Anda di halaman 1dari 5

Nama : Daniel Razsekar Panjaitan

NIM : 17.3231

Mata Kuliah : Etika Kristen II

Dosen Pengampu : Pdt. Saut H. Sirait, M.Th

Ujian Tengah Semester

Deskripsi Soal : Buatlah rancangan program yang paling memungkinkan dan relevan
dilakukan dalam 7 level Philip Wagoman.

=================

Philip Wagoman merumuskan 7 level partisipasi politik gereja :

1. Level Pertama : Influence the Ethos (Memengaruhi Etika)


Tugas gereja dalam mempengaruhi etika jemaat sejatinya merupakan tugas
mendasar dari gereja. Bahkan tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa gereja
merupakan persekutuan dari orang-orang yang telah dibaharui hidupnya.
Pembaharuan hidup dalam hal ini mencakup bidang yang holistik, termasuk dalam
hal etika seseorang atau jemaat secara keseluruhan. Umat Kristen tidak hanya
mengakui kewajiban untuk memberitakan injil, mengaku beriman, dan menyembah
Tuhan.
Salah satu program yang dapat dirancangkan untuk memenuhi tugas gereja dalam
mempengaruhi etika dari masyarakat luas adalah dengan memperhatikan sekolah
minggu bagi anak. Gereja perlu serius dalam membina anak-anak di sekolah minggu.
Membina sekolah minggu sama dengan membentuk dan meletakkan dasar. Anak-
anak masih berada pada fase yang mudah dibentuk dan diarahkan. Dengan demikian,
program terbaik yang dapat dilakukan gereja untuk mempengaruhi etika adalah
dengan berkonsentrasi pada anak-anak yang ada digereja.

2. Level Kedua : Educating the Churchs Own Membership about Paticular Issues
(Pendidikan Politik Warga Gereja tentang isu-isu Penting)
KBBI sendiri medefinisikan politik sebagai segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Segala
urusan dalam konteks ini mencakup cara bertindak maupun cara menghadapi atau
menangani suatu masalah. Sedangkan insiklopedi sendiri mendefenisikan politik
sebagai hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan
proses-proses politik.
Perjumpaan antara gereja dengan politik menjadi hal yang tidak dapat
terhindarkan. Dalam sejarah kita dapat melihat bagaimana keterlibatan gereja dalam
bidang politik, khusunya dalam rangka mengadakan revolusi dalam masyarakat.
Keterlibatan ini dikarenakan politik merupakan alat untuk melakukan pembaharuan.
Setiap usaha untuk menggagas pembaharuan tersebut harus dilakukan melalui politik.
Menurut penulis, pendidikan mengenai politik secara khusus terkait tentang isu-
isu penting dapat dilakuan secara formal dan non formal. Bila keadaan jemaat
memungkinkan, dan secara finansial mencukupi, rancangan program yang dapat
dilakukan dengan seminar. Seminar tersebut mengundang orang yang kompeten
dibidang politik dan secara khusus menguasai isu yang sedang diperbincangkan.
Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk generasi yang ‘melek’ dan peduli
terhadap politik. Hal ini juga berpotensi untuk mengkaderisasi orang-orang yang
tertarik pada bidang politik untuk dapat memiliki bekal dasar untuk mendalami
bidang tersebut lebih dalam lagi.
Dalam sektor pembinaan secara nonformal, pendidikan politik dapat dilakukan
dengan diskusi-diskusi ringan di tempat-tempat perkumpulan seperti lapo tuak.
Dalam hal ini, pelayan perlu membekali dirinya lebih lagi untuk dapat menjadi
inisiator dan pemberi perspektif terhadap rekan diskusi. Pelayan juga harus peka
terhadap kebutuhan dan isu politik yang sedang berkembang.

3. Level Tiga : Church Lobbying (lobi gereja)


Pada level ini, gereja perlu melakukan pendekatan terhadap orang-orang yang
telibat dalam politik praktis di pemerintahan, dll. Terbangunnya kedekatan tersebut
akan menghasilkan dampak yang positif terhadap gereja dan program-program yang
akan dijalankannya. Misalnya, dalam hal pengurusan perizinan yang saat ini marak
dipersulit, baik oleh pemerintah lokal, maupun oleh masyarakat sekitar.
Pembangunan kedekatan ini dapat dilakukan dengan rancangan formal dan non
formal. Rancangan formal dalam membangun kedekatan tersebut melibatkan gereja
secara institusional dengan institusi lainnya, khususnya yang berada di pemerintahan.
Misalnya saja dengan aktifnya gereja dalam mendukung kegiatan-kegiatan
pemerintahan lokal. Dalam lokus pemerintahan yang dibawah seperti kecamatan,
gereja aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dijalankan di kecamatan tersebut.
Selain itu, akan lebih baik pula bila gereja sebisa mungkin melibatkan
pemerintahan lokal dalam kegiatan-kegiatan gereja tersebut. Misalnya dengan
mensosialisasikan program-program gereja yang menunjukkan dukungan gereja
terhadap masyarakat sekitar, serta mendiskusikan pendapat pemerintahan lokal terkait
dengan program-program tersebut. Berdiskusi, mengundang para tokoh agama, dan
tokoh masyarakat juga merupakan gagasan yang baik.
Selain tiu, pendekatan juga dapat dilakukan secara nonformal, yakni dengan
bincang-bincang terhadap para tokoh masyarakat dan pemerintahan sebagaimana
seorang sahabat. Kendalah kita saat ini adalah sering kali membuat tembok pemisah
tersendiri dengan orang lain, khususnya dengan orang atau tokoh yang beragama lain.
Gereja harus ramah dan menjadi sahabat bagi orang-orang lintas agama. Komunikasi
yang intens akan memunculkan kedekatan. Kedekatan akan berdampak pada
kemudahan.

4. Level Empat : Supporting Particular Candidate for Office (mendukung calon tertentu)
Gereja yang mendukung calon tertentu
Sebagaimana dengan level pertama, dimana gereja berperan dalam mempengaruhi
dan membentuk etika seseorang, serta mengkaderisasi orang yang memiliki perhatian
terhadap bidang politik; gereja juga memiliki keharusan untuk mengkaderisasi orang-
orang yang layak secara kapasitas intelektual dan moral untuk menduduki jabatan
tertentu. Dengan demikian perlu adanya pemetaan dan patronasi etis terhadap orang
yang dianggap layak duduk di pemerintahan.
Sehubungan dengan hal itu, gereja perlu mendiskusikan serta merumuskan acuan
tertentu, bersama jemaat, terhadap calon-calon yang akan menduduki jabatan politis.
Gereja tidak boleh berpolitik praktis dan berkompetisi dalam bidang politik. Namun
bilamana ada calon yang benar-benar kredibel untuk menduduki jabatan politis
tertentu, gereja bertanggung jawab untuk mendukungnya. Untuk itu, gereja bersama
dengan jemaat perlu untuk duduk bersama dalam menetapkan kriteria calon yang
layak untuk di dukung.

5. Level Kelima : Becoming a Political Party

Dalam konteks indonesia, penulis melihat hal untuk membentuk sebuah partai
politik Kristen adalah hal yang kurang efektif. Mengingat giatnya tekanan dari
kelompok mayoritas dan kita merupakan bagian dari minoritas yang secara kuantitas
berukuran kecil. Bilamana partai politik ditujukan sebagai sarana untuk menyalurkan
aspirasi, penulis melihat bahwa eksistensi dari Persekutuan Gereja di Indonesia sudah
cukup sebagai sarana menyampaikan aspirasi gereja. Yang perlu untukdilakukan saat
ini adalah untuk mensolidkan gereja-gereja yang ada dibawah organisasi ini, serta
lebih menggiatkan organisasi ini untuk terus menyuarakan aspirasi dari gereja-gereja
yang ada di Indonesia.

6. Level Keenam : Civil Disobedience (Pembangkangan Sipil)

Pembangkangan sipil terjadi bilamana ada pemerintahan yang lalim. Kelaliman


tersebut misalnya terlihat dari keputusan-keputusan yang tidak mendukung keadilan,
Gereja, melalui arahan terhadap jemaat perlu menjadi pionir untuk mengarahkan
warga gereja agar tidak mengikuti atau menjalankan aturan pemerintah. Bukanlah
kesalahan bilapun gereja menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap program-
program pemerintah yang bertentangan dengan firman Tuhan. Namun penulis melihat
bahwa level keenam ini lebih bersifat kondisional.

7. Level Ketujuh : Participating in Revolution (Ikut dalam Revolusi)


Peran gereja atau kekristenan dalam bidang politik ialah untuk memperjuangkan
hak-hak sosial dari kelompoknya secara khusus, juga masyarakat luas secara umum.
Gereja berperan dalam penjaminan hak untuk beribadah, baik dalam defenisi ibadah
secara ritualistic maupun dalam arti lain, yakni dalam perwujudan revolusi. Dalam
sejarahnya, gereja indonesia pernah berupaya untuk memperjuangkan hal tersebut,
termasuk dengan gereja batak (HKBP).

HKBP pernah merancang system perencanaan yang sistematis yang kemudian


diberi nama Garis-garis Besar Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan
(GBKPP) HKBP. Sistem perencanaan ini kemudian menjadi rencana induk dalam
program-program perjuangan yang akan dijalankan. Dalam GBKPP tersebut,
penanggulangan kemiskinan, perhatian terhadap program mengatasi kebodohan,
kemiskinan dan keterbelakangan, khususnya di desa merupakan tugas panggilan
gereja. Hal tersebut diwujudkan dengan pengembangan dan pengorganisasian
masyarakat, program-program penyadaran dan usaha penguatan rakyat agar mampu
mengatasi masalah dan keluar dari kemiskinan dan ketertinggalannya.

Untuk memperjuangkan masyarakat dan ikut serta dalam revolusi, politik HKBP
harus menghadapi konsekuensi atas keputusan keberpihakannya kepada kelompok
tertindas, dalam hal ini adalah masyarakat miskin dan terbelakang di Tapanuli. Politik
HKBP mengusik kepentingan kelompok penindas (konglomerasi) dengan upaya-
upaya mencerdaskan masyarakat dan mewujudkan pembebasan yang terkandung
dalam injil Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai