataan ruang kawasan bencana belum diterapkan dengan baik
dalam upaya mitigasi bencana gunungapi di Kawasan Merapi. Kontrol dalam arah
pengembangan wilayah kawasan bencana belum dapat dilakukan sehingga pertumbuhan
signifikan dan masif masih terjadi di dalam kawasan rawan bencana .

4.2. Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjir Lahar hujan Merapi


4.2.1. Penentuan Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjir Lahar hujan
Kawasan Rawan Bencana Sedimen, dalam hal ini banjir lahar hujan, diposisikan dalam KRB I,
dimana merupakan kawasan yang berada di sepanjang sungai lahar hujan dalam jarak 300 m
dari tepi sungai dari hulu ke hilir. Sementara perilaku aliran lahar hujan sesungguhnya tidak
sama di sepanjang sungai. Dalam konsep pengendalian sedimen, kawasan rawan bencana
secara garis besar dibagi menjadi 3 (tiga) kawasan, yaitu :

1. Daerah produksi (production area) .


2. Daerah transpor (transportation area) .
3. Daerah pengendapan (sedimentation area) .

Perilaku aliran lahar hujan yang berbeda ini menyebabkan potensi bahaya yang berbeda pula.
Daerah produksi merupakan daerah sumber sedimen, biasanya memiliki kemiringan lebih dari
15" (dalam lingkaran biru) . Pada daerah ini biasanya fenomena yang terjadi adalah pergerakan
massa sedimen, longsor endapan yang tidak stabil, dan erosi galur. Sementara daerah transpor

Pusat Litbang Sumber Daya Air 54


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
merupakan daerah sepanjang alur sungai lahar hujan yang memiliki kemiringan antara 3"-15"
(antara garis biru dan hijau). Kawasan ini ditandai dengan bentuk alur yang menyerupai "V"
dengan tebing yang terjal dan erosi dasar sungai tinggi sehingga fluktuasi perubahan elevasi
dasar sungai sangat tinggi. Risiko bahaya yang ditimbulkan biasanya berupa longsor tebing
akibat erosi dasar sungai yang menggerus kaki tebing dan menyebabkan tebing tidak stabil.
Perlu diwaspadai juga loncatan (overtopping) lahar hujan ke kiri dan kanan alur yang dapat
terjadi pada titik-titik dengan morfologi alur yang membelok dan tinggi tebing yang tidak
terlalu tinggi. Selain itu, pada daerah ini kecepatan atau energi dari aliran lahar hujan masih
tinggi sehingga juga dapat membahayakan bangunan yang melintang di sungai atau di atasnya
karena efek benturan atau impak aliran serta abrasi. Oleh sebab itu, pada kawasan ini
bangunan seperti bendung dan jembatan akan rentan sekali mengalami kerusakan jika
langsung terpapar aliran lahar hujan.

PETA ZONAS! KAWASAN RAWAH


BENCAMA SEDIIIEN
GUNUNGAPIIIIERAPI

Gambar 4.5 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen (Lahar hujan) Merapi
Daerah pengendapan adalah daerah pada posisi pembukaan kipas aluvial (alluvial fan open),
dimana kemiringan dasar sungai sudah cukup landai, yaitu kurang dari 3 ". Pada daerah ini,
risiko bencana yang mungkin terjadi adalah pengendapan material lahar hujan berupa pasir
hingga boulders yang dapat menimbun rumah, jalan, dan areal pertanian masyarakat. Daerah
ini biasanya merupakan daerah permukiman padat atau perta nian sehingga sangat rentan
terkena dampak endapan.

Dengan demikian, ancaman banjir lahar hujan pada daerah sepanjang sungai lahar hujan
berbeda tergantung perilaku aliran lahar hujan sehingga zonasinya pun harus dibedakan
sebagaimana disajikan secara detail dalam label 4.2. Namun, ketiga zonasi tersebut tidak
dapat dipisahkan karena ancaman bahaya berupa aliran dari hulu ke hilir. Apa yang terjadi di
hulu akan menentukan besarnya bahaya di hilir. Banyaknya potensi sedimen yang mungkin
luruh menjadi aliran lahar hujan pada daerah produksi akan menentukan seberapa besar banjir
lahar hujan yang akan mengalir ke daerah transportasi. Begitu juga, kecepatan aliran pada

Pusat Litbang Sumber Da}KJ Air 55


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra!NfJn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
daerah transpor akan mempengaruhi kerusakan yang akan ditimbulkan ketika lahar hujan
mencapai daerah pengendapan.Oieh sebab itu, proses menguraikan risiko bencana yang timbul
akibat banjir lahar hujan perlu ditelusuri secara kronologis mulai dari daerah sumber sedimen
atau sumber bahaya, yaitu daerah pembentukan yang akan dibahas selanjutnya.
Tabel 4.2 Zonasi Perilaku Aliran Lahar hujan dan Potensi Bencana Lahar hujan (Lahar hujan
Hazard)
Kemiringan Kategori Perllaku Aliran Lahar Potensi Ancaman
(Slope) hujan Bencana Sedimen
{1) (2) {3) (4)
i > 20° Daerah produksi Tingkat erosi sangat tinggi Rawan erosi, longsor dan
dominasi (aliran debris pergerakan material
terjadi) dalam jumlah besar

Daerah transpor Pergerakan material dan Rawan longsor tebing


erosi terjadi namun lebih sungai dan benturan
rendah (aliran debris (lmpak) bangunan air
terjadi dan turun) dan Jembatan

Daerah pengendapan Pengendapan material Rawan limpasan,


berlebih hingga aliran pengendapan material
berhenti (aliran sedimen pasir, dan pendangkalan
mengendap) alur

4.2.2. Potensi Risiko Bencana Banjir Lahar hujan

4.2.2.1. Rlsiko Bencana Lahar hujan pada Daerah Produksl


Risiko bencana yang mungkin timbul pada daerah produksi aliran lahar hujan adalah longsor
material yang tidak stabil dan pergerakan massa, khususnya pasca terjadinya erupsi karena
biasanya pada kondisi ini kawasan hulu tidak memiliki tutu pan vegetasi sebagai akibat dampak
erupsi. Selain tutupan vegetasi, tingginya curah hujan juga mempengaruhi potensi
terbentuknya aliran lahar hujan pada kawasan ini. Hal ini dikarenakan aliran permukaan dari
hujan merupakan media transportasi sedimen. Namun, faktor penentu terbentuknya aliran
lahar hujan adalah jumlah dan jenis material deposisi hasil erupsi di puncak. Volume material
akan menentukan besaran dan konsentrasi banjir lahar hujan serta daya rusaknya sedangkan
jenis material erupsi akan menentukan karakteristik material, seperti tingkat erosivitas,
infiltrasi, dan tipe banjir lahar hujan. Jenis material vulkanik yang paling mudah terangkut a Iiran
adalah jatuhan piroklastik atau hujan abu. Jenis ini paling mudah terangkut karena partikelnya
sangat halus dan membentuk lapisan semi kedap yang menghambat infiltrasi hujan sehingga
aliran permukaan menjadi besar dan dengan mudah mengangkut material vulkanik. Sementara
aliran piroklastik biasanya terdeposisi lebih masif dan cenderung menyimpan panas di dalam
lapisannya hingga beberapa bulan sehingga air hujan yang jatuh akan langsung terevaporasi
akibat panas.
Dari faktor-faktor tersebut, tersusun suatu zonasi potensi sumber sedimen pada daerah
pembentukan di Kawasan Gunungapi Merapi yang dapat dilihat pada Gambar 4.6. Zonasi
potensi sumber sedimen ini menjadi penentu pada sungai lahar hujan mana yang memiliki
potensi tinggi terjadinya banjir lahar hujan dan dapat berubah karena terdapat faktor tutupan
Ia han dan jenis material erupsi yang merupakan faktor yang dinamis atau tergantung dari pola
erupsi yang terjadi. Oleh sebab itu, zonasi ini perlu dikaji ulang dan diperbaharui apabila terjadi

Pusat Litbang Sumber Da)U Air 56


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
perubahan dalam kondisi parameternya, baik akibat aktivitas vulkanik maupun intervensi
manusia.

Pemanfaatan ruang pada zona potensi sumber sedimen ini sebagian besar merupakan kawasa·n

PETADAERAH
P&llaJNT'UKAH IIC.IN
KAWA.UN MERAPI

- --·Kiib;ip .... - ....


1(........- :

"-'fli1~Sd._

- . : l'ld .. lpniNI.WM~&otar

. . Pilfl ...............tl ........... .,...

Gambar 4.6 Peta Zonasi Potensi Sumber Sedimen Kawasan Merapi

Pt.:TA t'O JENat KOMFUK


Ptt.DA DA&RAH PRoout<tf
KAWAU.NMEJtAPI

-
Klaten

Gambar 4.7 Peta Potensi Konflik pada Daerah Produksi


lindung, terutama pada kawasan puncak Merapi yang merupakan Kawasan Tanaman Nasional
dan Kawasctl'\ Lindung Geologi. Namun, khususnya pada kawasan yang dekat dengan aliran
sungai sudah terdapat pemanfaatan ruang sebagai kawasan budidaya, seperti hutan produksi
dan pertanian serta pada beberapa area juga dijumpai permukiman. Hal ini tentunya akan
meningkatkan tingkat risiko bencana suatu kawasan. Pada Gambar 4.7 terlihat daerah potensi

Pusat Litbang Sumber Daya Air 57


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
terjadinya konflik ruang tinggi berada di bagian utara, barat, dan selatan. Tingginya tingkat
risiko pada daerah tersebut karena kawasan permukiman yang mulai merambah ke arah
puncak Merapi, umumnya pada daerah alur sungai lahar hujan . Risiko banjir lahar hujan lebih
lanjut akan dibahas pada kawasan sungai lahar hujan di Merapi, yaitu DAS Putih, Boyong, dan
Woro.

4.2.2.2. Risiko Bencana Kawasan Sungal Lahar hujan Merapi


a) Risiko Bencana Baniir Lahar hujan DAS Putih
Dilihat dari karakteristik morfologi dan pemanfaatan ruangnya (lihat Gam bar 4 .8 dan 4.9), DAS
Putih pada bagian hulu yang merupakan daerah produksi aliran lahar hujan dengan kemiringan
terjal dan memiliki fungsi sebagai kawasan hutan . Namun, terdapat masih dijumpai juga kebun
walaupun dalam areal yang tidak terlalu luas. Mengingat lokasi tersebut juga masuk dalam
kawasan KRB Ill, maka perlu dilakukan upaya untuk membebaskan kawasan tersebut dari
aktivitas rutin masyarakat dan celah pembangunan yang lebih masif.
Untuk daerah transportasi, tampak pemanfaatan lahan sudah memasuki kawasan budidaya
dengan variasi fungsi pertanian, seperti kebun dan sawah dengan klaster-klaster permukiman
di antaranya. Sementara pada daerah pengendapan di hilirnya dapat terlihat klaster-klaster
permukiman yang semakin besar berada di antara areal pertanian sawah sedangkan pada areal
kebun tampak berdampingan dengan permukiman.

Berdasarkan zonasi kerawanan bencana banjir lahar hujan dan pemanfaatan ruang pada DAS
Putih, maka dihasilkan peta risiko bencana banjir lahar hujan pada DAS Putih sebagaimana
disajikan dalam Gambar 4.10. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai risiko tinggi untuk
banjir lahar hujan pada daerah produksi, dimana potensi terjadi longsor material vulkanik dan
aliran massa dan daerah pengendapan, khususnya pada zona bukaan kipas aluvial yang rawan
limpasan dan endapan material pasir maupun boulders .

PETA ZONAII KAWASAN RAWAH


IEMCANA SEDfMEH
OA&PUnH
"
+

Tilgkei"'"'Nrqltllggt ~ ...... ~
~6et!MIfN ) -~l"'aWIi
..,.,....,c......

,..,_,,u",.....,.._
.,.,.. litflld_WIIt_rdM
...., . . . . . . . . . . U\MI

~ICJ' /1 _.~ ~ .....Mft.


'*nlt~ PIIGwac-I!Wtttllp.*.
1 -"*,_.lt!JUQ~adIP di~· L

Gambar 4.8 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen DAS Putih
Pusat Litbang Sumber Daya Air 58
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen :
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

PETA PENGGUHAAN LA HAN


OAS KAU PU11H

)
~ ·
+
- ---

............. ... . ............ " .....


...... u ..... ~•t.l·

~Ar:-aQ

Gambar 4.9 Peta Penggunaan Lahan di Kali Putih

Gambar 4.10 Peta Potensi Konflik Penataan Ruang pada DAS Putih

Pus at Litbang Sumber Do yo Air 59


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada KawaSDn Rowan Bencana Sedimen:
Teknolagi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Berdasarkan hasil klarifikasi lapangan, pemanfaatan ruang di daerah hulu Kali Putih, di sekitar
bangunan sabo PU-05 sampai PU-03 (lihat Gambar 4.11), lebih didominasi oleh hutan, semak
belukar dan tanah berbatu sedangkan tegalan dengan vegetasi kayu keras mulai dijumpai pada
PU-C13 dan bangunan sabo di hilirnya. Bangunan sabo pada daerah hulu merupakan bangunan
sabo tipe tertutup yang memang difungsikan untuk menahan atau menampung material
sedimen (pasir) berlebih yang terbawa oleh banjir lahar hujan. Belum dijumpai bangunan sabo
dengan fungsi tambahan lain, seperti jembatan maupun intake irigasi. Pada beberapa titik di
hulu dan hilir bangunan sabo dijumpai aktivitas penambangan pasir secara manual, namun
aktivitasnya sedikit dan masih dalam skala kecil, seperti di PU-03 (Salam Sari), PU-C13 (Gejugan
II), PU-02 (Mranggeng), dan PU-Cll/12 (Gremeng).
Sementara pemanfaatan ruang di sekitar bangunan sabo Pu-ClO sampai PU-ROS, sudah
terlihat ciri kawasan budidaya, dimana sudah dijumpai pemanfaatan lahan untuk pertanian,
seperti kebun, tegalan dan sawah (lihat Gambar 4.12). Sejalan dengan pola pemanfaatan
ruangnya, bangunan sabo pada daerah ini sudah berupa bangunan sabo dengan variasi fungsi
tambahan, seperti jembatan dan intake irigasi. Bangunan sabo tipe terbuka dengan fungsi
tambahan jembatan dijumpai pada PU-C9 dan PU-R03 sedangkan bangunan sabo tipe tertutup
dengan fungsi tambahan intake lrigasi ditemukan pada PU-RD4 dan PU-ROS. Pada segmen Kali
Putih ini, aktivitas penambangan pasir dijumpai disemua lokasi bangunan sabo, kecuali di PU-
ROS, namun memang masih dilakukan secara manual dan dengan skala kecil. Hal ini didukung
dengan adanya akses jalan pada lokasi tersebut yang makin baik dan kedekatan dengan lokasi
permukiman.Pada kawasan lni juga, pemanfaatan ruang untuk permukiman sudah dijumpai
mlilai pada jarak 50 m dari sungai. Hal ini sebagai konsekuensl adanya akses jalan yang cukup
besar dan ramal sehingga mendorong pertumbuhan desa-desa di sepanjang jalan tersebut,
khususnya pada sisi utara Kali Putih. Bahkan juga dijumpai sekolah dalam jarak yang cukup
dekat dari bibir sungai, yaitu pada bangunan sabo PU-C9 dan PU-ROl. Pengaruh penambahan
fungsi jembatan pada bangunan sabo juga memiliki peran dalam mendorong pertumbuhan
desa di selatan Kali Putih yang terlihat di PU-C10 dan PU-C9.
Pada pemanfaatan ruang di sekitar bangunan sabo PU-CSA (Srumbung) sampai PU-C2
(Gempol), sangat terlihat kawasan budidaya dengan dominasi pemanfaatan Ia han untuk sawah
irigasi, namun juga ditemui kebun pada kawasan yang cukup dekat dengan permukiman seperti
di PU-CS (Ngaglik) (lihat Gambar 4.13). Pada daerah ini juga dijumpai bangunan sabo dengan
variasi fungsi tambahan, seperti jembatan dan intake irigasi. Bangunan ·sabo tipe terbuka
dengan fungsi tambahan jembatan dijumpai pada PU-CSA sedangkan bangunan sabo tipe
tertutup dengan fungsi tambahan intake irigasi ditemukan pada PU-C2. Aktivitas penambangan
pasir dijumpai pada lokasi PU-CSA dan PU-R06. Pada PU-CSA masih dilakukan secara manual
dan dengan skala kecil sedangkan pada PU-R06 penambangan pasir dilakukan dengan alat
berat. Lokasi permukiman penduduk dijumpai makin dekat dan makin rapat ke arah sungai,
bahkan dengan jarak 25 m dari sungai, seperti di PU-C8 dan PU-C2. Kondisi tersebut
dipengaruhi oleh makin dekatnya dengan pusat Kota Magelang dan akses Jalan Yogya-
Magelang yang merupakan salah jalan provinsi yang penting dan ramal karena
menghubungkan wilayah Jawa bagian utara dengan selatan. Selain itu, kawasan ini dekat
dengan pusat tujuan wisata seperti Candi Borobudur. Terdapatjuga Kantor Kecamatan dengan
jarak yang cukup dekat dengan sungai, yaitu di sekitar PU-CSA. Sementara aktivitas industri
ditemukan di dekat PU-C2 yang berada dekat dengan jalan raya nasional.

