Anda di halaman 1dari 49

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK-PIHAK

YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERSEROAN


DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN
2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

A. Pendahuluan
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut
diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang
berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang
menyeluruh.
Pembangunan yang dilaksanakan negara Indonesia mencakup dalam
segala bidang kehidupan bangsa. Pembangunan di bidang hukum diarahkan
pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mencakup pembangunan
materi hukum, aparatur hukum, serta sarana prasarana hukum. Pembangunan
di bidang hukum tersebut dilakukan dalam rangka pembangunan negara
hukum serta untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dan
tenteram. Kelangsungan dan berhasilnya pembangunan nasional sangat
bergantung pada berbagai macam faktor. Di bidang hukum misalnya faktor
yang sangat dominan bagi keberhasilan pembangunan hukum di Indonesia
adalah kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat.
Perkembangan zaman sudah semakin maju. Hal ini menyebabkan
kompetisi di dunia usaha makin meningkat. Negara Indonesia merupakan
negara berkembang yang menitikberatkan peningkatan pembangunan di
segala bidang. Dewasa ini arah dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh

1
pemerintah pada dasarnya bertumpu pada Trilogi pembangunan, dengan
penekanan pada segi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, disamping
usaha mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas
nasional yang mantap. Pengembangan dunia usaha merupakan salah satu
faktor yang ikut menentukan berhasil tidaknya pembangunan. Arah
pembangunan di sektor ekonomi merupakan kewajiban pemerintah dalam
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam rangka pengembangan dunia
usaha dan penciptaan iklim usaha yang baik yang mendorong kearah
pertumbuhan.
Awal dekade 1990-an, banyak perusahaan-perusahaan Indonesia
yang mengencangkan ikat pinggang. Banyak yang terpaksa memangkas
perusahaannya atau bahkan ada pula yang terpaksa melego perusahaan ke
pihak lain atau tutup sama sekali. Sehingga dewasa ini istilah restrukturisasi
perusahaan menjadi populer. Restruksturisasi perusahaan di Indonesia
umumnya terjadi karena ingin mengembangkan usahanya, sebelumnya
perusahaan telah over ekspansi, selain itu juga karena terlilit hutang yang
membengkak, dan mengembangkan usahanya dalam waktu yang relatif
singkat sehingga diperlukan efisiensi.
Dengan restrukturisasi, umumnya yang menjadi titik fokus adalah
peningkatan efisiensi, yakni agar pengeluaran biaya sehari-hari lebih kecil,
dan tentu juga diharapkan dana dari hasil penjualan perusahaan saham, atau
memperbaiki kinerja perusahaan. Dalam era pasar bebas, persaingan usaha di
antara perusahaan-perusahaan yang ada semakin ketat. Kondisi demikian
menuntut perusahaan untuk selalu mengembangkan strategi perusahaan agar
dapat bertahan atau bahkan lebih berkembang. Untuk itu perusahaan perlu
mengembangkan suatu strategi agar perusahaan bisa mengembangkan
eksistensinya dan memperbaiki kinerjanya. Strategi yang tepat dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan perusahaan ditempuh adalah dengan melakukan
ekspansi baik itu internal maupun eksternal. Internal dilakukan dengan
menambah kapasitas produksi atau membangun divisi bisnis yang baru.
Sedangkan ekspansi eksternal dapat dilakukan salah satunya dalam bentuk

2
penggabungan usaha. Penggabungan (merger) sebenarnya hanyalah salah satu
metode untuk melakukan restrukturisasi perusahaan disamping-bentuk-bentuk
lainnya. Merger menjadi trend dalam suatu usaha yang ingin memperluas
usahanya.
Pada dasarnya merger adalah suatu keputusan untuk
mengkombinasikan/menggabungkan dua atau lebih perusahaan (perseroan)
menjadi satu perusahaan baru. Dalam konteks bisnis, merger adalah suatu
transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi menjadi satu unit
ekonomi yang baru. Proses merger umumnya memakan waktu yang cukup
lama, karena masing-masing pihak perlu melakukan negosiasi, baik terhadap
aspek-aspek permodalan maupun aspek manajemen, sumber daya manusia
serta aspek hukum.
Dalam dunia bisnis Indonesia ternyata merger telah berkembang
pesat dan cukup dominan dipilih oleh raksasa-raksasa bisnis di Indonesia.
Menurut data statistik Bursa Efek Jakarta, sebelum krisis moneter antara
tahun 1995-1997 perusahaan go public tercatat kurang lebih sebanyak 259
perusahaan dan yang melakukan penggabungan usaha kurang lebih 57
perusahaan dan pada saat itu Indonesia belum mengalami krisis moneter.
Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan penggabungan usaha antara lain
adalah untuk mengatasi maslah finansial, memperluas jangkauan usaha,
memperkuat sumber daya dan mengurangi tingkat persaingan diantara sesama
perusahaan (http://www.skripsi-tesis.com/07/05/pengaruh-penggabungan-
usahaterhadap-harga-dan-volume-perdagangan-saham-pada-perusahaan-
yang-go-publpasca-krisis-moneter-pdf-doc.htm).
Menurut Munir Fuady (2002: 6) dalam menjalankan suatu proses
restrukturisasi perusahaan, ada beberapa karakteristik yaitu sebagai berikut:
1. Adanya kebutuhan dana baru yang akan digunakan untuk modal kerja dan
rehabilitasi properti.
2. Ditemukan dan diminimalkan sebab-sebab kegagalan operasi dan
kegagalan managerial dari perusahaan yang direkstrukturisasi.
3. Adanya kegagalan dari perusahaan tersebut, baik karena
ketidakmampuannya menunaikan kewajiban finansialnya pada saat jatuh
tempo ataupun karena jumlah kewajiban finansialnya melebihi asset-

3
asetnya. Karena itu haruslah dirombak sifat dan jumlah dari kewajiban
finansial perusahaan tersebut. Selanjutnya dalam setiap tindakan
reorganisasi suatu perusahaan, haruslah berkiblat kepada performance
perusahaan yang lebih baik di masa depan setelah reorganisasi. Dengan
kata lain bahwa tindakan reorganisasi perusahaan haruslah feasible. Untuk
itu tindakan reorganisasi tersebut haruslah dapat meningkatkan earning
power (pendapatan) dari perusahaan yang bersangkutan.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas


merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas yang dikenal dengan UUPT, merupakan tonggak sejarah
tentang penggabungan perusahaan atau dikenal dengan istilah merger. Merger
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan untuk mencapai sasaran strategis dan
sasaran finansial tertentu. Merger melibatkan penggabungan dua organisasi/
perusahaan atau lebih yang seringkali berbeda dari segi karakter dan nilainya.
Sukses dari suatu merger akan sangat tergantung dari seberapa baik kedua
organisasi/ perusahaan diintegrasikan. Ada berbagai macam pihak yang
berkepentingan pada perusahaan yang melakukan merger, yang memiliki
kepentingan atas berhasilnya suatu merger. Mereka yang berkepentingan
adalah para pemegang saham, para karyawan, dan perekonomian secara luas (
Adrian Sutedi, 2007 : 83).

Alasan perusahaan lebih tertarik memilih merger sebagai strateginya


daripada pertumbuhan internal adalah karena merger dianggap jalan cepat
untuk mewujudkan tujuan perusahaan dimana perusahaan tidak perlu
memulai dari awal suatu bisnis baru. Merger juga dianggap dapat
menciptakan sinergi, yaitu nilai keseluruhan perusahaaan setelah merger
yang lebih besar daripada penjumlahan nilai masing-masing perusahaan
sebelum merger. Selain itu merger memberikan banyak keuntungan bagi
perusahaan antara lain peningkatan kemampuan dalam pemasaran, riset, skill
manajerial, transfer teknologi, dan efisiensi berupa penurunan biaya produksi
(www.pustaka.net).

4
Salah satu unsur yuridis terpenting dalam suatu penggabungan
perusahaan (merger) adalah unsur fairness (adil). Jadi, merger haruslah
dilaksanakan secara adil. Adil disini adalah adil bagi semua pihak. Dengan
adanya tindakan penggabungan (merger), ada pihak-pihak tertentu yang
tergolong lemah/ kecil yang kedudukannya menjadi riskan. Karena itu, adalah
menjadi tugas sektor hukum untuk menjaga keadilan dengan melindungi
pihak-pihak yang lemah tersebut.

B. Rumusan Masalah
Pokok Permaslaahan dalam penulisan makalah ini adalah Sejauh
manakah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
memberikan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang lemah dalam
penggabungan perseroan?

