Anda di halaman 1dari 13

13 isu strategis PIP-RIPP GPM Periode 2015-2025:

2.2.1.Pengembangan Pendidikan Formal Gereja (PFG) dan Pendidikan Teologia Warga Gereja

Berdasarkan hasil kajian Balitbang, ditemukan bahwa penguatan PFG merupakan salah satu isu utama
yang harus dikelola dalam perjalanan GPM ke depan. Dinamika dan gerak perobahan masyarakat yang
berlangsung pesat, ditambah masifnya perkembangan tekhnologi informasi, telah memproduksi
berbagai isu baru (baik isu-isu teologis maupun kemasyarakatan) yang mengisyaratkan penyesuaian
materi-materi PFG. Selain materi, pengembangan metodologi pembelajaran juga menjadi aspek yang
harus diperhatikan. Hal ini secara langsung berkaitan dengan penguatan kapasitas tenaga pelayan dalam
proses mengimplementasi metode-metode pembelajaran secara kreatif dan dinamis.

Kapasitas pelayan bukan hanya kemampuannya, tetapi juga terkait dengan settingan materi yang efektif
dan efisien sesuai dengan keragaman latar belakangnya. Dalam hal ini, evaluasi kurikulum PFG menjadi
kebutuhan yang harus direalisasikan. Pendekatan kurikulum berbasis model kurikulum sekolah harus
dipertimbangkan kembali. Model TIK-TIU terasa sangat memberatkan bagi guru-guru yang tak memiliki
latar belakang pendidikan kurikulum. Hal ini membatasi kreatifitas guru yang sebenarnya bisa
dikembangkan diluar pakem-pakem kurikulum. Demikian pula, pendekatan teks-teks yang berbeda
untuk setiap jenjang umur perlu ditinjau lagi, dan mempertimbangkan penggunaan teks yang sama
untuk semua jenjang umur dengan metode penerapan yang berbeda. Dengan begitu para pelayan
terbantu untuk melakukan pelayanan secara efisien dan efektif.

Kedepannya perlu dipertimbangkan untuk memanfaatkan dan mengembangkan efek sosial dari
keberadaan guru sekolah minggu yang sangat banyak. Sejauh ini mereka hanya berfungsi di gereja. GPM
harus mengkaji kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan kapasitas mereka dan
memperbantukan mereka sebagai tenaga pengajar, terutama di wilayah-wilayah yang mengalami
masalah dengan ketersediaan tenaga pengajar pada sekolah-sekolah negeri maupun pada sekolah-
sekolah YPPK. Bila memungkinkan, perlu dipikirkan kerjasama dengan UKIM untuk mengelola program
D2 bagi guru-guru sekolah minggu, sehingga kapasitas mereka bisa ditingkatkan dan efek sosial dari
keberadaan mereka bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Untuk menopang peningkatan kualitas PFG maka intergenerasi melalui partisipasi orang tua dalam PFG
perlu dikembangkan, sehingga guru tak perlu memikul beban sendiri. Dalam kaitan dengan PFG secara
menyeluruh, proses renstra yang telah dibangun berbasis jemaat merupakan pendekatan yang sekaligus
membangun kultur baru dalam mendinamisir pendidikan di jemaat. Dengan begitu, smeua proses
bergereja harus dilihat sebagai proses pendidikan dan pembelajaran secara utuh.

Kebutuhan penguatan PFG berbanding lurus dengan pendidikan teologia warga gereja. Pentingnya
pendidikan teologis warga gereja antara lain disebabkan karena globalisasi menciptakan masyarakat
tanpa batas. Warga gereja dengan mudah tergiring untuk membuat justifikasi etis teologis secara
mandiri berdasarkan asupan informasi yang bisa diperoleh dengan bebas tanpa proses filterisasi.

18
Dengan kata lain masyarakat bertumbuh dalam situasi multikontekstual dan multitekstual yang
didalamnya berkembang berbagai isu teologia.

Di lain sisi, pendekatan perencanaan strategis berbasis jemaat mendorong jemaat-jemaat untuk
mengembangkan konsep-konsep teologia lokal yang sangat beragam terkait dengan isu-isu strategis
yang menonjol dalam dinamika pelayanan jemaat. Balitbang GPM mencatat sejumlah tema teologia
yang dirumuskan oleh jemaat-jemaat, seperti ekoteologia, teologia kemajemukan, teologia diaspora,
teologia kelautan, teologia oikumene semesta, teologi dalam kaitan dengan eklesiologi yang parokial,
kategorial, transteritorial, teologi ekonomi, teologi politik, teologia tentang makanan dan lain-lain. Hal
ini menjadi kekayaan GPM yang harus dikelola dalam proses berteologia secara kontekstual.

Terkait dengan pemetaan situasi problematika lintas klasis dan jemaat dalam lingkup pelayanan GPM,
diharapkan ke depannya dikembangkan pula konsep teologia ekonomi yang memperhatikan
keseimbangan antara aspek spiritual individu dengan spiritual komunal. Disamping itu perlu juga
dikembangkan teologia wirausaha, sehingga warga jemaat memahami bahwa wirausaha adalah cara
melayani masyarakat yang baik.

Gereja sebagai penjaga nilai dengan sendirinya tertantang untuk merumuskan model-model pendidikan
teologia warga gereja yang tidak terbatas pada ekslusifitas isu-isu konvensional mengenai gereja dan
iman Kristen, tetapi juga berkorelasi secara adaptif dengan kondisi-kondisi khas dan trend isu-isu
kontemporer dari wilayah-wilayah pelayanan GPM. Ke depan, GPM diharapkan bekerjasama dengan
Fakultas Teologia UKIM untuk mengembangkan model-model pendidikan teologia warga gereja secara
kreatif, terarah dan terukur.

