KELAS B KELOMPOK 10
Disusun Oleh :
1. Miftahulzanah 2019001156
2. Nurma Amalita Fariza 2019001203
3. Nurmita Syakinah 2019001204
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur penyusun haturkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
segala rahmat, karunia dan taufiknya kepada penyusun dalam tahap penyelesaian
Kapita Selekta II dengan judul PERAN SISTEM INFORMASI RUMAH SAKIT DALAM
PENANGAN KEJADIAN INTERAKSI OBAT (MAKRO). Adapun penyusunan Kapita
Selekta II dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan akademis dalam
menyelesaikan pendidikan Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Pada kesempatan ini, penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada Dr.
apt. Prih Sarnianto, M.Sc selaku pembimbing dan penguji yang telah memberi petunjuk,
koreksi, dan saran hingga saat ini. Terima kasih juga yang sedalam-dalamnya
penyusun sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Shirly Kumala, M. Biomed., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila, Jakarta.
2. Hesty Utami, M.Clin Pharm.,PhD.,Apt selaku Ketua Program Studi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
3. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila
Penyusun menyadari bahwa penulisan Kapita Selekta II ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran pembaca sangat penyusun harapkan.
Akhirul kalam, penyusun berharap semoga Makalah ini bermanfaat khususnya
bagi penyusun dan umumnya bagi kita semua.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
ABSTRAK
(A) Miftahulzanah (2019001156), Nurma Amalita Fariza (2019001203), Nurmita
Syakinah (2019001204)
(B) Peran Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) dalam Penanganan Kejadian
Interaksi Obat (MAKRO)
(C) iv + 29
(D) Kata Kunci : Sistem Informasi Rumah Sakit, Interaksi Obat
(E) Karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui peran Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS) dalam penanganan kejadian interaksi obat dimana Rumah Sakit sebagai
salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan, Rumah Sakit sering mengalami kesulitan dalam pengelolaan
informasi baik untuk kebutuhan internal maupun eksternal. sehingga perlu
diupayakan peningkatan pengelolaan informasi yang efisien, cepat, mudah,
akurat, murah, aman, terpadu dan akuntabel. Salah satu bentuk penerapannya
melalui sistem pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi melalui
penggunaan sistem Sistem Informasi Berbasis Komputer. Peran SIRS yang
dibutuhkan pada pelayanan kefarmasian adalah deteksi adanya resep yang
dapat menimbulkan interaksi. Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat berubah
akibat adanya obat lain, makanan, atau minuman sehingga dapat menghasilkan
efek yang dikehendaki atau efek yang tidak dikehendaki yang lazimnya
menyebabkan efek samping obat dan/atau tokisisitas. Informasi mengenai
seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena interaksi obat
harus dilaporkan pada otoritas melalui sebuah sistem. Hal ini dapat dilakukan
oleh tenaga professional baik di Rumah Sakit maupun Industri Farmasi pembuat
obat. Dengan adanya sistem informasi Rumah Sakit yang berperan dalam
antisipasi atau deteksi adanya interaksi obat dalam resep, maka kejadian efek
samping obat dapat dihindarkan.
(F) Daftar rujukan : 18 buah (2000-2020)
(G) Dr. apt. Prih Sarnianto, M.Sc
(H) 2020
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan, Rumah Sakit sering mengalami kesulitan
dalam pengelolaan informasi baik untuk kebutuhan internal maupun eksternal.
