Anda di halaman 1dari 9

PAK DEWASA

Novri Eni

Raden OwenI

Lisa M

Lisawati

Okta Barito

MENU
A. Penentuan Program Oleh Para Pejabat
Gereja

B. Pendidikan Formatif dan Pendidikan


Kritis

C. Fiksasi Teologis

D. Persiapan Dari Para Pendidik Kristen


Untruk Orang Dewasa

E. Program Disusun Tanpa Riset Research


Vacuum

F. Tinjauan Ulang terhadap Nonpartisipatif


Sejak jaman PL golongan pejabat gereja sudah berperan dalam kehidupan agamawi. Lahirlah
golongan ahli taurat yang bertugas untuk menafsirkn serta mengajar firman Tuhan.Dengan
diperkenalkan budaya huruf membaca dan menulis yang kemudian muncul strafikasi sosial baru
dimana mereka membaca dan menulis pada kelas atas. Mereka yang bisa membaca dan menulis
menjadi pemimpin dan mengajar sedangkan mereka yang kurang mampu menjadi pengikut dan
pendengar. Seorang ahli taurat yang punya kuasa yang datang dari akibat keahliannya. Kasta ahli
taurat ini bukan saja pemilik tetapi juga punya hikmat. Karena mengusai pengetahuan dengan
demikian ia mengusai batas-batas tertentu masyarakat dimana mereka hidup.
Pembagian antara dua kelas utama berdasarkan melek hurup\f dan tidak melek huruf, juga terjadi
pada kekristenan. Gereja sebagai suatu persekutuan orang percaya dari pengaruh yang terjadi dalam
masyarakat. Jadi lahirnya kasta ahli kitab dan adanya individu- individu yang berkepentingan dengan
expert power yang menggunakan kuasanya untuk kontrol sosial, adalah fakta. Orang yang maju
sekali dalam kelas rohaniawan dan memenuhi peranan sebagai penafsiran berada dalam posisi yang
memiliki expert power. Namun expert power hanyalah sekian dari beberapa power ( kekuasan) ada
lima alasan pemikiran power menurut analisa Friench dan Raven :
• Expert power (kekuasaan karena keahliannya)
• Legitimate power ( kuasa yang sah)
• Coecive power ( kuasa menghukum)
• Reward power ( kuasa yang memberi imbalan)
• Referent power ( didasari pada indetikasi dari mereka yang dipengaruhi
Dari hal diatas, dapat dikatakan bahwa kebanyakan program atau isi program
pendidikan untuk orang dewasa ditentukan oleh kasta rohaniawan dan hal ini
dilakukan tanpa mempertimbangkan wewenang dengan asumsi bahwa para
rohaniawanlah yang paling tahu yang paling dibutuhkan orang dewasa, namun
tidak berarti semua tema program ditentukan oleh mereka , melainkan disusun
secara bersama-sama. Kalau kita berbicara tentang PAK Dewasa dalam gereja.
Kita sebenarnya berbicara tentang sukarela, dimana tidak ada imbalan apa-apa
dalam bentuk promosi atau penambahan pendapat (inkam) seperti dunia bisnis,
harus diakui memang dalam dunia kita ini, para rohaniawan sudah tidak lagi
mempunyai kuasa coercivi dan reward. Oleh karena itu, para calon peserta
didik harus diajak berunding. Orang dewasa harus mempunyai bagian yang
kuat dalam menentukan tema program atau keseluruhan program PAK
Dewasa. Para pendidik kristen harus berusaha untuk menetukan minat
pendidikan orang dewasa. Perlu adanya hubungan yang erat antara kebutuhan
individu dan kebutuhan jemaat untuk memperhatiakn kebutuhan orang dewasa
yang bejar, dan bukan pada hal yang dipikirkan penting oleh para teolog atau
penjabat/pendeta/majelis.
Pendidikan formatif yang menekankan penerimaan yang begitu saja tentang
apa yang diberikan oleh pendidik. Sedangkan pendidikan kritis menekankan
pada pengujian yang evaluative terhadap apa yang diberikan. Pendidikan
formatif dianggap sebagai suatu proses yang mana seseorang peserta didik
dibentuk oleh seorang pengajar/guru, sedangkan pendidikan kritis ialah suatu
proses diamana guru dan pelajar terlibat dan suatu pencarian yang sistematik
terhadap isu-isu yang dihadapi, kedua bentuk pendidikan ini saling melengkapi
dan sama pentingnya.
Pendidikan kritis itu sendiri adalah cara budaya menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya. Dalam konteks PAK dewasa maka pendidikan kritis
menyokong terhadap perkembangan dan pertumbuhan dari apa yang telah
diwariskan.
Secara historis kita melihat bahwa strategi yang dipakai gereja yang mula-
mula adalah satu trategi yang dipakai, untuk memfasilitasi pembelajaran bagi
orang dewasa adalah berdasarkan pada model formatif.
• Fiksasi teologis ialah seluruh tema dari program pendidikan orang dewasa
itu hanya bersifat teologis dan mengabaikan sama sekali hal-hal yang
sekuler, padahal pengetahuan mengenai keterkaitan antara hal-hal teologis
dengan hal sekuler adalah suatu adalah suatu kebutuhan bagi orang dewasa
memang pada masa lampau para Bapak Gereja berpendapat bahwa hanya
hal-hal yang sakral saja yang perlu dipelajari di gereja, sedangkan hal-hal
yang sekuler meskipun sangat berguna dan dibutuhkan oleh orang dewasa,
dianggap bukan tugas gereja untuk mengajarkannya. Dengan demikian
maka pendekatan seperti ini memberikan kesan bahwa gereja sebenarnya
lebih menaruh perhatian kepada ide-ide yang membawa kesejahteraan bagi
lembaganya dan bukan kesejahteraan dari anggota-anggota yang sedang
bergumul dalam dunia kerja sehari-hari.
• Sejauh ini kita telah mengemukakan tiga wilayah permasalahan, yakni
pendidik (pejabat) dalam gereja menentukan tema pendidikan secara
sepihak, tanpa memperhatikan kebutuhan dan minat orang dewasa; bahwa
apa yang umumnya terjadi dalam pendidikan gereja bagi orang dewasa
adalah pendidikan formatif, dan kurang sekali pendidikan yang bersifat
kritis; tema dari kebanyakan program pendidikan untuk orang dewasa
dalam gereja yang melulu teologis.
Biasanya persiapan akademis dari adult religious educators (para pendidik
agama Kristen untuk orang dewasa) dipusatkan pada ilmu-ilmu teologi. Kursus
yang disajikan untuk PAK Dewasa sebagai suatu bidang studi, biasanya (tidak
selalu) diajarkan oleh mereka yang mempunyai gelar yang tinggi di bidang
teologi, namun belum pernah mengadakan penelitian pendidikan dan yang
tidak mempunyai kredibilitas dalam bidang professional PAK Dewasa.
Nampaknya ada tiga alasan pokok mengapoa para pendidik orang dewasa
dalam gereja kurang memiliki kredibilitas sebagai pendidik orang dewasa:
• Mereka menganggap sebagai teolog-teolog yang kebetulan tertarik pada
PAK Dewasa.
• Mereka cenderung menisolasikan diri dari bidang pendidik orang dewasa
yang umum.
• Mereka menggunakan kata-kata atau istilah bahasa yang mendua arti (darri
sudut pandang pendidik) sehingga kurang komunikatif.
Pendidikan untuk orang dewasa dalam jemaat yang tidak terbiasa
dengan metode riset yang empiris dan tanpa sumber penelitian yang
dihasilkan (tercetak), tidak dapat disalahkan apabila mendasarkan
pengembangan progamnya pada ide-ide yang dihasilkan oleh orang-
orang yang mempunyai keahlian teologis, tetapi yang kurang
pengalamannya dalam dalam hal penelitian lapang (penelitian ilmu-
iimu sosial). Pendidikan orang dewasa, juga dalam gereja merupakan
bidang praktek sosial. Tentu saja yang dikritik bukanlah keinginan dari
para teolog untuk melakukan tugasnya secara professional, melainkan
pada anggapan umum yang mengklaim bahwa seorang teolog secara
otomatis dapat menjadi pendidik untuk orang dewasa dalam gereja
tanpa harus melakukan penelitian sendiri, tetapi dengan menggunakan
hasil penelitian orang lain yang ahli di bidang tersebut.
Di atas telah dijelaskan bahwa gejala nonpartisipatif dalam
jemaat disebabkan oleh beberapa factor, yakni:
• Keengganan untuk berubah (Resistance to Change)
• Keterasingan (Allenation)
• Keterpinggiran (marginality)
• Nonafliasi Sosial
• Tidak Relevannya Program (Programme Nonrelevance)
• Kesibukan Gereja

Anda mungkin juga menyukai