C. Pembahasan
1. Bentuk Perlindungan Hukum Pihak–Pihak Yang Lemah Dalam
Penggabungan Perseroan
a. Dari Segi Finansial

Pihak pemegang saham minoritas pada umumnya berada pada


posisi yang lemah dikarenakan salah satu atau lebih dari faktor-faktor
antara lain yaitu: kurangnya ketentuan hukum yang mengatur tentang
perlindungan pemegang saham minoritas dalam suatu perseroan
terbatas, selain itu juga karena pemegang saham minoritas umumnya
dalam posisi yang lemah karena kurangnya modal, pengetahuan,
ketrampilan, dan kemampuan untuk mengelola perusahaan (Misahardi
Milaharta, 2002: 88).
Bagi pemegang saham mayoritas seringkali pihak pemegang
saham minoritas ibarat duri dalam daging, terutama ketika perusahaan
sudah mulai berkembang. Dalam hubungannya dengan pihak pemegang

5
saham minoritas, pihak pemegang saham mayoritas mempunyai
berbagai kepentingan, antara lain :

1. Pihak mayoritas berniat untuk menanam lebih banyak lagi uang


dalam perusahaan/perseroan tersebut, tetapi pemegang saham
mayoritas segan untuk mempertaruhkan uangnya jika ada pihak lain
dalam perusahaan/perseroan tersebut.
2. Pemegang saham mayoritas melalui direksi yang diangkatnya
bekerja cukup keras untuk membesarkan perusahaan, sedangkan
pemegang saham minoritas umumnya diam saja, tetapi dia ikut
menikmati hasil dari perusahaan atas jerih payah pemegang saham
mayoritas tersebut.
3. Pihak pemegang saham mayoritas cenderung membeli saham dari
pihak minoritas pada saat harga masih rendah, tidak masuk akal jika
pembelian saham tersebut dilakukan pada saat sahamnya menjadi
mahal, dimana mahalnya saham tersebut juga akibat kerja keras dari
pemegang saham mayoritas lewat direksi yang di nominasinya.
4. Pihak pemegang saham mayoritas cenderung tidak terlalu terbuka
kepada pemegang saham minoritas berkenaan dengan keadaan
finansial perusahaannya, agar pihak minoritas tidak memprotes
penggunaan pemasukan perusahaan yang dianggap kurang layak,
seperti membayar gaji dan bonus yang terlalu besar. Lagipula, jika
keadaan keuangan perusahaan berkembang baik, maka membuka
informasi kepada pihak minoritas akan cenderung membuat
pemegang saham minoritas menjual sahamnya kepada pihak
mayoritas dengan harga yang mahal, jika nantinya pihak mayoritas
ingin membeli saham tersebut.

Dalam UUPT kita banyak mengadopsi doktrin-doktrin hukum


modern yang berlaku secara universal di bidang korporasi. Diantara
yang berkaitan dengan perlindungan hukum pemegang saham minoritas
perseroan terbatas adalah piercing the corporate veil, ultra vires, dan

6
fiduciary duty yang mempunyai tujuan utama yang sama yaitu untuk
melindungi kepentingan pihak stakeholder, termasuk pemegang saham
minoritas.

1. Doktrin Piercing The Corporate Veil

Piercing the corporate veil terdiri dari kata-kata : “pierce”


yang artinya menyobek/ mengoyak/ menembus, dan veil, yang
diartikan kain/ tirai/ kerudung dan corporate, yang artinya
perusahaan. Jadi secara harfiah istilah piercing the corporate veil
berarti menyingkap tirai perusahaan. Sedangkan dalam ilmu
hukum perusahaan merupakan suatu prinsip/ teori yang diartikan
sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak
orang lain, oleh suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh
perusahaan pelaku, tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan
tersebut sebenarnya dilakukan oleh perusahaan pelaku tersebut
(Munir Fuady, 2005:8). Penerapan prinsip ini mempunyai misi
utama, yaitu untuk mencapai keadilan khususnya bagi pihak
pemegang saham minoritas dan pihak ketiga yang mempunyai
hubungan tertentu dengan pihak perusahaan. Black laws dictionary
mendefinisikan piercing the corporate veil seperti dikutip Munir
Fuady sebagai berikut :

Piercing the corporate veil. Juducial process whereby court will


disregard usual immunity of corporate officers or entities from
liability for corporate activates : e.g. when incorporation was for
sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine which holds that
the corporate structure with its attendant limited imposed on
stockholder, officer and directors in the case of fraud. The court,
however, may look beyond the corporate from only for the defeat
of fraud or wrong or remedying of injustice (Munir Fuady,
2002:12).

Dari pengertian Piercing the corporate veil yang


dikemukakan Black law dictionary bisa disimpulkan bahwa

7
struktur perusahaan dengan tanggung jawab terbatas dapat
mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat
perusahaan dan direksi dalam kasus kejahatan tersebut artinya
bahwa apabila dalam suatu perusahaan terjadi kejahatan yang
sengaja dilakukan oleh organisasi perusahaan tersebut dengan
maksud dan tujuan yang merugikan perusahaan maka tanggung
jawab yang melekat pada pemegang saham, pejabat perusahaan,
dan direktur perusahaan dapat dikesampingkan, artinya apabila ada
kejahatan yang dilakukan oleh organisasi perusahaan maka pihak
yang dirugikan termasuk pemegang saham minoritas dapat
menuntut pelaku kejahatan untuk menanggung semua kerugian
yang timbul. Sebagai ilustrasi apabila perusahaan rugi maka
pemegang saham hanya menanggung kerugian sebesar saham yang
disetor, namun dalam hal ini apabila terjadi kejahatan yang
disengaja maka pemegang saham minoritas dapat melakukan upaya
hukum untuk tetap mendapatkan bagian dari perusahaan tersebut.

Dari pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa


Piercing the corporate veil yaitu sistem yang merupakan
perwujudan prinsip keadilan sebagaimana misi utama dari prinsip
ini yakni untuk melindungi kepentingan pemegang saham
minoritas dan pihak ketiga yang dirugikan oleh kebijakan
perusahaan yang merugikan.

2. Doktrin Fiduciary Duty

Di era sebelum berlakunya UUPT baik Undang-undang No.


40 Tahun 2007 maupun UUPT terdahulu yaitu Undang-undang
No. 1 Tahun 1995, jelas bahwa hukum indonesia tidak menganut
prinsip Fiduciary Duty. hal ini disebabkan KUHD Indonesia
merupakan penjelmaan dari KUHD Belanda dimana KUHD
Belanda diambil dari Perancis setelah Code Napoleon.

8
Sebagaimana diketahui bahwa Code Napoleon tidak mengakui
adanya prinsip fiduciary duty/ trustee ini. Hubungan antara direksi
dengan perseroan yang dipimpinnya dalam sistem hukum Eropa
Kontinental adalah hubungan hukum keagenan atau pemberian
kuasa. Jadi bukan hubungan fiduciary yang menimbulkan fiduciary
duty. Setelah berlakunya UUPT, banyak teori hukum yang semula
tidak ada atau tidak berlaku diadopsi dan diberlakukan di Indonesia
, termasuk teori fiduciary duty ini yang juga ikut diberlakukan oleh
UUPT tersebut.
Istilah fiduciary duty berasal dari dua kata, yaitu : fiduciary,
dan duty, istilah duty banyak dipakai dimana-mana, yang berarti
tugas. Istilah fiduciary berasal dari bahasa latin yaitu fiduciarius
dengan akar kata fiducia yang berarti kepercayaan atau dengan
kata fidere yang berarti mempercayai, sehingga dengan istilah
fiduciary diartikan sebagai “memegang suatu kepercayaan” atau
“seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk
kepentingan orang lain”. Misalnya di bidang bisnis seseorang
dikatakan mempunyai tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala
bisnis yang ditransaksikannya atau uang atau properti yang
dihandel bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya,
melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain itu
dimana orang lain tersebut memiliki kepercayaan yang besar (great
trust) kepadanya. Sementara itu di lain pihak ia wajib mempunyai
itikad baik yang tinggi (high degree of faith) dalam menjalankan
tugasnya (Munir Fuady, 2002:33). Chatamarrasjid menyatakan,
direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukan
yang diperolehnya berdasarkan dua prinsip dasar, yaitu pertama,
kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty)
dan kedua duty of skill and care (Chatamarrasjid Ais, 2000:220)
Berdasarkan pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan
pengertian Fiduciary Duty adalah kepercayaan penuh yang

9
diberikan oleh pemegang saham secara keseluruhan untuk
mengelola perusahaan ataupun untuk menjalankan tugas-tugas
tertentu seperti tugas direksi, komisaris, dan bertanggung jawab
secara penuh atas segala tindakannya yang menimbulkan kerugian
bagi perusahaan. Sehingga penerima kepercayaan mempunyai
tanggung jawab kepada pemegang saham. Dalam hubungannya
dengan perlindungan kepada pemegang saham minoritas adalah
adanya suatu jaminan kerugian yang timbul karena kesalahan
organ perseroan yang merugikan pemegang saham secara
keseluruhan, umumnya pemegang saham minoritas yang seringkali
menjadi objek tindakan kesewenang-wenangan.
3. Doktrin Ultra Vires

Blacks law Dictionary mendefinisikan ultra vires seperti


dikutip dari Munir Fuady sebagai : “ ultra vires. Acts beyond the
scope of the power of a corporation, as defined by its charter or
laws of state of incorporation” (suatu tindakan yang dilaksanakan
tanpa wewenang, tindakan-tindakan tersebut di luar wewenang
yang ada sesuai anggaran dasar atau hukum perusahaan) (Munir
Fuady, 2002:48). Di dalam KUHD, prinsip ultra vires ini terdapat
dalam Pasal 45 KUHD : “ Tanggung jawab para pengurus adalah
tidak lebih daripada untuk menunaikan tugas yang diberikan
kepada mereka dengan sebaik-baiknya, merekapun karena segala
perikatan dari perseroan, dengan sendiri tidak terikat kepada pihak
ketiga”.
Berbeda dengan KUHD yang mengatur secara tegas prinsip
ultra vires ini, UUPT menyerahkan sepenuhnya pengaturan prinsip
ultra vires ini di dalam anggaran dasar, yaitu di dalam Pasal 98
Ayat (2) UUPT : “Dalam hal anggota direksi terdiri lebih dari 1
(satu) orang, yang berwenang mewakili adalah setiap anggota
direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Prinsip ini

10
merupakan suatu kebebasan organ perseroan dalam menjalankan
tugasnya. Sepanjang tidak keluar dari pranata-pranata yang telah
diatur sebelumnya baik oleh undang-undang maupun anggaran
dasar perseroan.
Hak pemegang saham Menurut Sumantoro dalam bukunya
Nindyo Pramono berjudul “Sertifikasi Saham PT Go Publik dan
Hukum Pasar Modal di Indonesia”, secara umum dapat disebutkan
bahwa hak-hak pemegang saham itu berkaitan dengan antara lain :

1. Hak untuk mengeluarkan suara


2. Hak untuk mengetahui jalannya perusahaan
3. Hak untuk menerima keuntungan
4. Hak untuk memeriksa pembukuan perusahaan
5. Hak-hak yang berhubungan dengan likuiditas perusahaan
6. Hak untuk menentukan pengurusan perusahaan (Nindyo
Pramono, 2001:93).

