Analisis PUPR
Analisis PUPR
NASKAH ILMIAH
KONSEP PENATAAN RUANG PADA DAERAH RAWAN BENCANA SEDIMEN:
TEKNOLOGI SABO SEBAGAI ELEMEN PENGENDALI BANJIR LAHAR
DALAM PENATAAN RUANG Dl KAWASAN GUNUNGAPI MERAPI
OUTPUT KEGIATAN
Studi Konsep Penataan Ruang
pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen
DESEMBER, 2014
a.,_;~
,l. f.~}( J ~!NL , ~!AiB . ~Yjl
Faks. (022) 2500163. PO Box 841, E-mail: pusat@pusalr-pu.go.id, H ttp://www.pusair-pu .go.id
DSMIKJ.01.01/01.1/La-SAB0/2014
PUSLITBANG SUMBER DAYA AIR
NASKAH ILMIAH
KONSEP PENATAAN RUANG PADA DAERAH RAWAN BENCANA SEDIMEN:
TEKNOLOGI SABO SEBAGAI ELEMEN PENGENDALI BANJIR LAHAR
DALAM PENATAAN RUANG Dl KAWASAN GUNUNGAPI MERAPI
OUTPUT KEGIATAN
Studi Konsep Penataan Ruang
pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen
DESEMBER, 2014
~
..__..-;;;;;;;;;;;;;;a
f.~T1,!i)NLJAEv] Faks . (022) 2500163. PO Box 841 , E-mail : pusat@pusair-pu .go.id , Http:/twww.pusair-pu .go.id
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi 5abo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
NASKAH ILMIAH
KONSEP PENATAAN RUANG PADA KAWASAN RAW AN BENCANA SEDIMEN:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam
Penataan Ruang di Kawasan Merapi
SAMBUTAN
MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
Dengan diiringi rasa syukur kehadirat Allah SWT., saya menyambut baik atas penerbitan buku
yang berjudul Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sed/men: Teknologi
Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi.
Melalui buku ini dapat diperoleh beragam informasi mengenai karakteristikKawasan
Gunungapi Merapi sebagai kawasan rawan bencana banjir lahar hujan dan peran Teknologi
Sabo dalam upaya pengendalian bencana banjir lahar hujan serta tantangan terkait penataan
ruang pada kawasan tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa wilayah Indonesia memiliki potensi rawan bencana sedimen
yang tinggi karena kondisi topografi dan geologinya . Upaya mitigasi bencana sedimen di
Indonesia berupa penerapan Teknologi Sabo menjadi sangat penting dalam rangka
mengamankan kawasan-kawasan strategis yang memiliki potensi bencana.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai kementerian yang memiliki misi
menyelenggarakan pengelolaan SDA secara efektif dan optimal untuk meningkatkan
kelestarian fungsi dan keberlanjutan pemanfaatan SDA serta mengurangi risiko daya rusak air,
menerbitkan buku Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen: Teknologi
Sabo sebagaiEiemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
dengan tujuan memberikan informasi mengenai peran Teknologi Sabo dalam mendukung
upaya penataan ruang df kawasan rawan bencana banjir lahar hujan di kawasan Merapi.
Semoga buku ini dapat dijadikan sumber informasi bagi masyarakat serta pihak-pihak terkait
lainnya dalam melaksanakan pembangunan, sehingga diharapkan masyarakat dapat ikut
berperan dalam usaha-usaha pengamanan daerah hulu sungai untuk mendukung peningkatan
kesejahtaraan rakyat.
BASUKI HADIMOEUONO
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang berada pada jalur Lingkar Api
Pasifik (Pasific Ring of Fire) dengan 129 gunungapi yang tersebar di hampir semua pulau, di
satu sisi merupakan berkah dengan kekayaan sumber daya alam . Namun, di sisi lain kondisi ini
menyebabkan kawasan ini juga memiliki potensi bencana alam, termasuk bencana sedimen
seperti banjir debris, lahar hujan, dan tanah longsor.
Pada Sensus Penduduk 2010, penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa dan diperkirakan
pada tahun 2050 akan mencapai 288 juta jiwa . Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini
memberikan konsekuensi meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk tinggal dan beraktivitas.
Kebutuhan tersebut mendorong pertumbuhan pada kawasan yang rawan bencana sehingga
terjadi konflik pemanfaatan ruang, dimana pembangunan dilakukan pada kawasan yang
seharusnya tidak terbangun. Oalam hal ini, penataan ruang merupakan salah satu upaya dalam
mengurangi konflik pemanfaatan ruang.
Naskah ilmiah "Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen: Teknologi
Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi"
menyajikan informasi, meliputi gambaran kondisi Kawasan Gunungapi Merapi serta konsep
penataan ruang yang mensinergikan antara Kawasan Rawan Bencana (KRB), pola pemanfaatan
ruang, dan Teknologi Sabo sebagai elemen pengendali banjir lahar hujan .
Semoga buku ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam penataan kawasan rawan
bencana di Indonesia, khususnya pada kawasan rawan bencana sedimen.
KATA PENGANTAR
Buku naskah ilmiah "Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan
Merapi" merupakan output dari kegiatan penelitian dan pengembangan di Balai Sabo, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, dengan judul Studi Konsep Penataan Ruang
pada Daerah Rawan Bencana Sedimen (2431.001.001.107). Kegiatan penelitian dan
pengembangan ini dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, pada tahun anggaran 2014. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk sinkronisasi antara upaya penanggulangan bencana sedimen dengan
Teknologi Sabo terhadap penataan ruang pada kawasan rawan bencana sedimen.
Dalam penyusunan konsep ini, diambil kawasan Gunungapi Merapi sebagai lokasi kajian karena
gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi teraktif di dunia yang memiliki potensi bencana
banjir lahar hujan yang tinggi, terlebih pasca erupsi 2010. Pemanfaatan lahan yang kompleks
terkait fungsi strategis dari wilayah Merapi membuat lokasi ini menjadi objek kajian yang
menarik dan dapat dijadikan model bagi kawasan rawan bencana yang memiliki kesamaan
karakteristik dan tantangan.
Dalam buku ini dibahas gambaran kondisi kawasan Gunungapi Merapi sebagai wilayah kajian,
yang meliputi karakteristik, riwayat dan sejarah bencana, fungsi dan peran strategis, serta
kondisi fisik dan nonfisik kawasan Gunungapi Merapi. Secara khusus juga dibahas konsep
penataan ruang di kawasan Merapi yang mensinergikan antara Kawasan Rawan Bencana (KRB),
pola pemanfaatan ruang, dan Teknologi Sabo sebagai elemen pengendali banjir lahar hujan.
Terima kasih diucapkan kepada Tim Utbang Bidang Sabo Achmad Yusuf, ST., F. Tata Yunita, ST.,
MT., M.Sc., lka Prinadiastari, S.T, Banata Wachid Ridwan, S.Si. dan semua pihak yang telah
bekerja sama dan membantu sehingga buku ini dapat tersusun, khususnya lbu Catharina Dwi
Astuti Depari, S.T., M.T. dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bapak lr. Hananto Hadi
Purnomo, M.Sc. dari Dinas PUP-ESDM Daerah lstimewa Yogyakarta, lbu Rita Probowati, ST.,
M.T. dari BAPPEDA Kabupaten Sleman, serta Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman,
Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Magelang. Semoga buku naskah ilmiah ini dapat dijadikan
referensi bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah, khususnya di
kawasan rawan bencana sedimen.
RINGKASAN
Indonesia, secara alami, merupakan wilayah dengan potensi bencana. Hal ini sebagai
konsekuensi bentang Indonesia yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng benua, yaitu
Lempeng Eurasia, Australia, dan Pasifik. Potensi bencana yang dapat timbul akibat adanya
aktivitas pergerakan lempeng, antara lain gempa bumi, letusan gunungapi, tanah longsor, dan
tsunami. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan makin masifnya
pengembangan kawasan untuk permukiman maupun ruang aktivitas penduduk, bahkan pada
kawasan rawan bencana. Kawasan Gunungapi Merapi merupakan salah satu kawasan rawan
bencana yang menghadapi tantangan tersebut, dimana konflik pemanfaatan ruang pada
kawasan rawan bencana ditemukan sangat tinggi, khususnya pada daerah sepanjang aliran
sungai lahar hujan. Hal ini menjadikan kawasan ini harus memiliki ketahanan terhadap bencana
alam dan kemampuan untuk pemulihandari dampaknya, khususnya terkait bencana gunungapi.
Ketahanan dan kemampuan pemulihan ditentukan oleh faktor-faktor kerentanan kawasan
yang diakibatkan oleh konflik pemanfaatan ruang yang menimbulkan kerugian. Oleh sebab itu,
penataan ruang pada kawasan bencana alam, pada prinsipnya adalah mengurangi atau
meminimalkan konflik ruang yang mungkin terjadi sehingga tingkat risiko bencana dapat
ditekan.Pada kajian konflik penataan ruang di Kawasan Gunungapi Merapi terkait bencana
sedimen atau lahar hujan, memiliki potensi ancaman yang berbeda-beda tergantung dari fase
lahar hujan yang dibagi atas tiga zonasi, yaitu Daerah Produksi (Production Area), Daerah
Transpor (Transportation Area), dan Daerah Pengendapan (Sedimentation Area).
Ancaman daerah produksi adalah erosi galur, pergerakan massa, dan longsor. Untuk
mengurangi potensi bahaya aliran lahar hujan yang akan mengalir ke hilir, maka pada daerah
pembentukan mutlak diperuntukkan sebagai kawasan lindung. Pada kawasan ini, konsep
Teknologi Saba yang diimplementasikan adalah bersifat nonstruktural, seperti pekerjaan
konservasi lahan atau percepatan pemulihan kondisi vegetasi pasca erupsi.
Ancaman daerah transpor adalah longsor tebing dan aliran liar banjir lahar hujan. Untuk
mengurangi kerentanan ancaman, penataan ruang sepanjang sungai lahar hujan pada daerah
ini dilakukan dengan membebaskan daerah sempadan sungai dan memfungsikannya sebagai
RTH. Teknologi Saba perlu diimplementasikan untuk mengurangi energi luncuran aliran lahar
hujan, menahan material, dan mengarahkan aliran sehingga potensi meloncat keluar alur dapat
dieliminir.
Ancaman daerah pengendapan adalah sebaran endapan material lahar hujan dan benturan
boulders, khususnya pada titik bukaan kipas aluvial pada peralihan daerah transpor ke daerah
pengendapan. Sementara ancaman di hilirnya adalah pendangkalan sungai dan limpasan, jika
sedimen berlebih sampai ke hilir. Pada daerah ini, dilakukan dengan penataan ruang daerah
sempadan sebagai RTH. Khususnya pada daerah kipas aluvial, batas wilayah sempadan hingga
300 m dari tepi sungai, dan sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk permukiman. Teknologi Saba
yangdapat diterapkan adalah tanggul pengarah (training dyke) dan kantong lahar hujan (sand
pocket). Sementara di hilir kipas aluvial, diimplementasikan kanalisasi (channel works) dengan
kombinasi groundsi/1 untuk mengarahkan aliran dan menjaga kemiringan dasar sungai.
Konsep Teknologi Sabo dengan pendekatan penataan ruang dalam upaya mengatasi ancaman
banjir lahar hujan sesungguhnya tidak bertentangan bahkan dapat saling mendukung satu
sama lain. Teknologi Saba mengisi peran dalam meminimalkan ancaman sehingga kebutuhan
untuk pemanfaatan ruang pada daerah rawan bencana dapat lebih toleran. Namun demikian,
peran dari Teknologi Sabo hanya meminimalisir, tidak menghilangkan potensi sehingga
kemungkinan terjadinya bencana tetap ada. Untuk itu, aspek kepedulian dan kesiapsiagaan
masyarakat tetap menjadi faktor penting dalam upaya mitigasi bencana banjir lahar hujan.
DAFTAR lSI
Halaman Judul....................................................................................................................... ii
Sambutan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.......................................... iii
Sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan................................................... iv
Kata Pengantar ...................................................................................................................... v
Ringkasan............................................................................................................................... vi
Daftar lsi................................................................................................................................. vii
Daftar Gambar....................................................................................................................... ix
Daftar Tabel ........................................................................................................................... xi
Daftar lstilah .......................................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
INDEKS 108
DAFTAR GAMBAR
DAFTARTABEL
DAFTAR ISTILAH
1. Aliran adalah gerakan air yang dinyatakan dengan gejala dan parameter.
2. Aliran debris adalah aliran air sungai dengan konsentrasi sedimen tinggi pada sungai
dengan kemiringan sangat curam. Aliran sungai ini seringkali membawa batu -batu besar
dan batang-batang pohon.
3. Ancaman (hazard) adalah suatu keadaan yang diakibatkan fenomena alam yang luar biasa
ataupun manusia yang berotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia,
menyebabkan kehilangan harta benda, mata pencaharian, dan kerusakan lingkungan.
4. Angkutan sedimen adalah pergerakan material batuan dan tanah yang berasal atau
berada di lembah, tebing, dan dasar sungai oleh aliran air.
5. Bangunan Sabo adalah prasarana sumber daya yang berfungsi sebagai bangunan
pengendali daya rusak air berupa aliran lahar hujan dan aliran debris serta aliran sedimen
berlebih lainnya.
7. Bantaran sungal adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam
yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai.
8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
9. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor.
10. Daerah Allran Sungal (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke taut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di taut sampai dengan daerah perairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan.
11. Garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan
sebagai batas perlindungan sungai.
12. Kapasitas (capadty) adalah kondisi (kekuatan dan sumber daya yang tersediayang
menunjukkan kemampuan seseorang (komunitas) untuk mengurangi risiko atau dampak
bencana.
14. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
15. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan sumber daya buatan.
16. Kerentanan (vulneabi/ity) adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidroligis,
klimatologis, geografis, soslial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah
untuk jangka panjang waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menghadapi dampak
buruk dari bahaya tertentu.
17. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
18. Lahar hujan adalah aliran material vulkanik yang biasanya berupa campuran batu, pasir,
dan kerikil akibat adanya aliran air yang terjadi di lereng gunung (gunung berapi).
19. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
20. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
21. Peringatan dlnl adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
22. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
23. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah
untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk
bahaya tertentu.
24. Resistan adalah sifat yang mampu mengurangi, menahan, ataupun mengatasi
perkembangan sesuatu yang menyerangnya atau merugikan.
25. Rislko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat.
27. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
28. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana
dansarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
29. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air
beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri
oleh garis sempadan.
30. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
BABI
PENDAHULUAN
Wilayah Indonesia, secara alami, merupakan daerah dengan potensi bencana . Hal ini sebagai
konsekuensi bentang Indonesia yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng benua, yaitu
Lempeng Eurasia, Australia, dan Pasifik. Pergerakan ketiga lempeng ini mengakibatkan
terbentuknya deretan pegunungan dan gunungapi aktif di sebagian besar pulau-pulau
Indonesia. Potensi bencana yang dapat timbul akibat adanya aktivitas pergerakan lempeng,
antara lain gempa bumi, letusan gunungapi, tanah longsor, dan tsunami.
Erupsi gunungapi menimbulkan ancaman bencana primer dan bencana sekunder. Ancaman
bencana primer merupakan ancaman bencana yang terjadi akibat peristiwa erupsi atau letusan
Masyarakat yang tinggal maupun beraktivitas di sekitar gunungapi aktif maupun sungai-sungai
yang bermuara di gunungapi berpotensi untuk terdampak ancaman bencana sehingga
diperlukan upaya mitigasi bencana. Upaya-upaya mitigasi bencana diatur dalam Undang-
Undang No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dimana dapat dilakukan secara fisik
maupun nonfisik. Penanggulangan secara fisik telah dilakukan Pemerintah dengan Teknologi
Sabo. Teknologi Sabo sudah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 70-an pada beberapa
gunungapi, seperti Gunungapi Merapi, Gunungapi Kelud, Gunungapi Semeru, Gunungapi
Galunggung, dan Gunungapi Agung. Penanggulangan nonfisik, salah satunya dilakukan dengan
penataan ruang pada daerah rawan bencana sedimen, khususnya bencana banjir lahar hujan di
daerah vulkanik. Namun disayangkan, kedua upaya tersebut kurang bersinergi dalam
pengimplementasiannya dan terkesan berjalan sendiri-sendiri walaupun sebenarnya memiliki
potensi untuk dikolaborasikan dan saling mendukung.
Sejalan dengan RENSTRA 2009-2014, khususnya bidang peningkatan kualitas mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim serta pengelolaan bencana yang terkait dengan air, pada tahun 2014
telah dilakukan kegiatan penelitian terkait studi konsep penataan ruang pada daerah rawan
bencani3 sedimen, dalam hal ini bencana lahar hujan di kawasan gunungapi. Kegiatan
penelitian ini mengambil lokasi di Kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan dengan
pemanfaatan ruang yang cukup kompleks dengan potensi bencana vulkanik tinggi.
Buku naskah ilmiah ini memuat hasil dari studi tersebut yang mencakup pembahasan potensi
bencana vulkanik pada kawasan tersebut, RTRW yang telah disusun pada masing-masing
daerah, dan upaya-upaya implementasinya oleh pemerintah serta peran Teknologi Saba
sebagai elemen pengendali banjir lahar hujan yang berpeluang mendukung arah pola
pemanfaatan ruang sehingga terjadi sinergi yang baik.
Adanya konsep ini diperlukan mengingat kejadian banjir lahar hujan yang akan terus terjadi
setiap tahunnya pada musim penghujan dan banyaknya penduduk yang tinggal di wilayah
potensi bencana . Diharapkan buku naskah ilmiah ini ini dapat digunakan sebagai model untuk
mengarahkan pemanfaatan ruang, tidak hanya di kawasan Gunungapi Merapi, namun juga di
BAB II
TINJAUAN TEORITIK PENATAAN RUANG KAWASAN RESISTAN
TERHADAP BENCANA GUNUNGAPI
2.1.1. Pengertian
Bencana terjadi sebagai konsekuensi dari adanya aktivitas, baik yang bersifat alami maupun
yang disebabkan oleh manusia. Bencana alam, meliputi gempa bumi, longsor, tsunami, angin
ribut, badai, tornado, banjir, kebakaran hutan, dan vukanik. Bencana yang disebabkan oleh
aktivitas manusia dapat bersifat disengaja, misalnya eksploitasi minyak bumi secara berlebih
atau tumpahan limbah beracun yang bersumber dari kebocoran suatu reaktor nuklir. Seluruh
tipe bencana pada hakikatnya dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia, kelestarian
flora fauna, dan keseimbangan ekosistem.
Bencana, menurut UU No. 24 Tahun 2007, adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yangmengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupanmasyara kat yang disebabkan,
baik oleh faktor alamdan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehinggamengakibatk an
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakanlingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.Menurut beberapa penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga kemanusiaan
termasuk USAID (2006), dinyatakan bahwa kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap
dampak bencana adalah masyarakat miskin. Kondisi tersebut disebabkan oleh minimnya akses
warga miskin terhadap sumber daya setempat dan rendahnya kapasitas lokal dalam
menghadapi risiko bencana (USAID, 2006).
Bencana dapat pula diartikan sebagai sebuah gangguan serius terhadap keberlangsungan
fungsional suatu komunitas yang mengakibatkan sejumlah kerugian, baik yang berkaitan
dengan aspek manusia, material maupun lingkungan, memiliki dampak yang luas dan
melampaui kemampuan setempat dalam mengatasi dampak akibat dari terbatasnya sumber
daya yang dimiliki (UNDHA, 2001).
Menurut World Health Organization (Sena & Michael, 2006), bencana adalah fenomena ekologi
yang tidak terduga dengan dampak bencana tertentu yang membutuhkan
perhatian/pendampin gan eksternal. Bencana diartikan pula sebagai suatu peristiwayang
biasanya terjadi secara tiba-tiba dan mengakibatkan kerusakan, gangguan ekologi, kehilangan
nyawa manusia, deteriorasi terhadap tingkat kesehatan, dan layanan kesehatan dengan jenis
gangguan melampaui kapasitas lokal hingga sampaipada skala membutuhkan bantuan atau
dukungan dari luar (Landsman, 2011).
Berdasarkan pada berbagai pemahaman dari pengalaman kebencanaan di berbagai daerah
rawan bencana, kejadian bencana tidak dapat dengan tepat diprediksi karakteristiknya, baik
waktu, durasi maupun skalanya sehingga dampaknya tidak dapat dihindari sehingga diperlukan
perencanaan untuk menghadapinya. Dengan demikian, dibutuhkan langkah-langkah
pencegahan atau preventif untuk membantu suatu daerah dalam menyusun suatu
perencanaan sebelum bencana sehingga dampak bencana yang akan datang dapat direduksi.
MANAJEMEN DARURAT
)
Rehabilitasi
Mitigasi/ /
Pencegahan ../
........,__ . Rekonstruksi
Pra Bencana: Pengurangan Risiko
Pasca Bencana: Pemulihan
MANAJEMEN BENCANA
PENANGGULANGAN
PEMBANGUNAN
Berikut akan diuraikan setiap aktivitas manajemen bencana untuk meningkatkan resistansi
daerah terhadap dampak bencana secara umum.
1. Perslapan Bencana
Persiapan bencana dapat diartikan sebagai sebuah keadaan siap menghadapi suatu
bencana, krisis atau berbagai jenis situasi darurat lainnya . Tahap persiapan mencakup
sikap kepemimpinan, training untuk menanamkan pemahaman mengenai bencana,
kesiapan dan dukungan latihan, serta dukungan teknis dan finansial untuk
memperkuat ketahanan warga, daerah, suku , pemerintah, dan pekerja profesional
lokal yang khusus menangani masalah kebencanaan . Tujuan persiapan bencana adalah
untuk dapat mereduksi kemungkinan besarnya jumlah korban jiwa dan luka dengan
menyediakan pelayanan darurat yang siaga dan lengkap. Tahap persiapan mencakup
pula sistem peringatan dini (early warning system)untuk menghadapi perubahan
musim karena faktor iklim, risiko kelaparan, dan banjirtermasuk sistem informasi yang
mendukung pada skala regional dan daerah. Persiapan terhadap bencana terdiri dari
tiga langkah dasar, yaitu mempersiapkan sebuah rencana (preparing the
Pendekatan yang umum dalam manajemen risiko bencana dapat dilakukan dengan 2 cara
(Oosterberg, 2005), yaitu mengendalikan sumber bencana (disaster probability) dan
meminimalkan komponen terdampak (potential damage). Upaya untuk mengendalikan sumber
bencana dilakukan dengan mengurangi probabilitas terjadinya bencana (disaster probability).
Sementara upaya untuk meminimalkan komponen terdampak dilakukan dengan mengurangi
potensi kerusakan atau kerugian (potential damage).
Pendekatan lain dalam manajemen risiko bencana digunakan oleh Kron (2002). Dalam
pendekatan tersebut, Kron menguraikan risiko bencana sebagai interaksi tiga faktor yang sa ling
Pusat Litbang Sumber Da).(l Air 10
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
mempengaruhi, yaitu ancaman (hazard), keterpaparan (exposure) dan kerentanan
(vulnerability). Menurut Kron, ketiga faktor ini dapat dikonversikan menjadi tiga upaya utama
pengurangan risiko bencana:
Pengurangan faktor bahaya (hazard) merujuk pada strategi "keep disaster away from
people",
Pengurangan faktor kerentanan (vulnerability) merujuk pada strategi "prepare people for
disaster", dan
Pengurangan faktor keterpaparan (exposure) merujuk pada strategi "keep people away
from disaster".
Hampir serupa dengan Kron, BNPB dalam lndeks Risiko Bencana lndonsia Tahun 2013
menjabarkan risiko bencana (risk) sebagai fungsi dari tiga parameter, yaitu ancaman (hazard),
kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity) yang diformulakan sebagai berikut:
Risk= Hazard x {Vulnerability/Capacity)
Ancaman (hazard) merupakan rata-rata dari tingkat bahaya yang dinilai berdasarkan data
frekuensi dan magnitude dari bencana alam, seperti banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, dan
bencana lainnya. Frekuensi dalam hal ini menggambarkan probabilitas atau peluang dari
kejadian bencana, semakin tinggi frekuensinya maka semakin besar peluang terjadinya
bencana. Sementara magnitude merepresentasikan skala bencana yang berbanding lurus
dengan dampak kerusakan atau kerugian dari bencana sehingga semakin besar magnitude
suatu bencana, maka dampak yang ditimbulkan akan semakin besar juga.
Kerentanan (vulnerability) mewakili kondisi sosial budaya, ekonomi, fisik dan lingkungan suatu
kawasan rawan bencana yang memberikan peluang timbulnya kerugian dan/atau kerusakan
apabila terjadi bencana. Sementara kapasitas (capacity) merepresentasikan aspek-aspek dalam
suatu kawasan rawan bencana yang dapat meminimalkan atau mencegah dampak kejadian
bencana yang dapat merugikan kawasan tersebut, seperti kondisi regulasi, kelembagaan,
sistem peringatan, pendidikan pelatihan dan keterampilan, serta mitigasi dan kesiapsiagaan.
Apabila melihat definisi kerentanan dan kapasitas, keduanya merupakan parameter yang tidak
dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi, bahkan dalam beberapa pendekatan keduanya
dijadikan sebagai satu parameter sebagai tingkat kerawanan.
Tingkat kerawanan terhadap bencana dapat diasosiasikan dengan tingkat potensi kehilangan
suatu daerah akibat adanya ancaman bahaya dengan tingkat intensitas tertentu. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya tingkat kerawananterhadap bencana adalah demografi
kependudukan, usia, kemampuan lingkungan lokal dalam beradaptasi/untuk cepat pulih,
teknologi lokal, perbedaan sosial, serta keanekaragaman dalam ekonomi dan politik pada skala
regional maupun global. Beberapa hal yang dapat memicu meningkatnya tingkat kerawanan
suatu daerah terhadap risiko bencana, antara lain:
1. Kemiskinan
Secara virtual, setiap kajian bencana membuktikan bahwa populasi terkaya dari suatu
komunitas masyarakat yang terkena dampak bencana cenderung mampu bertahan
dari dampak bencana bahkan seolah tidak terkena dampak bencana secara langsung
dan cepat mengalami kepulihan.
2. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk yang semakin meningkat, tetapi memiliki sumber daya yang minim
dan terbatas akan mengarah pada lahirnya konflik yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya migrasi.
Pus at Litbang Sumber Da).O Air 11
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Bencona Sedimen :
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
3. Urbanisasi yang Cepat
Kompetisi dalam meraih sumber daya yang semakin sedikit a kan mengundang
konsekuensi yang tidak diharapkan dan mengarah pada bencana yang disebabkan
oleh aktivitas manusia (human made disasters) .
4. Transisi dalam Praktik Kebudayaan
Komunitas masyarakat cenderung berubah dan senantiasa berubah (bersifat dinamis) .
Perubahan tersebut seringkali bersifat mengganggu secara ekstrem dan melahirkan
jurang yang Iebar antara mekanisme budaya dengan teknologi. Konflik termasuk
praktik kebudayaan yang mengalami transisi akan mengarah pada konflik publik yang
berujung pada tindakan kekerasan.
5. Degradasi Lingkungan
Perambahan hutan akan mengakibatkan aliran air hujan semakin cepat mengalir dan
mengundang bencana banjir pada daerah yang dilaluinya.
6. Rendahnya Kewaspadaan dan lnformasi
Bencana dapat terjadi karena warga setempat tidak memiliki pengetahuan yang
memadai untuk mengatasi dampak bencana atau untuk melindungi diri.
7. Peperangan dan Pemberontakan Publik
Mengakibatkan faktor-faktor yang dapat mengarah pada peristiwa bencana baru yang
lebih besar dan berdampak luas.
kerentanan ancaman
BENCANA
..------ - --------......
I penyebab: tekanan:
f kejadlan penllcu \
kemiskinan, akses ketiadaan dari institusi kondlsltldak aman:
lokal, pendidikan, llngj<ungan flsik yang gempa bumi
terbatas terhadap
training, keahlian yang rapuh: lokasi angin ribut,
struktur kekuasaan
sesuai, investasi lokal, berbahaya, bangunan banjir,
dan sumber daya, berbahaya
pasar . lokal, layanan longsor,
ideologi, sistem
daerah, kebebasan press erupsi gunungapi,
ekonoml, usia, jenis kondlsi ekonomi yang kekeringan,
keiamin dan lernah: tingkat
Kekuatan makro:
peperangan,
penyakit/ pendapatan yang
penyebaran penduduk, rendah, lingj<ungan
krisis ekonomi,
kelumpuhan
urban isasi dan degradasi yang berlsikotindakan keoela kaan teknologi
lingkungan publik
Sumber: http://livingvolcanically.blogspot.com/2010/10/boro-by-morning.html
Gambar 2.3 Candi Borobudur dengan Latar Gunungapi Merapi
1. Leleran lava adalah aliran lava cair bersuhu tinggi hingga 1200"C dengan kecepatan
mencapai 30 km/jam atau lebih dalam keadaan cair (tidak mengental), bahkan pada
kemiringan lereng yang landai.
2. Aliran piroklastik adalah luncuran atau pergerakan blok lava bersuhu tinggi antara 1oo·c-
10oo·c diikuti oleh fragmen-fragmen kecillainnya yang menuruni lereng gunung dengan
kecepatan mencapai 150 km/jam- 250 km/jam.
3. Jatuhan piroklastik atau yang biasa diketahui sebagai hujan abu terjadi dari erupsi
gunungapi yang membentuk tiang asap cukup tinggi, ketika energi lontarannya habis,
maka akan jatuh ke permukaan bumi dan menyebar yang dipengaruhi oleh arah angin.
Hujan abu tidak hanya berbahaya bagi kesehatan manusia, tetapi juga bagi tanaman dan
bangunan rumah maupun aktivitas penerbangan.
4. Lahar hujan letusan terjadi pada gunungapi yang memiliki kawah yang akan
memuntahkan lumpur panas dari dalam kawah ketika erupsi terjadi.
5. Gas wlkanik beracun biasanya terjadi pada gunungapi dengan status aktif yang dapat
berupa gas CO, CO:z, HCN, H2S, 50 2 serta gas beracun lainnya dan apabila melebihi batas
ambang yang diperbolehkan dapat membahayakan manusia dan tanaman di sekitarnya.
Bencana sekunder dapat berupa aliranlahar hujan atau yang biasa disebut banjir lahar hujan,
banjir bandang maupun longsor vulkanik. Banjir lahar hujan terjadi apabila endapan material
lepas hasil erupsi gunungapi yang diendapkan di puncak dan lereng terangkut oleh hujan atau
aliran permukaanmenuruni alur lembah dan sungai di wilayah gunungapi.Banjir bandang dalam
hal ini merupakan banjir yang terjadi akibat longsoran material letusan lama pada lereng
gunungapi yang juga dipicu oleh curah hujan yang cukup tinggi sehingga membuat endapan
material lama longsor atau runtuh secara bersamaan dalam jumlah besar. Berbeda halnya
dengan bencana sekunder lainnya, longsor vulkanik biasanya tidak dipertimbangkan dalam
peta kawasan rawan bencana karena jarang terjadi, umumnya dipicu oleh getaran letusan
gunungapi yang cukup hebat, eksplosi uap air, dan alterasi batuan pada tubuh gunungapi
sehingga menjadi rapuh atau terkena gempabumi berintensitas kuat.
Sebagai konsekuensi dari karakteristik tersebut, aliran banjir lahar hujan memiliki daya rusak
yang tinggi karena memiliki kecepatan tinggi sehingga sulit dikendalikan atau diarahkan. Arah
alirannya dapat meloncat keluar dari alur karena energinya yang tinggi dan dapat membawa
material boulders.
