Pada saat ini dikenal berbagai macam obat sitostatik dan telah pula
dilakukan penelitian efektiviti obat terhadap kanker paru. Sebelum ilmu
biologimolekuler berkembang seperti sekarang ini, pembagian obat sitostatik
berdasarkan farmakologik yaitu :1. Alkylating agents 2. Antibiotic antineoplastics
3. Antimetabolites 4. Antineoplastic that alter hormone balance 5. Biological
response modifiers 6. Miscellaneous antineoplastics.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan telah dapat dikenali mekanisme
kerja intraseluler berbagai sitostatik dan faktor-faktor yang mungkin
menyebabkan terjadi resistensi sel kanker terhadap obat tersebut. Secara umum
disebutkan bahwa efek sitostatik obat adalah merusak DNA/RNA yang pada
akhirnya akan menimbulkan apoptosis.
Beberapa obat yang dapat menggangu sel kanker namun juga merusak sel
normal diantaranya obat-obat golongan ankylating agent, antimetabolite, dan
penghambat mitosis.
Efek samping kemoterapi merupakan salah satu faktor yang harus
diperhatikan dalam rangka pengobatan kanker, hal ini dikarenakan efek samping
kemoterapi dapat berakibat sangat fatal bahkan dapat berakhir dengan kematian.
Rusaknya sel normal akan menyebabkan efek samping. Sel normal yang sering
mengalami kerusakan akibat kemoterapi adalah : pembentukan sel darah merah,
folikel rambut, dan sel sel di mulut dan saluran cerna. Beberapa obat kemoterapi
dapat merusak sel di jantung, ginjal, paru dan saluran dan system saraf.
ABSTRACT
At this time there are various kinds of cytostatic drugs known and research has
also been conducted on the effectiveness of drugs against lung cancer. Before
molecular biology developed as it is today, the division of cytostatic drugs based
on pharmacology was: 1. Alkylating agents 2. Antibiotic antineoplastics
3. Antimetabolites 4. Antineoplastic that alter hormone balance 5. Biological
response modifiers 6. Miscellaneous antineoplastics.
With the development of science, various cytostatic intracellular mechanisms of
action and the factors that may cause cancer cell resistance to these drugs have
been identified. In general, it is stated that the cytostatic effect of drugs is to
damage DNA / RNA which in turn will cause apoptosis.
Some drugs that can interfere with cancer cells but also damage normal cells
include drugs for the ankylating agent, antimetabolite, and mitosis inhibitors.
Chemotherapy side effects are one of the factors that must be considered in the
context of cancer treatment, this is because chemotherapy side effects can be very
fatal and can even end in death. Damage to normal cells will cause side effects.
Normal cells that are often damaged due to chemotherapy are: the formation of
red blood cells, hair follicles, and cells in the mouth and digestive tract. Some
chemotherapy drugs can damage cells in the heart, kidneys, lungs and ducts and
nervous system.
DAFTAR ISI
LEMBARAN PENGESAHAN.......................................................................................ii
ABSTRAK........................................................................................................................iii
ABSTRACT.......................................................................................................................iv
DAFTAR ISI....................................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................vi
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................... 1
BAB 2 KEMOTERAPI................................................................................................... 3
2.1Sejarah kemoterapi.......................................................................................... 3
2.2 Definisi Kemoterapi........................................................................................ 3
2.3 Kinetika siklus Sel ..........................................................................................
2.4 Prinsip Kerja Pengobatan Kemoterpai .......................................................
2.5 Tujuan Kemoterapi .......................................................................................
2.6 Obat Kemoterapi pada kanker .....................................................................
2.7 syarat syarat pemberian kemoterapi ...........................................................
2.8 Efek Samping obat kemoterpai ....................................................................
BAB3 KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER PARU..........................................
3.1 Kemoterapi pada pasien Kanker paru ........................................................
3.2 Kemoterapi pada KPKBSK...........................................................................
3.3 Kemoterapi pada KPKSK .............................................................................
BAB 4 KESIMPULAN....................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21
DAFTRA TABEL
Kanker paru adalah penyebab utama pada kelompok penyakit akibat keganasan.
Terlihat kecenderungan peningkatan jumlah kasus bukan hanya pada laki-laki tetapi juga
pada perempuan dari tahun ke tahun. Prognosis penyakit buruk bukan hanya karena
keterlambatan diagnosis tetapi juga akibat respons sel kanker yang rendah terhadap
berbagai obat sitostatik yang ada.. Angka tahan hidup 1 tahun 2347 penderita kanker paru
yang diteliti oleh National Cancer Institute pada tahun 1983-1998, dihitung dengan life
table method hanya 41,8% dan angka tahan hidup 5 tahun 12,0 %. Berbagai data
memperlihatkan bahwa hal itu berkaitan dengan stage penyakit pada saat ditemukan
( Greene FL et all, 2002)
Kemoterapi merupakan komponen penting dalam pengobatan berbagai kanker
termasuk kanker paru. Berdasarkan uji klinis kemoterapi dapat memperbaiki kualitas hidup
namun juga menyebabkan efek samping. Agen kemoterapi berkerja pada target sel kanker
dan sel tubuh lainnya yang berkembang biak dengan cepat, sehingga dapat menyebabkan
beberapa efek samping. Profil efek samping akan berbeda bergantung dengan usia, status
performance, komorbid, dan agen kemoterapi yang digunakan beserta dosisnya. (Muthu,
Mylliemngap, Prasad, Behera, & Singh, 2091)
Kemoterapi yaitu pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang dapat
menghambat atau membunuh sel-sel kanker (Remesh, 2012). Kemoterapi bekerja dengan
prinsip sitotoksik yaitu merusak proses mitosis dari sel-sel kanker sehinga sel-sel kanker
tidak dapat membelah. Hal ini terutama efektif pada sel-sel kanker yang mempunyai
kemampuan pembelahan sel yang cepat. Namun sampai saat ini para ahli belum dapat
menemukan kemoterapi yang spesifik bagi sel kanker sehingga kemoterapi juga akan
mengganggu proses mitosis sel-sel tubuh normal lainnya, terutama sel-sel tubuh yang
membelah dengan cepat seperti sumsum tulang, folikel rambut, sel-sel epitel mukosa
saluran pencernaan (Ramirez, 2009).
