A. Pendahuluan
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut
diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang
berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang
menyeluruh.
Pembangunan yang dilaksanakan negara Indonesia mencakup dalam
segala bidang kehidupan bangsa. Pembangunan di bidang hukum diarahkan
pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mencakup pembangunan
materi hukum, aparatur hukum, serta sarana prasarana hukum. Pembangunan
di bidang hukum tersebut dilakukan dalam rangka pembangunan negara
hukum serta untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dan
tenteram. Kelangsungan dan berhasilnya pembangunan nasional sangat
bergantung pada berbagai macam faktor. Di bidang hukum misalnya faktor
yang sangat dominan bagi keberhasilan pembangunan hukum di Indonesia
adalah kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat.
Perkembangan zaman sudah semakin maju. Hal ini menyebabkan
kompetisi di dunia usaha makin meningkat. Negara Indonesia merupakan
negara berkembang yang menitikberatkan peningkatan pembangunan di
segala bidang. Dewasa ini arah dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh
1
pemerintah pada dasarnya bertumpu pada Trilogi pembangunan, dengan
penekanan pada segi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, disamping
usaha mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas
nasional yang mantap. Pengembangan dunia usaha merupakan salah satu
faktor yang ikut menentukan berhasil tidaknya pembangunan. Arah
pembangunan di sektor ekonomi merupakan kewajiban pemerintah dalam
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam rangka pengembangan dunia
usaha dan penciptaan iklim usaha yang baik yang mendorong kearah
pertumbuhan.
Awal dekade 1990-an, banyak perusahaan-perusahaan Indonesia
yang mengencangkan ikat pinggang. Banyak yang terpaksa memangkas
perusahaannya atau bahkan ada pula yang terpaksa melego perusahaan ke
pihak lain atau tutup sama sekali. Sehingga dewasa ini istilah restrukturisasi
perusahaan menjadi populer. Restruksturisasi perusahaan di Indonesia
umumnya terjadi karena ingin mengembangkan usahanya, sebelumnya
perusahaan telah over ekspansi, selain itu juga karena terlilit hutang yang
membengkak, dan mengembangkan usahanya dalam waktu yang relatif
singkat sehingga diperlukan efisiensi.
Dengan restrukturisasi, umumnya yang menjadi titik fokus adalah
peningkatan efisiensi, yakni agar pengeluaran biaya sehari-hari lebih kecil,
dan tentu juga diharapkan dana dari hasil penjualan perusahaan saham, atau
memperbaiki kinerja perusahaan. Dalam era pasar bebas, persaingan usaha di
antara perusahaan-perusahaan yang ada semakin ketat. Kondisi demikian
menuntut perusahaan untuk selalu mengembangkan strategi perusahaan agar
dapat bertahan atau bahkan lebih berkembang. Untuk itu perusahaan perlu
mengembangkan suatu strategi agar perusahaan bisa mengembangkan
eksistensinya dan memperbaiki kinerjanya. Strategi yang tepat dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan perusahaan ditempuh adalah dengan melakukan
ekspansi baik itu internal maupun eksternal. Internal dilakukan dengan
menambah kapasitas produksi atau membangun divisi bisnis yang baru.
Sedangkan ekspansi eksternal dapat dilakukan salah satunya dalam bentuk
2
penggabungan usaha. Penggabungan (merger) sebenarnya hanyalah salah satu
metode untuk melakukan restrukturisasi perusahaan disamping-bentuk-bentuk
lainnya. Merger menjadi trend dalam suatu usaha yang ingin memperluas
usahanya.
Pada dasarnya merger adalah suatu keputusan untuk
mengkombinasikan/menggabungkan dua atau lebih perusahaan (perseroan)
menjadi satu perusahaan baru. Dalam konteks bisnis, merger adalah suatu
transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi menjadi satu unit
ekonomi yang baru. Proses merger umumnya memakan waktu yang cukup
lama, karena masing-masing pihak perlu melakukan negosiasi, baik terhadap
aspek-aspek permodalan maupun aspek manajemen, sumber daya manusia
serta aspek hukum.
Dalam dunia bisnis Indonesia ternyata merger telah berkembang
pesat dan cukup dominan dipilih oleh raksasa-raksasa bisnis di Indonesia.
Menurut data statistik Bursa Efek Jakarta, sebelum krisis moneter antara
tahun 1995-1997 perusahaan go public tercatat kurang lebih sebanyak 259
perusahaan dan yang melakukan penggabungan usaha kurang lebih 57
perusahaan dan pada saat itu Indonesia belum mengalami krisis moneter.
Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan penggabungan usaha antara lain
adalah untuk mengatasi maslah finansial, memperluas jangkauan usaha,
memperkuat sumber daya dan mengurangi tingkat persaingan diantara sesama
perusahaan (http://www.skripsi-tesis.com/07/05/pengaruh-penggabungan-
usahaterhadap-harga-dan-volume-perdagangan-saham-pada-perusahaan-
yang-go-publpasca-krisis-moneter-pdf-doc.htm).
Menurut Munir Fuady (2002: 6) dalam menjalankan suatu proses
restrukturisasi perusahaan, ada beberapa karakteristik yaitu sebagai berikut:
1. Adanya kebutuhan dana baru yang akan digunakan untuk modal kerja dan
rehabilitasi properti.
2. Ditemukan dan diminimalkan sebab-sebab kegagalan operasi dan
kegagalan managerial dari perusahaan yang direkstrukturisasi.
3. Adanya kegagalan dari perusahaan tersebut, baik karena
ketidakmampuannya menunaikan kewajiban finansialnya pada saat jatuh
tempo ataupun karena jumlah kewajiban finansialnya melebihi asset-
3
asetnya. Karena itu haruslah dirombak sifat dan jumlah dari kewajiban
finansial perusahaan tersebut. Selanjutnya dalam setiap tindakan
reorganisasi suatu perusahaan, haruslah berkiblat kepada performance
perusahaan yang lebih baik di masa depan setelah reorganisasi. Dengan
kata lain bahwa tindakan reorganisasi perusahaan haruslah feasible. Untuk
itu tindakan reorganisasi tersebut haruslah dapat meningkatkan earning
power (pendapatan) dari perusahaan yang bersangkutan.
4
Salah satu unsur yuridis terpenting dalam suatu penggabungan
perusahaan (merger) adalah unsur fairness (adil). Jadi, merger haruslah
dilaksanakan secara adil. Adil disini adalah adil bagi semua pihak. Dengan
adanya tindakan penggabungan (merger), ada pihak-pihak tertentu yang
tergolong lemah/ kecil yang kedudukannya menjadi riskan. Karena itu, adalah
menjadi tugas sektor hukum untuk menjaga keadilan dengan melindungi
pihak-pihak yang lemah tersebut.
B. Rumusan Masalah
Pokok Permaslaahan dalam penulisan makalah ini adalah Sejauh
manakah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
memberikan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang lemah dalam
penggabungan perseroan?
C. Pembahasan
1. Bentuk Perlindungan Hukum Pihak–Pihak Yang Lemah Dalam
Penggabungan Perseroan
a. Dari Segi Finansial
5
saham minoritas, pihak pemegang saham mayoritas mempunyai
berbagai kepentingan, antara lain :
6
fiduciary duty yang mempunyai tujuan utama yang sama yaitu untuk
melindungi kepentingan pihak stakeholder, termasuk pemegang saham
minoritas.
7
struktur perusahaan dengan tanggung jawab terbatas dapat
mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat
perusahaan dan direksi dalam kasus kejahatan tersebut artinya
bahwa apabila dalam suatu perusahaan terjadi kejahatan yang
sengaja dilakukan oleh organisasi perusahaan tersebut dengan
maksud dan tujuan yang merugikan perusahaan maka tanggung
jawab yang melekat pada pemegang saham, pejabat perusahaan,
dan direktur perusahaan dapat dikesampingkan, artinya apabila ada
kejahatan yang dilakukan oleh organisasi perusahaan maka pihak
yang dirugikan termasuk pemegang saham minoritas dapat
menuntut pelaku kejahatan untuk menanggung semua kerugian
yang timbul. Sebagai ilustrasi apabila perusahaan rugi maka
pemegang saham hanya menanggung kerugian sebesar saham yang
disetor, namun dalam hal ini apabila terjadi kejahatan yang
disengaja maka pemegang saham minoritas dapat melakukan upaya
hukum untuk tetap mendapatkan bagian dari perusahaan tersebut.
8
Sebagaimana diketahui bahwa Code Napoleon tidak mengakui
adanya prinsip fiduciary duty/ trustee ini. Hubungan antara direksi
dengan perseroan yang dipimpinnya dalam sistem hukum Eropa
Kontinental adalah hubungan hukum keagenan atau pemberian
kuasa. Jadi bukan hubungan fiduciary yang menimbulkan fiduciary
duty. Setelah berlakunya UUPT, banyak teori hukum yang semula
tidak ada atau tidak berlaku diadopsi dan diberlakukan di Indonesia
, termasuk teori fiduciary duty ini yang juga ikut diberlakukan oleh
UUPT tersebut.
Istilah fiduciary duty berasal dari dua kata, yaitu : fiduciary,
dan duty, istilah duty banyak dipakai dimana-mana, yang berarti
tugas. Istilah fiduciary berasal dari bahasa latin yaitu fiduciarius
dengan akar kata fiducia yang berarti kepercayaan atau dengan
kata fidere yang berarti mempercayai, sehingga dengan istilah
fiduciary diartikan sebagai “memegang suatu kepercayaan” atau
“seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk
kepentingan orang lain”. Misalnya di bidang bisnis seseorang
dikatakan mempunyai tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala
bisnis yang ditransaksikannya atau uang atau properti yang
dihandel bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya,
melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain itu
dimana orang lain tersebut memiliki kepercayaan yang besar (great
trust) kepadanya. Sementara itu di lain pihak ia wajib mempunyai
itikad baik yang tinggi (high degree of faith) dalam menjalankan
tugasnya (Munir Fuady, 2002:33). Chatamarrasjid menyatakan,
direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukan
yang diperolehnya berdasarkan dua prinsip dasar, yaitu pertama,
kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty)
dan kedua duty of skill and care (Chatamarrasjid Ais, 2000:220)
Berdasarkan pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan
pengertian Fiduciary Duty adalah kepercayaan penuh yang
9
diberikan oleh pemegang saham secara keseluruhan untuk
mengelola perusahaan ataupun untuk menjalankan tugas-tugas
tertentu seperti tugas direksi, komisaris, dan bertanggung jawab
secara penuh atas segala tindakannya yang menimbulkan kerugian
bagi perusahaan. Sehingga penerima kepercayaan mempunyai
tanggung jawab kepada pemegang saham. Dalam hubungannya
dengan perlindungan kepada pemegang saham minoritas adalah
adanya suatu jaminan kerugian yang timbul karena kesalahan
organ perseroan yang merugikan pemegang saham secara
keseluruhan, umumnya pemegang saham minoritas yang seringkali
menjadi objek tindakan kesewenang-wenangan.
3. Doktrin Ultra Vires
10
merupakan suatu kebebasan organ perseroan dalam menjalankan
tugasnya. Sepanjang tidak keluar dari pranata-pranata yang telah
diatur sebelumnya baik oleh undang-undang maupun anggaran
dasar perseroan.
Hak pemegang saham Menurut Sumantoro dalam bukunya
Nindyo Pramono berjudul “Sertifikasi Saham PT Go Publik dan
Hukum Pasar Modal di Indonesia”, secara umum dapat disebutkan
bahwa hak-hak pemegang saham itu berkaitan dengan antara lain :
11
perangkat hukum tentang perlindungan hukum terhadap pemegang
saham minoritas juga harus dititikberatkan kepada usaha
pencapaian keadilan.
12
Transparansi, Akuntabilitas, dan Responsibilitas (Widi Astuti,
2006:67). Melalui unsur-unsur inilah maka prinsip Good Corporate
Governance dapat memberikan perlindungan hukum terhadap
pemegang saham minoritas.
Menurut Christian Hedinata, penerapan prinsip-prisip Good
Corporate Governance merupakan upaya agar terciptanya
keseimbangan antar kepentingan dari para stakeholder yaitu
pemegang saham mayoritas, pemegang saham minoritas, kreditor,
manajemen perusahaan, karyawan perusahaan, suppliers,
pemerintah, konsumen dan tentunya para anggota masyarakat yang
merupakan indikator tercapainya keseimbangan kepentingan,
sehingga benturan kepentingan yang terjadi dapat diarahkan dan
dikontrol serta tidak menimbulkan kerugian bagi masingmasing
pihak (Christian Hedinata, 2008:1).
Beberapa aspek penting dari Good Corporate Governance
yang perlu dipahami beragam kalangan di dunia bisnis, yakni;
1. Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan
di antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komisaris,
dan direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang berkaitan
dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga
organ perusahaan tersebut (keseimbangan internal).
2. Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas
bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Tanggung
jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan
hubungan antara perusahaan dengan stakeholders
(keseimbangan eksternal). Di antaranya, tanggung jawab
pengelola / pengurus perusahaan, manajemen, pengawasan, serta
pertanggungjawaban kepada para pemegang saham dan
stakeholders lainnya.
3. Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi
yang tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai
perusahaan. Kemudian hak berperan serta dalam pengambilan
keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan
mendasar atas perusahaan serta ikut menikmati keuntungan yang
diperoleh perusahaan dalam pertumbuhannya.
4. Adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham,
terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing
melalui keterbukaan informasi yang material dan relevan serta
13
melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa
menguntungkan orang dalam (insider information for insider
trading) (www.madaniri.com).
14
( Munir Fuady, 2005: 138). Perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas dalam hal seperti ini, dilakukan dengan
memperkenalkan prinsip special vote, yang operasionalisasinya
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Prinsip Silent Majority
15
Perseroan terbatas yang standar umumnya memberlakukan
prinsip super majority dalam hal-hal tertentu yang mungkin
menjadi krusial bagi seluruh pemegang saham, termaasuk
yang minoritas. Undang-Undang Perseroan Terbatas
memberlakukan prinsip super majority, baik dalam hal-hal
yang ditentukan sendiri dalam anggaran dasar perseroan
(Pasal 87 ayat (2)), ataupun terhadap kegiatan-kegiatan
yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya jika
perseroan melakukan kegiatan-kegiatan yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya jika perseroan
melakukan tindakan berupa perubahan anggaran dasar
(Pasal 88), merger, akuisisi, konsolidasi, kepailitan,
likuidasi (Pasal 89), atau pembelian kembali saham (Pasal
38).
Pasal 87
(1) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah
untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk
mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari
1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang
dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran
dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika
disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.
Pasal 88
(1) RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat
dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua
pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan
adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga)
bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali
anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau
ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang
lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diselenggarakan
RUPS kedua.
16
(3) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah
dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat
paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili
dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara
yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan
kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang
pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat
(5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis
mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) mengenai kuorum kehadiran dan
ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang
tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal.
Pasal 89
(1) RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan
permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit,
perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan
pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam
rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan
tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS
yang lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan RUPS
kedua.
(3) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah
dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili
dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui
oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan
17
tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS
yang lebih besar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat
(5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis
mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) mengenai kuorum kehadiran dan/atau
ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang
tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal.
Pasal 38
(1) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) atau pengalihannya lebih lanjut
hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS,
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
(2) Keputusan RUPS yang memuat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila
dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan
rapat, kuorum, dan persetujuan jumlah suara untuk
perubahan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
18
Pasal 62
(1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar
sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang
bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan
pemegang saham atau Perseroan, berupa:
a. perubahan anggaran dasar;
b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang
mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan
bersih Perseroan; atau
c. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
(2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham
oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli
oleh pihak ketiga.
Pasal 61
(1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan
Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai
akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Perseroan.
Pasal 80 (1):
Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan
pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang meminta
penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon
melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.
Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota
Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan
kerugian pada perseroan.
19
suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena
kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke
pengadilan negeri.
Pasal 97 ayat 6 dan Pasal 114 ayat (6) diatas merupakan
derivative suit yang telah diberikan UUPT kepada pemegang saham
minoritas perseroan. Derivative suit berarti gugatan yang berdasarkan
pada hak utama (primary right) dari perseroan, tetapi dilaksanakan oleh
pemegang saham atas nama perseroan, atau dengan kata lain derivative
suit merupakan gugatan yang dilakukan oleh para pemegang saham
untuk dan atas nama perseroan. Jadi, jika dalam gugatan biasa, direksi
yang mewakili perseroan, tetapi dalam gugatan derivatif, justru
pemegang sahamlah yang mewakili perseroan. Dalam gugatan derivatif
ini pihak tergugat adalah direksi perseroan atau bisa jadi perseroan itu
sendiri dalam statusnya sebagai badan hukum yang bisa menjadi subjek
hukum perdata.
Pasal 138
(1) Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan
bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang
merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan
melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang
saham atau pihak ketiga.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya
ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Perseroan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan
oleh :
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling
sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara;
b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan,
anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan
diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan;
atau
c. kejaksaan untuk kepentingan umum.
20
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan
setelah pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan
kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan tidak memberikan
data atau keterangan tersebut.
(5) Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang
Perseroan atau permohonan pemeriksaan untuk mendapatkan data
atau keterangan tersebut harus didasarkan atas alasan yang wajar
dan itikad baik.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) huruf a,
dan ayat (4) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal menentukan lain.
Pasal 139
(1) Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau mengabulkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.
(2) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menolak permohonan apabila permohonan tersebut tidak
didasarkan atas alasan yang wajar dan/atau tidak dilakukan dengan
itikad baik.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan, ketua pengadilan negeri
mengeluarkan penetapan pemeriksaan dan mengangkat paling
banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan pemeriksaan dengan
tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan.
(4) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan
Perseroan, konsultan, dan akuntan publik yang telah ditunjuk oleh
Perseroan tidak dapat diangkat sebagai ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(5) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memeriksa
semua dokumen dan kekayaan Perseroan yang dianggap perlu oleh
ahli tersebut untuk diketahui.
(6) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua
karyawan Perseroan wajib memberikan segala keterangan yang
diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
(7) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib merahasiakan hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan.
Pasal 140
(1) Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 kepada ketua pengadilan negeri dalam
jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam penetapan pengadilan
untuk pemeriksaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil
pemeriksaan kepada pemohon dan Perseroan yang bersangkutan
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima.
21
Selain UUPT, mengenai perlindungan hukum bagi pemegang
saham minoritas dalam merger juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1998 Tanggal 24 Februari 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Hal ini termuat dalam Pasal 4 ayat (1):
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan
dengan memperhatikan:
a. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan
perseroan yang bersangkutan;
b. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan
usaha.
2. Hak Appraisal
22
saham atau bagi perusahaan secara kesuluruhan, misalnya merger,
akuisisi, dan lain-lain. Karena itu, terhadap tindakan-tindakan biasa dari
direksi, tidak ada hak untuk memberikan dissenting opinion tersebut.
Setelah memberikan dissenting opinion tersebut, dan pihak pemegang
saham mayoritas tetap ada pada pendiriannya dalam arti tetap berbeda
pendapat dengan pemegang saham minoritas, maka pihak pemegang
saham minoritas dapat mempergunakan hak appraisalnya (appraisal
rights), yang merupakan hak untuk keluar dari perusahaan dengan
kewajiban dari pihak perusahaan atau pemegang saham lain untuk
membeli saham pemegang saham yang keluar tersebut dengan saham
yang dinilai (appraise) pada harga yang pantas.
Selanjutnya, jika dilihat dari eksistensinya dari pihak pemegang
saham minoritas, hukum menyediakan dua cara bagi pihak pemegang
saham minoritas untuk dapat melindungi dirinya sendiri, yaitu sebagai
berikut: pertama, Hak untuk keluar dari perusahaan, yaitu hak untuk
keluar (exit right) adalah hak dari pemegang saham minoritas yang
merasa dirugikan untuk keluar dari perusahaan tersebut tetapi dengan
tidak dirugikan kepentingannya disamping juga tidak merugikan
kepentingan pihak perusahaan. Apa yang dikenal dengan hak appraisal
merupakan salah satu model dari exit right ini. Model yang lain adalah
permohonan ke RUPS agar perusahaan dibubarkan, dan juga bisa
permohonan pembubaran perusahaan ke pengadilan, karena keadilan
dapat dicapai dengan pembubaran perusahaan tersebut. Perkembangan
dalam Ilmu Hukum Perusahaan adalah adanya perubahan paradigma
dari semula exit right merupakan tanda tidak loyalnya pemegang saham
yang menggunakan hak tersebut, kemudian berubah menjadi hanya
semata-mata sebagai penggunaan salah satu hak biasa dari pemegang
saham minoritas. Kedua Hak untuk memperbaiki dari dalam, yaitu
Dengan hak memperbaiki dari dalam, pihak pemegang saham minoritas
menggunakan hak-hak yang diberikan oleh hukum kepadanya, tetapi
tidak sampai keluar dari perusahaan, melainkan dia tetap masih
23
memegang saham sebagaimana mestinya. Misalnya untuk melindungi
dirinya , pemegang saham minoritas mengajukan gugatan derivatif, atau
meminta pengadilan untuk menunjuk ahli untuk melakukan
pemeriksaan ke dalam perusahaan.
Dengan demikian, penggunaan hak appraisal, yang merupakan
pengejawantahan dari exit right tersebut, merupakan salah satu model
untuk melindungi pemegang saham minoritas, yaitu perlindungan
dengan memberikan kompensasi. Disamping model-model lain dalam
hukum perusahaan baik yang ditemukan dalam UUPT maupun yang
tidak ditemukan dalam UUPT.
Terdapat beberapa teori hukum yang dikenal dalam dunia ilmu
hukum korporat mengenai appraisal rights, yaitu sebagai berikut (Munir
Fuady, 2005: 194-196):
a. Teori-teori hukum pendukung Appraisal Rights
1) Teori Maksud Tak Sampai (defeated expectations)
Teori maksud tak sampai adalah suatu teori yang
mengajarkan bahwa jika seseorang telah memiliki saham dalam
suatu perseroan yang bergerak di bidang tertentu, tidaklah dapat
dipaksakan dianya untuk memiliki saham pada perusahaan yang
sudah berbeda sebagai akibat dari merger, misalnya,
sungguhpun dia hanyalah pemegang saham minoritas. Karena
itu, daripada dipaksakan dia berada dalam perusahaan yang
sudah tidak disenanginya, lebih baik dia keluar dari perusahaan
tersebut dan mencari perusahaan lain yang lebih dia senangi.
Dengan demikian, lebih baik kepadanya diberlakukan pranata
hukum yang disebut dengan appraisal rights. Akan tetapi ada
setidaknya dua kritikan yang sering diajukan terhadap teori
maksud tak sampai ini yaitu. Pertama, keinginan investor
(pemegang saham) sebenarnya lebih tertuju kepada
penghindaran resiko dan kepada return / pengembalian yang
didapat. Mereka tidak terlalu mempedulikan hal-hal yang
24
bersifat sentimen, ideologi, jenis kegiatan dari perusahaan, dan
lainlain. Kedua, umumnya investor terutama investor
perusahaan terbuka justru lebih menginginkan agar perusahaan
tersebut sering melakukan perubahan korporat dalam hubungan
dengan investasi mereka.
2) Teori Locus Poenitentiae
Teori Locus Poenitentiae (penyesalan) ini mengajarkan
bahwa dengan adanya appraisal rights berarti kepada pihak
menajemen yang melakukan deal merger misalnya, mereka
akan melakukannya dengan sangat hati-hati sehingga terdorong
untuk tidak melakukan merger yang merugikan perusahaan/
pemegang saham. Jadi pemberlakuan pranata hukum appraisal
rights ini merupakan sarana pengecekan, tetapi terasa tidak
terlalu mencampuri urusan manajemen yang kemungkinan
melakukan keputusan yang salah dalam melaksanakan merger
tersebut.
3) Teori Kompensasi
Teori kompensasi ini mengajarkan bahwa tetap ada
kemungkinan adanya pihak pemegang saham yang dirugikan
karena adanya pranata hukum seperti merger tersebut. Karena
itu, pemberlakuan appraisal rights bagi pemegang saham yang
dirugikan tersebut, yakni dengan dibelinya kembali saham-
saham dari pihak yang tidak menyetujui merger, dapat
merupakan suatu kompensasi yang adil atas kerugian tersebut.
25
anggaran dasar dan sebagainya yang juga potensial untuk
merugikan kepentingan saham mayoritas. Misalnya, manajemen
mengubah secara drastis haluan bisnis dari perusahaan tersebut,
yang dalam hal ini tidak diberikan appraisal rights kepada
pemegang saham minoritas yang tidak menyetujuinya.
2) Teori Pasar Modal
Teori ini mengajarkan bahwa khususnya terhadap
perusahaan terbuka, maka appraisal rights tidak diperlukan
mengingat pihak yang menyetujuinya dapat menjual sahamnya
di pasar modal dengan harga pasar. Harga pasar tersebut dapat
dianggap harga yang layak bagi saham yang bersangkutan.
3) Teori Penyetoran Dana
Teori penyedotan dana (cash drain) mengajarkan bahwa
dengan diberlakukannya appraisal rights ini, maka
kemungkinan perusahaan akan kekurangan dana karena
perusahaan harus membeli saham pemegang saham minoritas
yang tidak menyetujui tindakan perseroan tersebut. Kekurangan
dana ini bukan tidak mungkin menyebabkan secara langsung
atau tidak langsung perusahaan membatalkan tindakannya
tersebut, sungguhpun tindakan tersebut mungkin sangat
bermanfaat bagi perusahaan yang bersangkutan. Namun
demikian terdapat juga berbagai sanggahan terdapat teori
penyedotan dana ini yaitu: Pertama, Jika merger tersebut
bermanfaat bagi perusahaan, mengapa pemegang saham
minoritas terlalu sulit diyakinkan, tentu appraisal rights tersebut
tidak akan dilaksanakan. Kedua, Jika merger tersebut
bermanfaat bagi perusahaan, tentu tidak sulit bagi manajemen
perusahaan untuk mencari sumber dana sekedar untuk
membayar harga saham dalam hal pelaksanaan appraisal rights
tersebut. Karena itu, penyedotan dana perusahaan mestinya tidak
perlu dirisaukan.
26
Mengenai hak appraisal UUPT telah mengakomodasinya dalam
Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 62
Pasal 37 ayat (1) :
(1) Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan
dengan ketentuan:
a. Pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan
kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah
modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah
disisihkan; dan
b. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh
Perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham
yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain
yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki
oleh perseroan, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah
modal yang ditempatkan dalam perseroan, kecuali diatur lain
dalam peraturan perundang undangan di bidang pasar modal.
Pasal 62 :
(1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar
sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan
tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang
saham atau Perseroan, berupa:
a. Perubahan anggaran dasar;
b. Pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang
mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan
bersih perseroan; atau
c. Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
(2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham
oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf
b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak
ketiga.
27
c. Hak appraisal baru ada jika perseroan melakukan tindakan korporat
tertentu yang merugikan kepentingan pemegang saham, yaitu
tindakan-tindakan perseroan sebagai berikut :
1) Perubahan anggaran dasar.
2) Pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang
mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan
bersih perseroan.
3) Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
d. Jika perusahaan tidak dapat membelinya lagi karena melebihi batas
maksimum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b
UUPT, maka perusahaan wajib mengusahakan agar sisa saham
dibeli oleh pihak lain, meskipun hal tersebut tentu tidak gampang
dilakukan, terlebih ketentuan dalam Pasal ini masih harus
dikomparasikan dengan peraturan perundang-undang di bidang
pasar modal, dan UUPT hanya Lex Generalisnya.
e. Harga pembelian saham oleh perusahaan harus diambil dari laba
bersih perusahaan.
f. Pembelian kembali saham tidak menyebabkan kekayaan bersih
perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan
ditambah cadangan yang diwajibkan.
g. Jumlah nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan bersama
dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham yang
dipegang, tidak melebihi 10 % dari jumlah modal yang
ditempatkan kecuali Undang-undang Pasar Modal mengatur lain.
h. Pembelian kembali saham tidak menyebabkan ditariknya saham
tersebut, kecuali dalam hal pengurangan modal.
i. Perolehan saham oleh perseroan yang bertentangan dengan Pasal
37 UUPT akan batal demi hukum.
j. Jika ada pihak ketiga yang beritikad baik yang dirugikan karena
batalnya perolehan saham tersebut, akan ditanggung secara renteng
oleh direksi perseroan.
28
k. Perusahaan dapat membeli saham diluar ketentuan hak appraisal,
dengan catatan tidak melebihi batas maksimum sebagaimana yang
ditentukan oleh Pasal 37 ayat (1) UUPT.
29
mempertimbangkan pemberian putusan yang dapat dijalankan terlebih
dahulu (uitvoorbaar bij voorraad), sehingga pemegang saham
minoritas akan lebih cepat mendapatkan haknya. Bahkan keterlibatan
pengadilan dalam hal ini mestinya hanya sebatas pemberian penetapan
saja, yang prosedurnya lebih cepat daripada prosedur biasa yang
menghasilkan suatu putusan pengadilan itu. Tentu hal ini baru dapat
direalisasikan oleh pengadilan bila ada undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya, misalnya jika ada penyebutan yang secara tegas dalam
Undang-undang perseroan terbatas, yang sampai saat ini ternyata
ketentuan tersebut belum ada.
30
atau tidak menghasilkan, padahal harga aset tersebut lumayan besar
dan signifikan (Munir Fuady, 1999:141-142).
Penerapan perlindungan hukum terhadap pemegang saham
minoritas tidaklah mudah. Pemegang saham minoritas yang tidak
menyetujui pelaksanaan merger selalu mengalami kesulitan untuk
melaksanakan hak-haknya terutama dalam rangka meminta
pertanggungjawaban dari perseroan. Kadangkala tindakan merger yang
dianggap merugikan tersebut, oleh direksi/komisaris atau pemegang
saham mayoritas justru dianggap sebagai suatu tindakan yang paling
tepat bagi perseroan.
31
Untuk dapat terlaksananya hak-hak pekerja ada beberapa syarat
yaitu (www.Maulabour.wordpress.com.):
1. Adanya pengetahuan dan pemahaman para pekerja terhadap hak-hak
mereka yang telah secara tegas diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Hak tersebut dipandang dan dirasakan oleh para pekerja sebagai suatu
yang esensial untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka.
3. Adanya prosedur-prosedur hukum yang memadai yang diperlukan
guna menuntut hak para pekerja itu tetap dihormati dan dilaksanakan.
4. Adanya kecakapan dari pekerja untuk memperjuangkan dan
mewujudkan haknya.
5. Adanya sumberdaya politik yang memadai yang diperlukan oleh para
pekerja guna memperjuangkan perwujudan hak mereka.
32
diputuskan untuk di PHK. Dalam sistem hukum di Indonesia, pihak
karyawan hampir-hampir tidak punya upaya hukum apapun untuk menolak
PHK tersebut. Hal ini dikuatkan dalam UU Nomor 13 tentang
Ketenagakerjaan
Pasal 163:
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan,
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh
tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).
33
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara
perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan
perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka
perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang
bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Pasal 4 (1):
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan
dengan memperhatikan:
a. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritass, dan karyawan
perseroan yang bersangkutan;
b. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Pasal 12
Ringkasan atas Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 wajib diumumkan oleh direksi dalam 2 (dua) surat kabar harian
serta diumumkan secara tertulis kepada karyawan perseroan yang akan
melakukan penggabungan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham ,asing-masing perseroan.
34
Pasal 26 ayat (3) huruf j:
“Cara penyelesaian status karyawan dari perseroan yang akan diambil
alih”. Lebih jelasnya adalah direksi perseroan yang akan diambil alih dan
pihak yang akan mengambil alih masing-masing menyusun usulan rencana
pengambilalihan yang wajib mendapat persetujuan komisaris perseroan
yang akan diambil alih, dan yang mengambil alih atau lembaga serupa dari
pihak yang akan mengambil alih. Dalam usulan tersebut memuat salah
satunya adalah cara penyelesaian status karyawan dari perseroan yang
akan diambil alih.
Pasal 29:
Ringkasan rancangan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 wajib diumumkan oleh Direksi dalam 2 (dua) surat kabar harian
serta diberitahukan secara tertulis kepada karyawan Perseroan yang
melakukan pengambilalihan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
pemanggilan Rapat Umum Pemegang saham masing-masing perseroan
35
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga
pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh
rancangan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan di
kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS
diselenggarakan.
c. Segi Lokalisasi
1. Bentuk perlindungan hukum kepada Kreditor
36
merupakan tindakan hukum dan mempunyai aspek hukum. Salah satu
syarat pelaksanaan merger adalah memperhatikan kepentingan kreditor.
Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 , Pasal
5 yang bunyinya : Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan juga
harus memperhatikan kepentingan kreditor.
Pasal 127
(4) Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengenai Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sesuai dengan rancangan
tersebut.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
kreditor tidak mengajukan keberatan, kreditor dianggap menyetujui
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
(6) Dalam hal keberatan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat
diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus disampaikan dalam
RUPS guna mendapat penyelesaian.
(7) Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum
tercapai, Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan
tidak dapat dilaksanakan.
37
“mengasumsi” (menerima) pengalihan tanggung jawab hukum yang
bersangkutan.
b. Jika pihak direktur perusahaan yang telah lenyap tidak aware ( sadar)
akan adanya hutang tesebut sehingga tidak didisclose, maka
kemungkinan yang terjadi adalah sebagai berikut:
Pasal 92 (1):
(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Pasal 97
(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab.
Pasal 114
(1) Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1)
(2) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik,
kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan
tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk
38
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan.
(3) Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab
secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota
Dewan Komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi
setiap anggota Dewan Komisaris.
(5) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-
hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan;
b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung
maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi
yang mengakibatkan kerugian; dan
c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah
timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
39
dunia usaha telah memaksa para pelaku usaha untuk melakukan segala
upaya agar usahanya tetap dapat berlangsung. Ada pelaku usaha yang
melakukannya dengan cara-cara yang sehat, tetapi ada juga yang
menghalalkan segala cara yakni, melakukan persaingan usaha yang tidak
sehat (Jamal Wiwoho, 2007:67).
40
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Dalam penjelasannya, dalam penggabungan harus dicegah kemungkinan
terjadinya monopoli ataupun monopsoni dalam berbagai bentuk yang
merugikan masyarakat.
41
1365 KUH Perdata yaitu ”tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sedangkan bunyi Pasal 382 bis KUHP yaitu ”barang siapa untuk
mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau
perusahaan milik sendiri/ orang lain, melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam jika
perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konruen-konruennya atau
konruen-konruen orang lain, karena persaingan curang, dengan pidana 1
tahun 4 bulan atau denda Rp.13.000,00.”
Dari rumusan pasal 382 bis KUHP, terlihat bahwa agar seseorang
dapat dikenakan pidana “persaingan curang” harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu (Elsi Kartika Sari & Advendi Simangunsong,
2005:131&132):
a. Harga produk akan tinggi karena tidak adaanya kompetisi. Ini akan
mendorong timbulnya inflasi, sehingga merugikan masyarakat luas.
42
b. Terdapatnya keuntungan di atas keuntungan normal karena monopoli.
c. Eksploitasi bisa terjadi baik terhadap pekerja/ karyawan dalam bentuk
upah dan juga terhadap konsumen, karena rendahnya mutu produk dan
hilangnya hak pilih dari konsumen. Padahal konsumen mempunyai
hak untuk memilih barang, hal itu terdapat dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 4 huruf (b)
mengenai hak konsumen: “ hak untuk memilih barang dan atau jasa
serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”.
d. Pemborosan terjadi karena perusahaan monopoli cenderung tidak
beroperasi pada rata-rata harga yang minimum, sehingga harga
tersebut akan ditanggung konsumen.
e. Monopoli menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan lain
terhambat untuk bisa masuk ke dalam bidang perusahaan tersebut, dan
nantinya akan mematikan usaha kecil.
f. Monopoli bertentangan dengan sila kelima Pancasila dan Pasal 33
UUD 1945. Bunyi Pasal 33:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
43
3) Kekuatan pasar (market power) menjadi semakin besar yang dapat
mengancam pebisnis kecil (Munir Fuady, 1999: 143)
44
persaingan pasar yang sangat dikhawatirkan adalah bahwa dengan
merger konglomerat dapat mengakibatkan hilangnya pesaing potensial.
Oleh sebab itu sering disebutkan bahwa merger konglomerat hanya
menimbulkan secondary effect terhadap persaingan pasar. Tetapi oleh
hukum inipun dianggap berbahaya bagi suatu pasar. Sehingga
munculah teori dalam hukum anti monopoli yang disebut dengan teori
Potential Competitor. Dimana menurut teori ini, agar dapat dikatakan
bertentangan dengan hukum anti monopoli, maka merger konglomerat
tersebut haruslah dilakukan dengan pihak yang merupakan Potential
Competitor, sehingga merger tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
pengekangan persaingan pasar (Munir Fuady, 1999: 148).
Berkaitan tindakan penggabungan usaha (merger) sangat riskan
memiliki potensi terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi yang berujung
pada praktek terjadinya monopoli,baik bersifat vertikal, horizontal, maupun
merger konglomerat, oleh karena itu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengaturnya, dalam hal ini diatur dalam Pasal 28 dan 29 yang menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 28
a) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
b) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilan saham perusahaan lain
apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli adan atau persaingan usaha tidak sehat.
c) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan
usaha yang dilarang sebagaiman dimaksud ayat (1), dan ketentuan
mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 29
(a) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai asset
dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib
diberitahukan kepada komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut.
45
(b) Ketentuan tentang penetapan nilai asset dan atau nilai penjualan serta
tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 91), diatur
dalam peraturan pemerintah.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang
lemah dalam penggabungan perseroan baik dari segi finansial, struktural, dan
lokalisasi, namun perlindungannya belum sempurna. Bentuk perlindungan
hukum yang diberikan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia terhadap
pihak-pihak yang lemah dalam penggabungan (merger) perusahaan/perseroan
adalah sebagai berikut:
Dari segi Finansial, dalam hal ini adalah pemegang saham minoritas.
Perlindungan hukumnya dalam UUPT terdapat dalam Pasal 126 ayat (1),
selain itu pula pemegang saham minoritas mempunyai hak appraisal (Pasal 62
dan 37 ayat (1). Dari segi Struktural, yakni karyawan perusahaan/perseroan,
dalam UUPT perlindungan hukumnya terdapat dalam Pasal 126 (1) dan Pasal
127 ayat (2) dan (3). Dari segi Lokalisasi, yakni Kreditor dan Tersaing.
Perlindungan hukum bagi Kreditor dalam UUPT terdapat dalam Pasal 126
46
ayat (1), Pasal 127 ayat (4),(5),(6),(7). Sedangkan perlindungan hukum
terhadap Tersaing dalam UUPT Pasal 126 ayat (1).
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong. 2005. Hukum Dalam Ekonomi,
Edisi Revisi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
47
I Nyoman Tjager. 2003. Corporate Governance. Jakarta: Prenhalindo.
Jamal Wiwoho. 2007. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Johnny Ibrahim. 2006. Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori, dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing.
_______. 1999. Hukum Bisnis. Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
_______. 2002. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum). Bandung: Citra Aditya
Bakti.
_______. 2005. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
48
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 mengenai Penggabungan, Peleburan,
dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
49