Pusat Litbang Sumber Da).Q Air 60


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

PETA PETA PEMANFAATAN RUANO


TIIP4 Bangun.n SabO : SurveyAwal : SEKITAR BANGUNAN SABO
a..,] T~"-'n
i!Jt ~at OAS KALI PUllH BAGIAN HULU

•... ,......,
e.-~lmUI . MVt\1" Pent'"'*"' .aiM PIDm'IUtii'NI'I !-0-1001'1\

I ....,..,
Te~U'I-
•• ~.,blt_

~ ......... ""*"' ewe. fleMI'I'Dangn'W'IUII I


1••""*""-"- ~\Otn
~- . 1S-60,

• ........ f::i ~ ~·

-
........
q t # ••
Penli"'**'ss « I 0 lnlll

"'
~nakf\
~"na ~

• S.l\io'tbef~ .t
...
KRB MERAPI2010
KRBI
- --·- Bala s Kabupa ten KRB II
~ Sungai - KRB III

Kebun Compur - - 1 Bangunanl


'L-J Pennukiman

- Hutan
- Jelln

Srumbung


.;
l
"'

Gambar 4.11 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDAS Putih Bagian Hulu (PU-05 s.d PU-Cll/12)

Pus at Litbang Sumber Daya Air 61


Naskah Jlmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
\ \0 '2 \'V'E

PETA PETA PEMANFAATAN RUANG

.
Tlpo llangunon Saba : Survey A.waf : SEKITAR BANGUNAN SABO
lij;J l•rbub ~",. Pa~g.Wb9<el ~IMlti .SO· I!>Om DAS KALI PUTIH
9ei.Mf1mWtu'NA~

ll ........... • Hlbn, Mmllk bal*ar • ~* ·"lO m


BAGIAN TENGAH
~
+
Teft.iupQ,~M • Hutttl. tnallbeltucu ~"'*fma P~" . 2S50m

._... tf tf.~

~ ~triWe, ~IO tr~ ~ PIIWNUII


0 OM t! 02
...
OJ

.......
~n.rWibt>fM\1

• ~IM'oalt.f&u 1:18000
ltdu~ PROVEKSI GEOCRAFIS
DATUM 'NGS-84

i
,_. n JOJ J l>'7>7/. _., ~ / J1,7 - J71 .:;;Ji"' t>f..: ¥ .r ~o ._.-.. .. , .._. _ _... -~
'~. •'· ~ ~Legndo
- Batao Propins•
KRB MERAP12010
KRB I
I
---·- Batas Kabupaten KRB II

_ _L.. S\lngal - KRB Ill

- - Jalan

Penggu.n1an Lahan :
r---1 Bangunanf
Kebun Campu'L.__j P.rmuk l m~n
S.Wah lrigatl ~[_0J SelukarJSemek!

f'7..77J
fl.//n Sawah
Tadah Hujan - Hutan

:~
-... TegaLan - Jatan
Tubuh Air

INSET
101"0'0'£ 109'0'0"£ 110-ov'l ,,.O'O'E 1:.~"£

... :~

·~ oa.u.-o..s..o
I ~I.RJ G .... /"fllriJtwe;lff!t"'llll!I O!T
~wl ..OIQ I D.i~81 JI( ~•C.d0Ql
iJ O.fWn~SetJod!I .. I&! ,. )'~
lO.ItfiW!Ub~

tc ~ M f NTERIA P I! K E RJAAJf UMUM


I 40AI'> fi" HIII/11101 OAI'I .. l !to(;l\tl·\!1• <:4 "
f\54J PINII1UNDNoftlroiCl-...lriC.U.:"*'llrl14fAAa

~!:-. - ~.e- - ~ ~ Q
H0'-21'0"£

Gambar 4.12 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDAS Putih Bagian Tengah (PU-ClO s.d PU-RDS)

Pus at Litbang Sumber Daya Air 62


Naskah /lmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
11()- HI

,-.,. S.ngunan Sabo : Sut'YeyAwal :


Iii...! r.-uca~
~ ~-n s:.f1 ~g
........
•... ........
....,....,..,Nfr'IUt, aiM btfM

•• tu.n-'*Woik.lr Pem~

~2S.Om
• tGOm

• ....
T~d<t"V! 1-bi:Ancaft~
Urcl · - - -
~

e:a .,.

~W.naftM!I

SeMh teMI'I oetlla:.\1


~n'Cirlg • 10lf\l\

.t. ..._
~t\l.,

,...,,,. ~OYEKSf GEOGRAftS


1:12.000

~TUM WOS.t.-
Lf9enda KRB MERAP12010
- Balas Proplnsl KRB I
- ·-·- Balas Kabupalen KRB II

_.,£.. Sungo; - KRB Ill


- - Jolon

Srumbung ~,
Kebun campuC J Bangunanl
.,.,.., Permuktman
f'lo:- ,.
Sawah lrigasl -~·? Belukar J Sem~k

V?'~ ~;h HUjon - Hutan


~ • Tegalen - Jalln

:r- ~ ,~ .·~ , " : ~ t:


Tul>uh Air
INSET

108"0'0'"£ 109' 0'0"£ ttO"OO"E 111"0'0'1: 112'0'0"t


~ ... a... a.e
1 P.t.IKMG '-"t,.pjlf01~· OI 1'
PI:MII ~Owl! u.to- ~e ..u._o~
: C.QIINrfll" ..
IO.U:MfiiW'I,....
s.oo
~
......l'fMI"~;i
l Pct1 ADJO*IIe 1 50.QCO
Kl!fiiiiiNTl!IIIAtf P'f:KI!ftJAAN UIIIU ..
14U .U • f'l"'fiiiiA.H t)AOo Pl .. (; llotl 4 '" f:-''
f'US.\f 'INUtiAHDNoiNJ•Q,...,,!,iCOAN ...... OAtA Aa

f 8f:W B A !:- A_!~ ~ ~ 21


r 1\0"1 80'1 HO' Itlr"f r

Gambar 4.13 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDAS Putih Bagian Hilir (PU-C8A s.d PU-C2)

Pus at Litbang Sumber Daya Air 63


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai £Iemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
b) Risiko Bencana Banjir Lahar hujan DAS Bovonq
Berdasarkan karakteristik morfologi dan pemanfaatan ruangnya (lihat Gambar 4.14 dan 4.15),
DAS Boyong pada bagian hulu yang memiliki kelerengan lebih dari 15 " merupakan daerah
pembentukan aliran lahar hujan dan memiliki fungsi sebagai kawasan hutan, sudah dijumpai
juga pemanfaatan ruang sebagai permukiman. Mengingat lokasi tersebut juga masuk dalam
kawasan KRB Ill, maka perlu dilakukan upaya untuk membebaskan kawasan tersebut dari
aktivitas rutin masyarakat, apalagi permukiman karena hal ini menjadi peluang terjadinya
pembangunan yang lebih masif pada kawasan yang seharusnya merupakan kawasan lindung.

Untuk daerah transportasi, tampak pemanfaatan lahan sudah memasuki kawasan budidaya
dengan dijumpainya tanaman kayu keras yang memiliki nilai ekonomis seperti sengon, bambu,
dan kolonjono. Selain itu, vegetasi semak/belukar juga cukup mendominasi tutupan lahan.
Klaster-klaster permukiman juga ditemukan dalam areal yang tidak terlalu luas, namun perlu
medapat perhatian karena dapat mendorong pertumbuhan pemanfaatan lahan yang lebih
kompleks.

PETA ZONA81 KAWA8AN RAWAN


IENCANA SEDIIIEN
DASBOYOHG
.
+

~
-
Klaten

,..I'Ua'l,.__..
..... ,....It
.... ~.,

( l hn Oi brit~dl•)

llliiiiUo t . l llolf il'&oii.I A ... OII,I·II·


...,._,
~
1 •1 U
_
~ l
_
fl\ . IU._
ftoQ:IoM _
fiOoCI _
IUU _
C'"

~ - ~ - '= ~! . . ~ s ~. ~ ..~ . ~ -

Gambar 4.14 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen DAS Boyong

Sementara pada daerah pengendapan di hilirnya, dapat dijumpai klaster-klaster permukiman


yang makin besar berada sepanjang alur sungai lahar hujan bahkan cukup dekat dari bibir
sungai, terletak di antara areal pertanian sawah yang masih mendominasi. Menjelang
memasuki kota Yogyakarta dominasi permukiman makin masif di sepanjang bantaran
sungai.Berdasarkan zonasi kerawanan bencana banjir lahar hujan dan pemanfaatan ruang pada
DAS Boyong, maka dihasilkan peta risiko bencana banjir lahar hujan pada DAS Boyong yang
dapat dilihat pada Gambar 4 .16. Pada Gambar 4.16 tampak bahwa nilai risiko tinggi untuk
banjir lahar hujan pada zona peralihan antara daerah produksi dan transpor, dimana potensi
terjadi longsor material vulkanik dan aliran massa yang turbulensinya tinggi, serta daerah
pengendapan, dimana pada zona ini di DAS Boyong banyak terdapat permukiman yang berada

Pusat Litbang Sumber Daya Air 64


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiN'On Bencana Sedimen :
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
dekat dengan alur sungai sehingga rawan terkena dampak limpasan . Bahkan di bantaran Kali
Code yang merupakan hilir Kali Boyong yang alirannya melewati Kota Yogyakarta, terdapat
permukiman yang sangat padat pada bagian kanan dan kirinya .

PETA PEHGUN~ LAHAN


DAS KAU BOYONG

""""
. . KR8111

. ........

Gambar 4.15 Peta Penggunaan Lahan di Kali Boyong

Gambar 4.16 Peta Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang pada DAS Boyong
Pusat Litbang Sumber Da}KJ Air 65
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Benwna Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Berdasarkan hasil klarifikasi lapangan, pemanfaatan ruang di daerah hulu Kali 8oyong,
khususnya di sekitar bangunan sabo 80-07 sampai BO-DS didominasi tegalan, belukar/semak,
dan kebun/kebun campur sedangkan mulai dari 80-04 sampai 80-01 didominasi sawah irigasi
dan permukiman penduduk (Gambar 4.17). Pada beberapa titik di hulu dan hilir bangunan sabo
dijumpai aktivitas penambangan yang didominasi oleh penambang dengan menggunakan alat
berat. Aktivitas penambangan dalam skala cukup besar dijumpai pada bagian hilir BO-
D6.Permukiman penduduk mulai dijumpai di sekitar bangunan sabo 80-04 sampai 80-01,
dengan jarak permukiman terdekat ke tepi sungai kurang dari 25 m ada di sekitar bangunan
sabo BO-C7 dan 80-CBA.
Bangunan sabo pada bagian hulu Kali Boyong cukup bervariasi, mulai dari tipe terbuka, tipe
tertutup, tipe terbuka dengan jembatan, tipe tertutup dengan intakeirigasi, serta tipe tertutup
dengan intakeirigasi dan jembatan. Bangunan sabo tipe terbuka dengan jembatan, tipe
tertutup dengan intake irigasi, serta tipe tertutup dengan irigasi dan jembatan dijumpai pada
daerah dengan penggunaan lahan sawah irigasi dan permukiman penduduk. Hal ini
menunjukkan bahwa bangunan sabo yang ada disesuaikan fungsinya dengan penggunaan
lahan di sekitarnya, tidak hanya berfungsi mengendalikan aliran debris, tetapi juga sumber
pengairan (irigasi) dan penghubung masyarakat antar daerah (sebagai jembatan).
Pemanfaatan ruang di sekitar bangunan sabo BO-C9 sampai 80-GS1A didominasi oleh
permukiman pendudukdan sawah irigasi dengan sedikit tegalan (Gambar 4.18). Hal lni
menyebabkan bangunan sabo yang ada didominasi tlpe tertutup dan irigasi serta tipe terbuka
dan jembatan yang menjadi sumber pengairan (irigasi) sawah masyarakat dan akses
penghubung antar daerah (sebagai jembatan). Selain itu, juga dijumpai adanya pabrik, usaha
perikanan, dan peternakan.Aktivitas penambangan dalam skala kecil hanya dijumpai pada
bagian hulu bangunan sabo BO-C9, BO-C4, dan BO-GS1A.Permukiman penduduk pada bagian
tengah Kali Boyong sebagian besar banyak yang berada pada jarak kurang dari 25 m dari tepi
sungai, seperti di sekitar bangunan sabo 80-c2A, 80-C10, 80-CllB, B0-4A, BO-GS2B, BO-
GS2A, dan BO-C4.
Pemanfaatan ruang di daerah hilir Kali Boyong didominasi oleh sawah irigasi dan permukiman
penduduk dengan sedikit tegalan, belukar/semak, dan kebun (Gambar 4.19) serta ada
peternakan sehingga bangunan sabo yang diimplementasikan adalah tipe tertutup dengan
intakeirigasi. Pada segmen ini sebagian besar bangunan saba yang diimplementasikan
merupakan groundsi/1. Hal ini karena semakin ke hilir, kemiringan alur sungai makin landai
sehingga diperlukan groundsi/1 untuk mencegah terjadinya perubahan dasar sungai yang
ekstrem, baik agradasi (kenaikan dasar sungai) maupun degradasi (penurunan dasar sungai)
sedangkan aktivitas penambangan hanya dijumpai di hulu bangunan sabo 80-Cl.

Pusat Litbang Sumber Da)ID Air 66


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
1io·z•n 110'26'0"'£

. te-
Jenb Bantrunan Sebo :

llo..J 10rtx11<a don Jombaten


1
PETA PENGGUNAAN LAHAN
AREA ANTARA B0-07 DAN BO-CB
DAS KALI BOYONG

~

10:}
tenutup

tenutupdanifigaOI

tenutup, lrlgaoi dan j<lmbotan


~-.
Surv• y Awat :
e kebun
~
<
+
PROYEKSI GEOGRAFIS
ktbun. SIWih DATUM WGS-64

kebun, tegalan L<Qenda

kebun. tegatan. uwah - Bolas Ptoplnsl

- ·- ·- Bates Kabupitlln
;a pobnk

.tQ. pentmbang , <10 truk


__L:, Sungo ;

- - Jilin
llo pen1mbang, <10 truk. afat berat

If penambang. :..20 truk ~ n a n loa n :

• perikanan Bangunon • • Rl.l11pul

• permuldman, <2Sm

pen'l'lUkiman, $()..100m
Bolukr/Sem

Hutan
~

1'77'71
Slwah lrlgaol
Slwah
(ff./.1 Tadah Hujan
-r~ .. , r--l

Kebunl Tanah Berb•tu
pe:rmukiman. )o 100 m ,...:..-· ''"'..: t<tbun Campur l _ j
-
D
• permuklman, 25-50 m
~rmukh'Nin
INSET
.._ Tega&ln

• pe1emakan tOII'W"E 101'0'0"!: HO"''O't 111"0'0"E lt2'()'0"E

• temak, belublr
...
I

.... !
• temlk. belukllr, ktbun ~ u ~

II
!,
~1 l)': _ W_~ \ I


semak , belukar, kebun , cawah

Mmak. ~ I uker . ket>un, tegalan


tWOvi; n(YW"f. 11\'0V'f 111'0'0"£
.E
Mmak. belukar. kebun . tegalan . uwah

semak. belukar, rumput

• tegalan
IC I! .. UIITtaU,N PI!KfR J AAN u•Uil

tpztW:T-1 V/; ?Jj I


• tegal•n. uwah
l ttU, Ot, Pl, \1 111-' "ri U.\"i I'I,(; I"'' I A !ooC0 4'
"'~f).rPlAtI

~ ~ ~!:-. . ~!" - ~ .£
I
110 ' 2<1'0"'£ 110•2tft

Gambar 4.17 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASBoyong Bagian Hulu (BO-D7 s.d BO-C8)

Pus at Litbang Sumber Daya Air 67


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Jen to Bangunan Sabo : PETA PENGGUNAAN LAHAN

~ i I ~• -~·to~UI dan jomboton


AREA ANTARA BO..C7 DAN BO..C11
DAS KALI BOYONG

liOJ
ll!nutup
lenutup dan ingall

lertutup, lngoS! don jembotan kebun


+

,;r r4~·{, ~ ~ ·
ff«>YEK$1 Q€0GAAFI9
kabun. ~awh
OAl'l.JM WGs.&t
TURt
ket>un . togaton Legtndo
A
i'-1:. c. . . kebun. tega&an . 11wah - Bataof>n>piMI

- ·- - BatAII Kabupaten
iii pobol<

~ pen.mblng. < 10 lNk


_L- Sungal

- - Joton
0.. penambang. c: tO truk, llat .,_rat

"'• penatnbang . >20 vuk.

penkanan
Pe~na
Bangunan
Lahan :
. • Rumput

• permuklman. <25m

permukunan , 50-100m
Batuker/Semak

Hutan
'777l Slwon
"//[.J Tldan HUjon
~ Sowah tflgaOi

~· .... :.:. · Kt-bunl r--1 TaOAh Berbatu


• permuklman. ;I> 100m .. ,.:..,.. ··.:.. t<ebun CampurL--1
-
D Perm~n
• pennul<lman. 25·50 m
Tegalln
INSET

• petemakan tila'O'O'"f 101' 0"0'1!: 1 : a~ tn-on 112 on

•. stmit. belukar

i
I Qf37 ~ . .. '.51· . 0
~, semalt, belubr, ktbun

cemak, betuker. ktOun uwah


~

" eemak . belukar, kabun . tegalan ....,.._..,._-,--...,.-_,--1 i


. _,.
101"0'0'1! tiO'O'O"'! I H'O'O"l'! H} ~
Hmik. beluUr, kebun . Wgatan. uwah

eemak , belukar. tUmput

lti'MINTI!ItiAN II'Et<I!".IAAN UMUII


· ~ 0" "' rl .. fi ii U"' 0.0.'01 ' t"• C U U ... flo (, .\ ..
• tegalan . uweh "'.uo~(M, ......
~ . !:- - A ._! ~S ~ ~ - ~ - ~

Gambar 4.18 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASBoyong Bagian Tengah (BO-C7 s.d BO-CllA)

Pusat Litbang Sumber Daya Air 68


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rai'ICJn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Jenle Bangunan Sabo : PETA PENGGUNAAN LAHAN


AREA ANTARA BO-C12 DAN BO-GS
• IOftUkl
DAS KALI BOYONG
Jliii;J lort>ukl dan jernt>otan

• lertutup

tertutup dan iltgul SUrveyAWII :


e kobun
+
~ tortutup, •lgasl don ,.mbotan
PFtOVEl<SI GEOORAflS
kebun, sawan OA.ll.JM V t(;~

kebun . lo~an Legend•


- Balli Proptn&t
kebun. ~gatn . uwah
- -- -- Batu K<obupalen
ii pobrik

c!ll< penambang , <10 truk


J Su~o
- - Jolon
Doe penambang, <tO truk, aJat berat

"'• penamb1ng, ~20 truk Pe n~ M an Lahan :

pem.anan Bangunan 4 Rumput

Y 'U f~L . : ~w4P{J


• permuktman. <25m
Balukor/Semak

~
Sawah lrtgati

~:.h
tT~
- Hulon Hujon
I pennukiman. 5()..100 m
:/- . -

SLEMAN .- ::- . Kebun/ , - - - , lllnah BerboiU
permuklman , >tOO m •~ ~ .....; Kebun C.mporl.__j
0 ~gaen
• permuldman. 2>50 m
Ptrmutuman
INSET

