Anda di halaman 1dari 33

KAPITA SELEKTA II

“PERAN SISTEM INFORMASI RUMAH SAKIT DALAM PENANGAN


KEJADIAN INTERAKSI OBAT (MAKRO)”

KELAS B KELOMPOK 10
Disusun Oleh :
1. Miftahulzanah 2019001156
2. Nurma Amalita Fariza 2019001203
3. Nurmita Syakinah 2019001204

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019/2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur penyusun haturkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
segala rahmat, karunia dan taufiknya kepada penyusun dalam tahap penyelesaian
Kapita Selekta II dengan judul PERAN SISTEM INFORMASI RUMAH SAKIT DALAM
PENANGAN KEJADIAN INTERAKSI OBAT (MAKRO). Adapun penyusunan Kapita
Selekta II dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan akademis dalam
menyelesaikan pendidikan Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Pada kesempatan ini, penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada Dr.
apt. Prih Sarnianto, M.Sc selaku pembimbing dan penguji yang telah memberi petunjuk,
koreksi, dan saran hingga saat ini. Terima kasih juga yang sedalam-dalamnya
penyusun sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Shirly Kumala, M. Biomed., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila, Jakarta.
2. Hesty Utami, M.Clin Pharm.,PhD.,Apt selaku Ketua Program Studi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
3. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila
Penyusun menyadari bahwa penulisan Kapita Selekta II ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran pembaca sangat penyusun harapkan.
Akhirul kalam, penyusun berharap semoga Makalah ini bermanfaat khususnya
bagi penyusun dan umumnya bagi kita semua.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iii
ABSTRAK ............................................................................................................iv
BAB I – PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Perumusan Masalah ..................................................................................2
C. Tujuan .......................................................................................................3
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi SIRS/SIMRS .................................................................................4
B. Interaksi Obat ............................................................................................5
C. Peran Apoteker Dalam Mendeteksi Interaksi Obat ....................................6
D. Pelaporan Interaksi Obat ...........................................................................7
E. Farmakovigilans ........................................................................................11
BAB III – PEMBAHASAN
A. Kasus Interaksi Obat Menimbulkan Efek Tidak Diharapkan ......................15
1. Rofecoxib ............................................................................................17
2. Penarikan VIOXX (Rofecoxib) .............................................................19
3. Prosedur Pelaporan Kasus ..................................................................21
BAB IV – PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................28

iii
ABSTRAK
(A) Miftahulzanah (2019001156), Nurma Amalita Fariza (2019001203), Nurmita
Syakinah (2019001204)
(B) Peran Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) dalam Penanganan Kejadian
Interaksi Obat (MAKRO)
(C) iv + 29
(D) Kata Kunci : Sistem Informasi Rumah Sakit, Interaksi Obat
(E) Karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui peran Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS) dalam penanganan kejadian interaksi obat dimana Rumah Sakit sebagai
salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan, Rumah Sakit sering mengalami kesulitan dalam pengelolaan
informasi baik untuk kebutuhan internal maupun eksternal. sehingga perlu
diupayakan peningkatan pengelolaan informasi yang efisien, cepat, mudah,
akurat, murah, aman, terpadu dan akuntabel. Salah satu bentuk penerapannya
melalui sistem pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi melalui
penggunaan sistem Sistem Informasi Berbasis Komputer. Peran SIRS yang
dibutuhkan pada pelayanan kefarmasian adalah deteksi adanya resep yang
dapat menimbulkan interaksi. Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat berubah
akibat adanya obat lain, makanan, atau minuman sehingga dapat menghasilkan
efek yang dikehendaki atau efek yang tidak dikehendaki yang lazimnya
menyebabkan efek samping obat dan/atau tokisisitas. Informasi mengenai
seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena interaksi obat
harus dilaporkan pada otoritas melalui sebuah sistem. Hal ini dapat dilakukan
oleh tenaga professional baik di Rumah Sakit maupun Industri Farmasi pembuat
obat. Dengan adanya sistem informasi Rumah Sakit yang berperan dalam
antisipasi atau deteksi adanya interaksi obat dalam resep, maka kejadian efek
samping obat dapat dihindarkan.
(F) Daftar rujukan : 18 buah (2000-2020)
(G) Dr. apt. Prih Sarnianto, M.Sc
(H) 2020

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan, Rumah Sakit sering mengalami kesulitan
dalam pengelolaan informasi baik untuk kebutuhan internal maupun eksternal.
sehingga perlu diupayakan peningkatan pengelolaan informasi yang efisien, cepat,
mudah, akurat, murah, aman, terpadu dan akuntabel. Salah satu bentuk
penerapannya melalui sistem pelayanan dengan memanfaatkan teknologi
informasi melalui penggunaan sistem Sistem Informasi Berbasis Komputer.(1)
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) atau Hospital Information System (HIS)
adalah suatu proses pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data di Rumah
Sakit se-Indonesia. Sistem informasi ini mencakup semua rumah sakit umum
maupun khusus, baik yang dikelola secara publik maupun privat sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit. Berdasarkan Permenkes No 82 Tahun 2013 tentang Sistem
Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) pasal 3 dikatakan bahwa setiap
Rumah Sakit wajib menyelenggarakan SIMRS pada pelayanan kefarmasian. (2)
Peran SIRS yang dibutuhkan pada pelayanan kefarmasian adalah deteksi
adanya resep yang dapat menimbulkan interaksi. Interaksi obat terjadi jika efek
suatu obat berubah akibat adanya obat lain, makanan, atau minuman sehingga
dapat menghasilkan efek yang dikehendaki atau efek yang tidak dikehendaki yang
lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/atau tokisisitas.(3)
Di Amerika Serikat, insidens interaksi obat yang mengakibatkan efek samping
sebanyak 7,3% terjadi di Rumah Sakit. Bahkan, di AS efek samping obat (ESO)
diperkirakan merupakan penyebab kematian terbesar ke-4 hingga ke-6. ESO
mengakibatkan kematian pada beberapa ribu pasien setiap tahunnya dengan
gambaran di beberapa negara persentase pasien yang ditangani Rumah Sakit
karena ESO lebih dari 10% (Norwegia 11,5%, Perancis 13,0%, Inggris 16,0%).

1
2

Sedangkan di Indonesia data yang pasti mengenai insidens interaksi obat masih
belum terdokumentasi antara lain juga karena belum banyak studi epidemiologi
dilakukan di Indonesia untuk hal tersebut.(3,4)
Sebagian besar informasi diperoleh dari laporan-laporan kasus terpisah, uji-uji
klinik, dan/atau studi-studi farmakokinetik pada subyek sehat dan usia muda yang
tidak sedang menggunakan obat-obat lainnya, sehingga untuk menetapkan risiko
efek samping akibat suatu interaksi obat pada pasien tertentu seringkali tidak
dapat secara langsung. Profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan
setelah obat sudah digunakan cukup lama dan secara luas tersebar luas di
masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam
uji klinik obat tersebut.(3)
Konsekuensinya, diperlukan beberapa bulan atau bahkan tahun sebelum
diperoleh data yang memadai tentang masalah efek samping akibat interaksi obat.
Namun, studi pharmacovigilance dan post marketing surveillance berperan cukup
besar guna mendapatkan data interaksi dan efek samping obat. Informasi
mengenai seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena
interaksi obat harus dilaporkan pada otoritas melalui sebuah sistem. Hal ini dapat
dilakukan oleh tenaga professional baik di Rumah Sakit maupun Industri Farmasi
pembuat obat. Dengan adanya sistem informasi Rumah Sakit yang berperan
dalam antisipasi atau deteksi adanya interaksi obat dalam resep, maka kejadian
efek samping obat dapat dihindarkan. Makalah ini dibuat untuk mengetahui peran
dan manfaat Sistem Informasi Rumah Sakit dalam Penanganan Kejadian Interaksi
Obat.(3)

B. Perumusan Masalah
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) adalah suatu sistem teknologi
informasi komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses
pelayanan Rumah Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan, dan
prosedur administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat.
3

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan tersebut, diperoleh rumusan masalah


sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)?
2. Bagaimana peran SIRS dalam pelayanan kefarmasian?
3. Apakah yang dimaksud dengan Interaksi Obat?
4. Bagaimana prosedur pelaporannya?

C. Tujuan
Tujuan umum :
Mengetahui peran Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) dalam pelayanan
kefarmasian
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui manfaat SIRS dalam penanganan kejadian interaksi obat
2. Mengetahui kejadian kasus akibat adanya interaksi obat yang menimbulkan
efek tidak diharapkan
3. Mengetahui prosedur dan tatacara pelaporan adanya interaksi obat yang
menimbulkan efek tidak diharapkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi SIRS/SIMRS
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit adalah sebuah sistem komputer yang
memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses bisnis layanan kesehatan
dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk
memperoleh informasi secara cepat, tepat dan akurat. Saat ini Sistem Informasi
Manajemen (SIM) berbasis komputer rumah sakit (SIMRS) merupakan sarana
pendukung yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan mutlak untuk mendukung
(5,6,7)
pengelolaan operasional rumah sakit.
1. Peran Sistem Informasi Manjamen Rumah Sakit (SIMRS)
Pengelolaan data Rumah Sakit sesungguhnya cukup besar dan kompleks, baik
data medis pasien maupun data-data administrasi yang dimiliki oleh rumah
Sakit sehingga bila dikelola secara konvensional tanpa bantuan SIMRS akan
(5,6,7)
mengakibatkan beberapa hal berikut :
1.1 Redudansi Data, pencatatan data medis yang sama dapat terjadi berulang-
ulang sehingga menyebabkan duplikasi data dan ini berakibat
membengkaknya kapasitas penyimpanan data. Pelayanan menjadi lambat
karena proses retreiving (pengambilan ulang) data lambat akibat
banyaknya tumpukan berkas.
1.2 Unintegrated Data, penyimpanan dan pengelolaan data yang tidak
terintegrasi menyebabkan data tidak sinkron, informasi pada masing-
masing bagian mempunyai asumsi yang berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan masing-masing unit /Instalasi.
1.3 Out of date Information, dikarenakan dalam penyusunan informasi harus
direkap secara manual maka penyajian informasi menjadi terlambat dan
kurang dapat dipercaya kebenarannya
1.4 Human Error, kelemahan manusia adalah kelelahan, ketelitian dan
kejenuhan hal ini berakibat sering terjadi kesalahan dalam proses
4
5

pencatatan dan pengolahan data yang dilakukan secara manual terlebih lagi
jika jumlah data yang dicatat atau di olah sangatlah besar. Pemasukan data
yang tidak sinkron untuk pasien atau barang yang sama tentu saja akan
meyulitkan pengolahan data dan tidak jarang berdampak pada kerugian materi
yang tidak sedikit bagi rumah sakit.
Dengan bantuan SIMRS kelemahan diatas dapat di kurangi bahkan
dihindari. SIMRS membuat fungsi dari bagian perawatan lebih
dikonsentrasikan pada pelayanan perawatan/jasa medis secara profesional,
fungsi penagihan dilakukan oleh bagian keuangan sedangkan pemberian
potongan menjadi wewenang direksi. Para tenaga medis tidak perlu
memikirkan kemampuan finansial pasien dan tidak membeda-bedakan
pelayanan kepada pasien karena tenaga medis akan diberi insentif yang sama
untuk tindakan yang sama, tidak tergantung kepada siapa pelayanan medis
tersebut diberikan. Pola tersebut terbukti mempengaruhi secara positif kinerja
para tenaga medis : yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit secara keseluruhan. (5,6,7)

B. Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat
lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat
menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction) atau
efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interaction = ADIs) yang
lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/toksisitas karena meningkatnya
kadar obat didalam plasma, atau sebaliknya menurunkan kadar obat dalam
plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah besar
obat baru yang dilepas dipasaran setiap tahunnnya menyebabkan munculnya
interaksi baru antar obat akan semakin sering.(3)
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat
langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadi prespitasi,
6

perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan


obat menjadi tidak aktif.(3)
2. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolism
dan eksresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma
obat. Interaksi obat secara farmakokintik yang terjadi pada suatu obat tidak
dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih
dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat
fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. . (3)
3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi
efek yang aditif, sinergistik atau antagonistic, tanpa ada perubahan kadar
plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik
umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat
yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik
dapat diramalkan sehinga dapat dihindari sebelumnya, jika diketahui
mekenisme kerja obat.(3)

C. Peran Apoteker dalam mendeteksi interaksi obat


Pelaporan insiden keselamatan pasien adalah suatu sistem untuk
mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, analisis, dan solusi
untuk pembelajaran. Termasuk yang dilaporkan di sini adalah Medication Related
Problems (MRPs) yang berisiko terhadap keselamatan pasien. Kategori MRPs
meliputi ada indikasi namun tidak mendapat obat, mendapat obat tanpa indikasi,
pemilihan/ seleksi obat kurang tepat, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi,
pasien mengalami reaksi obat yang tidak diharapkan, ada interaksi obat, serta
kegagalan dalam menerima obat.(8,9)
7

