Anda di halaman 1dari 47

ABSTRAK

DASAR-DASAR KEMOTERAPI DAN MANAJEMEN EFEK SAMPING


KEMOTERAPI KANKER PARU

Pada saat ini dikenal berbagai macam obat sitostatik dan telah pula
dilakukan penelitian efektiviti obat terhadap kanker paru. Sebelum ilmu
biologimolekuler berkembang seperti sekarang ini, pembagian obat sitostatik
berdasarkan farmakologik yaitu :1. Alkylating agents 2. Antibiotic antineoplastics
3. Antimetabolites 4. Antineoplastic that alter hormone balance 5. Biological
response modifiers 6. Miscellaneous antineoplastics.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan telah dapat dikenali mekanisme
kerja intraseluler berbagai sitostatik dan faktor-faktor yang mungkin
menyebabkan terjadi resistensi sel kanker terhadap obat tersebut. Secara umum
disebutkan bahwa efek sitostatik obat adalah merusak DNA/RNA yang pada
akhirnya akan menimbulkan apoptosis.
Beberapa obat yang dapat menggangu sel kanker namun juga merusak sel
normal diantaranya obat-obat golongan ankylating agent, antimetabolite, dan
penghambat mitosis.
Efek samping kemoterapi merupakan salah satu faktor yang harus
diperhatikan dalam rangka pengobatan kanker, hal ini dikarenakan efek samping
kemoterapi dapat berakibat sangat fatal bahkan dapat berakhir dengan kematian.
Rusaknya sel normal akan menyebabkan efek samping. Sel normal yang sering
mengalami kerusakan akibat kemoterapi adalah : pembentukan sel darah merah,
folikel rambut, dan sel sel di mulut dan saluran cerna. Beberapa obat kemoterapi
dapat merusak sel di jantung, ginjal, paru dan saluran dan system saraf.
ABSTRACT

BASICS OF CHEMOTHERAPY AND MANAGEMENT OF


CHEMOTHERAPY SIDE EFFECTS OF LUNG CANCER

At this time there are various kinds of cytostatic drugs known and research has
also been conducted on the effectiveness of drugs against lung cancer. Before
molecular biology developed as it is today, the division of cytostatic drugs based
on pharmacology was: 1. Alkylating agents 2. Antibiotic antineoplastics
3. Antimetabolites 4. Antineoplastic that alter hormone balance 5. Biological
response modifiers 6. Miscellaneous antineoplastics.
With the development of science, various cytostatic intracellular mechanisms of
action and the factors that may cause cancer cell resistance to these drugs have
been identified. In general, it is stated that the cytostatic effect of drugs is to
damage DNA / RNA which in turn will cause apoptosis.
Some drugs that can interfere with cancer cells but also damage normal cells
include drugs for the ankylating agent, antimetabolite, and mitosis inhibitors.
Chemotherapy side effects are one of the factors that must be considered in the
context of cancer treatment, this is because chemotherapy side effects can be very
fatal and can even end in death. Damage to normal cells will cause side effects.
Normal cells that are often damaged due to chemotherapy are: the formation of
red blood cells, hair follicles, and cells in the mouth and digestive tract. Some
chemotherapy drugs can damage cells in the heart, kidneys, lungs and ducts and
nervous system.
DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN.......................................................................................ii
ABSTRAK........................................................................................................................iii
ABSTRACT.......................................................................................................................iv
DAFTAR ISI....................................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................vi
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................... 1
BAB 2 KEMOTERAPI................................................................................................... 3
2.1Sejarah kemoterapi.......................................................................................... 3
2.2 Definisi Kemoterapi........................................................................................ 3
2.3 Kinetika siklus Sel ..........................................................................................
2.4 Prinsip Kerja Pengobatan Kemoterpai .......................................................
2.5 Tujuan Kemoterapi .......................................................................................
2.6 Obat Kemoterapi pada kanker .....................................................................
2.7 syarat syarat pemberian kemoterapi ...........................................................
2.8 Efek Samping obat kemoterpai ....................................................................
BAB3 KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER PARU..........................................
3.1 Kemoterapi pada pasien Kanker paru ........................................................
3.2 Kemoterapi pada KPKBSK...........................................................................
3.3 Kemoterapi pada KPKSK .............................................................................
BAB 4 KESIMPULAN....................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21
DAFTRA TABEL

Tabel 1 Toksisitas Grading Kemoterapi.......................................................................


Tabel 2 Panduan Obat untuk Kemoterapi KPKBSK .................................................
Tabel 3. Perbandingan efikasi sitostatika pada KPKBSK
Tabel 4. Efikasi hasil uji klinis komperatif empat doublet regiment pada
KPKBSK
Tabel 5 : Paduan obat untuk kemoterapi KPKSK
Tabel 6. Respons obat baru tunggal pada KPKSK
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Siklus Sel .......................................................................................................


Gambar 2 Skema Mekanisme Kerja Obat Kemoterapi..............................................
Gambar 3 Mekanisme efek Toksisitas Paru akibat Kemoterapi................................
BAB 1
PENDAHULUAN

Kanker paru adalah penyebab utama pada kelompok penyakit akibat keganasan.
Terlihat kecenderungan peningkatan jumlah kasus bukan hanya pada laki-laki tetapi juga
pada perempuan dari tahun ke tahun. Prognosis penyakit buruk bukan hanya karena
keterlambatan diagnosis tetapi juga akibat respons sel kanker yang rendah terhadap
berbagai obat sitostatik yang ada.. Angka tahan hidup 1 tahun 2347 penderita kanker paru
yang diteliti oleh National Cancer Institute pada tahun 1983-1998, dihitung dengan life
table method hanya 41,8% dan angka tahan hidup 5 tahun 12,0 %. Berbagai data
memperlihatkan bahwa hal itu berkaitan dengan stage penyakit pada saat ditemukan
( Greene FL et all, 2002)
Kemoterapi merupakan komponen penting dalam pengobatan berbagai kanker
termasuk kanker paru. Berdasarkan uji klinis kemoterapi dapat memperbaiki kualitas hidup
namun juga menyebabkan efek samping. Agen kemoterapi berkerja pada target sel kanker
dan sel tubuh lainnya yang berkembang biak dengan cepat, sehingga dapat menyebabkan
beberapa efek samping. Profil efek samping akan berbeda bergantung dengan usia, status
performance, komorbid, dan agen kemoterapi yang digunakan beserta dosisnya. (Muthu,
Mylliemngap, Prasad, Behera, & Singh, 2091)
Kemoterapi yaitu pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang dapat
menghambat atau membunuh sel-sel kanker (Remesh, 2012). Kemoterapi bekerja dengan
prinsip sitotoksik yaitu merusak proses mitosis dari sel-sel kanker sehinga sel-sel kanker
tidak dapat membelah. Hal ini terutama efektif pada sel-sel kanker yang mempunyai
kemampuan pembelahan sel yang cepat. Namun sampai saat ini para ahli belum dapat
menemukan kemoterapi yang spesifik bagi sel kanker sehingga kemoterapi juga akan
mengganggu proses mitosis sel-sel tubuh normal lainnya, terutama sel-sel tubuh yang
membelah dengan cepat seperti sumsum tulang, folikel rambut, sel-sel epitel mukosa
saluran pencernaan (Ramirez, 2009).
Efek samping kemoterapi dapat mempengaruhi kesehatan fisik, kualitas hidup
seseorang dan juga status emosional. Agen-agen sitotoksik biasanya mengganggu sintesis
RNA dan DNA atau pembelahan sel, sehingga memgganggu pertumbuhan sel dengan
berbagai mekanisme aksi. Beberapa obat yang dapat menggangu sel kanker namun juga

1
merusak sel normal diantaranya obat-obat golongan ankylating agent, antimetabolite, dan
penghambat mitosis. Penanganan untuk mengatasi efek samping kemoterapi merupakan hal
penting salah satunya dengan mengurangi intensitas kemoterapi. (Torrisi, Schwartz, Gollub,
Ginsberg, Bosl, & Hricak, 2011)

2
BAB 2 : KEMOTERAPI

2.1 Sejarah Kemoterapi

Penggunaan kemoterapi untuk mengobati kanker dimulai pada tahun 1943 setelah
pengamatan adanya leukopenia pada personil militer yang terkena gas mustard setelah
ledakan kapal perang di pelabuhan Bari. Zat alkilasi ini untuk penggunaan intravena dan
menghasilkan respons dramatis tetapi efeknya untuk jangka pendek pada pasien dengan
limfoma dan leukemia. Resistensi obat berkembang ketika obat tunggal digunakan,
sehingga kombinasi kemoterapi menjadi standar terapi. Manfaat kemoterapi dalam
meningkatkan kualitas hidup pasien, dengan meredakan gejala dan rasa sakit, cukup
terbukti (Early Breast Cancer Trialists Collaborative Group, 1992).

Sejak era 1970-an kemoterapi kanker telah beranjak dari sifat paliatif menuju terapi
kuratif. Hingga saat ini kanker yang dapat disembuhkan kemoterapi mencapai 10 jenis
lebih, atau 5% dari seluruh pasien kanker, menduduki 10% dari angka kematian akibat
kanker tiap tahun (Henry dkk, 2007).

2.2 Definisi Kemoterapi

Kemoterapi adalah cara pengobatan tumor dengan memberikan obat pembasmi sel
kanker (disebut sitostatika) yang diminum ataupun yang diinfuskan ke pembuluh darah.
Jadi, obat kemoterapi menyebar ke seluruh jaringan tubuh, dapat membasmi sel-sel kanker
yang sudah menyebar luas di seluruh tubuh. Karena penyebaran obat kemoterapi luas, maka
daya bunuhnya luas, Efek sampingnya biasanya lebih berat dibandingkan dua modalitas
pengobatan terdahulu (Hendry,dkk 2007).