• polemokln
Mr'Mk, bekJkat
101"0'0'£ lt.t"Vft uoon m-on 112'C"'"E

~i ~~ I: ~ f E
·•
•mak. beklkaf, kebun

• NRll:k. bek.lkllr. ktbun . uwatl

~ ~
• Mmak. belukar, kebun , tegalan

11mak. belukar. kebun , tegalan . sa wah ,..., ......... ,.,, 1 ~


t...,---.---.--......---.--1
' 0'"! IOf 'O'O"! 110'00"'! \U OO"'f H Z'V'O"'!.

semak. belukar, rumput


......" I P.tl.l K.RO 0. U. r:1o01 _..,.., T l~ 0111 DIY VVMOV
lO.-,•iet&~IuaHJ
J O..ltlMWMb " - ' \
l Pc t~l"
e teg111n
. . ' SOOOD
t<fMI!NTfifll l r'IIN PEMEit.lr'IIAN UMUM
14 DA!'o r l ' l l 'lf-' ' O.o. ... I' I ~Ct., I .OIof,J ...
• tegalan , uwah "-41VUI\HOA.irtJQ~a•

~ . ~ -~ ..L !'> e- - ~ ~ 2
10~'"£

Gambar 4.19 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASBoyong Bagian Hilir (BO-C12 s.d BO -GSS)

Pus at Litbang Sumber Daya Air 69


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
c) Risiko Bencana Baniir Lahar hujan DAS Woro
Ditinjau dari karakteristik morfologi dan pemanfaatan ruangnya (lihat Gambar 4.20dan 4.21),
DAS Woro pada bagian hulu yang memiliki kelerengan lebih dari 15·, yang merupakan daerah
pembentukan aliran lahar hujan dan memiliki fungsi sebagai kawasan hutan, namun ekspansi
pemanfaatan ruang sebagai permukiman sudah terjadi hingga ke kawasan ini. Kondisi ini perlu
mendapat perhatian khusus dan segera dikendalikan, mengingat lokasi tersebut merupakan
kawasan KRB Ill. Perlu dilakukan upaya pendekatan kepada masyarakat untuk membebaskan
kawasan tersebut dari aktivitas rutin masyarakat, apalagi permukiman dan mengembalikan
kawasan yang seharusnya merupakan kawasan lindung. Namun, hal ini harus dilakukan dengan
memberikan pemahaman yang utuh kepada masyarakat terkait upaya penataan ruang sebagai
bagian dari upaya mitigasi bencana.
Untuk daerah transportasi, tampak pemanfaatan lahan sudah memasuki kawasan budidaya
dengan dominasi pemanfaatan lahan sawah dan tegalan. Klaster-klaster permukiman juga
ditemukan berada cukup dekat dengan alur sungai agar kedepan tidak memicu pembangunan
permukiman yang makin dekat dengan sungai lahar hujan.Sementara pada daerah
pengendapan di hilirnya dapat dijumpai klaster-klaster permukiman yang makin besar berada
sepanjang alur sungai lahar hujan bahkan berada di dalam kantong lahar hujan yang
seharusnya tidak dihuni karena kawasan itu sangat berpotensi terkena dampak endapan
material lahar hujan.

PETA ZONAS! KAWASAN RAWAN


BENCANA SEDIMEN
DASWORO

___:.c. • A:,. 51."¢'~


, :" 'r:,1agelang

+
\<>~., ·
~- &tnlbl.ng
. ,......,.
~ - Bita&Procltntt

--
-BitnKebuplltlfl
_./: .......

~r'lkanutew ,

___
er.I~M'nltbNBi
(~debm l rtfa6clnb!,.)

0 ~n,RkoSitpc.l ~ ~NtaiWI I '*"btl


,...,. twpaln~

...... "' ... ... ... '"'""... ,.,


~R.tnal (lftniNI'MG~!OSJ
Jll.t;N r •• •4N'l"IIU& .. II ....... .
IY/tiii'CNUIIIIfo _
~ _ _ _...IA\ ..

~ - ~-.J ...~· - ~

Gambar 4.20 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen DAS Woro

Berdasarkan zonasi kerawanan bencana banjir lahar hujan dan pemanfaatan ruang pada DAS
Woro, maka dihasilkan peta risiko bencana banjir lahar hujan pada DAS Woro sebagaimana
disajikan dalam Gambar 4.22. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai risiko tinggi untuk
banjir lahar hujan pada zona peralihan antara daerah produksi, dimana potensi terjadi longsor

Pus at Litbang Sumber Daya Air 70


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
material vulkanik dan aliran massa, serta daerah pengendapan, dimana pada zona ini di DAS
Woro banyak terdapat permukiman yang berada dekat dengan alur bahkan di dalam alur
sungai pada kantong lahar hujan sehingga rawan terkena dampak terjangan banjir lahar hujan .

PETA PENGGUNAAN U.KAN


OA8KAUWORO

.....Boyolali
,
+
KlteMP'UIZft O

e.t•~
"'""
KR8"

~·" . - """"'

,., . ,,. ,, ,. ,,.. Pt•t•J••oru• u•


h . . .. f ht l l1h~ - ~ .... .. . .. u ... . .

~ ~ ~:rs.;· 9

Gambar 4.21 Peta Penggunaan Lahan di Kali Woro

PETA POTENSI KONFUK


PEMANFAATAN RUANO
OASWORO

+
........
. - 8IIWIFJNPMI

-- Kela~onfk :

. ..........
. . P. . . K1t:~
Po4«111Kontii:RH!dan

·~n · M~
,....
n:':'.. c. 1'..1ll"'l •·zO":"!:

Gambar 4.22Peta Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang pada DAS Woro


Pus at Litbang Sumber Daya Air 71
Naskah 1/miah l<onsep Penataan Ruang pada l<awasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di l<awasan Merapi
Berdasarkan survei lapangan, pemanfaatan ruang di daerah hulu Kali Wore, khususnya di
sekitar bangunan sabo W0-06 sampai WO-C3, lebih didominasi oleh tegalan dengan vegetasi
kayu keras (lihat Gambar 4.23). Bangunan sabo yang diimplementasikan pada daerah hulu Kali
Wore merupakan bangunan sabo tipe terbuka, kecuali W0-06 yang merupakan bangunan saba
yang paling atas. Bangunan sabo dengan fungsi tambahan jembatan dijumpai pada WO-C3.
Pada daerah hulu Kali Wore ini sudah banyak dijumpai aktivitas penambangan pasir, baik
secara manual dan masih dalam skala kecil dijumpai di hilir W0-04 (Balerante) dan WO-RDl,
maupun penambangan pasir dengan alat berat dijumpai di hulu W0-06 dan WO-C3
(Kendalsari).
Namun, pemanfaatan lahan untuk permukiman dijumpai dalam jarak yang cukup dekat dengan
sungai, justru pada lokasi W0-06 yang berada pada wilayah KRB Ill. Hal ini tentu saja tidak
sejalan dengan adanya fungsi kawasan lindung pada daerah hulu sungai lahar hujan yang juga
merupakan kawasan rawan bencana gunungapi. Sementara pada lokasi lain hunian penduduk
dijumpai dalam jarak yang cukup jauh dari sungai, yaitu lebih dari 100m.

Pemanfaatan ruang di Kali Wore, khususnya di sekitar bangunan sabo WO-e (Junut) sampai
wo-e (Jaten), lebih didominasi oleh tegalan dengan vegetasi kayu keras dan sawah irigasi (lihat
Gambar 4.24). Tegalan tersebut merupakan bagian dari lahan milik penduduk yang tinggal di
sekitar kawasan tersebut, sementara sawah irigasi pada lokasi tersebut diairi dari intake irigasi
pada bangunan sabo WO-C (Sukorini). Bangunan sabo yang diimplementasikan pada daerah
tengah Kali Wore tersebut, padaumumnya merupakan bangunan sabo tipe terbuka, kecuali
WO-e (Kedusan). Bangunan sabo dengan fungsi tambahan jembatan dijumpai pada WO-e
(Jaten). Aktivitas penambangan pasir ditemui pada setiap lokasi bangunan sabo, namun masih
dalam skala kecil.

Pemanfaatan lahan untuk permukiman cukup padat dijumpai dalam jarak yang cukup dekat
dengan sungai, bahkan kurang dari 25 m dari tepi sungai. Oi dekat bangunan sabo WO-e
(Junut) juga terdapat gedung sekolah yang cukup dekat dengan Kali Woro.Pemanfaatan ruang
di Kali Wore, khususnya di sekitar bangunan sabo WO-e (Wonoboyo) sampai WO-e (Geneng),
lebih didominasi oieh sawah irigasi dengan sediklt pemanfaatan kebun (lihat Gambar 4.25).
Terdapat dua bangunan sabo tipe tertutup yang memiliki fungsi tambahan sebagai intake
irigasi, yaitu WO-C (Wonoboyo) sampai WO-e (Geneng), sementara WO-e (Pandan Simping)
merupakan bangunan sabo tipe tertutup. Bangunan sabo dengan fungsi tambahan jembatan
tidak dijumpai pada ketiga bangunan sabo pada segmen ini. Aktivitas penambangan pasir
ditemui pada setiap lokasi bangunan sabo, namun masih dalam skala kecil dengan jumlah truk
beroperasipada saat survei awal kurang dari 10 unit. Pemanfaatan lahan untuk permukiman
juga dijumpai namun dalam jarak yang lebih jauh, sekitar 50-100 m dari sungai. Di dekat
bangunan sabo WO-e (Pandan Simping) dijumpai gedung industri yang berada cukup dekat
dengan Kali Wore.

Pusat Litbang SUmbet Da)'a Air 72


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

' . '-~ \ ....-- \


, · 1. l _;, ' 'I I ' \ \ -• P&TA SURVEY PENDAHULUAN
I{ '-'1 ' • .... .
~"-
y .
DAS KALI WORO
\/ . •, ' .\ \ '<. \ '·''\ WILAYAH HULU
.J, . \ '" ~ ' '
.- - \ !
-.
. ' '
,•., ~ I
.
. .), \
.~\
\
\
11'
I ·-\,

. , ~, \\
\
\-.-,

\ ,.
\
~:-
.>f-~ ';_ ~
>.
\ \..,/
+
~: ~ I J" -!·'1.>', ' ..,,'-lrt>.~J!:,
..,.·~ . -~ -. - ~ !.
' ' ' •,-\ ~-' ..'· ,
"

'
. '

..
I '"

.
j . .· I
'c
,___ ,
' . .
'
,
\
• · ,'
.,
1\,-'\ \ /I

PROYEKSI G(OGAAFIS
1'27.000

~TUM WGS-64
' ' - ' i \.- ,. Lau-nd• KR8 MERAPI 2010
\ \ ..../ ... I ' \ ' I- \ \


\
- Batao Ptoplntl KRB I
TIJ)e terbuM ,.""'-"
', - - --- Batos Kabupaton KRB II
\
T~ terbUka dan ,l&fTCatan \ ......:·-· ).
·-. - ~-r ' 1 SUngo> - KRB Ill
Topelertutup . \
,.
.. .,. '\
r '
\
•,
. \
\ ) ,,

~- -~ - -.., •, - \ \ Kfaten \
lC)e tVftuttJI) deng&n lflgiSI . \- \ ' ·'., . \ . - -\'

-_ -
Penggunaan Lehan
I~ ( ,. - \' r· \ t)_ -~

~
;:
Awal :
Penamt>ang .. , 0 truk j
...
--·+ \ - - --; --.-;-
\
' \
,
flOi
. 4--·-, -)
.
Kem. .g
· _ \\'
-~.:L
\'·

'
~. ,-:.-:--- ·-\··;·\
,~i ,•\ ~
I
lndUS~:
Lapongon
~
t;':;z:j ~=:
Sawah lflg.r;,

HUJ>n

I t '•-r • ''-\·
-~ , _.. - _,_,
1 \ \. \ il D MakAm J·t . ;~1J =:dan
•\I ' . ':. .·. ·.,.. , f" :a.~- \ .'
Penambang ~20 truk ~

l
I '

Permuklman, 50-100m I \ \, ...>:- ~ • \ 1 A ~.:('\


\ \ \ \\
\ \ \ - Penkanan - ~%ng/Huta
.I ...

' ... ~ . . -~ . . \ \. \ . ~ ' •' :1 \~


\ ~,
' 0
0

~·,
.
R

\. . . . . . \'.~
\
I
\ \ .. >
c=J Permuklman C J Tegatlln
Petmuklmen. <25m
I \,1 ' I ~ -\' I ' (\ I \ ' - "'
' '.'r . .
INSET
Pemtulum11n. 2~ - 50 m ' .l
·(' \· ~· ), ·\ ~-'
10t'O'O'f. IOt'o·O"( uo·on 111 ' 00'1! 111'G'O"E:

l '\--.
\I ' \
I _...\ ....._ ') \ ' '("' \
_r · . ·• ..
~ -~
~ 1
I.; ~.,

_j \ '1 :. . ·, \ ',.\.-- -· \.. '


. . . . \ . \ ·t-·
\ '
~
SIWII'I
... \
Sawah, kebun I I i I _,;
I\
\-

'( \
-\
• ~- ~
Befutwlsemaklf umut den lfV81an •
I
J...
~
\
''··-
\
t - ' ',\ .
~ t \\
' \
-\
o., . '· "':
JL.. '
- >~ ~
,
\
'
\ F'l : ,I __ ,,..,., t-5

••J:.
I \ \ 1 )\ 1 \ I I ..
Teg1U1n \ --1 I ; \ h ... /..1 \ ,·~ . -. I
\\Y( ~-.· · -~\ ~' ,·~ nYo.c3 A· .. ,

\
Tegalan. SIIN.h, C. han befbatu
\-··' 11 • ' \ \.- -...,
...~
...l,..._ ....
rT~- ~-
S.kolah \

&.. lndustn
' \
I
I
, I '\ \ 1, \"
KIMINTitlli A N PIK~J
a .. n, .. ,..._IIIII\ .. 0\.._ . l tiCf"IA .. e.u.c
"-"AlPVMiltll.'fClYII ...........,~Diot'A ...
A A N u•u M

I 1 \ i\ -~ _b. ~ b ~ ..L§.e- - ~ - 2
110'2t"O'li 1'1/)'29CrE t1o•)n-E

Gambar 4.23 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASWoro Bagian Hulu (W0-06 s.d WO-C3)

Pus at Litbang Sumber Daya Air 73


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

/ PETA PETA PEMANFAATAN RUANG


SEKITAR BANGUNAN SABO
.,. -;:. DAS WORO WILAYAH TENOAH

-+
·~ .
...~
e;. Kararl4}nongk0 oo Nao.• on

1:14.000
fiROYEKSl OE'OGRAFlS
1),6.1Uf.l WGS·84

Legtnda KRS MERAP12010


Tlpe Bangunan Sabo :


- Batas Proplnsf KRB I

~i
~ I lliJ Tipt terbuka - ---- Batas Kabt.paten KRB II
r.pe terbukl _dan ,embatan ____.,6- Sungol - KRB Ill

I Tlpe lertutup -Jatan

l1pe tertutup dlngan tngni


Ptnggu naan Lehan
Survey Awal : ~lndustr1 Sowah lttgasl
e--- La an 777A Sawah
~ P4Nmbang. ctQ ln.lk :.~ pang i£LLd Tadeh Hujon
,.---, Ma"'" ~ S.mpadan
L___j -m ····: Sunga1
Penambang. >20 truk
Perikanan - TNGM
Permukiman. 5()..100 m llindung/Hlltan
c:J Permukimanc:J Tegatan
- Pennuklmtn . c25 m -

~+ ~
Permuklman . 25-50 m

~
Sawah

I• Sawall. kel>un
SetuktriMmakiTumut din tegalan
I •
- ~ i
~
•• r.g&lan

T•lan. wwah. tanah befbatu


I I
110-b'O"t:
I I
H l'O'O"E
I
112'0'0'(

.t. Sekolah
ICI!MI!!NTIUIIAN '!ki!!RJAAN UMUM

I.. tndustn
-----·---------
t4UA~
"I'Oo(~CAN._Y
Pl~ lOIJ ' f'OI 04\ Pl._t.I .. IAH (.~ flo

I 'tO lOV'!" lt0 ' 30"l0"(


- IO ' l l ~
~ .~ !:-.~ . !. . S , f!-. - ~ ~ 9

Gambar 4.24 Peta Pem anfaatan Ruang Sekita r Bangunan SaboDASWoro Bag ian Tengah (WO-C Junut s.d WO -C Jaten)

Pus at Litbang Sumber Daya Air 74


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
tiDJ l ~"E

PETA PETA PEMANFAATAN RUANG


SEKITAR BANGUNAN SABO
OAS KALI WORO WILAYAH HILIR

+
113000
PROVEKSI GEOGRAFtS
OAtl..lt.l WG$.84

legenda KRB MERAP\2010

~

Tipe Bangunan Sabo :
- Batas Proponsl KRB I

• Topettfbul<a - ·-·- Batas Kab<lpaten KRB II

liiiiii;:] Tope tllbul<a 411n Jtmoatan ___.,f Sungal - KRB Ill

cI Tlpe terlulup -.~awn

Tlpe tertu\llp dengan lngali


Jagonalln Penoo••••• lilian
Survey Awal : ~ lndullri ~ Sawan lf1Vaai

e:c P.nambang. c. 1o truk lapangan ~ ~;,•: HUJan

Pen.mbang, >20 truk


C J Makam ~ ~a n
TNGM Penl<anan -
• Pennuklman. 50-100m IUndungiHutan
C J PermuklmanC J Ttlga"n
~ - Permukimen. <25 m -
r Pennuktmon, 25-50 m

Sawah

• Sawah. kebun

.._
Bel'-*arJaemaklrumut dan tegalan

• Tegaian
i)t:..,.I .......... S_

• Tegaian, .. won. tahan bert>aru ·~;.Out-H ... 1..... ,.M~


:>betta.--910"1...... _ .............. ,\AM"~

.J:. Sakolah ·
J C.I
~ 1'
~I.-
.. ,.1~0

I(I!Wt:en!aiAN PUti!.JAAN UMUII


.A li A "' ""' IU IIA ilo' ll • ' ~ 1, (.1' 1 .. .-_, C. .\'
... lndullri f\.WI"'MUoir~-l ...... IMYAMI

~ A . '= - ~ I , s . e._~ Q
'¢31"30"f 110• )1")0"'!

Gambar 4.25 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASWoro Bag ian Hilir (WO-C Wonoboyo s.d WO-C Geneng)

Pus at Litbang Sumber Daya Air 75


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknalogi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
4.2.3. Kajlan Perencanaan Tata Ruane Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjlr Lahar
hujan Merapl dengan Studi Kasus Kecamatan Srumbung dan Kecamatan
Salam di DAS Putih
Pendekatan perencanaan pada kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada wilayah gunungapi
diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan kawasan permukiman atau daerah
terbangun di sekitar DAS, khususnya dari dampak sekunder pasca peristiwa erupsi yang
mengalir melalui jalur sungai. Dalam konteks permukiman tradisional yang warganya sebagian
besar hidupnya bergantung pada sumber daya alam, khususnya pada daerah pegunungan,
keberadaan gunungapi dengan seluruh karakteristiknya telah melekat dengan kehidupan
sehari-hari warga setempat. Meskipun demikian, kewaspadaan terhadap potensi bahaya erupsi
tetap perlu ditingkatkan oleh masyarakat setempat. Pada aspek perencanaan, perlu
diperhatikan prinsip-prinsip penataan kawasan resistan terhadap dampak bencana erupsi
sedangkan khusus pada Daerah Aliran Sungai yang terhubung langsung dengan puncak
gunungapi (volcano), bahaya yang mengancam biasanya berupa ancaman banjir lahar hujan
dan sedimen maupun yang berasal dari material vulkanik berbahaya yang mengalir melalui
jalur sungai pasca erupsi. Pada dasarnya, pengaturan tata guna lahan dan bangunan suatu
kawasan merupakan alat atau mekanisme yang paling efektif untuk meningkatkan ketahanan
kawasan rawan bencana terhadap berbagai resiko dampak erupsi (World Bank Institute
Distance Learning Natural Disaster Risk Reduction, 2002).

Kajian ini memilih kawasan DAS Kali Putih di wilayah Kecamatan Srumbung, Kabupaten
Magelang sebagai studi kasus dalam kaitannya dengan perencanaan kawasan DAS dengan
mengakomodasi prinsip-prinsip penataan kawasan rawan bencana banjir lahar hujan sebagai
dampak lanjutan dari bencana erupsi. Kawasan studi dibagi menjadi 3 (tiga) lokasi pengamatan
dengan tujuan untuk memperoleh data fislk secara detail dengan pendekatan tata guna lahan
dan fungsi bangunan. Setiap lokasi memiliki karakteristik fungsi lahan dan bangunan yang
berbeda sehingga meskipun prinsip penataan kawasan reslstan terhadap dampak bencana
erupsi umumnya adalah sama, namun risiko keruglan yang dapat dialami oleh setiap lokasi
berbeda, tergantung dari karakteristik kondisi existing setempat. lokasi pengamatan 1 dan 2
secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Srumbung, sedangkan lokasi 3 berada
dalam wilayah Kecamatan Salam.
Sebelum menentukan arahan penataan ruang pada kawasan tersebut, perlu dilakukan
pemetaan kerentanan untuk mendapatkan gambaran kondisi tingkat rawan kawasan terhadap
ancaman erupsi. Pemetaan terhadap faktor kerentanan pada kawasan rawan bencana perlu
dilakukan untuk mengetahui titik kelemahan suatu kawasan yang menyebabkan kawasan
tersebut rentan, sehingga kebijakan untuk penguatan kawasan tersebut dapat lebih terarah
dan tepat sasaran. Oleh sebab itu, pada bagian selanjutnya, keempat kelompok kerentanan di
atas dianalisis dan dibahas secara kuantitatif secara lebih detail pada daerah Srumbung dan
Salam di Kali Putih. Namun tidak semua faktor dapat dikuantitatifkan, beberapa hal yang tidak
dapat dijabarkan secara kuantitatif dideskripsikan secara kualitatif. Berikut ini merupakan
analisis pemetaan kerentanan pada titik (spot)pengamatan di Kecamatan Srumbung dan
Kecamatan Salam:
a) Kerentanan Fisik (Physkal Vulnerability)
Berdasarkan klasifikasi dan pembobotan kerentanan fisik dalam Tabel 4.3, dilakukan
analisis nilai kerentanan fisik Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam yang hasilnya
disajikan pada Tabel4.4, dengan parameter ukur sebagai berikut:

Pusat Litbang SUmber Daya Air 76


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawason Ra'Wf1n Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Ka'Wf1mn Merapi
1) Kepadatan bangunan
Kepadatan bangunan adalah rasio atau persentase luas area terbangun dalam suatu
luasan area tertentu. Semakin tinggi kepadatan bangunan pada suatu wilayah, maka
akan semakin rentan pula wilayah tersebut terhadap bencana. Kerentanan ini terkait
kerusakan kemungkinan akan timbul ketika bencana terjadi dan pasti juga dapat
menimbulkan kerugian yang besar.
Berdasarkan hasil analisis spasial, kepadatan bangunan di Kecamatan Srumbung,
dalam area survei lokasi 1 sekitar 26,25% atau sebesar 10,48 ha dari luas area 39,93 ha
dan pada lokasi 2 sekitar 6,77% atau sebesar 6,48 ha dari luas area 95,69 ha,
sedangkan pada lokasi survei di Kecamatan Salam kepadatan bangunan sebesar
21,30% atau sebesar 25,02 ha dari total area survei 117,45 ha.
2) Jarak bangunan dari tepi sungai
Selain kepadatan bangunan, faktor lain yang ikut berpengaruh adalah jarak bangunan
(permukiman/rumah penduduk) ke tepi/sempadan sungai. Oari hasil survei terlihat
bahwa letak permukiman/rumah penduduk di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan
Salam sebagian besar memiliki jarak ke tepi sungai antara 150-300 m, dengan jarak
terdekat ± 25 m.
3) Kondisi bangunan
Kondisi bangunan yang dimaksud adalah persentase bangunan permanen atau
semi/nonpermanen dalam suatu luasan area tertentu. Semakin banyak bangunan
semi/nonpermanent pada suatu daerah akan membuat daerah tersebut semakin
rentan terhadap bahaya bencana. Berdasarkan survei detail yang telah dilakukan,
diketahui bahwa kondisi bangunan di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam
sebagian besar merupakan bangunan permanen, dengan peruntukan paling banyak
sebagai permukiman/rumah penduduk. Kerusakan rumah akibat erupsi Merapi 2010
di Kecamatan Srumbung yang tercatat sebanyak 29 unit sedangkan di Kecamatan
Salam sebanyak 37 unit. Walaupun terdapat kerusakan rumah, tetapi tidak terdapat
korban jiwa maupun korban luka.
4) Ketersediaan sarana dan prasarana sistem evakuasi
Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu hal penting dalam menghadapi dan
mengurangi ancaman bencana, terutama sistem evakuasi yang ada pada suatu
daerah. Baik Kecamatan Srumbung maupun Kecamatan Salam telah memiliki sistem
evakuasi yang cukup memadai, terdiri dari akses jalan, transportasi, lokasi
pengungsian, dan titik kumpul. Oari keempat komponen tersebut, berdasarkan
wawancana, diketahui bahwa penggunaan titik kumpul adalah yang paling sedikit
dilakukan dalam pelaksanaan evakuasi karena ketika mengungsi sebagian besar
penduduk lebih memilih untuk langsung menuju ke lokasi pengungsian dan
menggunakan kendaraan pribadi.
Akses jalan yang digunakan untuk mengungsi adalah jalan utama maupun jalan desa
dengan Iebar antara 4-6 m, secara umum kondisinya masih baik, tetapi khusus untuk
jalan evakuasi di Ousun Kemburan, Kecamatan Salam, berdasarkan informasi warga
sulit diakses. Sedangkan jenis tranportasi yang digunakan sebagian besar adalah
kendaraan pribadi (swadaya masyarakat) dan truk bantuan dari ABRI/TNI. lokasi
pengungsian yang digunakan adalah fasilitas umum yang ada di kecamatan, seperti
sekolah, lapangan, balai desa, dan fasilitas umum lainnya.
Oari hasil wawancara juga diketahui bahwa pemahaman masyarakat terkait sistem
evakuasi sudah cukup baik. Masyarakat memahami apa yang harus dilakukan ketika
Pusat Litbang SUmber Dayo Air 77
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknoiogi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
mengungsi, seperti jalan yang digunakan, moda transportasi yang digunakan, lokasi
titik-titik kumpul, dan lokasi pengungsian sementara. Pemahaman ini mereka peroleh
dari sosialisasi yang telah dilakukan dan dengan adanya papan penunjukjalur evakuasi
yang jelas, yang dipasang pada jalan yang digunakan sebagai jalur evakuasi.
Tabel4.3 Klasifikasi dan Pembobotan Kerentanan Fisik
Jarak
Kepadatan
Bangunan Kondisl Sistem
Bangunan Klasifikasi Bobot
keTepi Bangunan Evakuasi
(%)
Sungai (M)
<!:50 <50 Non Kondisi akses Tinggi 2
Permanen jalan,
transportasi,
titik kumpul,
dan lokasi
pengungsian
tidak
memadai.
11-49 51-150 Semi Kondisi akses Sedang 1
Permanen jalan,
transportasi,
titik kumpul,
dan lokasi
pengungsian
kurang
memadai.
:S10 151-300 Permanen Kondisi akses Rendah 0
jalan,
transportasi,
titik kumpul,
dan lokasi
pengungsian
baik
.. ..
Sumber: Hasil analtsts peneltttan, 2014

Tabel4.4 NilaiKerentanan Fisik di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam


Jarak
Kepadatan Bangunan Kondisl Sistem
Kecamatan Bobot
Bangunan (%) keTepi Bangunan Evakuasi
Sungai (M)
Kurang
11-49 151-300 Permanen Sedang
Srumbung Memadai
(Sedang/1) (Rendah/0) (Rendah/0) (1)
(Sedang/1)
Kurang
11-49 151-300 Permanen Sedang
Salam Memadai
(Sedang/1) (Rendah/0) (Rendah/0) (1)
(Sedang/1)
.. ..
Sumber: Hast/ analtsts penelittan, 2014

Pusat Litbang SUmber Da}G Air 78


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawason Rawan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
b) Kerentanan Soslal (Social Vulnerability)
Kerentanan sosial (social vulnerability) merupakan suatu kondisi tingkat kerapuha n sosial
dalam menghadapi bahaya/bencana. Berdasarkan klasifikasi dan pembobotan kerentanan
sosial dalam label4.7, dilakukan analisis nilai kerentanan sosial Kecamatan Srumbung dan
Kecamatan Salam yang hasilnya disajikan pada label 4.8, dengan parameter ukur terdiri
dari kepadatan penduduk, kelompok usia rentan, mental dan pengetahuan serta interaksi
sosia masyarakat.

1) Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk (jiwa) da lam suatu luasan area tertentu
(km 2 ). Kepadatan penduduk yang semakin tinggi akan berpengaruh terhadap
kerentanan suatu wilayah terhadap bencana. Semakin tinggi kepadatan penduduk,
maka kerentanan wilayah tersebut terhadap bencana juga akan semakin tinggi karena
berhubungan dengan keselamatan jiwa dan kondisi kesehatan penduduk. Jumlah
penduduk pada tahun 2013 di Kecamatan Srumbung sebanyak 46.747 jiwa sedangkan
di Kecamatan Salam sebanyak 45.996 jiwa. Pada label 4.5 dapat dilihat tingkat
kepadatan penduduk pada kedua kecamatan relatif tinggi, dibandingkan rata-rata
kepadatan penduduk Indonesia menurut Sensus Penduduk 2010 {124 jiwa/km 2), yaitu
799 jiwa/km 2 di Kecamatan Srumbung dan 1.454 jiwa/km 2 di Kecamatan Salam.
Kepadatan penduduk dipengaruhi oleh makin dekatnya dengan pusat kota
(perekonomian) dan pusat kebudayaan (tujuan wisata) sehingga pertumbuhan desa-
desa di sepanjang sisi Kali Putih mengalami perkembangan pesat setiap tahunnya.

Tabel4.5 Kepadatan Penduduk Tahun 2013


Uralan Kecamatan Srumbung Kecamatan Salam
luas Wilayah (kmL) 58,49 31,63
Jumlah Penduduk Uiwa) 46.747 45.996
Kepadatan Penduduk (jiwa/kmL) 799 1.454
..
Sumber: Badan Pusat Stattsttk Kabupaten Magelang, 2014

2) Kelompok usia rentan


Masyarakat yang masuk dalam kelompok usia rentan adalah orang lanjut usia/lansia
dan balita. Masyarakat dalam kelompok tersebut akan lebih rentan terhadap bencana
dibandingkan dengan kelompok usia produktif. Hal ini dikarenakan kemampuan
penduduk kelompok usia rentan untuk menghindari bencana rendah akibat
keterbatasan fisik. Jumlah penduduk menurut kelompok umur pada kedua kecamatan
tersebut dapat dilihat pada label4.6. Dapat dilihat bahwa penduduk dalam kelompok
usia rentan (tua/lansia dan balita), baik di Kecamatan Srumbung {12.575 jiwa atau
26,90%) maupun Kecamatan Salam (12.267 jiwa atau 26,67%) lebih dari 25% dari
jumlah penduduk total yang ada pada wilayah tersebut.
Tabel4.6 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2013
Kelompok Umur(Tahun) Kecamatan Srumbung Kecamatan Salam
< 5 (balita) 3.998 {8,5%) 3.736 {8,12%)
6-19 (remaja) 11.064 {23,67%) 10.914 {23,73%)
20-34 (remaja-dewasa) 9.776 {20,91%) 9.192 {19,98%)
35-54 (dewasa) 13.332 (28,52%) 13.623 (29,62%)
~5 (tua/lansia) 8.577 {18,35%) 8.531 {18,55%)
Total 46.747 (100%) 45.996 (100%)
..
Sumber: Badan Pusat Stattsttk Kabupaten Magelang, 2014

Pusat Litbang Sumber Da).O Air 79


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Sementara hasil survei, menunjukkan bahwa umumnya keluarga di daerah tersebut
memiliki satu atau lebih anggota keluarga yang rentan karena keterbatasan fisiknya,
baik itu lansia maupun balita. Dalam perencanaan mitigasi bencana kerentanan ini
penting untuk diakomodir terkait dengan penyediaan fasilitas evakuasi dan lokasi
pengungsian. Sedangkan pengendalian yang dapat dilakukan terhadap kerentanan
kependudukan dapat dilakukan melalui pengendalian pertumbuhan penduduk,
penguatan kapasitas masyarakat untuk menghadapi bencana banjir lahar hujan, serta
peningkatan kualitas dan kuantitas sarana/prasarana evakuasi.
3) Mental dan Pengetahuan
Kondisi mental yang dimaksud adalah kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan
bahaya bencana. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan di Kecamatan Srumbung
dan Kecamatan Salam, dapat diketahui bahwa kesadaran dan pengetahuan
masyarakat terkait bahaya bencana pada wilayah mereka sudah baik. Masyarakat
telah memahami bahwa erupsi Gunungapi Merapi dapat menimbulkan bencana
langsung, seperti aliran piroklastik, yang lebih dikenal dengan sebutan wedhus
gembel, lava, dan hujan abu serta bencana tidak langsung, seperti banjir lahar hujan.

4) Pengalamankebencanaan
Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman masyarakat ketika bencana terjadi.
Erupsi Gunungapi Merapi yang memiliki siklus setiap 3-4 tahun sekali menyebabkan
masyarakat yang bermukim di sekitarnya, dalam hal ini di Kecamatan Srumbung dan
Kecamatan Salam, menjadi terbiasa dengan pengalaman ketika bencana erupsi terjadi.
Pengalaman lni yang membuat masyarakat mengerti apa yang harus dilakukan ketika
di masa mendatang kejadian bencana terulang kembali.
5) lnteraksi Sosial Masyarakat
lnteraksi sosial masyarakat dimaksudkan adalah pola hubungan dan relasi antar
anggota masyarakat, seperti nilai persaudaraan, kepedulian dan gotong royong. Pola
ini dapat mempengaruhi kerentanan terkait kemampuan masyarakat tersebut sebagai
sebuah kelompok dalam menghadapi ancaman atau bencana, dimana makin renggang
hubungan atau relasi antar individual, maka kerentanan makin tinggi.
Dilihat dari interaksi sosial masyarakatnya, lokasi tinjauan memiliki pola hubungan dan
relasi yang cukup erat. Hal ini tercermin dari berbagai aktivitas sosiallingkungan yang
mencerminkan nilai persaudaraan dan kebersamaan, yang umum dijumpai di lokasi
KecamatanSrumbung maupun KecamatanSalam, seperti gotong royong membuat
hunian warga yang kurang mampu, sumbangan bagi warga yang terkena musibah, dan
kerja bakti membersihkan lingkungan dusun. Bahkan di Kecamatan Srumbung
beberapa aktivitas sosial secara spesifik terkait dengan kesiapsiagaan terhadap
bencana seperti relawan Merapi dan SAR.