2.2.2. Peningkatan Kapasitas Pelayan

Rekaman permasalahan pada berbagai Klasis GPM serta perubahan-perubahan mendasar dalam
managemen program pelayanan di GPM berimplikasi secara langsung pada kebutuhan peningkatan
kapasitas pelayan GPM, baik organik maupun non organik, baik pendeta, majelis jemaat, maupun
seluruh unsur pelayan pada semua jenjang gerejawi. Beberapa aspek pengembangan pelayan
berdasarkan hasil evaluasi dan kajian permasalahan, diantaranya:

Pertama, penguatan kapasitas pelayan untuk mengelola isu-isu teologia, maupun isu-isu sosial yang
terbarukan. Dinamika perubahan sosial sebagai dampak modernisasi dan globalisasi yang berkembang
cepat dan bersifat masih, serta terbukanya ruang-ruang informasi yang tanpa batas, berimplikasi pada
perubahan nilai dan perilaku sosial masyarakat. Penguatan kapasitas pelayan untuk memahami dan
mengkritisi proses perubahan ini merupakan tantangan yang harus dijawab dalam perjalanan bergereja
ke depan.

Kedua, berbagai perobahan dimaksud berkontribusi terhadap munculnya beragam masalah sosial yang
mengintervensi ketahanan umat, bahkan ketahanan umat pada basis-basis keluarga. Kondisi ini
mengisyaratkan diperkuatnya kapasitas pelayan untuk mengelola model-model pelayanan pastoral yang
19
adaptif dan efektif dalam menyikapi perubahan-perubahan dimaksud. Di sisi lainnya, sejak tahun 2012
GPM telah melakukan perubahan besar dalam model perencanaan dan pengelolaan program pelayanan.
Penetapan pemberlakuan perencanaan strategis berbasis jemaat berimplikasi pada perubahan system
dan managemen pelayanan pada semua jenjang gerejawi. Beberapa produk ikutan untuk memperkuat
keutuhan pola managemen seperti System Informasi GPM (SIM-GPM), Tugas Pokok Kewenangan dan
Fungsi GPM (TUPOKSI GPM), Program Lima Tahun (PROLITA) Klasis, Monitoring dan Evaluasi,
pengembangan system audit keuangan dan program, pengembangan tekhnologi informasi, serta
beberapa bentuk perubahan lainnya mengisyaratkan diperkuatnya kapasitas aparat pengelola pelayanan
pada semua jenjang GPM untuk beradaptasi dengan system pelayanan terpadu yang sementara
dikembangkan.

Ketiga, untuk berintegrasi kedalam seluruh model perubahan yang sedang berlangsung, peningkatan
spiritualitas pelayan menjadi salah satu aspek penting yang juga harus dikelola. Kondisi melemahnya
rasa keterpanggilan dan rasa memiliki pada pelayanan gereja menjadi salah satu keluhan yang
ditemukan melalui kajian isu-isu utama lintas klasis. Bila kondisi ini tak diperbaiki maka sinergitas
perubahan besar yang sedang dikerjakan GPM tak akan sebanding dengan kapasitas integrasi dan
keteguhan spiritual perangkat pelayan untuk menunjang seluruh gerak perubahan dimaksud.

Terkait dengan penguatan kapasitas pelayan pada semua aspek yang dibutuhkan maka pembangunan
Pusat Pembinaan GPM yang sementara direncanakan harus segera direalisasikan. Sejalan dengan proses
realisasi Pusat Pembinaan GPM, design model dan kurikulum pengembangan kapasitas pelayan sudah
sepatutnya dirumuskan melalui kerjasama lintas pemangku kebijakan dalam lingkup GPM.

2.2.3. Penguatan Dan Pengembangan Ketahanan Spiritual Umat Berbasis Keluarga

Ketahanan keluarga merupakan salah satu isu besar yang tersebar secara merata di berbagai klasis yang
menjadi sasaran kajian Balitbang. Meluasnya pusat-pusat pertumbuhan baru masyarakat, disertai
perobahan sosial yang pesat, serta berkembangnya dinamika tekhnologi komunikasi dan informasi yang
menerjang ruang-ruang privat berdampak langsung pada berobahnya konsep tentang ruang dan waktu.
Hal ini berpengaruh pada ketersediaan waktu yang berkualitas dalam perjumpaan anggota-anggota
keluarga.

Pada skala yang lebih luas, trend global pada sisi buruknya telah menjangkitkan tiga aspek dalam
pembentukan karakter yang juga mengancam kehidupan keluarga, yakni materialise, hedonisme, dan
konsumerisme. Berhadapan dengan dampak buruk dari globalisasi maka spiritualitas ‘ugahari’ telah
ditetapkan oleh PGI melalui Persidangan PGI ke-16, 2014, di Nias untuk menjadi gerakan spiritual yang
harus dikembangkan oleh kekristenan di Indonesia. Spiritualitas keugaharian memberikan aksentuasi
pada pola hidup sederhana, inklusif, dan upaya membangun kebaikan-kebaikan bersama. Dalam
sinergitas oikumenis, spiritualitas ini harus dirumuskan dan diadaptasikan oleh GPM dengan berbasis
pada keluarga demi peningkatan spiritualitas umat secara menyeluruh. Model-model kearifan lokal
dalam persekutuan keluarga seperti tradisi ‘lesa,’ ‘tampa cili dan garam,’ honoli,’ dan lain-lain perlu
20
derivitalisasi dalam membangun kualitas pertumbuhan keluarga yang berorientasi pada tercapaianya
kebaikan bersama.

