Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam era globalisasi sekarang ini, banyak pelaku usaha yang memiliki

keinginan mengembangkan usahanya, guna menghadapi persaingan dunia usaha

yang semakin ketat. Sekarang ini kita dituntut untuk dapat mengembangkan usaha

supaya usaha kita dapat maju dan besar serta menjadi pengusaha yang sukses.

Banyak cara yang dilakukan para pelaku usaha agar bisnisnya semakin besar.

Salah satu cara yang dilakukan para pelaku usaha untuk mengembangkan

bisnisnya adalah dengan melakukan penggabungan usaha. Richard E. Baker et al

(2015:9) menyatakan bahwa ada tiga jenis utama dari kombinasi bisnis secara

legal, yaitu:

 Legal merger (statutory merger –atau cukup disebut merger),

 Legal konsolidasi (Statutory consolidation –atau cukup disebut

konsolidasi), dan

 Akuisisi saham (Stock acquisition).

Legal merger (Statutory merger –atau cukup disebut merger), adalah

kombinasi bisnis dimana hanya akan ada perusahaan yang bertahan dari berbagai

perusahaan yang bergabung, dan perusahaan lainnya dibubarkan. Legal

konsolidasi (Statutory consolidation –atau cukup disebut konsolidasi) adalah

kombinasi bisnis dimana kedua perusahaan yang melakukan kombinasi bisnis

langsung dibubarkan dan asset serta liabilitas dari kedua perusahaan ditransfer ke
perusahaan yang baru dibentuk. Akuisisi saham (Stock acquisition) terjadi ketika

sebuah perusahaan mengakuisisi saham berhak suara perusahaan lain dan

perusahaan-perusahaan yang terlibat tersebut melanjutkan operasi perusahaannya

sebagai entitas legal terpisah, namun saling terkait. Karena tidak ada perusahaan

yang dilikuidasi, maka perusahaan yang mengakuisisi memperlakukan hak

kepemilikan yang diperoleh sebagai investasi. Dalam saham, perusahaan yang

mengambil alih tidak perlu mendapatkan seluruh saham perusahaan lain untuk

memperoleh pengendalian.

Puspitaningtyas (2012:2) mengatakan bahwa dalam rangka

melaksanakan kegiatan investasi, investor perlu mengambil keputusan investasi.

Keputusan investasi yang dimaksud ialah keputusan untuk membeli, menjual,

ataupun mempertahankan kepemilikan saham. Investor yang rasional akan

melakukan analisis dalam proses pengambilan keputusan investasi. Analisis yang

dilakukan antara lain dengan mempelajari laporan keuangan perusahaan, serta

mengevaluasi kinerja bisnis perusahaan. Tujuannya ialah keputusan investasi yang

diambil akan memberikan kepuasan (utility) yang optimal.

Bentuk dari investasi pada perusahaan salah satunya adalah saham.

Saham sendiri merupakan surat berharga yang menjadi bukti kepemilikan atas

suatu perusahaan. Apabila seseorang atau suatu entitas memiliki saham dari suatu

perusahaan, dapat dikatakan bahwa ia adalah pemilik dari suatu perusahaan,

sejauh seberapa besar jumlah kepemilikan saham yang ia miliki. Timbal balik

yang didapatkan dari investor dari saham yang ia miliki dari perusahaan adalah

dividen. Investor juga memilik hak keuntungan yang didapatkan dari kenaikan
nilai saham perusahaan. Bentuk saham sendiri dibedakan kedalam dua jenis, yaitu

saham biasa atau common stock, dan saham preferen atau preferred stock.

Menurut Nur Rohman dalam https://akuntanonline.com/perbedaan-saham-biasa-

dan-saham-preferen/, saham biasa merupakan sebuah sertifikat atau piagam yang

berfungsi sebagai bukti atas kepemilikan suatu perusahaan termasuk aspek-aspek

penting yang ada didalam perusahaan. Para pemegang atau pemilik saham akan

memperoleh hak untuk mendapatkan sebagian keuntungan tetap atau lebih dikenal

dengan istilah dividen dari perusahan serta juga memiliki kewajiban untuk

menanggung resiko atas kerugian yang kemungkinan terjadi dari perusahan

tersebut. Sedangkan saham preferen merupakan surat berharga yang dijual oleh

perusahaan dengan menunjukkan nilai nominal dalam bentuk rupiah, dolar, yen

dan sebagainya yang dapat memberi pengembangannya berupa pendapatan yang

tetap dalam bentuk deviden yang akan diterima setia tiga bulaan (kuartal).

Semakin besar kepemilikan saham pada perusahaan, semakin besar pula

pengaruh investor pada perusahaan. Setiap akhir periode atau menjelang tutup

tahun, perusahaan biasanya menyelenggarakan rapat umum bagi para pemegang

saham yang biasa disebut dengan Rapat Umum Pemegang Saham. Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS) menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah organ perseroan yang

mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan

Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau

anggaran dasar. Pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan

dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang


berhubungan dengan mata acara rapat dalam RUPS dan tidak bertentangan

dengan kepentingan Perseroan. M. Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum

Perseroan Terbatas, terbitan Sinar Grafika Edisi 2011, pada hal 341, menyatakan

bahwa mekanisme pengambilan keputusan diluar RUPS secara fisik dapat

dilakukan dengan:

 Mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua

pemegang saham, dan

 Usul tersebut, disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham.