Banjir lahar hujan dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai akibat endapan material
yang dibawa aliran, seperti pendangkalan (degradasi) atau kenaikan elevasi dasar sungai
(agradasi). Hal ini berbahaya karenamengakibatkan kapasitas tampung palung sungai
berkurang sehingga apabila terjadi banjirlahar hujan, besar kemungkinan akan terjadi limpasan
pada titik dimana sungainya menjadidangkal atau bahkan terjadi perubahan arah aliran sungai.
Terjadinya perubahan arah alur sungai tersebut, menyebabkan daerah yang semula dianggap
aman oleh masyarakat menjadi daerah yangberbahaya . Contoh kasus adalah perubahan arah
aliran banjir Kali Putih di Desa Jumoyo, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang pasca erupsi
Merapi tahun 2010 (dapat dilihat pad a Gam bar 2.5) .
-. : arah limpasan
: normal
Sumber: seribubintang.com
Gambar 2.5 Daerah Limpasan Banjir Lahar Hujan di K. Putih di Desa Jumoyo
Dampak banjir lahar hujan juga dapat melanda permukiman, khususnya permukiman yang
berada pada daerah lembah atau bantaran sungai, maupun permukiman yang berada cukup
dekat dengan tebing sungai. Gambar 2.7 menampilkan beberapa ilustrasi dampak bencana
aliran lahar hujan terhadap permukiman penduduk.
Menurut Maruyama et al. (1980} ada beberapa kondisi geomorfologi tertentu yang perlu
mendapat perhatian terkait dampak lahar hujan hujan, yaitu :
a) Pada titik dimana gradien atau kemiringan lereng tiba-tiba menjadi landai.
b) Tempat dimana lembah lahar hujan memotong lembah sungai lama.
c) Pada titik dasar sungai yang mendadak landai.
2.5.1. Pengertian
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
dinyatakan bahwa ruang secara terminologi adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang
lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan Tata
Ruang diartikan sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan
maupun tidak.
Terdapat dua unsur dalam Tata Ruang, yaitu struktur dan pola ruang. Struktur ruang adalah
susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Sementara pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya. Tata ruang dapat direncanakan, tetapi juga dapat terbentuk secara
alami karena pertumbuhan dan perkembangan kebutuhan masyarakat ataupun karena
aktivitas alam. Tata ruang wilayah Indonesia saat ini, dapat dikatakan belum sepenuhnya
melalui proses penataan ruang.
Sedangkan pengertian dari penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam konteks daerah maupun
nasional di Indonesia, upaya penataan ruang belum berjalan secara optimal, khususnya dalam
hal pengendalian pemanfaatan ruang. Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
dimiliki oleh setiap daerah perlu ditinjau kembali karena belum dapat memecahkan
permasalahan ruang secara komprehensif, misalnya dalam hal memprediksi dan membendung
laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat. Tata ruang wilayah yang tidak terencana,
rawan terhadap munculnya konflik ruang yang umumnya terjadi akibat dari benturan antara
dua atau lebih aktivitas pemanfaatan atau kepentingan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu
upaya penataan ruang untuk mengatur dan mengakomodir aktivitas-aktivitas dalam suatu
ruang wilayah, khususnya wilayah yang rawan terhadap bencana alam. Selain yang berkaitan
dengan potensi konflik, tata ruang suatu wilayah harus pula mempertimbangkan potensi
bencana alam sehingga terwujud tata ruang yang resistan terhadap bencana.
Teknologi Sabo dalam implementasinya sangat beragam dan bergantung pada perilaku aliran
debris yang akan dikendalikan . Beberapa jenis Teknologi Sabo yang sudah berkembang luas,
yaitu :
1. Pekerjaan vegetasi (vegetation work), digunakan untuk mencegah terjadinya erosi lereng
atau tebing sungai dengan media tanaman .
2. Dam seri tingkat (stepped dam) merupakan bangunan sabo yang dibangun secara seri
pada daerah produksi sedimen dengan jarak berdekatan untuk menahan angkutan
sedimen yang cukup besar, memperkuat tebing sungai sehingga dapat mengurangi
produksi sedimen akibat erosi tebing, dan menahan longsoran tebing agar tidak mengalir
langsung ke hilir.
3. Checkdam dibangun untuk dapat menahan dan menampung angkutan sedimen pada
daerah produksi sedimen.
4. Consolidation dam dibangun untuk mengendalikan angkutan sedimen dan menstabilkan
alur sungai yang rentan mengalami proses perubahan dasar sungai, baik agradasi maupun
degradasi.
5. Kantong lahar hujan (sand pocket) untuk menahan, menampung, dan mengendalikan
angkutan sedimen.
6. Kanalisasi (channel works) merupakan saluran buatan yang dilengkapi degan perkuatan
tebing (revetment) dan ambang dasar (groundsi/1) untuk mencegah erosi dan sedimentasi
sepanjang saluran, mengatur arah aliran, mencegah produksi sedimen dari tebing sungai
akibat ali ran air, serta mengalirkan debit banjir ke hilir.
7. Groundsi//dibangun pada bagian hilir suatu bangunan sungai yang terancam atau sudah
rusak akibat gerusan (scouring) pada struktur fondasi bangunan atau tebing sungai runtuh
Sumber: Draft Pedoman Perulaton Sistem Peringatan Dini A/iran Debris di Daerah Vulkanik, 2014
Gambar 2.10 Contoh Sistem Peringatan Dini dan Evakuasi
BAB Ill
TINJAUAN TERHADAP KONDISI GUNUNGAPI MERAPI
Meskipun secara umum letusan Merapi tergolong kecil, namun berdasarkan bukti stratigrafi
ditemukan endapan awan panas yang diduga berasal dari letusan besar pada masa Merapi
Muda (3000 tahun yang lalu) dengan indeks letusan VEl 4 dan tipe letusan antara vulkanian
hingga plinian . Berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, Merapi meletus lebih dari
80 kali atau rata -rata sekali meletus dalam 4 tahun. Masa istirahat terpanjang yang pernah
tercatat adalah 18 tahu n. Diskripsi singkat jejak letusan Merapi disajikan pad a grafik di bawah
ini. Grafik tersebut menunjukkan statistik letusan Merapi sejak abad ke-18 .
6
N
II
92
., .... ·.. 1- cl
j~ :
~ 4
I : ..-
:
:
~ .~ ~......
(\1 :
~
......
......
(")
~......
......
~
::> ...... ~......
~
~ 2
w
0
~
0
1780 1800 1820 1~40 1860 1880 1900 1920 1940 1960 1980 2000
20 .. ..
16 ~. .~
~
I 12 l ~ 1-sl
~z
-::>
' '
r-I 8
~ct:
CJ)-
< ..... 4
ct:
~ 0
1780 1800 1820 1840 1860 1880 1900 1920 1940 1960 1980 2000
.L .......
Gambar 3.3 Peta Sebaran Awan Panas pada Erupsi Merapi 2010
Melihat dari sejarahnya, erupsi Merapi sangat dinamis, yang ditandai dengan frekuensi
aktivitasnya yang tinggi, skala letusannya yang meskipun secara umum relatif rendah, namun
tetap memiliki potensi erupsi berskala besar serta arah letusan yang berubah-ubah dari waktu
ke waktu. Sebagaimana terjadi pada letusan terakhir Merapi di penghujung tahun 2010 yang
Pus at Litbang Sumber Daya Air 31
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RatNDn Benmna Sedimen:
Te/cnologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
berbeda dengan kejadian sebelumnya, dimana biasanya letusan Merapi bersifat efusif, letusan
yang terjadi pada 29 - 30 Oktober 2014 tersebut lebih bersifat eksplosif. Gambar 3.3
merupakan Peta sebaran sebaran awan panas pada erupsi tahun 2010.
Pada 3-4 November 2010 rentetan awan panas terjadi hingga mencapai radius 15 km. Tanggal
13 November 2010, intensitas erupsi mulai menurun hingga pada 3 Desember 2010 status
Merapi diturunkan dari 'Awas' menjadi 'Siaga'.Korban jiwa akibat erupsi Gunungapi Merapi
2010 sebanyak 347 orang (BNPB) dengan korban terbanyak berada di Kabupaten Sleman, yaitu
246 jiwa, menyusul Kabupaten Magelang 52 jiwa, Klaten 29 jiwa, dan Boyolali 10 jiwa
sedangkan pengungsi mencapai 410.388 orang (BNPB).
Kawasan Merapi juga merupakan sentra perekonomian Yogyakarta dan Jawa Tengah,
khususnya dalam bidang pariwisata dan pertanian. Beberapa lokasi pariwisata dan pertanian
yang menjadi primadona kawasan ini, antara lain:
~ - r_."! !_ ~ -~
_ _- _ - , ,I -
! I; I'£HIL,TAH UKP.Art:."i: IW:~"-
~: ! '=:-:f.J:.=.::
,-:-s:=.
\ I flltf ... ~-.•t
i ~1-
= =~
, 1
= :?
II -,_....,_
....
=:==:::::::::.---
=:
.,
e~
__
I
j -
_
. . ,=:.~ . ,. . _. ..,.. . ,
_ ...._
....,.__
_""JJ
,._.........,._
I
z,.
::=1"'-'"'&.L.-
.:=-~. _....,._....._
.·------ __ _
J' ~ - ...................
I - =-~:.
~ ..::....--:
....... ._...,_...._
I J -. . . . . . . . . . . . ~
._ ........
•--;- =:.- ~ . . .=.
i~ :.t~ --- -- --- •
- ~ -.:; -(-
- 1 • -"•. ~
It • - :-~
;!.--"<.":.....· ~
tT~,
• ~-
-':r._
.r•-"')--.
. I
I
~
-- __ ...:.;,· ... . )
; ~ =- ..
I ~=- -= -= - -
Gambar 3.4 Posisi Kawasan Merapi yang Memiliki Nilai Strategis di Kab. Magelang
Tidak kalah penting, kawasan Merapi juga memiliki Taman Nasional (TN) Gunung Merapi yang
berfungsi sebagai penopang lingkungan dengan perannya sebagai kawasan lindung.
Penunjukan Taman Nasional Gunung Merapi ditetapkanberdasarkan SK Menhut 134/Menhut-
11/2004 tanggal 4 Mei 2004. Kawasan lindung ini berfungsi untuk perlindungan bagi sumber-
sumber air, sungai, dan penyangga sistem kehidupan kabupaten dan kota-kota Sleman,
Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang. Luas total kawasan lindung sekitar 6.410 Ha
dengan 5.126,01 Ha di wilayah Jawa Tengah dan 1.283,99 Ha di Daerah lstimewa Yogyakarta.
1. Satuan batu lempung kaya fosil moluska, terdiri dari batu lempung cukup tebal dan kaya
mengandung fosil moluska. Satuan ini dinamakan Formasi Nanggulan dan berumur Eosen.
2. Satuan breksi vulkanik, terdiri dari breksi vulkanik dengan sisipan batupasir tufan. Satuan
ini dinamakan Formasi Andesit Tua, ada juga yang menyebutnya Formasi Bemmelen.
3. Satuan batuan andesit, terdiri dari batuan beku andesit (Batuan Terobosan).
4. Satuan aliran andesit porfir dan lahar hujan kasar. Satuan batuan ini dinamakan Andesit
Porfir dan Lahar hujan.
5. Satuan endapan vulkanik, satuan ini merupakan hasil aktivitas GunungMerapi Tua.
6. Satuan tuf, breksi, aglomerat, dan lelehan lava. Satuan batuan inimerupakan hasil aktivitas
Gunungapi Merapi Muda.
7. Satuan endapan koluvium, satuan ini dinamakan Endapan Koluvium.
8. Satuan batuan dasit, satuan ini dinamakan Batuan Dasit.
9. Satuan tuf, breksi, andesit, satuan ini dinamakan Endapan KerucutGunungapi.
3.4.2 Kllmatologl
Tipe iklim di wilayah Gunung Merapi adalah Tipe C menu rut klasifikasi curah hujan Schmidt dan
Ferguson, yakni agak basah dengan nilai Q antara 33,3 % - 66 % dan dengan curah hujan
sebagai berikut:
3.4.3 Hldrologl
Wilayah Gunungapi Merapi merupakan sumber bagi tiga DAS (daerah aliran sungai), yakni DAS
Progo di bagian barat, DAS Opak di bagian selatan, dan DAS Bengawan Solo di bagian timur.
Keseluruhan, terdapat sekitar 14 sungai di seputar Gunungapi Merapi yang mengalir ke 3 (tiga)
DAS tersebut dengan sebagian besar sungai mengalir ke DAS Progo dan DAS terbesar adalah
2
Kali Pabelan dengan luas daerah tangkapannya 110 km . DAS Pabelan merupakan sungai lahar
hujan yang memiliki aliran cukup besar sepanjang tahun dibandingkan dengan sungai lahar
hujan yang lain, sehingga kawasan di sepanjang sungai tersebut dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian . Kali Pabelan terbentuk dari gabungan Kali Apu, Kali Trising, dan Kali Senowo yang
berhulu di sisi barat Merapi. Lebar rata-rata sungai lahar hujan di bagian hulu sekitar 10 m,
sementara di daerah hilir biasanya Iebar, yaitu berkisar antara 100 m hingga 300m, bahkan ada
yang mencapai 500 m. Secara lengkap Tabel 3.1 menyajikan informasi terkait DAS di Kawasan
Merapi.
1. Bagian Selatan kawasan berupa bentang alam yang didominasi oleh daerah yang relatif
datar dengan kisaran kem iringan 0% - 8%, sisanya berupa daerah dengan bentang alam
berbukit, curam, dan sangat curam yang berada di sekitar lereng dan puncak Gunung
Merapi dengan kemiringan 15% sampai lebih dari 40%.
2. Bagian Timur kawasan berupa bentang alam yang didominasi oleh daerah yang datar dan
berombak dengan kisaran kemiringan 0% - 15%, sisanya berupa daerah dengan bentang
alam berbukit, curam, dan sangat curam yang berada di sekitar lereng dan puncak Gunung
Merapi dengan kemiringan 15% sampai lebih dari 40%.
3. Bagian Utara kawasan berupa bentang alam yang didominasi oleh daerah yang datar dan
berombak dengan kisaran kemiringan 0% - 15%, sisanya berupa daerah dengan bentang
alam berbukit, curam, dan sangat curam yang berada di sekitar lereng dan puncak Gunung
Merapi dengan kemiringan 15% sampai lebih dari 40%.
4. Bagian Barat kawasan berupa bentang alam yang didominasi oleh daerah datar dengan
kisaran kemiringan 0% - 7%, sisanya berupa daerah dengan bentang alam berombak,
berbukit, curam, dan sangat curam yang berada di sekitar lereng dan puncak Gunung
Merapi dengan kemiringan 8% sampai lebih dari 40%.
3.4.5 Geomorfologi
Sedangkan geomorfologi Gunung Merapi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Satuan morfologi puncak dan lereng atas, terjadi atas beberapa kubah lava dan aliran-
aliran lava dengan sudut kelerengan lebih besar dari 27".
2. Satuan morfologi lereng tengah yang tersusun oleh banyak aliran lava dan endapan
piroklastik dengan sudut kelerengan berkisar antara 27"-9" .
3. Satuan morfologi lereng bawah dengan sudut kelerengan lebih kecil dari 9", terdiri dari
endapan piroklastik, lahar hujan, dan endapan sungai (Andreastuti, 1999).
Satuan morfologi puncak dan lereng atas, terdiri atas beberapa kubah lava dan aliran-aliran
lava dengan sudut kelerengan lebih besar dari 27". Meskipun tidak selalu, namun perubahan
morfologi daerah puncak Merapi umumnya terkait oleh aktivitas erupsi dan pembentukan
kubah lava di antaranya adalah pembentukan Kubah Timur dan Kubah Barat, rangkaian erupsi
tahun 1930 - 1931, pembentukan kubah lava tahun 1940 serta erupsi 1961 dan 1998.
Perubahan morfologi daerah puncak dapat terjadi jika kubah lava yang terbentuk tidak habis
terhancurkan oleh erupsi karena ukuran kubahnya besar dan tinggi sehingga terjadi erupsi
sam ping namun dengan intensitas erupsi kecil. Erupsi sam ping terjadi ka rena tekanan dari
dalam tidak mampu mendorong kubah lava lebih tinggi lagi akibat beban material yang besar
sehingga tekanan berpindah ke daerah samping yang lebih lemah .
Sementara dengan menghancurkan kubah lava yang terjadi, maka yang terbentuk adalah
kawah baru. Baik sisa-sisa kubah lava yang tidak terhancurkan, yang utuh maupun kawah baru,
yang terbentuk akan menjadi bagian dari puncak Merapi bentuk morfologi daerah puncak
berubah di antaranya menambah ketinggian puncak Merapi akibat penumpukan material baru .
Beberapa erupsi dalam sejarah yang menyebabkan perubahan morfologi daerah puncak antara
lain periode erupsi tahun 1822-1823 menghasilkan kawah berdiameter 600 m, periode tahun
Pada lereng tengah tersusun oleh aliran lava yang membentuk alur, seperti pematang karena
pada saat keluar tidak membentuk kubah lava, seperti di daerah puncak. Secara umum
morfologi lereng timur lebih terjal dan tersayat lebih dalam, namun tidak terpengaruh oleh
endapan hasil erupsi saat ini. Sebagian lagi dari aliran lava membentuk morfologi lereng
berelief kasar karena pembekuan ujung aliran lava sehingga ujungnya terjal seperti gawir sesar.
Celah-celah antara aliran lava umumnya lebih mudah diisi oleh endapan awan panas, terutama
di lereng barat. Awan panas tersebut hasil guguran kubah lava di daerah puncak dan awan
panas hasil letusan terdahulu. Dari beberapa aliran lava yang ada di daerah lereng tengah ini
ikut mempengaruhi sebaran/distribu si awan panas ke daerah lereng bawah hingga kaki. Oleh
karena itu, jika terjadi perubahan morfologi lereng di daerah ini, maka dapat mengubah pola
sebaran awan panas yang akan datang dan ini berbahaya bagi permukiman yang terletak di
lereng yang terjangkau oleh sebaran awan panas terutama yang berupa surge. Vegetasi
penutup pad a satuan morfologi ini terdiri atas hutan, pinus, dan semak belukar, meskipun pada
bagian tertentu tidak ditumbuhi vegetasi karena adanya awan panas maupun guguran lava
pi jar.
Satuan morfologi lereng bawah dengan sudut kelerengan lebih kecil dari 9", terdiri atas
endapan piroklastik, lahar hujan, dan endapan sungai (Andreastuti,199 9). Satuan morfologi ini
merupakan zona pengendapan karena mempunyai kelerengan landai sehingga awan panas,
jatuhan piroklastik, dan lahar hujan umum nya terendapkan di daerah ini. Oleh karen a itu,
batuan penyusun di sekeliling lereng juga mempunyai umur yang bervariasi. Pada lereng bawa h
barat laut, utara, timur taut, dan timur umumnya terdiri atas batuan produk erupsi Merapi
lebih tua sedangkan lereng barat daya dan selatan, terdiri atas dominan produk erupsi Merapi
lebih mudah, terdiri dari endapan awan panas, lahar hujan, dan endapan sungai.
Satuan morfologi ini tersusun atas 3 (tiga) bentuk kerucut gunung api yang tumbuh di lereng
Gunung Merapi. Secara morfometri, morfologi kerucut tua ini memiliki ketinggian berkisar
antara 200 m-500 m diatas daerah setempat atau 1.200 m hingga 2.400 m di atas permukaan
!aut. Keempat kerucut tua tersebut, terdiri atas Gunung Bibi di lereng timur laut, Gunung
Kendi!, Gunung Batulawang, dan Gunung Plawangan di lereng timur serta Gunung Turgo di
lereng selatan. Kemiringan lereng berkisar antara 60"-20". Satuan morfologi ini mempunyai
alur-alur erosi lebih dalam daripada lereng Merapi Muda dengan lembah dalam berbentuk V.
Tutupan lahan satuan morfologi ini, terdiri atas hutan alam dan semak belukar, walaupun di
Ada beberapa penggunaan lahan di Kawasan Gunungapi Merapi sebelum terjadi erupsi, di
antaranya adalah permukiman, kebun, hutan, lapangan, lahan kosong, sawah, danau/sungai/
kolam, dan bahan galian golongan C. Sawah merupakan penggunaan Ia han terbesar di Kawasan
Gunungapi Merapi, yaitu sekitar 24.770,11 Ha yang sebagian besar berada di bagian barat
Kawasan Gunungapi Merapi, yaitu di Kabupaten Magelang. Sementara itu, untuk permukiman
sebagian besar juga berada di bagian barat Kawasan Gunungapi Merapi yang memiliki luas
6.681,10 Ha dengan luas keseluruhan mencapai 18.497,95 Ha. Sementara itu, untuk luasan
hutan di Kawasan Gunungapi Merapi mencapai 1.365,54 Ha yang sebagian besar berada di
bagian selatan Kawasan Gunungapi Merapi, yaitu di Kabupaten Sleman. Bahan tambang atau
bahan galian golongan C paling banyak terdapat di bagian selatan Kawasan Gunungapi Merapi
dengan luas 128,36 Ha yang secara keseluruhan luasnya mencapai 195,53 Ha. Selain sawah dan
permukiman, Kawasan Gunungapi Merapi juga didominasi oleh penggunaan lahan berupa
kebun campuran yang sebagian besar berada di bagian utara, yaitu Kabupaten Boyolali yang
Pusat Litbang Sumber Da}O Air 41
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
memiliki luas sebesar 9.308,63 Ha dengan luas keseluruhan mencapai 24.628,84 Ha.
Penggunaan lahan lainnya adalah lapangan yang biasa digunakan oleh penduduk sekitar untuk
menggembalakan ternak. Luasan areal lapangan ini mencapai 1.682,83 Ha dengan luasan
terbesar berada di bagian barat Kawasan Gunungapi Merapi (Kabupaten Magelang) yang
memiliki luas 810,52 Ha.
Kawasan Gunungapi Merapi memiliki Ia han kosong yang cukup besar, yaitu sekitar 6.634,80 Ha
yang sebagian besar berada di bagian barat dan utara Kawasan Gunung Merapi dengan luas
masing-masing 2.300,10 Ha dan 2.235,30 Ha dengan luasan keseluruhan mencapai 6.634,80
Ha. Lahan kosong ini bisa dimanfaatkan di kemudian hari untuk memenuhi kebutuhan sarana
dan prasarana penduduk di Kawasan Gunung Merapi. Untuk lebih jelasnya mengenai luasan
penggunaan Ia han sebelum dan sesudah erupsi Gunung Merapi dapat dilihat pada peta kondisi
penggunaan lahan sebelum dan sesudah erupsi tahun 2010 yang disajikan pada Gambar 3.11
dan Gam bar 3.12.
Gambar 3.11 Peta Penggunaan Lahan Kawasan Merapi Pra Erupsi 2010
_,L. ......
Gambar 3.12 Peta Penggunaan Lahan Kawasan Merapi Pasca Erupsi 2010
Pada awalnya setelah erupsi 2010, banjir lahar hujan cenderung ke arah Kabupaten
Sleman, yaitu Kali Gendol dan Kali Boyong. Banjir lahar hujan di Kali Gendol
menyebabkan kedalaman sungai yang semula ±50 m menjadi ±20m, sedangkan di Kali
Boyong, hulu dari Kali Code yang melewati Kota Yogyakarta menimbulkan kepanikan
bagi warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai dan mengungsi ke tern pat yang
lebih tinggi karena rumah mereka terendam.
Memasuki tahun 2012, banjir lahar hujan cenderung mengalir ke arah yang berbeda,
yaitu ke Kabupaten Magelang di Kali Pabelan dan Kali Putih. Bahkan kejadian banjir
lahar hujan di Kali Putih, tepatnya di Desa Jumoyo menyebabkan Jalan Raya Jogja-
Magelang dan permukiman masyarakat di sekitarnya tertimbun material. Kemudian
pada awal tahun 2014, banjir lahar hujan cenderung ke arah Kabupaten Klaten, yaitu
Kali Woro yang menyebabkan truk dan alat berat (excavator) penambang hanyut
terbawa aliran. Dapat dikatakan bahwa banjir lahar hujan hampir terjadi di semua sisi
Ditinjau dari kondisi demogafinya, khususnya terkait kepadatan, Kawasan Merapi merupakan
2
kawasan dengan kepadatan rata-rata tinggi, yaitu 776 jiwa/km • Sementara ditinjau dari
sebaran penduduknya, terlihat pada umumnya penduduk menempati daerah dengan
kelerengan yang relatif landai, sehingga tampak pola kepadatan meningkat pada kawasan
tersebut yang merupakan pusat-pusat pertumbuhan daerah atau kota.
·- ......
3.5.2 Ekonomi
Erupsi Gunungapi Merapi 2010 tidak hanya menimbulkan dampak kepada masyarakat yang
dapat terlihat secara fisik saja, dalam hal ini adalah kerugian materiil dan korban luka maupun
jiwa, tetapi juga mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan Gunungapi Merapi sebelum erupsi 2010 bersifat homogen atau seragam, baik dari
segi agama yang mayoritas beragama Islam maupun etnis yang mayoritas berbudaya Jawa .
Selain itu, mata pencaharian masyarakat juga didominasi sektor agraris, sebagai petani
3,000,000
2,500,000
i
1i. 2,000,000
~
"' 1,500,000
I 1,000,000
~ 500,000
4,000,000
3,500,000
i 3,000,000
l 2,500,000
a: ~0 .0
• 1,500,000
~ 1,000,000
500,000
Lapanc•n Usaluo
'----:-------,-----.-'--7--=-- - - : - - - - - - - - - - -
Sumber:BPS Kabupaten Boyolali, 2014
Gambar 3.15 PDRB Kabupaten Boyolali Tahun 2010 -2012
9,000,000
8,000,000
7,000,000
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
• 20 10 • 20 11 • 2012 • 2013
t..panpn U..h•
Selain ikut berperan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di kawasan Gunungapi
Merapi, seperti di Kabupaten Sleman (Provinsi D.I.Y), Kabupaten Magelang, dan Kabupaten
Klaten (Provinsi Jawa Tengah), juga memberi pengaruh peningkatan jumlah penduduk yang
bekerja di sektor pertambangan. Penambahan pekerja di sektor pertambangan merupakan hal
yang wajar mengingat lahan serta sarana dan prasarana pertanian, perikanan, maupun
peternakan yang dimiliki masyarakat telah rusak akibat eruspi 2010. Walaupun sektor
pertambangan memberikan nilai yang cukup besar dalam pendapatan asli daerah (PAD), tetapi
besarnya biasa yang dikeluarkan akibat adanya usaha penambangan juga besar, terutama dari
perbaikan infrastruktur yang rusak, seperti jalan yang seharusnya tidak boleh dilintasi oleh truk,
menjadi rusak ketika dilintasi oleh truk penambang pasir.
3.5.3 Kultural
Pola erupsi Merapi mempengaruhi kehidupan masyarakat kawasan tersebut, tidak hanya
secara ekonomi sebagaimana diuraikan sebelumnya, namun juga secara kultural masyarakat.
Perubahan kultural yang paling terlihat adalah adanya perpindahan permukiman warga ke
tempat pengungsian (shelter) dan hunian sementara (huntara) karena rumah yang mereka
Pus at Litbang Sumber Daya Air 47
Naskoh llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Seclimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
tinggali telah rusak dan tertimbun material hasil erupsi Gunungapi Merapi. Perpindahan
permukiman warga tersebut menyebabkan beberapa perubahan kultural berikut:
1. Pola lnteraksi dan Hubungan Antar Warga
Dengan hidup di tempat pengungsian (shelter) maupun huntara (hunian sementara),
interaksi dan hubungan antara warga menjadi semakin erat karena memiliki kesamaan
nasib sehingga rasa solidaritas dan keharmonisan pun meningkat. Namun, karena
terbiasa untuk hidup dengan menerima bantuan pemerintah dan pihak swasta,
masyarakat menjadi cepat bosan dan cenderung untuk kembali ke rumah mereka
yang dulu sekalipun kemungkinan ancaman bahaya masih ada.
2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat yang semula di sektor agraris, pasca erupsi 2010 mulai
berubah menjadi buruh tambang pasir, usaha kecil dan menengah (UKM), maupun
pemandu wisata bencana (lava tour). Perubahan ini terjadi karena tidak adanya lahan
serta sarana dan prasarana yang rusak akibat aliran piroklastik/awan panas, abu
vulkanik, maupun banjir lahar hujan. Masyarakat yang selama ini terbiasa untuk hidup
mandiri dari lahannya, sekarang harus bergantung pada pihak luar untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Berlimpahnya material hasil erupsi 2010 yang memenuhi alur sungai-sungai yang
berhulu di Gunungapi Merapi menyebabkan banyak bermunculannya penambang,
baik dalam skala besar menggunakan alat berat (excavator) oleh perusahaan maupun
skala kecil secara manual oleh penduduk di sekitarnya. Ketimpangan pendapatan yang
diperoleh oleh penambang besar dan kecil, juga memunculkan permasalahan sendiri,
seperti semakin jauhnya jarak antara yang kaya dan miskin, dimana penduduk hanya
dimanfaatkan tenaganya saja dengan menjadi buruh.
Usaha kecil dan menengah (UKM) yang diusahakan masyarakat, kebanyakan berupa
warung makan atau toko kelontong, yang biasanya de kat dengan lokasi penambangan
maupun tempat pengungsian (shelter) dan huntara (hunian sementara). Wisata
bencana atau yang terkenal dengan sebutan lava tour merupakan primadona baru
objek wisata pasca erupsi Gunungapi Merapi di tahun 2010 yang lalu. Wisata ini
menawarkan pemandangan akan kedasyatan erupsi 2010 yang telah
meluluhlantakkan daerah di sekitarnya yang dapat terlihat dari sisa-sisa material dan
permukiman warga yang tertimbun. Potensi wisata ini membuka lapangan pekerjaan
baru bagi masyarakat untuk menjadi pemandu wisata berdasarkan pengalaman yang
telah mereka alami, walaupun secara akademisi atau teknis, pengetahuan tentang
bencana tidak terlalu mereka mengerti.
Nilai-nilai budaya masyarakat atau yang biasa disebut kearifan local (local wisdom) yang tinggal
di sekitar kawasan Gunungapi Merapi, terutama kebudayaan Jawa sangat kental dan sungguh
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah
kesulitan untuk memindahkan atau merelokasi masyarakat yang bermukim di kawasan rawan
bencana ke daerah yang aman karena ada ungkapan Jawa, sedumuk batuk senyari bumi, yang
berarti tanah yang dimiliki akan dipertahankan sampai titik darah penghabisan dan masyarakat
menganggap bahwa erupsi Gunungapi Merapi merupakan hal yang biasa terjadi dan
memberikan berkah/kesejahteraan, salah satunya berupa kesuburan tanah (sumber
kehidupan) dan pasir.
Bentuk penghormatan masyarakat kepada Gunungapi Merapi diwujudkan dengan
menyelenggarakan upacara labuhan, yang berasal dari kata "labuh"dengan arti persembahan
setiap tanggal 30 Rajab (penanggalan Islam) di Dusun Kinahrejo. Selain itu, juga ada upacara
Sumber:http://dvahpratitasari.blogspot.com
PETAKR8
(KAWAU.N AAWAN 8ENCANA)
OUNUNO MERAP1
+
---
~
--- BatMI(~
......
KJt82010 Radko~> :
CJ •<m
"""' CJ .o ...
"""' D••<m
,. ...
1. Kawasan Rawan Bencana I, yang untuk selanjutnya disingkat dengan KRB I, merupakan
kawasan yang berpotensi terlanda lahar hujan, tertimpa material jatuhan berupa hujan
abu, dan/atau air dengan keasaman tinggi. Apabila letusan membesar, kawasan ini
berpotensi terlanda perluasan awan panas dan tertimpa material jatuhan berupa hujan
abu lebat, serta lontaran batu pijar.
2. Kawasan Rawan Bencana II, yang untuk selanjutnya disingkat dengan KRB II, merupakan
kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, lontaran batu pijar, guguran
lava, hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran lahar hujan, dan/atau gas beracun.
Adapun dasar kedua contoh wilayah ini, pada jejak sejarah erupsi Merapi mengalami sisi yang
selalu menjadi wilayah yang dilewati aliran lava. Sejauh ini untuk kawasan rawan bencana
banjir lahar hujan sudah ditetapkan sebagai KRB I, yaitu daerah di sepanjang sungai lahar
hujan Merapi dengan batas 300 m dari bibir sungai. Penetapan ini dibuat secara umum untuk
semua sungai dengan pertimbangan keamanan dan kejadian limpasan lahar hujan yang pernah
terjadi di masa lalu.
2 Pertanian
versus KRB
KRB, khususnya DAS Woro, diarahkan untuk
pertanlan kayu keras
I
KRB dlalokasikan untuk pertanian
dan peternakan.
Potensi pertanian di sepanjang
sungai lahar hujan (Kali Pabelan)
3 Permukiman KRB dapat dihuni dengan catatan saat Status lahan pada permukiman Banyak terdapat permukiman di KRB
versus KRB bencana dilakukan evakuasi yang direlokasl (KRB Ill)
Belum semua penduduk di KRB Ill
Pengembangan permuklman di dapat direlokasi
luar KRB
14.00
12.00 i
10.00 I
8.00 I - - ----- -
6.00 - - -- - - - -- - - -
4 .00
2.00
0.00
+----- ''
1
t.-.-.-.-1-1-=
- -
-: -
- ~~
--- -
-
-
-
--- - -
- - -
Ltl<:tM<:tMNNm .-4 N rtl <:tLI'l ~ ID r-. 00 N
9d~y 0 0 0 00 00 0 0 u u
a:
:::,
a: a:
:::,
a: a:
:::,:::,
u
:::,
a: a: :::, :::,
:::> :::> :::> ' ' :::> .-4 :::>
o..o..o..=>=>o...-to.. :::>' :::>' :::, 0.. 0..
0..0.. u 0.. 0.. 0.. 0..0.. 0.. 0.. 0..
:::,
0..
-
---
•I
t --·I ••
I I I =rU ~
14.00
12.00
10.00 -
8.00
6.00
4 .00
2.00
,H]-
0.00 -JTO '
I
I I I
I
..
I
I
I
I JV:
I
Berdasarkan diagram, tampak tingkat kompleksitas pemanfaatan ruang di ketiga sungai lahar
hujan relatif tinggi sebagai kawasan rawan bencana, artinya pada kawasan terse but intensitas
kehadiran serta jumlah manusia dan objek yang berpotensi terdampak cukup besar. Tingkat
kompleksitas pemanfaatan ruang pada Kali Putih dan Woro masuk dalam kategori tinggi
dengan nilai sama, yaitu 6,47. Sedangkan tingkat kompleksitas pemanfaatan ruang pada Kali
Boyong masuk dalam kategori sedang dengan nilai sebesar 5,67.Pemanfaatan ruang di Kali
Putih dan Kali Woro sudah didominasi permukiman dan pertanian, dimana akan meningkatkan
nilai kerentanan terhadap risiko bencana banjir lahar hujan, sebagai konsekuensi tingginya
intensitas kehadiran dan jumlah objek yang potensi terdampak banjir lahar hujan.
Hal ini menunjukkan bahwa penataan ruang kawasan bencana belum diterapkan dengan baik
dalam upaya mitigasi bencana gunungapi di Kawasan Merapi. Kontrol dalam arah
pengembangan wilayah kawasan bencana belum dapat dilakukan sehingga pertumbuhan
signifikan dan masif masih terjadi di dalam kawasan rawan bencana .
Perilaku aliran lahar hujan yang berbeda ini menyebabkan potensi bahaya yang berbeda pula.
Daerah produksi merupakan daerah sumber sedimen, biasanya memiliki kemiringan lebih dari
15" (dalam lingkaran biru) . Pada daerah ini biasanya fenomena yang terjadi adalah pergerakan
massa sedimen, longsor endapan yang tidak stabil, dan erosi galur. Sementara daerah transpor
Gambar 4.5 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen (Lahar hujan) Merapi
Daerah pengendapan adalah daerah pada posisi pembukaan kipas aluvial (alluvial fan open),
dimana kemiringan dasar sungai sudah cukup landai, yaitu kurang dari 3 ". Pada daerah ini,
risiko bencana yang mungkin terjadi adalah pengendapan material lahar hujan berupa pasir
hingga boulders yang dapat menimbun rumah, jalan, dan areal pertanian masyarakat. Daerah
ini biasanya merupakan daerah permukiman padat atau perta nian sehingga sangat rentan
terkena dampak endapan.
Dengan demikian, ancaman banjir lahar hujan pada daerah sepanjang sungai lahar hujan
berbeda tergantung perilaku aliran lahar hujan sehingga zonasinya pun harus dibedakan
sebagaimana disajikan secara detail dalam label 4.2. Namun, ketiga zonasi tersebut tidak
dapat dipisahkan karena ancaman bahaya berupa aliran dari hulu ke hilir. Apa yang terjadi di
hulu akan menentukan besarnya bahaya di hilir. Banyaknya potensi sedimen yang mungkin
luruh menjadi aliran lahar hujan pada daerah produksi akan menentukan seberapa besar banjir
lahar hujan yang akan mengalir ke daerah transportasi. Begitu juga, kecepatan aliran pada
Pemanfaatan ruang pada zona potensi sumber sedimen ini sebagian besar merupakan kawasa·n
PETADAERAH
P&llaJNT'UKAH IIC.IN
KAWA.UN MERAPI
"-'fli1~Sd._
- . : l'ld .. lpniNI.WM~&otar
-
Klaten
Berdasarkan zonasi kerawanan bencana banjir lahar hujan dan pemanfaatan ruang pada DAS
Putih, maka dihasilkan peta risiko bencana banjir lahar hujan pada DAS Putih sebagaimana
disajikan dalam Gambar 4.10. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai risiko tinggi untuk
banjir lahar hujan pada daerah produksi, dimana potensi terjadi longsor material vulkanik dan
aliran massa dan daerah pengendapan, khususnya pada zona bukaan kipas aluvial yang rawan
limpasan dan endapan material pasir maupun boulders .
Tilgkei"'"'Nrqltllggt ~ ...... ~
~6et!MIfN ) -~l"'aWIi
..,.,....,c......
,..,_,,u",.....,.._
.,.,.. litflld_WIIt_rdM
...., . . . . . . . . . . U\MI
Gambar 4.8 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen DAS Putih
Pusat Litbang Sumber Daya Air 58
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rowan Bencana Sedimen :
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
)
~ ·
+
- ---
~Ar:-aQ
Gambar 4.10 Peta Potensi Konflik Penataan Ruang pada DAS Putih
•... ,......,
e.-~lmUI . MVt\1" Pent'"'*"' .aiM PIDm'IUtii'NI'I !-0-1001'1\
I ....,..,
Te~U'I-
•• ~.,blt_
• ........ f::i ~ ~·
-
........
q t # ••
Penli"'**'ss « I 0 lnlll
"'
~nakf\
~"na ~
• S.l\io'tbef~ .t
...
KRB MERAPI2010
KRBI
- --·- Bala s Kabupa ten KRB II
~ Sungai - KRB III
- Hutan
- Jelln
Srumbung
•
.;
l
"'
Gambar 4.11 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDAS Putih Bagian Hulu (PU-05 s.d PU-Cll/12)
.
Tlpo llangunon Saba : Survey A.waf : SEKITAR BANGUNAN SABO
lij;J l•rbub ~",. Pa~g.Wb9<el ~IMlti .SO· I!>Om DAS KALI PUTIH
9ei.Mf1mWtu'NA~
._... tf tf.~
.......
~n.rWibt>fM\1
• ~IM'oalt.f&u 1:18000
ltdu~ PROVEKSI GEOCRAFIS
DATUM 'NGS-84
i
,_. n JOJ J l>'7>7/. _., ~ / J1,7 - J71 .:;;Ji"' t>f..: ¥ .r ~o ._.-.. .. , .._. _ _... -~
'~. •'· ~ ~Legndo
- Batao Propins•
KRB MERAP12010
KRB I
I
---·- Batas Kabupaten KRB II
- - Jalan
Penggu.n1an Lahan :
r---1 Bangunanf
Kebun Campu'L.__j P.rmuk l m~n
S.Wah lrigatl ~[_0J SelukarJSemek!
f'7..77J
fl.//n Sawah
Tadah Hujan - Hutan
:~
-... TegaLan - Jatan
Tubuh Air
INSET
101"0'0'£ 109'0'0"£ 110-ov'l ,,.O'O'E 1:.~"£
... :~
·~ oa.u.-o..s..o
I ~I.RJ G .... /"fllriJtwe;lff!t"'llll!I O!T
~wl ..OIQ I D.i~81 JI( ~•C.d0Ql
iJ O.fWn~SetJod!I .. I&! ,. )'~
lO.ItfiW!Ub~
~!:-. - ~.e- - ~ ~ Q
H0'-21'0"£
Gambar 4.12 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDAS Putih Bagian Tengah (PU-ClO s.d PU-RDS)
•• tu.n-'*Woik.lr Pem~
~2S.Om
• tGOm
• ....
T~d<t"V! 1-bi:Ancaft~
Urcl · - - -
~
e:a .,.
•
~W.naftM!I
.t. ..._
~t\l.,
~TUM WOS.t.-
Lf9enda KRB MERAP12010
- Balas Proplnsl KRB I
- ·-·- Balas Kabupalen KRB II
Srumbung ~,
Kebun campuC J Bangunanl
.,.,.., Permuktman
f'lo:- ,.
Sawah lrigasl -~·? Belukar J Sem~k
Gambar 4.13 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDAS Putih Bagian Hilir (PU-C8A s.d PU-C2)
Untuk daerah transportasi, tampak pemanfaatan lahan sudah memasuki kawasan budidaya
dengan dijumpainya tanaman kayu keras yang memiliki nilai ekonomis seperti sengon, bambu,
dan kolonjono. Selain itu, vegetasi semak/belukar juga cukup mendominasi tutupan lahan.
Klaster-klaster permukiman juga ditemukan dalam areal yang tidak terlalu luas, namun perlu
medapat perhatian karena dapat mendorong pertumbuhan pemanfaatan lahan yang lebih
kompleks.
~
-
Klaten
,..I'Ua'l,.__..
..... ,....It
.... ~.,
( l hn Oi brit~dl•)
~ - ~ - '= ~! . . ~ s ~. ~ ..~ . ~ -
Gambar 4.14 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen DAS Boyong
""""
. . KR8111
. ........
Gambar 4.16 Peta Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang pada DAS Boyong
Pusat Litbang Sumber Da}KJ Air 65
Naskah 1/miah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan RaiNCJn Benwna Sedimen:
Teknologi Sabo sebogai Elemen Pengendali Banjir Lahar da/am Penataan Ruang di Kawasan Merapi
Berdasarkan hasil klarifikasi lapangan, pemanfaatan ruang di daerah hulu Kali 8oyong,
khususnya di sekitar bangunan sabo 80-07 sampai BO-DS didominasi tegalan, belukar/semak,
dan kebun/kebun campur sedangkan mulai dari 80-04 sampai 80-01 didominasi sawah irigasi
dan permukiman penduduk (Gambar 4.17). Pada beberapa titik di hulu dan hilir bangunan sabo
dijumpai aktivitas penambangan yang didominasi oleh penambang dengan menggunakan alat
berat. Aktivitas penambangan dalam skala cukup besar dijumpai pada bagian hilir BO-
D6.Permukiman penduduk mulai dijumpai di sekitar bangunan sabo 80-04 sampai 80-01,
dengan jarak permukiman terdekat ke tepi sungai kurang dari 25 m ada di sekitar bangunan
sabo BO-C7 dan 80-CBA.
Bangunan sabo pada bagian hulu Kali Boyong cukup bervariasi, mulai dari tipe terbuka, tipe
tertutup, tipe terbuka dengan jembatan, tipe tertutup dengan intakeirigasi, serta tipe tertutup
dengan intakeirigasi dan jembatan. Bangunan sabo tipe terbuka dengan jembatan, tipe
tertutup dengan intake irigasi, serta tipe tertutup dengan irigasi dan jembatan dijumpai pada
daerah dengan penggunaan lahan sawah irigasi dan permukiman penduduk. Hal ini
menunjukkan bahwa bangunan sabo yang ada disesuaikan fungsinya dengan penggunaan
lahan di sekitarnya, tidak hanya berfungsi mengendalikan aliran debris, tetapi juga sumber
pengairan (irigasi) dan penghubung masyarakat antar daerah (sebagai jembatan).
Pemanfaatan ruang di sekitar bangunan sabo BO-C9 sampai 80-GS1A didominasi oleh
permukiman pendudukdan sawah irigasi dengan sedikit tegalan (Gambar 4.18). Hal lni
menyebabkan bangunan sabo yang ada didominasi tlpe tertutup dan irigasi serta tipe terbuka
dan jembatan yang menjadi sumber pengairan (irigasi) sawah masyarakat dan akses
penghubung antar daerah (sebagai jembatan). Selain itu, juga dijumpai adanya pabrik, usaha
perikanan, dan peternakan.Aktivitas penambangan dalam skala kecil hanya dijumpai pada
bagian hulu bangunan sabo BO-C9, BO-C4, dan BO-GS1A.Permukiman penduduk pada bagian
tengah Kali Boyong sebagian besar banyak yang berada pada jarak kurang dari 25 m dari tepi
sungai, seperti di sekitar bangunan sabo 80-c2A, 80-C10, 80-CllB, B0-4A, BO-GS2B, BO-
GS2A, dan BO-C4.
Pemanfaatan ruang di daerah hilir Kali Boyong didominasi oleh sawah irigasi dan permukiman
penduduk dengan sedikit tegalan, belukar/semak, dan kebun (Gambar 4.19) serta ada
peternakan sehingga bangunan sabo yang diimplementasikan adalah tipe tertutup dengan
intakeirigasi. Pada segmen ini sebagian besar bangunan saba yang diimplementasikan
merupakan groundsi/1. Hal ini karena semakin ke hilir, kemiringan alur sungai makin landai
sehingga diperlukan groundsi/1 untuk mencegah terjadinya perubahan dasar sungai yang
ekstrem, baik agradasi (kenaikan dasar sungai) maupun degradasi (penurunan dasar sungai)
sedangkan aktivitas penambangan hanya dijumpai di hulu bangunan sabo 80-Cl.
. te-
Jenb Bantrunan Sebo :
~
•
10:}
tenutup
tenutupdanifigaOI
- ·- ·- Bates Kabupitlln
;a pobnk
- - Jilin
llo pen1mbang, <10 truk. afat berat
• permuldman, <2Sm
pen'l'lUkiman, $()..100m
Bolukr/Sem
Hutan
~
1'77'71
Slwah lrlgaol
Slwah
(ff./.1 Tadah Hujan
-r~ .. , r--l
•
Kebunl Tanah Berb•tu
pe:rmukiman. )o 100 m ,...:..-· ''"'..: t<tbun Campur l _ j
-
D
• permuklman, 25-50 m
~rmukh'Nin
INSET
.._ Tega&ln
• temak, belublr
...
I
.... !
• temlk. belukllr, ktbun ~ u ~
•
II
!,
~1 l)': _ W_~ \ I
•
•
semak , belukar, kebun , cawah
• tegalan
IC I! .. UIITtaU,N PI!KfR J AAN u•Uil
~ ~ ~!:-. . ~!" - ~ .£
I
110 ' 2<1'0"'£ 110•2tft
Gambar 4.17 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASBoyong Bagian Hulu (BO-D7 s.d BO-C8)
liOJ
ll!nutup
lenutup dan ingall
- ·- - BatAII Kabupaten
iii pobol<
- - Joton
0.. penambang. c: tO truk, llat .,_rat
penkanan
Pe~na
Bangunan
Lahan :
. • Rumput
• permuklman. <25m
permukunan , 50-100m
Batuker/Semak
Hutan
'777l Slwon
"//[.J Tldan HUjon
~ Sowah tflgaOi
•. stmit. belukar
i
I Qf37 ~ . .. '.51· . 0
~, semalt, belubr, ktbun
Gambar 4.18 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASBoyong Bagian Tengah (BO-C7 s.d BO-CllA)
• lertutup
~
Sawah lrtgati
~:.h
tT~
- Hulon Hujon
I pennukiman. 5()..100 m
:/- . -
•
SLEMAN .- ::- . Kebun/ , - - - , lllnah BerboiU
permuklman , >tOO m •~ ~ .....; Kebun C.mporl.__j
0 ~gaen
• permuldman. 2>50 m
Ptrmutuman
INSET
• polemokln
Mr'Mk, bekJkat
101"0'0'£ lt.t"Vft uoon m-on 112'C"'"E
~i ~~ I: ~ f E
·•
•mak. beklkaf, kebun
~ ~
• Mmak. belukar, kebun , tegalan
~ . ~ -~ ..L !'> e- - ~ ~ 2
10~'"£
Gambar 4.19 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASBoyong Bagian Hilir (BO-C12 s.d BO -GSS)
--
-BitnKebuplltlfl
_./: .......
~r'lkanutew ,
___
er.I~M'nltbNBi
(~debm l rtfa6clnb!,.)
~ - ~-.J ...~· - ~
Gambar 4.20 Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen DAS Woro
Berdasarkan zonasi kerawanan bencana banjir lahar hujan dan pemanfaatan ruang pada DAS
Woro, maka dihasilkan peta risiko bencana banjir lahar hujan pada DAS Woro sebagaimana
disajikan dalam Gambar 4.22. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai risiko tinggi untuk
banjir lahar hujan pada zona peralihan antara daerah produksi, dimana potensi terjadi longsor
.....Boyolali
,
+
KlteMP'UIZft O
e.t•~
"'""
KR8"
~·" . - """"'
~ ~ ~:rs.;· 9
+
........
. - 8IIWIFJNPMI
-- Kela~onfk :
. ..........
. . P. . . K1t:~
Po4«111Kontii:RH!dan
·~n · M~
,....
n:':'.. c. 1'..1ll"'l •·zO":"!:
Pemanfaatan ruang di Kali Wore, khususnya di sekitar bangunan sabo WO-e (Junut) sampai
wo-e (Jaten), lebih didominasi oleh tegalan dengan vegetasi kayu keras dan sawah irigasi (lihat
Gambar 4.24). Tegalan tersebut merupakan bagian dari lahan milik penduduk yang tinggal di
sekitar kawasan tersebut, sementara sawah irigasi pada lokasi tersebut diairi dari intake irigasi
pada bangunan sabo WO-C (Sukorini). Bangunan sabo yang diimplementasikan pada daerah
tengah Kali Wore tersebut, padaumumnya merupakan bangunan sabo tipe terbuka, kecuali
WO-e (Kedusan). Bangunan sabo dengan fungsi tambahan jembatan dijumpai pada WO-e
(Jaten). Aktivitas penambangan pasir ditemui pada setiap lokasi bangunan sabo, namun masih
dalam skala kecil.
Pemanfaatan lahan untuk permukiman cukup padat dijumpai dalam jarak yang cukup dekat
dengan sungai, bahkan kurang dari 25 m dari tepi sungai. Oi dekat bangunan sabo WO-e
(Junut) juga terdapat gedung sekolah yang cukup dekat dengan Kali Woro.Pemanfaatan ruang
di Kali Wore, khususnya di sekitar bangunan sabo WO-e (Wonoboyo) sampai WO-e (Geneng),
lebih didominasi oieh sawah irigasi dengan sediklt pemanfaatan kebun (lihat Gambar 4.25).
Terdapat dua bangunan sabo tipe tertutup yang memiliki fungsi tambahan sebagai intake
irigasi, yaitu WO-C (Wonoboyo) sampai WO-e (Geneng), sementara WO-e (Pandan Simping)
merupakan bangunan sabo tipe tertutup. Bangunan sabo dengan fungsi tambahan jembatan
tidak dijumpai pada ketiga bangunan sabo pada segmen ini. Aktivitas penambangan pasir
ditemui pada setiap lokasi bangunan sabo, namun masih dalam skala kecil dengan jumlah truk
beroperasipada saat survei awal kurang dari 10 unit. Pemanfaatan lahan untuk permukiman
juga dijumpai namun dalam jarak yang lebih jauh, sekitar 50-100 m dari sungai. Di dekat
bangunan sabo WO-e (Pandan Simping) dijumpai gedung industri yang berada cukup dekat
dengan Kali Wore.
. , ~, \\
\
\-.-,
'·
\ ,.
\
~:-
.>f-~ ';_ ~
>.
\ \..,/
+
~: ~ I J" -!·'1.>', ' ..,,'-lrt>.~J!:,
..,.·~ . -~ -. - ~ !.
' ' ' •,-\ ~-' ..'· ,
"
'
. '
..
I '"
.
j . .· I
'c
,___ ,
' . .
'
,
\
• · ,'
.,
1\,-'\ \ /I
PROYEKSI G(OGAAFIS
1'27.000
~TUM WGS-64
' ' - ' i \.- ,. Lau-nd• KR8 MERAPI 2010
\ \ ..../ ... I ' \ ' I- \ \
•
\
- Batao Ptoplntl KRB I
TIJ)e terbuM ,.""'-"
', - - --- Batos Kabupaton KRB II
\
T~ terbUka dan ,l&fTCatan \ ......:·-· ).
·-. - ~-r ' 1 SUngo> - KRB Ill
Topelertutup . \
,.
.. .,. '\
r '
\
•,
. \
\ ) ,,
~- -~ - -.., •, - \ \ Kfaten \
lC)e tVftuttJI) deng&n lflgiSI . \- \ ' ·'., . \ . - -\'
-_ -
Penggunaan Lehan
I~ ( ,. - \' r· \ t)_ -~
~
;:
Awal :
Penamt>ang .. , 0 truk j
...
--·+ \ - - --; --.-;-
\
' \
,
flOi
. 4--·-, -)
.
Kem. .g
· _ \\'
-~.:L
\'·
'
~. ,-:.-:--- ·-\··;·\
,~i ,•\ ~
I
lndUS~:
Lapongon
~
t;':;z:j ~=:
Sawah lflg.r;,
HUJ>n
I t '•-r • ''-\·
-~ , _.. - _,_,
1 \ \. \ il D MakAm J·t . ;~1J =:dan
•\I ' . ':. .·. ·.,.. , f" :a.~- \ .'
Penambang ~20 truk ~
l
I '
\. . . . . . \'.~
\
I
\ \ .. >
c=J Permuklman C J Tegatlln
Petmuklmen. <25m
I \,1 ' I ~ -\' I ' (\ I \ ' - "'
' '.'r . .
INSET
Pemtulum11n. 2~ - 50 m ' .l
·(' \· ~· ), ·\ ~-'
10t'O'O'f. IOt'o·O"( uo·on 111 ' 00'1! 111'G'O"E:
l '\--.
\I ' \
I _...\ ....._ ') \ ' '("' \
_r · . ·• ..
~ -~
~ 1
I.; ~.,
••J:.
I \ \ 1 )\ 1 \ I I ..
Teg1U1n \ --1 I ; \ h ... /..1 \ ,·~ . -. I
\\Y( ~-.· · -~\ ~' ,·~ nYo.c3 A· .. ,
\
Tegalan. SIIN.h, C. han befbatu
\-··' 11 • ' \ \.- -...,
...~
...l,..._ ....
rT~- ~-
S.kolah \
&.. lndustn
' \
I
I
, I '\ \ 1, \"
KIMINTitlli A N PIK~J
a .. n, .. ,..._IIIII\ .. 0\.._ . l tiCf"IA .. e.u.c
"-"AlPVMiltll.'fClYII ...........,~Diot'A ...
A A N u•u M
I 1 \ i\ -~ _b. ~ b ~ ..L§.e- - ~ - 2
110'2t"O'li 1'1/)'29CrE t1o•)n-E
Gambar 4.23 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASWoro Bagian Hulu (W0-06 s.d WO-C3)
-+
·~ .
...~
e;. Kararl4}nongk0 oo Nao.• on
1:14.000
fiROYEKSl OE'OGRAFlS
1),6.1Uf.l WGS·84
•
- Batas Proplnsf KRB I
~i
~ I lliJ Tipt terbuka - ---- Batas Kabt.paten KRB II
r.pe terbukl _dan ,embatan ____.,6- Sungol - KRB Ill
~+ ~
Permuklman . 25-50 m
~
Sawah
I• Sawall. kel>un
SetuktriMmakiTumut din tegalan
I •
- ~ i
~
•• r.g&lan
.t. Sekolah
ICI!MI!!NTIUIIAN '!ki!!RJAAN UMUM
I.. tndustn
-----·---------
t4UA~
"I'Oo(~CAN._Y
Pl~ lOIJ ' f'OI 04\ Pl._t.I .. IAH (.~ flo
Gambar 4.24 Peta Pem anfaatan Ruang Sekita r Bangunan SaboDASWoro Bag ian Tengah (WO-C Junut s.d WO -C Jaten)
+
113000
PROVEKSI GEOGRAFtS
OAtl..lt.l WG$.84
~
•
Tipe Bangunan Sabo :
- Batas Proponsl KRB I
Sawah
• Sawah. kebun
.._
Bel'-*arJaemaklrumut dan tegalan
• Tegaian
i)t:..,.I .......... S_
.J:. Sakolah ·
J C.I
~ 1'
~I.-
.. ,.1~0
~ A . '= - ~ I , s . e._~ Q
'¢31"30"f 110• )1")0"'!
Gambar 4.25 Peta Pemanfaatan Ruang Sekitar Bangunan SaboDASWoro Bag ian Hilir (WO-C Wonoboyo s.d WO-C Geneng)
Kajian ini memilih kawasan DAS Kali Putih di wilayah Kecamatan Srumbung, Kabupaten
Magelang sebagai studi kasus dalam kaitannya dengan perencanaan kawasan DAS dengan
mengakomodasi prinsip-prinsip penataan kawasan rawan bencana banjir lahar hujan sebagai
dampak lanjutan dari bencana erupsi. Kawasan studi dibagi menjadi 3 (tiga) lokasi pengamatan
dengan tujuan untuk memperoleh data fislk secara detail dengan pendekatan tata guna lahan
dan fungsi bangunan. Setiap lokasi memiliki karakteristik fungsi lahan dan bangunan yang
berbeda sehingga meskipun prinsip penataan kawasan reslstan terhadap dampak bencana
erupsi umumnya adalah sama, namun risiko keruglan yang dapat dialami oleh setiap lokasi
berbeda, tergantung dari karakteristik kondisi existing setempat. lokasi pengamatan 1 dan 2
secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Srumbung, sedangkan lokasi 3 berada
dalam wilayah Kecamatan Salam.
Sebelum menentukan arahan penataan ruang pada kawasan tersebut, perlu dilakukan
pemetaan kerentanan untuk mendapatkan gambaran kondisi tingkat rawan kawasan terhadap
ancaman erupsi. Pemetaan terhadap faktor kerentanan pada kawasan rawan bencana perlu
dilakukan untuk mengetahui titik kelemahan suatu kawasan yang menyebabkan kawasan
tersebut rentan, sehingga kebijakan untuk penguatan kawasan tersebut dapat lebih terarah
dan tepat sasaran. Oleh sebab itu, pada bagian selanjutnya, keempat kelompok kerentanan di
atas dianalisis dan dibahas secara kuantitatif secara lebih detail pada daerah Srumbung dan
Salam di Kali Putih. Namun tidak semua faktor dapat dikuantitatifkan, beberapa hal yang tidak
dapat dijabarkan secara kuantitatif dideskripsikan secara kualitatif. Berikut ini merupakan
analisis pemetaan kerentanan pada titik (spot)pengamatan di Kecamatan Srumbung dan
Kecamatan Salam:
a) Kerentanan Fisik (Physkal Vulnerability)
Berdasarkan klasifikasi dan pembobotan kerentanan fisik dalam Tabel 4.3, dilakukan
analisis nilai kerentanan fisik Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Salam yang hasilnya
disajikan pada Tabel4.4, dengan parameter ukur sebagai berikut:
1) Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk (jiwa) da lam suatu luasan area tertentu
(km 2 ). Kepadatan penduduk yang semakin tinggi akan berpengaruh terhadap
kerentanan suatu wilayah terhadap bencana. Semakin tinggi kepadatan penduduk,
maka kerentanan wilayah tersebut terhadap bencana juga akan semakin tinggi karena
berhubungan dengan keselamatan jiwa dan kondisi kesehatan penduduk. Jumlah
penduduk pada tahun 2013 di Kecamatan Srumbung sebanyak 46.747 jiwa sedangkan
di Kecamatan Salam sebanyak 45.996 jiwa. Pada label 4.5 dapat dilihat tingkat
kepadatan penduduk pada kedua kecamatan relatif tinggi, dibandingkan rata-rata
kepadatan penduduk Indonesia menurut Sensus Penduduk 2010 {124 jiwa/km 2), yaitu
799 jiwa/km 2 di Kecamatan Srumbung dan 1.454 jiwa/km 2 di Kecamatan Salam.
Kepadatan penduduk dipengaruhi oleh makin dekatnya dengan pusat kota
(perekonomian) dan pusat kebudayaan (tujuan wisata) sehingga pertumbuhan desa-
desa di sepanjang sisi Kali Putih mengalami perkembangan pesat setiap tahunnya.
4) Pengalamankebencanaan
Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman masyarakat ketika bencana terjadi.
Erupsi Gunungapi Merapi yang memiliki siklus setiap 3-4 tahun sekali menyebabkan
masyarakat yang bermukim di sekitarnya, dalam hal ini di Kecamatan Srumbung dan
Kecamatan Salam, menjadi terbiasa dengan pengalaman ketika bencana erupsi terjadi.
Pengalaman lni yang membuat masyarakat mengerti apa yang harus dilakukan ketika
di masa mendatang kejadian bencana terulang kembali.
5) lnteraksi Sosial Masyarakat
lnteraksi sosial masyarakat dimaksudkan adalah pola hubungan dan relasi antar
anggota masyarakat, seperti nilai persaudaraan, kepedulian dan gotong royong. Pola
ini dapat mempengaruhi kerentanan terkait kemampuan masyarakat tersebut sebagai
sebuah kelompok dalam menghadapi ancaman atau bencana, dimana makin renggang
hubungan atau relasi antar individual, maka kerentanan makin tinggi.
Dilihat dari interaksi sosial masyarakatnya, lokasi tinjauan memiliki pola hubungan dan
relasi yang cukup erat. Hal ini tercermin dari berbagai aktivitas sosiallingkungan yang
mencerminkan nilai persaudaraan dan kebersamaan, yang umum dijumpai di lokasi
KecamatanSrumbung maupun KecamatanSalam, seperti gotong royong membuat
hunian warga yang kurang mampu, sumbangan bagi warga yang terkena musibah, dan
kerja bakti membersihkan lingkungan dusun. Bahkan di Kecamatan Srumbung
beberapa aktivitas sosial secara spesifik terkait dengan kesiapsiagaan terhadap
bencana seperti relawan Merapi dan SAR.