Sebagaimana dikemukakan diatas, ketujuh hak diatas seharusnya


menjadi hak seluruh pemegang saham baik mayoritas maupun
minoritas, sehingga tidak ada kesenjangan dalam hal menentukan
arah kebijakan perusahaan.

Salah satu unsur yuridis terpenting dalam suatu merger


adalah unsur keadilan (fairness). Jadi merger haruslah dilakukan
secara adil. Adil disini adalah adil bagi semua pihak, termasuk adil
bagi pemegang saham minoritas, di samping kepada stakeholders
lainnya. Secara umum yang dimaksud dengan asas keadilan adalah
kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Namun bila dikaitkan dengan upaya perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas maka asas keadilan yang dimaksud
adalah perlakuan yang adil terhadap pemegang saham mayoritas
dan pemegang saham minoritas. Dalam bidang hukum perusahaan
nilai keadilan merupakan tujuan yang paling utama sehingga

11
perangkat hukum tentang perlindungan hukum terhadap pemegang
saham minoritas juga harus dititikberatkan kepada usaha
pencapaian keadilan.

Keadilan (fairness) merupakan salah satu prinsip-prinsip


Good Corporate Governance. Prinsip Good Corporate Governance
merupakan akar dari hukum perusahaan dan telah menjadi salah
satu bahasan penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
yang sehat dan terarah. Istilah Good Corporate Governance pada
dasarnya digunakan untuk suatu konsep lama di bidang hukum
perusahaan yakni kewajiban fiduciary dari mereka yang
mengontrol perusahaan untuk bertindak bagi kepentingan seluruh
pemegang saham dan stakeholder. Prinsip Good Corporate
Governance merupakan prinsip dalam hukum perusahaan yang
telah diterima secara internasional. Meskipun penerapannya
berbeda di tiap-tiap negara, tergantung dari penekannya masing-
masing.

Definisi Good Corporate Governance menurut Forum for


corporate governance in Indonesia ( FCGI) seperti yang dikutip I
Nyoman Tjager sebagai berikut:

Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang


saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal
dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang
mengendalikan penuh perusahaan. Tujuan corporate governance
adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholder), (I Nyoman Tjager, 2003:45).

Berdasarkan pengertian Good Corporate Governance oleh


FCGI, intinya prinsip Good Corporate Governance meliputi empat
unsur dasar yang harus dibangun dalam kerangka pengaplikasian
Good Corporate Governance itu sendiri yakni: Keadilan,

12
Transparansi, Akuntabilitas, dan Responsibilitas (Widi Astuti,
2006:67). Melalui unsur-unsur inilah maka prinsip Good Corporate
Governance dapat memberikan perlindungan hukum terhadap
pemegang saham minoritas.
Menurut Christian Hedinata, penerapan prinsip-prisip Good
Corporate Governance merupakan upaya agar terciptanya
keseimbangan antar kepentingan dari para stakeholder yaitu
pemegang saham mayoritas, pemegang saham minoritas, kreditor,
manajemen perusahaan, karyawan perusahaan, suppliers,
pemerintah, konsumen dan tentunya para anggota masyarakat yang
merupakan indikator tercapainya keseimbangan kepentingan,
sehingga benturan kepentingan yang terjadi dapat diarahkan dan
dikontrol serta tidak menimbulkan kerugian bagi masingmasing
pihak (Christian Hedinata, 2008:1).
Beberapa aspek penting dari Good Corporate Governance
yang perlu dipahami beragam kalangan di dunia bisnis, yakni;
1. Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan
di antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komisaris,
dan direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang berkaitan
dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga
organ perusahaan tersebut (keseimbangan internal).
2. Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas
bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Tanggung
jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan
hubungan antara perusahaan dengan stakeholders
(keseimbangan eksternal). Di antaranya, tanggung jawab
pengelola / pengurus perusahaan, manajemen, pengawasan, serta
pertanggungjawaban kepada para pemegang saham dan
stakeholders lainnya.
3. Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi
yang tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai
perusahaan. Kemudian hak berperan serta dalam pengambilan
keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan
mendasar atas perusahaan serta ikut menikmati keuntungan yang
diperoleh perusahaan dalam pertumbuhannya.
4. Adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham,
terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing
melalui keterbukaan informasi yang material dan relevan serta

13
melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa
menguntungkan orang dalam (insider information for insider
trading) (www.madaniri.com).

Karena merger rentan terhadap kerugian pihak pemegang


saham minoritas, maka Undang-Undang Perseroan Terbatas sangat
mewanti-wanti agar tindakan merger tersebut benar-benar
memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas tersebut.
Untuk mengimplementasi unsur keadilan (fairness) dalam tindakan
merger, Undang-Undang Perseroan Terbatas secara eksplisit
memberikan hak-hak kepada pemegang saham minoritas, yaitu
sebagai berikut:
1. Hak untuk diperhatikan kepentingannya, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Perseroan
Terbatas.

Pasal 126 (1):


Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan,
atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Dalam hubungannya dengan penggabungan (merger),


penjelasannya menyatakan bahwa penggabungan tidak dapat
dilakukan apabila akan merugikan pihak-pihak tertentu. Selain
itu harus dicegah kemungkinan terjadinya monopoli atau
monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat.
Model pengaturan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1971 yang
mengubah Pasal 54 KUHD, memberlakukan prinsip one share
one vote, suatu prinsip yang menempatkan pihak pemegang
saham minoritas sebagai pihak yang rawan eksploitasi. Hanya
dalam hal-hal tertentu saja, yakni dalam hal-hal yang termasuk
ke dalam dangerous area, diberikan perhatian khusus oleh
hukum untuk melindungi pihak pemegang saham minoritas

14
( Munir Fuady, 2005: 138). Perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas dalam hal seperti ini, dilakukan dengan
memperkenalkan prinsip special vote, yang operasionalisasinya
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Prinsip Silent Majority

Dalam hal ini, pemegang saham mayoritas


diwajibkan abstain dalam Voting. Salah satu versi dari
prinsip Silent Majority ini adalah sistem pemilihan berlapis,
yang misalnya berlaku bagi perseroan terbuka, yang
diperkenalkan oleh Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-
01/PM/1993, tanggal 29 Januari 1993, yang telah diganti
dengan Peraturan Bapepam No.04/PM/1994, tanggal 7
Januari 1994 (http://Idilvictor.blogspot.com). Prinsip
pemilihan berlapis ini dioperasionalisasikan dengan cara
pelaksanaan dua kali voting. Pada voting pertama hanya
pemegang saham tidak berbenturan kepentingan/ pemegang
saham minoritas yang boleh melakukan voting, sementara
pemegang saham yang berbenturan kepentingan/
pemaegang saham mayoritas hanya boleh meneruskan rapat
jika keputusan pemegang saham tidak berbenturan
kepentingan/ pemegang sahm minoritas menerima usulan
yang bersangkutan, yaitu usulan untuk melakukan transaksi
yang berbenturan kepentingan.
b. Prinsip Super Majority

Dalam hal super majority ini, voting yang dilakukan


dalam Rapat Umum Pemegang Saham mensyaratkan lebih
dari sekedar simple majority (51%) untuk dapat
memenangkan voting. Keputusan dari rapat tidak dapat
diambil jika suara yang setuju kurang dari jumlah
persentase tersebut. Dalam prakteknya, Anggaran Dasar

15
Perseroan terbatas yang standar umumnya memberlakukan
prinsip super majority dalam hal-hal tertentu yang mungkin
menjadi krusial bagi seluruh pemegang saham, termaasuk
yang minoritas. Undang-Undang Perseroan Terbatas
memberlakukan prinsip super majority, baik dalam hal-hal
yang ditentukan sendiri dalam anggaran dasar perseroan
(Pasal 87 ayat (2)), ataupun terhadap kegiatan-kegiatan
yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya jika
perseroan melakukan kegiatan-kegiatan yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya jika perseroan
melakukan tindakan berupa perubahan anggaran dasar
(Pasal 88), merger, akuisisi, konsolidasi, kepailitan,
likuidasi (Pasal 89), atau pembelian kembali saham (Pasal
38).

Pasal 87
(1) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah
untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk
mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari
1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang
dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran
dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika
disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.
Pasal 88
(1) RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat
dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua
pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan
adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga)
bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali
anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau
ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang
lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diselenggarakan
RUPS kedua.

16
(3) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah
dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat
paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili
dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara
yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan
kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang
pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat
(5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis
mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) mengenai kuorum kehadiran dan
ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang
tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal.

Pasal 89
(1) RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan
permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit,
perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan
pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam
rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan
tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS
yang lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan RUPS
kedua.
(3) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah
dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili
dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui
oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan

17
tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS
yang lebih besar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat
(5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis
mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) mengenai kuorum kehadiran dan/atau
ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang
tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal.
Pasal 38
(1) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) atau pengalihannya lebih lanjut
hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS,
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
(2) Keputusan RUPS yang memuat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila
dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan
rapat, kuorum, dan persetujuan jumlah suara untuk
perubahan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

Di samping perlindungan pemegang saham minoritas dalam


hubungan dengan pranata merger, yaitu berupa pemberlakuan
prinsip special vote dan prinsip super majority, masih ada usaha-
usaha lain dalam ilmu hukum perusahaan untuk melindungi
pemegang saham minoritas, misalnya apa yang disebut dengan hak
appraisal, derivative suit, fair dealing, dan sebagainya. Undang-
undang perseroan terbatas memberikan hak kepada pemegang
saham minoritas untuk menjual harga sahamnya dengan harga
yang wajar/ pantas jika terjadi merger (Pasal 62). Di samping itu,
pemegang saham minoritas dapat juga mengajukan ke pengadilan
pihak perseroan ( Pasal 61 ayat (1)), anggota direksi dan komisaris
( Pasal 80 ayat 1), Pasal 97 ayat (6), (Pasal 114 ayat (6)), atau
meminta pengadilan untuk melakukan pemeriksaan kedalam
perseroan ( Pasal 138, 139, 140).

18
Pasal 62
(1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar
sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang
bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan
pemegang saham atau Perseroan, berupa:
a. perubahan anggaran dasar;
b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang
mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan
bersih Perseroan; atau
c. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.

(2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham
oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli
oleh pihak ketiga.

Pasal 61
(1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan
Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai
akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Perseroan.

Pasal 80 (1):
Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan
pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang meminta
penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon
melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

Pasal 97 ayat (6):

Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota
Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan
kerugian pada perseroan.

Pasal 114 ayat (6):


Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak

19
suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena
kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke
pengadilan negeri.
Pasal 97 ayat 6 dan Pasal 114 ayat (6) diatas merupakan
derivative suit yang telah diberikan UUPT kepada pemegang saham
minoritas perseroan. Derivative suit berarti gugatan yang berdasarkan
pada hak utama (primary right) dari perseroan, tetapi dilaksanakan oleh
pemegang saham atas nama perseroan, atau dengan kata lain derivative
suit merupakan gugatan yang dilakukan oleh para pemegang saham
untuk dan atas nama perseroan. Jadi, jika dalam gugatan biasa, direksi
yang mewakili perseroan, tetapi dalam gugatan derivatif, justru
pemegang sahamlah yang mewakili perseroan. Dalam gugatan derivatif
ini pihak tergugat adalah direksi perseroan atau bisa jadi perseroan itu
sendiri dalam statusnya sebagai badan hukum yang bisa menjadi subjek
hukum perdata.
Pasal 138
(1) Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan
bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang
merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan
melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang
saham atau pihak ketiga.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya
ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Perseroan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan
oleh :
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling
sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara;
b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan,
anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan
diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan;
atau
c. kejaksaan untuk kepentingan umum.

20
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan
setelah pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan
kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan tidak memberikan
data atau keterangan tersebut.
(5) Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang
Perseroan atau permohonan pemeriksaan untuk mendapatkan data
atau keterangan tersebut harus didasarkan atas alasan yang wajar
dan itikad baik.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) huruf a,
dan ayat (4) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal menentukan lain.

Pasal 139
(1) Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau mengabulkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.
(2) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menolak permohonan apabila permohonan tersebut tidak
didasarkan atas alasan yang wajar dan/atau tidak dilakukan dengan
itikad baik.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan, ketua pengadilan negeri
mengeluarkan penetapan pemeriksaan dan mengangkat paling
banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan pemeriksaan dengan
tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan.
(4) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan
Perseroan, konsultan, dan akuntan publik yang telah ditunjuk oleh
Perseroan tidak dapat diangkat sebagai ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(5) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memeriksa
semua dokumen dan kekayaan Perseroan yang dianggap perlu oleh
ahli tersebut untuk diketahui.
(6) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua
karyawan Perseroan wajib memberikan segala keterangan yang
diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
(7) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib merahasiakan hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan.

Pasal 140
(1) Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 kepada ketua pengadilan negeri dalam
jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam penetapan pengadilan
untuk pemeriksaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil
pemeriksaan kepada pemohon dan Perseroan yang bersangkutan
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima.

21
Selain UUPT, mengenai perlindungan hukum bagi pemegang
saham minoritas dalam merger juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1998 Tanggal 24 Februari 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Hal ini termuat dalam Pasal 4 ayat (1):
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan
dengan memperhatikan:
a. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan
perseroan yang bersangkutan;
b. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan
usaha.

2. Hak Appraisal

Secara historis, lahirnya hak appraisal ini lahir karena adanya


kebutuhan yang dilatarbelakangi oleh hukum perseroan pada abad
kesembilanbelas. Hukum perseroan pada saat itu menyatakan, bahwa
terhadap setiap tindakan korporat penting dalam perseroan seperti
penggabungan diperlukan persetujuan dari seluruh pemegang saham
(100%) suara. Karena itu, agar terdapat 100% suara setuju hingga
penggabungan dapat dilakukan, diberlakukan apa yang sekarang
dikenal dengan appraisal right (hak appraisal). Namun sekarang ini,
ketentuan persetujuan 100% dari pemegang saham tidak berlaku lagi.
UUPT menentukan bahwa keputusan RUPS diambil berdasarkan
musyawarah untuk mufakat. Walaupun masa sekarang ini tidak ada
lagi sistem hukum yanag mengharuskan persetujuan 100% pemegang
saham untuk suatu tindakan korporat penting seperti penggabungan
(merger), tetapi pranata appraisal rights tetap diperlukan untuk
melindungi pemegang saham minoritas.
Pihak pemegang saham minoritas mempunyai hak yang disebut
dengan hak untuk memberikan dissenting opinion, yakni hak untuk
berbeda pendapat, termasuk untuk tidak menyetujui tindakan-tindakan
tertentu yang dilakukan oleh direksi. Tindakan-tindakan tertentu
tersebut haruslah tindakan-tindakan yang substansial begi pemegang

22
saham atau bagi perusahaan secara kesuluruhan, misalnya merger,
akuisisi, dan lain-lain. Karena itu, terhadap tindakan-tindakan biasa dari
direksi, tidak ada hak untuk memberikan dissenting opinion tersebut.
Setelah memberikan dissenting opinion tersebut, dan pihak pemegang
saham mayoritas tetap ada pada pendiriannya dalam arti tetap berbeda
pendapat dengan pemegang saham minoritas, maka pihak pemegang
saham minoritas dapat mempergunakan hak appraisalnya (appraisal
rights), yang merupakan hak untuk keluar dari perusahaan dengan
kewajiban dari pihak perusahaan atau pemegang saham lain untuk
membeli saham pemegang saham yang keluar tersebut dengan saham
yang dinilai (appraise) pada harga yang pantas.
Selanjutnya, jika dilihat dari eksistensinya dari pihak pemegang
saham minoritas, hukum menyediakan dua cara bagi pihak pemegang
saham minoritas untuk dapat melindungi dirinya sendiri, yaitu sebagai
berikut: pertama, Hak untuk keluar dari perusahaan, yaitu hak untuk
keluar (exit right) adalah hak dari pemegang saham minoritas yang
merasa dirugikan untuk keluar dari perusahaan tersebut tetapi dengan
tidak dirugikan kepentingannya disamping juga tidak merugikan
kepentingan pihak perusahaan. Apa yang dikenal dengan hak appraisal
merupakan salah satu model dari exit right ini. Model yang lain adalah
permohonan ke RUPS agar perusahaan dibubarkan, dan juga bisa
permohonan pembubaran perusahaan ke pengadilan, karena keadilan
dapat dicapai dengan pembubaran perusahaan tersebut. Perkembangan
dalam Ilmu Hukum Perusahaan adalah adanya perubahan paradigma
dari semula exit right merupakan tanda tidak loyalnya pemegang saham
yang menggunakan hak tersebut, kemudian berubah menjadi hanya
semata-mata sebagai penggunaan salah satu hak biasa dari pemegang
saham minoritas. Kedua Hak untuk memperbaiki dari dalam, yaitu
Dengan hak memperbaiki dari dalam, pihak pemegang saham minoritas
menggunakan hak-hak yang diberikan oleh hukum kepadanya, tetapi
tidak sampai keluar dari perusahaan, melainkan dia tetap masih

23
memegang saham sebagaimana mestinya. Misalnya untuk melindungi
dirinya , pemegang saham minoritas mengajukan gugatan derivatif, atau
meminta pengadilan untuk menunjuk ahli untuk melakukan
pemeriksaan ke dalam perusahaan.
Dengan demikian, penggunaan hak appraisal, yang merupakan
pengejawantahan dari exit right tersebut, merupakan salah satu model
untuk melindungi pemegang saham minoritas, yaitu perlindungan
dengan memberikan kompensasi. Disamping model-model lain dalam
hukum perusahaan baik yang ditemukan dalam UUPT maupun yang
tidak ditemukan dalam UUPT.
Terdapat beberapa teori hukum yang dikenal dalam dunia ilmu
hukum korporat mengenai appraisal rights, yaitu sebagai berikut (Munir
Fuady, 2005: 194-196):
a. Teori-teori hukum pendukung Appraisal Rights
1) Teori Maksud Tak Sampai (defeated expectations)
Teori maksud tak sampai adalah suatu teori yang
mengajarkan bahwa jika seseorang telah memiliki saham dalam
suatu perseroan yang bergerak di bidang tertentu, tidaklah dapat
dipaksakan dianya untuk memiliki saham pada perusahaan yang
sudah berbeda sebagai akibat dari merger, misalnya,
sungguhpun dia hanyalah pemegang saham minoritas. Karena
itu, daripada dipaksakan dia berada dalam perusahaan yang
sudah tidak disenanginya, lebih baik dia keluar dari perusahaan
tersebut dan mencari perusahaan lain yang lebih dia senangi.
Dengan demikian, lebih baik kepadanya diberlakukan pranata
hukum yang disebut dengan appraisal rights. Akan tetapi ada
setidaknya dua kritikan yang sering diajukan terhadap teori
maksud tak sampai ini yaitu. Pertama, keinginan investor
(pemegang saham) sebenarnya lebih tertuju kepada
penghindaran resiko dan kepada return / pengembalian yang
didapat. Mereka tidak terlalu mempedulikan hal-hal yang

24
bersifat sentimen, ideologi, jenis kegiatan dari perusahaan, dan
lainlain. Kedua, umumnya investor terutama investor
perusahaan terbuka justru lebih menginginkan agar perusahaan
tersebut sering melakukan perubahan korporat dalam hubungan
dengan investasi mereka.
2) Teori Locus Poenitentiae
Teori Locus Poenitentiae (penyesalan) ini mengajarkan
bahwa dengan adanya appraisal rights berarti kepada pihak
menajemen yang melakukan deal merger misalnya, mereka
akan melakukannya dengan sangat hati-hati sehingga terdorong
untuk tidak melakukan merger yang merugikan perusahaan/
pemegang saham. Jadi pemberlakuan pranata hukum appraisal
rights ini merupakan sarana pengecekan, tetapi terasa tidak
terlalu mencampuri urusan manajemen yang kemungkinan
melakukan keputusan yang salah dalam melaksanakan merger
tersebut.
3) Teori Kompensasi
Teori kompensasi ini mengajarkan bahwa tetap ada
kemungkinan adanya pihak pemegang saham yang dirugikan
karena adanya pranata hukum seperti merger tersebut. Karena
itu, pemberlakuan appraisal rights bagi pemegang saham yang
dirugikan tersebut, yakni dengan dibelinya kembali saham-
saham dari pihak yang tidak menyetujui merger, dapat
merupakan suatu kompensasi yang adil atas kerugian tersebut.

b. Teori-Teori Hukum yang menentang Appraisal Rights


1) Teori Konsistensi
Teori ini mengajarkan bahwa hukum ternyata tidak
konsisten dalam menerapkan appraisal rights tersebut. Sebab,
banyak perubahan korporat lainnya selain merger, perubahan

25
anggaran dasar dan sebagainya yang juga potensial untuk
merugikan kepentingan saham mayoritas. Misalnya, manajemen
mengubah secara drastis haluan bisnis dari perusahaan tersebut,
yang dalam hal ini tidak diberikan appraisal rights kepada
pemegang saham minoritas yang tidak menyetujuinya.
2) Teori Pasar Modal
Teori ini mengajarkan bahwa khususnya terhadap
perusahaan terbuka, maka appraisal rights tidak diperlukan
mengingat pihak yang menyetujuinya dapat menjual sahamnya
di pasar modal dengan harga pasar. Harga pasar tersebut dapat
dianggap harga yang layak bagi saham yang bersangkutan.
3) Teori Penyetoran Dana
Teori penyedotan dana (cash drain) mengajarkan bahwa
dengan diberlakukannya appraisal rights ini, maka
kemungkinan perusahaan akan kekurangan dana karena
perusahaan harus membeli saham pemegang saham minoritas
yang tidak menyetujui tindakan perseroan tersebut. Kekurangan
dana ini bukan tidak mungkin menyebabkan secara langsung
atau tidak langsung perusahaan membatalkan tindakannya
tersebut, sungguhpun tindakan tersebut mungkin sangat
bermanfaat bagi perusahaan yang bersangkutan. Namun
demikian terdapat juga berbagai sanggahan terdapat teori
penyedotan dana ini yaitu: Pertama, Jika merger tersebut
bermanfaat bagi perusahaan, mengapa pemegang saham
minoritas terlalu sulit diyakinkan, tentu appraisal rights tersebut
tidak akan dilaksanakan. Kedua, Jika merger tersebut
bermanfaat bagi perusahaan, tentu tidak sulit bagi manajemen
perusahaan untuk mencari sumber dana sekedar untuk
membayar harga saham dalam hal pelaksanaan appraisal rights
tersebut. Karena itu, penyedotan dana perusahaan mestinya tidak
perlu dirisaukan.

26
Mengenai hak appraisal UUPT telah mengakomodasinya dalam
Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 62
Pasal 37 ayat (1) :
(1) Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan
dengan ketentuan:
a. Pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan
kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah
modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah
disisihkan; dan
b. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh
Perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham
yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain
yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki
oleh perseroan, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah
modal yang ditempatkan dalam perseroan, kecuali diatur lain
dalam peraturan perundang undangan di bidang pasar modal.

Pasal 62 :
(1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar
sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan
tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang
saham atau Perseroan, berupa:
a. Perubahan anggaran dasar;
b. Pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang
mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan
bersih perseroan; atau
c. Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
(2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham
oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf
b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak
ketiga.

Dari ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 62 UUPT


tersebut terlihat bahwa syarat-syarat agar suatu perusahaan dapat
membeli kembali saham-sahamnya adalah sebagai berikut :
a. Hak appraisal adalah hak dari setiap pemegang saham tanpa
memperhatikan persentase kepemilikan sahamnya tersebut.
b. Harga saham yang dibeli oleh perseroan haruslah harga yang wajar.

27
c. Hak appraisal baru ada jika perseroan melakukan tindakan korporat
tertentu yang merugikan kepentingan pemegang saham, yaitu
tindakan-tindakan perseroan sebagai berikut :
1) Perubahan anggaran dasar.
2) Pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang
mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan
bersih perseroan.
3) Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
d. Jika perusahaan tidak dapat membelinya lagi karena melebihi batas
maksimum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b
UUPT, maka perusahaan wajib mengusahakan agar sisa saham
dibeli oleh pihak lain, meskipun hal tersebut tentu tidak gampang
dilakukan, terlebih ketentuan dalam Pasal ini masih harus
dikomparasikan dengan peraturan perundang-undang di bidang
pasar modal, dan UUPT hanya Lex Generalisnya.
e. Harga pembelian saham oleh perusahaan harus diambil dari laba
bersih perusahaan.
f. Pembelian kembali saham tidak menyebabkan kekayaan bersih
perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan
ditambah cadangan yang diwajibkan.
g. Jumlah nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan bersama
dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham yang
dipegang, tidak melebihi 10 % dari jumlah modal yang
ditempatkan kecuali Undang-undang Pasar Modal mengatur lain.
h. Pembelian kembali saham tidak menyebabkan ditariknya saham
tersebut, kecuali dalam hal pengurangan modal.
i. Perolehan saham oleh perseroan yang bertentangan dengan Pasal
37 UUPT akan batal demi hukum.
j. Jika ada pihak ketiga yang beritikad baik yang dirugikan karena
batalnya perolehan saham tersebut, akan ditanggung secara renteng
oleh direksi perseroan.

28
k. Perusahaan dapat membeli saham diluar ketentuan hak appraisal,
dengan catatan tidak melebihi batas maksimum sebagaimana yang
ditentukan oleh Pasal 37 ayat (1) UUPT.

Dalam perkembangannya hak appraisal ini sebenarnya


mempunyai dua fungsi yuridis sebagai berikut : Pertama, Berfungsi
sebagai jalan keluar bagi pemegang saham minoritas untuk keluar dari
perusahaan yang sudah berubah secara fundamental, dimana dia tidak
setuju atas perubahan yang dimaksud. Kedua, Berfungsi sebagai
penjaga keadilan bagi pemegang saham dengan menggunakan intitusi
hak appraisal ini mencoba mengusir pihak pemegang saham minoritas
dari perusahaan dengan merancang suatu perubahan prinsipil yang tidak
disenangi bahkan merugikan pihak pemegang saham minoritas (Munir
Fuady, 2005:193).

Undang-Undang perseroan Terbatas tidak memberikan indikasi


apa-apa tentang cara menghitung harga saham yang pantas/ wajar.
Hanya menyebutkan dengan istilah harga yang “wajar” saja. Karena itu,
terserah dalam praktek nantinya. Apabila tidak terjadi kesepakatan
tentang harga yang pantas, maka pengadilan yang akan
memutuskannya. Dalam hal ini, undang-undang perseroan terbatas
tidak menentukan prosedur khusus untuk memutuskan tentang harga
yang pantas tersebut. Karena itu, pihak pemegang saham minoritas
haruslah membawa kasusnya ke pengadilan dengan prosedur gugatan
pengadilan bisa (bukan permohonan), yang sangat mahal, lama, dan
dengan putusan (bukan penetapan) yang tidak dapat diprediksi,
sementara pemegang saham yang lain yang tidak menolak tindakan
perseroan sudah mulai menikmati hasil dari tindakan perseroan
tersebut. Kenyataan seperti ini dapat membuat pihak pemegang saham
minoritas tidak tertarik untuk menggunakan hak appraisalnya itu.
Karena itu, jika disputes tentang hak appraisal sampai di pengadilan,
dan di pengadilan digunakan gugatan biasa, maka hakim perlu

29
mempertimbangkan pemberian putusan yang dapat dijalankan terlebih
dahulu (uitvoorbaar bij voorraad), sehingga pemegang saham
minoritas akan lebih cepat mendapatkan haknya. Bahkan keterlibatan
pengadilan dalam hal ini mestinya hanya sebatas pemberian penetapan
saja, yang prosedurnya lebih cepat daripada prosedur biasa yang
menghasilkan suatu putusan pengadilan itu. Tentu hal ini baru dapat
direalisasikan oleh pengadilan bila ada undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya, misalnya jika ada penyebutan yang secara tegas dalam
Undang-undang perseroan terbatas, yang sampai saat ini ternyata
ketentuan tersebut belum ada.

Menurut Munir Fuady, dijelaskan bagaimana untuk mengetahui


harga yang pantas/ wajar tersebut, dikenal ada 3 (tiga teori), yaitu
sebagai berikut:
a. Teori nilai perolehan (earnings value)
Nilai peralihan adalah dengan melihat kepada nilai perolehan
atau investasi. Dalam hal ini biasanya yang dilihat adalah nilai
perolehan perusahaan di masa yang akan datang (future earnings)
setelah didiskon dengan nilai perolehan perusahaan sekarang
(present value).
b. Teori nilai pasar (market value)
Teori ini mengajarkan bahwa harga saham dilihat kepada nilai
pasar dari saham yang bersangkutan sebelum diumumkan merger
tersebut. Nilai pasar dari saham ini sulit ditentukan secara pasti
khususnya bagi perusahaan yang bukan perusahaan terbuka.
c. Teori nilai aset
Teori ini mengajarkan bahwa harga dari saham yang akan
dibeli oleh perusahaan dalam hal pemegang saham minoritas
melaksanakan hak apraisal adalah sebesar harga aset di pasar yang
wajar. Hal ini akan mendongkrak harga saham tersebut seandainya
dalam perusahaan terdapat aset-aset yang untuk sementara tidak aktif

30
atau tidak menghasilkan, padahal harga aset tersebut lumayan besar
dan signifikan (Munir Fuady, 1999:141-142).
Penerapan perlindungan hukum terhadap pemegang saham
minoritas tidaklah mudah. Pemegang saham minoritas yang tidak
menyetujui pelaksanaan merger selalu mengalami kesulitan untuk
melaksanakan hak-haknya terutama dalam rangka meminta
pertanggungjawaban dari perseroan. Kadangkala tindakan merger yang
dianggap merugikan tersebut, oleh direksi/komisaris atau pemegang
saham mayoritas justru dianggap sebagai suatu tindakan yang paling
tepat bagi perseroan.

b. Dari Segi Sruktural

Bentuk perlindungan hukum dalam merger dari segi struktural dalam


perseroan adalah para karyawan Perseroan. Pemerintah telah banyak
mengambil kebijaksanaan berkaitan dengan pekerja/ buruh/ karyawan
yaitu adanya Undang-Undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan,
beserta Peraturan pelaksanaannya, Peraturan pemerintah Nomor 8 tahun
1981 tentang Perlindungan Upah, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992
tentang jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan sebagainya. Semua peraturan
Perundang-undangan tersebut dimaksudkan untuk melindungi pekerja
sebagai pihak yang posisinya lemah daripada pengusaha. Namun
meskipun telah ada aturan yang menjadi tuntunan, belumlah memperoleh
hasil sebagaimana yang diinginkan oleh pekerja/buruh/ karyawan. Hak
pekerja dapat terwujud secara efektif bila sebagai pemegang hak-hak
dapat menikmati hak-hak mereka tanpa adanya hambatan dan gangguan
dari pihak manapun, selain itu juga para pekerja selaku pemegang hak
tersebut dapat melakukan tuntutan melalui prosedur-prosedur hukum,
maksudnya bila ada pihak-pihak yang mengganggu atau tidak
melaksanakan hak pekerja tersebut maka pekerja dapat menuntut melalui
prosedur hukum yang ada.

31
Untuk dapat terlaksananya hak-hak pekerja ada beberapa syarat
yaitu (www.Maulabour.wordpress.com.):
1. Adanya pengetahuan dan pemahaman para pekerja terhadap hak-hak
mereka yang telah secara tegas diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Hak tersebut dipandang dan dirasakan oleh para pekerja sebagai suatu
yang esensial untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka.
3. Adanya prosedur-prosedur hukum yang memadai yang diperlukan
guna menuntut hak para pekerja itu tetap dihormati dan dilaksanakan.
4. Adanya kecakapan dari pekerja untuk memperjuangkan dan
mewujudkan haknya.
5. Adanya sumberdaya politik yang memadai yang diperlukan oleh para
pekerja guna memperjuangkan perwujudan hak mereka.

Para pekerja/ karyawan dalam perseroan yang akan melakukan


merger merupakan salah satu pihak yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan sebelum merger dilakukan. Beberapa hal yang harus
diperhatikan sehubungan dengan para pekerja ini dalam hubungannya
dengan merger adalah sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip umum mengenai kebijaksanaan kesejahteraan sosial
yang akan diterapkan setelah merger.
2. Waktu yang pantas untuk berkonsultasi dengan organisasi pekerja.
3. Cara dan saat untuk menginformasikan merger kepada pekerja.
4. Cara-cara untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengeliminir
kemungkinan kerugian materiil kepada pihak pekerja, termasuk
memberikan kompensasi yang bersifat materiil.
5. Aktivitas khusus dari organisasi pekerja dalam perusahaan.
6. Suatu organisasi terhadap keamanan dan ketersediaan pekerjaan
setelah merger (Munir Fuady, 1999:128).
Dalam kasus-kasus merger, dengan alasan efisiensi dan
perampingan usaha, setelah merger sebagian para pekerja/ karyawan

32
diputuskan untuk di PHK. Dalam sistem hukum di Indonesia, pihak
karyawan hampir-hampir tidak punya upaya hukum apapun untuk menolak
PHK tersebut. Hal ini dikuatkan dalam UU Nomor 13 tentang
Ketenagakerjaan
Pasal 163:
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan,
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh
tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).

(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap


pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan
perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di
perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar
2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Dari Pasal 163 tersebut, dalam penghitungan uang pesangon
terdapat perbedaan yaitu apabila inisiatif PHK berasal dari pengusaha
atau perseroan yang merger, maka pengusaha diwajibkan membayar 2x
(dua kali) lebih banyak dibandingkan uang pesangon sebagai akibat
PHK atas inisiatif pekerja/karyawan.

Dengan adanya penggabungan para karyawan menjadi resah,


apakah berarti masa kerja karyawan ini tetap berlanjut/ tidak, atau
apakah kembali ke nol tahun. Ini jelas kekhawatiran yang patut diberikan
pengertian sejelas-jelasnya. Namun dalam UU 13 Tahun 2003 Pasal 31
ayat (2) dan (3) berisi:

(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-


masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka
perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja
bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.

33
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara
perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan
perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka
perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang
bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.

Mengacu pada Pasal diatas, dapat diartikan bagi karyawan yang


diterima dalam perusahaan baru tersebut bisa saja masa kerja dihitung dari
0 (nol) kembali dan atau tetap berlanjut, itu semuanya tergantung pada
kesepakatan antara Perusahaan dengan karyawannya yang dituang dalam
Perjanjian kerja Bersama.

Perlindungan hukum terhadap karyawan perusahaan dalam


hubungannya dengan merger, diatur pula dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan Perseroan Terbatas Pasal 4 ayat (1), Pasal 7 ayat (2)
huruf f angka 2, Pasal 12, Pasal 26 ayat (3) huruf j, dan Pasal 29:

Pasal 4 (1):
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan
dengan memperhatikan:
a. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritass, dan karyawan
perseroan yang bersangkutan;
b. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Pasal 7 ayat (2) huruf f angka 2:


cara penyelesaian status karyawan perseroan yang akan menggabungkan
diri”. Jadi maksudnya adalah hal-hal yang perlu diketahui oleh pemegang
saham masing-masing perseroan salah satunya adalah cara penyelesaian
status karyawan perseroan yang akan menggabungkan diri.

Pasal 12
Ringkasan atas Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 wajib diumumkan oleh direksi dalam 2 (dua) surat kabar harian
serta diumumkan secara tertulis kepada karyawan perseroan yang akan
melakukan penggabungan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham ,asing-masing perseroan.

34
Pasal 26 ayat (3) huruf j:
“Cara penyelesaian status karyawan dari perseroan yang akan diambil
alih”. Lebih jelasnya adalah direksi perseroan yang akan diambil alih dan
pihak yang akan mengambil alih masing-masing menyusun usulan rencana
pengambilalihan yang wajib mendapat persetujuan komisaris perseroan
yang akan diambil alih, dan yang mengambil alih atau lembaga serupa dari
pihak yang akan mengambil alih. Dalam usulan tersebut memuat salah
satunya adalah cara penyelesaian status karyawan dari perseroan yang
akan diambil alih.

Pasal 29:
Ringkasan rancangan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 wajib diumumkan oleh Direksi dalam 2 (dua) surat kabar harian
serta diberitahukan secara tertulis kepada karyawan Perseroan yang
melakukan pengambilalihan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
pemanggilan Rapat Umum Pemegang saham masing-masing perseroan

Perlindungan terhadap pihak karyawan perusahaan dalam


hubungannya dengan penggabungan tertuang dalam UUPT yaitu Pasal 126
(1), Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3):
Pasal 126 (1)
Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Maksud dari Pasal tersebut diatas bahwa penggabungan tidak dapat


dilakukan apabila akan merugikan pihak-pihak tertentu, termasuk para
karyawan. Karyawan berhak mengajukan keberatan bila tak setuju dengan
keputusan pemegang saham yang ingin menggabungkan perusahaannya
dengan perusahaan lainnya.

Pasal 127 (2) UUPT:


Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan
paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis
kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Pasal 127 ayat (3):

35
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga
pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh
rancangan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan di
kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS
diselenggarakan.

Dari Pasal-pasal tersebut diataas UUPT menimbulkan kerancuan karena


karyawan seolah-olah memiliki wewenang untuk menyetujui aksi perseroan
seperti penggabungan/ merger ini. Padahal Sebagai pihak paling bawah,
karyawan tidak bisa mencampuri urusan kebijakan perusahaan ketika
mengubah suatu keputusan. UUPT tidak memberikan kejelasan secara konkret.
UUPT seolah-olah mewajibkan adanya persetujuan karyawan dalam
penggabungan/ merger padahal merger itu wewenang pemilik perusahaan.
Dalam operasional sebuah perseroan terbatas, lembaga tertinggi yang
berwenang memutuskan aksi perseroan adalah rapat umum pemegang saham
(RUPS). Dalam RUPS para karyawan perseroan tidak punya hak veto.
Bila terjadi kerancuan, pihak-pihak yang merasa keberatan dapat
mengajukan uji materiil terkait UU tersebut. Pengajuan uji materiil itu bisa
dilakukan karena UU itu tidak menimbulkan azas kepastian hukum. Padahal
negara hukum bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, dan hukum sendiri
bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar manusia.

c. Segi Lokalisasi
 
1. Bentuk perlindungan hukum kepada Kreditor

Menjamurnya praktek penggabungan perusahaan (merger) di


Indonesia dewasa ini sudah semestinya mendapat perhatian, terutama
dari kalangan ahli hukum mengingat rneskipun penggabungan atau
merger dilatarbelakangi oleh pertimbangan pertimbangan ekonomi,
namun dalam pelaksanaannya penggabungan atau merger tetaplah

36
merupakan tindakan hukum dan mempunyai aspek hukum. Salah satu
syarat pelaksanaan merger adalah memperhatikan kepentingan kreditor.
Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 , Pasal
5 yang bunyinya : Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan juga
harus memperhatikan kepentingan kreditor.

Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa ketentuan tersebut


merupakan prinsip dari hukum perjanjian. Kreditor dalam hal ini adalah
kreditor perseroan yang akan melakukan penggabungan.

Dalam UUPT, perlindungan terhadap kreditor,selain tertuang


dalam Pasal 126 ayat (1), juga terdapat dalam Pasal 127 ayat (4),(5),(6),
(7).

Pasal 127
(4) Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengenai Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sesuai dengan rancangan
tersebut.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
kreditor tidak mengajukan keberatan, kreditor dianggap menyetujui
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
(6) Dalam hal keberatan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat
diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus disampaikan dalam
RUPS guna mendapat penyelesaian.
(7) Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum
tercapai, Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan
tidak dapat dilaksanakan.

Akibat dari merger bila debitur membubarkan diri, maka beberapa


kemungkinan yang dapat terjadi terhadap kedudukan kreditor yaitu (Munir
Fuady, 1999:133-134):
a. Perusahaan yang masih exist akan menanggung hutang-hutang lewat
konstruksi hukum novasi Pasal 1417 KUH Perdata. Hal ini dapat
dilakukan bila ada izin dari kreditor, didisclose hutang tersebut kepada
calon debitor baru, dan yang terakhir yaitu calon debitor baru

37
“mengasumsi” (menerima) pengalihan tanggung jawab hukum yang
bersangkutan.
b. Jika pihak direktur perusahaan yang telah lenyap tidak aware ( sadar)
akan adanya hutang tesebut sehingga tidak didisclose, maka
kemungkinan yang terjadi adalah sebagai berikut:

1) Di negara-negara Common Law, direktur pribadi akan bertanggung


jawab, karena dia telah melakukan breach terhadap fiduciary duty
(duty of care) terhadap perusahaannya. Undang-Undang Perseroan
Terbatas juga mengintrodusir semacam tugas fiduciary terhadap
direksi yaitu pada Pasal 92 (1), Pasal 97 ayat (1), (2) dan terhadap
komisaris pada Pasal 108 ayat (1), Pasal 114 ayat 1-5, bunyinya
sebagai berikut:

Pasal 92 (1):
(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

Pasal 97
(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab.

Pasal 108 ayat (1)


Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan
pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai
Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada
Direksi.

Pasal 114
(1) Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1)
(2) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik,
kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan
tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk

38
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan.
(3) Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab
secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota
Dewan Komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi
setiap anggota Dewan Komisaris.
(5) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-
hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan;
b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung
maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi
yang mengakibatkan kerugian; dan
c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah
timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

2) Ada negara-negara yang langsung membebankan tanggung jawab


atas hutang tersebut by the operation law (demi hukum) kepada
perusahaan yang exist setelah merger. Hal demikian juga dianut
oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 122 ayat 3(a):

Pasal 122 ayat (3) (a)


Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau
meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang
menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan”

2. Bentuk Perlindungan hukum Kepada perusahaan tersaing/ si tersaing


untuk menciptakan iklim persaingan sehat dalam melakukan usaha

Prinsip ekonomi mengajarkan bahwa dengan pengeluaran yang


sekecil-kecilnya diusahakan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya. Dengan demikian yang dilakukan adalah efisiensi dan ketetapan
strategi usaha. Namun demikian, dengan semakin ketatnya persaingan di

39
dunia usaha telah memaksa para pelaku usaha untuk melakukan segala
upaya agar usahanya tetap dapat berlangsung. Ada pelaku usaha yang
melakukannya dengan cara-cara yang sehat, tetapi ada juga yang
menghalalkan segala cara yakni, melakukan persaingan usaha yang tidak
sehat (Jamal Wiwoho, 2007:67).

Persaingan sehat diyakini sebagai cara yang paling baik untuk


mencapai pendayagunaan sumber daya secara optimal guna memenuhi
kebutuhan masyarakat. Menurut Normin Pakpahan yang dikutip oleh
Johnny Ibrahim (2006:103), adanya persaingan akan menghindarkan
terjadinya konsentrasi kekuatan pasar (market power) pada satu atau
beberapa perusahaan. Ini berarti konsumen mempunyai banyak alternatif
dalam memilih barang dan jasa yang dihasilkan produsen yang begitu
banyak sehingga harga benar-benar ditentukan oleh pasar permintaan dan
penawaran, bukan oleh hal-hal lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa adanya persaingan memungkinkan tersebarnya kekutan pasar yang
menyebabkan kesempatan berusaha menjadi terbuka lebar dan memberi
peluang bagi pengembangan serta peningkatan kewiraswastaan
(entrepeneurship) yang akan menjadi modal utama bagi kegiatan
pembangunan ekonomi bangsa.

Sering dipersoalkan dimana-mana, bahwa penggabungan (merger)


dapat berarti pangsa pasar semakin bertambah besar dan. Atau mata rantai
produksi semakin panjang (dari hulu ke hilir), hal ini akan menimbulkan
praktek bisnis yang tidak sehat/ tidak fair terhadap tersaing yang dikenal
dengan persaingan curang. Undang-Undang Perseroan terbatas melarang
merger yang merugikan persaingan sehat, hal ini tercantum dalam Pasal
126 ayat (1)

Pasal 126 (1):


Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;

40
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Dalam penjelasannya, dalam penggabungan harus dicegah kemungkinan
terjadinya monopoli ataupun monopsoni dalam berbagai bentuk yang
merugikan masyarakat.

Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum


Bisnis, Dalam Teori dan Praktek”, mengatakan bahwa unsur monopoli
umumnya telah terbentuk jika suatu perusahaan atau grup perusahaan telah
menguasai pangsa pasar minimal 40%. Sehingga sangat diharapkan
undang-undang yang salah satu pasalnya kurang lebih berbunyi ”Suatu
perusahaan atau grup perusahaan atau perusahaan yang saling
berhubungan dilarang menguasai pangsa pasar sampai 40% atau lebih”.
Demikian juga sangat diperlukan salah satu pasal: “ Suatu perusahaan atu
grup perusahaan ataupun perusahaan yang saling berhubungan dilarang
melakukan bisnisnya terhadap lebih dari tiga bidang usaha yang berbeda”.
( Munir Fuady, 1999: 146).

Dalam sejarah kontemporer di Indonesia, praktik monopoli pertama


kali secara resmi dimulai pada tahun 1602 yaitu pada saat pemerintahan
Belanda. Praktik monopoli secara langsung atu tidak langsung berlangsung
berlangsung selama berada di bawah kekuasaan penjajah, baik Belanda
maupun Jepang. Setelah kemerdekaan, dasar-dasar pengelolaan
perekonomian negara diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Kemudian
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, undang-undang ini
mulai diberlakukan tanggal 5 Maret 2000 dan berlaku efektif pada tanggal
5 September 2000.

Sebelum dikeluarkannya UU Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan


mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan
Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bunyi Pasal

41
1365 KUH Perdata yaitu ”tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sedangkan bunyi Pasal 382 bis KUHP yaitu ”barang siapa untuk
mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau
perusahaan milik sendiri/ orang lain, melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam jika
perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konruen-konruennya atau
konruen-konruen orang lain, karena persaingan curang, dengan pidana 1
tahun 4 bulan atau denda Rp.13.000,00.”

Dari rumusan pasal 382 bis KUHP, terlihat bahwa agar seseorang
dapat dikenakan pidana “persaingan curang” harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu (Elsi Kartika Sari & Advendi Simangunsong,
2005:131&132):

a. Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan


curang
b. Perbuatan persaingan curang itu dilakukan dalam rangka
mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan atau
perusahaan
c. Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan curang tersebut baik
si pelaku maupun perusahaan lain
d. Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara
menyesatkan khalayak umum/ orang itu
e. Akibat darai perbuatan persaingan curang menimbulkan kerugian dari
orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan si pelaku.

Monopoli dilarang antara lain karena terdapat beberapa efek negatif


seperti:

a. Harga produk akan tinggi karena tidak adaanya kompetisi. Ini akan
mendorong timbulnya inflasi, sehingga merugikan masyarakat luas.

42
b. Terdapatnya keuntungan di atas keuntungan normal karena monopoli.
c. Eksploitasi bisa terjadi baik terhadap pekerja/ karyawan dalam bentuk
upah dan juga terhadap konsumen, karena rendahnya mutu produk dan
hilangnya hak pilih dari konsumen. Padahal konsumen mempunyai
hak untuk memilih barang, hal itu terdapat dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 4 huruf (b)
mengenai hak konsumen: “ hak untuk memilih barang dan atau jasa
serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”.
d. Pemborosan terjadi karena perusahaan monopoli cenderung tidak
beroperasi pada rata-rata harga yang minimum, sehingga harga
tersebut akan ditanggung konsumen.
e. Monopoli menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan lain
terhambat untuk bisa masuk ke dalam bidang perusahaan tersebut, dan
nantinya akan mematikan usaha kecil.
f. Monopoli bertentangan dengan sila kelima Pancasila dan Pasal 33
UUD 1945. Bunyi Pasal 33:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.

Dalam UUPT tidak diatur dan tidak pula dijelaskan mengenai


persaingan sehat dalam melakukan usaha. . Efek negatif dari merger
terhadap suatu persaingan pasar adalah sebagai berikut:
2) Terciptanya atau bertambahnya konsentrasi pasar yang dapat
menyebabkan harga produk semakin tinggi

43
3) Kekuatan pasar (market power) menjadi semakin besar yang dapat
mengancam pebisnis kecil (Munir Fuady, 1999: 143)

Sebelumnya telah diketahui bahwa merger terdiri dari tiga bentuk


yaitu: merger Vertikal, Merger horizontal, dan Merger Konglomerat.
Masing-masing mempunyai pengaruhnya terhadap monopoli, yaitu:
a. Merger Vertikal

Merger jenis ini tidak membawa pengaruh secara langsung


kepada persaingan pasar, namun merger vertikal ini dapat juga
membawa akibat negatif karena dapat menyebabkan perusahaan
menguasai produksi dari hulu ke hilir, halangan bagi pendatang baru
dalam bisnis yang bersangkutan (Entry Barrier), menimbulkan kolusi.
Salah satu yang ditakutkan dengan adanya merger vertikal ini adalah
terjadinya pengekangan terhadap masuknya pihak pesaing ke pasar
(entry barrier), dengan demikian memang ada kemungkinan bahwa
merger vertikal ini akan mengurangi kompetisi pasar secara substansial
atau kecenderungan menimbulkan monopoli di pasar.
b. Merger Horizontal

Dalam merger horizontal ini, perusahaan-perusahaan yang merger


tersebut menjual produk yang sama. Sehingga apabila merger
dilakukan, persaingan antara perusahaan-perusahaan tersebut dapat
ditiadakan dan pangsa pasar yang dikuasai tentu akan menjadi lebih
besar.
c. Merger Konglomerat

Merger konglomerat dapat terjadi bila masing-masing perusahaan


yang melakukan merger tersebut sebelumnya tidak mempunyai
hubungan bisnis. Merger ini mempunyai pengaruh negatif yaitu
menghambat atau menyulitkan para pelaku pasar pendatang baru, atau
justru merger dilakukan dengan pihak pelaku usaha pendatang baru
tersebut. Bagi hukum anti monopoli, maka akibat negati bagi

44
persaingan pasar yang sangat dikhawatirkan adalah bahwa dengan
merger konglomerat dapat mengakibatkan hilangnya pesaing potensial.
Oleh sebab itu sering disebutkan bahwa merger konglomerat hanya
menimbulkan secondary effect terhadap persaingan pasar. Tetapi oleh
hukum inipun dianggap berbahaya bagi suatu pasar. Sehingga
munculah teori dalam hukum anti monopoli yang disebut dengan teori
Potential Competitor. Dimana menurut teori ini, agar dapat dikatakan
bertentangan dengan hukum anti monopoli, maka merger konglomerat
tersebut haruslah dilakukan dengan pihak yang merupakan Potential
Competitor, sehingga merger tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
pengekangan persaingan pasar (Munir Fuady, 1999: 148).
Berkaitan tindakan penggabungan usaha (merger) sangat riskan
memiliki potensi terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi yang berujung
pada praktek terjadinya monopoli,baik bersifat vertikal, horizontal, maupun
merger konglomerat, oleh karena itu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengaturnya, dalam hal ini diatur dalam Pasal 28 dan 29 yang menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 28
a) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
b) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilan saham perusahaan lain
apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli adan atau persaingan usaha tidak sehat.
c) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan
usaha yang dilarang sebagaiman dimaksud ayat (1), dan ketentuan
mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 29
(a) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai asset
dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib
diberitahukan kepada komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut.

45
(b) Ketentuan tentang penetapan nilai asset dan atau nilai penjualan serta
tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 91), diatur
dalam peraturan pemerintah.

Monopoli dapat menghalangi terjadinya persaingan sehat dan


mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang membebani masyarakat luas
terjadi karena faktor-faktor produksi tidak berjalan secara efisien, sementara
hasil-hasil praktik monopoli hanya dinikmati oleh beberapa gelintir orang
atau kelompok usaha tertentu. Dalam hubungannya dengan merger,
tindakan merger perusahaan dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli
bila tindakan tersebut dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau
persaingan curang. Dengan adanya merger akan sangat rawan terjadinya
monopoli. Hal ini bisa menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan
dimungkinkan terjadinya monopoli. Merger yang tidak menimbulkan
monopoli tidak dilarang oleh hukum.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang
lemah dalam penggabungan perseroan baik dari segi finansial, struktural, dan
lokalisasi, namun perlindungannya belum sempurna. Bentuk perlindungan
hukum yang diberikan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia terhadap
pihak-pihak yang lemah dalam penggabungan (merger) perusahaan/perseroan
adalah sebagai berikut:
Dari segi Finansial, dalam hal ini adalah pemegang saham minoritas.
Perlindungan hukumnya dalam UUPT terdapat dalam Pasal 126 ayat (1),
selain itu pula pemegang saham minoritas mempunyai hak appraisal (Pasal 62
dan 37 ayat (1). Dari segi Struktural, yakni karyawan perusahaan/perseroan,
dalam UUPT perlindungan hukumnya terdapat dalam Pasal 126 (1) dan Pasal
127 ayat (2) dan (3). Dari segi Lokalisasi, yakni Kreditor dan Tersaing.
Perlindungan hukum bagi Kreditor dalam UUPT terdapat dalam Pasal 126

46
ayat (1), Pasal 127 ayat (4),(5),(6),(7). Sedangkan perlindungan hukum
terhadap Tersaing dalam UUPT Pasal 126 ayat (1).

2. Saran

Saran yang dapat disampaikan antara lain :

a. Mengenai appraisal righst / hak appraisal, Undang-Undang Perseroan


Terbatas tidak memberikan indikasi apa-apa tentang harga saham yang
“wajar”. Ukuran harga yang “wajar” menurut pandangan orang berbeda-
beda dan bersifat relatif. Diharapkan ada standarisasi dalam peraturan
perundang-undangan mengenai “harga yang wajar”.
b. Dalam penggabungan, UUPT seolah-olah mewajibkan adanya persetujuan
karyawan, padahal penggabungan (merger) itu wewenang pemilik
perusahaan (para pemegang saham). Dalam operasional sebuah perseroan
terbatas, lembaga tertinggi yang berwenang memutuskan aksi perseroan
termasuk merger adalah Rapat Umum Pemegang Saham. Hal-hal tersebut
rancu dan membingungkan sehingga menimbulkan kesalahpahaman, untuk
itu perlu dibenahi aturannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi. 2007. Hukum Perbankan (Suatu Tinjauan Pencucian Uang,


Merger, Likuidasi, dan Kepailitan). Jakarta: Sinar Grafika.

Chatamarrasjid Ais. 2004. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual


Hukum Perusahaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Cornelius Simanjuntak. 2004. Hukum Merger Perseroan Terbatas (Teori dan


Praktek). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong. 2005. Hukum Dalam Ekonomi,
Edisi Revisi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

47
I Nyoman Tjager. 2003. Corporate Governance. Jakarta: Prenhalindo.

Jamal Wiwoho. 2007. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.

_______. 2007. Pengantar Hukum Bisnis. Surakarta: Sebelas Maret University


Press.

Johnny Ibrahim. 2006. Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori, dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing.

Misahardi Wilamarta. 2002. Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka


Good Corporate Governance. Jakarta: Universitas Indonesia.

Munir Fuady. 1997. Pembiayaan Perusahaan Masa Kini (Tinjauan Hukum


Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti.

_______. 1999. Hukum Bisnis. Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua. Bandung:
Citra Aditya Bakti.

_______. 1999. Hukum Tentang Merger. Bandung: Citra Aditya Bakti.

_______. 2002. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum). Bandung: Citra Aditya
Bakti.

_______. 2005. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global.
Bandung: Citra Aditya Bakti.

_______. 2005. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. Bandung: CV


Utomo.’
Nindyo Pramono. 2001. Sertifikasi Saham PT Go Publik dan Hukum Pasar Modal
di Indonesia.. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Christian Herdinata. 2008. “Good Corporate Governance Vs Bad Corporate


Governance :Pemenuhan Kepentingan Antara Para Pemegang Saham
Mayoritas dan Pemegang Saham Minoritas”. The 2nd National Conference
UKWMS Surabaya, 6 September 2008.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan Atas


Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Stbl.
1847:23).

48
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 mengenai Penggabungan, Peleburan,
dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai


pengganti atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas.

Maman Suleman. Bentuk, jenis dan macam badan saha/organisasi bisnis


perusahaan, pengertiaan definisi ilmu sosial ekonomi pembangunan.
momonsolommon.blogspot.com. Diakses pada tanggal 09 Mei 2009 pukul
10.00.

www.madaniri.com. Diakses pada tanggal 23 April 2015 pukul 10.00.

www.pustaka.net. Analisis Dampak Jangka Panjang Merger dan Akuisisi


Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Pengakuisisi dan Perusahaan
Diakuisisi di Bursa Efek Jakarta(BEJ)). Diakses pada tanggal 23 April
2015 pukul 11.00

49

Anda mungkin juga menyukai