Apoteker dapat ambil bagian dalam perawatan pasien dengan cara optimalisasi
penggunaan obat dan minimalisasi efek obat yang tidak diharapkan dengan cara
mengidentifikasi adanya MRPs, memberikan solusi terhadap adanya MRPs dan
mencegah terjadinya MRPs melalui pelayanan farmasi klinik. Pentingnya peran
apoteker dalam pelayanan farmasi klinik khususnya bagi pasien rawat inap telah
berkembang.(10) Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui
implementasi prinsip keselamatan pasien dan pelayanan farmasi klinik,
meningkatkan keselamatan pasien dengan cara meminimalkan kejadian error,
meminimalkan cedera, mengurangi bahaya/ dampak yang terjadi ketika terjadi
error serta meningkatkan kualitas, pelayanan farmasi yang efektif dan terjangkau
dengan cara memaksimalkan dan meningkatkan manajemen penggunaan obat. (11)

D. Pelaporan Interaksi yang terjadi Dirumah Sakit


Setiap kejadian yang dicurigai sebagai ESO dilaporkan kepada penanggungjawab
pelaporan ESO di rumah sakit atau dilaporkan secara langsung ke Pusat
Farmakovigilans/MESO Nasional BPOM melalui(4) :
1. Pelaporan secara online melalui subsite e-meso : Kunjungi https://e-
meso.pom.go.id
2. Klik ADR online
Petunjuk pengisian tersedia pada halaman website tersebut.
1. Formulir Pelaporan ESO : Formulir dapat diunduh di https://e-meso.pom.go.id
Kirim laporan ke : Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional , Direktorat
Pengawasan Keamanan, Mutu, dan Ekspor Impor Obat, Narkotika, Psikotropika,
Prekursor dan Zat Adiktif , Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika,
(4)
Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif
Badan Pengawas Obat dan Makanan : Jl. Percetakan Negara No.23 Jakarta
10560 Gedung F Timur Lantai 5 , Telp. (021) 4244691 ext 1079
8

Gambar 1. Alur Pelaporan Interaksi seperti MESO


(Monitoring Efek Samping Obat)(4)
9

Gambar 2 . Formulir Pelaporan(4)


2. Pelaporan ke FDA (Food Drug Administration)
Gunakan salah satu metode di bawah ini untuk mengirimkan laporan efek
samping sukarela ke FDA(12):
a. Laporkan Online
b. Formulir Pelaporan Konsumen FDA 3500B. Ikuti instruksi pada formulir
untuk mengirim faks atau mengirimkannya untuk pengiriman. Untuk
bantuan mengisi formulir, lihat MedWatchLearn.
c. Hubungi FDA di 1-800-FDA-1088 untuk melaporkan melalui telepon
d. Formulir Pelaporan FDA 3500 biasa digunakan oleh para profesional
kesehatan. Lihat Petunjuk untuk Formulir FDA 3500
Instruksi Umum (13):
a. Harap kirim hanya Halaman 1 dan halaman lanjutan apa pun yang Anda
tambahkan. Anda tidak boleh mengirim halaman instruksi.
b. Pastikan semua entri diketik, dicetak dalam font yang tidak lebih kecil dari 8
titik, atau tulisan tangan menggunakan tinta hitam.
c. Silakan lengkapi semua bagian yang berlaku untuk laporan Anda.
d. Tanggal harus dimasukkan sebagai DD-MMM-YYYY (misalnya, 12 Oktober
2019 = 16 OCT 2019). Jika tanggal pastinya tidak diketahui, berikan
perkiraan terbaik (lihat B3).
e. Untuk entri naratif, jika bidang tidak menyediakan ruang yang memadai,
lampirkan halaman tambahan sesuai kebutuhan.
f. Jika melampirkan halaman tambahan, silakan lakukan hal berikut :
Identifikasi semua halaman terlampir sebagai Halaman __ dari __
g. Tunjukkan bagian yang sesuai dan nomor blok di sebelah kelanjutan narasi
h. Sertakan frasa lanjutan di akhir setiap bidang yang memiliki informasi
tambahan dilanjutkan ke halaman lain
i. Bagian D, produk Suspect, harus digunakan untuk melaporkan suplemen
makanan, susu formula, makanan termasuk minuman, dan kosmetik serta
obat-obatan atau biologik, termasuk sel manusia, jaringan, dan produk
10

berbasis seluler dan jaringan (HCT / Ps) dan seluruh darah atau komponen
darah (misalnya, plasma, trombosit, sel darah merah).
j. Jika laporan kasus melibatkan lebih dari dua (2) produk yang dicurigai,
harap siapkan salinan lengkap Formulir FDA 3500 yang mengidentifikasi
dua produk pertama dan lampirkan salinan tambahan Formulir FDA 3500,
dengan hanya Bagian D yang diisi, untuk setiap produk tambahan .
k. Jika laporan kasus melibatkan lebih dari satu (1) perangkat medis yang
dicurigai, harap siapkan salinan lengkap Formulir FDA 3500 yang
mengidentifikasi satu perangkat dan lampirkan salinan tambahan Formulir
FDA 3500, dengan hanya Bagian E yang diisi, untuk setiap perangkat
tambahan.
l. Jika laporan Anda melibatkan peristiwa buruk serius dengan perangkat dan
terjadi di fasilitas pengguna perangkat (selain kantor dokter), fasilitas itu
mungkin secara hukum diminta untuk melapor ke FDA dan / atau pabrikan.
Silakan laporkan ke fasilitas secara langsung atau beri tahu orang di
fasilitas yang akan menangani pelaporan tersebut.
11

Gambar 3 . Formulir Pelaporan Interaksi ke FDA (Food Drug Administration)(13)

E. Farmakovigilans
Farmakovigilans adalah ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan deteksi,
penilaian/evaluasi, pemahaman dan pencegahan terhadap dampak dari reaksi
yang merugikan atau hal-hal lain yang mungkin terjadi terkait dengan masalah
penggunaan obat. Aktivitas berupa pencegahan dampak dari reaksi yang
merugikan pada manusia akibat penggunaan produk obat, baik di dalam maupun
di luar otoritas pemasaran, atau dari paparan lingkungan kerja, juga mencakup
promosi penggunaan obat yang aman dan efektif, khususnya melalui informasi
tentang keamanan produk obat yang diberikan secara berkala kepada pasien,
para profesional kesehatan, dan masyarakat umum. Oleh karenanya
Farmakovigilans menjadi suatu kegiatan yang memberikan perlindungan kepada
pasien dan kesehatan masyarakat.(14)
12