1) Mata pencaharian
Mata pencaharian yang berada di sektor rawan, dimana berpotensi terpengaruh ofeh
dampak bencana akan menyebabkan masyarakat tersebut semakin rentan terhadap
bencana karena terkait dengan kefangsungan hidup.Pada Gambar 4.26 dapat dilihat
bahwa mata pencaharian utama di Kecamatan Srumbung didominasi oleh
petani/berkebun dan perangkat desa/PNS/guru . Hal ini dikarenakan daerah tersebut
memiliki ciri kawasan budidaya, dimana dijumpai pemanfaatan lahan untuk pertanian,
seperti kebun, tegalan dan sawah sedangkan di Kecamatan Salam didominasi oleh
buruh/tukang/penambang. Untuk mata pencaharian swasta, baik di Kecamatan
Srumbung maupun Kecamatan Salam memiliki perbandingan yang sama .
Dari hasil wawancara, hampir semua responden memiliki pekerjaan sampingan selain
pekerjaan utamanya. Hal ini karena sebagian besar penduduk bukan pekerja kantor
yang memiliki jam kerja tertentu sehingga dapat secara ffeksibel mengatur waktu
untuk beberapa pekerjaan. Mata pencaharian sampingan penduduk cukup berbeda
pada kedua kecamatan, pada Kecamatan Srumbung didominasi petani/berkebun dan
buruh/tukang/penambang sedangkan pada Kecamatan Salam didominasi oleh swasta
dan petani/berkebun (Gambar 4 .26). Adanya mata pencaharian sampingan ini, dapat
mengurangi kerentanan ekonomi suatu masyarakat, khususnya apabila jenis
pekerjaan sampingannya tidak terpengaruh oleh dampak erupsi, sehingga apabila
terjadi bencana masih ada penopang ekonomi yang dimiliki.
Dilihat dari pengalaman bencana, mata pencaharian yang paling rentan terhadap
bencana erupsi Merapi adalah petani/berkebun karena sektor pertanian akan sangat
terpengaruh oleh kejadian bencana. Dapat dikatakan Kawasan Srumbung dan Salam
memiliki kerentanan ekonomi yang tinggi karena sebagian besar masyarakat memiliki
mata pencaharian utama maupun sampingan sebagai petani/berkebun .
Tabel 4.11 Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar
Harga Berlaku (%) Tahun 2010-2012
Kecamatan Srumbung Kecamatan
Uralan Salam
2010 2011 2012 2010 2011 2012
Pertanian 49,20 49,03 47,45 26,02 25,36 24,91
Pertambangan dan
12,53 13,01 12,89 3,78 3,88 3,84
Penggalian
lnsdustri Pengolahan 4,74 4,86 4,95 15,67 15,92 16,14
listrik, Gas, dan Air
0,15 0,15 0,15 0,32 0,31 0,31
Minum
Ba ngu na n/Konstru ksi 8,26 8,61 9,08 4,96 5,09 5,12
Perdagangan,
14,09 14,09 14,26 25,95 25,82 26,26
Restoran, dan Hotel
Penga ngkuta n dan
0,98 0,97 0,95 5,08 5,12 5,02
Komunikasi
Keuangan, Persewaan,
1,10 1,09 1,06 2,38 2,33 2,26
dan Jasa-Jasa
Jasa-Jasa 8,95 9,20 9,22 15,84 16,16 16,15
..
Sumber: Badon Pusat Stattstik Kabupaten Magelang, 2014
Jika ditinjau dari jenis sektor yang menopang ekonomi kawasan, maka seharusnya
Kecamatan Srumbung secara ekonomi memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan
Kecamatan Salam karena sektor pertanian yang akan terkena dampak langsung dari
aktivitas Merapi. Namun, pertumbuhan ekonomi Kecamatan Salam pada tahun 2010
juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan adanya erupsi Merapi tahun 2010 yang
menimbulkan kerugian yang besar, baik secara materiil maupun nonmateriiil. Baru
Pusat Litbang SUmber Daya Air 84
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Ra'NOn Bencana Sedimen:
Tekno/ogi Saba sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Ka'NOsan Merapi
pada tahun 2011-2012, pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan. Hal 'ini
menunjukkan bahwa sektor pariwisata juga terpengaruh oleh dampak aktivitas Merapi
sehingga Kecamatan Salam juga memiliki kerentanan ekonomi meskipun tidak sebesar
Kecamatan Srumbung karena sektor pariwisata masih tetap berjalan, hanya
mengalami penurunan jumlah wisatawan.
Sektor Mata
Jenis Sektor Penopang Ekonomi Klasifikasi Bobot
Pencaharian
Pada Gambar 4.27 terlihat bahwa Kecamatan Srumbung memiliki tingkat kerentanan
tinggi/paling rentan terhadap parameter ekonomi (kerentanan ekonomi) sedangkan untuk
parameter lainnya, seperti fisik, sosial, dan kultural berada pada tingkatan kerentanan yang
sedang. Untuk Kecamatan Salam, memiliki tingkat kerentanan sedang terhadap parameter
fisik, sosial, dan ekonomi sedangkan terhadap parameter kultural berada pada tingkatan
kerentanan rendah.
Dengan memahami kondisi kerentanan wilayah tersebut dan aspek-aspek yang menyebabkan
kerentanan, maka arahan penataan ruang pada wilayah tersebut disamping
mempertimbangkan ancaman juga harus mendukung penguatan kapasitas kawasan . Hasil
analisis arahan penataan pada pada lokasi pengamatan adalah sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada lokasi pengamatan 1 DAS Kali Putih
Srumbung, lahan terbangun (fungsi permukiman, industri, dan komersial) sebagian besar
berada pada zona kurang dari 100 meter dari bibir sungai namun terdapat pula area
terbangun dengan jarak kurang dari 30 meter dari bibir sungai. Semen tara dilihat dari jenis
bangunannya sebagian besar merupakan bangunan permanen . Karakteristik fungsi
bangunan pada kawasan ini didominasi fungsi permukiman dan komersial, selain masih
terdapatnya ruang hijau pada jarak antara 50-150 m dari tepi Kali Putih, yang berupa
sawah dan kebun milik masyarakat sekitar.
bangunan rawan
terhadap material erupsi melalui
jalur sungai
·r
Kebijakan relokasi perlu diterapkan, khususnya pada lahan terbangun yang berada sangat
dekat dengan sungai karena potensi bahaya yang dihadapi oleh lokasi tersebut, baik pada
saat dan pasca peristiwa erupsi. Selain itu perlu dilakukan perencanaan alih fungsi lahan
yang terbangun di sekitar DAS menjadi area hijau yang berfungsi sebagai kawasan
penyangga (buffer area) yang melindungi daerah permukiman sekitar. Alih fungsi lahan
tersebut direkomendasikan sebagai kawasan lindung, dengan pembatasan aktifitas di
dalamnya yang t idak mengganggu kondisi bentang alam dan ekosistem alami, namun yang
juga dapat menguatkan sektor ekonomi setempat mengingat aspek kerentana n ekonomi
pada kawasan tersebut sebagai kawasan rawan bencana . Fungsi lahan yang dapat
mendukung perekonomian lokal namun tidak bertentangan dengan fungsi lindungnya
misalnya pemanfaatan kawasan tersebut sebagai kawasan desa wisata kebencanaan
gunungapi.
Sistem vegetasi yang mampu mereduksi efek panas yang terbawa oleh aliran lahar hujan
pada sungai, dapat direncanakan pada area pada kawasan penyangga tersebut . Jenis
vegetasi yang dapat menjadi indikator adanya ancaman bencana sekaligus memiliki nilai
ekonomi bagi masyarakat sekitar juga perlu dipertimbangkan. Sebagai contoh penanaman
tanaman bambu di tepi sungai lahar hujan dapat berfungsi sebagai penahan limpasan
banjir lahar hujan hujan sekaligus penanda bahaya, karena bambu akan meledak saat
terpapar panas dan suara ledakannya dapat menjadi peringatan dini kepada warga untuk
menjauhi daerah bahaya . Di sisi lain, tanaman bambu sendiri memiliki nilai ekonomis yang
cukup tinggi karena dapat dimanfaatkan untuk membuat furnitur atau perabotan rumah
tangga .
JALUR EVAKUA.Sf
WILAYAH JUMOYO
SEIIAGIAN LOKASI 3
KAU PIITlH HIUR
Gambar 4.30 Peta Jalur evakuasi pada salah satu area di Kec. Salam
~ ~ ~ ~ w r9 ~ -_ ~ we......,
---
_,_..
-·
-- ......
-- M...., tnploiln--.g
Berdasarkan pemahaman bahwa perilaku aliran lahar hujan mulai dari fase pembentukan
hingga terjadi aliran lahar hujan dan mengendap di hilir memiliki potensi ancaman atau bahaya
yang berbeda, maka strategi penataan ruang pada masing-masing zonasi juga perlu
disesuaikan. Konsep penataan ruang pada kawasan rawan bencana sedimen, dalam hal ini
banjir lahar hujan, disajikan pada Tabel 4.15 dan Gambar 4.33 sampai Gambar 4.35 untuk
penerapannya pada Kawasan Gunungapi Merapi.
Tengah Rawan longsor tebing sungai Kawasan Ruang Terbuka Hijau 50 m dari
(Daerah dan benturan (impak) tepi sungai sepanjang bantaran sungai
Transpor bangunan air dan jembatan. lahar hujan, dapat digunakan untuk
Sedimen, aktivitas terbatas sebagai kawasan
10°< i < 20°} budidaya, tetapi tidak untuk
permukiman.
Daerah kipas aluvial dapat digunakan
sebagai lokasi penambangan pasir yang
juga diberi sabuk hijau di slslluar tanggul
kantong lahar hujan dengan Iebar
bantaran 500 m dari tepi sungal atau
menyesuaikan dengan topografi sekitar
lokasi.
+
- 8&CIISPrcpllal
.......
t.-.p
- - - fld.ttiUtlupiiiHI .. :..lilnDIP:
..... o .........
~
-Q ~'
-~
<
· - -..
··o·r.o
·-
-
.
•
· ~• •'
.f
C
..... ,..lrU_-.
l.'*'"' "-' ........
IP~or tA-.
~41a
o~
...... ~
. . . . . ..._.._..,...,...
. . . ,.-~ptw
,.~
~a.,30
-·.,~w
.... · -~ ,; .... _w,.~
,.---·----
ltCMt:•'Jr•u••
n •-'" ., ...
~ - ~h .. ..
.,u~
- ~-1
l'CIt~41oi
• ~'
UM\1.
,.,.g.u,,...,
~ ~ 9.
Gambar 4.33 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Daerah Rawan Bencana Sedimen pada DAS
Putihtanpa lmplementasi Teknologi Sabo
+
- a.-~
- - - !aaiJCalluu.. •
-
Utfll)l
o-....
, "-lwc~•rtpo,SO c. v'tCI-".,~f>w
-~,._"*u;sc ...
-
:!NIJ-#U.~
-""""'_......
:.o-.. ~., ..... ~-ruo
1"'1' ...................... ~ ....... ~ ........ - ·
...
•r T ltu . to•'l l.t u.a•~tv
.....,._liXINMd"f'
._,~-
~ • •••• '
~-
~ -~
• t~l'"
....
- ~_!
•"
. ~J
·•~c:" • · •c'
~ <?
Gambar 4.34 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Daerah Rawan Bencana Sedimen pada DAS
Boyongtanpa lmplementasi Teknologi Sabo
+
-
-
a.~
· - a.tM;KaupM
....--? .......
A
--
MHo~
::,.
.... gl
~ =.,~:-a ...
Gambar 4.35 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Daerah Rawan Bencana Sedimen pad a
DAS Woro tanpa lmplementasi Teknologi Sabo
\
\ Penggunaan Lahan
_y ~ lndustri ~ Sawah lrigasi
"\.
· Karangno
L ' Lapangan r777ll Sawah .
- _.) I'LLLA Tadah HuJan
:'
Klat D Makam
;...·•. . -.-. Sempadan
·;: ·:; :::. Sungai
\
• Perikanan • TNGM
/Undung/Hutan
Ke
D PermukimanD Tegalan
Teknologi Sabo yang diadopsi dari Jepang, dalam perkembangannya di Indonesia memang
mengalami penyesuaian dalam rangka mengakomodir kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Bangunan sabo semula hanya memiliki fungsi sebagai pengendalibencana banjir lahar hujan. Di
sisi lain, investasi untuk membangun Sistem Sabo dalam suatu kawasan sangatlah besar,
sementara kejadian banjir lahar hujan frekuensinya tidak sesering banjir biasa pada umumnya.
Hal ini mengakibatkan masyarakat kurang menyadari manfaat dari bangunan tersebut.
Gambar 4.37 Pola Pemanfaatan Ruang yang Dipengaruhi oleh PU-C9 (kiri) dan PU-ClO (kanan)
Oleh karena itu, pada beberapa bangunan sabo di Indonesia ditambahkan fungsi tambahan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga dalam kehidupan sehari-hari manfaat lain
dapat juga dirasakan secara nyata disamping manfaatnya saat terjadi banjir lahar hujan.
Beberapa fungsi tambahan yang sudah sering diimplementasikan antara lain sebagai jembatan
penyeberangan, intake irigasi, dan pembangkit tenaga listrik mikrohidro.
Nilai lebih dalam fungsi tambahan ini, mempengaruhi pola ruang sekitar bangunan sabo.
Sebagai contoh pemanfaatan tambahan sebagai jembatan penyeberangan memperlancar
akses antar wilayah yang dipisahkan oleh sungai lahar hujan sehingga memepersingkat jalur
transportasi antarwilayah. Hal ini berdampak pada pola pertumbuhan desa di sekitar sungai
lahar hujan dan menstimulus pertumbuhan fisik di sekitar bangunan sabo tersebut. Fungsi
tambahan sebagai intake irigasi juga berkontribusi dalam membentuk pola pemanfaatan ruang
sebagai kawasan pertanian di sekitar bangunan sabo tersebut.
4.4.2. Potensi Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan
Tantangan terbesar dari penataan ruang pada kawasan rawan bencana adalah dalam proses
mengarahkan dan mengendalikan pertumbuhan . Pada kondisi nyata, hal ini sulit untuk
diimplementasikan karena pemanfaatan lahan yang sangat kompleks . Pertumbuhan penduduk
Teknologi Sabo pada daerah pengendapan, sedapat mungkin lebih diarahkan pada upaya
mengatur arah aliran, mencegah limpasan, dan menjaga kemiringan dasar sungai. Pada daerah
ini energi banjir lahar hujan tidak terlalu besar, namun biasanya terjadi pendangkalan alur
akibat sedimen yang berlebilh dari hulu sehingga rawan limpasan (overtopping) sehingga
Teknologi Sabo yang diimplementasikan berupa kanalisasi (channelworks) dan tanggul (training
dyke).
Kawasan Gunungapi Merapi merupakan salah satu kawasan rawan bencana banjir lahar hujan
yang sudah lama mengimplementasikan konsep Teknologi Sabo. Secara detail, zonasi
pengendalian dengan Teknologi Sabo dan tujuannya dapat dilihat padaGambar 4.38. Dalam
implementasi Teknologi Sabo di Merapi sudah sesuai dengan zonasi pengendaliannya, dimana
pada daerah sumber produksi tidak dibangun bangunan sabo karena pada daerah sumber
sedimen ini lebih diutamakan pada fungsi kawasan lindung. Adanya bangunan sabo justru akan
membahayakan keberlanjutan fungsi lindung tersebut karena bangunan sabo dapat
menimbulkan perubahan fungsi pemanfaatan di sekitarnya.Selain itu, biasanya daerah produksi
merupakan KRB Ill yang merupakan zona aliran piroklastik sehingga keberadaan bangunan
sabo pada zona ini justru berbahaya karena dapat mengakibatkan aliran piroklastik meloncat
keluar alur. lmplementasi bangunan sabo di Kawasan Gunungapi Merapi mulai terlihat pada
daerah transpor dan pengendapan, yaitu di hilir kawasan lindung.
