Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perpustakaan yang baik adalah perpustakaan yang memiliki koleksi, sarana dan
prasarana yang memadai serta dikelola secara profesional oleh sumber daya manusia
(SDM) perpustakaan yang kompetens. Dengan demikian, diperlukan SDM perpustakaan
yang memiliki pengetahuan, keterampilan dalam pengelolaan teknis perpustakaan yang
baik, dilengkapi oleh sikap kerja dan kepribadian yang menunjang kinerja yang tinggi,
sehingga dalam setiap melaksanakan tugas kepustakawanannya selalu memperhatikan
etika profesi pustakawan.

Perpustakaan merupakan lembaga yang bertumbuh dan berkembang secara dinamis.


Perkembangan perpustakaan pun harus selalu mengikuti tingkat kebudayaan pemustaka
dan masyarakat sekitarnya. Tidak hanya memperhatikan pemustaka aktif, akan tetapi juga
yang potensial. Dengan demikian, seiring dengan adanya perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat dewasa ini, perpustakaan yang semula
bersifat klasikal, secara gradual mulai berbenah dan melengkapi diri ke arah bentuk
perpustakaan hibrid (hybrid library) menuju perpustakaan elektronik (electronik digital)
atau perpustakaan digital (digital library), sehingga terbentuklah masyarakat yang
cenderung menggunakan literasi maya yang cenderung hanya sedikit menggunakan
literasi tercetak (paperless society) dan perpustakaan menjadi dapat diakses dari mana
pun pemustaka berada (library without wall).

Perubahan ini berdampak pada berbagai aktivitas perpustakaan, yaitu kegiatan


pengembangan koleksi perpustakaan, pengadaan bahan perpustakaan, tidak hanya pada
format tercetak tetapi dilengkapi dengan bahan perpustakaan yang berformat elektronik
atau digital. Kemudian cara pengorganisasian atau pengelolaan bahan perpustakaan
sampai pada bentuk jasa layanan perpustakaan dan informasi yang diberikan. Semuanya
mengarah ke layanan serba ter-otomasi. Bahkan metode pelestarian bahan perpustakaan
juga selain secara manual, juga pada beberapa bahan perpustakaan yang langka dan
rentan atau mudah rusak dilakukan alihmedia ke bentuk digital (digitalization).

Sehubungan dengan itu, pesatnya TIK telah mendorong tumbuh dan berkembangnya
berbagai jenis perpustakaan hibrid, mulai dari perpustakaan nasional, perpustakaan

1
umum, perpustakaan khusus, perpustakaan perguruan tinggi sampai perpustakaan
sekolah. Namun, apapun jenis perpustakaannya, termasuk perpustakaan sekolah, baik itu
masih berbentuk klasik maupun digital, dalam pengelolaan dan pemberian jasa layanan
perpustakaan dan informasinya harus tetap memperhatikan profesionalisme yang
mengedepankan etika profesi pustakawan. Hal ini terkait dengan maraknya pelanggaran
hak kekayaan intelektual terutama menyangkut hak cipta, seperti banyaknya plagiat di
kalangan masyarakat ilmiah, kejahatan sibernetik, pembajakan atau pencurian bahan
perpustakaan, bahkan vandalisme masih banyak terjadi di lingkungan perpustakaan.
Untuk itu, seorang pustakawan, dalam hal ini, pustakawan atau tenaga pengelola
perpustakaan sekolah harus mencegah terjadinya pelanggaran etika dan norma terhadap
akses, penggunaan dan kepemilikan informasi yang berasal dari koleksi perpustakaan
sesuai dengan hukum yang berlaku.

Rambu-rambu dan etika profesi bidang perpustakaan secara garis besar telah terangkum
dan tertuang dalam Kode Etik Pustakawan yang diterbitkan oleh Ikatan Pustakawan
Indonesia (IPI). Kode etik ini mengatur interaksi antar pustakawan sebagai seorang
profesional kepustakawanan dengan berbagai pihak terkait. Dengan demikian,
pustakawan atau tenaga pengelola perpustakaan sekolah harus memahami etika profesi
pustakawan tersebut serta memperhatikan berbagai perundang-udangan atau peraturan
terkait dengan penggunaan bahan perpustakaan sebagai sumber informasi secara umum
di perpustakaan.

Sehubungan dengan pentingnya etika profesi bagi pustakawan atau tenaga pengelola
perpustakaan sekolah sebagaimana disampaikan di atas, maka Perpustakaan Nasional RI
selaku instansi pembina berbagai jenis perpustakaan di Indonesia, menyusun kurikulum
atau silabus Diklat Pengelola Perpustakaan Sekolah yang salah satu mata ajar yang
diberikan dalam diklat tersebut adalah Etika Tenaga Perpustakaan Sekolah. Dengan
mempelajari bahan ajar ini diharapkan para petugas perpustakaan sekolah dalam
memberikan layanan informasi akan selalu mengedepankan etika profesi pustakawan
agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan mendapat kesulitan di kemudian hari.

1.2 Deskripsi Singkat


Bahan ajar ini ditujukan bagi peserta Diklat Pengelolaan Perpustakaan Sekolah yang
mencakup: pengertian; etika dan sumber moral; pustakawan sebagai profesi; asosiasi

2
profesi dan Kode Etik Pustakawan; hak kekayaan intelektual; pelanggaran terhadap hak
kekayaan intelektual di perpustakaan; dan menghormati privasi pemustaka.

1.3 Kompetensi Dasar


Setelah membaca bahan ajar ini peserta diklat mampu menjelaskan berbagai hal terkait
etika tenaga perpustakaan sekolah.

1.4 Indikator Keberhasilan


Setelah selesai mengikuti mata ajar Etika Tenaga Perpustakaan Sekolah ini diharapkan
peserta dapat menjelaskan:
a. berbagai istilah dan pengertian terkait etika tenaga perpustakaan sekolah;
b. asal-usul, jenis, pendekatan etika dan sumber moral;
c. pustakawan sebagai profesi;
d. asosiasi profesi dan Kode Etik Pustakawan;
e. hak kekayaan intelektual; pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual di
perpustakaan; dan
f. privasi pemustaka.

3
BAB II

ETIKA TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH

2.1 Pengertian
Pada Pasal 1, Bab I, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan,
yang dimaksud perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak,
dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka.
Mengacu pada pengertian di atas, maka perpustakaan perlu dikelola secara profesional,
dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi para pemustakanya, karena tujuan
didirikannya perpustakaan adalah untuk memberikan layanan kepada pemustaka,
meningkatkan kegemaran membaca serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan jenisnya, perpustakaan diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu:


perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan khusus, perpustakaan
perguruan tinggi dan perpustakaan sekolah. Kelima jenis perpustakaan ini memiliki fungsi
sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi untuk
meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Masing-masing jenis perpustakaan
memiliki penekanan fungsi yang berbeda-beda.

Pengertian perpustakaan sekolah (school library) menurut Dictionary for Library and
Information Science adalah: a library in a public or private elementary or secondary school
that serves the information needs of its students and the curriculum needs of its teachers
and staff, usually managed by a school librarian or media specialist. (Reitz, 2004). Jadi,
yang dimaksud perpustakaan sekolah itu meliputi perpustakaan yang berada mulai pada
sekolah dasar, menengah dan menengah atas, yang menyediakan informasi yang
dibutuhkan oleh murid dan guru serta para staf sekolah untuk mendukung pelaksanaan
kurikulum sekolah. Di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya school library ini
memiliki arti yang sama dengan pusat sumber daya pembelajaran (learning resources
center (LCR)) dan pusat media perpustakaan sekolah (school library media center).