2.3 Manfaat Kemoterapi

Kesan umum dikalangan penderita dan sebagian kalangan medis ialah, bahwa
kemoterapi tidak membawa perubahan, kecuali efek samping yang berat, perburukan
penyakit dan mempercepat kematian. Kesan seperti itu mungkin didapat berdasarkan
pengamatan sesaat pada satu atau beberapa kasus. Tetapi apabila pengamatan dilakukan
secara kumulatif pada sejumlah besar kasus, maka dapat ditemukan persentase tertentu
penderita yang mendapat manfaat berupa pengurangan keluhan subjektif, gejala, perbaikan
3
tampilan bahkan penambahan berat badan. Perlu dilakukan pendekatan yang berbeda pada
pemberian kemoterapi paliatif. Pada pemberian paliatif respons objektif bukan menjadi
tujuan utama tetapi respons subjektif dan toksisiti obat jadi penentu apakah kemoterapi ini
masih bermanfaat jika terus diberikan.

2.4 Siklus Sel

Siklus sel merupakan serangkaian kejadian dengan urutan tertentu berupa duplikasi
kromosom sel dan organel didalamnya yang mengarah ke pembelahan sel. Pada eukariotik
(sel bernukleus), proses perbanyakan atau sintesis bahan genetik terjadi sebelum
berlangsungnya proses pembelahan sel, mitosis atau meiosis.

Di antara mitosis pertama dan mitosis berikutnya terdapat interfase. Saat interfase
sel tidak membelah melainkan aktif melakukan metabolisme untuk pertumbuhan dan
pembentukan energi untuk pembelahan mitosis berikutnya. Interfase tidak termasuk dalam
tahap PMAT dan dibedakan dalam tiga tahap, yaitu:

a. G1 (gap 1) : merupakan akhir mitosis dan awal sintesis (presintesis), pada fase ini sel
mulai tumbuh membesar
b. S (sintesis) : terjadi duplikasi organel dan sintesis DNA, pada tahap ini sel aktif
melakukan metabolisme, tumbuh, dan berkembang
c. G2 (gap2) : merupakan akhir fase sintesis (postsintesis) dan awal dari mitosis
berikutnya

Demikian seterusnya, setelah selesai melakukan pembelahan pada tahap mitotik, sel
akan masuk interfase, dilanjutkan mitosis lagi, dan seterusnya. Hampir pada setiap kasus
misalnya pembelahan sel untuk penyembuhan luka (regenerasi), sel akan berhenti
membelah manakala luka telah sembuh. Itulah salah satu kehebatan sel. Tahu kapan harus
membelah, dan tahu kapan harus berhenti. Sel yang tahu diri untuk berhenti dari
pembelahan akan masuk ke fase G0 atau fase stationer. Pada tahap ini sel tidak akan
melakukan pembelahan. Jika terjadi luka, sel segera memasuki fase G1 untuk melakukan
pembelahan. Sel yang tidak tahu diri, harusnya masuk G0 tetapi nekat masuk ke G1, itulah
yang disebut sel tumor atau kanker.

Pada dasarnya siklus sel terdapat 2 fase utama yaitu fase S (DNA sintesis) dan fase
M (Mitosis). Pada fase S terjadi duplikasi kromosom, organele dan protein interseluler dan
4
pada fase M terjadi pemisahan kromosom dan pembelahan sel. Sebagian besar sel
memerlukan waktu ekstra untuk proses sintesis sehingga pada siklus sel terdapat ekstra fase
Gap yaitu Gap 1 antara fase M dan fase S serta Gap 2 antara fase S dan Mitosis. Hal ini
mendasari pembagian fase menjadi 4 fase yaitu Fase G1, Fase S, Fase G2 (ketiganya
disebut Interfase) dan fase M (mitosis dan sitokinesis).

Interfase adalah fase istirahat, sel ini sebenarnya sangat aktif secara biokimia
walaupun terlihat tidak ada perubahan morfologi (waktu lama, 23 jam dalam 1 siklus/24
jam). M phase (mitosis) merupakan inti dari siklus sel dan secara morfologi terjadi
perubahan yang jelas teramati berupa kromosom yang tertarik ke kutub, sitogenesis dan
akhirnya sel terbagi menjadi dua (waktu cepat, 1 jam dalam 1 siklus/24 jam).

Gambar 1. Siklus Sel

Fase G1 dan G2 bukan hanya sebagai ekstra waktu proses sintesis namun juga
berperan sebagai ekstra waktu bagi sel untuk memonitor kondisi lingkungan internal dan
eksternal sebelum masuk ke fase S dan M. Jika kondisi lingkungan tidak mendukung maka
sel berhenti berprogress pada G1 dan bahkan memasuki kondisi resting state pada Go (G
zero). Go ini dapat berlangsung selama berhari-hari, bertahun-tahun atau sampai sel mati.
Jika kondisi lingkungan mendukung dan terdapat sinyal untuk tumbuh maka sel akan
memulai proses pada suatu titik akhir G1 yang disebut titik "Start". Setelah melalui titik ini
sel akan mulai masuk fase S ditandai dengan Replikasi DNA yang terus berlangsung
bahkan walau signal pertumbuhan dan pembelahan sudah tidak ada.
5
Pemahaman mengenai siklus sel merupakan hal yang sangat penting sebelum
memasuki topik tentang kemoterapi, karena sebagian besar jalur kerja dan klasifikasi obat
kemoterapi didasarkan pada peranannya mengihbisi siklus pembelahan sel. (Ramirez, 2009)

2.5 Klasifikasi Obat Kemoterapi


Obat obat sitostatika atau yang lebih lazim dikenal sebagai kemoterapi berjumlah
sangat banyak dan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelas. Pengelompokan ini
didasarkan pada mekanisme kerja serta komposisi derivat bahan kimia yang menyusun obat
tersebut. (Ramirez, 2009)

Adapun pengelompokan obat kemoterapi yang sering digunakan adalah sebagai


berikut:

a. Alkylating agent
 Siklofosfamide
 Ifosfamide
 Chlorambucil
 Dacarbazine

b. Antimetabolit
(i) Antifolat
 Metotrexate
 Pemetrexed
 Pralatrexate
 Trimetrexate

(ii) Purine Analog


 Azathioprine
 Mercaptopurine
 Thioguanine

6
(iii) Pirimidin Analog
 Cytarabine
 5-Fluoruracil
 Gemcitabine
 Azacitidine
 Floxuridine

c. Vinca Alkaloid
 Vincristine
 Vinorelbine
 Vinblastine
d. Antibiotik
 Bleomycin
 Doxorubicin
 Epirubicin
 Mitomycin
e. Taxane
 Paclitaxel
 Dosetaxel
 Cabazitaxel

f. Golongan Platinum
 Cisplatin
 Carboplatin
 Oxaliplatin

g. Analog Camptothecin
 Topotecan
 Irinotecan

7
h. Golongan Hormonal
 Tamoxifen
 Letrozole
 Anastrazole
 Exemastane

2.6 Mekanisme Kerja Kemoterapi

Obat anti-kanker terutama bekerja pada DNA yang merupakan komponen


utama gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Secara umum, terdapat 4
jau rmekanisme kerja obat kemoterapi, yaitu:

 Menghambat atau mengganggu sintesa DNA dan atau RNA


 Merusak replikasi DNA
 Mengganggu transkripsi DNA oleh RNA
 Mengganggu kerja gen

Hasil pengobatan sitostatika dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya laju


pertumbuhan sel kanker, fraksi tumor mitosis terbesar saat ukuran tumor 37 %
dari ukuran maksimal, sitostatik efektif pada sel yang mengalami mitosis terutama pada
saat sel tumor masih kecil, mutasi genetic ( tergantung ketidakstabilan gen) dan
besarnya tumor sehingga diperlukan kombinasi dengan dosis maximal serta intensitas
dosis (jumlah obat dalam kurun waktu tertentu) (Ramirez, 2009)

Berdasarkan mekanisme kerjanya pada siklus sel, obat kemoterapi dapat


dibedakan menjadi dua golongan utama, yaitu:

a. CCDD (Cell Cycle Dependent Drugs/ Specific phase)

Obat ini hanya bekerja pada fase tertentu dari pembelahan sel, sehingga obat
ini dapat efektif bekerja jika terdapat dalam jumlah yang cukup pada saat sel
tumor memasuki fase tertentu tersebut

Obat kemoterapi yang termasuk dalam golongan ini adalah golongan plant
alkaloid (vincristine, vinblastine) dan golongan antimetabolit

8
b. CCDD (Cell Cycle Independent Drugs/Non Specific Phase)
Obat ini bekerja pada sel-sel tumor yang aktif membelah tetapi tidak
tergantung pada pembelahan sel, sehingga obat ini dapat efektif bekerja pada sel-
sel tumor yang sedang aktif membelah tanpa tergantung fasenya.
Kemoterapi yang termasuk dalam golongan ini adalah alkylating agent
(siklofosfamide dan platinum).

Berikut ini adlaah pembahasan mengenai mekanisme kerja dari masing masing
obat kemoterapi.

a. Alkylating Agent
Obat ini bekerja dengan cara:
 Menghambat sintesa DNA dengan menukar gugus alkali sehingga membentuk
ikatan silang DNA.
 Mengganggu fungsi sel dengan melakukan transfer gugus alkali pada gugus
amino, karboksil, sulfhidril, atau fosfat.
 Merupakan golongan cell-cycle dependent non fase spesifik.

b. Antibiotik
Golongan anti tumor antibiotik umumnya obat yang dihasilkan oleh suatu
mikroorganisme, yang umumnya bersifat sel non spesifik, terutama berguna untuk
tumor yang tumbuh lambat. Mekanisme kerja terutama dengan jalan
menghambat sintesa DNA dan RNA.

c. Antimetabolit
Golongan ini menghambat sintesa asam nukleat.Beberapa antimetabolit memiliki
struktur analog dengan molekul normal sel yang diperlukan untuk
pembelahan sel, beberapa yang lain menghambat enzym yang penting untuk
pembelahan.Secara umum aktifitasnya meningkat pada sel yang membelah cepat

d. Antimicrotubule

9
Golongan obat ini berikatan dengan protein mikrotubuler sehingga
menyebabkan disolusi struktur mitotic spindle pada fase mitosis

e. Topoisomerase inhibitor
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim topoisomerase
yang berakibat pada terhambatnya proses transkripsi dan replikasi DNA (Ramirez,
2009)

Berikut adalah gambaran skematis mengenai mekanisme kerja obat kemoterapi:

Gambar 2 Skema mekanisme kerja obat kemoterapi berdasarkan fase pembelahan sel

10
Gambar berikut ini memperlihatkan mekanisme kerja obat obat kemoterapi berdasarkan
tempat kerjanya (site of action):

Gambar 3 Mekanisme kerja obat kemoterapi berdasarkan tempat kerja (site of action)

2.7 Prinsip kerja pengobatan kemoterapi

Prinsip kerja pengobatan dengan kemoterapi adalah dengan membunuh sel-sel


kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak
menyebar, atau untuk mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker. Kemoterapi
bersifat sistemik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan yang bersifat setempat,
karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin suddah menjalar dan
menyebar ke bagian tubuh yang lain . Penggunaan kemoterapi berbeda-beda untuk setiap
pasien, kadang kadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau
setelah operasi atau radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbeda-beda tergantung
jenis kankernya (Iskandar, 2007).

11
2.8 Tujuan Kemoterapi

Terdapat 4 tujuan dilakukannya kemoterapi, yaitu : (Hidayat YM, 2013) :

1. Kemoterapi Kuratif

Kemoterapi kuratif adalah pengobatan kemoterapi yang ditujukan untuk membasmi


serta menghancurkan semua sel kanker yang ada di dalam tubuh. Biasanya dilakukan ketika
di awal pengobatan dan terkadang menjadi satu-satunya jenis pengobatan yang dilakukan.

2. Kemoterapi Adjuvan

Kemoterapi adjuvan adalah kemoterapi yang dikerjakan setelah operasi radikal.


Pada dasarnya ini adalah bagian dari operasi kuratif. Karena banyak tumor pada waktu pra-
operasi sudah memiliki mikrometastasis di luar lingkup operasi, maka setelah lesi primer
dieksisi, tumor tersisa akan tumbuh semakin pesat, kepekaan terhadap obat bertambah.
Pada umumnya tumor bila volume semakin kecil, ratio pertumbuhan sernakin tinggi,
terhadap kemoterapi semakin peka. Bila tumor mulai diterapi semakin dini, semakin sedikit
muncul sel yang resisten obat. Oleh karena itu, terapi dini terhadap mikro-metastasis akan
menyebabkan efektivitas meningkat, kemungkinan resistensi obat berkurang, peluang
kesembuhan bertambah.

3. Kemoterapi Neoadjuvan

Kemoterapi neoadjuvan adalah kemoterapi yang dilakukan sebelum operasi atau


radioterapi. Bila kanker terlokalisir di daerah tertentu hanya dengan operasi atau radioterapi
sulit mencapai ketuntasan, jika terlebih dahulu kemoterapi 2-3 siklus dapat mengecilkan
tumor, memperbaiki pasokan darah, dan berguna bagi pelaksanaan operasi dan radioterapi
selanjutnya. Pada waktu bersamaan dapat diamati respons tumor terhadap kemoterapi dan
secara dini memberikan terapi lesi metastatik subklinis yang mungkin sudah ada. Karena
kemoterapi adjuvan mungkin menghadapi resiko jika kemoterapi tidak efektif peluang
operasi akan lenyap, maka harus memakai regimen kemoterapi dengan bukti klinis yang
menyatakan efektif untuk lesi stadium lanjut. Penelitian mutakhir menunjukkan kemoterapi
neoadjuvan meningkatkan peluang operatif untuk kanker kepala leher, kanker sel kecil
paru, osteosarkoma, mengurangi pelaksanaan operasi yang membawa kecacatan pada

12
kanker tertentu (seperti faring, kandung kemih) dan memperbaiki kualitas hidup sebagian
pasien.

4. Kemoterapi Paliatif

Tujuan pemberian kemoterapi paliatif adalah mengurangi atau menghilangkan


gejala yang diakibatkan oleh perkembangan sel kanker tersebut sehingga diharapkan akan
dapat meningkatkan kualitas hidup penderita (Soeroso, 2017). Kebanyakan kanker dewasa
ini contohnya Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil, kanker hati, lambung, pankreas,
kolon, dll dimana hasil kemoterapi masih kurang memuaskan. Untuk kanker seperti itu
dalam stadium lanjut kemoterapi masih bersifat paliatif, hanya dapat berperan mengurangi
gejala, memperpanjang waktu survival. Dalam hal ini dokter harus mempetimbangkan
keuntungan dan kerugian bila kemoterapi diberikan pada pasien, menghindari toksisitas
kemoterapi yang membuat kualitas hidup pasien menurun atau memperparah
perkembangan penyakitnya.

2.9 Indikasi dan Syarat- syarat Pemberian Kemoterapi

Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil
(KPKSK) dan beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker
paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi
paliatif adalah mengurangi atau menghilangkan gejala yang diakibatkan oleh perkembangan
sel kanker tersebut sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan kualiti hidup penderita.
Tetapi akhir-akhir ini berbagai penelitian telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk
KPKBSK sebagai upaya memperbaiki prognosis, baik 3 sebagai modaliti tunggal maupun
bersama modaliti lain, yaitu radioterapi dan/atau pembedahan.

Indikasi pemberian kemoterapi pada kanker paru ialah:

1. Penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) tanpa atau dengan gejala.

2. Penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang inoperabel
(stage IIIB & IV), jika memenuhi syarat dapat dikombinasi dengan radioterapi, secara
konkuren, sekuensial atau alternating kemoradioterapi.

3. Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil (KPKBSK) stage I, II dan III yang telah dibedah.
13
4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA dan beberapa
kasus stage IIIB yang akan menjalani pembedahan. Dalam hal ini kemoterapi merupakan
bagian terapi multimodality ( jamal et all 2012)

Penderita yang akan mendapat kemoterapi terlebih dahulu harus menjalani pemeriksaan
dan penilaian, sehingga terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Soeroso, 2017) :

1. Diagnosis histologis telah dipastikan


Pemilihan obat yang digunakan tergantung pada jenis histologis. Oleh karena itu
diagnosis histologis perlu ditegakkan. Untuk kepentingan itu dianjurkan menggunakan
klasifikasi histologis menurut WHO tahun 1997, apabila ahli patologi sulit menentukan
jenis yang pasti, maka bagi kepentingan kemoterapi minimal harus dibedakan antara :
a. Jenis karsinoma sel kecil
b. Jenis karsinoma bukan sel kecil, yaitu karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma dan
karsinoma sel besar.
2. Tampilan/ performance status menurut skala Karnofsky minimal 60-70 atau skala
menurut WHO
3. Pemeriksaan darah perifer untuk pemberian siklus pertama :
a. Leukosit > 4.000/mm3
b. Trombosit > 100.000/mm3
c. Hemoglobin ≥10 gr %

Bila perlu, transfusi darah diberikan sebelum pemberian obat. Sedangkan untuk
pemberian siklus berikutnya, jika nilai-nilai di atas lebih rendah maka beberapa jenis obat
masih dapat diberikan dengan penyesuaian dosis.

4. Faal hati dalam batas normal


5. Faal ginjal dalam batas normal
Hal ini terutama bila akan digunakan obat yang nefrotoksik. Untuk pemberian kemoterapi
yang mengandung sisplatin, creatinine clearance harus lebih besar daripada 70 ml/menit.
Apabila nilai ini lebih kecil, sedangkan kreatinin normal dan penderita tua sebaiknya
digunakan karboplatin

14
2.10 PEMILIHAN OBAT

Hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih obat adalah mengetahui efikasi dan
toksisiti obat yang akan digunakan. Masing-masing obat mempunyai keunggulan yang
berbeda. Faktor-faktor untuk menilai efikasi obat antara lain:

• Respons objektif dan subjektif (response rate= RR)

• Masa bebas penyakit (time to progressive= TTP)

• Masa tengah tahan hidup (MTTH =median survival rate)

• Angka tahan hidup 1 tahun (ATH = 1-years survival).