CJ--
---
1 ·-
1 ~=-
lliJ ~ ·~
Gambar 4.38 Peta Pola Pemanfaatan Ruang Daerah Rawan Bencana Sedimen dengan
lmplementasi Teknologi Sabo
Dalam penerapannya, Teknologi Sabo harus sejalan dengan upaya penataan ruang dan bahkan
harus dapat mengarahkan pola aktivitas masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya bahwa peran Teknologi Sabo dalam penataan ruang adalah mengendalikan
ancaman dengan meminimalkan atau mengarahkan daerah rawan bencana, dengan demikian
ruang yang semula memiliki risiko bencana tinggi untuk aktivitas manusia menjadi
memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi keperluan manusia. Namun, penting untuk dipahami
bahwa Teknologi Sabo tidak menghilangkan ancaman melainkan meminimalkan potensi
ancaman sehingga peluang bahaya tersebut tetap ada, apabila ancaman yang terjadi melebihi
kapasitas desain dari Teknologi Sabo itu sendiri. Oleh sebab itu, kesadaran dan kewaspadaan
masyarakat terhadap adanya potensi tersebut sangat penting.
BABV
PENUTUP
Kawasan Gunungapi Merapi merupakan kawasan strategis secara ekonomi, sosial, budaya, dan
lingkungan, baik pada level lokal maupun nasional. Di sisi lain, kawasan ini memiliki potensi
bencana gunungapi secara periodik dengan rentan waktu yang relatif pendek, yaitu antara 4-7
tahun. Hal ini menjadi problematika tersendiri bagi kawasan ini, karena dengan kondisi alam
yang demikian, kawasan ini harus memiliki ketahanan terhadap bencana alam dan kemampuan
untuk pemulihandari dampaknya, khususnya terkait bencana gunungapi.
Ketahanan dan kemampuan pemulihan terhadap bencana alam ini, ditentukan oleh faktor-
faktor kerentanan kawasan. Kerentanan ini muncul karena adanya konflik ruang antara ruang
aktivitas manusiadengan ruang aktivitas alam dan/atau ruang aktivitas manusia dengan
manusia yang menimbulkan kerugian. Oleh sebab itu, penataan ruang pada kawasan bencana
alam prinsipnya adalah mengurangi atau meminimalkan konflik ruang yang mungkin terjadi
sehingga tingkat risiko bencana dapat ditekan.
Kawasan rawan bencana Merapi berdasarkan tinjauan kerentana nnya memiliki kelemahan
dalam aspek kerentanan ekonomi karena mata pencaharian dan jenis sektor penopang
kawasannya, seperti pertanian dan perkebunan, sangat dipengaruhi oleh aktivitas erupsi
Merapi. Sedangkan kekuatan atau kapasitas yang memberikan kemampuan kawasan rawan
bencana Merapi untuk bertahan dan pulih dari dampak erupsi adalah kondisi kulturalnya. Hal
muncul dari proses pengalaman menghadapi bencana yang cukup lama dan kondisi masyarakat
yang homogen dengan kedekatan hubungan kekeluargaan yang tinggi, sehingga kultur gotong
royong, kepedulian dan sa ling mendukung/menolong antar warga sangat kental.
Dalam memahami potensi konflik ruang. terlebih dahulu perlu dipahami jenis dan perilaku dari
ancaman (hazard). Pada kajian konflik penataan ruang di Kawasan Gunungapi Merapi terkait
bencana sedimen atau lahar hujan, potensi ancaman berbeda bergantung pada fase dari lahar
hujan yang terjadi. Secara garis besar fase perilaku lahar hujan dibagi atas tiga zonasi, yaitu
Daerah Pembentukan (Production Area), Daerah Transpor(Transportation Area), dan Daerah
Pengendapan (Sedimentation Area).
Ancaman pada daerah pembentukan adalah erosi galur, pergerakan massa, dan longsor. Untuk
mengurangi potensi bahaya aliran lahar hujan yang akan mengalir ke hilir, maka pada daerah
pembentukan mutlak diperuntukkan sebagai kawasan lindung. Pada kawasan ini konsep
Teknologi Sabo yang diimplementasikan adalah yang bersifat nonstruktural, seperti pekerjaan
konservasi lahan atau percepatan pemulihan kondisi vegetasi pasca erupsi (vegetation works).
Ancaman untuk daerah transportasi adalah longsor tebing dan aliran liar banjir lahar hujan.
Untuk mengurangi kerentanan terhadap ancaman tersebut, penataan ruang sepanjang sungai
lahar hujan pada daerah ini dengan membebaskan daerah sempadan sungai dan
memfungsikannya sebagai RTH. Teknologi Sabo dalam hal ini perlu diimplementasikan untuk
mengurangi energi luncuran aliran lahar hujan, menahan material, dan mengarahkan aliran
sehin~ga potensi meloncat keluar alur dapat dieliminir.
Ancaman untuk daerah pengendapan adalah sebaran endapan material lahar hujan dan
benturan boulders, khususnya pada titik bukaan kipas aluvial pada peralihan daerah transpor
ke pengendapan, sementara ancaman di hilirnya adalah pendangkalan sungai dan limpasan jika
sedimen berlebih sampai ke hilir. Pada daerah ini, penataan ruang daerah sempadan sebagai
Pusat Litbang Sumber Dayo Air 102
Naskah llmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawason RaiN't1n Bencana Sedimen:
Teknologi Saba sebagai Elemen Pengendali Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di KaiN't1san Merapi
RTH. Khususnya pada daerah kipas aluvial, batas wilayah sempadan hingga 300 m dari tepi
sungai dan sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk permukiman. Pada daerah ini, Teknologi Sabo
yangdapat diterapkan adalah tanggul pengarah (training dyke) untuk mengarahkan aliran dan
kantong lahar hujan (sand pocket) untuk menampung material lahar hujan dalam jumlah yang
besar. Sementara di hilir kipas aluvial dalam diimplementasikan kanalisasi (channel works)
dengan kombinasi groundsil/ untuk mengarahkan a Iiran dan menjaga kemiringan dasar sungai.
Konsep Teknologi Sabo dalam upaya mengatasi ancaman banjir lahar hujan sesungguhnya
dapat disinergikan dengan pendekatan penataan ruang karena keduanya tidak bertentangan
bahkan dapat saling mendukung satu sama lain. Teknologi Sabo dapat mengisi peran dalam
meminimalkan ancaman sehingga kebutuhan untuk pemanfaatan ruang pada daerah rawan
bencana dapat lebih toleran.
Namun demikian, penting untuk diingat bahwa peran dari Teknologi Sabo ini hanya
meminimalisir, tetapi tidak menghilangkan karena potensi untuk terjadinya bencana tetap ada
walaupun secara statistik peluangnya diperkecil. Untuk itu, aspek kepedulian dan kesiapsiagaan
masyarakat tetap menjadi faktor penting dalam upaya mitigasi bencana banjir lahar hujan
karena sebaik apapun sebuah teknologi tentunya memiliki keterbatasan kapasitas layan.
Penegakan kebijakan penataan ruang pada kawasan bencana banjir lahar hujan berbeda antara
satu kawasan dengan kawasan yang lainnya, khususnya pada daerah yang sudah terhuni. Ada
tiga pendekatan yang biasanya digunakan, yaitu meminimalisir potensi ancaman terhadap
masyarakat (keep disaster away from people), menjauhkan penduduk dari risiko terdampak
(keep people away from disaster), dan mempersiapkan masyarakat untuk hidup dengan
bencana (living harmony with disaster). Pendekatan tersebut merupakan bagian dari upaya
pengelolaan konflik dalam penataan ruang, dimana sebaiknya penerapannya disesuaikan dan
mengakomodir karakteristik sosial, budaya, dan masyarakat.
Dalam kondisi tertentu, seperti di Kawasan Gunungapi Merapi, kehidupan masyarakat tidak
dapat dijauhkan dari kawasan tersebut karena adanya ketergantungan dan keterikatan
ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh sebab itu, untuk mengurangi potensi ancaman bencana
banjir lahar hujan tersebut, maka konsep Teknologi Sabo dapat menjadi elemen pendukung
dari upaya penataan ruang tersebut.
Dalam penataan ruang kawasan bencana banjir lahar hujan, perlu juga diselaraskan dengan
aktivitas masyarakat setempat, artinya penataan ruang tidak hanya sekedar mengamankan
kehidupan, namun juga memberikan nilai tambah yang akan mengurangi tingkat kerentanan
lingkungan yang dilindunginya. Misalnya penguatan kerentanan ekonomi masyarakat, melalui
fungsi-fungsi ruang yang mengembangkan potensi kawasan sebagai desa wisata dengan
memanfaatkan kondisi alam dan fasilitas mitigasi bencana sebagai bentuk wisata edukasi
bencana dan outdoor-sport dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian masyarakat
setempat sekaligus memelihara kondisi fasilitas mitigasi bencana dan konservasi.
Selain itu, hal penting yang perlu juga dikelola dengan baik melalui penataan ruang adalah
aktivitas penambangan pasir. Saat ini, aktivitas penambangan banyak berdampak negatif
terhadap upaya mitigasi bencana di Kawasan Merapi. Padahal seharusnya aktivitas
penambangan bahan galian golongan C ini dapat bermanfaat karena dapat mengurangi bahkan
mengosongkan kapasitas tampungan bangunan sabo. Namun, pada kenyataannya justru
aktivitas ini mengakibatkan kerusakan bangunan sabo, kerusakan jalan evakuasi, perubahan
tata ruang, dan kurang memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat. Aktivitas
penambangan bahan galian golongan C pada alur sungai lahar hujan dan tampungan bangunan
Sabo sebaiknya diatur tersendiri, baik lokasi dan volume maupun rute truk pengangkut
Pus at Lit bang Sumber Da}O Air 103
Naskah lfmiah Konsep Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen:
Teknologi Sabo sebagai Elemen Pengenda/i Banjir Lahar hujan dalam Penataan Ruang di Kawasan Merapi
material. Perlu dikembangkan manajemen penanibangan bahan galian golongan C pada
kawasan rawan bencana yang berbasiskan mitigasi bencana.
Smits, A.J.M., Nienhuis, P.H. and Saeijs, H.L.F., 2006, Changing estuaries, changing
views, Hydrobiologia (2006) 565, pp. 339-355. http://link.springer.com/.
Simandjuntak, T.O., Barber, A.J. 1996. Contrasting tectonic styles in the Neogene
orogenic belts of Indonesia. Hall, R &Blundell, D. (eds.) Techtonic Evolution of
S.E. Asia. Geological Society. London.
Sumaryono, A., Santoso, U.B., Djudi, dan Puspitosari, D.A. 2011.Evaluasi Kerusakan
Bangunan Sabo di Kali Putih Pasca Erupsi Merapi 2010. Presiding Simposium
G.Merapi: Kajian Perilaku, Dampak, dan Mitigasi Bencana Akibat Erupsi Merapi
2010. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Tan, S.S. 2013. Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Budaya Petani dalam Buku
Pengembangan Pertanian Berbasis Jnovasi di Wilayah Bencana Erupsi Gunung
Merapi. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
http://www.litbang.deptan.go .id/buku/Erupsi-Gunung-Mer api/Bab-l/1.10.pdf,
diunduh tanggal28 November 2014.
United Nation. 2006. Early Warning Bulletin on Natural Hazard. Edision V.LAPAN &
UN-World Food Programme. Jakarta.
Volcanic Saba Technical Centre. 1985. Perencanaan Saba. JICA: Jakarta.
Wasito, lndrasti, R, Muhamaram, A. 2013. Percepatan Pemulihan Kondisi Sosial
Masyarakat Petani Pasca Erupsi Gunung Merapi dalam Buku Pengembangan
Pertanian Berbasis lnovasi di Wilayah Bencana Erupsi Gunung Merapi. Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
http://www.litbang.pertanian .go.id/buku/Erupsi-Gunung-M erapi/Bab-
lll/3.1.pdf, diunduh pada 25 September 2014.
Wulan Mei, E.Dwi Suryanti, dan S. Bachri. 2010. Perencanaan dan Pemodelan Evakuasi
Krisis Gunungapi Merapi: Rekomendasi. Pusat Studi Bencana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Yunita, F.T. dan Gardiawan, G.R. 2012. Kajian Rencana Penanggulangan Banjir Lahar
hujan dengan Saluran Pengelak Kali Putih. Jurnal Saba Vol. 2 No.1. Yogyakarta.
Aliran debris 14; 21; 22; 56; 66. Kerentanan kultural13; 82; 83; 86.
Angkutan sedimen 20; 22; 86; 87; 89 .. Kesiapsiagaan 25; 81; 95; 104.
Bangunan sabo 20; 21; 22; 52; 53; 54; 60; Lahar hujan 2;3; 4; 14; 15; 16; 17; 18; 20;
61; 62; 63; 66; 67; 68; 69; 72; 73; 74; 75; 22; 23; 25; 29; 34; 36; 39; 40; 43; 44; 45;
86; 97; 98; 99; 100; 103. 48; 49; 50; 51; 52; 53; 54; 55; 56; 58; 60;
64; 71; 72; 73; 77; 81; 87; 88; 89; 90; 92;
Bantaran sungai 16; 44; 64; 95.
93;94;95;96;99;100;101; 103;104.
Checkdam 22.
Mitigasi 2; 3; 4; 7; 8; 9; 11; 13; 26; 27; 28;
Consolidation dam 22; 100. 52; 54; 71; 81; 93; 101; 105.
Daerah pengendapan 21; 54; 55; 56; 58; Penataan ruang 2; 3; 4; 5; 17; 18; 19; 26;
64; 70; 71; 86; 87; 89; 92; 93; 100; 102. 27; 28; 50; 53; 54; 59; 71; 77; 87; 92; 93;
95; 96; 98; 100; 102; 103; 104.
Daerah produksi 21; 22; 54; 55; 56; 57;
58; 64; 70; 92; 95; 100. Peringatan dini 6; 7; 23; 24; 25; 28; 89;
92; 93; 94; 95.
Daerah transpor 21; 54; 56; 94; 96; 101;
103. Rawan bencana 2; 3; 4; 5; 11; 14; 17; 18;
19; 20; 23; 26; 27; 28; 29; 43; 44; 48; 50;
Garis sempadan 94.
51; 52; 53; 54; 55; 58; 64; 71; 73; 77; 89;
Grounds/It 16; 22; 66; 103. 91; 92; 93; 94; 95; 96; 97; 98; 100; 101;
102,103,104,105.
Kantong lahar hujan 20; 22; 71; 72; 96;
101; 104. Risiko bencana 5; 6; 9; 10; 11; 18; 19; 24;
25; 51; 54; 55; 56; 57; 58; 64; 71; 93; 95;
Kawasan llndung 2; 33; 57; 64; 71; 73; 89;
102; 103.
92; 93; 96; 101; 103.
Ruang terbuka hijau 93; 96.
Kawasan budidaya 57; 58; 60; 64; 71; 84;
92; 96. Tata ruang 3; 17; 18; 19; 23; 20; 26; 27;
28; 77; 92; 104.
Kerentanan 4; 10; 11; 12; 13; 17; 24; 43;
44; 45; 53; 54; 77; 78; 79; 80; 81; 82; 83; Teknologi Sabo 2; 3; 4; 20; 21; 22; 23; 97;
84;85;86;87;88;89;92;93;103;104. 98;99;100;101;102;103;104.
Kerentanan fisik 12; 77; 79. Training dyke 23; 101; 103.
Kerentanan sosial13;80;82. Vegetation works 22; 101; 103.
Kerentanan ekonomi 13; 84; 85; 86; 87;
89; 103; 104.