KelasC CalvinPanangianHermawan 173221060
KelasC CalvinPanangianHermawan 173221060
net/publication/371721852
CITATIONS READS
0 101
1 author:
Calvin Panangian
Airlangga University
1 PUBLICATION 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Calvin Panangian on 20 June 2023.
Kasus pengambilalihan sebuah pelabuhan yang bernama Hambantota di Sri Lanka oleh
Tiongkok pada tahun 2017 telah menarik perhatian dunia. Hal ini disebabkan karena
ketidakmampuan Sri Lanka dalam membayar hutangnya pada Tiongkok terkait dengan
proyek pembangunan pelabuhan tersebut. Dengan ini, dunia berpendapat bahwa Tiongkok
dengan sengaja melakukan ‘debt trap’ , sebuah istilah dimana negara center atau negara
maju dengan sengaja memberikan pinjaman bagi negara berkembang dengan harapan
peminjam tidak mampu membayar (Sautman dan Hairong 2019). Namun begitu hal ini
telah ditentang oleh berbagai pakar Hubungan Internasional karena kasus ini sangat
berhubungan dengan interaksi Sri Lanka dan Tiongkok sejak lama. Lalu dengan itu,
muncullah pertanyaan seperti mengapa Sri Lanka melakukan interaksi pada awalnya, lalu
juga pertanyaan seperti mengapa Sri Lanka memaksakan proyek pembangunan Hambantota
itu, meskipun keadaan ekonominya tidak stabil. Dalam tulisan di bawah ini penulis akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dalam menganalisis dan memahami mengenai kasus Sri Lanka ini penulis akan
menggunakan salah satu teori Hubungan Internasional yaitu teori Neo-Marxisme,
khususnya yaitu Teori Dependensi karya Andre Gunder Frank. Penulis berargumen bahwa
dengan menggunakan Teori Dependensi Neo-Marxisme akan dapat menjelaskan mengenai
kasus proyek Hambantota ini karena sangat identik dengan hubungan Sri Lanka yang sangat
bergantung pada Tiongkok dalam masalah ekonomi jauh. Untuk pembahasan lebih lanjut,
akan penulis tuliskan dalam tulisan di bawah ini yang akan penulis bagi menjadi empat
bagian. Bagian pertama, penulis akan menjelaskan pengenalan singkat mengenai studi kasus
ini dan juga teori beserta struktur karya tulis ini. Lalu di bagian kedua adalah mengenai
penjelasan mengenai teori Neo-Marxisme. Di bagian ketiga, penulis akan memberikan
penjelasan singkat mengenai studi kasus ini dan juga korelasinya dengan teori
Neo-Marxisme. Di bagian akhir, penulis akan memberikan kesimpulan dari karya tulis ini.
Kontribusi-kontribusi baru Karl Marx inilah yang menjadi cikal bakal dari teori
Neo-Marxisme (Wardhana 2018). Salah satu dari tokoh Neo-Marxisme itu adalah Andre
Gunder Frank dengan teori dependensinya. Teori Dependensi adalah teori yang lahir pada
awal tahun 60-an yang berawal dari kritik terhadap UN Economic Commission for Latin
America (ECLA) oleh partai komunis Amerika Latin karena kurangnya perkembangan
kapitalis dan keburukan kaum feodal yang terus menerus (Dietz 1980). Dalam Wardhana
(2018), Teori Dependensi lebih berfokus pada interaksi yang bersifat ketergantungan di
sistem internasional dan juga memiliki tiga asumsi dasar. Pertama adalah adanya dua
kategorisasi negara. Dua kategori tersebut antara lain adalah negara center yang sudah maju
atau developed dan negara periphery atau negara undeveloped. Frank (1972) dalam
tulisannya ‘development of underdevelopment’ berpendapat bahwa negara center akan terus
berkembang diikuti dengan negara periphery yang tidak akan berkembang dikarenakan
semua keuntungan hanya akan mengalir pada negara-negara maju atau center.