Selain tergantung jenis histologis sel kanker, obat yang dipilih sebaiknya obat yang
mempunyai efek samping paling rendah. Pengobatan dengan dosis suboptimal tidak
memberikan hasil yang memuaskan sedangkan dosis yang berlebihan memberi efek toksik
yang lebih berat. Karena itu harus ditentukan dosis optimal. Pada umumnya dosis obat
ditentukan berdasarkan luas permukaan badan, yang dapat diperhitungkan dari tinggi dan
berat badan penderita. Bila digunakan obat karboplatin, dosis perlu disesuaikan dengan
kadar kreatinin atau creatinine clearance, untuk menentukan area under the curve (AUC)
tertentu. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan lebih dari 1 jenis obat
dalam paduan obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Penggunaan obat baru (new
agent atau second line drugs) dalam satu paduan obat memberikan efikasi yang lebih baik,
dan bahkan beberapa obat itu mulai diuji coba untuk menjadi first line drugs. 5 Beberapa
obat sitostatik mempunyai efek radiosensitisizer sehingga respons lokal radioterapi dapat
ditingkatkan bila diberikan secara konkuren, misalnya karboplatin, paklitaksel dan
dosetaksel. Tetapi teknik pemberian sering memberikan efek samping yang mengganggu
pasien terutama esofagitis. Jenis obat lain untuk teknik pemberian kemoradioterapi
konkuren ini masih dalam uji klinis. Perlu diketahui berat ringan toksisiti yang sering
timbul akibat sebuah obat agar dapat difikirkan tindakan antisipasi bila hal itu terjadi. Cara
pemberian yang berkaitan dengan fasiliti rumah sakit dan harga obat juga harus menjadi
pertimbangan.

15
2.11 LAMA PENGOBATAN

Sekali kemoterapi dimulai, maka perlu diberikan kesempatan yang cukup kepada
obat-obat itu untuk bekerja. Karena itu pengobatan perlu diberikan setidaktidaknya dua kali,
sebelum ditentukan lebih lanjut berapa lama keseluruhan pengobatan akan berlangsung.
Evaluasi dilakukan setelah 2 – 3 siklus kemoterapi.12 Pada umumnya kemoterapi dapat
diberikan berturut-turut selama 4 – 6 siklus dengan masa tenggang antara satu siklus ke
siklus berikutnya 21 – 28 hari ( 3 – 4 minggu) tergantung pada jenis obat yang digunakan.
Perlu diperhatikan, apabila dosis maksimal untuk setiap obat telah tercapai pengobatan
harus dihentikan. Demikian pula bila penyakit menjadi progresif atau performance status
menjadi amat berkurang dan tidak kembali ke keadaan sebelum kemoterapi.

2.12 TOKSISITAS DAN EFEK SAMPING KEMOTERAPI

Untuk mempermudah pengklasifikasian tingkat keparahan efek samping yang


terjadi pada pasien yang menerima kemoterapi, diterbitkan suatu sistem derajat toksisitas
yang disebut sebagai toxicity grading, sebagai berikut:

16
Hematological 0 1 2 3 4
(Dewasa)

17
Hemoglobin Gr/100ml >11 9.5-10.9 8.0-9,4 6.5-7,9 <6.5
Leukosit 1000/mm3 >4 3-3.9 2.-2.9 1-1.9 <1.0
Granulosit 1000/ mm3 >2.0 1.5-1.9 1-1.4 0.5-0.9 <0.5
Platelet 1000/ mm3 >100 75-99 55-74 25-49 <25
perdarahan Tidak ada Ptekie Perdarahan ringan Perdarahan Perdarahan
berat menyebabkan
syok
Gastrointestin 0 1 2 3 4
a
Bilirubin ULNx <1.25 1.26-2.5 2.6-5 5.1-10 >10
Transaminase ULNx <1.25 1.26-2.5 2.6-5 5.1-10 >10
ALT (SGOT)
AST (SGPT)
Alkaline ULNx <1.25 1.26-2.5 2.6-5 5.1-10 >10
Fosfatase
Oral Tidak ada Sariawan Luka pada Luka pada Mukosa tidak Tidak bisa
ringan Mukosa dapat makan padat makan

peroral
Mual/ Muntah Tidak ada Mual muntah Muntah yang memerlukan Muntah
pengobatan yang terus
menerus

Diare Tidak ada Diare<2 hr Diare lebih 2 hari Diare memerlukan Syok
tetapi masih pengobatan hipovolemi
dapat diatasi k
Renal /Ginjal 0 1 2 3 4
Ureum & ULNx <1.25 1.26-2.5
creatinin
Proteinase Tidak ada +1 +2-3 +4 Nefrotik sindrom
g% <0.3 0.3-1.0 >1.0
g/L <3 <3-10 >10
Hematuria Tidak ada Mikroskopik gross Gross+kloting Uropati obstruktif
Patu - Gejala ringan Sesak saat aktivitas Sesak napas Sesak sehingga
saat istirahat sebabkan total
bed rest
Demam - <38C 38-40 >40 Demam dengan
dengan obat hipotensi
Alergi - Udem Bronkospasme tidak perlu Bronkospasm Syaok anafilaktik
terapi e perlu terapi
IV
Dermatitis - Eritema Kulit kering dengan Kulit kering Dermatitis berat
vesikel dan gatal dengan dengan nekrosis
ulserasi
Rambut - Minimal Botak tidak merata Alopesia Alopesia
merata tetapi permanen
masih bisa
tumbuh
Infeksi - Infeksi minor Sedang Berat Infeksi berat
dengan hipotensi
Nyeri - Ringan Sedang berat Terus menerus

Table 1 Toxicity grading pada kemoterapi

18
Sepanjang masa kemoterapi, harus dilakukan pemantauan terhadap semua
aspek toksisitas kemoterapi. Pasien dengan toksisitas derajat 1 atau 2 masih dapat
dilanjutkan pemberian kemoterapi dengan pemberian obat-obatan simptomatik
untuk mengurangi keluhan efek samping. Sebaliknya, pasien dengan derajat
toksisitas 3 atau 4, maka kemoterapi harus dihentikan sementara dan dilakukan
perbaikan keadaan umum sampai kondisi klinis pasien stabil kemudian baru
kemoterapi dapat dimulai kembali.

Secara umum, toksisitas kemoterapi dapat dipantau dari berbagai sistem


organ sebagai berikut:
1. Terhadap sumsum tulang: leukopeni , anemi, trombositopenia.
2. Terhadap saluran cerna: mual, muntah, stomatitis, gastritis, diare, ileus.
3. Terhadap kardiovaskuler: kardiomiopati, hipertensi, dekompensasio cordis
4. Terhadap paru : fibrosis
5. Terhadap hepar : fibrosis.
6. Terhadap ginjal : nekrosis tubulus
7. Terhadap kulit: hiperpigmentasi, alopesia.
8. Terhadap syaraf: parestesi, neuropati, , tuli.
9. Terhadap pankreas : pankreatitis.
10. Terhadap uterus : perdarahan.
11. Terhadap kandung kemih: sistitis (Pearce, 2017)

a. Depresi Sumsum Tulang

Sumsum tulang merupakan organ yang berfungsi memproduksi sel-sel darah merah,
sel-sel darah putih dan trombosit. Sumsum tulang sangat sensitif terhadap efek dari
kemoterapi.3 Penurunan sel-sel darah tidak akan terjadi pada awal kemoterapi, karena
kemoterapi tidak menghancurkan darah yang berada di aliran darah tepi tetapi darah yang
baru saja diproduksi oleh sumsum tulang.

Menurut National Cancer Institute USA, keadaan yang perlu diperhatikan yaitu
Neutropenia dimana jumlah netrofil di bawah 1000 sel per meter kubik-jika dibawah 500
sel per meter kubik disebut severe neutropenia-. Hal ini disebabkan oleh karena tubuh jadi
mudah terkena infeksi. Gejala yang sering menyertai neutropenia antara lain panas, nyeri

19
tenggorok, batuk, pilek, sesak, nyeri saat buang air kecil, phlebitis. Demam merupakan
gejala yang paling sering muncul sebagai akibat dari infeksi pada keadaan neutropenia yang
biasa dikenal dengan demam neutropenia yang perlu perhatian dan penanganan khusus.
Dalam keadaan ini biasanya kemoterapi akan ditunda kemudian diberikan antibiotik, anti
jamur, anti virus dan obat perangsang pertumbuhan netrofil. (Pearce, 2017)

Perdarahan sebagai akibat dari kekurangan trombosit pada pengobatan kemoterapi


merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Lennan menyebutkan bahwa kadar
trombosit kurang dari 20.000 akan berpatensi signifikan menimbulkan perdarahan spontan
apabila kemoterapi dilanjutkan. Untuk meningkatkan kadar trombosit diperlukan tranfusi
trombosit concentrate, selain tranfusi dapat juga diberikan oprelvelkin untuk merangsang
pembentukan trombosit. (Pearce, 2017)

b. Mual dan muntah


Efek samping yang juga sering timbul pada pengggunaan kemoterapi adalah mual
dan muntah. Ada beberapa penjelasan mengenai munculnya muntah oleh karena efek
samping kemoterapi. Pertama oleh karena teriritasinya mukosa usus halus sehingga akan
merangsang saraf-saraf tertentu yang akan mengaktifasi vomiting center dan chemoreseptor
trigger zone di otak. Kedua area di otak ini juga dapat diaktifasi oleh karena obstruksi
saluran cerna, peradangan, perlambatan pengosongan lambung yang kesemuanya dapat
disebabkan oleh kemoterapi. Penangulangan mual dan muntah yang disebabkan oleh karena
efek samping kemoterapi antara lain dengan pemberian anti mual dan muntah seperti
ondansentron yang termasuk golongan penghambat serotonin.

c. Alopecia
Kemoterapi akan menyebabkan kerusakan pada folikel rambut sehingga rambut
akan mudah patah dan rontok. Kerontokan rambut ini secara klinis tidak membahayakan,
akan tetapi dapat mengganggu aspek sosial dan psikologis dari penderita kanker.
Kerontokan rambut ini tidak bersifat permanen sehingga apabila kemoterapi dihentikan
maka rambut akan tumbuh kembali. Penggunaan kompres dingin di kepala untuk
pencegahan kerontokan rambut masih menjadi kontroversi (Andrews, 2014).

d. Kerusakan epitel mukosa saluran pencernaan

20
Epitel mukosa saluran pencernaan merupakan sel normal tubuh yang sering
menerima dampak kemoterapi oleh karena sel epitel mukosa saluran pencernaan membelah
dengan cepat. Manifestasi klinis dari rusaknya sel epitel mukosa saluran cerna dapat berupa
stomatitis, ulcer, diare dan colitis. Kerusakan mukosa juga akan menimbulkan gejala diare.
Hal yang perlu diperhatikan adalah gejala dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit yang
terjadi akibat diare. Kolitis dan ulcer merupakan perlukaan pada lambung dan usus akibat
lesi pada sel epitel (Andrews, 2014).

e. Gangguan Jantung, Hati dan Ginjal

Beberapa kemoterapi meyebabkan gangguan pada otot pada otot jantung. Hal ini
dapat menyebabkan terjadi kegagalan pompa jantung. Untuk menghindari efek fatal dari
gangguan jantung sebelum kemoterapi dimulai biasanya dilakukan pemeriksaan untuk
menilai fungsi jantung seperti EKG, CK, CKMB, dan Ekokardiografi.

