Anda di halaman 1dari 7

1

Penjelasan Sub Tema GPM Tahun 2019:

MEMULIAKAN TUHAN DENGAN BERSAMA-SAMA MENINGKATKAN


KUALITAS PENDIDIKAN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN
KEUTUHAN BANGSA
--- Draft MPH Sinode GPM ---

I. PENDAHULUAN
Sebagai gereja yang hidup, maka Gereja Protestan Maluku (GPM) harus
sadar, gelisah dan melakukan langkah-langkah praksis untuk menjawab
permasalahan diri dan lingkungannya secara teologis. Cara GPM memberi
jawaban terhadap permasalahan diri dan lingkungannya merupakan suatu
bentuk dan sekaligus cara berteologi dan mengimplementasi eklesiologinya
di dalam praksis.
Dalam kesadaran itu, Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk
Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) dapat disebut sebagai salah satu
dokumen misiologis GPM yang memuat tentang hasil analisis terhadap
realitas kedirian dan lingkungan keberadaan GPM (di Maluku dan Maluku
Utara serta Indonesia) dan rumusan tugas (bentuk panggilan pelayanan)
yang harus dilaksanakan gereja sebagai wujud misi GPM itu sendiri.
Hasil analisis dalam PIP-RIPP kemudian menuntun GPM merumuskan
Visi, Misi sebagai titik berangkat arah kebijakan program setiap tahun. Dalam
masa pelaksanaan PIP-RIPP (10 tahun), telah dibagi 2 (dua) tahapan
pelaksanaan, yaitu Tahap I (5 tahun pertama/2016-2020), dan Tahap II (5
Tahun kedua/2020-2025). Pada setiap Tahap dirumuskan Tema yang adlaah
kristalisasi pemikiran teologis atas fokus pelayanan lima tahunan, sekaligus
terjemahan atas problematik pokok yang menjadi aksentuasi dalam lima
tahun itu. Maka Sub Tema yang dirumuskan setiap tahun merupakan
kristalisasi dari isu-isu pokok setiap tahun pelayanan.
Sub Tema perlu pula dipahami sebagai bagian dari cara GPM
mendialogkan eklesiologinya secara dinamis di dalam konteks
bermasyarakat dan berbangsa. Juga dalam kaitan dengan tema, maka Sub
Tema menegaskan tugas panggilan GPM memiliki korelasi yang kuat dalam
relasi dengan seluruh ciptaan lainnya (oikumene semesta).
Dalam Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan
Pelayanan, khusus pergumulan GPM di tahun 2019 yang akan datang,
terdapat tiga isu utama yang penting menjadi sasaran pelaksanaan program.
Ketiga isu itu adalah kemiskinan (18%), Pendidikan (15%) dan Politik
(19%). Persentasi itu diperoleh dari jumlah program indikatif pada PIP-RIPP
yang menunjukkan pada konstrein gumulan gereja sesuai dengan 13 isu
problematik dalam PIP-RIPP tersebut.
Bahwa dengan persentasi itu berarti GPM pada aras Sinode, Klasis dan
Jemaat, pada tahun 2019 akan memberi fokus program kepada ketiga itu
tersebut dan berusaha secara bersama-sama untuk menjawab serta
memenuhi kebutuhan riil jemaat terkait dengan ketiga isu dimaksud.
Sebagai informasi bahwa, pergumulan dengan masalah kemiskinan
adalah bagian dari tugas misiologis GPM untuk meningkatkan kualitas
ekonomi jemaat dan masyarakat. Selama tahun 2016-2018 yang lalu
2

