Anda di halaman 1dari 10

UPAYA PENINGKATAN KOGNITIF DAN AFEKTIF PETANI JERUK RGL

DI KABUPATEN LEBONG PROVINSI BENGKULU

Umi Pudji Astuti dan Bunaiyah Honorita

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu


Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119
e-mail : bunaiyahhonorita@gmail.com

RINGKASAN

Keberhasilan dalam budidaya jeruk RGL tentunya ditentukan oleh berbagai faktor. Selain
semangat petani dalam usaha budidaya dan bantuan Pemerintah Daerah, faktor penguasaan
dan penerapan teknologi yang terkait dengan tingkat adopsi petani juga memegang peranan
penting. Peningkatan perilaku petani melalui pendampingan yang intensif dari penyuluh
pertanian merupakan salah satu strategi untuk mempercepat transfer teknologi budidaya
Jeruk RGL dengan pendekatan PTKJS spesifik lokasi kepada pengguna. Kajian ini
bertujuan untuk meningkatkan kognitif dan afektif petani terhadap teknologi budidaya
Jeruk RGL melalui temu lapang. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 dengan
responden adalah petani Jeruk RGL di Kabupaten Lebong sebanyak 40 orang. Data primer
yang diambil meliputi karakteristik petani, kognitif dan afektif petani dalam budidaya
Jeruk RGL dengan pendekatan PTKJS. Data kemudian dianalisis menggunakan interval
kelas dan Uji Statistik Paired Simple T Test. Hasil kajian memperlihatkan terjadi
peningkatan kognitif petani sebesar 23,17% dari 3,28 menjadi 4,04. Afektif petani terhadap
teknologi PTKJS berada pada kriteria tinggi, dengan skor rata-rata 4,03. Ini menunjukkan
bahwa metode temu lapang melahirkan sikap petani yang positif sehingga petani
menyenangi teknologi PTKJS yang disampaikan.

Kata kunci : Jeruk RGL, peningkatan, kognitif, afektif

PENDAHULUAN

Jeruk RGL merupakan salah satu komoditas potensial unggulan Kabupaten Lebong
karena mempunyai beberapa keunggulan yaitu buahnya berwarna kuning-oranye, berbuah
sepanjang tahun, ukuran buah besar 200-350 gram, kadar sari buah tinggi, dan mempunyai
potensi pasar yang baik. Jeruk RGL memiliki 4-6 generasi bunga dalam satu pohon,
sehingga tampak di pertanaman dalam satu pohon ada bunga, buah muda sampai buah siap
panen (Suwantoro dalam Astuti, U.P, 2014).
Keberhasilan dalam budidaya jeruk RGL tentunya ditentukan oleh berbagai faktor.
Selain semangat petani dalam usaha budidaya dan bantuan Pemerintah Daerah baik dalam
penyediaan bibit, pelatihan, penyuluhan dan sebagainya, faktor penguasaan dan penerapan
teknologi yang terkait dengan tingkat adopsi petani juga memegang peranan penting dalam

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 1
rangka meningkatkan produksi dan mutu hasil jeruk. Sebagai salah satu lembaga
pemerintah penghasil/penyedia teknologi pertanian, Badan Litbang Pertanian-Kementerian
Pertanian sejak awal tahun 2000-an telah mengembangkan program penelitian dan
pengkajian penerapan teknologi tanaman terpadu jeruk yang lebih dikenal dengan PTKJS
(Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat) di daerah-daerah sentra produksi jeruk di
Indonesia (Supriyanto et al., 2003). Teknologi PTKJS ini dipandang perlu untuk
didiseminasikan di Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu, mengingat Kabupaten Lebong
memiliki potensi untuk pengembangan Jeruk RGL sebagai komoditas unggulan daerah.
Untuk mempercepat perderasan inovasi yang dilakukan diperlukan pemahaman
petani dan persepsi petani tentang jeruk yang dikembangkan yang pada akhirnya dapat
merubah perilaku petani. Strategi percepatan diseminasi usahatani Jeruk RGL diperlukan
dalam mendukung pengembangan kawasan agribisnis Jeruk di Kabupaten Lebong.
Pengembangan kawasan agribisnis jeruk ini tentunya perlu didukung oleh peranan
pemangku kepentingan (stakeholders) dan petani jeruk, serta metode diseminasi yang
tepat.
Peningkatan perilaku petani melalui pendampingan yang intensif dari penyuluh
pertanian merupakan salah satu strategi untuk mempercepat transfer teknologi budidaya
Jeruk RGL dengan pendekatan PTKJS spesifik lokasi kepada pengguna. Salah satu usaha
untuk meningkatkan perilaku petani ialah dengan proses pembelajaran melalui penyuluhan.
Pemilihan metode penyuluhan yang tepat dalam menyampaikan pesan yang ingin
disampaikan merupakan kunci keberhasilan dalam proses penyelenggaraan penyuluhan
dimaksud.
BPPSDMP (2010) menyebutkan bahwa efektivitas penyuluhan pertanian
ditentukan oleh komponen-komponen dalam sistem penyuluhan pertanian, di antaranya
adalah metode penyuluhan pertanian. Metode yang efektif harus dipilih dan ditetapkan
berdasarkan karakteristik sasaran, sumber daya yang dimiliki, materi, dan tujuan yang
ingin dicapai. Pemilihan metode penyuluhan yang efektif diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani terhadap teknologi budidaya Jeruk RGL yang
didiseminasikan. Sehingga diperlukan kajian untuk mengetahui efektivitas metode
penyuluhan temu lapang terhadap peningkatan kognitif dan afektif petani dalam budidaya
Jeruk RGL dengan pendekatan PTKJS. Tujuan pengkajian adalah: (1) Meningkatkan
kognitif petani terhadap teknologi budidaya Jeruk RGL melalui temu lapang; dan
(2) Meningkatkan afektif petani terhadap teknologi budidaya Jeruk RGL melalui temu
lapang.

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 2
METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 dengan responden adalah petani
Jeruk RGL di Kabupaten Lebong sebanyak 40 orang. Lokasi dipilih dengan menggunakan
teknik purposive sampling dengan pertimbangan bahwa lokasi merupakan sentra
pengembangan Jeruk RGL di Provinsi Bengkulu. Metode yang digunakan dalam
pengkajian ini adalah metode komunikasi langsung melalui temu lapang dan wawancara
terstruktur kepada petani contoh dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Jenis
data yang digunakan dalam pengkajian ini adalah data primer, meliputi karakteristik
petani, kognitif dan afektif petani terhadap budidaya Jeruk RGL dengan pendekatan
PTKJS.
Kognitif petani terhadap teknologi budidaya Jeruk RGL dengan pendekatan PTKJS
dilihat dari 4 indikator, yaitu (1) penyakit CVPD dan cara pengendaliannya,
(2) penyiraman, (3) penjarangan buah, dan (4) panen. Afektif petani dilihat dari 6
indikator, yaitu (1) manfaat PTKJS dalam mengatasi HPT, (2) kesesuaian PTKJS dengan
lingkungan/ kondisi setempat, (3) manfaat PTKJS untuk meningkatkan produksi jeruk, (4)
kemudahan penerapan PTKJS di lapangan, (5) kesesuaian PTKJS dengan budaya setempat,
dan (6) kesesuaian penerapan PTKJS dengan ketersediaan modal petani.
Kognitif dan afektif petani terhadap budidaya Jeruk RGL dengan pendekatan
PTKJS dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan interval kelas. Pertanyaan
pada setiap indikator dibagi menjadi 5 skor: 1 (sangat tidak tahu/senang); 2 (tidak
tahu/senang); 3 (cukup tahu/senang); 4 (tahu/senang); dan 5 (sangat tahu/senang). Menurut
Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas untuk masing-
masing indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana : NR : Nilai Range PI : Panjang Interval


NST : Nilai Skor Tertinggi JIK : Jumlah Interval Kelas
NSR : Nilai Skor Terendah

Secara rinci nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator tersaji
pada Tabel 1.

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 3
Tabel 1. Nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator

No. Interval Kelas (Per Pertanyaan) Kriteria Nilai


1. 1,00 ≤ x ≤ 1,80 Sangat tidak tahu/senang
2. 1,80 < x ≤ 2,60 Tidak tahu/senang
3. 2,60 < x ≤ 3,40 Cukup tahu/senang
4. 3,40 < x ≤ 4,20 Tahu/senang
5. 4,20 < x ≤ 5,00 Sangat tahu/senang
Peningkatan kognitif petani dianalisis dengan menggunakan Uji Statistik Paired
Simple T Test dengan rumus Riduwan dan Alma, B (2009) :

D
T =
SD
[ ]
√N
Dimana : t : nilai t hitung
ˍ
D : rata-rata selisih pengukuran 1 dan 2
SD : standar deviasi pengukuran 1 dan 2
N : jumlah sampel

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Contoh

Karakteristik petani contoh yang diperoleh adalah umur dan tingkat pendidikan
(Tabel 2). Pengelompokkan responden berdasarkan umur, yang terbanyak adalah
kelompok umur 21 – 30 tahun yaitu sebanyak 13 orang atau 32,50%. Kemudian kelompok
umur 31 – 40 tahun sebesar 22,50%, 41 – 50 tahun sebesar 20,00%, 51 – 60 tahun dan 61 –
70 tahun masing-masing sebanyak 5 orang (12,50%). Kondisi ini akan mempengaruhi pola
pengambilan keputusan serta cara berusahatani yang dilakukan. Usia petani yang tergolong
produktif akan mempengaruhi aktivitas mereka dalam berusahatani. Hal ini juga didukung
oleh pendapat Cruz dalam Choirotunnisa, dkk (2008) bahwa petani yang lebih muda
dalam hal usia dan pengalaman bertani, mempunyai kemungkinan yang lebih besar dia
akan menerima ide. Petani muda dapat sedikit meninggalkan metode lama. Hal ini dapat
memudahkan untuk berubah dari satu sistem ke sistem yang lain.
Tingkat pendidikan petani contoh dibagi menjadi empat kelompok yaitu Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 4
Sarjana dengan tingkat pendidikan mayoritas adalah SD (47,50%). Kemudian tingkat
pendidikan SMA (35,00%), SMP (15,00%), dan Sarjana (2,50%).

Tabel 2. Karakteristik Petani Contoh di Kabupaten Lebong Tahun 2014

No. Karakteristik Petani Kelompok Jumlah (orang) %


Contoh
1. Umur 21 – 30 13 32,50
31 – 40 9 22,50
41 – 50 8 20,00
51 – 60 5 12,50
61 – 70 5 12,50
Jumlah 40 100,00
2. Pendidikan SD 19 47,50
SMP 6 15,00
SMA 14 35,00
Sarjana 1 2,50
Jumlah 40 100,00
Sumber : Tabulasi data primer

Tingkat pendidikan formal merupakan penentu dalam kualitas sumberdaya


manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional cara
berfikirnya dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan
pengetahuan yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi
kemampuan petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Tingkat pendidikan merupakan
salah satu indikator untuk mengukur keikutsertaan petani dalam kegiatan yang
dilaksanakan di kelompok. Hal ini disebabkan secara umum semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk mengajaknya berpartisipasi dalam suatu
kegiatan.
Umur petani berpengaruh kepada kemampuan belajar petani. Rata-rata umur petani
adalah 40,85 tahun dengan kisaran 21- 70 tahun, hal ini menunjukkan bahwa umur petani
di lokasi pengkajian sangat beragam. Sehingga dalam menerapkan budidaya Jeruk RGL
dengan pendekatan PTKJS di lahan usahataninya cukup beragam. Menurut Mardikanto
(1993), umur akan berpengaruh kepada tingkat kematangan sesorang (baik kematangan
fisik maupun emosional). Umur juga berpengaruh terhadap kapasitas belajar seseorang.
Kapasitas belajar seseorang umumnya berkembang cepat sampai usia 20 tahun dan
semakin berkurang hingga puncaknya sampai dengan umur berkisar 50 tahun (Dahama dan
Bhatnagar dalam Mardikanto 1993).

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 5
Kognitif Petani dalam Teknologi Budidaya Jeruk RGL dengan Pendekatan PTKJS

Hasil kajian memperlihatkan bahwa kognitif petani dalam budidaya Jeruk RGL
dengan pendekatan PTKJS setelah dilaksanakannya penyuluhan dengan metode temu
lapang meningkat sebesar 23,17% dari 3,28 menjadi 4,04 (Tabel 3). Ini menunjukkan
bahwa petani semakin memahami teknologi budidaya Jeruk RGL dengan pendekatan
PTKJS. Dilihat dari masing-masing indikator, peningkatan terbesar kognitif petani adalah
pengendalian penyakit CVPD, yaitu sebesar 41,85% diikuti dengan panen (25,51%),
penjarangan buah (18,21%), dan penyiraman (11,84%).
Kognitif petani terhadap pengendalian penyakit CVPD semula berada pada kriteria
cukup (2,70), setelah dilaksanakannya penyuluhan dengan metode temu lapang meningkat
menjadi tinggi (3,83). Begitu juga dengan panen, yang semula berada pada kriteria tinggi
(3,41) meningkat menjadi sangat tinggi (4,28). Hal ini disebabkan oleh efektifnya metode
temu lapang dalam menyampaikan pesan berupa teknologi PTKJS kepada petani. Temu
lapang dilaksanakan dengan penyampaian materi, diskusi, disertai dengan demonstrasi cara
mengenali gejala serangan penyakit CVPD dan pengendaliannya, penyiraman, penjarangan
buah, dan panen. Metode temu lapang ini memberikan manfaat dan sesuai dengan
karakteristik sasaran dengan tingkat pendidikan dan umur yang beragam.

Tabel 3. Kognitif Petani dalam Teknologi Budidaya Jeruk RGL dengan Pendekatan
PTKJS di Kabupaten Lebong Tahun 2014
Teknologi Budidaya Jeruk RGL dengan Skor Kognitif Petani*
Pendekatan PTKJS Sebelum Sesudah
Penyakit CVPD dan pengendaliannya 2,70 3,83
Penyiraman 3,54 3,96
Penjarangan buah 3,46 4,09
Panen 3,41 4,28
Jumlah 13,11 16,16
Rata-rata 3,28 4,04
Sumber : data primer terolah

Keterangan : *1,00 ≤ x ≤ 1,80 = Sangat rendah; 1,80 < x ≤ 2,60 = Rendah; 2,60 < x ≤ 3,40 = Cukup;
3,40 ≤ x ≤ 4,20 = Tinggi; 4,20 ≤ x ≤ 5,00 = Sangat Tinggi;

Peningkatan kognitif petani sebagaimana tergambar pada Gambar 1. mencerminkan


tingkat kesadaran mereka untuk mencari dan menerima informasi inovasi teknologi.
Artinya, pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh individu yang mempunyai tingkat
kesadaran yang tinggi pula. Pendapat ini didukung oleh pandangan bahwa individu petani

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 6
sebagai orang dewasa telah mempunyai konsep diri, pengalaman belajar, dan kesiapan
belajar (Apps dalam Sadono D, 2008) sehingga sisi manusianya dan proses belajarnya
perlu dikedepankan.

4.00
2.00
Skor Kognitif

0.00

Sebelum
Sesudah

Teknologi PTKJS

Gambar 1. Grafik peningkatan kognitif petani dalam budidaya Jeruk RGL


dengan pendekatan PTKJS.

Hasil pengkajian setelah diuji dengan menggunakan analisis statistik Paired


Simple T Test, memperlihatkan ada perbedaan yang sangat siginifikan kognitif petani
mengenai teknologi PTKJS sebelum dan sesudah penyuluhan. Dimana nilai signifikansi
0,000 < 0,05. Artinya, adanya penyuluhan dengan menggunakan metode temu lapang
meningkatkan pengetahuan petani dalam teknologi budidaya Jeruk RGL dengan
pendekatan PTKJS (Tabel 4).