Efek samping kemoterapi dapat mempengaruhi kesehatan fisik, kualitas hidup
seseorang dan juga status emosional. Agen-agen sitotoksik biasanya mengganggu sintesis
RNA dan DNA atau pembelahan sel, sehingga memgganggu pertumbuhan sel dengan
berbagai mekanisme aksi. Beberapa obat yang dapat menggangu sel kanker namun juga
1
merusak sel normal diantaranya obat-obat golongan ankylating agent, antimetabolite, dan
penghambat mitosis. Penanganan untuk mengatasi efek samping kemoterapi merupakan hal
penting salah satunya dengan mengurangi intensitas kemoterapi. (Torrisi, Schwartz, Gollub,
Ginsberg, Bosl, & Hricak, 2011)
2
BAB 2 : KEMOTERAPI
Penggunaan kemoterapi untuk mengobati kanker dimulai pada tahun 1943 setelah
pengamatan adanya leukopenia pada personil militer yang terkena gas mustard setelah
ledakan kapal perang di pelabuhan Bari. Zat alkilasi ini untuk penggunaan intravena dan
menghasilkan respons dramatis tetapi efeknya untuk jangka pendek pada pasien dengan
limfoma dan leukemia. Resistensi obat berkembang ketika obat tunggal digunakan,
sehingga kombinasi kemoterapi menjadi standar terapi. Manfaat kemoterapi dalam
meningkatkan kualitas hidup pasien, dengan meredakan gejala dan rasa sakit, cukup
terbukti (Early Breast Cancer Trialists Collaborative Group, 1992).
Sejak era 1970-an kemoterapi kanker telah beranjak dari sifat paliatif menuju terapi
kuratif. Hingga saat ini kanker yang dapat disembuhkan kemoterapi mencapai 10 jenis
lebih, atau 5% dari seluruh pasien kanker, menduduki 10% dari angka kematian akibat
kanker tiap tahun (Henry dkk, 2007).
Kemoterapi adalah cara pengobatan tumor dengan memberikan obat pembasmi sel
kanker (disebut sitostatika) yang diminum ataupun yang diinfuskan ke pembuluh darah.
Jadi, obat kemoterapi menyebar ke seluruh jaringan tubuh, dapat membasmi sel-sel kanker
yang sudah menyebar luas di seluruh tubuh. Karena penyebaran obat kemoterapi luas, maka
daya bunuhnya luas, Efek sampingnya biasanya lebih berat dibandingkan dua modalitas
pengobatan terdahulu (Hendry,dkk 2007).
Kesan umum dikalangan penderita dan sebagian kalangan medis ialah, bahwa
kemoterapi tidak membawa perubahan, kecuali efek samping yang berat, perburukan
penyakit dan mempercepat kematian. Kesan seperti itu mungkin didapat berdasarkan
pengamatan sesaat pada satu atau beberapa kasus. Tetapi apabila pengamatan dilakukan
secara kumulatif pada sejumlah besar kasus, maka dapat ditemukan persentase tertentu
penderita yang mendapat manfaat berupa pengurangan keluhan subjektif, gejala, perbaikan
3
tampilan bahkan penambahan berat badan. Perlu dilakukan pendekatan yang berbeda pada
pemberian kemoterapi paliatif. Pada pemberian paliatif respons objektif bukan menjadi
tujuan utama tetapi respons subjektif dan toksisiti obat jadi penentu apakah kemoterapi ini
masih bermanfaat jika terus diberikan.
Siklus sel merupakan serangkaian kejadian dengan urutan tertentu berupa duplikasi
kromosom sel dan organel didalamnya yang mengarah ke pembelahan sel. Pada eukariotik
(sel bernukleus), proses perbanyakan atau sintesis bahan genetik terjadi sebelum
berlangsungnya proses pembelahan sel, mitosis atau meiosis.
Di antara mitosis pertama dan mitosis berikutnya terdapat interfase. Saat interfase
sel tidak membelah melainkan aktif melakukan metabolisme untuk pertumbuhan dan
pembentukan energi untuk pembelahan mitosis berikutnya. Interfase tidak termasuk dalam
tahap PMAT dan dibedakan dalam tiga tahap, yaitu:
a. G1 (gap 1) : merupakan akhir mitosis dan awal sintesis (presintesis), pada fase ini sel
mulai tumbuh membesar
b. S (sintesis) : terjadi duplikasi organel dan sintesis DNA, pada tahap ini sel aktif
melakukan metabolisme, tumbuh, dan berkembang
c. G2 (gap2) : merupakan akhir fase sintesis (postsintesis) dan awal dari mitosis
berikutnya
Demikian seterusnya, setelah selesai melakukan pembelahan pada tahap mitotik, sel
akan masuk interfase, dilanjutkan mitosis lagi, dan seterusnya. Hampir pada setiap kasus
misalnya pembelahan sel untuk penyembuhan luka (regenerasi), sel akan berhenti
membelah manakala luka telah sembuh. Itulah salah satu kehebatan sel. Tahu kapan harus
membelah, dan tahu kapan harus berhenti. Sel yang tahu diri untuk berhenti dari
pembelahan akan masuk ke fase G0 atau fase stationer. Pada tahap ini sel tidak akan
melakukan pembelahan. Jika terjadi luka, sel segera memasuki fase G1 untuk melakukan
pembelahan. Sel yang tidak tahu diri, harusnya masuk G0 tetapi nekat masuk ke G1, itulah
yang disebut sel tumor atau kanker.
Pada dasarnya siklus sel terdapat 2 fase utama yaitu fase S (DNA sintesis) dan fase
M (Mitosis). Pada fase S terjadi duplikasi kromosom, organele dan protein interseluler dan
4
pada fase M terjadi pemisahan kromosom dan pembelahan sel. Sebagian besar sel
memerlukan waktu ekstra untuk proses sintesis sehingga pada siklus sel terdapat ekstra fase
Gap yaitu Gap 1 antara fase M dan fase S serta Gap 2 antara fase S dan Mitosis. Hal ini
mendasari pembagian fase menjadi 4 fase yaitu Fase G1, Fase S, Fase G2 (ketiganya
disebut Interfase) dan fase M (mitosis dan sitokinesis).