1. Tujuan Farmakovigilans(14)
1. Meningkatkan perawatan dan keselamatan pasien khususnya dalam
penggunaan obat dan seluruh intervensi pengobatan;
2. Meningkatkan kesehatan dan keamanan masyarakat khususnya dalam
penggunaan obat;
3. Menemukan masalah terkait dengan penggunaan obat dan menyampaikan
temuan tersebut pada saat yang tepat;
4. Memberikan kontribusi dalam penilaian manfaat, bahaya, khasiat, dan risiko
obat untuk mencegah dampak yang merugikan dan untuk memaksimalkan
manfaat obat tersebut;
5. Mendorong penggunaan obat yang aman, rasional dan lebih efektif
(termasuk biaya yang efisien);
6. Meningkatkan pemahaman, pendidikan, dan pelatihan klinis dalam
farmakovigilans dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat.
2. Ruang Lingkup Farmakovigilans
Pada saat ini, ruang lingkup yang menjadi perhatian adalah termasuk (14) :
a. Obat
b. Produk biologi (produk darah, vaksin, produk rekombinan biosimilar)
c. Obat herbal
d. Obat tradisional dan suplemen kesehatan
e. Alat kesehatan
Permasalahan yang berkaitan dengan ilmu farmakovigilans meliputi (14):

a. Obat substandar dan obat palsu.


b. Kesalahan pengobatan (medication error)
c. Laporan tentang kurangnya khasiat obat (lack off efficacy)
d. Penggunaan obat dengan indikasi yang tidak disetujui sehingga laporan
kasus keracunan akut dan kronis tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat
e. Penilaian angka kematian akibat penggunaan obat
f. Penyalahgunaan obat
g. Interaksi dengan obat lain dan makanan
13

3. Peran Industri Farmasi dalam Farmakovigilans


Peran dan tanggung jawab Industri Farmasi terkait dengan Farmakovigilans
secara khusus diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 tanggal 16 Desember 2010
tentang Industri Farmasi. Pada pasal 9 dari Peraturan Menteri Kesehatan
tersebut dinyatakan bahwa Industri Farmasi wajib melakukan Farmakovigilans.
Dalam kaitan ini, Industri Farmasi harus memiliki suatu sistem Farmakovigilans
yang dapat menunjang pelaksanaan kewajibannya dalam melakukan
pemantauan keamanan obat yang diedarkan. Sistem Farmakovigilans
dimaksud harus disusun sedemikian rupa untuk merefleksikan tanggung jawab
dan kemampuan Industri Farmasi untuk dapat mengambil tindak lanjut yang
diperlukan dalam rangka menjamin keamanan produk yang diedarkan. Dalam
sistem Farmakovigilans, Industri Farmasi harus mempunyai prosedur tertulis
yang mencakup antara lain proses pengumpulan dan penerimaan, evaluasi dan
pelaporan aspek keamanan, serta tindak lanjut yang diperlukan. (15)

Pelaksanaan farmakovigilans merupakan tanggung jawab bersama dengan


semua mitra yang terlibat dalam penggunaan obat, seperti otoritas kesehatan,
industri farmasi atau pemegang izin edar obat, profesional kesehatan, pasien,
dan asosiasi farmasi, rumah sakit dan universitas. Diperlukan pengembangan,
kolaborasi, koordinasi, komunikasi dan hubungan masyarakat yang efektif di
antara para pemangku kepentingan. (14)
Untuk itu berikut merupakan ha-hal yang dapat dilakukan oleh industri
farmasi dalam pelaksanaan farmakovigilans: (14)
a. Membangun sistem farmakovigilans di industri farmasi
b. Melakukan penunjukan penanggung jawab dan back-up penanggung jawab
farmakovigilans yang bertanggung jawab penuh atas aktivitas
farmakovigilans.
c. Memastikan adanya perjanjian pelaksanaan farmakovigilans dengan pihak
lain.
14

d. Melakukan pemantauan, pengumpulan, penilaian, dan pelaporan masalah


keamanan produk.
e. Memastikan terintegrasinya sistem farmakovigilans dengan sistem
manajemen kualitas pada industri farmasi.
f. Menjaga kerahasiaan data farmakovigilans dengan melakukan manajemen
data yang baik.
g. Memberikan ringkasan sistem farmakovigilans kepada Badan POM.
h. Secara berkala memantau pelaporan kepada otoritas yang berwenang sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
i. Memberikan akses untuk pihak berwenang (otoritas regulasi) dalam
melaksanakan pemeriksaan farmakovigilans.
j. Menyampaikan informasi ke Badan POM sebelum inspeksi/audit pemeriksaan
farmakovigilans dilakukan oleh otoritas regulatori negara lain dan
melaporkan hasilnya tersebut.
k. Melaksanakan pelatihan farmakovigilans untuk seluruh personil industri
farmasi.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus Interaksi Obat Menimbulkan Efek Tidak Diharapkan


Dibutuhkan waktu yang panjang hingga beberapa dekade untuk mengetahui
dengan jelas bahwa penggunaan suatu obat dapat menyebabkan efek yang sangat
buruk terhadap kesehatan dan keselamatan penggunanya, seperti penggunaan
asam asetil salisilat yang dapat memberikan efek buruk pada saluran cerna,
phenacetin yang dapat menyebabkan renal papillary necrosis, amydopyrine yang
dapat menyebabkan agranulocytosis; juga kasus yang sangat dikenal luas adalah
terjadinya phocomelia yang berkaitan dengan penggunaan thalidomide. (4)
Setelah “kejadian thalidomide”, banyak negara mengembangkan sistem
monitoring obat untuk melakukan deteksi dini dan pencegahan kemungkinan
morbiditas dan mortalitas terkait obat. Keberhasilan program ini sangat tergantung
pada kerja sama tenaga profesional kesehatan dalam melaporkan dugaan ESO,
terutama untuk obat baru.(4)
Badan POM telah melakukan beberapa tindak lanjut regulatori berupa
penarikan dan atau pembekuan izin edar obat didasarkan hasil kajian keamanan
yang mempertimbangkan rasio antara manfaat dan risiko obat bagi pasien. Salah
satu sumber data dalam kajian keamanan tersebut berasal dari pelaporan ESO.
Beberapa contoh tindak lanjut regulatori penarikan dan atau pembekuan izin edar
obat di Indonesia adalah sebagai berikut (4):