Asumsi kedua adalah bahwa pihak eksternal menjadi fokus utama dari analisis dependensi.
Pihak eksternal dalam hal ini menurut Wardhana (2018) merupakan perusahaan
multinasional, pasar komoditas internasional, bantuan asing, komunikasi global, globalisasi
dan bentuk lainnya yang dijadikan platform untuk negara center untuk kepentingan mereka
sendiri. Asumsi terakhir adalah bahwa hubungan antar negara center dan negara periphery
merupakan hal yang sangat dinamis. Dalam hal ini, interaksi dan dependensi antar kedua
negara center dan negara periphery dapat bersifat menguntungkan sebagaimana dikatakan
oleh Cardoso dalam Dietz (1980). Namun begitu, biasanya dampak yang sangat terlihat
adalah bahwa dengan adanya dependensi ini jarak antar negara center dan negara periphery
akan semakin melebar dan semakin timpang dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya.
Dengan asumsi bahwa interaksi antara negara center dan periphery hal yang dinamis dan
dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan maka dalam tulisan di bawah ini, penulis
akan menggunakan Teori Dependensi untuk menganalisis masalah debt trap Tiongkok
terhadap Sri Lanka.
Pada tahun 2010, Sri Lanka sedang mengalami ketidakstabilan ekonomi dan berinisiatif
ingin membangun pelabuhan Hambantota yang dinilai strategis, kaya akan sumber daya
alam dan dipercaya dapat meraih keuntungan seperti pelabuhan Kolombo yang dimana
merupakan salah satu pelabuhan terpenting di Asia (Gangte 2020). Dengan latar belakang
tersebut pun pemerintah Sri Lanka meminta pinjaman kepada Tiongkok dan langsung
dipinjamkan Tiongkok karena dapat dianggap sebagai investasi jangka panjang yang juga
bermanfaat bagi kedua belah pihak. Setelah itu dengan diluncurkan program BRI (Belt Road
Initiatives) oleh Tiongkok, pelabuhan Hambantota dinilai sangat strategis dan akan sangat
bermanfaat bagi Tiongkok dalam menjalankan programnya sehingga Tiongkok pun
memberikan bantuan dana tambahan dalam rangka pembangunan ini. BRI itu sendiri juga
tentunya dapat berdampak baik bagi Sri Lanka karena sebagaimana menurut Colifaturansa
et al. (2020) dengan mengikuti program ini maka semua anggota yang berpartisipasi akan
mendapatkan keuntungan berupa pemotongan biaya perdagangan, memperbanyak relasi,
dan tentunya mengurangi kemiskinan di negara mereka.
Dalam pandangan Neo-Marxisme terkhususnya teori dependensi oleh Andre Gunnar Frank,
Sri Lanka telah masuk ke dalam perangkap Tiongkok yang membuat suatu negara harus
bergantung pada mereka. Sri Lanka yang dalam hal ini berperan sebagai negara periphery
dan harus bergantung pada Tiongkok sebagai negara center pun harus menerima nasibnya
tanpa penyesalan. Terlihat dari awal Tiongkok yang langsung berinisiatif memberikan
bantuan besar untuk pembangunan dalam negeri Sri Lanka sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Budiman (1996) bahwa negara center di awal akan memberi bantuan dengan
menempatkan modal ke negara periphery yang berupa bantuan langsung ataupun dalih
kerja sama antar pemerintah keduanya. Dos Santos (1971) sendiri telah membagi teori
ketergantungan menjadi ketiga, yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan
finansial-industri, dan terakhir adalah ketergantungan teknologi-industri. Kasus Sri Lanka
ini termasuk dalam ketergantungan yang kedua dikarenakan semuanya berada hanya di
bidang ekonomi tanpa ada unsur-unsur lainnya.
Sesuai dengan asumsi mengenai teori dependensi yang telah penulis tulis di bagian
sebelumnya yang berkaitan mengenai hubungan negara center dan negara periphery yang
bersifat dinamis maka kerja sama antar keduanya terdapat dampak positif dan dampak
negatif bagi Sri Lanka itu sendiri. Dimulai dari dampak positifnya, Sri Lanka telah
meningkatkan infrastrukturnya atas bantuan ekonomi Tiongkok yang tentunya juga akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi Sri Lanka itu sendiri. Lalu dengan adanya kerja
sama inipun Sri Lanka merupakan rekan penting bagi Tiongkok untuk kepentingan
geopolitik mereka yang terlihat dari peta Belt and Road Initiatives (BRI) yang
mengikutsertakan Sri Lanka khususnya pelabuhan Kolombo mereka. Selain itu,
sebagaimana kerja sama antar negara di negara manapun pasti akan membuka lapangan
pekerjaan baru seperti misalnya proyek pembangunan pelabuhan Hambantota yang tenaga
kerjanya sebagian besar merupakan warga lokal Sri Lanka. Memang apabila kita melihat
dari pandangan seperti ini terlihat bahwa dengan kerja sama antar keduanya memang
berbuah baik bagi Sri Lanka, namun sebagaimana penulis tulis dalam tulisan sebelumnya
hubungan antara negara center dan periphery pasti ada dampak negatifnya dan dalam kasus
ini sudah sangat terlihat dampaknya yang sangat tragis.
Dampak negatif dari kerja sama ini yang paling terkenal adalah kasus utang Sri Lanka dalam
proyek pelabuhan Hambantota yang gagal dibayar pada Tiongkok pada tahun 2017 sehingga
disewakan dan diambil oleh Tiongkok selama 99 tahun sesuai kesepakatan yang ada. Dalam
teori dependensi hal ini merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh negara center sebagai
pihak yang berkuasa dan lebih dominan bagi negara periphery atau dalam kejadian ini
adalah Sri Lanka. Sri Lanka yang perekonomiannya terlalu bergantung pada Tiongkok
akhirnya harus merasakan kepahitan yang sangat mendalam dikarenakan tidak hanya
pelabuhannya saja yang diambil alih, namun juga sebagian wilayah di dekat Hambantota
tersebut. Tiongkok sebagai negara center akan selalu menjadi pemenang dalam kerja sama
dengan negara periphery dikarenakan power-nya yang tidak seimbang. Dengan ini juga
menandakan bahwa setiap negara periphery dalam melakukan kerjasama dengan negara
center harus pintar dalam membuat kesepakatan agar dapat bermanfaat dan pastinya tidak
merugikan negaranya sendiri
Simpulan
Demikian penjelasan penulis dan dapat disimpulkan bahwa Sri Lanka sudah sangat
bergantung perekonomiannya pada Tiongkok sejak lama. Ketergantungan tersebut memang
pada awalnya sangat berdampak positif bagi Sri Lanka seperti pembangunan bandar udara,
jalan raya, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya yang mampu meningkatkan pertumbuhan
perekonomian negaranya. Namun begitu, semakin Sri Lanka bergantung maka semakin
terjadinya dominasi kepentingan oleh Tiongkok terlebih lagi Sri Lanka yang masih
merupakan negara berkembang dan perekonomiannya masih kurang stabil. Hal ini terlihat
dari kasus proyek pelabuhan Hambantota yang dimana Sri Lanka terlilit utang yang
View publication stats
menumpuk dari Tiongkok dan tidak mampu membayarnya dan hasilnya pelabuhan tersebut
menjadi milik Tiongkok sebagaimana perjanjian awal. Dengan studi kasus ini pun
membuktikan asumsi dari perspektif Neo-Marxisme bahwa negara-negara maju atau center
dapat berbuat apapun bagi negara periphery dan tentunya pada akhirnya akan memperlebar
jarak kesenjangannya.
Referensi