Semua perpustakaan sekolah mengelola berbagai jenis dan format bahan perpustakaan.
Menurut Undang-Undang Perpustakaan, yang dimaksud dengan bahan perpustakaan
adalah semua hasil karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam. Akan tetapi, pada

4
umumnya yang menjadi koleksi perpustakaan sekolah adalah berupa buku, terbitan
berkala dan media pembelajaran lain yang cocok untuk setiap jenjang kelas yang ada di
sekolah tersebut. Hal ini sebagaimana Reizt (2004) uraikan bahwa a school library
collection usually containts books, periodicals, and educational media suitable for the
grade levels serves.

Apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan,


maka ketentuan perpustakaan sekolah/madrasah diatur pada Pasal 23, yaitu:

(1) Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar


nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan;

(2) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki koleksi buku teks
pelajaran yang ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan pendidikan yang
bersangkutan dalam jumlah yang mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan
pendidik;

(3) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan koleksi lain
yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan;

(4) Perpustakaan sekolah/madrasah melayani peserta didik pendidikan kesetaraan yang


dilaksanakan di lingkungan satuan pendidikan yang bersangkutan;

(5) Perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan layanan perpustakaan berbasais


teknologi informasi dan komunikasi;

(6) Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja di


luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.

Selanjutnya, perpustakaan yang baik adalah perpustakaan yang dikelola oleh tenaga
perpustakaan yang profesional. Tenaga perpustakaan menurut Undang-Undang
Perpustakaan, terdiri atas pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan. Pengertian
pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Sedangkan tenaga
teknis terdiri atas tenaga lainya yang mendukung penyelenggaraan perpustakaan, di
antaranya tenaga administrasi, keuangan, komputer dan termasuk asisten perpustakaan.

5
Perpustakaan sekolah, baik sekolah dasar, menengah maupun menengah atas
diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan pemustakanya, pemustaka adalah
pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat atau lembaga
yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan yang meliputi para siswanya, guru dan
staf adminsitrasi sekolah. Selain itu, perpustakaan sekolah dalam kegiatannya akan
berkaitan dengan masyarakat sekitar, yang mana menurut Undang-Undang Perpustakaan
yang dimaksud dengan masyarakat adalah setiap orang, kelompok orang, atau lembaga
yang berdomisili pada suatu wilayah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam
bidang perpustakaan.

Dalam rangka pengembangan profesinya, para tenaga perpustakaan sekolah juga harus
mengetahui bahkan dianjurkan untuk menjadi anggota organisasi profesi pustakawan.
Organisasi profesi adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan oleh
pustakawan untuk mengembangkan profesionalitas kepustakawan. Contohnya: Ikatan
Pustakawan Indonesia (IPI) di Indonesia, Congress of Southeast Asian Librarians
(CONSAL) di tingkat Asean, International Federation of Library Associations and
Institutions (IFLA) tingkat dunia ini berkedudukan di Den Haag, Belanda.

Asosiasi profesi tingkat nasional memiliki kewajiban untuk menyusun etika profesi.
Demikian pula IPI, organisasi ini menyusun etika profesi pustakawan yang dituangkan
dalam Kode Etik Pustakawan. Secara umum pengertian kode etik (code of ethics)
pustakawan berdasarkan kamus kepustakawanan adalah seperangkat standar yang
mengatur perilaku dan keputusan pustakawan, staf perpustakaan dan para profesional
informasi lainnya dalam pekerjaannya (a set of standards governing the conduct and
judgment of librarians, library staff and other information professionals in their work) (Reitz,
2004).

Terkait dengan tugas utama pustakawan, yaitu sebagai mengelola sejumlah bahan
pustaka dalam berbagai format, maka masalah hak kekayaan intelektual, yakni hak cipta
merupakan isu yang tak pernah berhenti diperbincangkan. Hak Cipta sebagaimana dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta disebutkan
bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

6
Terkait dengan hak cipta yang merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual
tersebut, pustakawan harus memiliki kepedulian terhadap maraknya plagiarisme yang
dilakukan para pemustakanya, yang mana pemustaka perpustakaan sekolah merupakan
salah satu cikal bakal menjadi anggota masyarakat ilmiah. Di masa depannya pemustaka
akan menjadi mahasiswa dan peneliti ilmiah. Dengan demikian, mereka perlu dikenalkan
pada etika terkait dengan akses dan penggunaan informasi yang berasal dari
perpustakaan. Di antaranya adalah dilarangnya melakukan plagiat, yaitu menyalin atau
meniru suatu karya seseorang dengan tanpa izin yaitu dengan tanpa membuat referensi
atau rujukan pada sumber utama informasi yang digunakannya (Copying or closely
imitating the work of another write, composer, etc. Without permission and with the
intention of passing the results off as original work. (Reitz, 2004).

Selain pustakawan perpustakaan sekolah harus memperkenalkan akan etika akses dan
penggunaan informasi di perpustakaan, juga pustakawan sendiri harus menghargai privasi
pemustakanya sebagai penerapan etika atau norma dalam melaksanakan profesi
pustakawan di perpustakaan. Privasi pemustaka dapat terkait dengan profil maupun data
atau informasi yang dicari dan diperlukan mereka kepada pihak lain, terkecuali informasi
tersebut dapat disampaikan kepada pihak tertentu apabila diperlukan sesuai ketentuan
hukum yang berlaku.

2.2 Etika dan Sumber Moral


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, etik berarti ‘kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak’; ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat’. Selanjutnya, kata etika diartikan sebagai ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Sedangkan, apabila mencermati asal usulnya, maka istilah “etika” berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu “ethos” dalam bentuk tunggal, yang dapat berarti tempat tinggal yang
biasa; padang rumput; kebiasaan, adat, akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir.
Dalam bentuk jamak (ta, etha) artinya adat kebiasaan. (Berten, 1993:4). Kata “etika”
tersebut oleh Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Sehingga “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan.
Istilah lain yang sering dipertukarkan dan berdekatan dengan etika adalah “moral”. Istilah
ini berasal dari bahasa Latin, yaitui kata mos (jamak mores) yang berarti juga kebiasaan,
adat. Oleh karena itu, etimologi kata “etika” sama dengan kata “moral” yang berarti adat

7
kebiasaan, hanya keduanya berbeda dari bahasa asalnya, yaitu Yunani untuk kata “etika”
dan dari bahasa Latin untuk kata “moral”.

Menurut Berten, menjunjung moralitas merupakan salah satu ciri manusia dan hal
tersebutlah yang membedakannya dengan binatang. Etika merupakan ilmu tentang
moralitas dan termasuk filsafat. Etika dikenal sebagai salah satu cabang filsafat tertua
yang dapat didefinisikan sebagai suatu refleksi kritis, metodologis dan sistematis tentang
tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma. (Berten, 1994: 24).

Terdapat tiga pendekatan untuk mempelajari etika sebagai ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia, yaitu:

2.2.1 Etika deskiptif


Etika deskriptif melukiskan etika moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan,
anggapan-anggapan tentang baik dan buruk termasuk tindakan-tindakan yang
diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu tertentu,
dalam suatu periode sejarah. Ditekankan di sini bahwa etika deskriptif hanya melukiskan,
tidak memberi penilaian. Berlainan dengan etika normatif yang merupakan bagian paling
terpenting dari etika dan masalah moral yang mana pada etika normatif seorang ilmuwan
tidak hanya melukiskan apa adanya dengan bersikap netral, akan tetapi memberikan
penilaian tentang perilaku manusia. Penilai disandarkan atas dasar norma-norma,
sehingga etika normatif ini meninggalkan sikap netral karena mendasarkan pendirian
terhadap norma benar atau salah yang berlaku.

2.2.2 Etika normatif


Etika normatif yang berusaha memberikan penilaian terhadap suatu perilaku manusia
terbagi atas:
a. Etika umum, yaitu yang memandang tema-tema umum, dan
b. Etika khusus yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis umum atas wilayah
perilaku manusia yang khusus.
Dalam konteks logika, etika khusus yaitu premis normatif dikaitkan dengan premis faktual
untuk dapat pada kesimpulan etis yang bersifat normatif juga. Etika khusus disebut juga
etika terapan (applied ethics).

8
2.2.3 Metaetika. (Berten, 1994: 15).
Istilah metaetika memiliki awalan meta- (dari bahasa Yunani) mempunyai arti “melebihi”,
“melampaui”. Metaetika berada pada tingkat lebih tinggi dari perilaku etis, yaitu taraf
“bahasa etis” atau bahasa yang dipergunakan di bidang moral. Metaetika mempelajari
logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Bahasa etika memiliki ciri tertentu yang tidak
dimiliki oleh kalimat lain. Ia mengarahkan perhatiannya pada arti khusus dari bahasa etika.
Contohnya kata “baik”, “nilai”, “norma”, “hak” “kewajiban”, “keadilan”. Terkait dengan
metaetis, filsuf Inggris George Moore (1873-1858) sebagai pelopor filsafat analitis, yang
menganggap analisis bahasa sebagai satu-satunya tugasnya. Dengan alasan perkaitan
dengan filsafat analitis maka metaetika kadang disebut “etika analitis”.

Masalah yang dibicarakan pada metaetika adalah the is/ought question, yang
dipersoalkan apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Yakni apabila
sesuatu ada atau merupakan kenyataan (is: faktual), apakah dari hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif). Dalam istilah
logika, apakah dari dua premis deskriptif dapat ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Kalau
satu premis preskriptif dan premis lain adalah deskriptif, kesimpulannya adalah preskriptif.
Berten (1994) memberikan contoh:
a. Setiap manusia harus menghormati orang tuanya (premis deskriptif)
b. Lelaki itu adalah orang tua saya (premis deskriptif)
c. Jadi, lelaki ini harus saya hormati (kesimpulan preskriptif)

Akan tetapi, ternyata tidak semua dua premis deskriptif menghasilkan premis preskriptif.
Ternyata, kesimpuan preskriptif hanya dapat ditarik apabila sekurang-kurangnya dari
premisnya sebagian mengandung preskriptif juga.

Antara etika normatif dan metaetis terkadang tidak dapat selalu dipisahkan. Contohnya,
ketika membicarakan bahasa etis, maka akan terkait juga dengan perilaku etis. yang
mana di dalamnya mulai menilai tentang perilaku tersebut. Sambil mempelajari ucapan-
ucapan etis, dengan hampir tidak disadari mulai menilai apa yang dibicarakan tersebut.
Begitu juga sebaliknya, ketika berbicara tentang perilaku moral, dengan sendirinya
merefleksikan tentang istilah-istilah dan bahasa yang dapat dipakai.

Selain pengklasifikasian di atas, juga dalam studi tentang moralitas dapat dibedakan
melalui pendekatan non-filosofis dan pendekatan filosofis. Pendekatan non-filosofis adalah
etika deskriptif, sedangkan pendekatan filosofis dapat etika normatif dan juga sebagai

9
metaetika atau etika analitis. Akan tetapi, berdasarkan sudut pandang lain, etika dapat
dibagi ke dalam pendekatan normatif dan non-normatif. Pada pendekatan normatif peneliti
mengambil posisi (standpoint) moral. Ini terjadi pada etika normatif, yaitu etika umum dan
khusus. Sedangkan pendekatan non-normatif peneliti bersikap netral terhadap posisi
moral, ini terjadi pada etika deskriptif dan metaetika.

Berbicara tentang etik, tidak akan terlepas dari pembahasan sumber nilai dan norma.
Terdapat beberapa hal yang menjadi sumber nilai dan moral, di antaranya adalah agama
sebagai sumber nilai dan moral terpenting. Hubungan antara moral dan agama sangat
erat karena motivasi terpenting dan kuat bagi perilaku moral adalah agama. Agama
mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.
Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa. Sedangkan dari sudut filsafat moral,
kesalahan moral adalah pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi.

Selain agama, juga kebudayaan dan nasionalisme merupakan sumber nilai dan norma
yang banyak diacu. Bahkan kedaerahan berpengaruh juga, karena apabila seseorang
berpindah daerah, apalagi dari daerah yang masih tradisional pindah ke kota besar yang
modern akan dapat terjadi cultural shock yang dikarenakan perbedaan nilai dan norma
yang berlaku dan tumbuh pada masyarakat daerah tersebut.

Selanjutnya, dampak dari era teknologi informasi dan komunikasi mendorong


terbentuknya pluralisme moral. Hal ini sebagai akibat dari adanya berbagai kemudahan
masyarakat bermobilitas tinggi. Selain itu, berkembangnya komputer dan tumbuhnya
jaringan internet yang memudahkan berkomunikasi tanpa batas, telah menjadikan dunia
semakin terasa sempit sehingga globalisasi dan akulturasi berkembang cepat. Sehinggga
masalah etis dari dampat kemajuan ilmu pengetahuan pun muncul tatkala penerapan ilmu
pengetahuan tidak memperdulikan etika. Contohnya pada kemajuan biomedis dan
teknologi informasi dan komunikasi yang mengakibatkan perlunya kepedualian moral
bersama. Dengan demikian, peranan etika pada masyarakat modern seperti saat ini
menjadi sangat penting karena adanya perkembangan teknologi di segala bidang
tersebut.

Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan agama, juga terdapat hubungan
yang erat antara moral dan hukum, karena hukum membutuhkan moral. Tanpa moralitas,
hukum kosong, ‘Quid leges sine moribus?’ Dari pepatah kekaisaran Roma yag berarti ‘Apa
artinya undang-undang tidak disertai moralitas?’. Demikian juga sebaliknya, moral akan

10
dipatuhi apabila didukung dengan formalitas hukum, akan tetapi perlu ditekankan bahwa
moral berbeda dengan hukum. Perbedaan tersebut, di antaranya:
a. Hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas. Sehingga yuridis mempunyai kepastian
lebih besar dan objektif daripada normatif yang lebih bersifat subjektif dan tidak pasti;
b. Hukum mengatur tingkah laku manusia yang bersifat lahiriah sedangkan moral
menyangkut juga sikap batin sesorang;
c. Sanksi hukum lebih dapat dipaksakan dibanding dengan sanksi atas pelanggaran
moral.
d. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan negara, sedangkan norma
didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi individu dan masyarakat, selain
itu,
e. moral dapat menilai hukum akan tetapi sebaliknya tidak.

2.3 Pustakawan sebagai Profesi


Istilah “profesi” mempunyai arti kata “pekerjaan” atau sebutan sebuah pekerjaan. Dari
kata “profesi” dikenal istilah “profesional” yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan atau
merupakan bagian dari profesi.
Menurut Francis Bacon, yang dimaksud dengan tenaga profesional adalah tenaga yang
telah menjual teknik intelektual dan isi intelektual khusus. Lebih jelas menurut Sulistyo-
Basuki (1991), pakar ilmu Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi (Perpusdokinfo),
profesi adalah “pekerjaan yang merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan
pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari teori dan bukan saja dari
praktik, dan diuji dalam bentuk ujian dari sebuah universitas atau lembaga yang
berwenang, serta memberikan hak pada orang yang bersangkutan untuk berhubungan
dengan nasabah (client)”.

Suatu pekerjaan dapat disebut suatu profesi apabila memenuhi kriteria atau ciri berikut :
a. Adanya sebuah asosiasi atau organisasi profesi;
b. Terdapat pola pendidikan profesi yang jelas;
c. Adanya kode etik;
d. Berorientasi pada jasa;
e. Adanya tingkat kemandirian/otonomi.

