Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PENDIDIKAN PANCASILA
PANCASILA DALAM KAJIAN BANGSA INDONESIA
DOSEN PENGAMPUH : Jaya Paldi, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 2
1. GILBERD JHON PASKAH NABABAN (2307126134)
2. REZA FAHRIYAN (2307126131)
3. M DAFFA AL KHAFIE (2307127032)

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan innayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Pancasila Dalam Kajian Bangsa Indonesia.
Makalah ini telah kami susun secara maksimal dengan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi isi materi, susunan kalimat, maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang Pancasila Dalam
Kajian Sejarah Bangsa Indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Pekanbaru, 7 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Lambang Pancasila Dan Artinya....................................................................3
2.2 Makna Dan Arti Lambang Garuda Pancasila.................................................5
2.3 Pancasila Dalam Kajian Sejarah Indonesia....................................................9
2.3.1 Pancasila Era Pra Kemerdekaan..............................................................9
2.3.2 Teori Nilai Budaya................................................................................10
2.3.4 Pancasila Era Orde Lama.......................................................................19
2.3.3 Pancasila Era Kemerdekaan..................................................................21
2.3.5 Pancasila Era Orde Baru........................................................................22
2.3.6 Pancasila Era Reformasi........................................................................23
BAB III PENUTUP..............................................................................................27
3.1 Kesimpulan...................................................................................................27
3.2 Saran.............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia telah diterima secara
luas dan bersifat final. Namun, walau Pancasila saat ini telah dihayati sebagai
filsafat hidup bangsa dan dasar negara yang merupakan perwujudan dari jiwa
bangsa, sikap mental, budaya dan karakteristik bangsa, hingga saat ini asal-usul
dan kapan dikeluarkan atau disampaikannya Pancasila masih dijadikan kajian
yang menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai
hingga saat ini.
Di balik itu semua, nyatanya Pancasila memang mempunyai sejarah yang
panjang tentang perumusan pembentukannya dalam perjalanan ketatanegaraan
Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan bisa saja mengancam keutuhan negara
Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut
dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan
pencetus istilah Pancasila.
Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Dari perkataan tersebut dapat dimaknai, bahwa sejarah mempunyai fungsi yang
beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang
bermakna “sejarah memberikan kearifan”. Sejarah memperlihatkan dengan nyata
bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita.
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama
dengan bangsa Indonesia sejak dulu. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar
negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik
Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yaitu pemerintah,
wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya merupakan dasar pijakan
penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.

1
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila
terus berjaya sepanjang masa. Karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar
“confirm and deepen” identitas bangsa Indonesia semata.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa arti dan makna lambang Pancasila dan Garuda Pancasila?
2. Bagaimanakah Pancasila dalam kajian sejarah Indonesia?
1.3 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Arti dan makna lambang Pancasila dan Garuda Pancasila.
2. Pancasila dalam kajian sejarah Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lambang Pancasila Dan Artinya


Pancasila terdiri atas lima sila, tertuang dalam UUD 1945 alinea ke-IV
dan ini diperuntukkan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Meskipun di
dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut tidak secara eksplisit disebutkan kata
Pancasila, namun sudah dikenal luas bahwa lima sila yang dimaksud adalah dasar
negara.

Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang merupakan hasil
antara proses sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di
masa mendatang, yang secara keseluruhan membentuk kepribadian sendiri.
Sehingga, kepribadian itu ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara,
yakni Pancasila.

Pancasila merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian


bangsa, maka ia diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup
ketatanegaraannya. Pancasila yang lalu dikukuhkan dalam kehidupan
konstitusional itu, yang selalu menjadi pegangan bersama saat terjadi krisis
nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa kita, merupakan bukti sejarah
sebagai dasar kerohanian negara, dikehendaki oleh bangsa Indonesia karena
sebenarnya ia telah tertanam dalam kalbu rakyat Indonesia. Oleh karena itu, ia
juga merupakan dasar yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.
Nama Pancasila sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu panca yang
berarti lima dan sila yang berarti dasar. Pancasila memiliki arti lima dasar
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila yang
tersusun dari 5 sila ini tergambar pada bagian perisai dari lambang negara
Indonesia, yaitu Garuda Pancasila.

3
Gambar Garuda Pancasila beserta Lambangnya

1. Sila Pertama
Simbol bintang yang memiliki lima sudut melambangkan Pancasila, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Bintang melambangkan seperti sebuah cahaya yang
dipancarkan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Lambang bintang juga diartikan
sebagai sebuah cahaya untuk menerangi dasar negara yang lima (Pembukaan
UUD 1945 alinea ke-4), sifat negara yang lima (Pembukaan UUD 1945 alinea ke-
2), dan tujuan negara yang lima (Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4). Sedangkan
latar berwarna hitam menunjukan warna alam dan mengandung arti bahwa Tuhan
bukanlah sekedar rekaan manusia, tetapi sumber dari segalanya dan telah ada
sebelum segala sesuatu di dunia ini ada.

2. Sila Kedua
Rantai melambangkan sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Rantai tersebut terdiri atas mata rantai yang berbentuk segi
empat dan lingkaran yang saling berkaitan membentuk lingkaran. Mata rantai segi
empat melambangkan laki-laki, sedangkan yang lingkaran melambangkan
perempuan. Mata rantai yang saling berkait pun melambangkan bahwa setiap
manusia, laki-laki dan perempuan, membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu
sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai.
3. Sila Ketiga

4
Pohon beringin di bagian kiri atas perisai berlatar putih melambangkan
sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Pohon beringin merupakan sebuah pohon
Indonesia yang berakar tunjang, sebuah akar tunggal panjang yang menunjang
pohon yang besar ini dengan tumbuh sangat dalam ke dalam tanah. Hal ini
mencerminkan kesatuan dan persatuan Indonesia. Pohon beringin juga
mempunyai banyak akar yang menggelantung dari ranting-rantingnya, ini
mencerminkan Indonesia sebagai negara kesatuan namun memiliki berbagai latar
belakang budaya yang bermacam-macam.
4. Sila Keempat
Kepala banteng melambangkan sila keempat Pancasila, yaitu Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Kepala banteng melambangkan hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya
musyawarah di mana orang-orang harus berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu.
5. Sila Kelima
Padi dan kapas melambangkan sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas dapat mewakili sila kelima,
karena padi dan kapas merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, yakni pangan
dan sandang, sebagai syarat utama untuk mencapai kemakmuran tanpa melihat
suku, ras, dan golongan. Ini mencerminkan persamaan sosial di mana tidak
adanya kesenjangan sosial antara satu dan yang lainnya, tapi hal ini (persamaan
sosial) bukan berarti bahwa Indonesia memakai ideologi komunisme.
2.2 Makna Dan Arti Lambang Garuda Pancasila

Garuda Pancasila adalah Lambang Negara Republik Indonesia. Hal ini


tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dipertegaskan oleh Peraturan
Pemerintah No. 66 Tahun 1951. Penulisan nama resmi lambang negara Indonesia
tersebut terdapat dalam pasal 36A UUD 1945 yang berbunyi “Lambang Negara
ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
1. Sejarah Penetapan Garuda sebagai Lambang Negara
Parada Harahap sebagai anggota Panitia Perancangan UUD dalam
rapat pada tanggal 13 Juli 1945 mengusulkan tentang lambang negara dan

5
disetujui oleh seluruh anggota. Kemudian dibentuk Panitia Indonesia Raya yang
memiliki tugas untuk menyelidiki lambang yang sesuai untuk bangsa Indonesia.
Panitia tersebut diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dan sekretaris umum dijabat
oleh Muhamad Yamin.
Pada tahap pertama rancangan lambang negara yang terbaik diusulkan
oleh Sultan Hamid II dan Muhamad Yamin. Namun usulan Muhamad Yamin
ditolak. Tanggal 10 Februari 1950 Sultan Hamid II mengajukan rancangan
gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan usulan-usulan
yang berkembang. Tanggal 11 Februari 1950 lambang Garuda Pancasila
ditetapkan oleh Pemerintah/Kabinet RIS dan diresmikan pemakaiannya dalam
Sidang Kabinet.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab”,
untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono
melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu
karya Sultan Hamid II dan karya Muhamad Yamin. Pada proses selanjutnya yang
diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II, sedangkan karya
Muhamad Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan
menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara
perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno, dan Perdana Menteri
Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan
itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga mengganti pita yang dicengkeram
Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan
menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara diajukan
kepada Presiden Soekarno. Rancangan final tersebut mendapat masukan dari
Partai Masyumi, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda
dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan bersifat mitologis.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan
Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang
negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan dalam Sidang Kabinet RIS.
Ketika itu, gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih gundul dan