Tabel 4. Kognitif Petani Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Tahun 2014

Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)
Pair 1 Sebelum temu lapang - -16.70225 13.53110 2.13946 -21.02971 -12.37479 -7.807 39 .000
Sesudah temu lapang
Sumber : data primer terolah

Keberhasilan petani dalam usahatani jeruk RGL tidaklah semudah membalik telapak
tangan. Permasalahan yang sering dihadapi petani secara umum adalah kemampuan
mereka menerapkan kultur teknis yang tepat (sesuai anjuran) dalam sistem usahatani utama
yang mereka geluti. Tingkat pendidikan yang relatif rendah disinyalir merupakan salah

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 7
satu faktor yang menyebabkan keterbatasan pola pikir (mindset) petani yang
mempengaruhi perilaku mereka. Hal ini disebabkan karena perilaku seseorang ditentukan
oleh pengetahuan (kognitif), dan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah
pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang, relatif
semakin mudah pula ia menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula
pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika tingkat pendidikan seseorang rendah, maka
relatif akan menghambat perkembangan perilakunya terhadap penerimaan informasi dan
nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Simanungkalit dalam Mandias, 2012).
Pengetahuan yang dimaksud juga memiliki berbagai level. Menurut Notoatmodjo
(2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yakni:
tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Tahu diartikan sebagai mengingat
suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan adalah
mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan atau objek yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima (pengalaman).Memahami diartikan sebagai
suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang telah diketahui. Oleh karena
itu ada ungkapan dalam penyuluhan: Saya dengar, maka saya lupa; Saya lihat, maka saya
ingat; Saya mencoba, maka saya tahu; Saya mencoba berulang-ulang maka saya paham.

Afektif Petani dalam Teknologi Budidaya Jeruk RGL dengan Pendekatan PTKJS

Hasil kajian memperlihatkan bahwa rata-rata afektif petani terhadap teknologi


PTKJS berada pada kriteria tinggi, dengan skor rata-rata 4,03 (Tabel 5). Ini menunjukkan
bahwa metode temu lapang melahirkan sikap petani yang positif sehingga petani
menyenangi teknologi PTKJS yang disampaikan.
Tabel 5. Afektif Petani dalam Budidaya Jeruk RGL dengan Pendekatan PTKJS di
Kabupaten Lebong Tahun 2014

No. Uraian Skor Afektif Kriteria


Petani*
1. Manfaat PTKJS dalam mengatasi HPT 4,33 Sangat Tinggi
2. Kesesuaian PTKJS dengan lingkungan/ kondisi setempat 4,30 Sangat Tinggi
3. Manfaat PTKJS untuk meningkatkan produksi jeruk 4,25 Sangat Tinggi
4. Kemudahan penerapan PTKJS di lapangan, 4,15 Tinggi
5. Kesesuaian PTKJS dengan budaya setempat 3,83 Tinggi
6. Kesesuaian penerapan PTKJS dengan ketersediaan modal 3,33 Cukup
petani
Rata-Rata 4,03 Tinggi
Sumber : data primer terolah

Keterangan : *1,00 ≤ x ≤ 1,80 = Sangat rendah; 1,80 < x ≤ 2,60 = Rendah; 2,60 < x ≤ 3,40 = Cukup;

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 8
3,40 ≤ x ≤ 4,20 = Tinggi; 4,20 ≤ x ≤ 5,00 = Sangat Tinggi;

Terbentuknya sikap (afektif) petani merupakan tahapan proses adopsi inovasi.


Dimana pada tahap ini, petani mulai menaruh minat pada hal yang baru diketahuinya,
ditandai oleh adanya kegiatan mencari keterangan-keterangan tentang hal-hal yang baru
diketahuinya, apa itu, bagaimana dan apa kemungkinannya jika dilaksanakan sendiri.
Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh, mulai timbul rasa menimbang-nimbang
untuk kemungkinan dilaksanakannya sendiri. Petani akan menilai kebenaran dan kebaikan
dari apa yang dianjurkan atau disuluhkan kepadanya, untuk setuju dan menyenangi atau
tidak.
Dari 6 indikator afektif petani, hanya kesesuaian penerapan PTKJS dengan
ketersediaan modal petani yang berada pada kriteria cukup. Meskipun petani menyenangi
teknologi PTKJS, namun ketersediaan modal menjadi salah satu pertimbangan bagi
mereka untuk kemudian mengadopsi. Peran dan kontribusi dari Pemerintah Daerah dalam
memudahkan akses permodalan bagi petani dapat menjadi salah satu solusi dalam
mengatasi hal tersebut. Sehingga teknologi PTKJS yang telah disuluhkan kepada petani
dapat dengan cepat diadopsi.
Proses diseminasi teknologi PTKJS yang tepat dan spesifik lokasi sangat
diperlukan dalam mempercepat adopsi teknologi PTKJS. Partisipasi petani dalam
percepatan proses diseminasi inovasi sangat penting dilakukan, seperti melibatkan para
petani lokal yang telah berhasil dalam usahatani jeruk RGL sebagai penyuluh swadaya
yang menjadi agen diseminasi inovasi teknologi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Lebong. Hal ini sejalan dengan pendapat Rolling (1988) dan Pretty
(1995) dalam Indraningsih (2011), yang menyatakan bahwa pendekatan penyuluhan di
masa lalu yang hanya terfokus pada transfer teknologi dari penyuluh (baca: pemerintah
melalui berbagai proyek pembangunan) kepada petani terbukti banyak menimbulkan
kegagalan dan permasalahan kepada petani.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Metode temu lapang meningkatkan kognitif petani dalam budidaya Jeruk RGL dengan
pendekatan PTKJS sebesar 23,17%.
2. Metode temu lapang melahirkan afektif petani yang positif dalam budidaya Jeruk RGL
dengan pendekatan PTKJS dengan skor 4,03.

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 9
3. Diperlukan kajian lanjutan untuk melihat tingkat adopsi petani dalam budidaya Jeruk
RGL dengan pendekatan PTKJS.

BAHAN BACAAN

Apps, J.W. 1973. Toward A Working Philosophy of Adult Education. New York:
Publication In Continuing Education. Syracuse University.

Astuti, P.A., dkk. 2014. Laporan Akhir Tahun: Pengembangan Metode Diseminasi yang
Efektif Mendukung Agribisnis Jeruk di Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu. 58
hal. Tidak dipublikasikan.

Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2010.


Menerapkan Metode Penyuluhan Level Supervisor. Jakarta.
Choirotunnisa, Sutarto, dan Supanggyo. 2008. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi
Petani dengan Tingkat Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah di Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Agritexts No.
24 Desember, 2008.

Cruz, Federico. A. 1987. Adoption and Diffusion on Agricultural Innovations. Hal 97 –


124. dalam Valera. Jaime B. et. al. 1987. An Introduction to Extension Delivery
Systems. Island Publishing House. Inc. Manila.

Indraningsih, K.S. 2011. Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi
Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal Agro Ekonomi 29(1):1-24.

Mardikanto T, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS. Press Surakarta

Mandias, R. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Masyarakat Desa dalam
Memanfaatkan Fasilitas Kesehatan di Desa Pulisan Kecamatan Likupang Timur
Minahasa Utara. JKU 1(1):46-52.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah
Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan
Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya. Palembang.

Riduwan dan Alma, B. 2009. Pengantar Statistika Sosial. Alfabeta : Bandung.

Sadono, Dwi. 2008. Pemberdayaan Petani : Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di


Indonesia. Jurnal Penyuluhan Maret 2008, Vol. 4 No.1.

Supriyanto A., H. Ridwan, dan A. Dimyati. 2003. Pedoman Umum Penelitian dan
Pengkajian Penerapan Pengelolaan Terpadi Tanaman (PTT) Jeruk. Puslitbang
Hortikultura, Badan Litbang Pertanian. 33 hal. Tidak dipublikasikan.

Disampaikan pada Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti Lingkup Balitbangtan
tanggal 24 – 25 Agustus 2015 10

Anda mungkin juga menyukai