15
16

Dari daftar obat yang telah dilakukan penarikan dan atau pembekuan izin
edarnya diatas kami akan membahas mengenai kasus efek yang tidak diinginkan
dari obat rofecoxib. Dimana rofecoxib merupakan suatu penghambat COX-2,
antiinflamasi non-streroid (NSAID). Obat ini disetujui di Amerika Serikat pada tahun
1999. Efek samping yang umum terjadi berupa penyakit jantung serius (serangan
jantung infark miokardial). Amerika Serikat membatalkan izin edarnya pada 2004. Di
Indonesia Vioxx disetujui izin edarnya pada tahun 2001 dan dibatalkan izin edarnya
pada tahun 2004.(14)
17

1. Rofecoxib
Rofecoxib digunakan untuk pengobatan osteoarthritis, rheumatoid arthritis,
nyeri akut pada orang dewasa, dan dismenore primer, serta perawatan akut
serangan migrain dengan atau tanpa aura. Rofecoxib adalah padatan.
Senyawa ini milik stilbenes. Ini adalah senyawa organik yang mengandung
bagian 1,2-difenletletilena. Stilbenes (C6-C2-C6) berasal dari blok bangunan
kerangka phenylpropene (C6-C3) yang umum. Pengenalan satu atau lebih
gugus hidroksil pada cincin fenil menyebabkan stilbenoid. Rofecoxib memiliki
waktu paruh 17 jam dan bioavailabilitas oral rata-rata pada dosis 125, 25, dan
50 mg yang direkomendasikan secara terapi adalah sekitar 93%. Protein yang
menjadi target rofecoxib termasuk elastin dan prostaglandin G / H synthase 2.
Cytochrome P450 1A2, Cytochrome P450 3A4, Cytochrome P450 2C9,
Cytochrome P450 2C8, dan Prostaglandin G / H synthase 1 diketahui
memetabolisme rofecoxib. (16)
Rofecoxib, obat antiinflamasi non-steroid (NSAID), adalah inhibitor yang
sangat selektif dari siklooksigenase-2 (COX-2), juga dikenal sebagai
prostaglandin G / H synthase 2. Seperti NSAID lainnya, rofecoxib memberikan
efek dengan menghambat sintesis prostaglandin terlibat dalam nyeri, demam,
dan peradangan. COX-2 mengkatalisis konversi asam arakidonat menjadi
prostaglandin G2 (PGG2) dan PGG2 menjadi prostaglandin H2 (PGH2). Dalam
jalur katalis COX-2, PGH2 adalah prekursor prostaglandin E2 (PGE2) dan I2
(PGI2). PGE2 menginduksi rasa sakit, demam, eritema dan edema. Rofecoxib
memusuhi COX-2 dengan mengikat bagian atas dari situs aktif, mencegah
substratnya, asam arakidonat, memasuki situs aktif. Mirip dengan penghambat
COX-2 lainnya seperti celecobix dan valdecoxib, rofecoxib tampaknya
mengeksploitasi sedikit perbedaan dalam ukuran kantong pengikat COX-1 dan
-2 untuk mendapatkan selektivitas. COX-1 mengandung isoleusin pada posisi
434 dan 523, sedangkan COX-2 memiliki katup yang sedikit lebih kecil yang
menempati posisi ini.(16)
18

Studi mendukung gagasan bahwa metilen tambahan pada rantai samping


isoleusin di COX-1 menambah jumlah yang cukup untuk membuat rofecoxib
tidak mengikat.Rofecoxib 100 kali lebih selektif untuk COX-2 daripada COX-1.
Efek analgesik, antipiretik dan antiinflamasi rofecoxib terjadi sebagai akibat dari
penurunan sintesis prostaglandin. Bagian pertama dari gambar ini
menggambarkan jalur anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik dari rofecoxib.
Bagian terakhir dari gambar ini menggambarkan keterlibatan rofecoxib dalam
agregasi platelet. Sintesis prostaglandin bervariasi pada berbagai jenis
jaringan. Trombosit, sel anuklear yang berasal dari fragmentasi dari
megakaryocytes, mengandung COX-1, tetapi tidak COX-2. Aktivitas COX-1
dalam trombosit diperlukan untuk agregasi trombosit berperantara tromboksan
A2 (TxA2). Aktivasi dan koagulasi trombosit biasanya tidak terjadi pada
pembuluh darah yang utuh. Setelah cedera pembuluh darah, trombosit melekat
pada kolagen subendotelial di lokasi cedera. (16)
Aktivasi reseptor kolagen menginisiasi kaskade pensinyalan
berperfosfolipase C (PLC) yang menghasilkan pelepasan kalsium intraseluler
dari sistem tubula yang padat. Peningkatan kalsium intraseluler mengaktifkan
kinase yang diperlukan untuk perubahan morfologis, transisi ke permukaan
prokoagulan, sekresi isi granular, aktivasi glikoprotein, dan aktivasi fosfolipase
A2 (PLA2). Aktivasi PLA2 menghasilkan pembebasan asam arakidonat,
prekursor sintesis prostaglandin, dari membran fosfolipid. Akumulasi TxA2,
ADP dan trombin memediasi perekrutan dan penguatan sinyal platelet lebih
lanjut. TxA2 dan ADP menstimulasi masing-masing reseptor berpasangan G-
protein, reseptor thomboxane A2 dan purinoreceptor P2Y 12 mereka, dan
menghambat produksi cAMP melalui penghambatan siklase adenilat. Ini
menetralkan efek stimulasi adenilat siklase dari inhibitor agregasi platelet,
PGI2, yang diproduksi oleh sel-sel endotel tetangga. Adhesi trombosit,
remodeling sitoskeletal, sekresi granular, dan amplifikasi sinyal adalah proses
independen yang mengarah pada aktivasi reseptor fibrinogen. (16)
19

Aktivasi reseptor fibrinogen memperlihatkan tempat pengikatan fibrinogen


dan memungkinkan terjadinya cross-linking dan agregasi. Sel-sel endotel
tetangga yang ditemukan dalam pembuluh darah mengekspresikan COX-1 dan
COX-2. COX-2 dalam sel endotel memediasi sintesis PGI2, penghambat
agregasi platelet dan vasodilator yang efektif, sementara COX-1 memediasi
vasokonstriksi dan menstimulasi agregasi platelet. PGI2 yang diproduksi oleh
sel-sel endotel menemukan trombosit dalam aliran darah dan berikatan dengan
reseptor prostacyclin ditambah G-protein. Ini menyebabkan aktivasi G-protein
yang dimediasi adenilat siklase, yang mengkatalisis konversi adenosin trifosfat
(ATP) menjadi AMP siklik (cAMP). Empat molekul cAMP kemudian mengikat ke
subunit pengatur dari holoenzim protein kinase tergantung-cAMP yang tidak
aktif yang menyebabkan disosiasi subunit pengatur dan menyisakan dua
monomer subunit katalitik aktif. Subunit aktif protein kinase tergantung-cAMP
mengkatalisasi fosforilasi sejumlah protein. Fosforilasi inositol 1,4,5-
trisphosphate tipe 1 pada retikulum endoplasma (ER) menghambat pelepasan
kalsium dari ER. Ini pada gilirannya menghambat peristiwa yang tergantung
kalsium, termasuk aktivasi PLA2, yang terlibat dalam aktivasi dan agregasi
platelet. (16)
Penghambatan PLA2 menurunkan TxA2 intraseluler dan menghambat jalur
agregasi platelet. kinase yang tergantung cAMP juga memfosforilasi protein
terkait aktin, fosfoprotein yang distimulasi vasodilator. Fosforilasi menghambat
aktivitas protein, yang meliputi reorganisasi sitoskeleton dan aktivasi platelet.
Rofecoxib secara istimewa menghambat COX-2 dengan sedikit aktivitas
melawan COX-1. Penghambatan COX-2 dalam sel endotel menurunkan
produksi PGI2 dan kemampuan sel-sel ini untuk menghambat agregasi
trombosit dan merangsang vasodilatasi. Efek ini dianggap bertanggung jawab
atas efek kardiovaskular yang jarang, tetapi parah, yang diamati dengan
rofecoxib, yang sejak itu telah ditarik dari pasar. (16)
20

2. Penarikan VIOXX (rofecoxib)


VIOXX (rofecoxib) merupakan suatu senyawa antiinflamasi non steroid
yang memiliki efek anti inflamasi, analgetik dan antipiretik. Mekanisme kerjanya
adalah dengan menghambat sistesis prostaglandin melalui penghambatan
cyclooxygenase-2 (COX-2). Pada kadar terapetik pada manusia, rofecoxib
tidak menghambat isoenzim cyclooxygenase-1 (COX-1). Sejak tahun 1999,
Vioxx telah dipasarkan di lebih dari 80 negara. (17)
Di Indonesia produk ini mendapat persetujuan Izin Edar pada tahun 2001
setelah melalui proses evaluasi efikasi, keamanan dan mutu oleh Komite
Nasional Penilai Obat Jadi (KOMNAS POJ) Badan POM. Indikasi yang disetujui
adalah hanya untuk meringankan gejala osteoartritis (dosis 12,5-25 mg per
hari), dan tidak untuk nyeri akut (dosis 25-50 mg per hari) sebagaimana di
Inggris dan Amerika Serikat. (17)
Pada tanggal 30 September, 2004, Merck menarik rofecoxib dari pasaran
disebabkan kekhawatiran meningkatnya risiko serangan jantung dan stroke
yang terkait dengan lamanya penggunaan obat dan tingginya dosis yang
digunakan. Merck menarik obat tersebut dari peredaran setelah
mengungkapkan adanya data yang menyebutkan risiko dari penggunaan
rofecoxib dari para dokter dan pasien selama lebih dari lima tahun, yang
menyebabkan 88.000 sampai dengan 140.000 kasus serius penyakit jantung.
Rofecoxib adalah satu dari sekian banyak obat yang digunakan secara luas
yang ditarik dari pasaran. Setahun sebelum penarikan, Merck telah
mendapatkan keuntungan sebesar 2,5 Milyar Dolar Amerika dari penjualan
Vioxx. Merck menyediakan 970 juta Dolar Amerika untuk membayar biaya
hukum kasus yang terkait dengan penggunaan Vioxx sepanjang tahun 2007,
dan menyiapkan 4,85 milyar dolar Amerika untuk tuntutan hukum yang
dilayangkan oleh warga negara Amerika Serikat. (17)
Uji klinik jangka panjang Vioxx (APPROVe) telah dilakukan untuk
mengevaluasi kemanfaatan Vioxx 25 mg pada pencegahan kekambuhan polip
colorectal pada pasien dengan riwayat adenoma colorectal. Setelah 18 bulan
21

pengobatan yang melibatkan 2600 pasien diperoleh bukti adanya peningkatan


risiko kardiovaskuler berupa serangan jantung dan stroke akibat thrombotic
event. Oleh karena itu studi yang telah dimulai tahun 2000 ini telah dihentikan
lebih awal pada bulan September 2004 mengingat alasan keamanan.
Berdasarkan data dari hasil uji klinik terakhir tersebut produsen segera
menghentikan uji klinik dan melakukan penarikan secara serempak di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia.(17)
Dalam kaitan ini, Badan POM akan terus melakukan upaya pemantauan
keamanan produk beredar di Indonesia secara terus menerus dan melakukan
tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka melindungi masyarakat. Untuk itu
Badan POM telah mengeluarkan surat Pembekuan Izin Edar dan Penarikan
Obat dari Peredaran kepada Industri yang bersangkutan tertanggal 1 Oktober
2004.(17)
3. Prosedur Pelaporan Kasus
Dalam proses pelaporan kasus Farmakoviglans terdapat beberapa bentuk
pelaporan, yaitu(14):
a. Pelaporan Spontan
Pelaporan spontan merupakan pelaporan kejadian tidak diinginkan /efek
samping obat yang bersifat sukarela ketika tenaga profesional kesehatan
atau pasien memutuskan melaporkan adanya dampak buruk suatu obat
kepada pusat farmakovigilans baik tingkat lokal ataupun nasional.
Pelaporan spontan adalah suatu sistem yang seluruhnya bergantung
pada motivasi dari setiap individu untuk mencatat dan mengirimkan
informasi tentang sesuatu yang buruk yang telah terjadi pada pasien
kepada organisasi yang bertanggungjawab untuk mengumpulkan laporan
atas akibat yang tidak diharapkan/dampak buruk (biasanya pusat
farmakovigilans lokal maupun nasional). Penggunaan kertas adalah cara
yang paling umum digunakan untuk berkomunikasi, namun pelaporan
online (daring) dan pelaporan menggunakan aplikasi selular juga tersedia
22