Pusat Litbang SUmber Da)IO Air 80


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Bonjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Tabel4.7 Klasifikasi dan Pembobotan Kerentanan Sosial
Kepadatan Kelompok Mental
Pengalaman lnteraksi
Penduduk Usia dan Penge Klaslfikasi Bobot
Bencana Sosial
(Jiwa/Km 2) Rentan (%) tahuan
~ 2574 ~50 Cukup Baik Jarang Minim Tinggi 2
aktivitas
sosial
masyara
kat.
1193-2573 21-49 Baik Biasa Ada Sedang 1
aktivitas
sosial
masyarakat
bersifat
umum
:S 1192 :S 20 Sangat Sering Ada Rendah 0
Baik aktivitas
sosial
masyarakat
bersifat
spesifik
kebenca
naan.
.. ..
Sumber: Hast/ analtsts peneflttan, 2014

Tabel4.8 NilaiKerentanan Sosial di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam


Mental
Kepadatan Kelompok Pengala
dan lnteraksl
Kecamatan Penduduk Usia man Bobot
Pengetahu Soslal
(Jiwa/Km2) Rentan (%) Bencana
an
Baik Sering Ada sifat
21-49
:S 1192 umum
Srumbung (Sedang/1) (Rendah/ Sedang (1)
(Rendah/0) (Sedang/1) 0) (Sedang/1)
)

Baik Ada sifat


21-49 Sering
kebencana
1193-2573 (Rendah/ Sedang (1)
Salam (Sedang/1) an
(Sedang/1) (Sedang/1) 0}
) (Rendah/0
)
.. ..
Sumber: Haslf anaftsts peneltttan, 2014

c) Kerentanan Kultural (Cultural Vulnerability)


Nilai kerentanan kultural yang ada di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam
berdasarkan klasifikasi dan pembobotan kerentanan kultural dalam Tabel 4.9, disajikan
dalam Tabel 4.10. Berdasarkan wawancara warga, aktivitas yang bersifatkultural di
Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam terdiri dari 4 (empat) macam aktivitas
kultural, yaitu:

Pusat Lltbang SUmber Daya Air 81


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
a) Keagamaan, berupa hadroh, tahlilan, mujahadan, dan yasinan.
b) Kesenian tradisional, berupa jathilan, reog, dan ludruk.
c) Kelembagaan, berupa relawan Merapi, Posyandu, relawan OPKB/Operasi Pasar
Khusus Beras.
Aktivitas kultural tersebut dilaksanakan rata-rata satu kali dalam seminggu, beberapa
kegiatan seperti gotong royong dan hadroh dilaksanakan satu kali dalam satu bulan. Dari
aktivitas kultural masyarakat pada lokasi tinjauan terlihat ikatan kultural yang kuat
(cultural bond) antarwarga di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya aktivitas
kultural yang dimiliki serta frekuansi tatap muka antarwarga yang sangat tinggi. Aspek
yang membentuk kondisi demikian adalah homogenitas masyarakat. Hampir semua
responden dalam survei sudah tinggal di kawasan tersebut lebih dari 40 tahun, ini berarti
sebagian besar warga sudah sating mengenal sejak lama bahkan tumbuh bersama.
Ditinjau dari ketiga macam aktivitas kultural, tampak bahwa kultur keagamaan sangat
kental, dilihat dari cukup banyaknya ragam dan frekuensinya. Kesamaan dari aspek
kultural agama juga membuat komunitas tersebut menyakini nilai atau norma yang relatif
sama, seperti kebersamaan, tolong-menolong, gotong royong, dan kepedulian. Hal-hal
tersebut membentuk keterikatan emosional yang kuat antarindividu. Berbeda dengan
masyarakat yang heterogenitasnya tinggi, yang umumnya lebih individualistis. Semakin
kuat ikatan kultural tersebut, dapat dikatakan masyarakatnya akan lebih siap ketika
bencana terjadi karena antar penduduk yang satu dengan yang lainnya akan saling
membantu dan bekerjasama.
lkatan kultural ini namun juga bisa menjadi permasalahan apabila nilai-nllai kultural yang
diyakini bertentangan dengan upaya penanggulangan kebencanaan. Apabila ini terjadi,
maka resistensi dari masyarakat akan besar terhadap upaya tersebut. Oleh sebab itu,
upaya penanggulangan bencana juga harus diselaraskan dengan kearifan lokal yang ada
sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat, khususnya dalam konteks masyarakat
dengan ikatan kultural yang kuat seperti di Kawasan Merapi.
Tabel4.9 Klasifikasi dan Pembobotan Kerentanan Kultural

lkatan Kultural Antarwarp Klasifikasi Bobot

Kurang kuat, frekuensi jarang, dan bersifat umum Tinggi 2


Cukup kuat, frekuensi biasa, dan bersifat umum Sedang 1
Kuat, frekuensi sering, dan bersifat kebencanaan Rendah 0
.. ..
Sumber: Has1l anal1s1s penellt1an, 2014

Tabel4.10 NilaiKerentanan Kulturaldi KecamatanSrumbung dan Kecamatan Salam


Kecamatan lkatan Kultural Antarwarga Bobot
Cukup kuat, frekuensi biasa, dan
Sedang (1)
Srumbung bersifat umum
(Sedang/1)
Kuat, frekuensi sering, dan bersifat
Rendah (O)
Salam kebencanaan
(Rendah/0)
.. ..
Sumber: Haslf anal/SIS penellt1an, 2014

Pusat Lltbong SUmber Da)Kl Air 82


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar hujan do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
d) Kerentanan Ekonomi (Economical Vulnerability)
Kerentanan ekonomi (economical vulnerability) merupakan suatu kondisi tingkat
kerapuhan ekonomi dalam menghadapi bahaya/bencana. Kemampuan ekonomi
masyarakat dalam suatu daerah sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap
bencana. Berdasarkan kefas kfasifikasi kerentanan ekonomi pada Tabel 4.12, dilakukan
pengukuran nilai kerentanan ekonomi di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam.
Hasil pengukuran nilai kerentanan tersebut disajikan dalam Tabel 4 .13.

1) Mata pencaharian
Mata pencaharian yang berada di sektor rawan, dimana berpotensi terpengaruh ofeh
dampak bencana akan menyebabkan masyarakat tersebut semakin rentan terhadap
bencana karena terkait dengan kefangsungan hidup.Pada Gambar 4.26 dapat dilihat
bahwa mata pencaharian utama di Kecamatan Srumbung didominasi oleh
petani/berkebun dan perangkat desa/PNS/guru . Hal ini dikarenakan daerah tersebut
memiliki ciri kawasan budidaya, dimana dijumpai pemanfaatan lahan untuk pertanian,
seperti kebun, tegalan dan sawah sedangkan di Kecamatan Salam didominasi oleh
buruh/tukang/penambang. Untuk mata pencaharian swasta, baik di Kecamatan
Srumbung maupun Kecamatan Salam memiliki perbandingan yang sama .
Dari hasil wawancara, hampir semua responden memiliki pekerjaan sampingan selain
pekerjaan utamanya. Hal ini karena sebagian besar penduduk bukan pekerja kantor
yang memiliki jam kerja tertentu sehingga dapat secara ffeksibel mengatur waktu
untuk beberapa pekerjaan. Mata pencaharian sampingan penduduk cukup berbeda
pada kedua kecamatan, pada Kecamatan Srumbung didominasi petani/berkebun dan
buruh/tukang/penambang sedangkan pada Kecamatan Salam didominasi oleh swasta
dan petani/berkebun (Gambar 4 .26). Adanya mata pencaharian sampingan ini, dapat
mengurangi kerentanan ekonomi suatu masyarakat, khususnya apabila jenis
pekerjaan sampingannya tidak terpengaruh oleh dampak erupsi, sehingga apabila
terjadi bencana masih ada penopang ekonomi yang dimiliki.

Mata Pencaharlan Utama Mala Penuoharlan Sampincan

Sumber:Hasil survei detail, 2014


Gambar 4.26 Perbandingan Mata Pencaharian Utama Dan Sampingan Kecamatan
Srumbung dan Kecamatan Salam

Dilihat dari pengalaman bencana, mata pencaharian yang paling rentan terhadap
bencana erupsi Merapi adalah petani/berkebun karena sektor pertanian akan sangat
terpengaruh oleh kejadian bencana. Dapat dikatakan Kawasan Srumbung dan Salam
memiliki kerentanan ekonomi yang tinggi karena sebagian besar masyarakat memiliki
mata pencaharian utama maupun sampingan sebagai petani/berkebun .

Pusat Litbang Sumber Daya Air 83


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawason Rowan Benazna Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
2) Jenis Sektor Penopang Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan pendapatan domestik suatu
daerah yang dapat memberikan gambaran tentang struktur ekonomi, pertumbuhan
ekonomi, dan pendapatan per kapita daerahnya.PDRB juga dapat menjadi indikator
kerentanan ekonomi suatu kawasan.Pada Tabel4.11 dapat dilihat persentase terbesar
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kecamatan Srumbung diperoleh dari sektor
pertanian (rata-rata 48,23%), sektor swasta, seperti perdagangan, restoran, dan hotel
(rata-rata 14,15%), serta sektor pertambangan (rata-rata 12,81%). Hal ini sesuai
dengan mata pencaharian utama maupun mata pencaharian sampingan paling banyak
sebagai petani/berkebun (Gambar 4.26).
Sedangkan persentase terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kecamatan
Salam diperoleh dari sektor swasta, seperti perdagangan, restoran, dan hotel (rata-
rata 26,01%), sektor pertanian (rata-rata 25,43%), dan sektor jasa (rata-rata 16,05%).
Hal ini dimungkinkan karena semakin dekatnya dengan pusat perekonomian/kota
sehingga pemasukan dari sektor swasta lebih banyak dibandingkan sektor pertanian,
selain itu kawasan ini juga dekat dengan obyek wisata Candi Borobudur sehingga
sektor swasta yang terkait pariwisata memegang peran penting dalam ekonomi
kawasan.

Tabel 4.11 Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar
Harga Berlaku (%) Tahun 2010-2012
Kecamatan Srumbung Kecamatan
Uralan Salam
2010 2011 2012 2010 2011 2012
Pertanian 49,20 49,03 47,45 26,02 25,36 24,91

Pertambangan dan
12,53 13,01 12,89 3,78 3,88 3,84
Penggalian
lnsdustri Pengolahan 4,74 4,86 4,95 15,67 15,92 16,14
listrik, Gas, dan Air
0,15 0,15 0,15 0,32 0,31 0,31
Minum
Ba ngu na n/Konstru ksi 8,26 8,61 9,08 4,96 5,09 5,12
Perdagangan,
14,09 14,09 14,26 25,95 25,82 26,26
Restoran, dan Hotel
Penga ngkuta n dan
0,98 0,97 0,95 5,08 5,12 5,02
Komunikasi
Keuangan, Persewaan,
1,10 1,09 1,06 2,38 2,33 2,26
dan Jasa-Jasa
Jasa-Jasa 8,95 9,20 9,22 15,84 16,16 16,15
..
Sumber: Badon Pusat Stattstik Kabupaten Magelang, 2014

Jika ditinjau dari jenis sektor yang menopang ekonomi kawasan, maka seharusnya
Kecamatan Srumbung secara ekonomi memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan
Kecamatan Salam karena sektor pertanian yang akan terkena dampak langsung dari
aktivitas Merapi. Namun, pertumbuhan ekonomi Kecamatan Salam pada tahun 2010
juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan adanya erupsi Merapi tahun 2010 yang
menimbulkan kerugian yang besar, baik secara materiil maupun nonmateriiil. Baru
Pusat Litbang SUmber Daya Air 84
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra'NOn Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Ka'NOsan Merapi
pada tahun 2011-2012, pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan. Hal 'ini
menunjukkan bahwa sektor pariwisata juga terpengaruh oleh dampak aktivitas Merapi
sehingga Kecamatan Salam juga memiliki kerentanan ekonomi meskipun tidak sebesar
Kecamatan Srumbung karena sektor pariwisata masih tetap berjalan, hanya
mengalami penurunan jumlah wisatawan.

Tabel4.12 Klasifikasi dan Pembobotan Kerentanan Ekonomi

Sektor Mata
Jenis Sektor Penopang Ekonomi Klasifikasi Bobot
Pencaharian

Rawan (Terdampak Rawan (menyumbang persentase Tinggi 2


langsung bencana) dalam Produk Dosmetik Regional
Bruto/PDRB ~ 45%)
Cukup rawan Cukup raw an (menyumbang Sedang 1
(Cukup terdampak persentase dalam Produk
langsung bencana) Dosmetik Regional Bruto/PDRB
antara 5-44%)
ndak rawan (Tidak Tidak rawan (menyumbang Rendah 0
terdampak persentase dalam Produk
langsung bencana) Dosmetik Regional Bruto/PDRB :S
5%)
.. ..
Sumber: Hast/ analtsts peneltttan, 2014

Tabel4.13 NilaiKerentanan Ekonomi di KecamatanSrumbung dan KecamatanSalam


Jenis Sektor Penopang
Kecamatan Sektor Mata Pencaharlan Bobot
Ekonoml
Rawan Tinggi (2)
Srumbung Rawan (Tinggi/2)
(Tinggi/2)
Cukup rawan Sedang (1)
Salam Cukup rawan (Sedang/1)
(Sedang/1)
.. ..
Sumber: Hast/ analtsts peneltttan, 2014

Dari analisis kerentanan (vulnerability) mencakup kerentanan fisik, kerentanan sosial,


kerentanan kultural, dan kerentanan ekonomi dapat dipoleh nilai kerentanan secara
keseluruhan terhadap Kec. Srumbung dan Kec. Salam yang dapat dilihat pada label 4.14 dan
Gambar4. 27.
Tabel4.14 NilaiKerentanan Keseluruhan di KecamatanSrumbung dan KecamatanSalam
Kerentanan
Kecamatan
Fisik Sosial Kultural Ekonomi
Sedang (1) Sedang (1) Tinggi (2)
Srumbung Sedang (1)

Sedang (1) Rendah (0) Sedang (1)


Salam Sedang (1)
.. ..
Sumber: Hast/ analtsts peneltttan, 2014

Pusat Litbang Sumber Dayo Air 85


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Nilai Kerentanan Kawasan

l<erent anan Fi sik


2

Keren1anan Ekooomi Kerentanan SOSial

KcJentanan Kultu ral

- Kecamata n Srumbung - Kecamatan Salam

Sumber: Hasil ana/isis penelitian, 2014


Gambar 4.27Nilai kerentanan kawasan di Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam

Pada Gambar 4.27 terlihat bahwa Kecamatan Srumbung memiliki tingkat kerentanan
tinggi/paling rentan terhadap parameter ekonomi (kerentanan ekonomi) sedangkan untuk
parameter lainnya, seperti fisik, sosial, dan kultural berada pada tingkatan kerentanan yang
sedang. Untuk Kecamatan Salam, memiliki tingkat kerentanan sedang terhadap parameter
fisik, sosial, dan ekonomi sedangkan terhadap parameter kultural berada pada tingkatan
kerentanan rendah.

Dengan memahami kondisi kerentanan wilayah tersebut dan aspek-aspek yang menyebabkan
kerentanan, maka arahan penataan ruang pada wilayah tersebut disamping
mempertimbangkan ancaman juga harus mendukung penguatan kapasitas kawasan . Hasil
analisis arahan penataan pada pada lokasi pengamatan adalah sebagai berikut:

a) Arahan Penataan Kawasan Srumbung pada Lokasi Pengamatan 1 dan 2


Kawasan Srumbung pada lokasi pengamatan 1 terletak di sekitar Bangunan Sabo PU-C9
dan PU-RDl. Kawasan ini masuk dalam zona KRB I dan II dan berada pada radius 20 km
dari puncak Merapi. Dampak erupsi pada kawasan ini adalah lahar hujan, hujan abu, air
asam, awan panas, lontaran batu pijar, guguran lava, hujan lumpur panas dan gas beracun.
Terkait dengan karakteristik ancaman banjir lahar hujan, daerah Srumbung termasuk
dalam daerah pengendapan dengan potensi risiko tinggi terjadi limpasan dan endapan
material angkutan sedimen pada sisi kanan dan kiri sungai.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada lokasi pengamatan 1 DAS Kali Putih
Srumbung, lahan terbangun (fungsi permukiman, industri, dan komersial) sebagian besar
berada pada zona kurang dari 100 meter dari bibir sungai namun terdapat pula area
terbangun dengan jarak kurang dari 30 meter dari bibir sungai. Semen tara dilihat dari jenis
bangunannya sebagian besar merupakan bangunan permanen . Karakteristik fungsi
bangunan pada kawasan ini didominasi fungsi permukiman dan komersial, selain masih
terdapatnya ruang hijau pada jarak antara 50-150 m dari tepi Kali Putih, yang berupa
sawah dan kebun milik masyarakat sekitar.

Pusat Litbang Sumber Daya Air 86


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Tekn.ologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

ST\JDI KONSEP PENATMN RUAHG


PADA KAWASAN RAWAN
SEHCANA SEOIMEN

bangunan rawan
terhadap material erupsi melalui
jalur sungai

Gambar 4.28 Tipologi Bangunan di Kawasan Srumbung pada lokasi pengamatan 1

Kawasan Srumbung pada lokasi pengamatan 2 berada di hilir lokasi pengamatan 1.


Kawasan ini juga berada pada zona KRB I dan II serta berada pada radius 20 km dari
puncak Merapi. Dampak erupsi pada kawasan ini adalah lahar hujan, hujan abu, air asam,
awan panas, lontaran batu pijar, guguran lava, hujan lumpur panas dan gas beracun.
Terkait dengan karakteristik ancaman banjir lahar hujan, daerah ini termasuk dalam
daerah pengendapan dengan potensi risiko tinggi terjadi limpasan dan endapan material
angkutan sedimen. Berdasarkan hasil survei, lahan terbangun (fungsi publik dan
permukiman) yang relatif dekat (kurang dari 150 meter) dengan bibir sungai sebagai jalur
aliran banjir lahar hujan dan sedimen perlu diperhatikan secara khusus mengingat
besarnya kerentanan permukiman pada zona tersebut terhadap dampak bencana.
Kompleksitas potensi bencana pada kawasan Srumbung ini menuntut adanya
perencanaan evakuasi yang efektif dan pusat-pusat evakuasi sementara bagi penghuni
pada level hunian. Pada sisi utara sungai tampak memilki sebaran bangunan permukiman
yang lebih sedikit dibandingkan sisi selatan Kali Putih. Dimana sisi selatan tersebut
didominasi oleh bangunan fungsi publik di samping permukiman atau hunian.

Pusat Litbong SUmber Daya Air 87


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan do/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

·r

Kelompok bangunan rawan


terhadap material erupsi melalui
jalur sungai

Gambar 4.29 Tipologi Bangunan di Kawasan Srumbung pada lokasi pengamatan 2

Kebijakan relokasi perlu diterapkan, khususnya pada lahan terbangun yang berada sangat
dekat dengan sungai karena potensi bahaya yang dihadapi oleh lokasi tersebut, baik pada
saat dan pasca peristiwa erupsi. Selain itu perlu dilakukan perencanaan alih fungsi lahan
yang terbangun di sekitar DAS menjadi area hijau yang berfungsi sebagai kawasan
penyangga (buffer area) yang melindungi daerah permukiman sekitar. Alih fungsi lahan
tersebut direkomendasikan sebagai kawasan lindung, dengan pembatasan aktifitas di
dalamnya yang t idak mengganggu kondisi bentang alam dan ekosistem alami, namun yang
juga dapat menguatkan sektor ekonomi setempat mengingat aspek kerentana n ekonomi
pada kawasan tersebut sebagai kawasan rawan bencana . Fungsi lahan yang dapat
mendukung perekonomian lokal namun tidak bertentangan dengan fungsi lindungnya
misalnya pemanfaatan kawasan tersebut sebagai kawasan desa wisata kebencanaan
gunungapi.