Interfase adalah fase istirahat, sel ini sebenarnya sangat aktif secara biokimia
walaupun terlihat tidak ada perubahan morfologi (waktu lama, 23 jam dalam 1 siklus/24
jam). M phase (mitosis) merupakan inti dari siklus sel dan secara morfologi terjadi
perubahan yang jelas teramati berupa kromosom yang tertarik ke kutub, sitogenesis dan
akhirnya sel terbagi menjadi dua (waktu cepat, 1 jam dalam 1 siklus/24 jam).
Fase G1 dan G2 bukan hanya sebagai ekstra waktu proses sintesis namun juga
berperan sebagai ekstra waktu bagi sel untuk memonitor kondisi lingkungan internal dan
eksternal sebelum masuk ke fase S dan M. Jika kondisi lingkungan tidak mendukung maka
sel berhenti berprogress pada G1 dan bahkan memasuki kondisi resting state pada Go (G
zero). Go ini dapat berlangsung selama berhari-hari, bertahun-tahun atau sampai sel mati.
Jika kondisi lingkungan mendukung dan terdapat sinyal untuk tumbuh maka sel akan
memulai proses pada suatu titik akhir G1 yang disebut titik "Start". Setelah melalui titik ini
sel akan mulai masuk fase S ditandai dengan Replikasi DNA yang terus berlangsung
bahkan walau signal pertumbuhan dan pembelahan sudah tidak ada.
5
Pemahaman mengenai siklus sel merupakan hal yang sangat penting sebelum
memasuki topik tentang kemoterapi, karena sebagian besar jalur kerja dan klasifikasi obat
kemoterapi didasarkan pada peranannya mengihbisi siklus pembelahan sel. (Ramirez, 2009)
a. Alkylating agent
Siklofosfamide
Ifosfamide
Chlorambucil
Dacarbazine
b. Antimetabolit
(i) Antifolat
Metotrexate
Pemetrexed
Pralatrexate
Trimetrexate
6
(iii) Pirimidin Analog
Cytarabine
5-Fluoruracil
Gemcitabine
Azacitidine
Floxuridine
c. Vinca Alkaloid
Vincristine
Vinorelbine
Vinblastine
d. Antibiotik
Bleomycin
Doxorubicin
Epirubicin
Mitomycin
e. Taxane
Paclitaxel
Dosetaxel
Cabazitaxel
f. Golongan Platinum
Cisplatin
Carboplatin
Oxaliplatin
g. Analog Camptothecin
Topotecan
Irinotecan
7
h. Golongan Hormonal
Tamoxifen
Letrozole
Anastrazole
Exemastane
Obat ini hanya bekerja pada fase tertentu dari pembelahan sel, sehingga obat
ini dapat efektif bekerja jika terdapat dalam jumlah yang cukup pada saat sel
tumor memasuki fase tertentu tersebut
Obat kemoterapi yang termasuk dalam golongan ini adalah golongan plant
alkaloid (vincristine, vinblastine) dan golongan antimetabolit
8
b. CCDD (Cell Cycle Independent Drugs/Non Specific Phase)
Obat ini bekerja pada sel-sel tumor yang aktif membelah tetapi tidak
tergantung pada pembelahan sel, sehingga obat ini dapat efektif bekerja pada sel-
sel tumor yang sedang aktif membelah tanpa tergantung fasenya.
Kemoterapi yang termasuk dalam golongan ini adalah alkylating agent
(siklofosfamide dan platinum).
Berikut ini adlaah pembahasan mengenai mekanisme kerja dari masing masing
obat kemoterapi.
a. Alkylating Agent
Obat ini bekerja dengan cara:
Menghambat sintesa DNA dengan menukar gugus alkali sehingga membentuk
ikatan silang DNA.
Mengganggu fungsi sel dengan melakukan transfer gugus alkali pada gugus
amino, karboksil, sulfhidril, atau fosfat.
Merupakan golongan cell-cycle dependent non fase spesifik.
b. Antibiotik
Golongan anti tumor antibiotik umumnya obat yang dihasilkan oleh suatu
mikroorganisme, yang umumnya bersifat sel non spesifik, terutama berguna untuk
tumor yang tumbuh lambat. Mekanisme kerja terutama dengan jalan
menghambat sintesa DNA dan RNA.
c. Antimetabolit
Golongan ini menghambat sintesa asam nukleat.Beberapa antimetabolit memiliki
struktur analog dengan molekul normal sel yang diperlukan untuk
pembelahan sel, beberapa yang lain menghambat enzym yang penting untuk
pembelahan.Secara umum aktifitasnya meningkat pada sel yang membelah cepat
d. Antimicrotubule
9
Golongan obat ini berikatan dengan protein mikrotubuler sehingga
menyebabkan disolusi struktur mitotic spindle pada fase mitosis
e. Topoisomerase inhibitor
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim topoisomerase
yang berakibat pada terhambatnya proses transkripsi dan replikasi DNA (Ramirez,
2009)
Gambar 2 Skema mekanisme kerja obat kemoterapi berdasarkan fase pembelahan sel
10
Gambar berikut ini memperlihatkan mekanisme kerja obat obat kemoterapi berdasarkan
tempat kerjanya (site of action):
Gambar 3 Mekanisme kerja obat kemoterapi berdasarkan tempat kerja (site of action)
11
2.8 Tujuan Kemoterapi
1. Kemoterapi Kuratif
2. Kemoterapi Adjuvan
3. Kemoterapi Neoadjuvan
12
kanker tertentu (seperti faring, kandung kemih) dan memperbaiki kualitas hidup sebagian
pasien.
4. Kemoterapi Paliatif
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil
(KPKSK) dan beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker
paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi
paliatif adalah mengurangi atau menghilangkan gejala yang diakibatkan oleh perkembangan
sel kanker tersebut sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan kualiti hidup penderita.
Tetapi akhir-akhir ini berbagai penelitian telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk
KPKBSK sebagai upaya memperbaiki prognosis, baik 3 sebagai modaliti tunggal maupun
bersama modaliti lain, yaitu radioterapi dan/atau pembedahan.
1. Penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) tanpa atau dengan gejala.
2. Penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang inoperabel
(stage IIIB & IV), jika memenuhi syarat dapat dikombinasi dengan radioterapi, secara
konkuren, sekuensial atau alternating kemoradioterapi.
3. Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil (KPKBSK) stage I, II dan III yang telah dibedah.
13
4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA dan beberapa
kasus stage IIIB yang akan menjalani pembedahan. Dalam hal ini kemoterapi merupakan
bagian terapi multimodality ( jamal et all 2012)
Penderita yang akan mendapat kemoterapi terlebih dahulu harus menjalani pemeriksaan
dan penilaian, sehingga terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Soeroso, 2017) :
Bila perlu, transfusi darah diberikan sebelum pemberian obat. Sedangkan untuk
pemberian siklus berikutnya, jika nilai-nilai di atas lebih rendah maka beberapa jenis obat
masih dapat diberikan dengan penyesuaian dosis.
14
2.10 PEMILIHAN OBAT
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih obat adalah mengetahui efikasi dan
toksisiti obat yang akan digunakan. Masing-masing obat mempunyai keunggulan yang
berbeda. Faktor-faktor untuk menilai efikasi obat antara lain:
Selain tergantung jenis histologis sel kanker, obat yang dipilih sebaiknya obat yang
mempunyai efek samping paling rendah. Pengobatan dengan dosis suboptimal tidak
memberikan hasil yang memuaskan sedangkan dosis yang berlebihan memberi efek toksik
yang lebih berat. Karena itu harus ditentukan dosis optimal. Pada umumnya dosis obat
ditentukan berdasarkan luas permukaan badan, yang dapat diperhitungkan dari tinggi dan
berat badan penderita. Bila digunakan obat karboplatin, dosis perlu disesuaikan dengan
kadar kreatinin atau creatinine clearance, untuk menentukan area under the curve (AUC)
tertentu. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan lebih dari 1 jenis obat
dalam paduan obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Penggunaan obat baru (new
agent atau second line drugs) dalam satu paduan obat memberikan efikasi yang lebih baik,
dan bahkan beberapa obat itu mulai diuji coba untuk menjadi first line drugs. 5 Beberapa
obat sitostatik mempunyai efek radiosensitisizer sehingga respons lokal radioterapi dapat
ditingkatkan bila diberikan secara konkuren, misalnya karboplatin, paklitaksel dan
dosetaksel. Tetapi teknik pemberian sering memberikan efek samping yang mengganggu
pasien terutama esofagitis. Jenis obat lain untuk teknik pemberian kemoradioterapi
konkuren ini masih dalam uji klinis. Perlu diketahui berat ringan toksisiti yang sering
timbul akibat sebuah obat agar dapat difikirkan tindakan antisipasi bila hal itu terjadi. Cara
pemberian yang berkaitan dengan fasiliti rumah sakit dan harga obat juga harus menjadi
pertimbangan.
15
2.11 LAMA PENGOBATAN
Sekali kemoterapi dimulai, maka perlu diberikan kesempatan yang cukup kepada
obat-obat itu untuk bekerja. Karena itu pengobatan perlu diberikan setidaktidaknya dua kali,
sebelum ditentukan lebih lanjut berapa lama keseluruhan pengobatan akan berlangsung.
Evaluasi dilakukan setelah 2 – 3 siklus kemoterapi.12 Pada umumnya kemoterapi dapat
diberikan berturut-turut selama 4 – 6 siklus dengan masa tenggang antara satu siklus ke
siklus berikutnya 21 – 28 hari ( 3 – 4 minggu) tergantung pada jenis obat yang digunakan.
Perlu diperhatikan, apabila dosis maksimal untuk setiap obat telah tercapai pengobatan
harus dihentikan. Demikian pula bila penyakit menjadi progresif atau performance status
menjadi amat berkurang dan tidak kembali ke keadaan sebelum kemoterapi.
16
Hematological 0 1 2 3 4
(Dewasa)
17
Hemoglobin Gr/100ml >11 9.5-10.9 8.0-9,4 6.5-7,9 <6.5
Leukosit 1000/mm3 >4 3-3.9 2.-2.9 1-1.9 <1.0
Granulosit 1000/ mm3 >2.0 1.5-1.9 1-1.4 0.5-0.9 <0.5
Platelet 1000/ mm3 >100 75-99 55-74 25-49 <25
perdarahan Tidak ada Ptekie Perdarahan ringan Perdarahan Perdarahan
berat menyebabkan
syok
Gastrointestin 0 1 2 3 4
a
Bilirubin ULNx <1.25 1.26-2.5 2.6-5 5.1-10 >10
Transaminase ULNx <1.25 1.26-2.5 2.6-5 5.1-10 >10
ALT (SGOT)
AST (SGPT)
Alkaline ULNx <1.25 1.26-2.5 2.6-5 5.1-10 >10
Fosfatase
Oral Tidak ada Sariawan Luka pada Luka pada Mukosa tidak Tidak bisa
ringan Mukosa dapat makan padat makan
peroral
Mual/ Muntah Tidak ada Mual muntah Muntah yang memerlukan Muntah
pengobatan yang terus
menerus
Diare Tidak ada Diare<2 hr Diare lebih 2 hari Diare memerlukan Syok
tetapi masih pengobatan hipovolemi
dapat diatasi k
Renal /Ginjal 0 1 2 3 4
Ureum & ULNx <1.25 1.26-2.5
creatinin
Proteinase Tidak ada +1 +2-3 +4 Nefrotik sindrom
g% <0.3 0.3-1.0 >1.0
g/L <3 <3-10 >10
Hematuria Tidak ada Mikroskopik gross Gross+kloting Uropati obstruktif
Patu - Gejala ringan Sesak saat aktivitas Sesak napas Sesak sehingga
saat istirahat sebabkan total
bed rest
Demam - <38C 38-40 >40 Demam dengan
dengan obat hipotensi
Alergi - Udem Bronkospasme tidak perlu Bronkospasm Syaok anafilaktik
terapi e perlu terapi
IV
Dermatitis - Eritema Kulit kering dengan Kulit kering Dermatitis berat
vesikel dan gatal dengan dengan nekrosis
ulserasi
Rambut - Minimal Botak tidak merata Alopesia Alopesia
merata tetapi permanen
masih bisa
tumbuh
Infeksi - Infeksi minor Sedang Berat Infeksi berat
dengan hipotensi
Nyeri - Ringan Sedang berat Terus menerus
18
Sepanjang masa kemoterapi, harus dilakukan pemantauan terhadap semua
aspek toksisitas kemoterapi. Pasien dengan toksisitas derajat 1 atau 2 masih dapat
dilanjutkan pemberian kemoterapi dengan pemberian obat-obatan simptomatik
untuk mengurangi keluhan efek samping. Sebaliknya, pasien dengan derajat
toksisitas 3 atau 4, maka kemoterapi harus dihentikan sementara dan dilakukan
perbaikan keadaan umum sampai kondisi klinis pasien stabil kemudian baru
kemoterapi dapat dimulai kembali.
Sumsum tulang merupakan organ yang berfungsi memproduksi sel-sel darah merah,
sel-sel darah putih dan trombosit. Sumsum tulang sangat sensitif terhadap efek dari
kemoterapi.3 Penurunan sel-sel darah tidak akan terjadi pada awal kemoterapi, karena
kemoterapi tidak menghancurkan darah yang berada di aliran darah tepi tetapi darah yang
baru saja diproduksi oleh sumsum tulang.
Menurut National Cancer Institute USA, keadaan yang perlu diperhatikan yaitu
Neutropenia dimana jumlah netrofil di bawah 1000 sel per meter kubik-jika dibawah 500
sel per meter kubik disebut severe neutropenia-. Hal ini disebabkan oleh karena tubuh jadi
mudah terkena infeksi. Gejala yang sering menyertai neutropenia antara lain panas, nyeri
19
tenggorok, batuk, pilek, sesak, nyeri saat buang air kecil, phlebitis. Demam merupakan
gejala yang paling sering muncul sebagai akibat dari infeksi pada keadaan neutropenia yang
biasa dikenal dengan demam neutropenia yang perlu perhatian dan penanganan khusus.
Dalam keadaan ini biasanya kemoterapi akan ditunda kemudian diberikan antibiotik, anti
jamur, anti virus dan obat perangsang pertumbuhan netrofil. (Pearce, 2017)
c. Alopecia
Kemoterapi akan menyebabkan kerusakan pada folikel rambut sehingga rambut
akan mudah patah dan rontok. Kerontokan rambut ini secara klinis tidak membahayakan,
akan tetapi dapat mengganggu aspek sosial dan psikologis dari penderita kanker.
Kerontokan rambut ini tidak bersifat permanen sehingga apabila kemoterapi dihentikan
maka rambut akan tumbuh kembali. Penggunaan kompres dingin di kepala untuk
pencegahan kerontokan rambut masih menjadi kontroversi (Andrews, 2014).
20
Epitel mukosa saluran pencernaan merupakan sel normal tubuh yang sering
menerima dampak kemoterapi oleh karena sel epitel mukosa saluran pencernaan membelah
dengan cepat. Manifestasi klinis dari rusaknya sel epitel mukosa saluran cerna dapat berupa
stomatitis, ulcer, diare dan colitis. Kerusakan mukosa juga akan menimbulkan gejala diare.
Hal yang perlu diperhatikan adalah gejala dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit yang
terjadi akibat diare. Kolitis dan ulcer merupakan perlukaan pada lambung dan usus akibat
lesi pada sel epitel (Andrews, 2014).
Beberapa kemoterapi meyebabkan gangguan pada otot pada otot jantung. Hal ini
dapat menyebabkan terjadi kegagalan pompa jantung. Untuk menghindari efek fatal dari
gangguan jantung sebelum kemoterapi dimulai biasanya dilakukan pemeriksaan untuk
menilai fungsi jantung seperti EKG, CK, CKMB, dan Ekokardiografi.
Pemecahan sebagian jenis obat kemoterapi terjadi di hati, dan sebagian lagi terjadi
di ginjal, namun disayangkan kemoterapi juga merusak hati dan ginjal. Namun seperti efek
samping yang lainnya, hal ini hanya bersifat sementara. Apabila obat kemoterapi dihentikan
maka fungsi jantung, hati dan ginjal akan kembali normal. Pemeriksaan penunjang ureum
dan kreatinin harus rutin dilakukan untuk memantau fungsi ginjal. Peningkatan ureum
diatas 50 mg/dl dan kreatinin diatas 1 mg/dl harus diwaspadai bila akan memberikan
kemoterapi. Untuk pemantauan fungsi hati dilakukan pemeriksaan enzim SGOT dan SGPT,
apabila terjadi peningkatan diatas 3-4 kali lipat dari kadar normal perlu dilakukan
penyesuaian dosis atau bahkan penghentian kemoterapi (Eliis, 2004)
Efek samping yang ditimbulkan oleh karena pemberian siklofosfamid antara lain adalah:
22
Iritasi mukosa kandung kemih dan ginjal dapat terjadi pada berbagai tingkat keparahan
sampai ke sististis hemorhagika. Hal ini dapat dicegah dengan cara hidrasi sebelum
pemberian dan dengan penggunaan obat mesna. Golongan alkylating agent yang lain adalah
cisplatin. Struktur utama obat ini yang merupakan senyawa platinum akan merusak sel
kanker. Efek samping dari cisplatin sama dengan siklofosfamid yang telah diuraikan diatas
(Alvarez, 2007).
Efek samping sisplatin yang paling sering ditemukan adalah toksisitas gastrointestinal.
Pada pasien yang mengalami efek samping dengan cisplatin, dapat diberikan karboplatin.
Kemoterapi ini dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh pasien usia lanjut atau dengan
komorbiditas berat. Untuk karboplatin, efek samping yang paling sering berupa
hematotoksisitas (Soeroso, 2017).
23
Pasien yang mendapatkan doxorubicin perlu dilakukan pemantauan irama jantung.