sehingga perlu diupayakan peningkatan pengelolaan informasi yang efisien, cepat,
mudah, akurat, murah, aman, terpadu dan akuntabel. Salah satu bentuk
penerapannya melalui sistem pelayanan dengan memanfaatkan teknologi
informasi melalui penggunaan sistem Sistem Informasi Berbasis Komputer.(1)
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) atau Hospital Information System (HIS)
adalah suatu proses pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data di Rumah
Sakit se-Indonesia. Sistem informasi ini mencakup semua rumah sakit umum
maupun khusus, baik yang dikelola secara publik maupun privat sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit. Berdasarkan Permenkes No 82 Tahun 2013 tentang Sistem
Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) pasal 3 dikatakan bahwa setiap
Rumah Sakit wajib menyelenggarakan SIMRS pada pelayanan kefarmasian. (2)
Peran SIRS yang dibutuhkan pada pelayanan kefarmasian adalah deteksi
adanya resep yang dapat menimbulkan interaksi. Interaksi obat terjadi jika efek
suatu obat berubah akibat adanya obat lain, makanan, atau minuman sehingga
dapat menghasilkan efek yang dikehendaki atau efek yang tidak dikehendaki yang
lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/atau tokisisitas.(3)
Di Amerika Serikat, insidens interaksi obat yang mengakibatkan efek samping
sebanyak 7,3% terjadi di Rumah Sakit. Bahkan, di AS efek samping obat (ESO)
diperkirakan merupakan penyebab kematian terbesar ke-4 hingga ke-6. ESO
mengakibatkan kematian pada beberapa ribu pasien setiap tahunnya dengan
gambaran di beberapa negara persentase pasien yang ditangani Rumah Sakit
karena ESO lebih dari 10% (Norwegia 11,5%, Perancis 13,0%, Inggris 16,0%).
1
2
Sedangkan di Indonesia data yang pasti mengenai insidens interaksi obat masih
belum terdokumentasi antara lain juga karena belum banyak studi epidemiologi
dilakukan di Indonesia untuk hal tersebut.(3,4)
Sebagian besar informasi diperoleh dari laporan-laporan kasus terpisah, uji-uji
klinik, dan/atau studi-studi farmakokinetik pada subyek sehat dan usia muda yang
tidak sedang menggunakan obat-obat lainnya, sehingga untuk menetapkan risiko
efek samping akibat suatu interaksi obat pada pasien tertentu seringkali tidak
dapat secara langsung. Profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan
setelah obat sudah digunakan cukup lama dan secara luas tersebar luas di
masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam
uji klinik obat tersebut.(3)
Konsekuensinya, diperlukan beberapa bulan atau bahkan tahun sebelum
diperoleh data yang memadai tentang masalah efek samping akibat interaksi obat.
Namun, studi pharmacovigilance dan post marketing surveillance berperan cukup
besar guna mendapatkan data interaksi dan efek samping obat. Informasi
mengenai seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena
interaksi obat harus dilaporkan pada otoritas melalui sebuah sistem. Hal ini dapat
dilakukan oleh tenaga professional baik di Rumah Sakit maupun Industri Farmasi
pembuat obat. Dengan adanya sistem informasi Rumah Sakit yang berperan
dalam antisipasi atau deteksi adanya interaksi obat dalam resep, maka kejadian
efek samping obat dapat dihindarkan. Makalah ini dibuat untuk mengetahui peran
dan manfaat Sistem Informasi Rumah Sakit dalam Penanganan Kejadian Interaksi
Obat.(3)
B. Perumusan Masalah
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) adalah suatu sistem teknologi
informasi komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses
pelayanan Rumah Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan, dan
prosedur administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat.
3
C. Tujuan
Tujuan umum :
Mengetahui peran Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) dalam pelayanan
kefarmasian
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui manfaat SIRS dalam penanganan kejadian interaksi obat
2. Mengetahui kejadian kasus akibat adanya interaksi obat yang menimbulkan
efek tidak diharapkan
3. Mengetahui prosedur dan tatacara pelaporan adanya interaksi obat yang
menimbulkan efek tidak diharapkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi SIRS/SIMRS
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit adalah sebuah sistem komputer yang
memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses bisnis layanan kesehatan
dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk
memperoleh informasi secara cepat, tepat dan akurat. Saat ini Sistem Informasi
Manajemen (SIM) berbasis komputer rumah sakit (SIMRS) merupakan sarana
pendukung yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan mutlak untuk mendukung
(5,6,7)
pengelolaan operasional rumah sakit.
1. Peran Sistem Informasi Manjamen Rumah Sakit (SIMRS)
Pengelolaan data Rumah Sakit sesungguhnya cukup besar dan kompleks, baik
data medis pasien maupun data-data administrasi yang dimiliki oleh rumah
Sakit sehingga bila dikelola secara konvensional tanpa bantuan SIMRS akan
(5,6,7)
mengakibatkan beberapa hal berikut :
1.1 Redudansi Data, pencatatan data medis yang sama dapat terjadi berulang-
ulang sehingga menyebabkan duplikasi data dan ini berakibat
membengkaknya kapasitas penyimpanan data. Pelayanan menjadi lambat
karena proses retreiving (pengambilan ulang) data lambat akibat
banyaknya tumpukan berkas.
1.2 Unintegrated Data, penyimpanan dan pengelolaan data yang tidak
terintegrasi menyebabkan data tidak sinkron, informasi pada masing-
masing bagian mempunyai asumsi yang berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan masing-masing unit /Instalasi.
1.3 Out of date Information, dikarenakan dalam penyusunan informasi harus
direkap secara manual maka penyajian informasi menjadi terlambat dan
kurang dapat dipercaya kebenarannya
1.4 Human Error, kelemahan manusia adalah kelelahan, ketelitian dan
kejenuhan hal ini berakibat sering terjadi kesalahan dalam proses
4
5
pencatatan dan pengolahan data yang dilakukan secara manual terlebih lagi
jika jumlah data yang dicatat atau di olah sangatlah besar. Pemasukan data
yang tidak sinkron untuk pasien atau barang yang sama tentu saja akan
meyulitkan pengolahan data dan tidak jarang berdampak pada kerugian materi
yang tidak sedikit bagi rumah sakit.
Dengan bantuan SIMRS kelemahan diatas dapat di kurangi bahkan
dihindari. SIMRS membuat fungsi dari bagian perawatan lebih
dikonsentrasikan pada pelayanan perawatan/jasa medis secara profesional,
fungsi penagihan dilakukan oleh bagian keuangan sedangkan pemberian
potongan menjadi wewenang direksi. Para tenaga medis tidak perlu
memikirkan kemampuan finansial pasien dan tidak membeda-bedakan
pelayanan kepada pasien karena tenaga medis akan diberi insentif yang sama
untuk tindakan yang sama, tidak tergantung kepada siapa pelayanan medis
tersebut diberikan. Pola tersebut terbukti mempengaruhi secara positif kinerja
para tenaga medis : yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit secara keseluruhan. (5,6,7)
B. Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat
lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat
menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction) atau
efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interaction = ADIs) yang
lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/toksisitas karena meningkatnya
kadar obat didalam plasma, atau sebaliknya menurunkan kadar obat dalam
plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah besar
obat baru yang dilepas dipasaran setiap tahunnnya menyebabkan munculnya
interaksi baru antar obat akan semakin sering.(3)
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat
langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadi prespitasi,
6
Apoteker dapat ambil bagian dalam perawatan pasien dengan cara optimalisasi
penggunaan obat dan minimalisasi efek obat yang tidak diharapkan dengan cara
mengidentifikasi adanya MRPs, memberikan solusi terhadap adanya MRPs dan
mencegah terjadinya MRPs melalui pelayanan farmasi klinik. Pentingnya peran
apoteker dalam pelayanan farmasi klinik khususnya bagi pasien rawat inap telah
berkembang.(10) Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui
implementasi prinsip keselamatan pasien dan pelayanan farmasi klinik,
meningkatkan keselamatan pasien dengan cara meminimalkan kejadian error,
meminimalkan cedera, mengurangi bahaya/ dampak yang terjadi ketika terjadi
error serta meningkatkan kualitas, pelayanan farmasi yang efektif dan terjangkau
dengan cara memaksimalkan dan meningkatkan manajemen penggunaan obat. (11)
berbasis seluler dan jaringan (HCT / Ps) dan seluruh darah atau komponen
darah (misalnya, plasma, trombosit, sel darah merah).
j. Jika laporan kasus melibatkan lebih dari dua (2) produk yang dicurigai,
harap siapkan salinan lengkap Formulir FDA 3500 yang mengidentifikasi
dua produk pertama dan lampirkan salinan tambahan Formulir FDA 3500,
dengan hanya Bagian D yang diisi, untuk setiap produk tambahan .
k. Jika laporan kasus melibatkan lebih dari satu (1) perangkat medis yang
dicurigai, harap siapkan salinan lengkap Formulir FDA 3500 yang
mengidentifikasi satu perangkat dan lampirkan salinan tambahan Formulir
FDA 3500, dengan hanya Bagian E yang diisi, untuk setiap perangkat
tambahan.
l. Jika laporan Anda melibatkan peristiwa buruk serius dengan perangkat dan
terjadi di fasilitas pengguna perangkat (selain kantor dokter), fasilitas itu
mungkin secara hukum diminta untuk melapor ke FDA dan / atau pabrikan.
Silakan laporkan ke fasilitas secara langsung atau beri tahu orang di
fasilitas yang akan menangani pelaporan tersebut.
11
E. Farmakovigilans
Farmakovigilans adalah ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan deteksi,
penilaian/evaluasi, pemahaman dan pencegahan terhadap dampak dari reaksi
yang merugikan atau hal-hal lain yang mungkin terjadi terkait dengan masalah
penggunaan obat. Aktivitas berupa pencegahan dampak dari reaksi yang
merugikan pada manusia akibat penggunaan produk obat, baik di dalam maupun
di luar otoritas pemasaran, atau dari paparan lingkungan kerja, juga mencakup
promosi penggunaan obat yang aman dan efektif, khususnya melalui informasi
tentang keamanan produk obat yang diberikan secara berkala kepada pasien,
para profesional kesehatan, dan masyarakat umum. Oleh karenanya
Farmakovigilans menjadi suatu kegiatan yang memberikan perlindungan kepada
pasien dan kesehatan masyarakat.(14)
12
1. Tujuan Farmakovigilans(14)
1. Meningkatkan perawatan dan keselamatan pasien khususnya dalam
penggunaan obat dan seluruh intervensi pengobatan;
2. Meningkatkan kesehatan dan keamanan masyarakat khususnya dalam
penggunaan obat;
3. Menemukan masalah terkait dengan penggunaan obat dan menyampaikan
temuan tersebut pada saat yang tepat;
4. Memberikan kontribusi dalam penilaian manfaat, bahaya, khasiat, dan risiko
obat untuk mencegah dampak yang merugikan dan untuk memaksimalkan
manfaat obat tersebut;
5. Mendorong penggunaan obat yang aman, rasional dan lebih efektif
(termasuk biaya yang efisien);
6. Meningkatkan pemahaman, pendidikan, dan pelatihan klinis dalam
farmakovigilans dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat.
2. Ruang Lingkup Farmakovigilans
Pada saat ini, ruang lingkup yang menjadi perhatian adalah termasuk (14) :
a. Obat
b. Produk biologi (produk darah, vaksin, produk rekombinan biosimilar)
c. Obat herbal
d. Obat tradisional dan suplemen kesehatan
e. Alat kesehatan
Permasalahan yang berkaitan dengan ilmu farmakovigilans meliputi (14):
15
16
Dari daftar obat yang telah dilakukan penarikan dan atau pembekuan izin
edarnya diatas kami akan membahas mengenai kasus efek yang tidak diinginkan
dari obat rofecoxib. Dimana rofecoxib merupakan suatu penghambat COX-2,
antiinflamasi non-streroid (NSAID). Obat ini disetujui di Amerika Serikat pada tahun
1999. Efek samping yang umum terjadi berupa penyakit jantung serius (serangan
jantung infark miokardial). Amerika Serikat membatalkan izin edarnya pada 2004. Di
Indonesia Vioxx disetujui izin edarnya pada tahun 2001 dan dibatalkan izin edarnya
pada tahun 2004.(14)
17
1. Rofecoxib
Rofecoxib digunakan untuk pengobatan osteoarthritis, rheumatoid arthritis,
nyeri akut pada orang dewasa, dan dismenore primer, serta perawatan akut
serangan migrain dengan atau tanpa aura. Rofecoxib adalah padatan.
Senyawa ini milik stilbenes. Ini adalah senyawa organik yang mengandung
bagian 1,2-difenletletilena. Stilbenes (C6-C2-C6) berasal dari blok bangunan
kerangka phenylpropene (C6-C3) yang umum. Pengenalan satu atau lebih
gugus hidroksil pada cincin fenil menyebabkan stilbenoid. Rofecoxib memiliki
waktu paruh 17 jam dan bioavailabilitas oral rata-rata pada dosis 125, 25, dan
50 mg yang direkomendasikan secara terapi adalah sekitar 93%. Protein yang
menjadi target rofecoxib termasuk elastin dan prostaglandin G / H synthase 2.
Cytochrome P450 1A2, Cytochrome P450 3A4, Cytochrome P450 2C9,
Cytochrome P450 2C8, dan Prostaglandin G / H synthase 1 diketahui
memetabolisme rofecoxib. (16)
Rofecoxib, obat antiinflamasi non-steroid (NSAID), adalah inhibitor yang
sangat selektif dari siklooksigenase-2 (COX-2), juga dikenal sebagai
prostaglandin G / H synthase 2. Seperti NSAID lainnya, rofecoxib memberikan
efek dengan menghambat sintesis prostaglandin terlibat dalam nyeri, demam,
dan peradangan. COX-2 mengkatalisis konversi asam arakidonat menjadi
prostaglandin G2 (PGG2) dan PGG2 menjadi prostaglandin H2 (PGH2). Dalam
jalur katalis COX-2, PGH2 adalah prekursor prostaglandin E2 (PGE2) dan I2
(PGI2). PGE2 menginduksi rasa sakit, demam, eritema dan edema. Rofecoxib
memusuhi COX-2 dengan mengikat bagian atas dari situs aktif, mencegah
substratnya, asam arakidonat, memasuki situs aktif. Mirip dengan penghambat
COX-2 lainnya seperti celecobix dan valdecoxib, rofecoxib tampaknya
mengeksploitasi sedikit perbedaan dalam ukuran kantong pengikat COX-1 dan
-2 untuk mendapatkan selektivitas. COX-1 mengandung isoleusin pada posisi
434 dan 523, sedangkan COX-2 memiliki katup yang sedikit lebih kecil yang
menempati posisi ini.(16)
18
di beberapa negara dan hal ini adalah kemajuan yang penting untuk masa
depan.
Di semua negara, sistem farmakovigilans nasional sangat bergantung
pada pelaporan spontan (sukarela) yang dilakukan oleh para tenaga
profesional kesehatan, pemegang izin edar (produsen) atau langsung oleh
pasien. Dari semua sumber data untuk pengawasan keamanan obat,
sistem pelaporan spontan memberikan informasi yang paling tinggi dengan
biaya pemeliharaan yang paling rendah. Dan informasi tersebut telah
terbukti berharga untuk mendeteksi sejak dini permasalahan keamanan
pasien terkait baik dengan produk obatnya maupun penggunaan obat
tersebut.
b. Individual Case Safety Report (ICSR)
ICSR hendaknya digunakan untuk melaporkan reaksi merugikan yang
dicurigai akibat penggunaan produk obat, yang muncul pada pasien
tertentu pada waktu tertentu kepada Pusat Farmakovigilans Nasional
(Badan POM).
Pemegang izin edar dan tenaga profesional kesehatan hendaknya
memastikan bahwa ICSR selengkap mungkin dan harus
mengkomunikasikan semua pembaruan (update) laporan ke Pusat
Farmakovigilans Nasional (Badan POM) secara akurat dan dapat
diandalkan.
Berkenaan dengan pelaporan tersebut, ICSR harus memasukkan
paling tidak 4 hal sebagai berikut:
1) Pelapor yang terindentifikasi
2) Pasien yang terindentifikasi
3) Reaksi yang tidak diharapkan / merugikan yang diduga disebabkan
obat
4) Produk obat terkait.
Pemegang izin Edar dan profesional kesehatan hendaknya mencatat
secara rinci informasi yang diperlukan untuk mendapatkan informasi
23
2. Kasus penarikan produk Merck yaitu Vioxx (rofecoxib) pada tahun 2004.
dikarenakan adanya interaksi obat yang menimbulkan efek yang tidak diinginkan,
yaitu adanya peningkatan risiko serangan jantung dan stroke yang terkait dengan
penggunaan jangka panjang dosis tinggi.
27
28
DAFTAR PUSTAKA