MENU A. Penentuan Program Oleh Para Pejabat Gereja
B. Pendidikan Formatif dan Pendidikan
Kritis
C. Fiksasi Teologis
D. Persiapan Dari Para Pendidik Kristen
Untruk Orang Dewasa
E. Program Disusun Tanpa Riset Research
Vacuum
F. Tinjauan Ulang terhadap Nonpartisipatif
Sejak jaman PL golongan pejabat gereja sudah berperan dalam kehidupan agamawi. Lahirlah golongan ahli taurat yang bertugas untuk menafsirkn serta mengajar firman Tuhan.Dengan diperkenalkan budaya huruf membaca dan menulis yang kemudian muncul strafikasi sosial baru dimana mereka membaca dan menulis pada kelas atas. Mereka yang bisa membaca dan menulis menjadi pemimpin dan mengajar sedangkan mereka yang kurang mampu menjadi pengikut dan pendengar. Seorang ahli taurat yang punya kuasa yang datang dari akibat keahliannya. Kasta ahli taurat ini bukan saja pemilik tetapi juga punya hikmat. Karena mengusai pengetahuan dengan demikian ia mengusai batas-batas tertentu masyarakat dimana mereka hidup. Pembagian antara dua kelas utama berdasarkan melek hurup\f dan tidak melek huruf, juga terjadi pada kekristenan. Gereja sebagai suatu persekutuan orang percaya dari pengaruh yang terjadi dalam masyarakat. Jadi lahirnya kasta ahli kitab dan adanya individu- individu yang berkepentingan dengan expert power yang menggunakan kuasanya untuk kontrol sosial, adalah fakta. Orang yang maju sekali dalam kelas rohaniawan dan memenuhi peranan sebagai penafsiran berada dalam posisi yang memiliki expert power. Namun expert power hanyalah sekian dari beberapa power ( kekuasan) ada lima alasan pemikiran power menurut analisa Friench dan Raven : • Expert power (kekuasaan karena keahliannya) • Legitimate power ( kuasa yang sah) • Coecive power ( kuasa menghukum) • Reward power ( kuasa yang memberi imbalan) • Referent power ( didasari pada indetikasi dari mereka yang dipengaruhi Dari hal diatas, dapat dikatakan bahwa kebanyakan program atau isi program pendidikan untuk orang dewasa ditentukan oleh kasta rohaniawan dan hal ini dilakukan tanpa mempertimbangkan wewenang dengan asumsi bahwa para rohaniawanlah yang paling tahu yang paling dibutuhkan orang dewasa, namun tidak berarti semua tema program ditentukan oleh mereka , melainkan disusun secara bersama-sama. Kalau kita berbicara tentang PAK Dewasa dalam gereja. Kita sebenarnya berbicara tentang sukarela, dimana tidak ada imbalan apa-apa dalam bentuk promosi atau penambahan pendapat (inkam) seperti dunia bisnis, harus diakui memang dalam dunia kita ini, para rohaniawan sudah tidak lagi mempunyai kuasa coercivi dan reward. Oleh karena itu, para calon peserta didik harus diajak berunding. Orang dewasa harus mempunyai bagian yang kuat dalam menentukan tema program atau keseluruhan program PAK Dewasa. Para pendidik kristen harus berusaha untuk menetukan minat pendidikan orang dewasa. Perlu adanya hubungan yang erat antara kebutuhan individu dan kebutuhan jemaat untuk memperhatiakn kebutuhan orang dewasa yang bejar, dan bukan pada hal yang dipikirkan penting oleh para teolog atau penjabat/pendeta/majelis. Pendidikan formatif yang menekankan penerimaan yang begitu saja tentang apa yang diberikan oleh pendidik. Sedangkan pendidikan kritis menekankan pada pengujian yang evaluative terhadap apa yang diberikan. Pendidikan formatif dianggap sebagai suatu proses yang mana seseorang peserta didik dibentuk oleh seorang pengajar/guru, sedangkan pendidikan kritis ialah suatu proses diamana guru dan pelajar terlibat dan suatu pencarian yang sistematik terhadap isu-isu yang dihadapi, kedua bentuk pendidikan ini saling melengkapi dan sama pentingnya. Pendidikan kritis itu sendiri adalah cara budaya menjamin pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam konteks PAK dewasa maka pendidikan kritis menyokong terhadap perkembangan dan pertumbuhan dari apa yang telah diwariskan. Secara historis kita melihat bahwa strategi yang dipakai gereja yang mula- mula adalah satu trategi yang dipakai, untuk memfasilitasi pembelajaran bagi orang dewasa adalah berdasarkan pada model formatif. • Fiksasi teologis ialah seluruh tema dari program pendidikan orang dewasa itu hanya bersifat teologis dan mengabaikan sama sekali hal-hal yang sekuler, padahal pengetahuan mengenai keterkaitan antara hal-hal teologis dengan hal sekuler adalah suatu adalah suatu kebutuhan bagi orang dewasa memang pada masa lampau para Bapak Gereja berpendapat bahwa hanya hal-hal yang sakral saja yang perlu dipelajari di gereja, sedangkan hal-hal yang sekuler meskipun sangat berguna dan dibutuhkan oleh orang dewasa, dianggap bukan tugas gereja untuk mengajarkannya. Dengan demikian maka pendekatan seperti ini memberikan kesan bahwa gereja sebenarnya lebih menaruh perhatian kepada ide-ide yang membawa kesejahteraan bagi lembaganya dan bukan kesejahteraan dari anggota-anggota yang sedang bergumul dalam dunia kerja sehari-hari. • Sejauh ini kita telah mengemukakan tiga wilayah permasalahan, yakni pendidik (pejabat) dalam gereja menentukan tema pendidikan secara sepihak, tanpa memperhatikan kebutuhan dan minat orang dewasa; bahwa apa yang umumnya terjadi dalam pendidikan gereja bagi orang dewasa adalah pendidikan formatif, dan kurang sekali pendidikan yang bersifat kritis; tema dari kebanyakan program pendidikan untuk orang dewasa dalam gereja yang melulu teologis. Biasanya persiapan akademis dari adult religious educators (para pendidik agama Kristen untuk orang dewasa) dipusatkan pada ilmu-ilmu teologi. Kursus yang disajikan untuk PAK Dewasa sebagai suatu bidang studi, biasanya (tidak selalu) diajarkan oleh mereka yang mempunyai gelar yang tinggi di bidang teologi, namun belum pernah mengadakan penelitian pendidikan dan yang tidak mempunyai kredibilitas dalam bidang professional PAK Dewasa. Nampaknya ada tiga alasan pokok mengapoa para pendidik orang dewasa dalam gereja kurang memiliki kredibilitas sebagai pendidik orang dewasa: • Mereka menganggap sebagai teolog-teolog yang kebetulan tertarik pada PAK Dewasa. • Mereka cenderung menisolasikan diri dari bidang pendidik orang dewasa yang umum. • Mereka menggunakan kata-kata atau istilah bahasa yang mendua arti (darri sudut pandang pendidik) sehingga kurang komunikatif. Pendidikan untuk orang dewasa dalam jemaat yang tidak terbiasa dengan metode riset yang empiris dan tanpa sumber penelitian yang dihasilkan (tercetak), tidak dapat disalahkan apabila mendasarkan pengembangan progamnya pada ide-ide yang dihasilkan oleh orang- orang yang mempunyai keahlian teologis, tetapi yang kurang pengalamannya dalam dalam hal penelitian lapang (penelitian ilmu- iimu sosial). Pendidikan orang dewasa, juga dalam gereja merupakan bidang praktek sosial. Tentu saja yang dikritik bukanlah keinginan dari para teolog untuk melakukan tugasnya secara professional, melainkan pada anggapan umum yang mengklaim bahwa seorang teolog secara otomatis dapat menjadi pendidik untuk orang dewasa dalam gereja tanpa harus melakukan penelitian sendiri, tetapi dengan menggunakan hasil penelitian orang lain yang ahli di bidang tersebut. Di atas telah dijelaskan bahwa gejala nonpartisipatif dalam jemaat disebabkan oleh beberapa factor, yakni: • Keengganan untuk berubah (Resistance to Change) • Keterasingan (Allenation) • Keterpinggiran (marginality) • Nonafliasi Sosial • Tidak Relevannya Program (Programme Nonrelevance) • Kesibukan Gereja
5 081009 Peran Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Pembentukan Karakter Anak Didik Dalam Proses Pembelajaran - Nisma Simorangkir, M.PD .K (Saintech Vol .05 No .01 Maret2013)