Gangguan pada kontraksi otot jantung biasanya terjadi pada dosis toksik, yaitu sekitar 450-
500mg/m2 secara kumulatif. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada dosis
dibawah itu, sehingga pemantauan EKG dan ekokardiografi diperlukan selama penggunaan
doxorubicin. Penurunan fungsi jantung yang ditandai dengan penurunan left ventricel
ejection fraction(LVEF) sampai dengan dibawah 10% maka penggunaan doxorubicine
harus dihentikan, sedangkan penurunan LVEF dibawah 30% maka dosis doxorubicine
harus dikurangi. (Alvarez, 2007)
Gagal ginjal akut muncul terutama pada penggunaan dosis tinggi/ high dose dan
penggunaan bersamaan obat kemoterapi lain yang bersifat nefrotoksik. Untuk mencegah
terjadinya gagal ginjal dibutuhkan hidrasi cairan dan juga perlu dilakukan alkalinisasi urin
untuk mengurangi keasaman urin.
Pada beberapa kasus juga dijumpai peningkatan enzim hati (transaminase) dan
penyakit hati kronis (fibrosis, sirosis). Pemantauan fungsi hati harus dilakukan untuk
mencegah kerusakan hati lebih lanjut. Beberapa pasien juga dapat terjadi kejang terutama
pada pasien leukemia akut, pada dosis tinggi/ high dose dapat terjadi stroke–like
encephalopathy. Pada penggunaan secara intratekal dapat terjadi efek samping myelopati
dan leukoensefalopati kronis (Eliis, 2004).
Mekanisme kerja vinkristin adalah menghambat pembelahan sel kanker menjadi sel
kanker yang baru, dimana vinkristin akan menghambat fungsi mikrotubuli sel kanker.
Efek samping yang sering muncul pada pengobatan vinkristin antara lain :
a. Konstipasi dan gangguan gastrointestinal
b. Neuropati perifer
c. Alopecia
Obat obatan golongan vinca alakaloid dapat mengakibatkan gangguan peristaltik
dan konstipasi. Pada kasus yang berat bahkan bisa terjadi ileus paralitik dan kolik abdomen.
Hal ini dapat diatasi dengan konsumsi diet tinggi serat atau apabila diperlukan pemberian
laksantiva dapat dipertimbangkan. Pasien juga seringkali mengeluhkan mual dan muntah
pasca kemoterapi.
Neuropati perifer sering terjadi pada penggunaan vinkristin. Neuropati perifer ini
dapat berupa gejala ringan seperti kesemutan pada ujung-ujung jari sampai dengan
kelemahan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan seperti mengancingkan kancing baju.
25
Pada penggunaan dosis tinggi dapat terjadi: kolik abdomen, nyeri tulang, gangguan
pendengaran, pusing, halusinasi. (Alvarez, 2007)
BAB 3
Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoadjuvan pada stadium dini, atau
sebagai adjuvan paska pembedahan. Terapi adjuvan dapat diberikan pada KPKBSK
stadium IIA, IIB dan IIIA. Pada KPKBSK stadium lanjut, kemoterapi dapat diberikan
dengan tujuan pengobatan jika tampilan umum pasien baik (Karnofsky > 60%; WHO 0-2).
Namun, guna kemoterapi terbesar adalah sebagai terapi paliatif pada pasien dengan stadium
lanjut (Soeroso, 2017).
Kemoterapi dilakukan dengan beberapa obat anti kanker dalam kombinasi rejimen
kemoterapi. Prinsip pemilihan jenis anti Kanker dan pemberian rejimen kemoterapi adalah :
(PDPI, 2018)
Berbagai obat dianggap aktif untuk kanker jenis ini, dengan respons objektif
>15% diantaranya adriamisin, sisplatin, karboplatin, mitomisin-C, ifosfamid, paklitaksel,
dosetaksel, gemsitabin dan lain-lain. Dengan paduan beberapa obat diharapkan hasil lebih
memuaskan, berupa respons objektif yang lebih baik, bahkan mungkin tercapai respons
komplet (CR). Pada saat ini, paduan obat berbasis platinum (platinum based therapy) amat
dianjurkan. Paduan obat yang menggunakan obat-obat baru seperti paklitaksel, gemsitabin,
27
dosetaksel, dll menunjukkan respons yang cukup baik serta perbaikan masa tahan hidup
yang berarti.
Jenis obat yang mudah didapat di Indonesia, antara lain sisplatin, karboplatin,
etoposid, siklofosfamid, mitomisin-C, metotreksat, adriamisin, doksorubisin, paklitaksel,
dosetaksel dan gemsitabin dapat diberikan dengan paduan seperti tabel 1.
28
3** CAP II
Siklofosfamid 400 mg/m2 Hari ke-1
Adriamisin 40 mg /m2 Hari ke-1
(siklus 21 - 28 hari)
4* Paklitaksel 175 mg/m2 Hari ke-1
Sisplatin 60 mg/m2 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
5* Paklitaksel 175 mg/m2 Hari ke-1
Karboplatin AUC 5-6 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
6* Dosetaksel 175 mg/m2 Hari ke-1
Sisplatin 60 mg/m2 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
7* Dosetaksel 175 mg/m2 Hari ke-1
Karboplatin AUC 5-6 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
8* Gemsitabin 1250 mg/m2 Hari ke-1 & 8
Sisplatin 60 mg/m2 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
9* Gemsitabin 1250 mg/m2 Hari ke-1 & 8
Karboplatin AUC 5 –6 Hari ke-1
(siklus 21 hari)
10** CAMP
Siklofosfamid 300 mg/m2 Hari ke-1 & 8
Adriamisin 20 mg/m2 Hari ke-1 & 9
Metotreksat 15 mg/m2 Hari ke-1 & 8
29
Paduan obat lain yang jarang atau belum digunakan di Indonesia adalah :
5-FU + Adriamisin + Mitomisin-C
CAP I
Sisplatin + Vindesin
Sisplatin + CPT-11
Sisplatin + Vinorelbin
Gemsitabin 1250 mg/m2 hari 1 & Sisplatin 100 mg/m2 hari 1,2,3 +
8 + sisplatin 100 mg/m2 etoposid hari 1,2,3
Efikasi
RR 40,6% 21,9%
TTP 6,9 bulan 4,3 bulan
MTS 8,7 bulan 7,2 bulan
ATH 1 tahun 32% 26%
Efek samping
Neutropenia grade 3 & 4 64% 28%
Alopesia 12% 39%
Neutropenia grade 4 13% 51%
Alopesia grade 3 28% 50%
Trombositopenia 50% 13%
Dikutip sandler et all : 2000
Profil keamanan kedua paduan hampir sama yaitu neutropenia grade 4 dan alopesia grade
3 lebih sedikit pada paduan gemsitabin + sisplatin.
Uji klinis di lakukan ECOC (Eastern Cooporative Oncology Group) menggunakan
paduan sisplatin + paklitaksel sebagai kontrol terhadap paduan lain yaitu sisplatin +
gemsitabin, sisplatin + dosetaksel dan karboplatin + paklitaksel. Efikasi masing masing
paduan dapat dilihat pada tabel 3.
31
Tabel 4. Efikasi hasil uji klinis komperatif empat doublet regiment pada KPKBSK
Kesimpulan dari uji klinis itu menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan pada
angka tahan hidup antara kontrol dengan paduan yang lainnya. 20,21
Meskipun bervariasi
tetapi toksisiti hematologi grade 3 dan 4 ditemukan pada semua paduan obat itu,
trombositopenia dan anemia lebih sering ditemukan pada paduan sisplatin + gemsitabin
dibandingkan dengan kontrol, mungkin karena gemsitabin diberikan setiap minggu
sehingga pasien lebih sering kontrol (hari 1, 8 dan 15 dalam siklus 28 hari). 22 Toksisiti
gastrointestinal lebih jarang ditemukan pada paduan karboplatin + paklitaksel, demikian
juga penggunaan antibiotik akibat infeksi pada pemberian kemoterapi.
32
Pemberian kemoterapi tunggal memberi CR antara 0- 70%, sedangkan pemberian paduan
obat memberikan CR antara 20-70%. Berdasarkan hasil penelitian, paduan obat seperti
tampak pada tabel 3 untuk penderita limited disease dan tabel 4 untuk penderita extensive
disease (ED_SCLC) diambil kesimpulan bahwa pemakaian obat kombinasi lebih terpilih
daripada obat tunggal. Limited disease ialah tumor terbatas pada satu hemitoraks dengan
atau tanpa penjalaran lokal dan atau tanpa kelenjar supraklavikula ipsilateral. Sedangkan
extensive disease lebih luas daripada itu, dan efusi pleura ganas termasuk ke dalam
kelompok ini.
33
Kira-kira 10% penderita karsinoma sel kecil telah menderita metastasis di susunan saraf
pusat (SSP) pada waktu diagnosis ditegakkan dan 20-50% akan memberikan metastasis
tersebut selama perjalanan penyakit. Pada penderita yang hidup lebih dari 2 tahun, 60-
80% penderita menderita metastasis ke otak. Sebagian besar obat yang digunakan pada
pengobatan karsinoma anaplastik sel kecil tidak dapat menembus sawar darah otak (blood
brain barrier). Prophilactic cranial radiotherapy (PCI) dapat menanggulangi hal ini, tetapi
berbagai penelitian menunjukkan tidak terdapat perpanjangan ketahanan hidup. Hal ini
disebabkan penderita yang mengalami metastasis di otak biasanya juga menderita
metastasis di tempat lain. Bila kemoterapi tidak dapat menanggulangi metastasis di tempat
lain tersebut, maka pemberian PCI tidak tampak manfaatnya. Oleh sebab itu PCI hanya
diberikan pada penderita yang memberikan complete respons pada kemoterapi.
Pada tahun 1998 Cancer Statistics melaporkan bahwa di Amerika ditemukan
45.000 kasus baru KPKSK. Respons terhadap kemoterapi KPKSK pada semua stage cukup
tinggi ( 65 % - 85 %), MTTH pada limited stage (LD-SCLC) yang diobati 10 – 15 bulan,
hanya 3 bulan jika tidak diobati, dan akan meningkat menjadi 12 – 20 bulan jika ditambah
dengan radiasi toraks. Angka tahan hidup pada extensive disease (ED_SCLC) jauh lebih
rendah yaitu 7 – 11 bulan jika diterapi dan hanya 1,5 bulan jika tidak diobati. 24
Penelitian
di Asia , MTTH penderita limited stage (LD-SCLC) yang mendapat kemoradioterapi 14,2
bulan (95% CI, 10,96 – 17,44) dan meningkat menjadi 16,9 bulan (95% CI, 11,83 –
21,97) pada yang mendapat tambahan PCI. Angka MTTH lebih rendah yaitu 8,17 bulan
(95%CI, 5,44 – 10,89) pada pasien extensive disease (ED_SCLC) yang mendapat
kemoradioterapi.
Penelitian tentang pemberian kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada karsinoma
sel kecil/ limited stage mendapatkan perbedaan hasil mengenai pengaruh terhadap
ketahanan hidup. Tetapi insidens relaps tumor tersebut berkurang. Di RS Persahabatan,
Jakarta kemoterapi pada KPKSK dilakukan dengan paduan obat siklofosfamid + vinkristin
+ adriamisin menurut anjuran UICC atau sisplatin + etoposid. Jumlah penderita jenis ini
tidak begitu banyak, lagipula yang mampu menyediakan obat masih amat terbatas. Karena
itu, hasil pengobatan masih belum dapat dinilai secara cermat. Tetapi terlihat 70%
penderita mengalami respons subjektif yang cukup nyata. Tampilan membaik pada 71,4%
34
dan 14,3% mengalami kenaikan berat badan. Efek samping berupa gangguan hemopoetik
dan gejala gastrointestinal terlihat pada semua kasus, 57% tidak mengalami kerontokan
rambut dan respons objektif terlihat pada 70% (ED-SCLC). Dua puluh lima persen
penderita hidup sampai 15 bulan dan masa tengah tahan hidup 2-5 bulan. Telah dilakukan
uji klinis beberapa jenis obat sitostatik baru untuk KPKSK seperti topotekan, irinotekan,
paklitaksel, dosetaksel, vinoralibin, dan gemsitabin.
Dengan mengutip sebagian dari hasil evaluasi 6 new agents kemoterapi untuk
KPKSK terlihat bahwa kemoterapi kombinasi secara bermakna meningkatkan respons.
Pemberian kombinasi kemoterapi dan radioterapi diharapkan dapat tercapai efek kuratif
untuk limited stage dan terlebih lagi jika dikuti dengan PCI.