Dengan demikian, salah satu ciri suatu profesi adalah adanya kepemilikan
organisasi/asosiasi profesi. Suatu organisasi profesi diperlukan sebagai salah satu motor

11
penggerak bagi pengembangan profesionalisme para anggotanya, juga yang dapat
mewakili kepentingan profesi dan status profesinya (Yusalina, 1998). Adapaun tujuan
pendirian suatu organisasi profesi adalah untuk melindungi, memperjuangkan hak dan
kewajiban para anggotanya, terutama dalam hubungannya dengan pemberian jasa dan
imbalan profesionalismenya terhadap para nasabah/kliennya.

Di kalangan insan perpustakaan dan kepustakawanan, asosiasi profesi pustakawan


merupakan organisasi profesional yang dibentuk untuk menggalang para pustakawan dan
lembaga perpustakaan, dokumentasi dan informasi dalam suatu wadah yang dapat
melindungi, memperjuangkan, meningkatkan dan mengembangkan profesionalismenya.
Dalam hal ini, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) merupakan organisasi atau asosiasi
profesi para pustakawan di Indonesia. Lembaga ini merupakan wadah yang dibentuk
dengan tujuan untuk:
1) Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia.
2) Mengembangkan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi.
3) Mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk bangsa dan
Negara RI.

IPI lahir melalui proses yang cukup panjang, namun dengan singkat rangkaian sejarah
tentang mulai atau cikal bakal hingga terbentuknya IPI sebagai berikut:

a) Organisasi profesi Pustakawan yang pertama berdiri tahun 1916 dengan nama
Vereeniging tot Bevordering van het Bibliothekwezen.
b) Kemudian disusul dengan berdirinya Perkumpulan Pegawai Perpustakaan pada tahun
1953.
c) Selanjutnya berdirilah Asosiasi Perpustakaan Indonesia (API) pada tahun 1953.
d) Kemudian disusul menjadi Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia
(PAPSI) pada tahun 1954.
e) Setelah kongres pertama PAPSI, lahirlah Perhimpunan Ahli Perpustakaan, Arsip dan
Dokumentasi Indonesia (PAPADI) pada tahun 1956.
f) Selanjutnya didirikan Asosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia
(APADI) pada tahun 1962.
g) Pada tahun 1969 didirikan Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI)
h) Berdasarkan hasil kongres pustakawan seluruh Indonesia yang diselenggarakan pada
tanggal 5-7 Juli 1973 di Ciawi, Bogor, didirikanlah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI)
yang merupakan fusi dari APADI dan HPCI.

12
Salah satu tugas dan fungsi organisasi profesi, termasuk IPI adalah mengatur hak,
kewajiban dan sanksi profesionalisme para anggotanya terhadap diri sendiri, rekan
sejawat, bangsa dan negara yang dituangkan dalam Kode Etik Pustakawan.

2.4 Asosiasi Profesi dan Kode Etik Pustakawan


Sebagaimana disampaikan di atas, pustakawan adalah seorang pekerja profesional
karena yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki pengetahuan
dan keterampilan bidang khusus yaitu perpustakaan serta sikap kerja yang mendukung
profesional kepustakawanan. Sedangkan kewajiban seorang pustakawan adalah:
a. Memberikan layanan prima terhadap pemustaka,
b. Menciptakan suasana perpustakaan yang kondusif, dan
c. Memberikan keteladanan dan menjaga nama baik lembaga dan kedudukannya sesuai
dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan Undang-undang Perpustakaan pada Pasal
32. Selanjutnya, para pustakawan profesional ini perlu membentuk suatu organisasi
profesi, sebagaimana tertuang pada Pasal 34, yaitu:
(1) Pustakawan membentuk organisasi profesi
(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan
dan memberi perlindungan profesi kepada pustakawan.
(3) Setiap pustakawan menjadi anggota organisasi profesi.
(4) Pembinaan dan pengembangan organisasi profesi pustakawan difasilitasi oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Sedangkan, kewenangan yang dimiliki organisasi profesi pustakawan tertuang pada


Pasal 35 Undang-undang no 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, yaitu::
a. Menetapkan dan melaksanakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
b. Menetapkan dan menegakkan Kode Etik Pustakawan;
c. Memberi perlindungan hukum kepada pustakawan, dan
d. Menjalin kerja sama dengan asosiasi pustakawan pada tingkat daerah, nasional dan
internasional.
Isi kode etik sebagai produk IPI sebagai asosiasi pustakawan yang diakui keberadaannya
secara nasional, diatur pada Pasal 36 sebagai berikut:

13
(1) Kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b berupa norma atau ukuran
yang harus dipatuhi oleh setiap pustakawan untuk menjaga kehormatan, martabat,
citra dan profesionalitas.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat secara spesifik sanksi
pelanggaran kode etik dan mekanisme penegakkan kode etik.

Tentang penegakan Kode Etik Pustakawan ditegaskan pada Pasal 37, yakni:
(1) Penegakan kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dilaksanakan
oleh Majelis Kehormatan Pustakawan yang dibentuk oleh organisasi profesi;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi profesi pustakawan diatur dalam
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Dengan demikian, semua asosiasi profesi pustakawan suatu negara memiliki Kode Etik
Pustakawan bagi pustakawan di negaranya. Contohnya kode etik yang dikeluarkan
American Library Association (ALA). Kode etik ini berisi standar yang mengatur tentang
kesamaan atau keadilan akses, kebebasan intelektual, kerahasiaan, menghargai hak
kekayaan intelektual, keakuratan, integritas, sikap tidak memihak, sopan santun dan
menghargai kolega juga para pemustaka. Hal ini sebagaimana dapat dicermati dari
pernyataan beriktu: “The ALA Code of Ethics sets standards for equitable access,
intellectual freedom, confidentiality, respect for intellectual property rights, exellence,
accuracy, integrity, impartiality, courtesy, and respect for collegues and library patron”.
(Reitz, 20004).

Hampir serupa dengan kode etik profesi lainnya, kode etik yang diterbitkan IPI juga
mencakup etika yang mengatur para profesional yang menjadi anggota asosiasinya yaitu
pustakawan selama berhubungan dengan lembaga penaungnya, sesama rekan sejawat
atau kolega, pemustaka sebagai nasabah dan masyarakat serta bangsa.

Kode Etik Pustakawan Indonesia terdiri atas empat bab, yang meliputi 12 pasal. Pada
mukadimahnya ditekankan bahwa perpustakaan sebagai suatu pranata diciptakan dan
diadakan untuk kepentingan masyarakat, sehingga siapapun yang berpotensi sebagai
pustakawan diharapkan memahami tugas untuk memenuhi standar etika dalam
hubungannya dengan perpustakaan sebagai suatu lembaga, pemustaka, rekan
pustakawan, antar-profesi dan masyarakat pada umumnya.

14
Pada ketentuan umum dalam kode etik tersebut, menekankan bahwa Kode Etik
Pustakawan Indonesia merupakan aturan tertulis yang harus diikuti oleh setiap
Pustakawan dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pustakawan. Selanjutnya, etika
profesi pustakawan yang menjadi landasan moral yang perlu dijunjung tinggi, diamalkan
dan diamankan oleh setiap pustakawan. Pada kode etik ini pun dijelaskan berbagai
ketentuan yang mengatur pustakawan dalam melaksanakan tugasnya, yaitu kepada diri
sendiri, sesama pustakawan, pengguna, masyarakat dan negara.

Adapun tujuan diterbitkannya kode etik profesi pustakawan, yaitu untuk:


1) Membina dan membentuk karakter pustakawan;
2) Mengawasi tingkah laku pustakawan dan sarana kontrol sosial;
3) Mencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antarsesama anggota dan antara
anggota dengan masyarakat;
4) Menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada perpustakaan dan mengangkat citra
pustakawan.

