Anda di halaman 1dari 4

1.

Penulis : Susilawati
2. Judul : Penerapan Inovasi Pengelolaan Tanaman dan Hara Terpadu Serta Peningkatan Produktivitas Padi
di Kalimantan Tengah
3. Tujuan : mengetahui tingkat penerapan komponen PTT Padi, dan distribusi penerapan komponen PTT
padi, serta tingkat produktivitas dari penerapan inovasi PTT Padi.
4. Metode : survei dan desk study serta Focus Group Disscusion (FGD).
Kajian dilakukan di empat Kabupaten yang dipilih secara sengaja yaitu kabupaten Kapuas dan Barito
Timur, Pulang Pisau dan Barito Selatan. Jumlah responden yang dilibantkan sebanyak 96 orang, dan sekitar
5.0 ha lahan yang mengaplikasikan inovasi PTT. Selain itu melibatkan beberapa stakeholder pada
pelaksanaan FGD. Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam dua tahap berdasarkan pendekatan wilayah dan
metode penggalian informasi. Tahap I penelitian dilakukan pada bulan Juli 2011 yaitu di kabupaten Kapuas
dan Pulang Pisau. Tahap II penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2011 di kabupaten Barito Timur dan
Barito Selatan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah desk study, survey dan wawancara serta
Focus Group Disscusion (FGD). Materi survei dituangkan dalam bentuk kuesioner yang disusun dan diolah
berdasarkan deskripsi teknologi pada PTT padi sesuai Juknis Pelaksanaan PTT padi tahun 2010 yang
dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2010). Jumlah
responden yang terlibat pada kegiatan ini sebanyak 96 orang yang berasal dari 32 kelompok tani dari 16
desa dan 8 kecamatan (Tabel 1). Selain itu dilibatkan juga sebanyak 12 informan kunci atau sebanyak 3
orang dari setiap kabupaten terpilih. Informan kunci ditentukan atas pertimbangan sebagai : (1) pelaku yang
terlibat
dalam alur penyebaran inovasi (pejabat, penyuluh, teknisi) dari Dinas terkait, Lembaga Pelaksana fungsi
penyuluhan kabupaten, dan BPP; (2) petani/anggota kelompoktani yang memiliki pengalaman dalam
menerapkan teknologi dan dianggap berhasil, (3) petani/anggota kelompoktani yang memiliki pengalaman
dalam menerapkan teknologi. Semua data yang dihimpun, dianalisis secara deskriptif dan diolah secara
tabulasi dengan program microsoft excel dan dilakukan analisis dengan software SPSS, untuk menarik
kesimpulan. Untuk mengetahui tingkat penerapan komponen inovasi PTT padi, maka data yang dihimpun
diskor dan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi.

5. Hasil
Karakteristik Responden
Karakteristik terhadap responden atau petani di wilayah penelitian, diamati berdasarkan tingkat : umur,
pendidikan, pengalaman berusahatani padi unggul, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan
petani. Hasil yang dihimpun menunjukan bahwa sebanyak 46,8 persen pelaku usahatani padi dengan
pendekatan PTT di empat kabupaten terpilih dilakukan oleh petani yang berusia antara 40-50 tahun. Ini
menunjukkan bahwa aktivitas usahatani padi di lokasi penelitian masih diminati oleh kaum muda. Menurut
Kartasapoetra (1994) usia 40-50 tahun adalah usia yang tergolong muda, dan dapat mempengaruhi
kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usahataninya. Sebaliknya petani
yang berusia lanjut atau > 60 tahun akan sulit untuk diberikan pengertian-pengertian yang dapat mengubah
cara berfikir, cara kerja dan cara hidup (Acoba E.P, 2001). Tingkat pendidikan formal petani didominasi
SMA/sederajat. Terdapat 2,1 persen petani yang berpendidikan sarjana dan 7,3 persen sarjana muda.
Tingkat pendidikan petani baik formal maupun non formal akan mempengaruhi cara berfikir dan bertindak
pada penerapan usahataninya,yaitu dalam rasionalisasi usaha dan kemampuan memanfaatkan setiap
kesempatan yang ada (Mardikanto, 1993). Terkait dengan kebutuhan akan pengetahuan dan keterampilan
bagi petani, Damihartini dan Jahi (2005) menjelaskan bahwa petani yang berpendidikan formal rendah
berfokus pada kebutuhan keterampilan budidaya dan pengendalian hama. Kebutuhan petani yang
berpendidikan tinggi sudah bergeser kearah keterampilan merencanakan biaya produksi, efisiensi teknologi
serta kewirausahaan.
Sebagian besar petani memiliki pengalaman berusahatani padi unggul selama 6-15 tahun, namun terbatas
baru mengenal padi unggul, karena dalam aplikasinya tidak banyak lahan petani yang ditanami padi
unggul, setiap musim tanamannya. Petani yang kurang berpengalaman dalam penggunaan varietas unggul,
tentu membutuhkan pendampingan dan pengawalan dalam Teknik budidaya. Sementara mereka yang
memiliki pengalaman yang cukup membutuhkan keterampilan tentang efisiensi teknologi dan
kewirausahaan. Dengan demikian, pelaksanaan penyuluhan seharusnya mengikuti trend perubahan
kebutuhan petani yang semakin kompleks dan spesifik dibanding pada awal mereka mengembangkan
usaha. Penyuluh pendamping SLPTT seharusnya semakin meningkatkan kemampuannya guna mengikuti
kebutuhan petani yang semakin kompleks (Damihartini dan Jahi, 2005; Kemtan, 2011).

Sebanyak 56,3 persen petani pelaksanan perogram memiliki luas garapan 1-3 ha, jumlah
tanggungan keluarga 3-5 orang, dan tingkat pendapatan berkisar antara Rp 6.000.000 – Rp
12.000.000 per tahun. Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang
perekonomian keluarga, dan menjadi salah satu indikasi sosial ekonomi seseorang di masyarakat
di samping pekerjaan dan pendidikan (Mardikanto, 1993).
Asal responden sebagian besar adalah penduduk asli, yaitu suku Dayak untuk wilayah
Bartim dan Barsel, dan suku Banjar untuk wilayah Kapuas dan Pulang Pisau. Terdapat beberapa
responden yang berasal dari Jawa dan Bali, yang datang ke Kalimantan Tengah sebagai warga
transmigrari, yaitu suku Jawa di kabupaten Pulang Pisau, dan suku Bali di Bartim. Asal responden
ini berpengaruh terhadap adopsi inovasi PTT. Petani transmigrasi dari pulau Jawa yang sebagian
tinggal di Kabupaten Pulang Pisau umumnya sudah mampu mengaplikasikan inovasi PTT padi di
lahan usahanya.
Penerapan Komponen Inovasi PTT Padi dan Distribusinya
Hasil wawancara terhadap responden dan informan kunci, membuktikan hampir semua
responden mengetahui dan sering mendengar istilah PTT atau SLPTT, namun hanya sebagian
kecil (<10%) yang mampu mengungkapkan arti dan prinsif utama pelaksanaan PTT. Bahkan
beberapa petani beranggapan bahwa PTT adalah pembagian benih unggul gratis. Petani juga
belum banyak memahami istilah komponen utama/dasar dan komponen penunjang yang harus
diaplikasikan di dalam pelaksanaan PTT padi. Padahal dalam prakteknya petani melaksanakan
apa yang telah disampaikan dan diterimanya di tingkat lapang. Dari enam komponen utama PTT
padi yaitu benih berlabel, cara dan waktu tanam, pemupukan, pengelolaan air, pengelolaan OPT
dan penanganan panen dan pasca panen, belum seluruhnya dapat dilakukan oleh petani yang
terlibat program SLPTT padi.
Hasil aplikasi komponen PTT padi oleh petani berbeda-beda, yang menunjukan tingkat
penerapan komponen inovasi PTT padi sangat beragam. Dari grafik pada (Gambar 1) terlihat
penggunaan varietas unggul bermutu dan berlabel adalah komponen di dalam PTT yang paling
banyak diaplikasikan petani dibandingkan komponen teknologi lainnya. Sebanyak 54,2 persen
responden menggunakan varietas unggul, dengan katagori tinggi. Responden juga memahami cara
memperlakukan benih, berupa perendaman dengan air garam, sebelum disemai dan ditanam.
Jika mengacu kepada laporan pelaksanaan program SLPTT Padi Provinsi Kalimantan
Tengah tahun 2011, selayaknya 100% petani pelaksanan SLPTT padi telah menanam varietas
unggul bermutu dan berlabel, karena dalam program SLPTT padi setiap petani pelaksana diberikan
benih varietas unggul melalui bantuan langsung benih unggul (BLBU), sebanyak 25 kg/ha.
Varietas yang diberikan juga seharusnya sesuai dengan keinginan dan kesesuaian lahan petani,
yang telah dituangkan dalam hasil CPCL (Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Kalimantan
Tengah, 2011).
Dari hasil wawancara dengan petani terungkap bahwa benih unggul yang harusnya diterima
petani sebelum tanam, akibat terlambat datang. Bahkan sebagian benih yang diterima ditemukan
berjamur dan tidak tumbuh. Akibatnya banyak petani yang tidak menanam benih unggul dan
menggantinya dengan benih padi lokal yang mereka miliki. Kondisi ini terjadi di kabupaten
Pulang Pisau dan Barsel, sehingga penggunaan benih unggul pada periode tanam April-September,
lebih rendah dibandingkan dengan di kabupaten Kapuas dan Bartim. Permasalahan lain yang
diungkapkan adalah masih rendahnya pengetahuan petani dalam memperlakukan benih unggul
sebelum disemai dan ditanam. Walaupun sudah banyak responden yang memahami cara
memperlakukan benih, namun sebagian petani beranggapan bahwa benih unggul tidak perlu
mendapat perlakuan seperti umumnya padi yang lain.
Empat komponen PTT padi lainnya yaitu cara tanam, pemupukan, pengelolaan OPT,
penanganan panen dan pasca panen, penerapannya berada pada katagori sedang, yaitu berkisar
antara 38,0% - 59,0%. Sekitar 50,0 persen petani cukup memahami kebutuhan dan umur bibit
yang sesuai dalam inovasi PTT, yaitu tanam dilakukan saat umur bibit kurang dari 21 hari setelah
semai dan ditanam 1-3 bibit/lubang. Namun dalam hal sistem tanam jajar legowo, terdapat
perbedaan antara petani di setiap kabupaten. Di kabupaten Bartim dan Kapuas petani sangat
resposif dan melaksanakan introduksi cara tanam jajar legowo baik 2:1 maupun 4:1. Di kabupaten
Barsel petani menanam dengan jajar legowo 6:1 dan 8:1, sedangkan di kabupaten Pulang Pisau
hampir semua responden melakukan cara tanam sistem tegel, bahkan karena ingin praktis petani
umumnya menanan dengan cara tebar langsung. Petani yang tidak melakukan aplikasi jajar seperti
yang dianjurkan dalam juknis, beralasan bahwa jajar legowo 2:1 dan 4:1 sulit dilakukan. Selain itu
jumlah tenaga kerja dan biaya tanam yang diperlukan lebih tinggi dibandingkan cara tanam
lainnya. Petani yang melakukan modifikasi dari jajar legowo 2:1 dan 4:1 menjadi 6:1 dan 8:1, juga
beralasan kesulitan tenaga kerja, padahal jajar legowo 6:1 dan 8:1 tersebut tidak direkomendasikan
dalam PTT padi.
Banyak teknologi cara menentukan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang telah
dihasilkan dan dapat diacu petani, seperti penggunaan bagan warna daun (BWD), penggunaan alat
uji tanah secara cepat dengan Perangkat Uji Tanah Kering, Sawah dan Rawa (PUTK, PUTR,
PUTS), penggunaan Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) yang dapat diakses dengan
handphone dan dengan mengacu kepada kalender tanam (KATAM). Hasil survei terhadap
penggunaan pupuk dalam pelaksanaan SLPTT padi di Kalimantan Tengah menunjukkan sebanyak
42,0 persen responden telah mengaplikasikan pupuk, dengan dosis sesuai paket bantuan yang
diterima, yaitu NPK 300 kg, urea 100 kg, dan pupuk organik cair 100 ml. Sebanyak 58,0 persen
lainnya tidak menggunakan pupuk, yang erat kaitannya dengan jenis padi yang ditanam.
Penanaman padi lokal akibat keterlambatan benih unggul, diikuti dengan tidak adanya pemupukan
pada pertanaman padi di lapangan. Padahal diketahui bahwa respon tanaman padi terhadap
pemupukan dipengaruhi oleh tingkat dosis dan jenis pupuk yang diberikan. Aplikasi N pada
tanaman padi memacu terbentuknya tunas dan anakan. Sekitar sepertiga dari serapan N yang diendapkan
pada batang tanaman utama, secara bertahap diangkut dan dimanfaatkan untuk
pembentukan tunas dan anakan (Zhao-wei et al. 2003).
Dalam melakukan pengelolaan OPT, sekitar 59,4 persen peserta SLPTT telah melakukan
upaya pengendalian OPT, baik terhadap gulma, hama dan penyakit. Petani di kabupaten Kapuas
dan Pulang Pisau cenderung melakukan penyiangan gulma sejak tanaman berumur kurang dari 21
hari, sebaliknya di kabupaten Bartim dan Barsel petani cendeung melakukan penyiangan gulma
pada saat tanaman berumur > 30 hari (Tabel 3). Pada kondisi demikian umumnya pertumbuhan
gulma cukup banyak, sehingga perlu penggunakan herbisida dan atau di kombonasi dengan cara
manual. Mengingat umur tanaman sudah > 30 hari maka pengendalian gulma harus dilakukan
secara hati-hati dan harus sesuai anjuran atau petunjuk pemakaiannya (Kartasapoetra, 1994). Hama dan
penyakit yang dominan menyerang tanaman padi di semua kabupaten adalah
hama tikus dan blast. Cara pengendalian yang dilakukan petani di semua kabupaten tidak berbeda,
yaitu menggunakan pestisida. Hal ini terjadi karena hama tikus menjadi hama utama yang sangat
sulit dikendalikan petani, demikian juga dengan penyakit blast yang sult dikendalikan petani jika
dengan cara lainnya.
Secara umum penanganan panen dan pasca panen oleh petani pelaksana SLPTT padi di kab
Bartim, Barsel dan Kapuas cukup baik, yaitu panen saat tanaman masak ≥90%, kecuali di
kabupaten Pulang Pisau yang cenderung melakukan panen pada kondisi tanaman yang masih agak
hijau atau < 80%. Cara panen dilakukan dengan arit bergerigi. Sebagian besar kelompok tani
merontok dengan alat perontok atau theresher, yang dimiliki hampir semua kelompok tani.
Bahkan terdapat petani yang memiliki alat tersebut secara perorangan.
Untuk penerapan komponen pengelolaan air sebanyak 59,4 persen responden tidak pernah
melakukan pengelolaan air, sehingga untuk komponen ini penerapan petani tergolong rendah.
Kondisi ini terjadi karena hampir semua lokasi SLPTT padi sawah di Kalimantan Tengah
dilakukan di lahan rawa, baik lebak maupun pasang surut, yang kondisi airnya sulit dikontrol dan
sangat tergantung dengan keadaan hujan dan pasang surutnya air (Alihansyah et al., 2002).
Tingkat Produktivitas dari Penerapan Inovasi PTT Padi
Peningkatan produktivitas yang terjadi karena penggunaan varietas unggul, pengaturan jarak
tanam jajar legowo dan pemupukan, sebagian besar terjadi di areal-areal yang semua komponen
teknologi teraplikasikan dengan baik. Rata-rata peningkatan produktivitas berkisar antara 1,0-1,5
t/ha. Sedangkan di lokasi yang sebagian besar hanya mengaplikasikan varietas unggul
peningkatan terjadi antara 0,5 – 0,7 t/ha (Tabel 4). Penggunaan varietas unggul yang cocok dan
adaptif merupakan salah satu komponen teknologi yang terbukti mampu meningkatkan
produktivitas padi. Menurut Suswono (2011), penggunaan varietas unggul padi dalam pelaksanaan
SLPTT mampu meningkatkan hasil padi sebesar 0,7 t/ha.
Varietas-varietas padi unggul yang diaplikasikan dalam program umumnya memiliki
keunggulan tertentu, seperti varietas-varietas unggul padi spesifik lahan rawa yang memiliki
keunggulan antara lain adapatif di lahan pasang surut, toleran keracunan Fe dan Al, tahan
rendaman dan tingkat kemasaman tertentu, tahan terhadap hama dan penyakit, blast, hawar daun,
mampu menghasilkan malai yang lebat dan bernas, dan secara morfologi daun tegak dan hijau tua.
Memiliki perakaran dalam, yang secara fisiologi akan berkorelasi dengan hasil. Berdasarkan
umunya, varietas-varietas baru yang dihasilkan tersebut dapat digolongkan : varietas berumur ultra
genjah (< 90 hari), umur sangat genjah (90-104 hari), genjah (105-124 hari), dan sedang (125-150
hari) (Abdullah et al, 2005; Irianto et al., 2009).

Anda mungkin juga menyukai