Kajian Balitbang terhadap isu-isu lintas klasis menemukan tingginya tingkat kekerasan dalam rumah
tangga, perselingkuhan, perceraian, perkawinan usia muda, keterjerumusan remaja dan pemuda pada
narkoba dan sex bebas yang terjadi pada keluarga-keluarga Kristen. Sebuah realitas sosio-budaya yang
mengemuka bahwa perkembangan pesat dan sebaran budaya masyarakat kota telah secara perlahan
merubah kekuatan mekanis di kampung-kampung sehingga control sosial menjadi bergeser dari ruang
public (masyarakat menjadi semakin masabodoh) dan lebih terfokus dalam ruang keluarga.

Fakta-fakta ini mengisyaratkan dikembangkannya model-model pastoral pra dan paska nikah secara
terukur dan kontinu. Selain itu model-model pembinaan keluarga yang secara spesifik menyentuh
setiap elemen keluarga (suami, isteri, anak) harus mendapat perhatian serius lintas ruang lingkup
(ruling) pelayanan, sebagai upaya menjadikan keluarga sebagai pusat pembinaan dan pertumbuhan
spiritualitas dalam pengembangan pelayanan GPM ke depan.

2.2.4. Penguatan Dan Pengembangan Relasi Lintas Denominasi Gereja.

Salah satu aspek dalam konsep dan relasi oikumene yang membutuhkan perhatian dalam pengelolaan
pelayanan GPM ke depan adalah hubungan lintas denominasi Kristen (relasi lintas iman dan relasi
dengan lingkungan sebagai bagian dalam konsep utuh oikumene telah dibahas dalam isu strategis
lainnya). Relasi lintas gereja dan denominasi Kristen masih menjadi persoalan yang mengemuka pada
banyak Klasis GPM berdasarkan temuan kasus lintas klasis. Pada beberapa wilayah klasis relasi oikume
telah berkembang dalam ketegangan, bahkan terjadi gesekan fisik yang berujung pada masalah hukum
akibat munculnya upaya-upaya reevangelisasi terhadap jemaat-jemaat GPM. Kondisi ini memberi
gambaran bahwa Piagam Saling Mengakui dan Menerima serta Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama
yang membingkai perjalanan bersama gereja-gereja di Indonesia belum secara maksimal
diimplementasikan dalam relasi-relasi bergereja di tingkat lokal. Situasi ini diperparah dengan
berkembangnya berbagai denominasi dan sekte-sekte baru kekristenan seperti Kristen Zionism, Anglo
Israelisme, Baptis Spiritual, beragam model gerakan karismatis baru, serta gerakan sinkretisme Kristen
dan kepercayaan-kepercayaan lokal, dan lain-lain.

Realitas di atas mengisyaratkan diperkuatnya pemahaman iman dan konsep eklesiologi GPM. Selain itu
percakapan oikumene antar gereja serta aksi-aksi kemanusiaan bersama perlu terus diperkuat dalam
perjalanan GPM ke depan. Dalam kerangka oikumene, aspek ini telah menjadi salah satu isu sentral PGI
yang tertuang dalam Program Kerja Lima Tahun PGI (PROKELITA PGI) periode 2015-2019.

Selain membangun dialog dan kerjasama lintas denominasi Kristen, GPM secara strategis dan proaktif
perlu mempersiapkan kader-kadernya untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan oikume, baik pada
level nasional, Asia, maupun dalam lingkup WCC. Sumber daya manusia GPM yang besar dan berkualitas
patutlah dikontribusikan untuk memperkuat pergumulan gereja-gereja secara oikume pada berbagai

21
level dan event. Untuk maksud itu maka program-program pelatihan kader oikume perlu digagas dan
dikembangkan dalam perjalanan program kedepan.

2.2.5. Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Alam

Tingkat kerusakan lingkungan di Maluku dan Maluku Utara telah mencapai tahap yang cukup
mengkhawatirkan. Penebangan hutan secara illegal, penjarahan lahan ulayat, penambangan galian C,
konsesi HPH, eksplorasi dan eksploitasi pertambangan, pengembangan perkebunan monokultur
berskala besar, pengembangan sentra-sentra pemukiman baru, dan berbagai bentuk eksploitasi lahan
lainnya telah memperhadapkan banyak wilayah GPM pada situasi degradasi lingkungan yang sangat
serius. Kondisi ini tidak saja diakibatkan oleh strategi pengembangan wilayah yang tak ramah
lingkungan, tetapi juga oleh perilaku sosial masyarakat yang melihat lingkungan semata-mata sebagai
sumber ekonomi yang harus dikuras habis. Kearifan-kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan
semakin hari semakin tergerus oleh pola hidup konsumtif dan materialistis yang berdampak langsung
pada perusakan lingkungan hidup.

Bencana yang ditimbulkan akibat degradasi lingkungan tak terhindarkan. RTRW Kabupaten Kota di
Maluku dan Maluku Utara memperlihatkan luasan daerah-daerah potensi bencana yang cukup luas.
Selain bencana alam seperti banjir, tanah longsor, abrasi sungai dan pantai, pencemaran sungai dan laut,
menipisnya debit air tanah, maka berbagai penyakit khas wilayah industry turut ditanggung masyarakat,
seperti ISPA, penyakit kulit, diare dan lain-lain. Situasi ini diperparah dengan berkembangnya perilaku
masyarakat yang tidak tertib dalam pengelolaan sampah, terutama pada wilayah perkotaan dan pusat-
pusat pertumbuhan baru.

Ditengah seluruh situasi ini, terasa ironis untuk menemukan pada banyak RTRW bahwa proyeksi
pengembangan wilayah mengedepankan intervensi keras yang berdampak langsung pada rusaknya
keseimbangan lingkungan. Peta sebaran pertambangan maupun perkebunan berskala besar di Maluku
dan Maluku Utara misalnya, memperlihatkan kaplingan-kaplingan konsesi yang menyebar secara merata
di wilayah Maluku dan Maluku Utara. Pada banyak wilayah, konsesi pertambangan dan perkebunan
berskala besar bahkan berhimpitan dengan wilayah pemukiman, lahan-lahan ulayat produktif milik
masyarakat adat setempat, serta hutan lindung.

Kenyataan ini pada gilirannya telah memicu ketegangan antara masyarakat dan perusahan, maupun
antara sesama kelompok dalam masyarakat. Pada beberapa wilayah, ketegangan itu bahkan telah
berkembang menjadi konflik fisik yang berujung di pengadilan.

Terhadap realitas ini GPM telah menyikapinya dengan kritis. Melalui tiga persidangan MPL terakhir (MPL
ke-34, ke-35, dank ke-36) isu ini telah dijadikan sebagai salah satu isu prioritas yang harus ditangani.
Gerakan #SaveAru dan #SaveNusaIna merupakan langkah konkrit advokasi lingkungan yang digerakan
oleh GPM sebagai wujud tanggung-jawab gereja dalam mengelola dan memelihara kelestarian dan
keseimbangan hayati.

22
Menyikapi masalah ini juga, GPM melalui departemen terkait telah menghasilkan modul
penanggulangan bencana, serta pelembagaan Badan Penanggulangan Bencana GPM. Dalam beberapa
tahun terakhir, penanggulangan bencana bahkan telah dilakukan dalam kerjasama antara GPM melalui
AMGPM dengan tim penanggulangan bencana Gereja Kristen Indonesia.

Dalam periode pengembangan pelayanan ke depan peran advokasi GPM perlu diperkuat secara
berjejaring dan menyentuh level penyelenggara pemerintah, maupun pendampingan dan penguatan
masyarakat. Khususnya menyangkut penguatan pemahaman masyarakat atas hak-hak ulayat mereka
sebagaimana dijamin oleh undang-undang, serta bagaimana mereka mengelolanya didalam konsep
keseimbangan yang berkesinambungan.

Pada wilayah-wilayah yang tak terhindarkan lagi pengembangan industry keras seperti pertambangan,
kehutanan dan perkebunan, GPM perlu mengembangkan secara serius pendampingan bagi warganya
untuk beradaptasi dalam berbagai model intervensi yang berpotensi pada perubahan mata pencaharian,
kedaulatan hayati, dampak bencana, atau bahkan perubahan pola hidup karena mobilisasi-mobilisasi
horizontal yang cepat akibat lingkungan yang berubah drastis.

2.2.6. Penanganan Kemiskinan dan Penguatan Ketahanan Ekonomi Umat

Indeks kemiskinan Provinsi Maluku dan Maluku Utara mengalami perbaikan dari tahun ke tahun, namun
berdasarkan data BPS Nasional per September 2014, prosentase kemiskinan di Provinsi Maluku masih
tergolong tinggi, yakni sebesar 19.13% dengan sebaran terbanyak pada wilayah pedesaan (26.28%).
Angka ini mendudukan Maluku pada urutan ke-4 provinsi termiskin di Indonesia setelah Provinsi Papua,
Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada Provinsi Maluku Utara, prosentase
kemiskinan mencapai 7.30% dengan sebaran terbesar pada daerah pedesaan (8.56%). Rendahnya
tingkat kemiskinan di Maluku Utara tentu merupakan realitas yang cukup menggembirakan terkait
pelayanan GPM di wilayah itu. Tampakan kontras dengan tingginya prosentase kemiskinan di Provinsi
Maluku memperhadapkan GPM dengan tantangan pengembangan sumber daya manusia serta
pemenuhan berbagai kebutuhan dasar yang menjadi indikator-indikator dalam penentuan indeks
kemiskinan.

Adapun indeks kemiskinan berdasarkan standar BPS diperoleh dari penjumlahan garis kemiskinan
makanan (kebutuhan minimum disetarakan dengan 2100 kalori/kapita/hari) ditambah garis kemiskinan
non makanan (kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Terkait
prosentase itu, Sigi Kemiskinan Maluku memperlihatkan sebaran kantong-kantong kemiskinan yang
dominan di Provinsi Maluku berhimpitan dengan kantong-kantong pelayanan GPM, seperti MBD,
Kepulauan Aru, Maluku Tenggara dan sebagian wilayah Maluku Tengah.

Data BPS menunjukan bahwa garis kemiskinan makanan memberikan kontribusi lebih besar pada
tingginya indeks kemiskinan. Fakta ini menjadi masukan bagi GPM untuk berpartisipasi dalam program
penanggulangan kemiskinan melalui penguatan ketahanan pangan lokal. Sesuai dengan kapasitasnya,

23
GPM dapat berpartisipasi untuk mendata berbagai bahan pangan lokal yang tersedia, memastikan
kandungan kalorinya untuk memenuhi total standar kalori yang diacu, dan secara kreatif
mengembangkan pengelolaannya menjadi produk-produk siap saji, serta mendiseminasinya menjadi
pengetahuan dasar jemaat-jemaat GPM di wilayah-wilayah dengan kantong kemiskinan yang besar.

Pada sisi lainnya, GPM sejauh ini melalui departemen Pelpem telah menyusun Panduan Standarisasi dan
Model Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sebagai instrument pendataan
kemiskinan di jemaat-jemaat GPM, sekaligus rencana intervensinya. Proses pendataan sementara
dilakukan di berbagai klasis. Diharapkan berbasis data ini strategi intervensi bisa dilakukan secara
maksimal dengan memperhitungkan kapasitas GPM.

Salah satu strategi efektif yang harus dikembangkan GPM untuk meningkatkan ketahanan pangan lokal
maupun membangun model penanganan lainnya adalah mengupayakan kemitraan dengan pemerintah,
atau dengan lembaga mitra lainnya yang mengembangkan berbagai model intervensi di sector
pengentasan kemiskinan. Diantaranya, pengembangan sentra-sentra pertanian, perkebunan,
peternakan maupun perikanan tangkap dan tambak di berbagai wilayah klasis. Terkait hal ini, penetapan
Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional haruslah dilihat sebagai peluang untuk sejak awal
mempersiapkan jemaat-jemaat pada sentra-sentra perikanan untuk menetapkan dan mengelola
wilayah-wilayah konservasi ulayat laut mereka. Dalam penanganan ke depan, GPM perlu
mempertimbangkan mengembangkan model-model “community college” melalui kerjasama dengan
pemerintah untuk penguatan ketahanan ekonomi berbasis karakteristik lokal. Pentingnya membangun
kemitraan mengisyaratkan GPM untuk memiliki dan terus menerus membarui data-data perencanaan
dan arah pengembangan wilayah milik berbagai pemangku kebijakan di setiap wilayah pelayanan GPM,
serta menjematkannya untuk menjadi informasi publik.

Selain terbangunnya kemitraan dengan pemerintah dan lembaga lainnya, kemitraan lintas jemaat
haruslah menjadi strategi lainnya yang terus-menerus dikembangkan. Terbatasnya akses pasar karena
isolasi wilayah pada banyak jemaat di pedesaan setidaknya dapat ditanggulangi melalui kemitraan lintas
jemaat, terutama antara jemaat-jemaat pedesaan dengan jemaat-jemaat di perkotaan. Dengan begitu
jemaat-jemaat di pedesaan tidak terjebak dalam budaya subsisten yang mengolah sumber daya alamnya
hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kerjasama dengan beberapa mitra gereja dalam lingkup
oikumenis yang telah terbangun selama periode ini, seperti Uniting Church Australia, PKN Belanda,
Gereja Kristen Indonesia (dirintis oleh Klasis GPM Lease) dalam bidang penguatan ketahanan ekonomi
umat perlu terus dipelihara dan dikembangkan. Ke depan GPM sudah harus mempertimbangkan
kemungkinan membangun lembaga ekonomi mikro (seperti kredit union) sebagai penyangga usaha-
usaha ekonomi kecil berbasis jemaat, selain lembaga pemasaran untuk mengelola mekanisme
pemasaran dari sentra-sentra produksi jemaat.

Salah satu focus pemberdayaan GPM yang secara serius harus dikerjakan untuk mengelola isu ini adalah
penguatan Lembaga Partisipasi Pembangunan (PARPEM GPM) dan pengembangan Uraur sebagai sentra
pelatihan GPM. Keterpurukan Uraur selama ini cukup memprihatinkan dibanding cerita-cerita suksesnya
24
dimasa lalu. Sebagai salah satu asset utama GPM di bidang pemberdayaan masyarakat maka intervensi
MPH Sinode GPM untuk revitalisasi Uraur dalam beberapa tahun terakhir ini perlu dikembangkan secara
serius dalam periode pelayanan selanjutnya.

2.2.7. Perkembangan HIV-AIDS dan Masalah Kesehatan Lainnya

HIV-AIDS telah berkembang menjadi fenomena sosial yang mencemaskan dalam beberapa tahun
terakhir ini. Rekaman sebaran kasus dan luasannya menunjukan bahwa fenomena HIV-AIDS bahkan
telah mengintervensi ruang-ruang domestic keluarga Kristen dengan peningkatan jumlah sebaran yang
cukup menggelisahkan. Ironisnya temuan fakta menunjukan bahwa segmen korban terbanyak adalah
anak-anak muda yang berusia antara 25-35 tahun. Dua factor yang menduduki peringkat teratas
penyebab penularan HIV-AIDS berdasarkan data Komite Penanggulangan AIDS Maluku adalah sex bebas
dan narkoba.

Realitas ini bukan tidak diperhatikan GPM. Pada beberapa klasis kenyataan ini telah diangkat menjadi
concern program mereka. Meskipun demikian, kajian evaluative terhadap perencanaan dan realisasi
program dalam 10 tahun terakhir memperlihatkan bahwa intervensi gereja terhadap masalah ini
belumlah mencapai level yang diharapkan dalam perencanaan. Upaya pastoral terhadap korban dan
potensi korban, maupun kepada warga gereja belum secara continue dilakukan. Ada klasis yang
mencoba membentuk unit khusus untuk membantu penanggulangan masalah ini, namun dalam
realisasinya belumlah secara efektif bekerja.

Mempertimbangkan sebaran kasus, akumulasi perkembangannya, serta fenomena gunung es


berdasarkan standard WHO, diprediksikan dalam beberapa tahun ke depan masalah HIV-AIDS akan
berkembang pesat menjadi salah satu masalah sosial yang mengancam pertumbuhan angkatan
produktif di semua wilayah pelayanan GPM.

Selain HIV-AIDS yang mengemuka sebagai persoalan lintas klasis dalam wilayah pelayanan GPM,
variable-variabel kesehatan lainnya berdasarkan asupan data lintas wilayah memperlihatkan tingkat
kerentanan kesehatan yang tinggi pada berbagai wilayah yang harus disikapi. Pengetahuan masyarakat
yang rendah tentang nilai gizi dan pengelolaan makanan sehat telah juga menjadi perhatian GPM dalam
beberapa tahun terakhir, dan harus terus ditingkatkan. Kesehatan alat reproduksi serta kesehatan ibu
dan anak adalah varian lain dari kondisi kesehatan public yang juga telah diintervensi penanganannya
dalam beberapa program GPM di periode sebelumnya. Hal ini menegaskan peran GPM untuk terus
meningkatkan partisipasinya dalam peningkatan kesehatan public dan lingkungan sebagai bagian dari
tanggung-jawab sosialnya, sekaligus sebagai manifestasi dari panggilan pelayanannya. RS. Sumber Hidup
merupakan aset GPM yang secara monumental telah menjadi alat kesaksian GPM dalam pelayanan
kesehatan bagi semua lapisan masyarakat di Maluku selama ini. Pengembangan dan pengelolaan RS.
Sumber Hidup dengan sendirinya harus memperoleh perhatian serius GPM dalam pengembangan
pelayanan ke depan.

25
2.2.8. Pengembangan Dialog dan Kerjasama Lintas Iman

Konflik Maluku dan seluruh dampaknya mempertegas bahwa dialog dan kerjasama lintas agama di
Maluku merupakan salah satu isu sentral yang harus dikelola secara berkelanjutan. Segregasi
berdasarkan agama tidak saja terjadi secara geografis tetapi juga secara mental. Dalam wilayah yang
tersegregasi, narasi-narasi kalah menang terkait konflik masa lalu bertumbuh subur dan dialih-turunkan
kepada generasi baru di Maluku.

Trauma konflik belum seluruhnya tersembuhkan. Prasangka-prasangka dan pelabelan lintas kelompok
berdasarkan perbedaan agama masih kental terasa. Tak dapat disangkal bahwa hubungan antar
pemeluk agama di Maluku memang terlihat semakin membaik dari waktu ke waktu, namun relasi yang
terbentuk masih berpola toleransi pasif. Dalam kondisi itu, radikalisme agama berkembang menjadi
salah satu fenomena yang mencemaskan kehidupan bersama di bangsa ini dan turut mengimbasi
kehidupan pemeluk agama di Maluku.

Terhadap kenyataan ini, GPM telah melakukan berbagai upaya untuk membangun pengertian dan sikap
saling menerima dengan pemeluk agama lainnya. Upaya ini perlu diteruskan dan ditingkatkan untuk
mencapai level rasa saling percaya yang semakin tinggi antara para pemeluk agama di Maluku. Model
tinggal bersama (“live-in”) antar pemeluk agama yang pernah dipelopori GPM (dan program lainnya)
sepatutnya terus dikembangkan, sehingga penguatan relasi lintas agama tidak saja berlangsung di ruang
public, tetapi juga mengintervensi ruang-ruang domestic. Selain itu, kerjasama antar para pemeluk
agama mesti diarahkan untuk menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan, ketidak-adilan sosial,
degradasi lingkungan, serta penguatan tertib sosial dan pengawalan terhadap tata pemerintahan yang
bermoral sebagai manifestasi dari relasi oikumene baru.

2.2.9. Peningkatan Peran Politik GPM

Sebagai gereja dengan jumlah anggota terbanyak diantara denominasi Kristen lainnya di Maluku, posisi
politik GPM dalam tatanan sosial kemasyarakatan di Maluku patutlah diperhitungkan. Berkembangnya
berbagai pusat pertumbuhan dan daerah-daerah otonom baru pada level kecamatan maupun
kabupaten pada gilirannya meningkatkan dinamika politik pada berbagai lokalitas wilayah pelayanan
GPM. Kondisi ini menjadi dasar bagi GPM untuk menyelenggarakan peran profetisnya melalui tiga level
partisipasi;

Pertama, melalui pengembangan hubungan kemitraan yang kritis terhadap para penyelenggara
pemerintahan maupun pelaku politik lainnya. Maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai penyakit
sosial yang akut pada bangsa ini menjadi dasar bagi GPM untuk terus menerus menyatakan sikap
kenabiannya dalam mendorong pengelolaan pemerintahan yang menjunjung keadilan, kebenaran, serta
sepenuhnya mendukung nilai-nilai kemanusiaan dan keutuhan ciptaan.

Kedua, GPM terpanggil untuk melakukan pastoral politik dengan cara mempersiapkan dan mendampingi
kader-kader terbaiknya yang melayani dalam bidang politik dan pemerintahan. Untuk menjalankan
26
fungsi kontrolnya sebagai bagian dari “civil society,” GPM perlu secara kritis memberikan masukan
kepada perumusan RUU atau RANPERDA melalui kader-kadernya yang berada di lingkungan eksekutif
maupun legislative. Terkait dengan ini, keluarnya produk baru undang-undang desa memberikan
peluang bagi mengalirnya uang dalam jumlah besar ke setiap desa. Hal ini menjadi tantangan baru bagi
GPM untuk melakukan pendampingan etis-moral dalam pengelolaan sumber-sumber keuangan bagi
penyelenggara pemerintahan desa.

Ketiga, GPM secara aktif turut mengembangkan pendidikan politik rakyat, terutama menyangkut hak
dan tanggungjawab politik masyarakat untuk mengupayakan terciptanya keseimbangan dan tertib
sosial, serta terpenuhinya prinsip-prinsi keadilan dan kebenaran dalam penyelenggaraan pemerintahan
pada semua jenjang. Fenomena bertumbuhnya daerah-daerah otonomi baru telah berdampak pada
berkembangnya sikap-sikap sektarianisme etnis, meningkatnya peredaran uang dan sikap materialism,
serta mobilisasi horizontal yang tinggi. Kondisi ini menantang GPM untuk secara intensif melakukan
pastoral politik pada berbagai level. Sejauh ini GPM telah melakukan kerjasama dengan Akademi
Leimena dan beberapa lembaga lainnya untuk mengembangkan berbagai program, diantaranya
program pendidikan politik rakyat selama beberapa tahun terakhir. Kegiatan-kegiatan seperti ini perlu
dilanjutkan, dikembangkan, dan diperluas sebaran aktifitasnya pada berbagai klasis dalam lingkup
pelayanan GPM.

2.2.10. Pengembangan Sistem Pendukung Untuk Memperkuat Pendidikan Dasar, Menengah


dan Perguruan Tinggi

Mengacu pada data Rancangan Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Maluku dan Provinsi
Maluku Utara, dalam persilangan informasi dengan temuan isu lintas klasis, diketahui bahwa aspek
mutu dan relevansi pendidikan masih menjadi persoalan serius yang harus ditanggulangi.

Peningkatan sarana dan prasarana serta kualitas dan distribusi guru yang merata merupakan dua
variable utama yang harus ditangani terkait aspek ini. Selain itu aspek tata kelola juga menjadi salah satu
isu yang bersentuhan langsung dengan peran GPM dalam pengelolaan pendidikan. Aspek tata kelola
terkait dengan pengelolaan sumber daya yang efisien dan akuntabilitas.

YPPK sebagai yayasan yang merepresentasikan GPM dalam pengelolaan pendidikan dasar di Maluku kini
berhadapan dengan sejumlah tantangan serius terkait dua aspek dimaksud. Banyak sekolah YPPK
bergelut dengan minimnya sarana dan prasarana serta distribusi guru yang terbatas. Peraturan
pemerintah (No.17/2010) mengharuskan sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat menyediakan
tenaga gurunya merupakan salah satu tantangan terbesar bagi YPPK.

Sejauh ini 80% tenaga guru YPPK masih merupakan tenaga pemerintah, 15% dibayar melalui subsidi
umat dan sekolah, sementara 5% sisanya merupakan tenaga organik GPM. Dalam kaitan kelembagaan
dan tata kelola, GPM belum secara spesifik mengakomodasi guru-guru YPPK non-pemerintah sebagai

27
tenaga organik GPM. Hal ini menjadi kendala untuk memproyeksikan pengadaan dan distribusi guru
secara merata pada sekolah-sekolah milik YPPK.

Dalam kondisi ini upaya untuk mereformasi strategi pengembangan pendidikan yang ditangani oleh
YPPK perlu mendapat perhatian serius dalam pengelolaan pelayanan GPM. Signal yang diberikan MPH
Sinode GPM untuk melakukan merger dan alih fungsi sebagian sekolah YPPK dengan pemerintah
(menjadi sekolah negeri) atau Departemen Agama (sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen
Agama) sudah harus dikaji visibilitasnya untuk direalisasikan dalam periode pelayanan berikutnya.

Selain itu pengembangan kerjasama antara YPPK dengan BPK Penabur, Lentera Harapan serta
Universitas Pelita Harapan yang telah berlangsung selama ini perlu ditingkatkan dan diperluas.

Disamping YPPK maka UKIM sebagai pilar pendidikan tinggi dibawah naungan GPM memerlukan
perhatian serius dalam upaya pengembangannya. Pergulatan UKIM untuk mensubsidi dirinya secara
mandiri masih menjadi persoalan panjang yang belum terselesaikan sampai saat ini. Ketersediaan
tenaga pengajar dengan kompetensi yang dibutuhkan, serta berbagai indikator untuk meningkatkan
standar akreditasi universitas, merupakan tantangan lain yang harus dipikirkan penanganannya.

Terkait dengan pengembangan UKIM, pembangunan kampus baru di Suli perlu direalisasikan untuk
memacu pengembangan universitas, ditengah bertumbuhnya berbagai lembaga pendidikan tinggi baru
sebagai competitor di Maluku. Dalam periodisasi pelayanan berikutnya, pengembangan UKIM harus
menjadi salah satu pusat perhatian GPM yang mengemban tanggung jawab sebagai pembina YAPERTI.

Dalam rancangan PIP-RIPP GPM 2016-2025 strategi pengembangan pendidikan dasar, menengah, dan
pendidikan tinggi diserahkan pada kebijakan masing-masing yayasan pendidikan untuk mengembangkan
perencanaan strategisnya, dengan mempertimbangkan hasil kajian masing-masing yayasan maupun
asupan informasi lainnya dalam koordinasi dengan klasis-klasis dalam lingkup pelayanan GPM.
Pengembangan strategi pelayanan didalam PIP-RIPP ini dilakukan melalui peningkatan dan pengelolaan
daya dukung umat kepada penyelenggaraan kegiatan pendidikan, terutama di wilayah-wilayah
pelayanan GPM yang memiliki daya dukung rendah dan aksesibilitas yang sulit.

2.2.11. Pengembangan Informasi, Dokumentasi, dan Komunikasi.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi secara masif dalam beberapa decade haruslah dilihat
sebagai sarana penting bagi gereja untuk mengembangkan pewartaannya. Media ini dapat membantu
gereja untuk menyebarkan pesan injil dan ajaran-ajaran gereja, sekaligus melalui pemanfaatan media
gereja dapat mengintegrasikan pesan injil ke dalam kebudayaan baru yang dihasilkan oleh model-model
komunikasi modern.

Pentingnya pemanfaatan tekhnologi informasi tak terlepas dari kenyataan bahwa generasi muda gereja
saat ini telah bertumbuh menjadi “generasi digital” yang gandrung dan mahir dengan berbagai
tekhnologi informasi. Mereka telah memasuki masyarakat tanpa batas, baik ruang dan waktu. Hal ini
28
menjadi tantangan, sekaligus peluang bagi gereja untuk memanfaatkan kemajuan tekhnologi
multimedia dalam penyelenggaraan pelayanannya bagi kaum muda, sekaligus “pastoral media” untuk
meningkatkan kapasitas mereka dalam memanfaatkan media secara baik dan bermoral.

Dalam upaya peningkatan pengelolaan pelayanan, managemen infodok dan komunikasi perlu menjadi
perhatian serius untuk dikelola. Managemen berbasis data dan tekhnologi informasi (SIM GPM) yang
mulai dikembangkan GPM saat ini mengisyaratkan penguatan kelembagaan terkait, baik aspek sarana
dan prasarana, maupun managemen pengelolaan dan sumber daya manusia.

Dilembagakannya Media Center GPM pada periode ini merupakan suatau terobosan untuk menjadikan
tekhnologi informasi menjadi salah satu media pemberdayaan dalam pengembangan GPM ke depan.
Hal ini mengisyaratkan pengembangan managemen personil dan pengelolaannya secara efektif dan
berdaya guna. Terkait hal itu, perlu dipertimbangkan untuk menata Biro Komunikasi GPM serta unit
Informasi dan dokumentasi, baik manajemen maupun fungsinya, sehingga dapat mengakomodir
kebutuhan gereja untuk mengembangkan pelayanannya di bidang media komunikasi dengan lebih
maksimal.

2.2.12. Pengelolaan Harta Milik Gereja

Persoalan harta milik gereja masih menjadi salah satu isu utama lintas klasis yang harus ditanggulangi
dalam perjalanan pelayanan GPM ke depan. Proses pendataan dan penataan harta milik gereja telah
digalakan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam proses itu ditemukan sangat banyak asset GPM yang
belum diperjelas status kepemilikannya.

Temuan biro harta milik GPM maupun tim verifikasi GPM memperlihatkan banyak kasus pengalihan
harta milik GPM tanpa melalui prosedur gerejawi yang benar. Temuan-temuan ini mempertegas bahwa
pendataan, sertifikasi, dan pemanfaatan harta milik GPM, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
merupakan tantangan yang masih harus dikelola pada semua jenjang gerejawi.

Terhadap seluruh permasalahan yang ditemukan, dirasa penting untuk melakukan penataan dan
pengembangan lembaga pengelola harta milik gereja diseluruh jenjang pelayanan GPM. Disamping itu,
perlu dirumuskan ketentuan tentang pengelolaan harta milik gereja yang lebih terinci, serta dilakukan
kalkulasi nilai ekonomi seluruh aset gereja. Dengan begitu, fungsi pengawasan dan pengendalian harta
milik gereja dapat dijalankan secara optimal.

2.2.13. Peningkatan Tata Kelola Kelembagaan Secara Efektif Dan Berkelanjutan

Periode 2010-2015 ditandai, antara lain, dengan perubahan managemen perencanaan pelayanan secara
menyeluruh pada semua jenjang bergereja. Pemberlakuan Perencanaan Strategis (Renstra) Jemaat,
Prolita Klasis, serta perobahan siklus persidangan gereja berimplikasi pada perubahan-perubahan
regulasi, aturan organik serta tuntutan peningkatan tata kelola kelembagaan yang efektif bagi
pengembangan pelayanan GPM di semua jenjang.
29
Perlunya pengembangan tata kelola kelembagaan yang baik sejalan dengan semangat perubahan dalam
pengelolaan tata pemerintahan dan kelembagaan yang sedang berkembang pesat saat ini. Kondisi ini
memberikan peluang bagi gereja untuk memperoleh dukungan kemitraan yang bermanfaat bagi
pengembangan tata kelola kelembagaan di GPM. Pengelolaan perencanaan berbasis PIP-RIPP, Renstra,
Prolita, pengembangan TUPOKSI, Sistem Data Base, serta pemberlakuan system moneva pada semua
jenjang bergereja, perlu didukung dengan penguatan nilai-nilai partisipatif, penegakan hukum,
transparansi, responsive, musyawarah, kesetaraan, efektif dan ekonomis, akuntabilitas, dan
profesionalisme sebagai standard tata kelola kelembagaan yang baik.

Terkait dengan tata kelola kelembagaan maka pemutahiran system manajemen keuangan gereja
merupakan suatu kebutuhan yang harus dikerjakan. Sebagai lembaga, gereja adalah milik umat/public
dan dengan sendirinya mengelola keuangan umat/public. Karenanya transparansi pengelolaan keuangan
gereja menjadi harapan yang harus terus menerus ditingkatkan. Untuk mendukung harapan itu maka
kajian dan revisi peraturan perbendaharaan gereja serta penerapan system audit perlu untuk
direalisasikan.

30

Anda mungkin juga menyukai