Sistem vegetasi yang mampu mereduksi efek panas yang terbawa oleh aliran lahar hujan
pada sungai, dapat direncanakan pada area pada kawasan penyangga tersebut . Jenis
vegetasi yang dapat menjadi indikator adanya ancaman bencana sekaligus memiliki nilai
ekonomi bagi masyarakat sekitar juga perlu dipertimbangkan. Sebagai contoh penanaman
tanaman bambu di tepi sungai lahar hujan dapat berfungsi sebagai penahan limpasan
banjir lahar hujan hujan sekaligus penanda bahaya, karena bambu akan meledak saat
terpapar panas dan suara ledakannya dapat menjadi peringatan dini kepada warga untuk
menjauhi daerah bahaya . Di sisi lain, tanaman bambu sendiri memiliki nilai ekonomis yang
cukup tinggi karena dapat dimanfaatkan untuk membuat furnitur atau perabotan rumah
tangga .

Pus at Litbang Sumber Daya Air 88


Naskah llmiah Kansep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Telcnoiogi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Kompleksitas potensi bencana pada kawasan Srumbung ini menuntut adanya perencanaan
evakuasi yang efektif dan pusat-pusat evakuasi sementara bagi penghuni dengan tanpa
mengesampingkan kearifan lokal yang ada di kawasan Merapi. lokasi tempat perlindungan
sementara harus berada pada daerah yang cukup aman. lokasi ini dapat memanfaatkan
ruang publik yang telah dilengkapi dengan sistem utililas pendukung kehidupan pengungsi
untuk jangka waktu tertentu. Model ini biasa digunakan dengan memanfaatkan fasilitas
umum terdekat, seperti gedung perkantoran, sekolah, bangunan komersil dan tempat
ibadah. Oleh sebab itu, fasilitas umum yang akan digunakan sebagai lokasi evakuasi harus
berada pada zona aman. Namun, model ini memiliki kelemahan karena pemanfaatan
fasilitas tersebut sebagai tempat evakuasi mengakibatkan fungsi fasilitas umum sendiri
terganggu. Sebagai contoh penggunaan gedung sekolah sebagai lokasi evakuasi akan
mengakibatkan kegiatan belajar-mengajar akan terganggu atau bahkan tidak dapat
berjalan, sehingga mengorbankan aktifitas pendidikan. Sebagai alternatif lain dapat
digunakan model pengungsian sementara dengan konsep "satu keluarga pada kawasan
aman menampung satu keluarga pengungsian". Model ini menarik dan memungkinkan
untuk dikembangkan di Kawasan Merapi yang memiliki kultur hubungan kekeluargaan
yang erat antaranggota masyarakat. Kelebihan dari model lni adalah selain lebih efisien,
juga lebih menjamin kehidupan pengungsi yang lebih layak, baik secara fisik maupun
mental, dibandingkan jika harus berada di lokasi pengungslan yang dihunl oleh banyak
keluarga.
b) Arahan Penataan Kawasan Salam pada lokasl Pengamatan 3
Kawasan Salam pada lokasi pengamatan 3 terletak di sekitar Desa Jumoyo dimana pada
tahun 2011 terkena dampak limpasan banjir lahar hujan cukup parah. Kawasan ini juga
berada dalam zona KRB I dan II dan berada pada radius 20 km dari puncak Merapi. Dampak
erupsi pada kawasan ini berupa lahar hujan, hujan abu, air asam, awan panas, lontaran
batu pijar, guguran lava, hujan lumpur panas dan gas beracun. Terkait dengan karakteristik
ancaman banjir lahar hujan, daerah Salam ini termasuk dalam daerah pengendapan
dengan potensi risiko tinggi terjadi limpasan dan endapan material angkutan sedimen
karena tebing sungai yang tidak terlalu tinggi dengan topografi kawasan yang relatif landai.
Tingginya potensi bencana pada kawasan Salam ini, khususnya dilihat dari sejarah daerah
terdampak banjir lahar hujan yang cukup luas, menuntut adanya penataan fungsi lahan
yang meningkatkan ketahanan kawasan terhadap dampak eruspi. Fungsi lahan di sekitar
sisi Kali Putih pada lokasi pengamatan 3 didominasi oleh fungsi permukiman dan industri
yang relatif sangat dekat dengan bibir sungai. Daerah ini jauh lebih padat dibandingkan
dengan daerah Srumbung dengan pembangunan yang cukup masif. Hal ini disebabkan
karena lokasinya yang sangat strategis, yaitu berada dekat akses jalan nasional
penghubung kawasan utara, tengah dan selatan Pulau Jawa.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, Ia han terbangun (fungsi permukiman, industri,
komersial) sebagian besar berada pada zona kurang dari 100 meter dari bibir sungai
dengan jarak paling dekat adalah kurang dari 30 meter dari bibir sungai. Pada aspek tata
guna lahan, kebijakan relokasi perlu diterapkan terlebih pada daerah yang pernah
terdampak banjir lahar hujan karena potensi bahaya yang dihadapi oleh lokasi tersebut
baik pada saat dan pasca peristiwa erupsi. Selain itu, perlu dilakukan perencanaan alih
fungsi lahan yang terbangun di sekitar sungai menjadi area hijau yang berfungsi sebagai
kawasan penyangga (buffer area) yang melindungi daerah permukiman sekitar. Namun
sementara ini, informasi sistem evakuasi menjadi elemen yang penting pada kawasan

Pus at Lltbang SUmber Dayo Air 89


Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiMJn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
rawan bencana yang terdapat permukiman tersebut, dimana informasi yang diberikan
terkait arah jalur evakuasi untuk menuju lokasi yang aman .

JALUR EVAKUA.Sf
WILAYAH JUMOYO
SEIIAGIAN LOKASI 3
KAU PIITlH HIUR

Gambar 4.30 Peta Jalur evakuasi pada salah satu area di Kec. Salam

~ ~ ~ ~ w r9 ~ -_ ~ we......,
---
_,_..

-- ......

-- M...., tnploiln--.g

Gambar 4.31 Tipologi Bangunan di Kawasan Salam pada lokasi pengamatan 3

Pusat Litbang Sumber Daya Air 90


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Sistem vegetasi, yang mampu mereduksi efek panas yang terbawa oleh aliran lahar hujan
pada sungai sekaligus penanda bahaya atau peringatan dini sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, dapat juga direncanakan pada pinggiran sungai tersebut. Selain itu,
berdasarkan pengalaman kejadian banjir lahar hujan tahun 2011 yang mengakibatkan
terputusnya Jalan Nasional Yogyakarta-Magelang, perlindungan terhadap fungsi jalan
tersebut sangat penting karena merupakan akses vital perekonomian. Penerapan Sistem
Sabo di Kali Putih merupakan salah satu upaya melindungai aset tersebut dari kerusakan
saat terjadi bencana a lam.
Secara prinsip, perencanaan kawasan pada lokasi pengamatan 3 DAS Putih, Kec. Salam,
tidak berbeda dengan lokasi pengamatan 1 dan 2. Pada aspek fungsi bangunan, kebijakan
pengendalian pembangunan pada area yang pernah terkena dampak banjir lahar hujan di
perlu diterapkan agar tidak menambah kerentanan kawasan. Selain itu, upaya alih fungsi
lahan permukiman pada area terdampak menjadi area hijau yang berfungsi sebagai
kawasan penyangga (buffer area) juga perlu dilakukan, meskipun secara bertahap
mengingat daerah tersebut yang sudah terlanjur padat. Pembatasan ijin pembangunan
pada kawasan tersebut, penetapan standar konstruksi bangunan yang tinggi, serta
penerapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan tarif khusus dapat menjadi alat untuk
mengontrol pembangunan pada kawasan rawan bencana.

4.3. Kebljakan Penataan Ruang di Kawasan Merapi


Kerentanan yang muncul, baik bersumber dari kerentanan fisik, sosial, ekonomi maupun
kultural, disebabkan karena adanya kompleksitas pemanfaatan ruang yang menimbulkan
konflik fungsi dari ruang tersebut. Dalam rangka mengurangi kerentanan akibat kompleksitas
pemanfaatan ruang tersebut, maka perlu dilakukan pengendalian pemanfaatan ruang,
khususnya pada kawasan rawan bencana alam dengan melakukan perencanaan tata ruang
untuk menentukan batasan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Selain itu, kawasan
budidaya juga perlu diperjelas lagi antara kawasan budidaya terbangun dan tidak terbangun
sehingga dapat sejalan dengan PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN pada Pasal 98 (c)
disebutkan, bahwa zonasi untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya disusun dengan
memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar kawasan yang telah ditetapkan
sebagai kawasan rawan bencana a lam.
Namun demikian, dalam implementasinya, kebijakan penataan ruang pada masing-masing
kawasan DAS sangat bergantung pada karakteristik masyarakat setempat dan regulasi daerah
terkait. Sebagai contoh, kebijakan pada DAS Putih, DAS Boyong, dan DAS Woro terkait
pemanfaatan di KRB yang berada di wilayah administrasi yang berbeda. Pada DAS Woro yang
berada di wilayah Kabupaten Klaten, memiliki kebijakan mengizinkan penduduk untuk tinggal
di KRB dengan catatan akan mengungsi jika di terjadi bencana. Pada DAS Boyong di Kabupaten
Sleman dilakukan relokasi untuk penduduk di KRB Ill, namun status pemilikan lahan pada KRB
Ill tersebut masih menjadi milik warga, namun pemanfaatannya dibatasi untuk budidaya
pertanian. Sedangkan KRB pada DAS Putih di Kabupaten Magelang, belum semua penduduk di
KRB Ill dapat direlokasi karena banyak permukiman terlanjur berada di dalam KRB sehingga
untuk memindahkan membutuhkan biaya besar dan perlu dilakukan secara bertahap.
Upaya untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan penataan pemanfaatan ruang pada
Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi ini direalisasikan dengan penyusunan Rancangan
Perpres No. 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi (TNGM). Kebijakan penataan ruang Kawasan TNGM meliputi pelestarian lingkungan

Pusat Litbang Sumber Dayo Air 91


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Te/cnologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kaiiii'Qsan Merapi
dan pengembangan kawasan berbasis mitigasi bencana. Sebagai konsekuensi dari kebijakan
tersebut rencana pola ruang Kawasan TNGM diarahkan untuk meningkatkan perlindungan
lingkungan, mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dan
meningkatkan konservasi sumber daya air serta melindungi masyarakat dari risiko bencana
alam geologi. Terkait Kawasan TNGM sebagai kawasan risiko bencana alam geologi, maka pola
ruang dengan peruntukan sebagai kawasan lindung dalam Perpres ini diatur pada Pasal 30,
dimana terdiri atas:
a. Zona lindung 1 (Zona Ll), yaitu Taman Nasional yang berada pada Kawasan Rawan
Bencana Alam Geologi;
b. Zona Lindung 2 (Zona L2), yaitu Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi yang terdampak
langsung;
c. Zona Lindung 3 (Zona L3), yaitu Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi yang berada pada
sempadan sungai;
d. Zona Lindung 4 (Zona L4), yaitu Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi yang terdapat
kantung (enclave) permukiman.
Secara prinsip ada beberapa pendekatan penataan ruang pada kawasan rawan bencana banjir
lahar hujan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah, secara umum kesemuanya
menekankan pada upaya meminimalisir potensi kerentanan (vulnerability) yang bersumber dari
permukiman tersebut dengan beberapa cara berikut:
1. Memindahkan permuklman keluar dari kawasan rawan bencana banjir lahar hujan
(relokasi).
2. Membatasi aktivitas pada kawasan rawan bencana banjir lahar hujan dengan membatasi
peruntukannya tidak untuk permukiman.
3. Mengeluarkan penduduk dari kawasan rawan bencana banjir lahar hujan pada saat terjadi
banjir lahar hujan (evakuasi).
Konsep pertama, berbasiskan pendekatan menjauhkan penduduk dari daerah bencana (keep
people away from disaster) sehingga potensi risiko bencana dapat diminimalisir dengan
memindahkan permukiman dari daerah rawan bencana. Umumnya pendekatan ini hanya
diterapkan pada daerah yang memiliki tingkat risiko paling tinggi, seperti pada Zona Ll dan
Zona L2. Dengan pendekatan ini, untuk kawasan rawan bencana sedimen dapat diterapkan
pada daerah potensi sumber sedimen (daerah produksi) dan pada lokasi awal daerah
pengendapan atau daerah bukaan kipas aluvial. Pada daerah produksi dapat ditetapkan
sebagai kawasan lindung sedangkan pada daerah kipas aluvial dapat dijadikan kawasan
penyangga berupa sabuk hijau (greenbelt) atau ruang terbuka hijau (RTH) publik. Arahan
pemanfaatan lahan yang diperbolehkan pada zona ini adalah kegiatan atau aktifitas yang
bersifat konservasi lingkungan, pemantauan dan peringatan dini bencana, penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, dan wisata minat khusus, seperti wisata kebencanaan.
Namun, kegiatan tersebut tentunya harus memperhatikan ketentuan terkait Peringatan Dini
Bencana.
Konsep kedua, masih meletakkan pada prinsip menjauhkan manusia dari bencana (keep people
away from disaster), tetapi dengan pendekatan yang lebih toleran, dimana masih
diperbolehkan adanya pemanfaatan fungsi kawasan rawan bencana untuk aktivitas penduduk,
namun frekuensinya dibatasi dengan menetapkan fungsinya tidak sebagai kawasan
permukiman, tetapi untuk kawasan budi daya tidak terbangun, seperti kawasan peruntukan
hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, dan kawasan peruntukan pertanian.
Konsep ini beberapa diterapkan pada Zona L3, khususnya pada kawasan yang belum terlalu
Pusat Litbang Sumber Daya Air 92
Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
padat. Dalam konteks bencana sedimen, penerapan konsep ini, dilakukan pada daerah rawan
bencana yang risikonya sedang, seperti daerah transpor atau daerah pengendapan yang belum
relatif padat permukiman sehingga tidak terlalu besar resistensinya. Jika merujuk pada pada PP
No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, memang sudah ditetapkan bahwa dalam pengelolaan
sungai dikenal istilah garis sempadan, yang merupakan batas maya di kiri dan kanan palung
sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai. Adapun fungsinya sebagai ruang
penyangga antara ekosistem sungai dan daratan agar fungsi sungai dan kegiatan man usia tidak
saling terganggu, sebagai contoh untuk limpasan banjir. Pada Pasal 10 dijelaskan ketentuan
terkait garis sempadan untuk sungai besar 100 m sedangkan untuk sungai kecil 50 m. Namun,
jika melihat dari riwayat dampak banjir lahar hujan yang pernah terjadi, jarak ini tidak sesuai
untuk kasus sungai lahar hujan yang termasuk dalam kategori sungai kecil. Sebagai contoh
kasus limpasan banjir lahar hujan Kali Putih sebagaimana ditampilkan dalam Gambar4.32.
Daerah ini termasuk daerah transisi dari transpor ke pengendapan. Pada kejadian tersebut
terjadi limpasan lahar hujan hingga 500 m keluar dari alur sungai pada titik Jalan Nasional
Magelang, bahkan pada titik di hilirnya terjadi limpasan hingga 600 m. Bangunan dan rumah
yang terletak dalam radius tersebut mengalami kerusakan, baik tertimbun maupun hancur
karena diterjang material boulders. Kondisi ini dapat dijadikan acuan dalam menentukan
kawasan rawan bencana sedimen, khususnya daerah dengan karakteristik demikian. Oleh
sebab itu, untuk kondisi sungai lahar hujan, batas daerah milik sungai yang merupakan
kawasan rawan bencana banjir lahar hujan harus ditetapkan lebih hati-hati. Untuk daerah
transpor dapat diambil 100 m pada sisi kanan dan kiri sungai karena potensi bahayanya
cenderung berupa longsor tebing, sedangkan peluang terjadinya limpasan kecil karena pada
daerah ini tebing sungai masih cukup tinggi. Untuk daerah pengendapan dapat diambil 300 m
pada sisi kanan dan kiri sungai karena pada daerah ini peluang terjadi limpasan besar karena
alurnya sudah melandai dan tebing sungai biasanya tidak terlalu tinggi, terlebih lagi apabila
terjadi pendangkalan sungai akibat endapan sedimen. Namun, khusus untuk daerah
pengendapan pada bukaan kipas aluvial dengan kelerengan antara 3"-1o·garis sempadan
dapat diambil hingga 500 m karena daerah ini memiliki risiko tinggi sebagai daerah awal
pengendapan, dimana kecepatan masih relatif tinggi sehingga potensi limpasan dapat lebih
jauh. Dengan demikian, PP No. 38 Tahun 2011, tidak sesuai dengan kondisi ancaman banjir
lahar hujan pada sungai lahar hujan dengan karakteristik seperti Kawasan Merapi. Potensi
dampak banjir lahar hujan berkalilipat lebih besar dari dampak banjir perkotaan biasa. Oleh
sebab itu, untuk daerah dengan potensi demikian, regulasi terkait pemanfaatan banta ran banjir
perlu dikaji agar sesuai dengan potensi risiko bencananya. Adapun kegiatan atau aktifitas yang
diperbolehkan pada kawasan ini kurang lebih sama dengan zona lindung produksi sedimen,
namun aktivitas manusia, seperti budi daya pertanian dan kegiatan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya air sungai, diperbolehkan pada kawasan ini dengan tetap
memperhatikan dan mematuhi peringatan dini bencana yang ada. Untuk pertanian disyaratkan
agar jenis tanaman yang tidak mengurangi kekuatan struktur tanah. Pada zona ini juga
dilakukan pengendalian pertumbuhan dengan tidak memperbolehkan pendirian bangunan dan
sarana permukiman di dalamnya.

Pus at Litbang Sumber Da).O Air 93


Naskah /lmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Sumber: Fakultas Geografi UGM 2011


Gambar 4.32 Peta Sebaran Limpasan Lahar hujan di Desa Jumoyo
Konsep ketiga, merupakan pendekatan untuk kawasan bencana yang sudah terlanjur terdapat
permukiman, dalam hal ini masuk dalam Zona L4 yang disebutkan sebagai kantung (enclave)
permukiman . Konsep ini lebih menekankan pada kehidupan harmonis berdampingan dengan
bencana alam (living in harmony with disater), dimana sistem peringatan dini dan
kesiapsiagaan bencana menjadi elemen yang penting pada kawasan ini. Kantung-kantung
permukiman pada kawasan rawan bencana ini banyak ditemukan di sepanjang sungai-sungai
lahar hujan Merapi, hal ini membuat risiko bencana banjir lahar hujan menjadi tinggi.
Pertumbuhan kantung permukiman di lereng Merapi sangat sulit untuk dikendalikan karena
nilai strategis dari kawasan Merapi itu sendiri. Oleh sebab itu, untuk mengendalikan
pertumbuhan permukiman yang ada sehingga tidak makin padat dan mas if maka pada zona ini
tidak diperbolekan mendirikan bangunan baru dan/ atau menambahkan luas bangunan yang
ada . Namun, harus dipahami bahwa adanya konsep ini tidak berarti melegalkan adanya
permukiman pada kawasan rawan bencana, secara jelas perlu diberikan batasan dan kriteria
untuk mengendalikan pembangunan fisik baru pada kantung permukiman tersebut.
Pengendalian pembangunan fisik ini sedikit banyak dapat menekan laju pertumbuhan hunian
pada kawasan rawan bencana .

Berdasarkan pemahaman bahwa perilaku aliran lahar hujan mulai dari fase pembentukan
hingga terjadi aliran lahar hujan dan mengendap di hilir memiliki potensi ancaman atau bahaya
yang berbeda, maka strategi penataan ruang pada masing-masing zonasi juga perlu
disesuaikan. Konsep penataan ruang pada kawasan rawan bencana sedimen, dalam hal ini
banjir lahar hujan, disajikan pada Tabel 4.15 dan Gambar 4.33 sampai Gambar 4.35 untuk
penerapannya pada Kawasan Gunungapi Merapi.

Pusat Litbang Sumber Da)-0 Air 94


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Tabel4.15 Konsep Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Sedimen
Daerah Potensi Bencana Sedimen Konsep Penataan Ruang Kawasan
Rawan Bencana Sedimen
Rawan erosi, longsor dan Kawasan lindung, tidak diperuntukkan
pergerakan material dalam bagi permukiman maupun kawasan
jumlah besar budidaya, tidak diperkenankan adanya
Hulu Rawan longsor tebing sungai aktivitas penduduk, baik yang bersifat
(Daerah dan benturan (impak) permanen maupun sementara
Produksi bangunan air dan jembatan (temporary)
Sedimen, i ~ Rawan limpasan
20°) (overtopping) sedimen,
benturan (impak) pada
bangunan air dan jembatan

Tengah Rawan longsor tebing sungai Kawasan Ruang Terbuka Hijau 50 m dari
(Daerah dan benturan (impak) tepi sungai sepanjang bantaran sungai
Transpor bangunan air dan jembatan. lahar hujan, dapat digunakan untuk
Sedimen, aktivitas terbatas sebagai kawasan
10°< i < 20°} budidaya, tetapi tidak untuk
permukiman.
Daerah kipas aluvial dapat digunakan
sebagai lokasi penambangan pasir yang
juga diberi sabuk hijau di slslluar tanggul
kantong lahar hujan dengan Iebar
bantaran 500 m dari tepi sungal atau
menyesuaikan dengan topografi sekitar
lokasi.

Hilir Rawan limpasan dan Kawasan Ruang Terbuka Hijau 50-100 m


(Daerah pengendapan material dari tepi sungai sepanjang bantaran
End a pan boulders, pengendapan sungai atau sesuai dengan topografi
Sedimen, material pasir, dan bantaran sungai, dapat digunakan untuk
0°< i < 10°) pendangkalan alur. fasilitas ruang publik seperti taman kota,
rekreasi, dan olahraga

Pusat Litbong SUmber Da)IO Air 95


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

POI.A PEMA.HfMTNf RUNtG


DAERAH RAWAH BENCAHA
BAHJtR lN1AR. 01 DAS f'VTitt

+
- 8&CIISPrcpllal
.......
t.-.p
- - - fld.ttiUtlupiiiHI .. :..lilnDIP:
..... o .........

I ~·-.ui1•&p .... ~ ....91 ' ~


. ·-•
.
~

~
-Q ~'

-~
<

· - -..
··o·r.o

ton: ... , , , . _ ....... ,..._


. ' "~

·-
-

.

· ~• •'

.f

C
..... ,..lrU_-.
l.'*'"' "-' ........
IP~or tA-.

~41a
o~

...... ~
. . . . . ..._.._..,...,...

. . . ,.-~ptw
,.~
~a.,30

-·.,~w
.... · -~ ,; .... _w,.~
,.---·----
ltCMt:•'Jr•u••
n •-'" ., ...
~ - ~h .. ..
.,u~

- ~-1
l'CIt~41oi
• ~'
UM\1.
,.,.g.u,,...,
~ ~ 9.

Gambar 4.33 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Daerah Rawan Bencana Sedimen pada DAS
Putihtanpa lmplementasi Teknologi Sabo

POlA PEMANFAATAH RUAHG


OAERAH RAWAH BEMCANA
8MM LAHAR Dt DI'.S BOTDNG

+
- a.-~

- - - !aaiJCalluu.. •
-
Utfll)l

o-....

, "-lwc~•rtpo,SO c. v'tCI-".,~f>w
-~,._"*u;sc ...

-
:!NIJ-#U.~

-""""'_......
:.o-.. ~., ..... ~-ruo
1"'1' ...................... ~ ....... ~ ........ - ·
...
•r T ltu . to•'l l.t u.a•~tv
.....,._liXINMd"f'
._,~-
~ • •••• '
~-
~ -~
• t~l'"
....
- ~_!
•"
. ~J
·•~c:" • · •c'

~ <?

Gambar 4.34 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Daerah Rawan Bencana Sedimen pada DAS
Boyongtanpa lmplementasi Teknologi Sabo

Pus at Litbang Sumber Daya Air 96


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen :
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

·..... ' . POLA PE:IIIANFAATAH RUANQ


DA!RAH AAWAN BENCANA
BAMJIR l.AKNt 01 OAS WORO

+
-

-
a.~

· - a.tM;KaupM

....--? .......
A
--
MHo~

::,.
.... gl

.,....... _. ..__ _ """"" .....


..........................
·. ~ea.- .... ~-.JI"
._~
.
~o- ............... ~., ......... «:Wittt .... ,........,,_.
~:=._,a _....,......,_.....,........,......, ..._

~ =.,~:-a ...
Gambar 4.35 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Daerah Rawan Bencana Sedimen pad a
DAS Woro tanpa lmplementasi Teknologi Sabo

4.4. lmplementasi Teknologi Sabo di Kawasan Merapi


4.4.1. Pengaruh Bangunan Sabo terhadap Perubahan Pola Ruang
Dalam penataan ruang, infrastruktur merupakan struktur ruang yang dapat mengarahkan pola
ruang disekitarnya . Demikian pula halnya dengan bangunan sabo, bangunan ini ternyata
memiliki pengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang di sekitarnya. Dari pembahasan
sebelumnya terlihat bahwa keberadaan bangunan sabo sedikit banyak memberikan pengaruh
terhadap pola aktivitas masyarakat disekitarnya sehingga kemudian juga membentuk pola
pemanfaatan ruang kawasan tersebut.
Sebagai contoh, bangunan sabo WO-C (Junut) di Kali Woro yang memiliki fungsi tambahan
sebagai intake irigasi. Intake terletak pada sisi kiri tanggul tepi di hulu bangunan sabo. Intake
irigasi ini mengairi lahan persawahan di sisi kiri hilirnya. Keberadaan intake irigasi ini
mendukung pemanfaatan lahan disekitar bangunan sabo sebagai kawasan pertanian,
khususnya pada sisi kiri alur sungai. Hal ini tampak pada peta pemanfaatan lahan Gambar 4.35,
dapat terlihat pola pemanfatan lahan di sisikiri alur sungai di hilir wo-e (Junut) didominasi oleh
lahan pertanian, kontras dengan sisi kanannya yang berupa permukiman . Jika kebutuhan akan
irigasi masyarakat sekitar bangunan sabo tersebut tidak diakomodir, bukan tidak mungkin
kawasan tersebut akan berubah fungsi menjadi permukiman sebagaimana yang terjadi pada
sisi kanan alur sungai.

Pusat Litbang Sumber Daya Air 97


Naskah 1/miah Koosep Penataan Ruang pada Kawasan Ra'NC1n Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Ka'NC1san Merapi

\
\ Penggunaan Lahan
_y ~ lndustri ~ Sawah lrigasi
"\.
· Karangno
L ' Lapangan r777ll Sawah .
- _.) I'LLLA Tadah HuJan
:'
Klat D Makam
;...·•. . -.-. Sempadan
·;: ·:; :::. Sungai
\
• Perikanan • TNGM
/Undung/Hutan
Ke
D PermukimanD Tegalan

Gambar 4.36 Pola Pemanfaatan Ruang yang Dipengaruhi olehWO-C (Junut)


Dengan karakteristik perilaku aliran lahar hujan yang memiliki daya rusak tinggi, terutama di
daerah hulu, maka konstruksi jembatan biasa tidak mampu menahan gaya abrasi dan bentur
yang ditimbulkan oleh aliran sehingga biasanya mengalami kerusakan pada bagian pilar dan
abutment. Padahal, dengan adanya jembatan, batasan transportasi dari bentang sungai lahar
hujan yang dalam dan Iebar yang memisahkan daerah di kanan kiri sungai lahar hujan menjadi
hilang sehingga daerah kanan dan kiri sungai lahar hujan dapat saling terhubung . Bangunan
sabo dengan fungsi jembatan mengakomodir kebutuhan masyarakat tersebut. Keberadaan
bangunan sabo tersebut juga memberikan pengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang di
sekitarnya dengan adanya akses, kedua daerah saling memberikan pengaruh pola aktivitas
masyarakat yang pada akhirnya juga mempengaruhi pola pemanfaatan ruangnya. Sebagaimana
pada bangunan sabo PU-C9 dan PU ClO pada Gambar 4.37. Terlihat pertumbuhan desa di utara
sungai mengikuti pola simpul jembatan pada bangunan sabo, dimana jembatan tersebut
membuka akses pertumbuhan di selatan sungai ke daerah di utara sungai.

Teknologi Sabo yang diadopsi dari Jepang, dalam perkembangannya di Indonesia memang
mengalami penyesuaian dalam rangka mengakomodir kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Bangunan sabo semula hanya memiliki fungsi sebagai pengendalibencana banjir lahar hujan. Di
sisi lain, investasi untuk membangun Sistem Sabo dalam suatu kawasan sangatlah besar,
sementara kejadian banjir lahar hujan frekuensinya tidak sesering banjir biasa pada umumnya.
Hal ini mengakibatkan masyarakat kurang menyadari manfaat dari bangunan tersebut.

Pusat Litbang Sumber Dayu Air 98


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teki10/ogi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi

Gambar 4.37 Pola Pemanfaatan Ruang yang Dipengaruhi oleh PU-C9 (kiri) dan PU-ClO (kanan)
Oleh karena itu, pada beberapa bangunan sabo di Indonesia ditambahkan fungsi tambahan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga dalam kehidupan sehari-hari manfaat lain
dapat juga dirasakan secara nyata disamping manfaatnya saat terjadi banjir lahar hujan.
Beberapa fungsi tambahan yang sudah sering diimplementasikan antara lain sebagai jembatan
penyeberangan, intake irigasi, dan pembangkit tenaga listrik mikrohidro.
Nilai lebih dalam fungsi tambahan ini, mempengaruhi pola ruang sekitar bangunan sabo.
Sebagai contoh pemanfaatan tambahan sebagai jembatan penyeberangan memperlancar
akses antar wilayah yang dipisahkan oleh sungai lahar hujan sehingga memepersingkat jalur
transportasi antarwilayah. Hal ini berdampak pada pola pertumbuhan desa di sekitar sungai
lahar hujan dan menstimulus pertumbuhan fisik di sekitar bangunan sabo tersebut. Fungsi
tambahan sebagai intake irigasi juga berkontribusi dalam membentuk pola pemanfaatan ruang
sebagai kawasan pertanian di sekitar bangunan sabo tersebut.

4.4.2. Potensi Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan
Tantangan terbesar dari penataan ruang pada kawasan rawan bencana adalah dalam proses
mengarahkan dan mengendalikan pertumbuhan . Pada kondisi nyata, hal ini sulit untuk
diimplementasikan karena pemanfaatan lahan yang sangat kompleks . Pertumbuhan penduduk

Pusat Litbang Sumber Daya Air 99


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
yang tinggi memberikan konsekuensi kebutuhan ruang huni yang makin luas sehingga
permukiman mulai mengekspansi kawasan rawan bencana, khususnya di pinggir sungai.
Kebijakan relokasi penduduk dari kawasan rawan bencana sedimen akan mendapatkan
resistensi/penolakan yang besar dari masyarakat. Oleh sebab itu, pendekatan mitigasi secara
struktural, dalam hal ini Teknologi Sabo, masih sangat diperlukan untuk meminimalkan
ancaman banjir lahar hujan. Dalam hal ini pendekatan yang diambil adalah meminimalkan
ancaman (hazard) sehingga tidak membahayakan manusia (keep disaster away from people,.
lmplementasi Teknologi Sabo harus tepat agar sesuai dengan tujuan pengendalian banjir lahar
hujan. Oleh sebab itu, penting untuk memahami Hthe right saba, in the right place, in the right
time", dengan menempatkan Teknologi Saba yang tepat pada daerah yang tepat untuk
menangani banjir lahar hujan pada fase tertentu, mengingat aliran lahar hujan dari hulu ke hilir
mengalami perubahan fase dan perilaku.
Teknologi Sabo di daerah produksi, sedapat mungkin bersifat nonstruktural karena daerah
tersebut merupakan kawasan lindung sehingga keberadaaan bangunan fisik dapat membuka
peluang pembangunan pada kawasan tersebut. Upaya pengendalian dapat diarahkan dalam
bentuk pekerjaan vegetasi, dengan tujuan tutupan berupa vegetasi (vegetation works) dapat
menghambat erosi galur dan menahan material agar tidak longsor atau terbawa aliran
permukaan.
Teknologi Sabo pada daerah transpor, sedapat mung kin diarahkan untuk mencegah terjadinya
erosi dasar sungai, menstabilkan alur sungai, mengarahkan arah aliran dan menahan sedimen
berlebih serta mengalirkan sisa sedimen berlebih dalam jumlah yang aman ke hilir. Pada
kawasan ini beberapa lokasi dapat digunakan sebagai titik penambangan, namun tidak pada
semua lokasi bangunan sabo, sebaiknya dibatasi hanya pada kantong lahar hujan (sand pocket).
Teknologi Sabo yang diimplementasikanpada kawasan ini adalah dam konsolidasi
(consolidation dam) dan kantong lahar hujan (sand pocket).

Teknologi Sabo pada daerah pengendapan, sedapat mungkin lebih diarahkan pada upaya
mengatur arah aliran, mencegah limpasan, dan menjaga kemiringan dasar sungai. Pada daerah
ini energi banjir lahar hujan tidak terlalu besar, namun biasanya terjadi pendangkalan alur
akibat sedimen yang berlebilh dari hulu sehingga rawan limpasan (overtopping) sehingga
Teknologi Sabo yang diimplementasikan berupa kanalisasi (channelworks) dan tanggul (training
dyke).

Kawasan Gunungapi Merapi merupakan salah satu kawasan rawan bencana banjir lahar hujan
yang sudah lama mengimplementasikan konsep Teknologi Sabo. Secara detail, zonasi
pengendalian dengan Teknologi Sabo dan tujuannya dapat dilihat padaGambar 4.38. Dalam
implementasi Teknologi Sabo di Merapi sudah sesuai dengan zonasi pengendaliannya, dimana
pada daerah sumber produksi tidak dibangun bangunan sabo karena pada daerah sumber
sedimen ini lebih diutamakan pada fungsi kawasan lindung. Adanya bangunan sabo justru akan
membahayakan keberlanjutan fungsi lindung tersebut karena bangunan sabo dapat
menimbulkan perubahan fungsi pemanfaatan di sekitarnya.Selain itu, biasanya daerah produksi
merupakan KRB Ill yang merupakan zona aliran piroklastik sehingga keberadaan bangunan
sabo pada zona ini justru berbahaya karena dapat mengakibatkan aliran piroklastik meloncat
keluar alur. lmplementasi bangunan sabo di Kawasan Gunungapi Merapi mulai terlihat pada
daerah transpor dan pengendapan, yaitu di hilir kawasan lindung.

Pusat Litbang Sumber Da)KI Air 100


Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNOn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di KaiNOsan Merapi

POLA P!MANFAATM AUAifG


DWWt RAWAIIHNC:AIIA
DI!HGoUI'I!ICIIOI.OOI SAIIO
Dl KAWAIAN IIIII!!RAP'I

CJ--

---
1 ·-

1 ~=-
lliJ ~ ·~

Gambar 4.38 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Daerah Rawan Bencana Sedimen dengan
lmplementasi Teknologi Sabo

Dalam penerapannya, Teknologi Sabo harus sejalan dengan upaya penataan ruang dan bahkan
harus dapat mengarahkan pola aktivitas masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya bahwa peran Teknologi Sabo dalam penataan ruang adalah mengendalikan
ancaman dengan meminimalkan atau mengarahkan daerah rawan bencana, dengan demikian
ruang yang semula memiliki risiko bencana tinggi untuk aktivitas manusia menjadi
memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi keperluan manusia. Namun, penting untuk dipahami
bahwa Teknologi Sabo tidak menghilangkan ancaman melainkan meminimalkan potensi
ancaman sehingga peluang bahaya tersebut tetap ada, apabila ancaman yang terjadi melebihi
kapasitas desain dari Teknologi Sabo itu sendiri. Oleh sebab itu, kesadaran dan kewaspadaan
masyarakat terhadap adanya potensi tersebut sangat penting.

Pusat Litbang Sumber Daya Air 101


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi

BABV
PENUTUP

Kawasan Gunungapi Merapi merupakan kawasan strategis secara ekonomi, sosial, budaya, dan
lingkungan, baik pada level lokal maupun nasional. Di sisi lain, kawasan ini memiliki potensi
bencana gunungapi secara periodik dengan rentan waktu yang relatif pendek, yaitu antara 4-7
tahun. Hal ini menjadi problematika tersendiri bagi kawasan ini, karena dengan kondisi alam
yang demikian, kawasan ini harus memiliki ketahanan terhadap bencana alam dan kemampuan
untuk pemulihandari dampaknya, khususnya terkait bencana gunungapi.
Ketahanan dan kemampuan pemulihan terhadap bencana alam ini, ditentukan oleh faktor-
faktor kerentanan kawasan. Kerentanan ini muncul karena adanya konflik ruang antara ruang
aktivitas manusiadengan ruang aktivitas alam dan/atau ruang aktivitas manusia dengan
manusia yang menimbulkan kerugian. Oleh sebab itu, penataan ruang pada kawasan bencana
alam prinsipnya adalah mengurangi atau meminimalkan konflik ruang yang mungkin terjadi
sehingga tingkat risiko bencana dapat ditekan.
Kawasan rawan bencana Merapi berdasarkan tinjauan kerentana nnya memiliki kelemahan
dalam aspek kerentanan ekonomi karena mata pencaharian dan jenis sektor penopang
kawasannya, seperti pertanian dan perkebunan, sangat dipengaruhi oleh aktivitas erupsi
Merapi. Sedangkan kekuatan atau kapasitas yang memberikan kemampuan kawasan rawan
bencana Merapi untuk bertahan dan pulih dari dampak erupsi adalah kondisi kulturalnya. Hal
muncul dari proses pengalaman menghadapi bencana yang cukup lama dan kondisi masyarakat
yang homogen dengan kedekatan hubungan kekeluargaan yang tinggi, sehingga kultur gotong
royong, kepedulian dan sa ling mendukung/menolong antar warga sangat kental.
Dalam memahami potensi konflik ruang. terlebih dahulu perlu dipahami jenis dan perilaku dari
ancaman (hazard). Pada kajian konflik penataan ruang di Kawasan Gunungapi Merapi terkait
bencana sedimen atau lahar hujan, potensi ancaman berbeda bergantung pada fase dari lahar
hujan yang terjadi. Secara garis besar fase perilaku lahar hujan dibagi atas tiga zonasi, yaitu
Daerah Pembentukan (Production Area), Daerah Transpor(Transportation Area), dan Daerah
Pengendapan (Sedimentation Area).
Ancaman pada daerah pembentukan adalah erosi galur, pergerakan massa, dan longsor. Untuk
mengurangi potensi bahaya aliran lahar hujan yang akan mengalir ke hilir, maka pada daerah
pembentukan mutlak diperuntukkan sebagai kawasan lindung. Pada kawasan ini konsep
Teknologi Sabo yang diimplementasikan adalah yang bersifat nonstruktural, seperti pekerjaan
konservasi lahan atau percepatan pemulihan kondisi vegetasi pasca erupsi (vegetation works).
Ancaman untuk daerah transportasi adalah longsor tebing dan aliran liar banjir lahar hujan.
Untuk mengurangi kerentanan terhadap ancaman tersebut, penataan ruang sepanjang sungai
lahar hujan pada daerah ini dengan membebaskan daerah sempadan sungai dan
memfungsikannya sebagai RTH. Teknologi Sabo dalam hal ini perlu diimplementasikan untuk
mengurangi energi luncuran aliran lahar hujan, menahan material, dan mengarahkan aliran
sehin~ga potensi meloncat keluar alur dapat dieliminir.
Ancaman untuk daerah pengendapan adalah sebaran endapan material lahar hujan dan
benturan boulders, khususnya pada titik bukaan kipas aluvial pada peralihan daerah transpor
ke pengendapan, sementara ancaman di hilirnya adalah pendangkalan sungai dan limpasan jika
sedimen berlebih sampai ke hilir. Pada daerah ini, penataan ruang daerah sempadan sebagai
Pusat Litbang Sumber Dayo Air 102
Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawason RaiN't1n Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di KaiN't1san Merapi
RTH. Khususnya pada daerah kipas aluvial, batas wilayah sempadan hingga 300 m dari tepi
sungai dan sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk permukiman. Pada daerah ini, Teknologi Sabo
yangdapat diterapkan adalah tanggul pengarah (training dyke) untuk mengarahkan aliran dan
kantong lahar hujan (sand pocket) untuk menampung material lahar hujan dalam jumlah yang
besar. Sementara di hilir kipas aluvial dalam diimplementasikan kanalisasi (channel works)
dengan kombinasi groundsil/ untuk mengarahkan a Iiran dan menjaga kemiringan dasar sungai.
Konsep Teknologi Sabo dalam upaya mengatasi ancaman banjir lahar hujan sesungguhnya
dapat disinergikan dengan pendekatan penataan ruang karena keduanya tidak bertentangan
bahkan dapat saling mendukung satu sama lain. Teknologi Sabo dapat mengisi peran dalam
meminimalkan ancaman sehingga kebutuhan untuk pemanfaatan ruang pada daerah rawan
bencana dapat lebih toleran.
Namun demikian, penting untuk diingat bahwa peran dari Teknologi Sabo ini hanya
meminimalisir, tetapi tidak menghilangkan karena potensi untuk terjadinya bencana tetap ada
walaupun secara statistik peluangnya diperkecil. Untuk itu, aspek kepedulian dan kesiapsiagaan
masyarakat tetap menjadi faktor penting dalam upaya mitigasi bencana banjir lahar hujan
karena sebaik apapun sebuah teknologi tentunya memiliki keterbatasan kapasitas layan.
Penegakan kebijakan penataan ruang pada kawasan bencana banjir lahar hujan berbeda antara
satu kawasan dengan kawasan yang lainnya, khususnya pada daerah yang sudah terhuni. Ada
tiga pendekatan yang biasanya digunakan, yaitu meminimalisir potensi ancaman terhadap
masyarakat (keep disaster away from people), menjauhkan penduduk dari risiko terdampak
(keep people away from disaster), dan mempersiapkan masyarakat untuk hidup dengan
bencana (living harmony with disaster). Pendekatan tersebut merupakan bagian dari upaya
pengelolaan konflik dalam penataan ruang, dimana sebaiknya penerapannya disesuaikan dan
mengakomodir karakteristik sosial, budaya, dan masyarakat.
Dalam kondisi tertentu, seperti di Kawasan Gunungapi Merapi, kehidupan masyarakat tidak
dapat dijauhkan dari kawasan tersebut karena adanya ketergantungan dan keterikatan
ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh sebab itu, untuk mengurangi potensi ancaman bencana
banjir lahar hujan tersebut, maka konsep Teknologi Sabo dapat menjadi elemen pendukung
dari upaya penataan ruang tersebut.
Dalam penataan ruang kawasan bencana banjir lahar hujan, perlu juga diselaraskan dengan
aktivitas masyarakat setempat, artinya penataan ruang tidak hanya sekedar mengamankan
kehidupan, namun juga memberikan nilai tambah yang akan mengurangi tingkat kerentanan
lingkungan yang dilindunginya. Misalnya penguatan kerentanan ekonomi masyarakat, melalui
fungsi-fungsi ruang yang mengembangkan potensi kawasan sebagai desa wisata dengan
memanfaatkan kondisi alam dan fasilitas mitigasi bencana sebagai bentuk wisata edukasi
bencana dan outdoor-sport dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian masyarakat
setempat sekaligus memelihara kondisi fasilitas mitigasi bencana dan konservasi.
Selain itu, hal penting yang perlu juga dikelola dengan baik melalui penataan ruang adalah
aktivitas penambangan pasir. Saat ini, aktivitas penambangan banyak berdampak negatif
terhadap upaya mitigasi bencana di Kawasan Merapi. Padahal seharusnya aktivitas
penambangan bahan galian golongan C ini dapat bermanfaat karena dapat mengurangi bahkan
mengosongkan kapasitas tampungan bangunan sabo. Namun, pada kenyataannya justru
aktivitas ini mengakibatkan kerusakan bangunan sabo, kerusakan jalan evakuasi, perubahan
tata ruang, dan kurang memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat. Aktivitas
penambangan bahan galian golongan C pada alur sungai lahar hujan dan tampungan bangunan
Sabo sebaiknya diatur tersendiri, baik lokasi dan volume maupun rute truk pengangkut
Pus at Lit bang Sumber Da}O Air 103
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
material. Perlu dikembangkan manajemen penanibangan bahan galian golongan C pada
kawasan rawan bencana yang berbasiskan mitigasi bencana.

Pus at Litbang Sumber Daya Air 104


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra!IIK1n Bencana Sedimen:
Teknologi Sobo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di KO!IIK1san Merapi
DAFTAR PUSTAKA

Andreastuti, S. D., Alloway, B. V., and Smith, I. E. M. 2000.A detailed


tephrostratigraphic framework at Merapi Volcano, Central Java, Indonesia:
implications for eruption predictions and hazard assessment. J. Volcano!.
Geoth. Res., 100, 51-67.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2010. Tentang Gempa Bumi.
http://inatews.bmkg.go.id/tentang eg.php, diunduh tanggal 23 Juni 2014.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2013}: Jumlah Kejadian Bencana Indonesia
{Oktober 2013). http://www.bnpb.go.id/uploads/pubs/586.pdf, diunduh pada
tanggal3 September 2013.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang. 2014. Kecamatan Salam dalam Angka
2014. Jawa Tengah : Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang.
Badan Standardisasi Nasional. 2010. SNI 7645-2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan.
Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi. Aktivitas
Gunung Merapi. www.merapi.bgl.esdm.go.id, diunduh tanggal31 Mei 2011.
Balai Sabo. 2011. Mitigasi Bencana Merapi: Tinjauan Pengelolaan Bencana Banjir Lahar
hujan Pasca Erupsi 2010. ISBN 978-979-8763-13-7.
Pusat Litbang SDA. 2014. Draft Pedoman Peralatan Sistem Peringatan Dini A/iran
Debris di Daerah Vulkanik. Puslitbang SDA, Badan Litbang, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Faizah, R. Important Parameter in Vulnerability. Rest Blog Natural Disaster and
Earthquake Engineering, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
http://blog.umy.ac.id/restufaizah/important-parameter-in-vulnerabilitv/,
diunduh tanggal 28 November 2014.
Fussel, H-M., 2007. Adaptation planning for climate change: concepts, assessment
approaches, and key lessons. Integrated Research System for Sustainability
Science and Springer 2:265-275.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia No. 21/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan
Rowan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rowan Gempa Bumi. Jakarta:
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Kron, W ., 2002,Fiood risk= hazard* exposure *vulnerability. Proceedings International
Symposium on Flood Defence 200i. http://www.cws.net.cn /cwsnet/meeting-
fanghong/v10108.pdf, downloaded on January 20th, 2010.
Landsman, Y.L., 2001,Public health management of disasters: The practice guide.
American Public Health Association, 800 I Street, NW, Washington, DC.

Pusat Lltbong SUmber Da)tl Air 105


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra'WOn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di KO'WOsan Merapi
Maruyama, Y, dkk., 1980,App/ied Study of Geomorphological Sand Classification on
Debris Flow Control Planning in The Area of M. Merapi, Central Jawa,
Indonesia. 10th International Conference of The International Catographic
Association
Muhhamad Thoha. www.seribubintang.com, diunduh tanggal 3 Maret 2014.
Nice Fergiyono. 2013. Perubahan Sosia/ Budaya yang Terjadi di Masyarakat Sekitar
Gunung Merapi. http:l/nicofergiyono.blogspot.com/2013/11/perubahan-
sosial-budaya-yang-terjadi-di.html., diunduh tanggal 28 November 2014
Oosteberg, W., Van Drimmelen,C. and Vander Vlist, M., 2005, Strategies to harmonize
urbanization and flood risk management in delta's, http://www-sre.wu-
wien.ac.at/ersa/ersaconfs/ersa05/papers/174.pdf, downloaded on January
22nd, 2010.
Pemantauan dan Mitigasi Bencana A/iran Lahar hujan Berbasis Ko/aborasi
Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. 2011. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Klaten. Klaten: Peraturan
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten.
Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang. 2011. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wi/ayah Kabupaten Magelang. Magelang:
Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang.
Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. 2012. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Siemon. Sleman:
Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman.
Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011
tentang Sungai. Jakarta : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Undang-UndangRepublik
Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Jakarta : Undang-Undang
Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasionai.Jakarta :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
Putra, S.S, Hassan, C, dan Hariyadi, S. 2012. Hot Pyroclastic Deposit as Lahar hujan
Resistor: A Case Study of Gendol River After Mt. Merapi 2010 Eruption. Journal
Monitoring, Simulation, Prevention, and Remediation of Dam and Debris Flow.
WIT Press.

Pusat Litbang Sumber Dayo Air 106


Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Rovicky WordPress. Seluk dan Beluknya Gunungapi.
http:l/rovicky.worldpress.com/2011/06/19/seluk-dan-beluknya-gunungapi/,
diunduh tanggal23 Juni 2014.
Sadikin, N dan Yunita, F.T.2012. The Assesment of Merapi Volcano Ash and Pyroclastic
After The Mega Eruption in 2010 : A Case Study of Putih River and Gendol
River. Cities on Volcano 8. Yogyakarta.
Sena, L dan Michael, KW., 2006. Disaster Prevention and Prepareness. Ethiophia Public
Health Training lnitiatiove. USAID.

Smits, A.J.M., Nienhuis, P.H. and Saeijs, H.L.F., 2006, Changing estuaries, changing
views, Hydrobiologia (2006) 565, pp. 339-355. http://link.springer.com/.
Simandjuntak, T.O., Barber, A.J. 1996. Contrasting tectonic styles in the Neogene
orogenic belts of Indonesia. Hall, R &Blundell, D. (eds.) Techtonic Evolution of
S.E. Asia. Geological Society. London.

Sumaryono, A., Santoso, U.B., Djudi, dan Puspitosari, D.A. 2011.Evaluasi Kerusakan
Bangunan Sabo di Kali Putih Pasca Erupsi Merapi 2010. Presiding Simposium
G.Merapi: Kajian Perilaku, Dampak, dan Mitigasi Bencana Akibat Erupsi Merapi
2010. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Tan, S.S. 2013. Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Budaya Petani dalam Buku
Pengembangan Pertanian Berbasis Jnovasi di Wilayah Bencana Erupsi Gunung
Merapi. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
http://www.litbang.deptan.go .id/buku/Erupsi-Gunung-Mer api/Bab-l/1.10.pdf,
diunduh tanggal28 November 2014.
United Nation. 2006. Early Warning Bulletin on Natural Hazard. Edision V.LAPAN &
UN-World Food Programme. Jakarta.
Volcanic Saba Technical Centre. 1985. Perencanaan Saba. JICA: Jakarta.
Wasito, lndrasti, R, Muhamaram, A. 2013. Percepatan Pemulihan Kondisi Sosial
Masyarakat Petani Pasca Erupsi Gunung Merapi dalam Buku Pengembangan
Pertanian Berbasis lnovasi di Wilayah Bencana Erupsi Gunung Merapi. Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
http://www.litbang.pertanian .go.id/buku/Erupsi-Gunung-M erapi/Bab-
lll/3.1.pdf, diunduh pada 25 September 2014.
Wulan Mei, E.Dwi Suryanti, dan S. Bachri. 2010. Perencanaan dan Pemodelan Evakuasi
Krisis Gunungapi Merapi: Rekomendasi. Pusat Studi Bencana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.

Yunita, F.T. dan Gardiawan, G.R. 2012. Kajian Rencana Penanggulangan Banjir Lahar
hujan dengan Saluran Pengelak Kali Putih. Jurnal Saba Vol. 2 No.1. Yogyakarta.

Pusat Litbang SUmber Daya Air 107


Naskah tlmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali BCIIIjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
INDEKS

Aliran debris 14; 21; 22; 56; 66. Kerentanan kultural13; 82; 83; 86.
Angkutan sedimen 20; 22; 86; 87; 89 .. Kesiapsiagaan 25; 81; 95; 104.
Bangunan sabo 20; 21; 22; 52; 53; 54; 60; Lahar hujan 2;3; 4; 14; 15; 16; 17; 18; 20;
61; 62; 63; 66; 67; 68; 69; 72; 73; 74; 75; 22; 23; 25; 29; 34; 36; 39; 40; 43; 44; 45;
86; 97; 98; 99; 100; 103. 48; 49; 50; 51; 52; 53; 54; 55; 56; 58; 60;
64; 71; 72; 73; 77; 81; 87; 88; 89; 90; 92;
Bantaran sungai 16; 44; 64; 95.
93;94;95;96;99;100;101; 103;104.
Checkdam 22.
Mitigasi 2; 3; 4; 7; 8; 9; 11; 13; 26; 27; 28;
Consolidation dam 22; 100. 52; 54; 71; 81; 93; 101; 105.
Daerah pengendapan 21; 54; 55; 56; 58; Penataan ruang 2; 3; 4; 5; 17; 18; 19; 26;
64; 70; 71; 86; 87; 89; 92; 93; 100; 102. 27; 28; 50; 53; 54; 59; 71; 77; 87; 92; 93;
95; 96; 98; 100; 102; 103; 104.
Daerah produksi 21; 22; 54; 55; 56; 57;
58; 64; 70; 92; 95; 100. Peringatan dini 6; 7; 23; 24; 25; 28; 89;
92; 93; 94; 95.
Daerah transpor 21; 54; 56; 94; 96; 101;
103. Rawan bencana 2; 3; 4; 5; 11; 14; 17; 18;
19; 20; 23; 26; 27; 28; 29; 43; 44; 48; 50;
Garis sempadan 94.
51; 52; 53; 54; 55; 58; 64; 71; 73; 77; 89;
Grounds/It 16; 22; 66; 103. 91; 92; 93; 94; 95; 96; 97; 98; 100; 101;
102,103,104,105.
Kantong lahar hujan 20; 22; 71; 72; 96;
101; 104. Risiko bencana 5; 6; 9; 10; 11; 18; 19; 24;
25; 51; 54; 55; 56; 57; 58; 64; 71; 93; 95;
Kawasan llndung 2; 33; 57; 64; 71; 73; 89;
102; 103.
92; 93; 96; 101; 103.
Ruang terbuka hijau 93; 96.
Kawasan budidaya 57; 58; 60; 64; 71; 84;
92; 96. Tata ruang 3; 17; 18; 19; 23; 20; 26; 27;
28; 77; 92; 104.
Kerentanan 4; 10; 11; 12; 13; 17; 24; 43;
44; 45; 53; 54; 77; 78; 79; 80; 81; 82; 83; Teknologi Sabo 2; 3; 4; 20; 21; 22; 23; 97;
84;85;86;87;88;89;92;93;103;104. 98;99;100;101;102;103;104.
Kerentanan fisik 12; 77; 79. Training dyke 23; 101; 103.
Kerentanan sosial13;80;82. Vegetation works 22; 101; 103.
Kerentanan ekonomi 13; 84; 85; 86; 87;
89; 103; 104.

Pusat Lltbong SUmber Dayo Air 108


Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai