Abstract: The purpose of this study is to analyze the application of Total Quality Management
(TQM) in the vegetable agribusiness system in the upstream subsystem, post harvest handling and
processing subsystems, marketing subsystems and support services subsystems. The study was
conducted in Konda Subdistrict, Konawe Selatan Regency from August to September 2019.
Sampling was carried out by simple random sampling method with a total sample of 58 people. The
data collected includes: the application of TQM in vegetable agribusiness. Data collection was
carried out by interview, observation and documentation. The data analysis was conducted in a
descriptive qualitative manner, and to measure the application of TQM, a Likert scale was used.
The study results show that the highest index of TQM application is in the vegetable agribusiness
system is found in the upstream subsystem, while the lowest is in the supporting services subsystem.
Keywords: total quality management; vegetable agribusiness; Likert scale
Intisari: Tujuan studi ini adalah untuk menganalisis penerapan Total Quality Management (TQM)
dalam sistem agribisnis sayuran pada subsistem hulu, subsistem penanganan pasca panen dan
pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa penunjang. Studi dilaksanakan di Kecamatan
Konda Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Agustus sampai September 2019. Pengambilan
sampel dilakukan dengan metode simple random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 58
orang. Data yang dikumpulkan meliputi: penerapan TQM pada agribisnis sayuran. Pengumpulan
data dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara
deskriptif kualitatif, dan untuk mengukur penerapan TQM digunakan Skala Likert. Hasil studi
menunjukan bahwa indeks penerapan TQM tertinggi adalah pada system agribisnis sayuran adalah
terdapat pada subsistem hulu, sedangkan terendah adalah pada subsistem jasa penunjang.
Kata Kunci: total quality management; agribisnis sayuran; Skala Likert
I. PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian merupakan upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat tani, yang
dicapai melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan dan
berkelanjutan yang merupakan tanggung jawab seluruh stake-holder agribisnis sesuai dengan
peranannya masing-masing melalui investasi teknologi, pengembangan produktivitas tenaga kerja,
pembangunan sarana ekonomi, serta penataan dan pengembangan kelembagaan pertanian. Di era
globalisasi saat ini, persaingan produk agribisnis semakin ketat. Pada dasarnya persaingan
merupakan hal posistif termasuk dalam dunia agribisnis, dengan adanya persaingan maka pelaku
9
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
agribisnis akan semakin termotivasi untuk berpacu meningkatkan kualitasnya agar tidak tenggelam
dalam persaingan. Total Quality Management (TQM) atau manajemen mutu terpadu merupakan
konsep perbaikan yang dilakukan secara terus menerus, yang melibatkan semua stake-holder di
setiap level agribisnis, untuk mencapai kualitas yang exellent dalam semua aspek agribisnis melalui
proses manajemen. Selain itu TQM juga merupakan pendekatan dalam menjalankan usaha yang
mencoba memaksimumkan daya saing.
Kecamatan Konda memiliki potensi untuk pengembangan agribisnis sayuran. Penerapan
sistem agribisnis pada subsistem agribisnis hulu, subsistem hulu, subsistem penanganan dan
pengolahan pasca panen, subsistem pemasaran dan subsistem jasa penunjang baik secara parsial
maupun serempak berpengaruh nyata terhadap pendapatan. Pelaksanaan TQM melalui suatu
kegiatan agribisnis bertujuan untuk menciptakan produk yang berkualitas dan meningkatkan
pendapatan petani. Agar terwujud kualitas agribisnis yang baik sehingga bisa dikembangkan untuk
kemajuan sektor agribisnis maka penerapan TQM sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya
saing dan perbaikan terus menerus, baik pada subsistem hulu, subsistem penanganan dan
pengolahan pasca panen, subsistem pemasaran produk dan subsistem jasa penunjang. Namun
penerapan TQM dalam sistem agribisnis masih memiliki masalah yang dihadapi yakni adanya
fasilitas penunjang agribisnis sayuran yang sangat terbatas seperti sulitnya mendapatkan pupuk,
pengunaan teknologi yang masih sangat terbatas dan tenaga penyuluh pertanian yang masih kurang
serta akses pemasaran yang belum berkembang. Selain itu, kondisi petani sayuran di Kecamatan
Konda belum berkembang kearah peningkatan pendapatan, karena petani belum memiliki
komitmen yang tinggi terhadap keuntungan, melainkan hanya berorientasi terhadap produksi.
Usahatani berorientasi pada produksi berarti kurang memperhatikan komoditi yang sesuai
permintaan, mutu/kualitas, kontinuitas serta kurang memperhatikan peluang pasar sehingga
hasilnya statis. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh tidak efisiennya usahatani yang
dilakukan, serta kurangnya akses teknologi pada tingkat petani. Tujuan studi ini adalah
menganalisis penerapan Total Quality Management (TQM) pada system agribisnis sayuran di
Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan.
= 58
10
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
Data yang dikumpulkan adalah penerapan TQM pada agribisnis sayuran, yang meliputi:
penerapan TQM pada sub system agribisnis hulu, subsistem sarana penanganan pasca panen dan
pengolahan, subsistem sarana pemasaran, dan subsistem jasa penunjang. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif
kualitatif. Untuk mengukur penerapan TQM pada agribisnis sayuran digunakan Skala Likert. Skala
Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan presepsi seseorang atau sekolompok orang
tentang fenomena sosial. Jawaban dari setiap instrument yang menggunakan skala likert
mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, antara lain: (1) sangat sering, (2)
sering, (3) kadang–kadang, (4) jarang dan (5) tidak pernah. (Sugiyono, 2012).
Dengan menggunakan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi
dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel kemudian sub variabel dijabarkan menjadi
indikator-indikator yang dapat diukur. Akhirnya indikator-indikator yang dapat diukur ini dapat
dijadikan tolak ukur untuk membuat item instrument yang berupa pertanyaan atau pernyataan yang
perlu dijawab oleh responden (Kriyantoro, 2009). Adapun rumus interval menurut Kriyantoro
(2009) yaitu :
Keterangan :
I : Interval kelas
Xn : Skor maksimum
Xi : Skor minimum
K : Jumlah kelas
Nilai pembobotan atau nilai skor jawaban responden yang diperoleh, diklasifikasikan kedalam
rentang skala kategori nilai pada setiap item variabel yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Dimana nilai kategori–kategori capaian harapan diatas adalah nilai tertinggi dikali dengan
jumlah responden yaitu 5 x 58 = 290 dikurangi nilai terendah dikali dengan jumlah responden yaitu
1 x 58 = 58.
11
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
Tabel 2. Penerapan Total Quality Management pada Subsistem Agribisnis Hulu di Kecamatan
Konda
Penerapan TQM di
Nilai
Subsistem Total Skor Bobot Indeks (%) Kriteria
Rata-rata
Agribisnis Hulu
Bibit 1022 17,62 1160 88,10 Sangat baik
Lahan 830 14,31 870 95,40 Sangat baik
Pupuk Organik 585 10,09 870 67,24 Baik
Pupuk Anorganik 590 10,17 870 67,82 Baik
Tenaga Kerja 753 12,98 870 86,55 Sangat baik
Makna dari hasil pencapaian skor dapat dilihat pada variabel bibit, yakni meliputi penggunaan
bibit unggul bersertifikat yang menujuukan skor 1022 dengan indeks 88,10 persen dengan kategori
sangat baik. Pada Tabel 2 nampak bahwa indeks tertinggi penerapan Total Quality Management
pada sistem agribisnis hulu adalah pada kegiatan penyiapan dan pengolahan lahan yang mencapai
indeks sebesar 95,40 persen, dan terendah adalah pada kegiatan penyiapan dan penggunaan pupuk
organik. Diduga hal ini disebabkan karena ketersediaan sumber daya yang dikuasai oleh petani
sayuran. Sumber daya benih atau bibit, lahan, dan tenaga kerja tersedia reltif melimpah di sekitar
petani sedangkan sumber daya pupuk, baik pupuk organik maupun anorganik relatif kurang
tersedia. Sebagimana diketahui, ketersediaan pupuk anorganik yang disubsidi pemerintah relatif
langka di pasaran sehingga kadang-kadang petani harus membeli pupuk anorganik non subsidi
dengan harga yang lebih mahal. Kondisi tersebut menyebabkan penggunaan pupuk anorganik pada
usahatani sayuran tidak sesuai dosis yang dianjurkan. Indeks penerapan TQM pada subsistem
agribisnis hulu disajikan pada grafik 1.
Grafik 1. Indeks Penerapan Total Quality Management pada Subsistem Agribisnis Hulu
12
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
Pada Tabel 3 nampak bahwa indeks penerapan Total Quality Management di sistem sarana
penanganan dan pengolahan pada agribisnis sayuran di Kecamatan Konda yang tertinggi adalah
pada aspek produksi, yaitu mencapai 89,43 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa petani sayuran
dalam melaksanakan usahataninya masih berorientasi pada produksi, dan kurang berorientasi pada
harga dan pendapatan usahatani. Nilai indeks terendah adalah aspek teknologi, yaitu sebesar 20,00
persen dengan kriteria sangat tidak baik, mengindikasikan bahwa petani kurang memperhatikan
aspek perkembangan dan adopsi teknologi. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya
kurangnya informasi dan akses teknologi baru, atau kurang modal untuk adopsi teknologi baru.
Indeks penerapan TQM pada subsistem sarana penanganan pasca panen dan pengolahan disajikan
pada grafik 2.
Grafik 2. Indeks Penerapan Total Quality Management pada Subsistem Sarana Penanganan Pasca
Panen dan Pengolahan
13
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
Pada Tabel 4 terlihat bahwa indeks penerapan Total Quality Management pada subsistem
pemasaran yang tertinggi adalah pada aspek pengangkutan dengan skor mencapai 854, nilai rata-
rata mencapai 14,72 dan bobot 870, nilai indeks 98,16 persen dengan kategori sangat baik. Hal ini
berarti bahwa petani sayuran sangat memperhatikan aspek pengangkutan, mengingat sifat sayuran
yang mudah rusak/busuk sehingga harus segera sampai di pasar atau konsumen. Oleh karena itu,
aspek pengangkutan ini sangat penting bagi usahatani sayuran.
Nilai indeks penerapan Total Quality Management pada aspek pasar dan penentuan harga
yang relatif rendah, yakni 45,17 persen dan 50,45 persen dengan indikator cukup baik,
mengindikasikan bahwa posisi petani sayuran sebagai price taker (penerima harga), mempunyai
yang lemah dalam penetapan harga, sehingga kurang memperhatikan penerapan TQM pada aspek
pasar dan penentuan harga. Indeks penerapan TQM pada subsistem sarana pemasaran disajikan
pada grafik 3.
14
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
Pada Tabel 5 terlihat bahwa nilai indeks penerapan Total Quality Management pada
seluruh aspek subsistem jasa penunjang adalah 20,00 persen dengan kriteria sangat tidak baik,
dengan makna tidak adanya kelompok tani sayur, tidak ada lembaga keuangan yang dapat
menunjang permodalan, tidak ada lembaga penjamin risiko kegagalan dan tidak ada lembaga
koperasi. Selain itu, menurut informasi dari semua reponden, keberadaan penyuluh pertanian
sebagai pendamping petani dalam berusahatani sayuran juga tida ada. Indeks penerapan TQM pada
subsistem jasa penunjang disajikan pada grafik 4.
Grafik 4. Indeks Penerapan Total Quality Management Pada Subsistem Jasa Penunjang
Berdasarkan hasil studi, secara umum dapat disampaikan bahwa penerapan TQM pada
agribisnis sayuran telah diaplikasikan namun masih ada beberapa aspek didalam sistem agribisnis
yang belum diaplikasikan. Secara keseluruhan, penerapan TQM pada agribisnis sayuran disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6 terlihat bahwa indeks penerapan Total Quality Management pada agribisnis sayuran
yang tertinggi adalah pada subsistem hulu yang mencapai 81,47 persen dengan kriteria sangat baik,
dan yang terendah adalah pada subsistem jasa penunjang, yakni 20,00 persen yang berada pada
kriteria sangat tidak baik. Hal tersebut menujukkan bahwa penerapan Total Quality Management
(TQM) sudah teraplikasikan dengan baik hanya saja masih terdapat nilai capaian yang masih
rendah, yaitu pada subsitem jasa penunjang. Hal ini mengindikasikan juga bahwa subsistem hulu
15
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
adalah subsistem yang paling banyak mendapatkan perhatian, sementara sub system jasa penunjang
kurang atau sama sekali tidak mendapatkan perhatian, baik dari petani maupun stakeholder lainnya.
Indeks penerapan TQM pada system agribisnis sayuran di Kecamatan Konda disajikan pada grafik
5.
Grafik 5. Indeks Penerapan Total Quality Management pada Sistem Agribisnis Sayuran
Secara umum penerapan TQM dalam sistem agribisnis sayuran sudah terlaksana. Pada
subsistem hulu berada pada kisaran nilai indeks sekitar 81,47 persen yang menunjukkan bahwa
penerapan TQM dalam subsistem sudah teraplikasi dengan baik walaupun dalam beberapa item
indikator masih dalam nilai yang lebih kecil atau bahkan kurang dari yang diharapkan. Hal ini juga
ditunjukkan pada nilai yang diperoleh pada subsistem hulu berupa penggunaan pupuk belum sesuai
dengan standar yang seharusnya, yang mana petani menetapkan penggunaan pupuk tanpa
pertimbangan dosis atau takaran, waktu dan kondisi tanah yang semestinya. Hal ini disebabkan
kurangnya pengetahuan petani akan pentingnya penggunaan pupuk yang sesuai dengan dosis atau
waktu tumbuhnya sayuran. Selain itu, aspek tenaga kerja juga memiliki indeks nilai yang rendah
dimana mayoritas petani memilih tenaga kerja lebih kepada pertimbangan harga atau upah yang
akan diberikan. Oleh karena itu penerapan TQM pada subsistem hulu telah terlaksana, hanya saja
belum maksimal yang berada pada item penggunaan pupuk dan tenaga kerja sehingga hal ini
membutuhkan adanya pendampingan oleh penyuluh.
Penerapan TQM pada subsistem penanganan dan pengolahan pasca panen juga menunjukkan
nilai yang baik dengan nilai indeks 62,28 persen pada masing-masing indikator yang ada. Hal ini
sebenarnya secara umum menunjukkan bahwa penerapan TQM sudah cukup memadai pada
subsistem ini, hanya saja pada beberapa aspek seperti penggunaan teknologi masih sangat rendah,
yaitu 20,00 persen, yang demikian dikarenakan pengetahuan masyarakat petani yang rendah
terhadap kecanggihan teknologi pertanian termasuk pengaruh modal rendah yang dikuasai petani
sayuran. Selain itu, aspek permitaan pasar terhadap sayuran masih belum meningkat sehingga
mempengaruhi pendapatan petani. Hal ini juga dipengaruhi oleh belum tersedianya sarana tempat
penyimpanan sayuran untuk mempertahankan kesegaran dalam waktu yang relatif lama, termasuk
kemasan yang digunakan untuk mempertahankan mutu.
Selanjutnya, pada subsistem pemasaran nilai indeks tertinggi yang diperoleh sebesar 69,72
persen, telah menjadi bukti bahwa penerapan TQM pada subsistem pemasaran secara umum
mempunyai kategori baik. Tetapi ada indikator yang memperoleh skor rendah (45,17 persen), yaitu
pasar hasil tani yang masih terbatas pada pedagang pengumpul (palele) sehingga belum sampai
pada tataran pasar yang moderen dan lebih besar. Hal ini berkaitan dengan segmentasi pasar yang
16
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
masih fokus ke pasar tradisional dan belum berkembang sampai ke pasar moderen
(supermarket/mall).
Pada subsistem jasa penunjang, nilai indeks yang diperoleh sebesar 20,00 persen. Ini
menunjukkan bahwa keberadaan lembaga penunjang di lokasi studi belum berperan dalam
menunjang keberhasilan usahatani sayuran atau dapat dikatakan bahwa di lokasi studi lembaga
penunjang usahatani sayuran belum melakukan kegiatan. Oleh kerena itu dibutuhkan adanya peran
dari pihak–pihak yang terkait untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aamir. I. (2012). Internal Costumer Job Satisfactions And Role Of TQM Practices. Far east
journal of psychology and bisniess, 6 (2).
Desiana, N. (2017). Improving Income through Farmers’ Group Empowerment Strategy. The Asian
Journal of Technology Management,10 (1), 41-47.
Francisco, D. (2012). Penerapan Subsistem Agribisnis Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan
Petani Kubis (Brassica Oleraceae L.) Di Desa Wanaraja Kecamatan Wanayasa
Kabupaten Banjarnegara. Master Thesis, Program Pascasarjana Undip.
Ibrahim, A. (2016). Analysis Implementation Quality Management Of Operating Performance On
Industry Extractive In North Sulawesi. Jurnal EMBA, 4 (2), 859-869.
Ishaq, I; Suwalan, N; Satrisno, Mulyono dan Firdaus (2001). Prospek Pengembangan Teknologi
Pertanian Menunjang Agribisnis Pedesaan Zona Sistem Usaha Pertanian Dataran Tinggi Di
Jawa Barat. JPPTP, 5 (2), 66-82.
Iskandar, R. (2016). Analisis Pengawasan dan Kompetensi terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Melalui Kinerja pada PT. East West Seed Indonesia. Jurnal Ilmiah Inovasi, 15 (3).
Juwita, J; Eman; Jeni, Baroleh dan Loho, Agnes (2017). Peran Pendamping Terhadap
Pemberdayaan Kelompok Tani Kakao Di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Jurnal
Agri-SosioEkonomi Unsrat, 13 (2), 1–10.
Mastuti, R. dan Alfiansyah (2016). Pengaruh Penerapan Sistem Agribisnis terhadap Respon Petani
Pada Usahatani Kakao (Theobroma cacao) di Kecamatan Rantau Kabupaten Aceh
Tamiang. Agrisamudra, 3 (1), 107-114.
Muliani, S. (2015). Pengaruh Praktik Total Quality Manajement Terhadap Kepuasan Kerja
Karyawan. Universitas Halu Oleo.
Nainggolan, H. L; dan Johdikson Aritonang (2017). Analysis of Integration of Cassava
Agribusiness Subsystem at Pancur Batu Sub-district Deli Serdang Regency. Agrium, 20
(3).
Panjaitan, E. (2011). Kajian Tingkat Penerapan Manajemen Mutu Terhadap Kinerja UMKM Sektor
Agro-Industri Pangan Olahan Nata de Coco di Kota Bogor. Manajemen IKM, 6 (2).
Sarasutha (2015). Usahatani Padi Berbasis Agribisnis Di Sentra Produksi Kabupaten Banggai,
Sulawesi Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 7 (1), 1-17.
17
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa
Jurnal Sosio Agribisnis (JSA)
e-ISSN: 2502-3292 Volume 5 Nomor 1(April 2020) Halaman 9-18
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JSA
Sasmita (2015). Perusahaan Pt. Telkom, Tbk Wilayah Sumatra Barat Lokal yang Menerapkan
Total Quality Manajemen. Program Studi Pendidikan Teknologi Pertanian Fakultas Teknik
Universitas Negeri Makassar.
Sukmawatia, H.C.H. Siregarb & C. Mauidah (2007). Analisis Manajemen Mutu Terpadu di PT
Madu Pramuka Cibubur Jakarta Timur. Media Peternakan, 30 (2), 88-99.
Supristiwendi (2015). Pengaruh Penerapan Sistem Agribisnis Terhadap Pendapatan Usahatani
Mentimun (Cucumis Sativus L.) Di Kecamatan Rantau Kabupaten Aceh Tamiang.
Agrisamudra, 2 (2).
18
DOI Crossref: dx.doi.org/10.33772/jsa