di beberapa negara dan hal ini adalah kemajuan yang penting untuk masa
depan.
Di semua negara, sistem farmakovigilans nasional sangat bergantung
pada pelaporan spontan (sukarela) yang dilakukan oleh para tenaga
profesional kesehatan, pemegang izin edar (produsen) atau langsung oleh
pasien. Dari semua sumber data untuk pengawasan keamanan obat,
sistem pelaporan spontan memberikan informasi yang paling tinggi dengan
biaya pemeliharaan yang paling rendah. Dan informasi tersebut telah
terbukti berharga untuk mendeteksi sejak dini permasalahan keamanan
pasien terkait baik dengan produk obatnya maupun penggunaan obat
tersebut.
b. Individual Case Safety Report (ICSR)
ICSR hendaknya digunakan untuk melaporkan reaksi merugikan yang
dicurigai akibat penggunaan produk obat, yang muncul pada pasien
tertentu pada waktu tertentu kepada Pusat Farmakovigilans Nasional
(Badan POM).
Pemegang izin edar dan tenaga profesional kesehatan hendaknya
memastikan bahwa ICSR selengkap mungkin dan harus
mengkomunikasikan semua pembaruan (update) laporan ke Pusat
Farmakovigilans Nasional (Badan POM) secara akurat dan dapat
diandalkan.
Berkenaan dengan pelaporan tersebut, ICSR harus memasukkan
paling tidak 4 hal sebagai berikut:
1) Pelapor yang terindentifikasi
2) Pasien yang terindentifikasi
3) Reaksi yang tidak diharapkan / merugikan yang diduga disebabkan
obat
4) Produk obat terkait.
Pemegang izin Edar dan profesional kesehatan hendaknya mencatat
secara rinci informasi yang diperlukan untuk mendapatkan informasi
23

lanjutan atas laporan kasus keamanan individu. Informasi lanjutan tersebut


harus didokumentasikan dengan baik dan benar.
Ketika melaporkan reaksi yang tidak diharapkan/reaksi yang merugikan
yang dicurigai, pemegang izin edar dan/tenaga profesional kesehatan
hendaknya memberikan seluruh informasi yang ada untuk setiap kasus
individu, termasuk hal-hal berikut ini:
a) informasi administratif:
1) jenis laporan
2) tanggal laporan
3) nomor identifikasi kasus yang unik
4) nomor identifikasi pengirim dan jenis pengirim
5) tanggal pertama kali laporan diterima dari sumber
6) tanggal penerimaan informasi yang terbaru (update information)
7) referensi dokumen tambahan (jika dapat dilakukan)
b) informasi tentang sumber utama: informasi yang mengindentifikasi
kualifikasi dari pelapor dan tenaga profesional kesehatan;
c) informasi pasien (dan orang tua apabila laporan datang dari orang
tua pasien):
1) usia pada saat terjadinya reaksi
2) kelompok umur
3) masa gestasi ketika reaksi / kejadian diobservasi pada janin
4) berat, tinggi atau jenis kelamin
5) tanggal terakhir menstruasi dan / atau masa gestasi pada saat
terpapar.
d) riwayat kesehatan (medis) yang relevan dan kondisi yang menyertai
e) informasi produk obat yang dicurigai:
1) nama produk obat, termasuk bercampurnya produk obat atau,
dimana nama produk tidak diketahui
2) zat aktif dan karakter lainnya yang dapat dipakai untuk
mengindentifikasi produk obat
24

3) nama pemegang izin edar, Nomor Ijin Edar


4) bentuk sediaan farmasi dan cara pemberian obat
5) indikasi yang digunakan pada kasus
6) dosis yang digunakan
7) tanggal mulai dan akhir dari pengobatan
8) informasi dechallenge dan rechallenge
f) nomor batch, utamanya untuk produk biologi
g) produk obat yang digunakan bersamaan, diidentifikasi sesuai
dengan poin e.
h) informasi tentang KTD yang dicurigai:
1) tanggal mulai dan akhir adanya reaksi yang dicurigai atau
lamanya
2) tingkat keseriusan dan keparahan KTD
3) waktu onset antara pemberian produk obat yang dicurigai
dengan saat pertama munculnya reaksi tersebut
i) hasil uji dan prosedur yang berhubungan dengan penyelidikan
terhadap pasien
j) tanggal dan laporan penyebab kematian, termasuk hasil otopsi
penyebab kematian pasien
k) narasi kasus, bila memungkinkan, memberikan semua informasi
yang relevan untuk kasus individu dengan pengecualian untuk reaksi
yang tidak diharapkan yang tidak terlalu serius/gawat. Informasi yang
diberikan harus dipaparkan berdasarkan urutan waktu sesuai dengan
kejadian sebenarnya, di dalam kronologi pengalaman pasien termasuk
jejak klinis, langkah-langkah terapi, hasil dan tindak lanjut dari
informasi yang didapat, seluruh penemuan hasil otopsi juga sebaiknya
direkapitulasi dalam bentuk narasi.
Jika kejadian tidak diinginkan yang dicurigai dilaporkan dalam
bentuk narasi dan tulisan deskripsi, maka ringkasan dalam Bahasa
Indonesia atau Inggris harus disiapkan oleh pemegang izin edar.
25

Pemegang izin edar dan tenaga profesional kesehatan hendaknya


memberikan ICSR kepada Badan POM dengan format yang sudah
ditentukan.
c. Periodic Safety Update Report (PSUR) / Periodic Benefit Risk Evaluation
Report (PBRER)
1) Apa yang dimaksud dengan PSUR dan PBRER?
PSUR dan PBRER adalah dokumen farmakovigilans yang bertujuan
untuk memberikan penilaian atas kesimbangan risiko-manfaat dari
produk obat untuk diserahkan oleh pemegang izin edar pada waktu
yang telah ditentukan selama fase pasca pemasaran. PBRER dirujuk
sebagai PSUR sejak penerapan dari pedoman ICH E2C(R2) pada
Bulan Mei 2013.

2) Tujuan dari PSUR / PBRER


Untuk menyajikan analisa yang lengkap dan kritis terhadap informasi
baru atau mulai berkembang berkenaan dengan risiko dan jika relevan,
bukti baru dari manfaat sehingga memungkinkan untuk menilai
manfaat dan risiko secara keseluruhan. Untuk menampung penilaian
informasi baru yang relevan yang tersedia untuk pemegang izin edar
selama masa jeda pelaporan, bila informasi menumpuk:
a) Periksa apakah informasi baru sesuai dengan pemahaman tentang
profil manfaat risiko sebelumnya
b) Ringkas informasi keamanan baru yang relevan yang kemungkinan
berdampak pada profil manfaat risiko
c) Ringkas semua informasi penting berkaitan dengan khasiat dan
keefektifan yang baru
d) Lakukan penilaian manfaat/risiko yang terintegrasi (dimana informasi
penting keamanan baru telah berkembang) Evaluasi penilaian risiko-
manfaat ini harus dilakukan sesuai dengan farmakovigilans dan
manajemen risiko yang berlaku sekarang ini
26

3) Pemegang izin edar harus menyerahkan PSUR/PBRER untuk:


a) Obat-obatan yang mengandung zat kimia baru termasuk produk
biosimilar
b) Obat sesuai dengan permintaan Badan POM
4) Periode Waktu PSUR / PBRER harus disiapkan pada masa interval
berikut ini:
a) Setiap enam bulan selama dua tahun dan setahun sekali untuk tiga
tahun berikutnya setelah produk obat mendapatkan izin edar
b) Segera, jika ada permintaan.
Jadi, berdasarkan pada penjelasan diatas, prosedur pelaporan pada kasus
Vioxx (rofecoxib) ini merupakan pelaporan spontan oleh tenaga kesehatan dan
pasien, seperti yang sudah dijelaskan bahwa, Merck menarik obat tersebut dari
peredaran setelah mengungkapkan adanya data yang menyebutkan risiko dari
penggunaan rofecoxib dari para dokter dan pasien selama lebih dari lima
tahun, yang menyebabkan 88.000 sampai dengan 140.000 kasus serius
penyakit jantung(14).
Dan prosedur penenarikan obat ini dilakukan secara voluntary atau
sukarela pada 30 September 2004. Merck secara sukarela menarik rofecoxib
dari pasar karena kekhawatiran tentang peningkatan risiko serangan jantung
dan stroke yang terkait dengan penggunaan jangka panjang dosis tinggi(18).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Manfaat SIMRS dalam penanganan kejadian interaksi obat adalah dengan
bantuan SIMRS dapat mempengaruhi secara positif kinerja para tenaga medis,
yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit secara
keseluruhan, sehingga kejadian interaksi obat yang menimbulkan efek yang tidak
diharapkan dapat terdeteksi dan diminimalisir.

2. Kasus penarikan produk Merck yaitu Vioxx (rofecoxib) pada tahun 2004.
dikarenakan adanya interaksi obat yang menimbulkan efek yang tidak diinginkan,
yaitu adanya peningkatan risiko serangan jantung dan stroke yang terkait dengan
penggunaan jangka panjang dosis tinggi.

3. Prosedur pelaporan pada kasus Vioxx (rofecoxib) ini merupakan pelaporan


spontan oleh tenaga kesehatan dan pasien, bahwa Merck menarik obat tersebut
dari peredaran setelah mengungkapkan adanya data yang menyebutkan risiko
dari penggunaan rofecoxib dari para dokter dan pasien selama lebih dari lima
tahun, yang menyebabkan 88.000 sampai dengan 140.000 kasus serius penyakit
jantung. Dan prosedur penenarikan obat ini dilakukan secara voluntary atau
sukarela pada 30 September 2004. Merck secara sukarela menarik rofecoxib dari
pasar karena kekhawatiran tentang peningkatan risiko serangan jantung dan
stroke yang terkait dengan penggunaan jangka panjang dosis tinggi.

27
28

DAFTAR PUSTAKA

1. Menkes. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2013 Tentang Sistem


Informasi Manajemen Rumah Sakit. Jakarta: Kemenkes RI. 2013.
2. Depkes. Juknis SIRS – Sistem Informasi Rumah Sakit 2011. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. 2011.
3. Retno Gitawati. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008:
Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Jakarta: Puslitbang Biomedis dan
Farmasi, Badan Litbangkes. 2008.
4. BPOM. Farmakovigilans (Keamanan Obat): Panduan Deteksi dan Pelaporan
Efek Samping Obat untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Badan POM RI. 2019.
5. Handiwidjojo W, Informasi S, Sakit R. Sistem Informasi Manajemen Rumah
Sakit. J EKSIS. 2009;2.
6. C. Laudon, P. Jane Laudon K. Management Information Systems. Pearson
International; 2004.
7. Oetomo BSD. Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi. Andi; 2002.
8. Bemt PMLA ET, JRBJ. B. Drug-related problems in hospitalised patients. Drug
Saf [Internet]. 2000; Available from: doi:10.2165/00002018-200022040-00005
9. VanMill JW, Westerlund LO H, KE SM. Drug-Related Problem Classification
Systems. Ann Pharmacother [Internet]. 2004; Available from: doi:
10.1345/aph.1D182
10. Kaboli PJ, Hoth AB, McClimon BJ SJ. Clinical pharmacists and inpatient medical
care. Arch Intern Med. 2006
11. Kusharwanti W, Dewi SC, Setiawati MK. Pengoptimalan Peran Apoteker dalam
Pemantauan dan Evaluasi Insiden Keselamatan Pasien. 2014;3(3).
12. Administration FD. How Consumers Can Report an Adverse Event or Serious
Problem to FDA [Internet]. U.S.A; 2020. Available from:
https://www.fda.gov/safety/reporting-serious-problems-fda/how-consumers-can-
report-adverse-event-or-serious-problem-fda
13. Administration FD. Instructions for Completing Form FDA 3500 [Internet]. 2020.
29

Available from: https://www.fda.gov/safety/medwatch-forms-fda-safety-


reporting/instructions-completing-form-fda-3500
14. BPOM RI. Modul Farmakovigilans Dasar. 2020.
15. Pengawas BPOM RI. PENERAPAN FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI
FARMASI. 2011.
16. https://www.drugbank.ca/drugs/DB00533 diakses pada 12 juni 2020
17. https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/67/Pembekuan-Izin-Edar-dan-
Penarikan-Vioxx--Rofecoxib--dari-Peredaran-.html diakses pada 12 juni 2020
18. Rofecoxib (Vioxx) voluntarily withdrawn from market. CMAJ. 2004; 171 (9)

Anda mungkin juga menyukai