6
tidak berjambul seperti sekarang ini. Penyempurnaan kembali lambang negara itu
terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang gundul menjadi
berjambul dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula
menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki atas
masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir lambang negara yang telah
diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan
pelukis istana, Dullah untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk
akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara
resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan
bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan
tata warna gambar lambang negara yang dimana lukisan otentiknya diserahkan
kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan
lambang negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang
negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih
tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974)
sewaktu menyerahkan berkas dokumen proses perancangan lambang negara
disebutkan “Ide Perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang
merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa
hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara
Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan
dalam lambang negara.
2. Arti dan Makna Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara
Burung garuda berwarna kuning emas mengepakkan sayapnya dengan
gagah menoleh ke kanan. Dalam tubuhnya mengemas kelima dasar dari Pancasila.
Di tengah tameng yang bermakna benteng ketahanan filosofis, terbentang garis
tebal yang bermakna garis khatulistiwa, yang merupakan lambang geografis
lokasi Indonesia. Kedua kakinya yang kokoh kekar mencengkeram kuat

7
semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda,
namun tetap satu“.
Secara tegas bangsa Indonesia telah memilih burung garuda sebagai
lambang kebangsaannya yang besar, karena garuda adalah burung yang penuh
percaya diri, enerjik, dan dinamis. Ia terbang menguasai angkasa dan memantau
keadaan sendiri, tak suka bergantung pada yang lain. Garuda yang merupakan
lambang pemberani dalam mempertahankan wilayah, tetapi dia pun akan
menghormati wilayah milik yang lain sekalipun wilayah itu milik burung yang
lebih kecil. Warna kuning emas melambangkan bangsa yang besar dan berjiwa
priyagung sejati.
Burung garuda yang juga punya sifat sangat setia pada kewajiban sesuai
dengan budaya bangsa yang dihayati secara turun temurun. Burung garuda
pantang mundur dan pantang menyerah. Legenda semacam ini juga diabadikan
sangat indah oleh nenek moyang bangsa Indonesia pada candi dan di berbagai
prasasti sejak abad ke-15.
Keberhasilan bangsa Indonesia dalam meraih cita-citanya menjadi negara
yang merdeka bersatu dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945 tertera lengkap
dalam lambang garuda. 17 helai bulu pada sayapnya yang membentang gagah
melambangkan tanggal 17 hari kemerdekaan Indonesia, 8 helai bulu pada ekornya
melambangkan bulan Agustus, dan 45 helai bulu pada lehernya melambangkan
tahun 1945, tahun kemerdekaan Indonesia. Semua itu memuat kemasan historis
bangsa Indonesia sebagai titik puncak dari segala perjuangan bangsa Indonesia
untuk mendapatkan kemerdekaannya yang panjang. Dengan demikian lambang
burung garuda itu semakin gagah mengemas lengkap empat arti visual sekaligus,
yaitu makna filosofis, geografis, sosiologis, dan historis.
Burung garuda merupakan mitos dalam mitologi Hindu dan Budha.
Garuda dalam mitos digambarkan sebagai makhluk separuh burung (sayap, paruh,
cakar) dan separuh manusia (tangan dan kaki). Lambang garuda diambil dari
penggambaran kendaraan Batara Wisnu yakni Garudeya. Garudeya sendiri dapat
kita temui pada salah satu pahatan di Candi Kidal yang terletak di Kabupaten
Malang tepatnya Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa

8
Timur. Garuda sebagai lambang negara menggambarkan kekuatan dan kekuasaan
dan warna emas melambangkan kejayaan, karena peran garuda dalam cerita
pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Posisi kepala garuda menengok lurus
ke kanan.

2.3 Pancasila Dalam Kajian Sejarah Indonesia

2.3.1 Pancasila Era Pra Kemerdekaan


Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat Pancasila, menyatakan
bahwa unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun
secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada
tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia
telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam
kehidupan mereka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang dapat kita
cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan, agama,
dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984:1). Dengan rinci, Sunoto
menunjukkan fakta historis, di antaranya adalah:

a. Ketuhanan Yang Maha Esa: bahwa di Indonesia tidak pernah ada putus-
putusnya orang percaya kepada Tuhan.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab: bahwa bangsa Indonesia terkenal
ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia.
c. Persatuan Indonesia: bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub,
rukun, bersatu, dan kekeluargaan.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan: bahwa unsur-unsur demokrasi sudah ada
dalam masyarakat kita.
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: bahwa bangsa Indonesia
dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan
berlaku adil terhadap sesama.

9
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara, maka nilai-nilai kehidupan
berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan
pada Pancasila, namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila
telah dipraktikkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita praktikkan
hingga sekarang. Hal ini berarti bahwa semua nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila telah ada dalam kehidupan rakyat Indonesia sejak zaman nenek
moyang.

2.3.2 Teori Nilai Budaya


Nilai budaya merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan-persoalan
yang cukup vital dalam kehidupan manusia. Nilai budaya merupakan cara
manusia menjawab baik secara pribadi atau masyarakat terhadap masalah-masalah
yang mendasar di dalam hidupnya. Nilai tersebut merupakan suatu sistem yang di
dalamnya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat
bernilai dalam hidup. (Koentjaraningrat, 1974: 32).
Nilai budaya dengan masing-masing orientasinya akan mempengaruhi
pandangan hidup. Pandangan hidup sebenarnya meliputi bagaimana masyarakat
memandang aspek hubungan dalam hidup dan kehidupan yakni hubungan
manusia dengan yang transenden, hubungan dengan diri sendiri, dan hubungan
manusia dengan sesama makhluk lain. Dalam bahasa Notonagoro dikenal istilah-
istilah kedudukan kodrat, susunan kodrat, sifat kodrat manusia. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa manusia mempunyai tiga kecenderungan mendasar yaitu theo-
genetis, bio-genetis, dan sosio-genetis.
A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa sumber bacaan
menjelaskan bahwa mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa yang dapat
dilakukannya, dan tak seorang pun akan tahu apa yang dapat dilakukannya
sebelum dia mencoba, satu-satunya petunjuk yang dapat ditemukan untuk
mengetahui sesuatu yang dapat dilakukan manusia adalah dengan mengetahui
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia yang terdahulu. Oleh karena

10
itu, nilai sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia mengajarkan apa yang telah
dilakukan oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia. Tanpa
mengetahui sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh pengertian kualitatif dari
gejala-gejala sosial yang ada. Secara rinci, Sartono Kartodirdjo menjelaskan
bahwa fungsi pengajaran sejarah nasional Indonesia meliputi :
1. Membangkitkan perhatian serta minat kepada sejarah tanah air.
2. Mendapatkan inspirasi dari cerita sejarah.
3. Memupuk alam pikiran ke arah kesadaran sejarah.
4. Memberi pola pikiran ke arah kesadaran sejarah.
5. Mengembangkan pikiran penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkait


dengan Pancasila, Dardji Darmodihardjo mengajukan kesimpulan bahwa nilai-
nilai Pancasila telah menjiwai tonggak-tonggak sejarah nasional Indonesia yaitu:

1. Cita-cita luhur bangsa Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi


kenyataan.
2. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung berabad-abad, bertahap
dan menggunakan cara yang bermacam-macam.
3. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi
sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh pancasila.
4. Pembukaan UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
5. Empat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 paham negara
persatuan, negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, negara berdasarkan kedaulatan rakyat, negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab.
6. Pasal-pasal UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok
yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang berjiwakan
Pancasila.

11
7. Maka penafsiran sila-sila pancasila harus bersumber, berpedoman dan
berdasar kepada Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. (Dardji
Darmodihardjo, 1978:40).

Secara historis rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam


tiga kelompok (Bakry, 1998:20):

a. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik


Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap
pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia, termasuk Piagam
Djakarta.
b. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat
hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
c. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama
belum berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945.
Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7 September
1944, perdana menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi, atas nama pemerintah
Jepang mengeluarkan janji kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan pada
tanggal 24 Agustus 1945, sebagai janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada
tanggal 1 Maret 1945 Jepang mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai).
Badan ini baru terbentuk pada tanggal 29 April 1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik
pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara
Jepang di Jawa), dengan susunan sebagai berikut Ketua Dr. KRT. Radjiman
Wedyodiningrat, ketua muda Ichibangase Yosio (anggota luar biasa, bangsa
Jepang), Ketua Muda R. Panji Soeroso (merangkap Tata Usaha), sedangkan
anggotanya berjumlah 60 orang tidak termasuk ketua dan ketua muda.

12
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama
pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada
tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945.
Masa Sidang Pertama BPUPKI
Pada sidang pertama tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin mengemukakan usul
yang disampaikan dalam pidatonya yang berjudul asas dan dasar negara
Kebangsaan Indonesia di hadapan sidang lengkap BPUPKI. Beliau mengusulkan
dasar negara bagi Indonesia Merdeka yang akan dibentuk meliputi peri
kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan
rakyat.
Selain usulan dalam bentuk pidato, usulan M. Yamin juga disampaikan
dalam bentuk tertulis tentang lima asas dasar negara dalam rancangan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang berbeda rumusan kata-kata dan
sistematikanya dengan isi pidatonya. Rumusannya yang tertulis adalah sebagai
berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.


2. Kebangsaan Persatuan Indonesia.
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang pada dasarnya


bukan dasar negara merdeka, akan tetapi tentang paham negaranya yaitu negara
yang berpaham integralistik. Soepomo mengusulkan tentang dasar pemikiran
negara nasional bersatu yang akan didirikan harus berdasarkan atas pemikiran
integralistik tersebut yang sesuai dengan struktur sosial Indonesia sebagai ciptaan
budaya bangsa Indonesia yaitu: struktur kerohanian dengan cita-cita untuk
persatuan hidup, persatuan kawulo gusti, persatuan dunia luar dan dunia batin,
antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-
pemimpinnya.

13
Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo adalah adanya
daerah, rakyat, dan pemerintahan. Mengenai dasar dari negara Indonesia yang
akan didirikan, ada tiga persoalan yaitu:
1. Persatuan negara, negara serikat, persekutuan negara.
2. Hubungan antara negara dan agama.
3. Republik atau monarchie.
Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga mengusulkan
lima dasar bagi negara Indonesia yang disampaikan melalui pidatonya mengenai
Dasar Indonesia merdeka. Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli bahasa
yaitu Mr. M. Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno ialah Kebangsaan
Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi,
Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Lima rumusan tersebut menurutnya dapat diringkas menjadi tiga rumusan
yang diberi nama Tri-Sila yaitu dasar pertama, kebangsaan dan perikemanusiaan
(nasionalisme dan internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi nama sosio-
nasionalisme. Dasar kedua, demokrasi dan kesejahteraan diringkas menjadi
menjadi satu dan biberi nama sosio-demokrasi. Sedangkan dasar yang ketiga,
ketuhanan yang berkebudayaan yang menghormati satu sama lain disingkat
menjadi ketuhanan.
Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan dasar negara baik dari
M. Yamin dan Soekarno, dan paham negara integralistik dari Soepomo maka
untuk menampung perumusan-perumusan yang bersifat perorangan, dibentuklah
panitia kecil penyelidik usul-usul yang terdiri atas Sembilan orang yang diketuai
oleh Soekarno, yang kemudian disebut dengan Panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan
Rancangan pembukaan Hukum Dasar, yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan
Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Di dalam rancangan pembukaan alinea
keempat terdapat rumusan Pancasila yang tata urutannya tersusun secara
sistematis:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.

14
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan
teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani bangsa
Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat
disebut sebagai Declaration of Indonesian Independence.

Masa Sidang Kedua BPUPKI


Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17
Juli 1945, merupakan masa sidang penentuan perumusan dasar negara yang akan
merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa
sidang kedua ini ditambah enam orang anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI
pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau Panitia Sembilan yang
disebut dengan Piagam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia
Sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan
menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar yaitu:
a. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan
anggota yang berjumlah 19 orang.
b. Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso
beranggotakan 23 orang.
c. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta bersama 23
orang anggota.

Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil.


Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soepomo. Panitia-panitia kecil itu

15
dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah menyelesaikan tugasnya
menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1945
sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia Sembilan yang dinamakan
Piagam Jakarta sebagai Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, dan pada tanggal
16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai
dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai pembukaan.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, hanya merupakan
sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia secara resmi. Dengan berakhirnya sidang ini maka selesailah tugas
badan tersebut, yang hasilnya akan dijadikan dasar bagi negara Indonesia yang
akan dibentuk sesuai dengan janji Jepang. Sampai akhir sidang BPUPKI ini
rumusan Pancasila dalam sejarah perumusannya ada empat macam:
1. Rumusan pertama Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin pada tanggal
29 Mei 1945, yaitu usul pribadi dalam bentuk pidato,
2. Rumusan kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945,
yakni usul pribadi dalam bentuk tertulis,
3. Rumusan ketiga Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945, usul
pribadi dengan nama Pancasila,
4. Rumusan keempat Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945,
hasil kesepakatan bersama pertama kali.

Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar negara Indonesia,


namun unsur-unsur sila-sila Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia telah
menjadi dorongan perjuangan bangsa Indonesia pada masa silam. Pada saat
proklamasi, semua kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat bersatu dan siap
mempertahankan serta mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Oleh
karena itu, dapat dinyatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
adalah revolusi Pancasila.
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 18
Agustus 1945, diadakan sidang pleno PPKI untuk membahas Naskah Rancangan
Hukum Dasar yang akan ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar (1945). Tugas

16
PPKI semula hanya memeriksa hasil sidang BPUPKI, kemudian anggotanya
disempurnakan. Penambahan keanggotaan ini menyempurnakan kedudukan dan
fungsi yang sangat penting sebagai wakil bangsa Indonesia dalam membentuk
negara Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dalam sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan menetapkan (Kaelan,
1993: 43-45):
a. Piagam Jakarta yang telah diterima sebagai rancangan Mukaddimah
Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 dengan beberapa
perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
b. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal
16 Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yaitu Ir. Soekarno
sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden.
d. Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan Musyawarah
darurat.

Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD


1945, maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum di dalamnya.
Hanya saja sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas prakarsa
Drs. Moh. Hatta. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai
rumusan kelima dalam sejarah perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan
pertama yang diakui sebagai dasar filsafat negara secara formal.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu asas
kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga
merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah baik moral maupun hukum
negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau UUD, maupun yang
tidak tertulis atau konvensi. Oleh karena itu, kedudukan Pancasila sebagai dasar

17
negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum. Seluruh bangsa
Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Indonesia, ia tercantum
dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan lebih
lanjut di dalam pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945,
yang pada akhirnya dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun
dalam hukum positif lainnya.
Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini lebih lanjut
dapat dirinci sebagai berikut:
1. Pertama: Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala
sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia.
2. Kedua: Pancasila sebagai dasar negara meliputi suasana kebatinan dari
UUD 1945.
3. Ketiga: Pancasila sebagai dasar negara mewujudkan cita-cita hukum bagi
hukum dasar negara Indonesia.
4. Keempat: Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang
mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah
maupun para penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

2.3.4 Pancasila Era Orde Lama


Terdapat dua pandangan besar terhadap dasar negara yang berpengaruh
terhadap munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang
memenuhi “anjuran” Presiden/Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang
Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta
sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui “kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang
dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut
tidak mencapai kuorum keputusan Sidang Konstituante (Anshari, 1981:99).

18
Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959.
Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit
Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian
dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara
resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka
(Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
1. Pembubaran konstituante;
2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sementara. sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi


prelude penting bagi upaya selanjutnya, Pancasila dijadikan “ideologi negara”
yang tampil hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi
tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”.
Manifesto Politik (Manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17
Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian
ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No.
1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto Politik Republik
Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh
D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai
haluan negara (Ismaun, 1978: 105).

Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik


“gerilya” di dalam kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon
Ir. Soekarno dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh
sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme
pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua
arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno
menghendaki persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk
komunis, di bawah satu payung besar, bernama Pancasila (doktrin

19
Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai
kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham
komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009: 34). Dengan adanya
pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu,
maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, Melalui sidang
MPRS.

2.3.3 Pancasila Era Kemerdekaan


Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh
Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari
kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI menegaskan keinginan dan
tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di
Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya.
Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya. Untuk merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16
Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam
penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00
dini hari. Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan
Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di
Jalan Imam Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni
(dari golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi
itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik.
Isi Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat
yang tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-
garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta
memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang
lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi
Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta
ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi

20
pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari
kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada tahun 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak
melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan
perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh
berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau
kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik
melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka
yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar
argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan
PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara
golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan Takdir
Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai
Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.

2.3.5 Pancasila Era Orde Baru


Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen, semangat tersebut muncul berdasarkan
pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari
pancasila serta UUD 1945. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh
berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu pancasila tetap pada
posisinya sebagai alat pembenar, rezim, otoritarian di bawah Soeharto.
Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan
orde baru sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme
negara. Sehingga pancasila oleh rezim orde baru ditafsirkan sedemikian rupa
sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme Negara. Maka dari itu,
Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin komperehensif dalam diri
masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala tindakan
pemerintah yang berkuasa dalam diri masyarakat Indonesia.
Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa
Indonesia yang sangat plural kemudian diseragamkan. Gagasan mengenai

21
pluralisme tidak mendapat tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai
puncaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum
untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas
tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap
organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai
pengkhianat atau penghasut. Dengan demikian, jelaslah bahwa orde baru tidak
hanya monopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran.
Pada era orde baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap
Pancasila, pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila
melalui TAP MPR NO. II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan
pengamalan Pancasila (P4) disekolah dan masyarakat. Tujuan dari P4 antara lain
adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila
sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan
nasional akan terbentuk dan terpelihara. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan
menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran
juga disampaikan pemahaman terhadap UUD 1945 dan Garis Besar Haluan
Negara (GBHN).

2.3.6 Pancasila Era Reformasi


Pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila pada masa orde lama dan orde baru
telah terjadi deviasi oleh oknum-oknum penyelenggara Pemerintah, sehingga
mendorong terjadinya reformasi oleh mahasiswa dan tokoh-tokoh bangsa.
Sehingga negara ini telah dilanda kritis, baik krisis di bidang ekonomi, politik
maupun kepemimpinan. Reformasi lahir dengan tujuan untuk memperbaiki krisis
yang berkepanjangan serta menata kearah yang lebih baik.
Memahami peran Pancasila di era reformasi, Pancasila sebagai paradigma
ketatanegaraan artinya Pancasila menjadi kerangka berpikir bangsa Indonesia,
khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam kaitannya dengan pengembangan hukum, Pancasila harus
menjadi landasannya. Artinya hukum yang dibentuk tidak dapat dan tidak boleh
bertentangan dengan sila-sila Pancasila.

22
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik
mengandung arti bahwa Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka
diimplementasikan sebagai berikut:

1. Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik,


agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mementingkan kepentingan rakyat/demokrasi dalam mengambil
keputusan.
3. Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan
berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
4. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
5. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan toleransi bersumber pada nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pancasila sebagai paradigma nasional di bidang ekonomi mengandung


pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan
sistematis dalam kehidupan nyata. Pancasila sebagai paradigma pembangunan
nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos
budaya persatuan, dimana kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam
budaya majemuk. Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan nasional
bidang hankam, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk
menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau
mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem
nasional.

Pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan, dengan memasuki


kawasan filsafat ilmu pengetahuan yang diletakkan di atas Pancasila perlu
dipahami sebagai dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis,
epistimologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan
aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari
kebenaran dan kenyataan. Epistimologis, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai

23
yang terkandung di dalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan
dasar dan arah dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Aksiologis, yaitu bahwa
dengan epistimologis tersebut, pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu
pengetahuan seacar negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara positif
mendukung atau mewujudkan nilai-nilai Pancasila.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945),
Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah
bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan
Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu:
a. Tahap 1945 – 1968 sebagai Tahap Politis
Dimana orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and
Character Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia
untuk survival dari berbagai tantangan yang muncul baik dari dalam maupun luar
negeri, sehingga atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Pancasila
sebagai dasar Negara, menurut Notonagoro dan Driarkara, bahwa Pancasila
mampu dijadikan pangkal sudut pandangan dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau aliran filsafat
Indonesia, sehingga Pancasila tidak lahi djadikan alternatuf melainkan menjadi
suatu imperative dan suatu philosophical concensus dengan komitmen transenden
sebagai tali pengikat persatuan dan keatuan dalam menyongsong kehidupan masa
depan yang Bhineka Tunggal Ika.

b. Tahap 1969 – 1994 sebagai Tahap Pembangunan Ekonomi


Yaitu upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi.
Orientasi pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya
cenderung menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan
ekonomi menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun bersamaan
dengan itu muncul gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan.
c. Tahap 1995 – 2020 sebagai Tahap Repositioning Pancasila
Karena dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan
secara cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang

24
melanda seluruh penjuru dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan
arus reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah
merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa
urgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka
mempertahankan jati diri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi
Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus
diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan
pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya
dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan
sollen im sein”.

Hubungan Nilai-nilai Pancasila dengan Proklamasi Kemerdekaan 17


Agustus 1945, dengan Pembukaan UUD 1945, dengan batang tubuh UUD 1945,
dan dengan manusia Indonesia, yaitu (Darmodihardjo, 1991:57):
1. Nilai-nilai Pancasila bagi bangsa Indonesia menjadi landasan atau dasar
serta motivasi segala perbuatannya, baik dalam hidup sehari-hari maupun
dalam hidup kenegaraan.
2. Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memperjuangkan
terwujudnya nilai-nilai Pancasila itu dengan bermacam-macam cara dan
bertahap.
3. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi
sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang didorong oleh amanat
penderitaan rakyat dan dijiwai Pancasila pada taraf yang tertinggi.
4. Dalam pembukaan UUD 1945 tercantum lengkap isi-isi Pancasila dan
dapat dilihat pada tiap-tiap alinea dan pokok pikiran di dalamnya.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama
dengan bangsa Indonesia sejak dulu. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar
negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik
Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yaitu pemerintah,
wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya merupakan dasar pijakan
penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia terbagi menjadi beberapa
tahap, yaitu Pancasila era pra kemerdekaan, Pancasila era kemerdekaan, Pancasila
era orde lama, Pancasila era orde baru, dan Pancasila era reformasi.
3.2 Saran
Pancasila yang merupakan ideologi dan jati diri bangsa Indonesia, saat
ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah mulai dilupakan dan
ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, para generasi muda
harus dapat bersatu dan damai walau berbeda suku, budaya, dan agama. Dapat
berpikir rasional, demokratis, dan kritis dalam menuntaskan berbagai persoalan

26
yang terjadi. Memiliki semangat jiwa muda yang membangun Negara Indonesia,
dengan cara cinta tanah air dan rela berkorban, serta menjunjung tinggi nilai
nasionalisme anatara agama, budaya, dan suku bangsa agar tidak terjadi
perpecahan antar sesama bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, D. (1982). Pancasila dalam Beberapa Perspektif . Jakarta: Aries


Lima.

Darwin, A. (2015). Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Bangsa Indonesia.


Malang: Aditya Media Publishing.

Fathurahman, I. (2016). Pemikiran dan Impelmentasi Pancasila dalam Sistem


Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: CV. Pustka Setia.

Hardiyanti, A. (2010). Pancasila dan Integrasi Nasional Indonesia. Yogyakarta:


Ombak.

Mochtar, S. (2006). Pancasila Sebagai Ideologi Nasional. Jakarta: Rajawali Pers.

Rumahorbo, H. (2018). Pancasila Sebagai Identitas Nasional dan Konsekuensi


Terhadap Bangsa Indonesia Versi Gos Dur . Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Salim, A. (2012). Pancasila sebagai Pembeda Bangsa Indonesia. Jakarta: Pustaka


Utama Grafiti.

Soeharto, H. (1985). Telaah Bung Karno terhadapat Falsafah Pancasila Sebagai


Asas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sunyoto, D. (2014). Pembaruan dan Rekonsolidasi Pancasila. Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Utomo, T. (2005). Pancasila dalam Ketahanan Bangsa . Jakarta: Yayasan Bela


Negara Indonesia.

27
Wahid, A. (1995). Masa Depan Demokrasi di Indonesia: KumpulaN Pidato
Tentang Moral Politik sebagai Panduan Bagi Partai Kebangkitan Bangsa
dan Sekutunya . Jakarta: PKB Press.

Yuniarsih, Y. (2017). Kajian Pancasila. Bandung: Lekkas.

28

Anda mungkin juga menyukai