Anda di halaman 1dari 5

Analisis Film Pendek “Tilik” dalam Sudut Pandang Psikologi

Komunikasi

Tokoh komunikan yang saya pilih adalah Bu Tejo. Karena tokoh inilah yang menarik
perhatian saya selama menyaksikan film pendek ini. Berikut adalah analisis saya terhadap
tokoh komunikan ini

1. Konsep Manusia dalam Psikoanalisis


Dalam hasil observasi saya terhadap tokoh tersebut dalam film pendek “Tilik” jika
dilihat dari sisi psikoanalisis (Freud) :
a. Id : dalam bagian ini saya melihat bahwa tokoh Bu Tejo sangat ingin di perhatikan
oleh anggota ibu-ibu PKK di kampung tersebut
b. Ego : secara ego, tokoh bu Tejo ini melihat realitas dalam sosial media yaiu
facebook, media internet lainnya. Namun disatu sisi, tokoh Bu Tejo ini juga
mendapatkan informasi berdasarkan gosip di kalangan warga kampung, yang
dimana mendukung untuk membicarakan tokoh Dian secara intens/ mendalam
supaya mendapatkan perhatian.
c. Superego : dalam film tersebut, sebetulnya tokoh Bu Tejo mengetahui bahwa
membicarakan orang lain adalah tindakan yang salah (secara norma), karena
belum diketahui benar atau tidaknya. Namun peran superego ini kalah dengan
keinginan Id yang ada dalam diri tokoh Bu Tejo.

Konsep Psikoanalisis ini menunjukkan bahwa tokoh Bu Tejo memiliki Id yang lebih
besar daripada Superego yang dimilikinya.

2. Konsep Manusia dalam Behaviorsime


Menurut pendapat Bandura yaitu social learning. Dalam film tersebut Bu Tejo sendiri
belajar bergosip dengan meniru orang lain yang dimana menjadi sumber informasi.
Ketika dalam scene Bu Tejo mempercayai informasi dari Bu Tri yang mengatakan
bahwa tokoh Dian adalah perempuan nakal, selain itu tokoh Bu Tejo juga belajar dari
gosip simpang siur yang berada di desanya (walau tidak di gambarkan secara
langsung namun dalam scence “lha kabeh wong kampung podo ngomongke Dian lho
Yu Ning”) secara tidak langsung saya dapat mengetahui bahwa Bu Tejo belajar
bergosip karena mendengar kabar simpang siur dari percakapan tetangga dan selalu
membaca sosial media dalam media Facebook kemudian mempercayainya. Sehingga
Bu Tejo meniru apa yang dilakukan oleh tetangganya, dalam orang-orang di dunia
maya yang menggosipkan tokoh Dian sebagai kembang desa. Dalam sudut pandang
behaviorisme juga dapat dikatakan bahwa seseorang yang gemar bergosip merupakan
seorang yang iri, memiliki kecemasan yang tinggi, bosan dan butuh perhatian lebih
dari orang-orang di sekitarnya. Terlihat jelas dan di gambarkan pada karakter Bu
Tejo, sebagai orang yang memiliki rasa iri, jika tokoh Dian memiliki barang bagus,
memiliki wajah yang cantik, namun memiliki kecemasan jika tokoh Dian meresahkan
warga desa, dan disatu sisi bergosip seperti yang dilakukan oleh tokoh Bu Tejo
memiliki dampak positif selama perjalanan menengok bu Lurah yaitu untuk tetap
menjalin koneksi satu sama lain, apalagi ditambah dengan hadirnya teknologi internet
yang dapat diakses oleh semua kalangan. Dan tentunya memberikan informasi tentang
bagaimana karakter Dian di gambarkan oleh Bu Tejo ketika sedang bergosip dan
membuat ibu-ibu selama perjalanan menjalin kerja sama yang selaras seperti menjaga
suaminya agar tidak selingkuh.
3. Konsep Manusia dalam Psikologi Kognitif
Dalam pandangan psikologi kognitif, saya lebih mengarah pada teori atribusi Fritz
Heider. Tokoh Bu Tejo disini dapat dianalisis secara kognitif melalui teori ini karena,
dalam cerita di film ini menggambarkan proses atribusi yang dilakukan oleh tokoh Bu
Tejo ini. Saya menganalisis bahwa tokoh Bu Tejo banyak menilai tokoh Dian
menurut data-data yang kurang valid, sebagai contoh ketika Bu Tejo menduga Dian
hamil diluar nikah, padahal belum tentu benar adanya jika Dian hamil hal ini dapat
dikatakan sebagai proses atribusi presepsi, tokoh bu Tejo mengutarakan bahwa pernah
mengalami kehamilan. Belum hanya itu saja, tokoh Bu Tejo juga menegaskan apabila
tokoh Dian jika bekerja sewajarnya belum bisa membeli barang-barang bagus karena
Bu Tejo mengerti harga barang sedang mahal. Sehingga dapat dikatakan bahwa sikap
yang dimunculkan tokoh Bu Tejo terhadap tokoh Dian adalah buruk. Secara
kepribadian jika dilihat dalam konsep kognitif ini adalah Bu Tejo sebagai orang yang
hanya melihat luarnya saja, dan gemar membicarakan orang lain (gosip), dan mudah
percaya dengan kabar yang belum tentu dikonfirmasi adanya. Dalam teori atribusi ini,
Bu Tejo secara tidak langsung dapat mempengaruhi warga untuk percaya padanya.
Dapat diartikan Bu Tejo juga berkepribadian mampu mempengaruhi orang, namun
juga dapat terpengaruh.
Namun sangat disayangkan juga karena karakter Bu Tejo sendiri juga melakukan
kesalahan dalam beratribusi, yang dimana melebih-lebihkan faktor disposisi pada
perilaku Dian, seperti cantik menggunakan susuk, apabila Dian menikah dengan anak
Bu Lurah, berkencan dengan oran yang lebih tua, belum menikah. Secara akal sehat,
tokoh Dian memang sangatlah cantik dan patut disebut kembang desa, dan sesuai
fenomena sekarang ini, memang banyak sekali para perempuan yang berkencan
dengan pria yang sudah berumur, bukan hanya berkencan saja tetapi ada yang sampai
menikah. Bukan hanya itu saja, tokoh Bu Tejo juga melakukan diskriminasi pada
budaya Jawa dalam melihat laki-laki dan perempuan mengenai kehendak menikah.
Disini, perempuan disosialisasikan perannya sebagai ibu rumah tangga. Seolah bu
Tejo menggosipkan dan berpendapat bahwa perempuan seakan hanyalah untuk
menikah dan membentuk keluarga dan hampir seluruh hidupnya di lewatkan dalam
keluarga (Arief Budiman,1985:3). Sehingga berimbas para masyarakat termasuk
tokoh Bu Tejo ini mengucilkan perempuan dewasa yang tidak kunjung menikah.
Dalam percakapan Bu Tejo juga seolah menggambarkan akan asumsi budaya Jawa
apabila perempuan yang tidak kunjung menikah dianggap belum menjadi perempuan
sejati versi budaya Jawa. Dalam falsafah Jawa perempuan hanya dilihat dari fungsi
reproduksinya saja. Seorang perempuan yang tidak memiliki anak dianggap sebagai
perempuan yang sia-sia apalagi memutuskan untuk tak kunjung menikah dan
melanjutkan hubungan secara serius. Ringkasnya tokoh Dian digambarkan oleh Bu
Tejo sebagai gambaran “bad woman” dalam budaya Jawa.

Dalam gambaran cerita akhir, Bu Tejo juga sempat menggoda Dian dan Fikri anak bu
Lurah untuk segera menikah. Hingga saat ini streotip yang sudah di terapkan oleh Bu
Tejo juga semakin lama semakin bersifat universal, bukan sebagai streotip kalangan
umum pedesaan.

4. Konsep Manusia dalam Psikologi Humanistik


Dalam segi humanistik, terutama teori aktualisasi diri Maslow, disini kebutuhan akan
aktualisasi diri dapat disampaikan dengan berkomunikasi. Dari karakter Bu Tejo,
menyampaikan hasrat kebutuhan dirinya yaitu kebutuhan akan penghargaan (Esteem
Needs). Jika di jelaskan dari urutan paling bawah, yaitu kebutuhan fisiologis, Bu Tejo
mengatakan ingin buang air kecil, karena itu merupakan kebutuhan fisiologis manusia
yang tidak dapat di tahan/ di hentikan. Kebutuhan akan rasa aman, disini terlihat jika
Bu Tejo sedang beradu argumen dengan tokoh Pak Polisi jika ditilang, kemudian Bu
Tejo mengancam akan melaporkan ke saudaranya yang berpangkat lebih tinggi.
Kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, sudah terlihat jelas Bu Tejo
mengulang pembicaraan “Bapak e bocah-bocah” yang dimana kebutuhan akan rasa
ini sudah tercapai. Ketika 3 kebutuhan tadi sudah terpenuhi, maka kebutuhan inilah
yang paling ditonjolkan karakter Bu Tejo dalam film ini, yaitu kebutuhan akan
penghargaan, disini Bu Tejo selalu membicarakan tokoh Dian seolah dia yang paling
tahu akan semuanya, dan mengharapkan para warga dapat menghargai, bahkan seolah
mengamini karena para warga memiliki pengetahuan dan kuasa lebih rendah atas
pendapat dari gosip yang dituturkan Bu Tejo dan tergambar pada akhir cerita. Ketika
sudah terpenuhi semua, maka tokoh Bu Tejo sudah siap untuk mengaktualisasikan
dirinya yaitu dengan cara berkomunikasi yaitu bergosip. Oleh karena itu, Bu Tejo
digambarkan sebagai karakter yang dominan dalam cerita tersebut. Disatu sisi Bu
Tejo mengaktualisasikan dirinya, secara tidak langsung juga menghambat aktualisasi
bagi perempuan, tak terkecuali kebutuhan perempuan (Maslow dalam Frank Globe,
1994: 51). Perempuan juga berhak untuk mengembangkan bakat, kapasitas dan
potensi yang dimiliki, baik untuk memenuhi kebutuhan maupun tidak. Bentuk
kongkrit nya, aktualisasi perempuan dapat berupa kewenangan bekerja dan
melakukan segala aktivitas publik. Akan tetapi disini saya lebih menganalisa jika
kebiasaan bergosip merupakan peran tatanan dan kohesi sosial untuk merekatkan
relasi sosial. Dalam sejarah kehidupan manusia, gosip berperan sebagai strategi untuk
menemukan solusi secara bersama atas persoalan yang sedang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arif. (1985) Pembagian Kerja Secara Seksual (sebuah pembahasan sosiologis
tentang peran wanita dalam masyarakat). Jakarta: Gramedia

Susanto, Budi, dkk. (2000) Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta: Kanisius.

Goble, Frank. (1997) Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, cetakan I,
Yogyakarta: Kanisius.

Dunbar, R. I. M. ,(2002) Grooming, Gossip, adn The Evolution of Language. 6th edition.
USA: Hardvard University Press.

Baron, R. A. & Branscombe, N. R. (2012). Social Psychology. 13th edition. New Jersey:
Pearson Education, Inc.

Feist, J. & Feist, G. J. (2010). Theories of Personalities. 7th edition. New York: McGraw
Hill.

Anda mungkin juga menyukai