Terdapat enam sikap dasar pustakawan sebagai pegangan tingkah laku yang harus
dijadikan acuan, yaitu:
1) Berupaya melaksanakan tugas sesuai dengan harapan masyarakat pada umumya
dan kebutuhan pengguna perpustakaan pada khususnya;
2) Berupaya mempertahankan keunggulan kompetensi setinggi mungkin dan
berkewajiban mengikuti perkembangan;
3) Berupaya membedakan antara pandangan atau sikap hidup pribadi dan tugas profesi;
4) Menjamin bahwa tindakan dan keputusannya, berdasarkan pertimbangan profesional;
5) Tidak menyalahgunakan posisinya dengan mengambil keuntungan kecuali atas jasa
profesi;
6) Bersifat sopan dan bijaksana dalam melayani masyarakat, baik dalam ucapan
maupun perbuatan.

Standar aturan dalam etika hubungan dengan pemustaka sebagai klien diuraikan sebagai
berikut:
1) Pustakawan menjunjung tinggi hak perseorangan atas informasi. Pustakawan
menyediakan akses tak terbatas, adil tanpa memandang ras, agama, sosial, ekonomi,
politik, gender, kecuali ditentukan oleh perundang-undangan;
2) Pustakawan tidak bertanggung jawab atas konsekuensi penggunaan informasi yang
dicari;

15
3) Pustakawan mengakui dan menghormati hak milik intelektual.

Sedangkan etika yang mengatur hubungan dengan rekan sejawat/kolega atau sesama
pustakawan adalah:
1) Pustakawan berusaha mencapai keunggulan dalam profesinya dengan cara
memelihara dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan;
2) Pustakawan bekerja sama dengan pustakawan lain dalam upaya mengembangkan
kompetensi profesional pustakawan, baik sebagai perseorangan maupun sebagai
kelompok;
3) Pustakawan memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara
sesama rekan;
4) Pustakawan memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap Korps
Pustakawan secara wajar;
5) Pustakawan menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di luar
kedinasan.

Selanjutnya hubungan dengan perpustakaan sebagai institusi atau lembaga tempat


pustakawan bekerja dirinci sebagai berikut:
1) Pustakawan ikut aktif dalam perumusan kebijakan menyangkut kegiatan jasa
kepustakawanan;
2) Pustakawan bertanggung jawab terhadap pengembangan perpustakaan;
3) Pustakawan berupaya membantu dan mengembangkan pemahaman serta kerja sama
semua jenis perpustakaan.

Selanjutnya, hubungan pustakawan dengan organisasi profesi itu sendiri ditekankan


bahwa pustakawan harus:
1) Membayar iuran keanggotaan secara disiplin
2) Mengikuti kegiatan organisasi sesuai kemampuan dengan penuh tanggung jawab;
3) Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi.

Hubungan pustakawan dengan masyarakat juga diatur sebagai berikut:


1) Pustakawan bekerja sama dengan anggota komunitas dan organisasi yang sesuai
berupaya meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan serta komunitas yang
dilayaninya;
2) Pustakawan berupaya memberikan sumbangan dalam pengembangan kebudayaan di
masyarakat.

16
Kode Etik Pustakawan selain mengatur etika tentang hubungan pustakawan dengan
berbagai pihak di atas, juga diatur tentang sanksi terhadap adanya pelanggaran Kode Etik
Pustakawan. Yakni, apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan
sanksi yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Pustakawan Indonesia. Dewan ini
ditetapkan oleh Pengurus Pusat IPI. Semua ini sebagaimana diatur pada Undang-Undang
Perpustakaan pada Pasal 36 dan 37 sebagaimana telah diuraikan di atas.

Sedangkan, aturan yang terkait dengan pengawasan, pelanggaran dan sanksi terhadap
pelaksanaan etika profesi pustakawan adalah:
1) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi pustakawan dilakukan oleh Ikatan
Pustakawan Indonesia;
2) Dewan Kehormatan Pustakaan Indonesia memeriksa dan memberikan pertimbangan
sanksi atas pelanggaran kode etik profesi pustakawan;
3) Keputusan Pengurus Pusat IPI berdasarkan ayat di atas tidak menghilangkan sanksi
pidana bagi yang bersangkutan.

Akhirnya, Kode Etik Pustakawan ditutup dengan pasal ketentuan lain, yaitu ketentuan
tentang tata cara memeriksa dan pemberian pertimbangan sanksi pelanggaran Kode Etik
Pustakawan itu diatur lebih lanjut oleh Dewan Kehormatan Pustakawan Indonesia. Selain
itu ditekankan bahwa kode eitk pustakawan mengikat semua anggota Ikatan Pustakawan
Indonesia dengan tujuan mengendalikan perilaku profesional dalam uapaya meningkatkan
citra pustakawan.

Materi Kode Etik Pustakawan di atas, berlaku untuk semua pustakawan di berbagai jenis
perpustakaan, termasuk para pustakawan atau tenaga pengelola perpustakaan sekolah.
Yang bersangkutan perlu mematuhi kode etik profesi pustakawan yang merupakan produk
dari IPI. Akan tetapi yang membedakan antara pustakawan dari berbagai jenis
perpustakaan adalah tentang objek interaksi atau hubungan etika itu sendiri, yaitu, untuk
pustakawan perpustakaan sekolah yang dimaksud dengan hubungan perpustakaan
adalah hubungan pustakawan dengan perpustakaan sekolah khususnya dan institusi
sekolah yang menaunginya. Hubungan dengan pemustaka, dalam hal ini adalah
hubungan pustakawan dengan para murid, guru dan staf adminitrasi serta tenaga teknis
lainnya di sekolah tersebut. Sedangkan hubungan dengan sesama rekan sejawat, yaitu
hubungan kerja sama yang baik dengan para sejawat, baik yang ada di unit kerja yang
sama maupun dengan para pustakawan yang ada di luar institusi dan untuk
pertanggungjawaban atas hubungan dengan organisasi profesi dan masyarakat, tentunya

17
bagi semua pustakawan di berbagai jenis perpustakaan akan diberlakukan sama, yaitu;
membayar iuran wajib, mengikuti etika profesi, memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam kongres dan kegiatan IPI lainnya.

2.5 Hak Kekayaan Intelektual


Guna mempermudah pemahaman hak kekayaan intelektual, dapat dicermati melalui dua
definisi berikut yang saling melengkapi, yaitu:

A product of the intellect that has commercial value, including copyrighted property such
as literary or artistic works, and ideational property, such as patents, appellations of origin,
business methods, and industrial processes.

The ownership of ideas and control over the tangible or virtual representation of those
ideas. Use of another person’s intellectual property may or may not involve royalty
payments or permission, but should always include proper credit to the source.(Gantz,
2005).

Berdasarkan definisi di atas, maka yang dapat dikenai hak kekayaan intelektual itu adalah
produk hasil pemikiran atau intelek yang memiliki nilai jual dan apabila orang lain akan
menggunakannya harus meminta izin pemilik hak tersebut, yaitu dengan membayar royalti
atau hanya dengan mencantumkan sumber kepemilikan karya tersebut.

Mencermati terhadap tugas dan fungsi perpustakaan, hak kekayaan intelektual akan
sangat berhubungan dengan sumber daya perpustakaan. Sumber daya perpustakaan
meliputi semua tenaga, sarana dan prasarana serta dana yang dimiliki dan/atau dikuasai
oleh perpustakaan. Yang termasuk sumber daya utama di perpustakaan, selain sumber
daya manusia juga keberadaan dan kelengkapan koleksi perpustakaan, yang berupa
berbagai jenis dan format. Koleksi perpustakaan dapat berupa semua hasil karya tulis,
karya cetak, dan/atau karya rekam.

Pendayagunaan koleksi perpustakaan dan layanan informasi di perpustakaan sering


terjadi berbenturan dengan pelanggaran hak kekayaan intelektual. Berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yang merupakan
menggantikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun1982 tentang Hak Cipta sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997, yang termasuk hak kekayaan intelektual adalah:
hak cipta (copyright) dan Hak kekayaan industri (industrial property rights).