Pemecahan sebagian jenis obat kemoterapi terjadi di hati, dan sebagian lagi terjadi
di ginjal, namun disayangkan kemoterapi juga merusak hati dan ginjal. Namun seperti efek
samping yang lainnya, hal ini hanya bersifat sementara. Apabila obat kemoterapi dihentikan
maka fungsi jantung, hati dan ginjal akan kembali normal. Pemeriksaan penunjang ureum
dan kreatinin harus rutin dilakukan untuk memantau fungsi ginjal. Peningkatan ureum
diatas 50 mg/dl dan kreatinin diatas 1 mg/dl harus diwaspadai bila akan memberikan
kemoterapi. Untuk pemantauan fungsi hati dilakukan pemeriksaan enzim SGOT dan SGPT,
apabila terjadi peningkatan diatas 3-4 kali lipat dari kadar normal perlu dilakukan
penyesuaian dosis atau bahkan penghentian kemoterapi (Eliis, 2004)

2.13 Efek Samping Obat Kemoterapi


Obat kemoterapi dapat memunculkan berbagai macam efek samping. Efek samping ini
tidaklah serta merta muncul sekaligus bersamaan, melainkan memiliki masa onset yang
berbeda beda, yang dibedakan sebagai berikut (Eliis, 2004):

a. Onset segera (immediate)


Onset segera biasanya muncul dalam hitungan jam atau beberapa hari setelah
pemberian obat kemoterapi. Gejala efek samping yang muncul dalam waktu yang segera
termasuk mual muntah, nekrosis jaringan setempat, phlebitis, hiperurisemia, skin rash,
reaksi anafilaksis, demam dan menggigil, dan hipotensi.
21
Obat kemoterapi yang sering memunculkan efek samping segera adalah etoposide
yangmengakibatkan phlebitis dan hipotensi, serta bleomycin yang mengakibatkan demam
dan menggigil.
b. Onset cepat (early)
Onset cepat biasanya muncul dalam hitungan beberapa hari sampai beberapa minggu
setelah kemoterapi. Efek samping yang muncul dalam onset cepat ini termasuk leukopenia,
trombositopenia, alopecia, stomatitis, diare dan hiperkalsemia. Penggunaan cisplatin dapat
mengakibatkan hipermagnesemia dan gangguan pada telinga
c. Onset lambat (delayed)
Onset lambat berarti gejala efek samping muncul dalam hitungan beberapa minggu
sampai beberapa bulan setelah kemoterapi. Gejala yang mungkin muncul diantaranya
adalah anemia, neuropati perifer akibat vincristine, gangguan otot jantung akibat
siklofosfamide dan jaundice
d. Onset sangat lambat (Late)
Onset sangat lambat umumnya terjadi beberapa bulan sampai hitungan tahunan setelah
kemoterapi, dan seringkali tidak disadari terkait dengan kemoterapi yang pernah dijalani.
Efek samping yang muncul diantaranya adalah infertiltas, menopause dini, sirosis hepatis
akibat metotrexate dan osteoporosis.

2.13.1 Efek Samping Golongan Alkylating Agent


Siklofosfamid banyak digunakan dalam terapi leukemia, kanker paru, payudara.
Mekanisme kerja siklofosfamid yang termasuk golongan alkylating dengan cara merusak
dan menghentikan aktifitas DNA, sehingga akan menyebabkan kematian pada sel kanker.
Siklofosfamid biasanya diberikan dalam bentuk injeksi intravena dan oral yang diminum
sebelum makan (Alvarez, 2007)

Efek samping yang ditimbulkan oleh karena pemberian siklofosfamid antara lain adalah:

a. Penurunan nafsu makan


b. Depresi sumsum tulang
c. Iritasi mukosa kandung kemih dan ginjal (sistitis hemorhagika)
d. Alopecia

22
Iritasi mukosa kandung kemih dan ginjal dapat terjadi pada berbagai tingkat keparahan
sampai ke sististis hemorhagika. Hal ini dapat dicegah dengan cara hidrasi sebelum
pemberian dan dengan penggunaan obat mesna. Golongan alkylating agent yang lain adalah
cisplatin. Struktur utama obat ini yang merupakan senyawa platinum akan merusak sel
kanker. Efek samping dari cisplatin sama dengan siklofosfamid yang telah diuraikan diatas
(Alvarez, 2007).

Efek samping sisplatin yang paling sering ditemukan adalah toksisitas gastrointestinal.
Pada pasien yang mengalami efek samping dengan cisplatin, dapat diberikan karboplatin.
Kemoterapi ini dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh pasien usia lanjut atau dengan
komorbiditas berat. Untuk karboplatin, efek samping yang paling sering berupa
hematotoksisitas (Soeroso, 2017).

2.13.2 Efek Samping Golongan Antitumor Antibiotik


Doxorubicin termasuk ke dalam golonngan antitumor antibiotik yang banyak
digunakan dalam terapi leukemia, limfoma non-Hodgkin kanker payudara, paru, kandung
kemih, sarcoma. Mekanisme doxorubicin adalah dengan menghambat enzim topoisomerase
II yang sangat penting untuk replikasi DNA sel kanker (Alvarez, 2007).
Efek samping doxorubicin yang banyak ditemukan antara lain:
a. Depresi sumsum tulang
b. Kerusakan mukosa mulut dan kerongkongan
c. Gangguan pada otot jantung
d. Tumor lysis syndrome
e. Fotosensitif
f. Phlebitis
Sama halnya dengan metotreksat, pasien yang menjalani kemoterapi dengan
doxorubicin akan mengalami depresi sumsum tulang yang akan menyebabkan anemia,
leukopenia, dan trombositopeni dengan berbagai macam akibatnya(Alvarez, 2007).
Pasien juga rentan mengalami nyeri mulut dan kerongkongan. Hal ini disebabkan oleh
karena kerusakan mukosa mulut dan tenggorokan, efek samping ini akan hilang dengan
sendirinya setelah sekitar 5 hari paska pengobatan dengan doxorubicin.

23
Pasien yang mendapatkan doxorubicin perlu dilakukan pemantauan irama jantung.
Gangguan pada kontraksi otot jantung biasanya terjadi pada dosis toksik, yaitu sekitar 450-
500mg/m2 secara kumulatif. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada dosis
dibawah itu, sehingga pemantauan EKG dan ekokardiografi diperlukan selama penggunaan
doxorubicin. Penurunan fungsi jantung yang ditandai dengan penurunan left ventricel
ejection fraction(LVEF) sampai dengan dibawah 10% maka penggunaan doxorubicine
harus dihentikan, sedangkan penurunan LVEF dibawah 30% maka dosis doxorubicine
harus dikurangi. (Alvarez, 2007)

2.13.3 Efek Samping Golongan Anti-Metabolit


Struktur metotreksat menyerupai molekul asam folat dengan perbedaan yang sangat
tipis sehingga disebut analog asam folat yang akan menghambat enzim dihidrofolat
reductase yang bertugas mensintesis DNA. Untuk mengurangi efek samping biasanya
diberikan asam folat untuk mempercepat perbaikan sel tubuh normal, terutama pada
pemberian dosis tinggi preparat yang biasa digunakan adalah leucovorin.

Beberapa efek samping metotreksat antara lain:

a. Depresi sumsum tulang


b. Kerusakan mukosa.
c. Gagal ginjal akut
d. Gangguan hati
e. Gangguan saraf
f. Alopecia
Depresi sumsum tulang merupakan salah satu efek samping yang sering terjadi pada
pengobatan dengan metotreksat. Manifestasi klinis yang timbul akibat adanya depresi
sumsum tulang adalah cepat lelah atau bahkan sampai pada keadaan sesak nafas dan gagal
jantung akibat dari anemia oleh karena produksi sel-sel darah merah yang menurun.
Perdarahan juga merupakan salah satu manisfestasi klinis dari depresi sumsum tulang
akibat dari penurunan dari jumlah produksi trombosit. Selain itu yang paling sering terjadi
adalah lebih mudahnya tubuh terkena infeksi sebagai akibat dari penurunan produksi sel
darah putih, sehingga biasanya sebelum dimulai pengobatan dengan metotreksat penderita
terlebih dahulu mendapat beberapa vaksinasi untuk melindungi tubuh dari bahaya infeksi
yang mungkin terjadi selama menjalani pengobatan dengan metotreksat (Eliis, 2004).
24
Kerusakan mukosa merupakan efek samping yang juga sering dijumpai. Hal ini akan
berakibat berbagai macam manifestasi klinis sesuai dengan yang terkena seperti misalnya
stomatitis dan perdarahan saluran cerna. Bagi penderita peptic ulcer dan kolitis ulserosa
perlu mendapat perhatian khusus (Eliis, 2004).

Gagal ginjal akut muncul terutama pada penggunaan dosis tinggi/ high dose dan
penggunaan bersamaan obat kemoterapi lain yang bersifat nefrotoksik. Untuk mencegah
terjadinya gagal ginjal dibutuhkan hidrasi cairan dan juga perlu dilakukan alkalinisasi urin
untuk mengurangi keasaman urin.

Pada beberapa kasus juga dijumpai peningkatan enzim hati (transaminase) dan
penyakit hati kronis (fibrosis, sirosis). Pemantauan fungsi hati harus dilakukan untuk
mencegah kerusakan hati lebih lanjut. Beberapa pasien juga dapat terjadi kejang terutama
pada pasien leukemia akut, pada dosis tinggi/ high dose dapat terjadi stroke–like
encephalopathy. Pada penggunaan secara intratekal dapat terjadi efek samping myelopati
dan leukoensefalopati kronis (Eliis, 2004).

2.13.4 Efek Samping Golongan Anti microtubule

Mekanisme kerja vinkristin adalah menghambat pembelahan sel kanker menjadi sel
kanker yang baru, dimana vinkristin akan menghambat fungsi mikrotubuli sel kanker.
Efek samping yang sering muncul pada pengobatan vinkristin antara lain :
a. Konstipasi dan gangguan gastrointestinal
b. Neuropati perifer
c. Alopecia
Obat obatan golongan vinca alakaloid dapat mengakibatkan gangguan peristaltik
dan konstipasi. Pada kasus yang berat bahkan bisa terjadi ileus paralitik dan kolik abdomen.
Hal ini dapat diatasi dengan konsumsi diet tinggi serat atau apabila diperlukan pemberian
laksantiva dapat dipertimbangkan. Pasien juga seringkali mengeluhkan mual dan muntah
pasca kemoterapi.

Neuropati perifer sering terjadi pada penggunaan vinkristin. Neuropati perifer ini
dapat berupa gejala ringan seperti kesemutan pada ujung-ujung jari sampai dengan
kelemahan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan seperti mengancingkan kancing baju.

25
Pada penggunaan dosis tinggi dapat terjadi: kolik abdomen, nyeri tulang, gangguan
pendengaran, pusing, halusinasi. (Alvarez, 2007)

2.13.5 Efek Samping Golongan Topoisomerase Inhibitor


Etoposide termasuk golongan inhibitor enzim topoisomerase II yang bekerja dengan
menghambat fase G1 dan S pada proses replikasi DNA, sehingga sel tidak dapat melakukan
pembelahan. Etoposide banyak digunakan dalam pengobatan kanker paru, usus, limfoma
non-Hodgkin, dan kanker testis.
Efek samping etoposide antara lain yaitu:
a. Phlebitis pada tempat infus
b. Metallic taste
c. Depresi sumsum tulang
d. Penurunan nafsu makan
e. Hipotensi (Alvarez, 2007)

BAB 3

KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER PARU


26
3.1 Kemoterapi pada pasien Kanker Paru

Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoadjuvan pada stadium dini, atau
sebagai adjuvan paska pembedahan. Terapi adjuvan dapat diberikan pada KPKBSK
stadium IIA, IIB dan IIIA. Pada KPKBSK stadium lanjut, kemoterapi dapat diberikan
dengan tujuan pengobatan jika tampilan umum pasien baik (Karnofsky > 60%; WHO 0-2).
Namun, guna kemoterapi terbesar adalah sebagai terapi paliatif pada pasien dengan stadium
lanjut (Soeroso, 2017).

Kemoterapi dilakukan dengan beberapa obat anti kanker dalam kombinasi rejimen
kemoterapi. Prinsip pemilihan jenis anti Kanker dan pemberian rejimen kemoterapi adalah :
(PDPI, 2018)

 Platinum based therapy (sisplatin atau karboplatin)


 Respon objektif satu obat anti kanker ≥15%
 Toksisitas obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
 Harus di hentikan atau diganti bila setelah pemberian 3 siklus menunjukkan progresif
disease.

Untuk kemoterapi lini-I KPKBSK dengan kombinasi Platinum base ( karboplatin


atau sisplatin) dengan ( paklitaksel / doksetaksel / gemcitabine / vinorelbine / atau
pemetrexed ( jika bukan skuamous sel karsinoma) ). Pada lini kedua pilihan obat
kemoterapi yaitu doksetaksel dan pemetrexed. (PDPI, 2018).

3.1.1 PADUAN OBAT KEMOTERAPI PADA KANKER PARU JENIS


KARSINOMA BUKAN SEL KECIL (KPKBSK)

Berbagai obat dianggap aktif untuk kanker jenis ini, dengan respons objektif
>15% diantaranya adriamisin, sisplatin, karboplatin, mitomisin-C, ifosfamid, paklitaksel,
dosetaksel, gemsitabin dan lain-lain. Dengan paduan beberapa obat diharapkan hasil lebih
memuaskan, berupa respons objektif yang lebih baik, bahkan mungkin tercapai respons
komplet (CR). Pada saat ini, paduan obat berbasis platinum (platinum based therapy) amat
dianjurkan. Paduan obat yang menggunakan obat-obat baru seperti paklitaksel, gemsitabin,
27
dosetaksel, dll menunjukkan respons yang cukup baik serta perbaikan masa tahan hidup
yang berarti.
Jenis obat yang mudah didapat di Indonesia, antara lain sisplatin, karboplatin,
etoposid, siklofosfamid, mitomisin-C, metotreksat, adriamisin, doksorubisin, paklitaksel,
dosetaksel dan gemsitabin dapat diberikan dengan paduan seperti tabel 1.

Tabel 2: Paduan obat untuk kemoterapi KPKBSK


No Paduan Dosis Pemberian

1* Sisplatin 50 – 60 mg/m2 Hari ke-1


Etoposid 100 mg/m2 Hari ke-1, 2 & 3
(siklus 21 - 28 hari)
2* Karboplatin AUC 5-6 Hari ke-1
Etoposid 100 mg/m2 Hari ke-1, 2 & 3
(siklus 21 - 28 hari)

28
3** CAP II
Siklofosfamid 400 mg/m2 Hari ke-1
Adriamisin 40 mg /m2 Hari ke-1

Sisplatin 60 mg/m2 Hari ke-1

(siklus 21 - 28 hari)
4* Paklitaksel 175 mg/m2 Hari ke-1
Sisplatin 60 mg/m2 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
5* Paklitaksel 175 mg/m2 Hari ke-1
Karboplatin AUC 5-6 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
6* Dosetaksel 175 mg/m2 Hari ke-1
Sisplatin 60 mg/m2 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
7* Dosetaksel 175 mg/m2 Hari ke-1
Karboplatin AUC 5-6 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
8* Gemsitabin 1250 mg/m2 Hari ke-1 & 8
Sisplatin 60 mg/m2 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
9* Gemsitabin 1250 mg/m2 Hari ke-1 & 8
Karboplatin AUC 5 –6 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
10** CAMP
Siklofosfamid 300 mg/m2 Hari ke-1 & 8
Adriamisin 20 mg/m2 Hari ke-1 & 9
Metotreksat 15 mg/m2 Hari ke-1 & 8

Prokarbazine 100 mg/m2 Hari ke-1 s/d 10


(siklus 28 hari)
11*8 Ifosfamide 2000 mg/m2 Hari ke-1, 2 & 3
Mesna, hari ke-1, 2 & 8 400 mg/m2 Hari ke-1, 2 & 3
Mitomisin-C, hari ke-1 6 mg/m2 Hari ke-1
(siklus 28 hari)
Catatan
* dosis yang direkomendasi Pokja Kanker PDPI
** dosis yang direkomendasi UICC

29
Paduan obat lain yang jarang atau belum digunakan di Indonesia adalah :
 5-FU + Adriamisin + Mitomisin-C
 CAP I
 Sisplatin + Vindesin
 Sisplatin + CPT-11
 Sisplatin + Vinorelbin

Di Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – RS Persahabatan


dan RSK Dharmais, beberapa paduan obat telah digunakan. Paduan obat adriamisin,
mitomisin C dan 5-fluorourasil dapat mengurangi keluhan subjektif pada lebih dari 50%
penderita, tampilan membaik pada 30% sedangkan respons objektif (semua PR) terdapat
pada 22,2% penderita. Penelitian yang menngunakan paduan obat paklitaksel dan
karboplatin efek samping gangguan gastrointestinal terlihat pada semua penderita dan
gangguan hematologi terdapat pada 6,7% penderita. Sedangkan kerontokan rambut tidak
terlihat pada 30%. Tiga puluh dua persen penderita hidup 1 tahun setelah pengobatan, 11%
tahan hidup sampai 15 bulan dan tidak ada yang hidup sampai 2 tahun. Masa tengah tahan
hidup untuk paduan obat ini adalah 160 hari. Hasil yang hampir sama juga didapat dengan
menggunakan paklitaksel yang diproduksi dengan cara berbeda (Paxus®) + karboplatin
dalam siklus tiap 21 hari.
Paduan obat siklofosfamid, adriamisin dan sisplatin (CAP II) masih banyak
digunakan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI melakukan
observasi efikasi penggunaan CAP II untuk KPKBSK, angka tahan hidup 1 tahun ialah
15%, 8% penderita masih hidup pada 21 bulan tetapi tidak ada yang tahan hidup sampai
2 tahun. Masa tengah tahan hidup ialah 162 hari. Hudoyo mengobservasi efikasi
penggunaan ifosfamid dan mitomisin C pada 16 penderita KPKBSK stage III. Empat puluh
persen penderita mengalami pengurangan keluhan, 50% mengalami pertambahan berat
badan dan secara objektif terdapat respons sebagian (partial response) pada 30% penderita.
Masa tahan hidup berkisar antara 8,3 sampai 24,8 bulan. Pada penelitian Jusuf dkk yang
menggunakan paduan obat paklitaksel dan karboplatin mendapatkan respons objektif (PR)
antara 12%-63%, angka tahan hidup 1 tahun antara 32%-58% dan masa tengah tahan hidup
38 minggu-15 bulan. Efek samping yang utama ialah neutropenia derajat 3-4 pada 10%-
70% dan trombositopenia pada 11%-20% sedangkan mual dan muntah didapatkan pada
30
semua pasien.