Topotekana 2 mg/m2 39 10 39
Vinoralbind 30 mg/m2 27 NR NR
35
Catatan. (a) Schiller dkk,. (b). Ettinger dkk, (c) . Cormier dkk,. (d). Depierre
dkk, (e) Masuda dkk
Dari berbagai uji klinis itu terlihat bahwa penggunaan obat baru kemoterapi
pada KPKSK dapat memperpanjang angka tahan hidup. Efikasi kemoterapi irinotekan +
sisplatin tiap 28 hari sebanyak 6 siklus dan radiasi 50,6 Gy pada pasien limited stage
memberikan respons objektif 85%, MTTH 20.0 bulan dengan ATH-1 dan ATH-2
tahun yaitu 85% dan 35%.28 Efikasi kemoterapi gemsitabin + sisplatin tiap 21 hari
dengan siklus maksimal 6 pada extensive disease didapat objektif respons 53%, MTTH
8,8 bulan dengan ATH-1 tahun 27,5% dan ATH-2 tahun hanya 4%
36
BAB 4
KESIMPULAN
Efek samping kemoterapi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
dalam rangka pengobatan kanker, hal ini dikarenakan efek samping kemoterapi dapat
berakibat sangat fatal bahkan dapat berakhir dengan kematian. Efek samping kemoterapi
berbeda satu dengan lainnya, dimana akan bergantung pada jenis kemoterapi, cara
pemberian dan toleransi masing-masing penderita kanker.
JIka timbul toksisitas, dosis obat-obat yang diberikan perlu disesuaikan dan kalau
perlu dihentikan untuk sementara sampai toksisitas dapat diatasi. Pasien dengan toksisitas
derajat 1 atau 2 masih dapat dilanjutkan pemberian kemoterapi dengan pemberian obat-
obatan simptomatik untuk mengurangi keluhan efek samping. Sebaliknya, pasien dengan
derajat toksisitas 3 atau 4, maka kemoterapi harus dihentikan sementara dan dilakukan
perbaikan keadaan umum sampai kondisi klinis pasien stabil
37
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez JA, Scully RE, Miller TL, Armstrong FD, Constine LS, Friedman DL, et al. Long-
term effects of treatments for childhood cancers Curr Opin Pediatr 2007.
Feb; 19123–31.
Andrews P. L., Sanger G. J. Nausea and the quest for the perfect anti-emetic. Eur. J.
Pharmacol. 2014. 722, 108–121. 10.1016/j.ejphar.2013.09.072
ACS. (2019). Cancer Fact & Figure. Atlanta: American Cancer Society.
Alvarado-luna, G., & Morales-Espinosa, D. (2016). Treatment for Small cell Lung Cancer,
Where are we Now? a Review. Transl Lung Cancer Res , 26-38.
Baker, J., Ajani, J., Scotte, F., Winther, D., Martin, M., Aapro, M. S., et al. (2009).
Docetaxel-Related side effects and Their Management. European Journal Of
Oncology Nursing , 29-59.
Baldwin, E. L., & Osheroff, N. (2005). Etoposide, Topoisomerase II and Cancer. Curr Med
Chem , 363-372.
Chrischilles, E., Pandergast, J., Kahn, K., Wallace, R., Moga, D., Harrington, D., et al.
(2010). Adverse Events Among The Elderly receiving Chemotherapy for Advanced
Non Small Cell Lung Cancer. J Clin Oncol , 620-627.
Huang, C., Ju, D., Chang, C., Reddy, P., & Velmurugan, B. K. (2017). A review on the
effects of current chemotherapy drugs and natural agents in treating non–small cell
lung cancer. BioMedicine , 7 (4), 23.
Kalemkerian, G., Loo, B., Akerley, W., Attia, A., Bassetti, M., Boumber, Y., et al. NCCN
Guidelines Version 2.2018 Small Cell Lung Cancer. NCCN.
38
Malhotra, V., & Perry, M. C. (2003). Classical Chemotherapy. Cancer Biology & Therapy ,
S2-4.
Marupudi, N., Han, J. E., Li, K. W., Renard, V. M., Betty, M. T., & Henry, B. (2007).
Paclitaxel: a Review of Adverse Toxicities and Novel Delivery strategies. Expert
Opin Drug Saf , 609-621.
Muthu, V., Mylliemngap, B., Prasad, K. T., Behera, D., & Singh, N. (2091). Adverse Effect
Observed in Lung Cancer patients Undergoing First-Line Chemotherapy and
Effectiveness of suportive Care Drugs in Resource-Limited Setting. Lung India , 32-
37.
Oun, R., Moussa, Y. E., & Wheate, N. J. (2018). The Side Effect of Platinum Based
Chemotherapy drugs: a review for Chemist. Dalton Trans , 47, 6645-6653.
PDPI. (2018). Kanker Paru ; Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan . Jakarta: UI-
Press .
Siegel, R. L., Miller, K. D., & Jemal, A. (2018). Cancer statistics, 2018. CA Cancer J Clin ,
7-30.
Taşkın-Tok, T., & Gowder, S. (2014). Anticancer Drug — Friend or Foe. intechopen.
Thirumaran, R., Prendergast, G., & Gilman, P. (2007). Cytotoxic Chemotherapy in Clinical
Treatment of Cancer. Elsevier.
Toma, W., Kyte, S. L., Bagdas, D., Alkhlaif, Y., Alshari, S., Lichtman, A. H., et al. (2018).
Effect of Paclitaxel on the Develompment of Neuropathy and Affective Behaviors in
the Mouse. Neuropharmacology , 305-315.
Torre, L. A., Siegel, R. L., & Jemal, A. (2016). Lung Cancer Statistics. Adv Exp Med Biol ,
1-19.
39
Torrisi, J., Schwartz, L., Gollub, M., Ginsberg, M., Bosl, G., & Hricak, H. (2011). CT
Findings of Chemotherapy-Induced Toxicity : What Radiologist Need to Know About
The Clinical and Radiologic Manifestation of Chemotherapy Toxicity. RSNA .
Toschi, L., Finocchiaro, G., Bartolini, S., Gioia, V., & Cappuzzo, F. (2005). Role of
Gemcitabine in cancer Therapy. Future Oncology , 1 (1).
Yang, S., & Wang, Q. (2019). Emerging Therapies for Small Cell Lung Cancer. Journal of
Hematology & Oncology .
40
41
42