beberapa program strategis yang mengarah ke usaha menekan angka


kemiskinan dan meningkatkan taraf ekonomi rakyat antara lain
pemberdayaan ekonomi, pengelolaan pangan lokal, pemetaan wilayah
produksi dan komoditi unggulan di Klasis dan Jemaat-jemaat dan usaha
untuk membuka jaringan pasar.
Identifikasi lahan guna pengaturan tata kelolah lahan juga menjadi salah
satu program strategis yang akan terus dijalankan sampai tahun 2020. Dan
program ini merupakan suatu program yang penting dalam rangka melihat
tanggungjawab gereja terhadap kelestarian lingkungan. Salah satu faktor
pendorong mengapa program tersebut dirumuskan karena terdapat banyak
problem deforestasi dan land-grabbing di kepulauan Maluku, dan
membutuhkan tindakan advokasi dari gereja pula. Sebab satuan lahan yang
masuk dalam peta deforestasi dan land-grabbing itu adalah lahan-lahan
produksi milik masyarakat adat. Jika lahan-lahan tersebut hilang, maka
sumber pendapatan ekonomi jemaat/masyarakat pun turut hilang. Itu berarti
ini menjadi pemicu semakin tingginya angka kemiskinan di Provinsi Maluku
dan Maluku Utara.
Isu pendidikan menjadi salah satu prioritas dikarenakan oleh realitas
bahwa banyak sekolah di Provinsi Maluku dan Maluku Utara mengalami
problem yang cukup serius. Mulai dari terbatasnya fasilitas belajar mengajar
sampai kelangkaan tenaga guru. Di sisi lainnya prestasi pendidikan
masyarakat dan kualitas tenaga guru turut menjadi perhatian serius yang
harus dipacu melalui rangkaian kegiatan pengembangan secara strategis dan
integratif.
GPM sendiri memiliki kurang lebih 240 Sekolah di bawah Yayasan Dr.
J.B. Sitanala. Beberapa di antaranya telah dinegerikan oleh karena masalah
keterbatasan tenaga guru dan fasilitas penunjang belajar-mengajar. Tuntutan
akan akreditasi lembaga pendidikan menjadi salah satu faktor mengapa
kualitas pendidikan di sekolah-sekolah YPPK harus terus dipacu dan karena
itu memerlukan perhatian dan kajian secara lebih mendasar.
Pada sisi lain, usaha gereja mendorong pendidikan vokasi kepada
jemaat terus dilaksanakan. Pada beberapa Klasis dan Jemaat, kerjasama
dengan Balai Latihan Kerja (BLK) boleh dikatakan berhasil karena berjalan
secara berkelanjutan. Kelompok-kelompok usaha yang dibentuk di beberapa
jemaat telah mendapat bantuan dana usaha yang memadai dari Jemaat dan
juga pihak lain yang tidak mengikat. Pada sisi lain, kebutuhan tenaga kerja
trampil terus menjadi hal yang penting. Rekruitmen tenaga kerja pada sektor
kerja informil dan industri sudah tidak bisa dibendung. Secara khusus dalam
kaitan dengan Blok Masela, maka jemaat-jemaat GPM sudah harus didorong
untuk melaksanakan pendidikan vokasi secara lebih sungguh-sungguh.
Pendidikan Formal Gereja sebagai pilar bina umat terus dikembangkan
guna mendorong terbentuknya jemaat yang memiliki kekuatan spiritual,
berkesadaran teologis dan eklesiologis. Dalam rangka itu seluruh sektor
pendidikan harus diintegrasikan dalam pelayanan gereja secara maksimal.
Malah dalam beberapa waktu terakhir ini, kita dihentak oleh munculnya
RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang memang perlu suatu
kajian dan masukan yang komprehensif, terutama yang terkait dengan
realitas pelaksanaan SM-TPI dan Katekhisasi. Di sini penting kita memberi
suatu kajian dan karena itu turut menjelaskan realitas SM-TPI dan
3

Katekhisasi dalam tradisi GPM itu sendiri – sebagai suatu masukan dalam
proses pembahasan lebih lanjut RUU tersebut. Hal ini penting dengan tidak
mengabaikan upaya gereja untuk merawat keragaman (pluralitas) Indonesia
dalam bingkai Negara Republik Indonesia.
Pada konteks berbangsa, GPM telah berkomitmen merawat
keanekaragaman bangsa Indonesia dengan menjadikan seluruh perbedaan
yang ada sebagai kekayaan dalam kemajemukan bangsa. Gereja Orang
Basudara (GOB) sebagai suatu konsep diri GPM yang baru, merupakan
bentuk komitmen GPM hadir di tengah bangsa dan membawa spirit
persaudaraan sejati untuk menjadi nilai dasar dalam relasi kemanusiaan dan
antarwarga bangsa.
GOB adalah suatu tindakan GPM menghadirkan dirinya untuk hidup
bersama semua saudaranya di dalam bangsa Indonesia, sehingga terwujud
rasa saling memiliki, menghormati, sepenanggungan, sebagai komitmen
memelihara keutuhan bangsa Indonesia. Bagi GPM, Persaudaraan adalah
salah satu nilai pokok dari ideologi bangsa Indonesia.
Dengan semangat persaudaraan itu, gereja akan bersama-sama dengan
semua elemen bangsa lain memerangi ajaran-ajaran radikalisme, terorisme,
separatisme, dan ide-ide ekstrim lain yang tidak bersesuaian dengan nilai
luhur Pancasila dan UUD 1945.

II. SUB TEMA 2019


Dari 3 (tiga) aspek pokok dalam PIP-RIPP pada tahun 2019, yaitu
kemiskinan, pendidikan dan politik, maka GPM telah merumuskan Sub Tema
pelayanan tahun 2019 yakni:
MEMULIAKAN TUHAN DENGAN BERSAMA-SAMA MENINGKATKAN
KUALITAS PENDIDIKAN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DAN KEUTUHAN BANGSA.

1. Memuliakan TUHAN: Pemaknaan Teologi


Dari rumusan tersebut maka, aspek “memuliakan TUHAN” menjadi
sumber spiritualitas dalam rangka menjalankan tanggungjawab bersama
sebagai gereja. Artinya, apa yang dilakukan oleh gereja didasarkan pada
motivasi dan mengarah pada respons jemaat “memuliakan TUHAN”. Di sini
sebagai GPM, kita patut merenungi siapa TUHAN bagi kita.
Dalam Tata Gereja, pada Alinea I, disebutkan:
“Terpujilah Allah: Bapa/Ibu, Anak dan Roh Kudus, yang menciptakan
langit dan bumi serta segala isinya, yang membebaskan dan
menyelamatkannya dari kebinasaan dan yang terus menerus
membaruinya sepanjang sejarah. Allah yang mengasihi manusia dari
segala suku bangsa, ras, dan agama, menjadikan manusia mitra dalam
karya pembebasan dan penyelamatanNya di bumi. Allah yang
membentuk gereja dan mengutusnya untuk mengambil bagian dalam
karya pembebasan dan penyelematanNya di bumi”.

Tata Gereja kita diawali dengan sebuah pernyataan doksologis (pujian,


pengagungan) di mana GPM mengaku iman kepada Tritunggal sebagai
pencipta, pembebas dan penyelamat, serta TUHAN atas sejarah manusia.
4

Hal itu sejalan dengan rumusan Pengakuan Iman Gereja dalam Pasal 7 ayat
1, bahwa:
Dalam ketaatan kepada Firman Allah sebagaimana disaksikan di
dalam Alkitab dan oleh kuasa Roh Kudus, GPM mengaku bahwa:
Yesus Kristus adalah Tuhan dan Kepala Gereja;
Tuhan atas Sejarah Bangsa-Bangsa dan Alam Semesta dan
Juruselamat Dunia.

Tentu bagi GPM, dalam teologinya, memuliakan TUHAN itu bukan


semata-mata suatu aktifitas ritual ibadah. Memuliakan TUHAN dalam konsep
Alkitabiah berwujud dalam melakukan apa yang TUHAN
kehendaki/Firmankan. Karena itu, memuliakan TUHAN serta merta menuntut
sikap warga gereja/umat.
Mengakui Yesus sebagai TUHAN dan Kepala Gereja mengandung
makna bahwa GPM menjadikan pola pelayanan Yesus sebagai pola dalam
pelaksanaan tugas bergereja di tengah dunia dan sepanjang sejarah. Dalam
Tata Gereja (TG) GPM, Bab IV Pasal 9 disebutkan bahwa pelayanan GPM
dijalankan menurut pola pelayanan Yesus, yakni pola:
a. HAMBA yang taat dan mengosongkan diriNya untuk melayani bukan
untuk dilayani;
b. IMAM yang rela berkorban tanpa pamrih demi tugas-tugas pelayanan
pendamaian di antara Gereja, masyarakat dan sesama manusia;
c. NABI yang menaklukkan segala sesuatu ke bawah penilaian Firman
Allah terutama untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan
kesejahteraan umat manusia, gereja, masyarakat, bangsa dan negara;
d. GEMBALA yang mengenali umatnya, menjalankan tugas-tugas
kepemimpinan dan pelayanan Gereja dengan kesabaran, mencari
yang terhilang dan mengumpulkan yang tersesat, sebagaimana
diperlihatkan oleh Gembala Agung Yesus Kristus.
e. PENGAJAR yang mengajar dengan memberi teladan untuk
mencerdaskan manusia secara spiritual, intelektual, emosional, dan
sosial.

Pola pelayanan tersebut sekaligus menjadi daya dorong teologis dan


misiologis untuk membingkai seluruh pelayanan gereja. Pada sisi itulah kita
memahami tugas bergereja sebagai panggilan misi dari TUHAN, sehingga
perwujudan dari memuliakan TUHAN adalah pada bagaimana gereja setia
menjalankan tugasnya.
Pada sisi kedua, TUHAN dalam pemahaman iman GPM itu pun
didefenisikan dalam sifat-sifatNya yang baik. Dalam Tema gumulan GPM
2010-2015, TUHAN itu didefenisikan sebagai TUHAN YANG BAIK. Dan
gereja terpanggil mewujudkan tanda-tanda kebaikan TUHAN di dalam relasi
dengan semua ciptaanNya. Serentak dengan itu wawasan teologi-oikumene
GPM mengalami perkembangan. GPM memahami relasi oikumene bukan
hanya dengan sesama gereja, sebab penghuni dunia/bumi (oikos) adalah
manusia dalam wujud masyarakat manusia yang heterogen. Karena itu relasi
oikomenis adalah relasi lintas-batas sosial, budaya, agama, ras dan bangsa.
Dengan demikian GPM mengembangkan wawasan oikumenisnya
dengan turut mengakui suku, bangsa, dan agama lain sebagai satu kesatuan
5

oikumenis. Dalam relasi itu GPM harus mewujudkan sikap TUHAN yang baik
yaitu TUHAN yang mencintai dan berpihak pada kehidupan yang damai,
tenteram, sejahtera dalam bingkai persaudaraan sejati.
Tanda kebaikan TUHAN itu pun mendorong GPM memahami bahwa
TUHAN itu pun mengasihi ciptaanNya yang lain sebagai sama-sama
penghuni bumi (oikos). Sebab itu bagi GPM relasi oikumenis bukan adalah
relasi antar-manusia an-sich melainkan relasi antar-makhluk. TUHAN yang
baik itu kemudian diyakini sebagai ALLAH/TUHAN KEHIDUPAN, yaitu
pemilik, pemelihara sekaligus pembela kehidupan makhlukNya.
Wujud memuliakan TUHAN juga kita lakukan dalam tindakan membela
dan merawat kehidupan, sebagai dimensi tugas advokasi gereja secara
berkelanjutan. Di sinilah GPM memahami aspek memulikan TUHAN bukan
dalam wawasan eskhatologis yang melihat Kerajaan Surga sebagai suatu
dimensi keakanan, tetapi bumi sebagai tempat suci/kudus di mana
pemerintahan TUHAN terjadi atas manusia dan seluruh ciptaanNya.
Memuliakan TUHAN itu dilihat dalam perspektif gereja di bumi, yaitu
gereja yang berada di dalam lingkungan keberadaannya (konteks secara
geografis/teritorial). Sebab itu memuliakan TUHAN adalah akta kehidupan
warga jemaat di dalam hidup sesehari atas kasih karunia TUHAN yang
membebaskan, menyelamatkan, memelihara dan melindunginya bersama
semua ciptaan TUHAN. Artinya gereja bersama semua makhluk memuliakan
TUHAN (baca Mazmur 145:21, Zakharia 2:13).

2. Meningkatkan Kualitas Pendidikan


Masyarakat/Jemaat yang cerdas merupakan jaminan perubahan. Di sisi
lain, kecerdasan masyarakat adalah salah satu kondisi ideal untuk
mendorong mereka keluar dari jebakan dan lingkaran setan kemiskinan.
Dalam perspektif GPM, pendidikan yang mengarah pada pencerdasan warga
menuntut:
a. Kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan anak
b. Animo dan partisipasi anak semakin meningkat untuk bersekolah
sampai perguruan tinggi
c. Keterlibatan masyarakat dalam menciptakan kondisi yang nyaman bagi
proses belajar anak (misalnya dalam praktek Jam Belajar Malam yang
banyak digalakan di jemaat-jemaat dan pamflet-pamlet wajib belajar)
d. Dukungan sarana dan prasarana belajar di sekolah
e. Peningkatan akreditasi sekolah YPPK dan UKIM
f. Sosialisasi UKIM sebagai Pendidikan Tinggi milik GPM ke semua
Jemaat

Meningkatkan kualitas pendidikan memerlukan pula suatu usaha melalui


jalur pendidikan non-formal dan pendidikan vokasi. Sebab itu perlu ada suatu
usaha untuk meningkatkan kerjasama kelembagaan yang terkait dengan itu
baik di Sinode, Klasis dan Jemaat-jemaat.
Beberapa program GPM yang mengarah ke situ, sesuai amanat PIP-
RIPP ialah relawan mengajar dan orang tua asuh.

3. Kesejahteraan Rakyat
6

Aspek kesejahteraan rakyat dalam konsep Sub Tema ini adalah kondisi
yang diharapkan terbangun dari peningkatan pendidikan itu sendiri. Artinya
kesejahteraan rakyat merupakan buah dari meningkatnya taraf pendidikan
dan kecerdasan warga. Di sisi lain, indikator kesejahteraan warga ialah
meningkatnya pendapatan ekonomi rumah tangga sebagai jaminan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar sesehari, terutama sandang,
pangan, papan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan air bersih dan sarana
kelistrikan dalam rumah tangga.
Pada aspek ini maka aktifitas ekonomi warga yang perlu dirangsang
untuk bukan sekedar bertumbuh melainkan bertahan (sustainable) sehingga
menjamin hidup berkelanjutan dari warga atau keluarga tersebut.
Di sisi lainnya GPM sadar akan realitas penyandang masalah sosial
(PMS) di semua jemaat. Sebab itu GPM telah merumuskan standarisasi PMS
dan menjadikan program diakonia transformatif sebagai program strategis di
jemaat-jemaat sebagai bentuk intervensi kesejahteraan sosial secara
berkelanjutan.
Usaha mendorong pangan lokal dan spiritualitas ugahari perlu
ditempatkan dalam wawasan ini pula, dengan demikian ada benang merah
gumulan dari tahun ke tahun guna menjawab sekaligus memecahkan
masalah-masalah atau isu strategis dalam PIP-RIPP salah satunya ialah
peningkatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Langkah ke arah itu sebenarnya mengingatkan kita pada program
pemetaan wilayah produksi dan identifiasi sumber daya alam serta membuka
jaringan pemasaran hasil-hasil produksi warga gereja. Selain itu bagaimana
melindungi hak milik warga terutama hak ulayat agar tidak menjadi obyek
penyerobotan dan perampasan lahan baik secara illegal maupun melalui
kebijakan-kebijakan deforestasi dan land-grabbing yang marak terjadi kini.
Sebab itu bagi GPM kesejahteraan rakyat itu tidak bisa dilepaskan dari
kepemilikan warga atas hak-hak dasarnya.

4. Keutuhan Bangsa
Sub Tema 2019 ini penting dipahami pula dalam sudut pandang teologi
kebangsaan. Mengapa Teologi Kebangsaan? Karena bagi GPM, Indonesia
yang adil dan sejahtera adalah Indonesia yang merupakan anugerah TUHAN
bagi semua warga bangsa. Oleh sebab itu, keadilan harus dimiliki semua
warga bangsa, sebab keadilan merupakan bagian dari panggilan berteologi
semua elemen bangsa, termasuk pemerintah. Memberi rasa adil kepada
semua warga dalam setiap aspek kehidupan adalah imperativ teologis-
pemerintahan yang tidak bisa dielak. Teologi Kebangsaan akan memperkuat
fondasi etik kita bersama memandang kebangsaan secara utuh. Di situlah
mengapa masalah kualitas pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan
keutuhan bangsa harus dipahami secara teologis. Sebab gereja harus
mampu menteologikan dirinya, tetapi juga menteologikan bangsanya.
Keutuhan bangsa itu memerlukan pula wawasan yang kuat tentang
Ketahanan Nasional. Bahwa Ketahanan Nasional adalah kondisi stabilitas
sosial masyarakat yang terwujud dari kesadaran kebangsaan dan kewargaan
semua warga bangsa. Dimensi itu dapat diejawantahkan melalui terjaminnya
hak sipil seluruh warga dan pemerintah berkewajiban memenuhi apa yang
menjadi hak sipil warga itu. Dalam realitasnya, tidak meratanya pelayanan
7

untuk kebutuhan dasar manusia termasuk pada sektor pendidikan dan


kesejahteraan rakyat memperparah akses masyarakat untuk berkembang.
Daerah-daerah di pedalaman dan pelosok, sebagaimana dialami banyak
wilayah kepulauan di Indonesia adalah potret timpangnya kondisi
kebangsaan kita.
Pada sisi itu, pendidikan kewargaan tidak serta merta untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme dengan mengabaikan aspek
pensejahteraan rakyat. Sebaliknya pensejahteraan rakyat menjamin kondisi
stabilitas dan memperkuat nasionalisme warga. Dalam wilayah pelayanan
GPM, terutama di Klasis Wetar, Kisar, Damer, Leti-Moa-Lakor, Tanimbar
Selatan, Tanimbar Utara dan Kepulauan Aru, banyak jemaat-jemaat yang
berada di wilayah perbatasan dengan negara asing (Australis dan Timor
Leste), dan di sana terdapat ketimpangan pemenuhan kebutuhan dasar
terutama di sektor pendidikan dan kesejahteraan. Itulah sebabnya mengapa
perlu ada jaminan negara terhadap usaha pensejahteraan sebagaimana
dimaksud.
GPM memandang Sub Tema ini sebagai bagian dari usahanya merawat
keragaman di Indonesia dengan tetap menjadikan Pancasila dan UUD 1945
sebagai norma dasar hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Sebab itu Gereja Orang Basudara menjadi salah satu wujud teologi
kebangsaan GPM bahwa GPM menjadi kekuatan perekat persaudaraan di
Indonesia.

Demikian gagasan ini disampaikan untuk menjadi pemahaman dan semoga


dapat memperkaya kita dalam pelaksanaan tugas pelayanan GPM di tahun
2019 yang akan datang.
“Aku menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberi pertumbuhan”
(1 Kor.3:6).

Ambon, 2 November 2018

Anda mungkin juga menyukai