Persetujuan dari seluruh pemegang saham, merupakan syarat mutlak keabsahan

keputusan di luar RUPS. Tidak boleh satu pemegang saham pun yang tidak setuju.

Jika terjadi hal yang seperti itu, mengakibatkan circular resolution tersebut tidak

sah.

Akuisisi saham dilakukan oleh suatu perusahaan terhadap perusahaan

yang lain, dengan membeli sebagian besar saham perusahaan tersebut, atau paling

tidak menguasai lebih dari 50% dari keseluruhan jumlah saham dari perusahaan

tersebut. Richard E. Baker, dkk (2015:11) menyatakan bahwa: “Bagi satu

perusahaan untuk mengendalikan perusahaan lain melalui kepemilikan saham,

hanya diperlukan kepemilikan mayoritas (kepentingan pengendali) yang

jumlahnya lebih dari 50% dari saham berhak suara yang beredar. Ketika satu

pemegang saham memegang kepemilikan mayoritas dalam saham berhak suara,

saham yang lain yang tersisa disebut dengan kepentingan nonpengendali

(noncontrolling interest).” Margaret dan Taufik Hidayat (dalam Christensen dkk:


2014), menyatakan ada tiga teori akuntansi yang menjadi dasar pembuatan

laporan keuangan konsolidasian, yaitu:

 Proprietary theory,

 Parent company theory, dan

 Entity theory.

Teori terkini yang dianut saat ini dan masih terus dipakai adalah entity

theory. Entity theory berfokus pada perusahaan sebagai satu entitas konsolidasian.

Walaupun perusahaan induk dan kepentingan nonpengendali dilaporkan secara

terpisah, keduanya merupakan bagian ekuitas dari entitas konsolidasian. Dengan

demikian, laba konsolidasian tidak dikurangi dengan laba kepentingan

nonpengendali dan kepentingan nonpengendali disajikan sebagai bagian dari

ekuitas konsolidasian. Perubahan atas teori yang dianut menyebabkan perubahan

ketentuan penyajian kepentingan nonpengendali dalam laporan posisi keuangan

(neraca) (untuk selanjutnya akan digunakan istilah laporan posisi keuangan).

Beisland: 2009, Laporan keuangan merupakan medium komunikasi utama antara

perusahaan dengan para stakeholder. Pada umumnya, investor saham

menganalisis laporan keuangan untuk mengetahui nilai mendasar suatu

perusahaan.

Sebelum adanya adopsi IFRS yang diterapkan dalam PSAK 4 (Revisi

2009), kepentingan nonpengendali disajikan di antara liabilitas dan ekuitas, tetapi

PSAK 4 (Revisi 2013) mengatur bahwa kepentingan nonpengendali disajikan

sebagai bagian dari ekuitas. Margaret dan Taufik Hidayat (dalam Mulford dan
Quinn: 2008 serta Deitrick: 2010) menemukan bahwa perubahan posisi penyajian

kepentingan nonpengendali memengaruhi perhitungan rasio-rasio keuangan,

misalnya rasio debt-to-equity. Margaret dan Taufik Hidayat (dalam So dan Smith:

2009) menemukan bahwa perubahan lokasi penyajian kepentingan nonpengendali

turut memengaruhi persepsi investor. Perbedaan persepsi investor terhadap lokasi

suatu item keuangan menyebabkan sebagian investor harus melakukan

penyesuaian terlebih dahulu ketika melakukan analisis atas laporan keuangan dan

sebagian investor langsung mempertimbangkan perubahan penyajian tersebut

dalam analisisnya.

Atas dasar itu saya ingin menguji bagaimana persepsi investor terhadap

perubahan penyajian kepentingan nonpengendali dalam laporan keuangan

konsolidasian sebelum dan sesudah berlaku efektifnya PSAK 4 (Revisi 2013).


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah saya uraikan diatas, maka dapat

diambil suatu perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana persepsi investor terhadap perubahan penyajian kepentingan

nonpengendali sebelum dan sesudah berlaku efektifnya PSAK 4 (Revisi

2013)?

2. Apakah dengan adanya perubahan penyajian kepentingan nonpengendali

sebelum dan sesudah berlaku efektifnya PSAK 4 (Revisi 2013) ini

memberikan dampak pada harga saham perusahaan?

1.3 Tujuan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka

tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji persepsi investor terhadap perubahan penyajian kepentingan

nonpengendali sebelum dan sesudah berlaku efektifnya PSAK 4 (Revisi

2013)

2. Untuk memahami dampak perubahan penyajian kepentingan nonpengendali

sebelum dan sesudah berlaku efektifnya PSAK 4 (Revisi 2013) ini terhadap

harga saham perusahaan.


1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan mampu memberikan wawasan

mengenai penerapan teori dilapangan dengan yang sudah dipelajari di dalam

perkuliahan, sekaligus menambah wawasan mengenai pengaruh perubahan

penyajian kepentingan nonpengendali sebelum dan sesudah berlaku efektifnya

PSAK 4 (Revisi 2013) ini terhadap harga saham perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai