I. PENDAHULUAN
Sebagai gereja yang hidup, maka Gereja Protestan Maluku (GPM) harus
sadar, gelisah dan melakukan langkah-langkah praksis untuk menjawab
permasalahan diri dan lingkungannya secara teologis. Cara GPM memberi
jawaban terhadap permasalahan diri dan lingkungannya merupakan suatu
bentuk dan sekaligus cara berteologi dan mengimplementasi eklesiologinya
di dalam praksis.
Dalam kesadaran itu, Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk
Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) dapat disebut sebagai salah satu
dokumen misiologis GPM yang memuat tentang hasil analisis terhadap
realitas kedirian dan lingkungan keberadaan GPM (di Maluku dan Maluku
Utara serta Indonesia) dan rumusan tugas (bentuk panggilan pelayanan)
yang harus dilaksanakan gereja sebagai wujud misi GPM itu sendiri.
Hasil analisis dalam PIP-RIPP kemudian menuntun GPM merumuskan
Visi, Misi sebagai titik berangkat arah kebijakan program setiap tahun. Dalam
masa pelaksanaan PIP-RIPP (10 tahun), telah dibagi 2 (dua) tahapan
pelaksanaan, yaitu Tahap I (5 tahun pertama/2016-2020), dan Tahap II (5
Tahun kedua/2020-2025). Pada setiap Tahap dirumuskan Tema yang adlaah
kristalisasi pemikiran teologis atas fokus pelayanan lima tahunan, sekaligus
terjemahan atas problematik pokok yang menjadi aksentuasi dalam lima
tahun itu. Maka Sub Tema yang dirumuskan setiap tahun merupakan
kristalisasi dari isu-isu pokok setiap tahun pelayanan.
Sub Tema perlu pula dipahami sebagai bagian dari cara GPM
mendialogkan eklesiologinya secara dinamis di dalam konteks
bermasyarakat dan berbangsa. Juga dalam kaitan dengan tema, maka Sub
Tema menegaskan tugas panggilan GPM memiliki korelasi yang kuat dalam
relasi dengan seluruh ciptaan lainnya (oikumene semesta).
Dalam Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan
Pelayanan, khusus pergumulan GPM di tahun 2019 yang akan datang,
terdapat tiga isu utama yang penting menjadi sasaran pelaksanaan program.
Ketiga isu itu adalah kemiskinan (18%), Pendidikan (15%) dan Politik
(19%). Persentasi itu diperoleh dari jumlah program indikatif pada PIP-RIPP
yang menunjukkan pada konstrein gumulan gereja sesuai dengan 13 isu
problematik dalam PIP-RIPP tersebut.
Bahwa dengan persentasi itu berarti GPM pada aras Sinode, Klasis dan
Jemaat, pada tahun 2019 akan memberi fokus program kepada ketiga itu
tersebut dan berusaha secara bersama-sama untuk menjawab serta
memenuhi kebutuhan riil jemaat terkait dengan ketiga isu dimaksud.
Sebagai informasi bahwa, pergumulan dengan masalah kemiskinan
adalah bagian dari tugas misiologis GPM untuk meningkatkan kualitas
ekonomi jemaat dan masyarakat. Selama tahun 2016-2018 yang lalu
2
Katekhisasi dalam tradisi GPM itu sendiri – sebagai suatu masukan dalam
proses pembahasan lebih lanjut RUU tersebut. Hal ini penting dengan tidak
mengabaikan upaya gereja untuk merawat keragaman (pluralitas) Indonesia
dalam bingkai Negara Republik Indonesia.
Pada konteks berbangsa, GPM telah berkomitmen merawat
keanekaragaman bangsa Indonesia dengan menjadikan seluruh perbedaan
yang ada sebagai kekayaan dalam kemajemukan bangsa. Gereja Orang
Basudara (GOB) sebagai suatu konsep diri GPM yang baru, merupakan
bentuk komitmen GPM hadir di tengah bangsa dan membawa spirit
persaudaraan sejati untuk menjadi nilai dasar dalam relasi kemanusiaan dan
antarwarga bangsa.
GOB adalah suatu tindakan GPM menghadirkan dirinya untuk hidup
bersama semua saudaranya di dalam bangsa Indonesia, sehingga terwujud
rasa saling memiliki, menghormati, sepenanggungan, sebagai komitmen
memelihara keutuhan bangsa Indonesia. Bagi GPM, Persaudaraan adalah
salah satu nilai pokok dari ideologi bangsa Indonesia.
Dengan semangat persaudaraan itu, gereja akan bersama-sama dengan
semua elemen bangsa lain memerangi ajaran-ajaran radikalisme, terorisme,
separatisme, dan ide-ide ekstrim lain yang tidak bersesuaian dengan nilai
luhur Pancasila dan UUD 1945.
Hal itu sejalan dengan rumusan Pengakuan Iman Gereja dalam Pasal 7 ayat
1, bahwa:
Dalam ketaatan kepada Firman Allah sebagaimana disaksikan di
dalam Alkitab dan oleh kuasa Roh Kudus, GPM mengaku bahwa:
Yesus Kristus adalah Tuhan dan Kepala Gereja;
Tuhan atas Sejarah Bangsa-Bangsa dan Alam Semesta dan
Juruselamat Dunia.
oikumenis. Dalam relasi itu GPM harus mewujudkan sikap TUHAN yang baik
yaitu TUHAN yang mencintai dan berpihak pada kehidupan yang damai,
tenteram, sejahtera dalam bingkai persaudaraan sejati.
Tanda kebaikan TUHAN itu pun mendorong GPM memahami bahwa
TUHAN itu pun mengasihi ciptaanNya yang lain sebagai sama-sama
penghuni bumi (oikos). Sebab itu bagi GPM relasi oikumenis bukan adalah
relasi antar-manusia an-sich melainkan relasi antar-makhluk. TUHAN yang
baik itu kemudian diyakini sebagai ALLAH/TUHAN KEHIDUPAN, yaitu
pemilik, pemelihara sekaligus pembela kehidupan makhlukNya.
Wujud memuliakan TUHAN juga kita lakukan dalam tindakan membela
dan merawat kehidupan, sebagai dimensi tugas advokasi gereja secara
berkelanjutan. Di sinilah GPM memahami aspek memulikan TUHAN bukan
dalam wawasan eskhatologis yang melihat Kerajaan Surga sebagai suatu
dimensi keakanan, tetapi bumi sebagai tempat suci/kudus di mana
pemerintahan TUHAN terjadi atas manusia dan seluruh ciptaanNya.
Memuliakan TUHAN itu dilihat dalam perspektif gereja di bumi, yaitu
gereja yang berada di dalam lingkungan keberadaannya (konteks secara
geografis/teritorial). Sebab itu memuliakan TUHAN adalah akta kehidupan
warga jemaat di dalam hidup sesehari atas kasih karunia TUHAN yang
membebaskan, menyelamatkan, memelihara dan melindunginya bersama
semua ciptaan TUHAN. Artinya gereja bersama semua makhluk memuliakan
TUHAN (baca Mazmur 145:21, Zakharia 2:13).
3. Kesejahteraan Rakyat
6
Aspek kesejahteraan rakyat dalam konsep Sub Tema ini adalah kondisi
yang diharapkan terbangun dari peningkatan pendidikan itu sendiri. Artinya
kesejahteraan rakyat merupakan buah dari meningkatnya taraf pendidikan
dan kecerdasan warga. Di sisi lain, indikator kesejahteraan warga ialah
meningkatnya pendapatan ekonomi rumah tangga sebagai jaminan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar sesehari, terutama sandang,
pangan, papan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan air bersih dan sarana
kelistrikan dalam rumah tangga.
Pada aspek ini maka aktifitas ekonomi warga yang perlu dirangsang
untuk bukan sekedar bertumbuh melainkan bertahan (sustainable) sehingga
menjamin hidup berkelanjutan dari warga atau keluarga tersebut.
Di sisi lainnya GPM sadar akan realitas penyandang masalah sosial
(PMS) di semua jemaat. Sebab itu GPM telah merumuskan standarisasi PMS
dan menjadikan program diakonia transformatif sebagai program strategis di
jemaat-jemaat sebagai bentuk intervensi kesejahteraan sosial secara
berkelanjutan.
Usaha mendorong pangan lokal dan spiritualitas ugahari perlu
ditempatkan dalam wawasan ini pula, dengan demikian ada benang merah
gumulan dari tahun ke tahun guna menjawab sekaligus memecahkan
masalah-masalah atau isu strategis dalam PIP-RIPP salah satunya ialah
peningkatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Langkah ke arah itu sebenarnya mengingatkan kita pada program
pemetaan wilayah produksi dan identifiasi sumber daya alam serta membuka
jaringan pemasaran hasil-hasil produksi warga gereja. Selain itu bagaimana
melindungi hak milik warga terutama hak ulayat agar tidak menjadi obyek
penyerobotan dan perampasan lahan baik secara illegal maupun melalui
kebijakan-kebijakan deforestasi dan land-grabbing yang marak terjadi kini.
Sebab itu bagi GPM kesejahteraan rakyat itu tidak bisa dilepaskan dari
kepemilikan warga atas hak-hak dasarnya.
4. Keutuhan Bangsa
Sub Tema 2019 ini penting dipahami pula dalam sudut pandang teologi
kebangsaan. Mengapa Teologi Kebangsaan? Karena bagi GPM, Indonesia
yang adil dan sejahtera adalah Indonesia yang merupakan anugerah TUHAN
bagi semua warga bangsa. Oleh sebab itu, keadilan harus dimiliki semua
warga bangsa, sebab keadilan merupakan bagian dari panggilan berteologi
semua elemen bangsa, termasuk pemerintah. Memberi rasa adil kepada
semua warga dalam setiap aspek kehidupan adalah imperativ teologis-
pemerintahan yang tidak bisa dielak. Teologi Kebangsaan akan memperkuat
fondasi etik kita bersama memandang kebangsaan secara utuh. Di situlah
mengapa masalah kualitas pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan
keutuhan bangsa harus dipahami secara teologis. Sebab gereja harus
mampu menteologikan dirinya, tetapi juga menteologikan bangsanya.
Keutuhan bangsa itu memerlukan pula wawasan yang kuat tentang
Ketahanan Nasional. Bahwa Ketahanan Nasional adalah kondisi stabilitas
sosial masyarakat yang terwujud dari kesadaran kebangsaan dan kewargaan
semua warga bangsa. Dimensi itu dapat diejawantahkan melalui terjaminnya
hak sipil seluruh warga dan pemerintah berkewajiban memenuhi apa yang
menjadi hak sipil warga itu. Dalam realitasnya, tidak meratanya pelayanan
7