Dosetaksel, paklitaksel dan gemsitabin, masing-masing dikombinasi dengan


sisplatin / karboplatin merupakan obat-obat baru yang saat ini dianjurkan untuk KPKBSK
Sandler dkk, membandingkan penggunaaan sisplatin tunggal dengan paduan gemsitabin +
etoposid secara random pada penderita KPKBSK dan menyimpulkan bahwa untuk terapi
first line paduan gemsitabin + sisplatin lebih superior dibandingkan dengan sisplatin
tunggal baik pada RR, TTP dan angka tahan hidup. Tetapi toksisiti hematologik terutama
neutropenia grade 4 dan trombositopenia grade 4 lebih rendah pada penggunaan sisplatin
tunggal.

Tabel 3. Perbandingan efikasi sitostatika pada KPKBSK

Gemsitabin 1250 mg/m2 hari 1 & Sisplatin 100 mg/m2 hari 1,2,3 +
8 + sisplatin 100 mg/m2 etoposid hari 1,2,3
Efikasi
RR 40,6% 21,9%
TTP 6,9 bulan 4,3 bulan
MTS 8,7 bulan 7,2 bulan
ATH 1 tahun 32% 26%
Efek samping
Neutropenia grade 3 & 4 64% 28%
Alopesia 12% 39%
Neutropenia grade 4 13% 51%
Alopesia grade 3 28% 50%
Trombositopenia 50% 13%
Dikutip sandler et all : 2000

Profil keamanan kedua paduan hampir sama yaitu neutropenia grade 4 dan alopesia grade
3 lebih sedikit pada paduan gemsitabin + sisplatin.
Uji klinis di lakukan ECOC (Eastern Cooporative Oncology Group) menggunakan
paduan sisplatin + paklitaksel sebagai kontrol terhadap paduan lain yaitu sisplatin +
gemsitabin, sisplatin + dosetaksel dan karboplatin + paklitaksel. Efikasi masing masing
paduan dapat dilihat pada tabel 3.

31
Tabel 4. Efikasi hasil uji klinis komperatif empat doublet regiment pada KPKBSK

Sisplatin + Sisplatin + Sisplatin + Karboplatin +


Parameter Paklitaksel Gemsitabin Dosetaksel Paklitaksel
(n=288) (n=288) (n=289) (n=290)

Overall Response Rate (ORR) 21 % 22% 17 % 17 %


Median Time To Progression (TTP) 3,4 bulan 4, 2 bulan 3,7 bulan 3,6 bulan
(2,8 – 3,9) (3,7 – 4,8) (2,9 – 4,2) (2,8 – 3,9)
Angka Tahan Hidup (Survival)

Median 7,8 bulan 8,1 bulan 7,4 bulan 8,1 bulan


1- tahun 31 % 36 % 31 % 34 %
2- tahun 10 % 13 % 11 % 11 %

Dikutip dari cardinal et all 1999

Kesimpulan dari uji klinis itu menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan pada
angka tahan hidup antara kontrol dengan paduan yang lainnya. 20,21
Meskipun bervariasi
tetapi toksisiti hematologi grade 3 dan 4 ditemukan pada semua paduan obat itu,
trombositopenia dan anemia lebih sering ditemukan pada paduan sisplatin + gemsitabin
dibandingkan dengan kontrol, mungkin karena gemsitabin diberikan setiap minggu
sehingga pasien lebih sering kontrol (hari 1, 8 dan 15 dalam siklus 28 hari). 22 Toksisiti
gastrointestinal lebih jarang ditemukan pada paduan karboplatin + paklitaksel, demikian
juga penggunaan antibiotik akibat infeksi pada pemberian kemoterapi.

3.1.2 PADUAN OBAT KEMOTERAPI PADA KANKER PARU JENIS


KARSINOMA SEL KECIL (KPKSK)
Karsinoma sel kecil merupakan penyakit sistemik pada waktu diagnosis ditegakkan
dan konsep pengobatan didasarkan atas hal ini. Penderita karsinoma jenis ini bila tidak
diobati hanya tahan hidup antara 6-17 minggu. Tindakan pembedahan berpengaruh kecil
pada angka tahan hidup. Pada awal tahun 1960-an diketahui radioterapi memberi hasil
sedikit lebih baik dibandingkan dengan pembedahan pada limited stage (LD-SCLC). Baru
pada akhir tahun 1960-an terbukti bahwa kemoterapi memperpanjang ketahanan hidup.

32
Pemberian kemoterapi tunggal memberi CR antara 0- 70%, sedangkan pemberian paduan
obat memberikan CR antara 20-70%. Berdasarkan hasil penelitian, paduan obat seperti
tampak pada tabel 3 untuk penderita limited disease dan tabel 4 untuk penderita extensive
disease (ED_SCLC) diambil kesimpulan bahwa pemakaian obat kombinasi lebih terpilih
daripada obat tunggal. Limited disease ialah tumor terbatas pada satu hemitoraks dengan
atau tanpa penjalaran lokal dan atau tanpa kelenjar supraklavikula ipsilateral. Sedangkan
extensive disease lebih luas daripada itu, dan efusi pleura ganas termasuk ke dalam
kelompok ini.

Tabel 5 : Paduan obat untuk kemoterapi KPKSK

No Paduan Dosis Pemberian


1 CCNU 70 mg/m2 setiap 6 minggu, oral
Siklofosfamid 1500 mg/m2 setiap 3 minggu, iv
Metotreksat 10 mg/m2 setiap 2x seminggu, oral, untuk 4
– 6 minggu
2 Siklofosfamid 1500 mg/m2 Hari ke-1, iv
Adriamisin 60 mg/m2 Hari ke-1, iv
VP-16 125 mg/m2 Hari ke-1 s/d 3, iv
(siklus 28 hari)
3 Siklofosfamid 750 mg/m2 iv
Adriamisin 50 mg/m2 iv
Vinkristin 1.5 mg/m2 iv
(siklus 21 hari)
4 Siklofosfamid 220 mg/m2 Hari ke-1s/d 3, iv atau oral
VP-16 125 mg/m2 Hari ke-1s/d 3, iv pelan
Vinkristin 1.5 mg/m2 Hari ke-1, iv
Metotreksat 40 mg/m2 Hari ke-1, iv
5* Karboplatin AUC 5 - 6 Hari ke-1
Etoposid 100 mg/m2 Hari ke-1, 2 & 3
(siklus 21 – 28 hari)
6* Sisplatin , hari ke-1 50 – 60 mg/m2 Hari ke-1
Etoposid, hari ke-1,2,3 100 mg/m2 Hari ke-1, 2 & 3
(siklus 21 – 28 hari)

Dikutip dari Kelly 2000


Catatan . * dosis rekomendasi Pokja Kanker PDPI

33
Kira-kira 10% penderita karsinoma sel kecil telah menderita metastasis di susunan saraf
pusat (SSP) pada waktu diagnosis ditegakkan dan 20-50% akan memberikan metastasis
tersebut selama perjalanan penyakit. Pada penderita yang hidup lebih dari 2 tahun, 60-
80% penderita menderita metastasis ke otak. Sebagian besar obat yang digunakan pada
pengobatan karsinoma anaplastik sel kecil tidak dapat menembus sawar darah otak (blood
brain barrier). Prophilactic cranial radiotherapy (PCI) dapat menanggulangi hal ini, tetapi
berbagai penelitian menunjukkan tidak terdapat perpanjangan ketahanan hidup. Hal ini
disebabkan penderita yang mengalami metastasis di otak biasanya juga menderita
metastasis di tempat lain. Bila kemoterapi tidak dapat menanggulangi metastasis di tempat
lain tersebut, maka pemberian PCI tidak tampak manfaatnya. Oleh sebab itu PCI hanya
diberikan pada penderita yang memberikan complete respons pada kemoterapi.
Pada tahun 1998 Cancer Statistics melaporkan bahwa di Amerika ditemukan
45.000 kasus baru KPKSK. Respons terhadap kemoterapi KPKSK pada semua stage cukup
tinggi ( 65 % - 85 %), MTTH pada limited stage (LD-SCLC) yang diobati 10 – 15 bulan,
hanya 3 bulan jika tidak diobati, dan akan meningkat menjadi 12 – 20 bulan jika ditambah
dengan radiasi toraks. Angka tahan hidup pada extensive disease (ED_SCLC) jauh lebih
rendah yaitu 7 – 11 bulan jika diterapi dan hanya 1,5 bulan jika tidak diobati. 24
Penelitian
di Asia , MTTH penderita limited stage (LD-SCLC) yang mendapat kemoradioterapi 14,2
bulan (95% CI, 10,96 – 17,44) dan meningkat menjadi 16,9 bulan (95% CI, 11,83 –
21,97) pada yang mendapat tambahan PCI. Angka MTTH lebih rendah yaitu 8,17 bulan
(95%CI, 5,44 – 10,89) pada pasien extensive disease (ED_SCLC) yang mendapat
kemoradioterapi.
Penelitian tentang pemberian kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada karsinoma
sel kecil/ limited stage mendapatkan perbedaan hasil mengenai pengaruh terhadap
ketahanan hidup. Tetapi insidens relaps tumor tersebut berkurang. Di RS Persahabatan,
Jakarta kemoterapi pada KPKSK dilakukan dengan paduan obat siklofosfamid + vinkristin
+ adriamisin menurut anjuran UICC atau sisplatin + etoposid. Jumlah penderita jenis ini
tidak begitu banyak, lagipula yang mampu menyediakan obat masih amat terbatas. Karena
itu, hasil pengobatan masih belum dapat dinilai secara cermat. Tetapi terlihat 70%
penderita mengalami respons subjektif yang cukup nyata. Tampilan membaik pada 71,4%

34
dan 14,3% mengalami kenaikan berat badan. Efek samping berupa gangguan hemopoetik
dan gejala gastrointestinal terlihat pada semua kasus, 57% tidak mengalami kerontokan
rambut dan respons objektif terlihat pada 70% (ED-SCLC). Dua puluh lima persen
penderita hidup sampai 15 bulan dan masa tengah tahan hidup 2-5 bulan. Telah dilakukan
uji klinis beberapa jenis obat sitostatik baru untuk KPKSK seperti topotekan, irinotekan,
paklitaksel, dosetaksel, vinoralibin, dan gemsitabin.
Dengan mengutip sebagian dari hasil evaluasi 6 new agents kemoterapi untuk
KPKSK terlihat bahwa kemoterapi kombinasi secara bermakna meningkatkan respons.
Pemberian kombinasi kemoterapi dan radioterapi diharapkan dapat tercapai efek kuratif
untuk limited stage dan terlebih lagi jika dikuti dengan PCI.

Tabel 6. Respons obat baru tunggal pada KPKSK


Paduan Obat Dosis Respons MTTH ATH 1-tahun
( %) (bulan) ( %)

Topotekana 2 mg/m2 39 10 39

Paklitakselb 250 mg/m2 53 11 37

Gemsitabinc 1000-1250 mg/m2 27 12 NR

Vinoralbind 30 mg/m2 27 NR NR

Irinotekane 100 mg/m2 47 6.8 NR

35
Catatan. (a) Schiller dkk,. (b). Ettinger dkk, (c) . Cormier dkk,. (d). Depierre
dkk, (e) Masuda dkk

Dari berbagai uji klinis itu terlihat bahwa penggunaan obat baru kemoterapi
pada KPKSK dapat memperpanjang angka tahan hidup. Efikasi kemoterapi irinotekan +
sisplatin tiap 28 hari sebanyak 6 siklus dan radiasi 50,6 Gy pada pasien limited stage
memberikan respons objektif 85%, MTTH 20.0 bulan dengan ATH-1 dan ATH-2
tahun yaitu 85% dan 35%.28 Efikasi kemoterapi gemsitabin + sisplatin tiap 21 hari
dengan siklus maksimal 6 pada extensive disease didapat objektif respons 53%, MTTH
8,8 bulan dengan ATH-1 tahun 27,5% dan ATH-2 tahun hanya 4%

36
BAB 4
KESIMPULAN

Kemoterapi dapat diberikan pada kanker paru sebagai modalitas neoadjuvan


pada stadium dini, atau sebagai adjuvan paska pembedahan. Terapi adjuvan dapat diberikan
pada KPKBSK stadium IIA, IIB dan IIIA.

Efek samping kemoterapi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
dalam rangka pengobatan kanker, hal ini dikarenakan efek samping kemoterapi dapat
berakibat sangat fatal bahkan dapat berakhir dengan kematian. Efek samping kemoterapi
berbeda satu dengan lainnya, dimana akan bergantung pada jenis kemoterapi, cara
pemberian dan toleransi masing-masing penderita kanker.

JIka timbul toksisitas, dosis obat-obat yang diberikan perlu disesuaikan dan kalau
perlu dihentikan untuk sementara sampai toksisitas dapat diatasi. Pasien dengan toksisitas
derajat 1 atau 2 masih dapat dilanjutkan pemberian kemoterapi dengan pemberian obat-
obatan simptomatik untuk mengurangi keluhan efek samping. Sebaliknya, pasien dengan
derajat toksisitas 3 atau 4, maka kemoterapi harus dihentikan sementara dan dilakukan
perbaikan keadaan umum sampai kondisi klinis pasien stabil

37
DAFTAR PUSTAKA

Alvarez JA, Scully RE, Miller TL, Armstrong FD, Constine LS, Friedman DL, et al. Long-
term effects of treatments for childhood cancers Curr Opin Pediatr 2007.
Feb; 19123–31.

Andrews P. L., Sanger G. J. Nausea and the quest for the perfect anti-emetic. Eur. J.
Pharmacol. 2014. 722, 108–121. 10.1016/j.ejphar.2013.09.072

ACS. (2019). Cancer Fact & Figure. Atlanta: American Cancer Society.

Adjei, A. A. (2004). Pharmacology and Mechanism of Action of Pemetrexed. Clinical lung


Cancer , s51-s55.

Alvarado-luna, G., & Morales-Espinosa, D. (2016). Treatment for Small cell Lung Cancer,
Where are we Now? a Review. Transl Lung Cancer Res , 26-38.

Baker, J., Ajani, J., Scotte, F., Winther, D., Martin, M., Aapro, M. S., et al. (2009).
Docetaxel-Related side effects and Their Management. European Journal Of
Oncology Nursing , 29-59.

Baldwin, E. L., & Osheroff, N. (2005). Etoposide, Topoisomerase II and Cancer. Curr Med
Chem , 363-372.

Calvin, O. M. (2001). Antitumor alkylating agents. In V. T. Devita, S. Helman, & S. A.


Rosenberg, Cancer: Principles and Practice (p. 363). Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.

Chrischilles, E., Pandergast, J., Kahn, K., Wallace, R., Moga, D., Harrington, D., et al.
(2010). Adverse Events Among The Elderly receiving Chemotherapy for Advanced
Non Small Cell Lung Cancer. J Clin Oncol , 620-627.

Huang, C., Ju, D., Chang, C., Reddy, P., & Velmurugan, B. K. (2017). A review on the
effects of current chemotherapy drugs and natural agents in treating non–small cell
lung cancer. BioMedicine , 7 (4), 23.

Kalemkerian, G., Loo, B., Akerley, W., Attia, A., Bassetti, M., Boumber, Y., et al. NCCN
Guidelines Version 2.2018 Small Cell Lung Cancer. NCCN.

38
Malhotra, V., & Perry, M. C. (2003). Classical Chemotherapy. Cancer Biology & Therapy ,
S2-4.

Marupudi, N., Han, J. E., Li, K. W., Renard, V. M., Betty, M. T., & Henry, B. (2007).
Paclitaxel: a Review of Adverse Toxicities and Novel Delivery strategies. Expert
Opin Drug Saf , 609-621.

Muthu, V., Mylliemngap, B., Prasad, K. T., Behera, D., & Singh, N. (2091). Adverse Effect
Observed in Lung Cancer patients Undergoing First-Line Chemotherapy and
Effectiveness of suportive Care Drugs in Resource-Limited Setting. Lung India , 32-
37.

Oun, R., Moussa, Y. E., & Wheate, N. J. (2018). The Side Effect of Platinum Based
Chemotherapy drugs: a review for Chemist. Dalton Trans , 47, 6645-6653.

PDPI. (2018). Kanker Paru ; Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan . Jakarta: UI-
Press .

Pommier, Y. (2009). DNA Topoisomerase I Inhibitors: Chemistry, Biology and Interfacial


Inhibition. Chem Rev , 2894-2902.

Scholar, E. (2007). Antimetabolites. Omaha: Elsevier.

Siegel, R. L., Miller, K. D., & Jemal, A. (2018). Cancer statistics, 2018. CA Cancer J Clin ,
7-30.

Taşkın-Tok, T., & Gowder, S. (2014). Anticancer Drug — Friend or Foe. intechopen.

Thirumaran, R., Prendergast, G., & Gilman, P. (2007). Cytotoxic Chemotherapy in Clinical
Treatment of Cancer. Elsevier.

Toma, W., Kyte, S. L., Bagdas, D., Alkhlaif, Y., Alshari, S., Lichtman, A. H., et al. (2018).
Effect of Paclitaxel on the Develompment of Neuropathy and Affective Behaviors in
the Mouse. Neuropharmacology , 305-315.

Torre, L. A., Siegel, R. L., & Jemal, A. (2016). Lung Cancer Statistics. Adv Exp Med Biol ,
1-19.

39
Torrisi, J., Schwartz, L., Gollub, M., Ginsberg, M., Bosl, G., & Hricak, H. (2011). CT
Findings of Chemotherapy-Induced Toxicity : What Radiologist Need to Know About
The Clinical and Radiologic Manifestation of Chemotherapy Toxicity. RSNA .

Toschi, L., Finocchiaro, G., Bartolini, S., Gioia, V., & Cappuzzo, F. (2005). Role of
Gemcitabine in cancer Therapy. Future Oncology , 1 (1).

Yang, S., & Wang, Q. (2019). Emerging Therapies for Small Cell Lung Cancer. Journal of
Hematology & Oncology .

40
41
42

Anda mungkin juga menyukai