Anda di halaman 1dari 4

Nama Lengkap : Kelas :

Tanggal :

Identifikasi Kohesi dan Koherensi


Bacalah dengan seksama teks deskripsi di bawah ini!
Wiwitan, Tanamkan Kearifan Lokal ke Peserta Didik

Wiwit atau wiwitan adalah sebuah tradisi yang hidup dalam akar budaya masyarakat Jawa.
Di Yogyakarta, setiap kali akan melakukan panen pertama dilakukan tradisi wiwitan. Ritual
masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur pada Sang Pencipta atas panen yang telah tiba.
Upacara ini menggunakan uba rampe yang terdiri atas berbagai jenis tumbuhan dan jajanan
pasar yang kesemuanya merupakan simbol-simbol dengan arti dan filosofi tersendiri. Sebagai
kearifan lokal, tradisi ini patut dilestarikan dan dikenalkan ke generasi muda. Itu pula yang
dilakukan sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) di Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta.
Perlu diketahui, sekolah ini berada di tengah-tengah persawahan. Untuk menuju ke sekolah
pun peserta didik dari SD hingga SMA harus melewati pematang sawah atau saluran irigasi.
Tentu, beriringan dan bertemu dengan bapak dan ibu tani merupakan hal yang biasa.
Berangkat dari situ, SALAM sebagai bagian dari warga Nitiprayan, bersama kelompok tani
Suka Tani Dusun VII Jomegatan, Nitiprayan serta didukung pula oleh Dinas Kebudayaan Bantul
mengadakan acara wiwitan atau Pesta Panen Raya pada 20 September 2017.
Dalam penyelenggaraannya, guru, peserta didik, orang tua peserta didik, dan petani di sekitar
sekolah turut aktif sebagai peserta. Prosesi dimulai dari arak-arakan kirab gunungan dari rumah
kepala dukuh setempat menuju sekolah. Di ujung saluran irigasi di dekat sekolah, simbolisasi
Dewi Sri, yang diperankan oleh peserta didik, menunggu gunungan datang. Arak-arakan
berlanjut menuju areal persawahan. ”Melibatkan peserta didik dan orang tua serta masyarakat
sekitar sekolah dalam tradisi wiwitan ini. Upaya mengenalkan dan melestarikan tradisi serta
kearifan lokal,” ujar Ketua. Panitia Wiwitan dan Panen Raya Budi Widanarko, yang juga salah satu
orang tua peserta didik.
Acara juga diisi dengan kesenian tradisional gejug lesung (pertunjukan musik menggunakan
lesung dan alu), wayang serangga (wayang dengan tokoh serangga) dengan dalang Sih Agung,
dan ditutup dengan kembul bujana sego wiwit (makan bersama nasi dan hidangan lain dalam
acara itu). Tema yang diangkat adalah “Eling Dewi Sri”. Tema ini sebagai pengingat bahwa
budaya warisan nenek moyang kita ini diciptakan bukan tanpa alasan. Namun, supaya manusia
terus mengingat untuk menjaga keseimbangan alam, tidak mengeksploitasi kekayaannya,
bahwa bumi dan isinya harus dipelihara, agar dapat diwariskan ke anak cucu.
Pendiri Sanggar Anak Alam Sri Wahyaningsih menambahkan, tradisi ini merupakan sarana
nenek moyang dalam memberikan pembelajaran, yang tidak dapat ditangkap hanya dengan
keterampilan membaca teks tak bermakna saja. Tetapi memerlukan keterampilan membaca
suasana, membaca situasi, dan membaca arti. ”Anak-anak pun dapat belajar dari acara tradisi
ini,” ujarnya. (Reren Indranila)
(Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id)
Paragraf Kohesi Koherensi Catatan
Paragraf Kohesi Koherensi Catatan
Paragraf Kohesi Kohesik Catatan

Anda mungkin juga menyukai