18
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak yang timbul dari hasil olah pikir otak yang
menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI
adalah hak untuk meikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek
yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan
intelektual manusia.

Hak kekayaan intelektual memiliki dua cabang, yaitu:


2.5.1 Hak Cipta (Copyright)
Hak cipta dan hak terkait, yang meliputi karya ilmu pengetahuan, seni atau sastra

Hak cipta (copyright) adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam
Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak–hak Asasi manusia) dan
UN International Covenants (Perjanjian Internasional PBB) dan juga hak hukum yang
sangat penting yang melindungi karya budaya. (Hozumi, 2006 : 2). Pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dijelaskan bahwa Hak Cipta
merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Undang-Undang Hak Cipta Indonesia didasarkan pada latar belakang bahwa Indonesia
adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta
kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang
memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari
keanekaragaman tersebut. Selain itu, didasarkan bahwa Indonesia telah menjadi anggota
berbagai konvensi/perjanjian internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada
umumnya dan Hak Cipta pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut
dalam sistem hukum nasionalnya. Juga disebabkan bahwa perkembangan di bidang
perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan
peningkatan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait dengan tetap
memperhatikan kepentingan masyarakat luas.

Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak
terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak

19
dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait
telah dialihkan.

Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi,
kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan
bersifat pribadi. Sedangkan ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.

Mengacu pada kamus kepustakawanan, hak cipta merupakan hak legal ekslusif yang
diakui pemerintah (the exlusive legal rights granted by a government) untuk seorang
pengarang, editor, penyusun atau pengumpul (compiler), komposer (composer), hak
memainkan (play rights), penerbit (publisher), atau distributor (distributor) untuk
menerbitkan (publish), memproduksi (produce), menjual (produce), atau mendistribusikan
salinan dari bahan bacaan (distribute copies of a literary), musik, drama, bernilai seni atau
karya lainnya, dalam batasan tertentu baik untuk mengggunakan yang wajar (fair use) dan
menjual pertama (first sale).

Pemegang hak cipta (copyright holder) adalah seseorang atau sekumpulan orang (the
person(s)) atau badan korporasi (corporate body) memiliki jaminan hak hukum eksklusif
oleh pemerintah untuk menerbitkan, memproduksi, menjual atau mendistribusikan salinan
tentang bahan bacaan, musik, drama, karya seni atau karya lain, dengan pembatasan
tertentu atau sedikit digunakan, biasanya pengarang, editor, kompiler, komposer, hak
memainkan, penerbit, atau distributor.

Terkait dengan karya seni di atas adalah adanya pemilik hak memainkan (play rights) atau
pelaku yaitu aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan,
memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan,
atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.

Undang-undang hak cipta juga mengatur hak untuk menyediakan karya turunannya
(derivative works), mereproduksi suatu karya atau bagian darinya (portions of it) dan
memamerkan atau mementaskannya di depan publik (display or perform a work in public).
Hak Cipta yang dimiliki oleh pencipta, yang setelah penciptanya meninggal dunia, menjadi
milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan hak cipta tersebut tidak dapat disita,
kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum. Sedangkan hak cipta yang tidak

20
atau belum diumumkan yang setelah penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli
warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika
hak itu diperoleh secara melawan hukum.

Hak cipta itu sendiri dianggap sebagai benda bergerak yang dapat beralih atau dialihkan,
baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis; atau
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, hak ini dapat ditransfer (transfered) atau dijual kepada yang lain (sold to
others) dan tidak perlu melalui pemilik (ownership) karya itu sendiri. Hak cipta melindungi
suatu karya dalam bentuk spesifik (a work in the specific form) yang diciptakannya bukan
ide (the idea), tema (theme) atau (concept) yang diekspresikan di pekerjaan, yang penulis
lainnya bebas untuk menginterpretasikan dalam cara yang berbeda (free to interpret in a
different way). Suatu karya yang tidak pernah terhak-cipta (copyrighted) atau lama
terlindungi oleh hak cipta disebut menjadi area publik (public domain).

Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau


penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet,
atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar,
atau dilihat orang lain. Akan tetapi, pengumuman/maklumat hak cipta (copyright notice)
tentang suatu karangan atau suatu karya literasi adalah suatu pemberitahuan resmi (a
formal announcement) tentang status hukum yang muncul dengan jelas (appearing
conspicuously) pada setiap salinan dari suatu karya yang dilindungi oleh hak cipta (on all
copies of a work protected by copyright), diterbitkan oleh yang diberi otoritas pemilik hak
cipta (authority of the copyright owner).

Pengumuman hak cipta (notice of copyright) muncul pada balik belakang halaman judul
(on the verso of the title page of a book) dalam bentuk huruf “c” kecil di dalam lingkaran,
singkatan “Copr.,” atau kata “copyright, dan frase “all rights reserved.” Berarti semua
dilindungi hak cipta, terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1) Adanya simbol “c” kecil di dalam lingkaran (the symbol “c” inside a small circle @) dan
singkatan Corp (the abbreviation Corp.) atau kata copyright, yang diikuti oleh,

21
2) Tahun publikasi (year of publication) dan
3) Nama pemegang hak cipta (name of copyright holder)
Semua itu dalam buku cetak, yang muncul pada balik halam judul (on the verso of the title
page).

Dengan demikian, halaman hak cipta (copyright page) adalah halaman pada buku,
biasanya berada pada edisi di balik halam judul, tercantum pengumuman resmi tentang
hak cipta (official notice of copyright), biasanya dengan simbol c (“c” inside a small circle)
atau singkatan kata dari copyrights (the word Copyright or its abbreviation (Corp)) diikuti
tahun pertama publikasi dan mana pemegang hak cipta.

Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda
budaya nasional lainnya. Negara juga memegang hak cipta atas folklor dan hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda,
babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Selain
itu, Jika suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan,
Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
Namun, jika suatu ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya atau pada
ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran penciptanya, penerbit memegang hak cipta
atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. juga, jika suatu ciptaan telah
diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau penerbitnya, Negara memegang
hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.

Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra,
yang mencakup:
a) buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
dan semua hasil karya tulis lain;
b) ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d) lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e) drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni
pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g) arsitektur;
h) peta;
i) seni batik;

22
j) fotografi;
k) sinematografi;
l) terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
m) pengalihwujudan.

Tidak ada hak cipta atas:


a) hasil rapat terbuka lembaga-lembaga negara;
b) peraturan perundang-undangan;
c) pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah;
d) putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e) keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:


a) Pengumuman dan/atau perbanyakan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut
b) sifatnya yang asli;
c) Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau
diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali apabila hak cipta itu dinyatakan
dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan
pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
d) Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita,
lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan
sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap
sebagai pelanggaran hak cipta:
a) penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
b) pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan
pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;
c) pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
d) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.
e) perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf
Braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;

23
f) perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara
atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu
pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-
mata untuk keperluan aktivitasnya;
g) perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya
arsitektur, seperti ciptaan bangunan;
h) pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer
yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta, untuk kepentingan


pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap
ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra dapat:
a. mewajibkan pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan
dan/atau perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam
waktu yang ditentukan;
b. mewajibkan pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada
pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak ciptaan tersebut di wilayah
Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal pemegang Hak
Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan ciptaan
tersebut dalam hal pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam huruf b.

Dengan demikian, hak atas ciptaan dapat dikelompokkan ke dalam kategor berikut:
1) Hak perbanyakan (right of reproduction);
2) Hak mempertunjukkan (right of performance);
3) Hak menyajikan (right of presentation);
4) Hak menyebarkan (right of public transmission);
5) Hak menuturkan (right of recitation);
6) Hak memamerkan (right of exhibition);
7) Hak distribusi, mengalihkan hak milik dan meminjamkan (right of distribution, transfer
of ownership and lending);
8) Hak menerjemahkan, mengaransemen, mentransformasi dan mengadaptasi (right of
translation, arrangement, transformation and adaptation);

24
9) Hak mengeksploitasi ciptaan tutunan (right in the exploitation of a derivative work).

Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud dilaksanakan setelah lewat


jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan
sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud, dilaksanakan setelah
lewat jangka waktu:

a) 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan
alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b) 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum
pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c) 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu
belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.

Penerjemahan atau perbanyakan sebagaimana dimaksud hanya dapat digunakan untuk


pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke
wilayah negara lain. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud disertai pemberian
imbalan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan tentang tata
cara pengajuan permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak
sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut pemegang hak cipta supaya nama pencipta
tetap dicantumkan dalam ciptaannya. Selain itu, suatu ciptaan tidak boleh diubah
walaupun hak ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan
pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal
dunia. Ketentuan berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul ciptaan,
pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran pencipta. Akan tetapi, pencipta
tetap berhak mengadakan perubahan pada ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam
masyarakat.

Masa berlaku hak cipta adalah:


(1) Hak cipta atas ciptaan:
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;
b. drama atau drama musikal, tari, koreografi;
c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;

25
d. seni batik;
e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
f. arsitektur;
g. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain;
h. alat peraga;
i. peta;
j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai
berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun
setelah pencipta meninggal dunia.

Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih,
hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan
berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.

(2) Hak Cipta atas ciptaan:


a. program komputer;
b. sinematografi;
c. fotografi;
d. database; dan
e. karya hasil pengalihwujudan,
berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.

Hak cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh)
tahun sejak pertama kali diterbitkan. Juga Hak cipta atas ciptaan yang dimiliki atau
dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama
kali diumumkan.

Hak cipta atas ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara berdasarkan berlaku
tanpa batas waktu atau 50 (lima puluh) tahun sejak ciptaan pertama kali diketahui umum.
Atau hak cipta atas ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berlaku selama 50 (lima
puluh) tahun sejak ciptaan tersebut pertama kali diterbitkan.

Waktu berlakunya hak cipta (copyright date) yaitu tahun dimana suatu karya spesifik
dijamin (was granted) hak cipta, biasanya tercetak pada balik halaman judul (printed on
the verso of the title page), terkadang diikuti huruf “c” yang dilingkari. Jika terdapat lebih
dari satu tahun hak cipta diberikan pada yang paling awal dalam tahun edisi pertama (the
earliest in the date of the first edition), yang sama dengan tahun publikasi pertama (same

26
as the date of first publication). Tahun berikutnya menunjukkan adanya revisi dalam teks
tentang tuntutan perpanjangan hak cipta (an extent requiring renewal of copyright).

Tempat penyimpanan hak cipta (copyright depository) adalah suatu perpustakaan yang
ditunjut secara hukum (designated by law) atau biasa menerima dan menyediakan
(custom to receive and preserve) sejumlah tertentu dari salinan deposit bebas (free
deposit copies) dari karya yang dipublikasikan menurut undang-undang hak cipta (under
national copyrights law). Di Amerika Serikat penyimpanan hak cipta (the copyright
depository) adalah the U.S. Copyright Office di the Library of Congress. Sedangkan di
inggris adalah oleh the Bodleian Library. Di Kanada hak cipta dicatat oleh the Canadian
Intellectual Property Office (CIPO). Sedangkan di Indonesia, Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual pada kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia
menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan. Selain itu, dicatat dalam daftar umum ciptaan.
Daftar umum ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Setiap
orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari daftar umum ciptaan
tersebut dengan dikenai biaya.

Berbeda dengan di Indonesia, secara umum, biaya diperlukan oleh penyimpan hak cipta
nasional (a national copyright depository) di Amerika untuk keperluan biaya meregistrasi
hak cipta tentang karya kreatif, yang harus disampaikan dengan formulir aplikasi yang
lengkap dan suatu salinan deposit. Termasuk biaya yang harus dibayar tentang suatu
karya dalam suatu cara tidak ditetapkan menurut undang-undang hak cipta, contoh hak
yang mencakup puisi (poem) atau cerita pendek (short story) dalam suatu bunga rampai
(anthology) atau petikan (excerpt) atau kutipan (quotation) dalam karya terbitan.

Di Indonesia, pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan dilakukan atas permohonan
yang diajukan oleh pencipta atau oleh pemegang hak cipta atau Kuasa. Permohonan
diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan surat rangkap 2
(dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh ciptaan atau penggantinya
dengan dikenai biaya.

Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan


Intelektual akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak
tanggal diterimanya permohonan secara lengkap. Kuasa sebagaimana dimaksud adalah
konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.

27
Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:
a) nama pencipta dan pemegang hak cipta;
b) tanggal penerimaan surat Permohonan;
c) tanggal lengkapnya persyaratan; dan
d) nomor pendaftaran ciptaan.

Penyelenggaraan administrasi hak cipta sebagaimana diatur dalam Undang-undang


dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal. Direktorat Jenderal menyelenggarakan sistem
jaringan dokumentasi dan informasi hak cipta yang bersifat nasional, yang mampu
menyediakan informasi tentang hak cipta seluas mungkin kepada masyarakat.

Penyerahan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak
Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:
a) meniadakan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan itu;
b) mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
c) mengganti atau mengubah judul ciptaan; atau
d) mengubah isi ciptaan.

Pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan niaga atas
pelanggaran hak ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan
atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada
Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan
yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau
pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta.

Ketentuan pidana pelanggaran hak cipta adalah:


(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan pelanggaran hak
cipta dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau


menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

28
(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

(4) Barangsiapa dengan sengaja melanggar pasal 17 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

(5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar pasal 19, pasal 20, atau pasal 49 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

(6) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 24 atau Pasal 55
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

(7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 25 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

(8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 27 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

(9) Barangsiapa dengan sengaja melanggar pasal 28 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).

Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana Hak Cipta atau Hak Terkait
serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh
negara untuk dimusnahkan. Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni
dan bersifat unik, dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan.

Undang-undang ini berlaku terhadap:


(1) semua ciptaan warga negara, penduduk, dan badan hukum Indonesia;
(2) semua ciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan
bukan badan hukum Indonesia yang diumumkan untuk pertama kali di Indonesia;

29
(3) semua ciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan
bukan badan hukum Indonesia, dengan ketentuan:

(1) negaranya mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan Hak Cipta dengan
Negara Republik Indonesia; atau
(2) negaranya dan negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam
perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindungan Hak Cipta.

Selanjutnya, tentang keharusan akan ketaatan hak cipta (copyright compliance) adalah
tanggung jawab suatu perpustakaan untuk memastikan bahwa permintaan silang layan
(interlibrary loan request), penyediaan cadangan bahan-bahan (reserve materials),
pedoman instruksi (instruction guides), halaman Web (Web pages) dan lain-lain cocok
dengan undang-undang hak cipta yang berlaku (conform to existing copyright law. Pada
sistem silang layan katalog terpasang (online library cataloguing (OCLC)), kode
kecocokan pada pedoman hak cipta disingkat ccg (conforms to copyright guidelines) dan
sesuai dengan undang-undang hak cipta disebut ccl (conforms to copyright law)
digunakan oleh perpustakaan yang meminjam (the borrowing library) untuk
memberitahukan perpustakaan yang meminjamkan (the lending library) bahwa suatu
permohonan memenuhi ketaatan (a request is compliant).

Selain itu, terkait dengan undang-undang hak cipta, perpustakaan pun harus
memperhatikan ketentuan dalam melakukan fotokopi suatu bahan perpustakaan untuk
tujuan layanan informasi pemustaka. Hal ini jangan sampai masuk ke ranah yang
dianggap aktivitas perbanyakan suatu hak cipta. Perbanyakan adalah penambahan jumlah
sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial
dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk
mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

2.5.2 Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights).


Hak kekayaan industri, yang terdiri atas paten, merk, desain industri, desain tata letak
sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan perlindungan varietas tanaman, dan
penangggulangan praktik persaingan curang.

Hozumi(2006) membedakan antara karya budaya dan bukan karya budaya yang
dilindungi dalam hukum hak kekayaan intelektual. Ia menegaskan bahwa karya budaya
adalah apa saja yang dihasilkan seseorang yang memperkaya alam pikiran dan perasaan

30
manusia. Karya budaya tidak mencakup hal-hal yang secara langsung menyumbang pada
gaya hidup sehingga kehidupan atau pekerjaan lebih nyaman, seperti, misalnya, mesin
atau teknologi dan karena itu hak-hak hukum yang melindunginya terpisah dari hak
cipta.(Hozumi, 2006:2). Ia memberikan contoh, yaitu:

a. hak paten,
b. melindungi produk,
c. merek dan logo milik perusahaan,
d. desain industry,
e. desian tata letak sirkuit terpadu,
f. rahasia dagang,
g. perlindungan varietas tanaman, dan
h. penangggulangan praktek persaingan curang; dan
i. hak perancang melindungi rancangan produk.
Hak-hak ini dinamakan “hak kekayaan industry” (Industrial Property Rights).

Pada bahan ajar ini, tidak akan dijelaskan lebih lanjut tentang hak kekayaan industri ini,
karena bahan perpustakaan jenis ini belum menjadi koleksi yang secara umum dimiliki
dan didayagunakan di perpustakaan sekolah.

2.6 Pelanggaran Terhadap Hak Kekayaan Intelektual di Perpustakaan


Perpustakaan mengelola berbagai jenis dan format sumber kekayaan intelektual
berbentuk literatur atau terbitan, baik berupa naskah, tercetak maupun terekam, yang
elekronik/digital tidak terpasang (offline) dan yang terpasang (online). Berikut ini beberapa
pelanggaran yang sering terjadi di Perpustakaan, yaitu:

2.6.1 Plagiarisme (Plagirarism)


Dalam kamus kepustakawanan, istilah plagiarisme atau melakukan plagiat berasal dari
bahasa Latin, yaitu plagiarius yang berarti penculik “kidnapper”. Menyalin (copying ) atau
hamper meniru (closely imitating) karya yang ditulis orang lain, penyusun dan lain-lain,
tanpa iziin (without permission) dan dengan tujuan (intention) menyingkirkan (passing)
hasil karya asli (original work). Dalam menerbitkan (publishing), undang-undang hak cipta
membuat pencurian bahan bacaan (literary theft) sebagai sebuah kejahatan kriminal (a
criminal offense). (Reitz, 2004).

31
Pada hampir semua perguruan tinggi, plagiarism dipertimbangkan suatu isu moral dan
etika (a moral and ethical issue,) sehingga para instruktur atau dosen menjatuhkan
hukuman (impose penalties) kepada para siswa yang terkait dengan hal tersebut.
Plagiarism dapat dicegah dengan mengekspresikan suatu ide pikirannya dan konsepnya
dalam kata atau bahasa sendiri (in one’s own worrds). Ketika diperlukan untuk mendekati
penafsiran (to paraphrase closely), sumber harus didokumentasikan dalam catatan kaki
(footnote) atau di catatan akhir (endnote) atau dengan menggunakan petikan langsung (a
direct quotation).

Demikian juga dengan Internet, untuk penggunaan Internet untuk mengambil dan
mengekpresikan ide orang lain dijuluki (dubbed) dengan cyberplagiarism. Kemampuan
cut-and paste pada pengolahan kata dan software broser Web dari makalah online atau
millis merupakan bentuk kesalahan yang mencolok (one of the most flagrant forms)
tentang plagiarisme. Walaupun para pengembang terus mengikuti teknik terkini (keep
abreast of the lates techniques) untuk mendeteksi bentuk lain dari pencurian (cheating).

Dengan demikian, plagiat (plagiary) adalah karya ditawarkan sebagai karya asli (original)
miliknya, padahal disalin (been copied (plagiarized)) dari sumber lain, biasanya dengan
tanpa meminta izin (without permission). Kegiatan yang mirip dengan plagiat adalah
pemalsuan (forgery), yaitu dengan sengaja melakukan pemalsuan (counterfeit) atau
meniru (imitation) tanda tangan atau pembuatan (fabrication) atau perubahan (alteration)
dokumen atau karya lainnya, dengan tujuan untuk menipu (deceive) atau kerusakan
(harm) minat orang atau beberapa orang lain (the interests of another person or persons).

Kreasi atau ciptaan tentang edisi pertama pemalsuan (the creation of fake first editions)
tentang buku langka dan bernilai dianggap pemalsuan (forgery). Di berbagai Negara
aktivitas memalsukan (the act of forgey), atau menjual karya tertullis palsu (a forged work)
seperti novel, puisi, drama, dan lain-lain, atau stuktur dari suatu komposisi musik (a
musical composition) seperti concerto, symphony, opera, dan lain-lain.

Cara penulisan pengutipan mengikuti tatacara penulisan karya ilmiah. Karya cipta yang
dapat dikutip adalah ciptaan yang telah diumumkan dan ciptaan yang tidak diumumkan
tidak dapat dikutip. Huzomi memberikan keterkaitan antara ciptaan baru (A) dengan
ciptaan yang dikutip (B), yaitu dengan prinsip sebagai berikut:
a. A adalah ciptaan pokok dan kutipan dari B adalah sekunder (hubungan atasan dan
bawahan).

32
b. Ada pembedaan yang jelas antara A dengan bagian yang dikutif dari B.
c. Perlu mengutip dari B untuk membuat A.
d. Bagian yang dikutip dari B diupayaan sesedikit mungkin.
e. Bagian yang dikutip dari B persis seperti ditulis dalam ciptaan orisinal.
f. Sumber B disebutkan dengan jelas
g. Kutipan tidak melanggar hak moral pencipta B.
(Huzomi, 2006: 38)

2.6.2 Pembajakan (Pirating)


Pembajakan hak cipta (copyright piracy) adalah mereproduksi atau menggunakan tak
terotoritas yang dilakukan secara sistematis (the systematic unauthorized reproduction or
use), tanpa permisi dan memberikan kompensasi (permission and recompense) apapun
terhadap suatu karya yang dilindungi hak cipta (protected by copyright law), biasanya
untuk tujuan mengambil keuntungan (profiting) dari aktivitas tersebut. Jenis pelanggaran
termashur (egregious infringement) ini merupakan subjek aksi hukum oleh pemilik hak
cipta di negeri yang tidak memiliki undang-undang hak cipta, sehingga pemegang hak
kekayaan intelektual akan memiliki sedikit penolong (recourse). (Reitz, 2004).

2.6.3 Kejahatan Sibernetik (Cyber Crime)


Akhir-akhir ini keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) (Information and
Communication Technologies (ITCs)) telah sangat mengubah banyak aspek kehidupan
(have profoundly altered many aspects of life), termasuk sifat hiburan, komunikasi kerja,
pendidikan, perawatan kesehatan, produksi dan bisnis industri, hubungan dan konflik
sosial termasuk pada penyeleggaraan dan pengelolaan perpustakaan, di antaranya
perpustakaan sekolah.

Pada the Cambridge Handbook of Information and Computer ethics dijelaskan tentang
konsekuensi dari perkembangan TIK akhir-akhir ini, yakni memiliki dampak yang luas dan
radikal pada moral kehidupan (moral lives) manusia dan membawa pada perdebatan
etika (ethical debates). (Floridi, 2010).

Hal-hal yang terkait dengan etika informasi dan komputer adalah yang menyangkut pada:
a. privasi, akurasi, kekayaan intelektual dan akses atau disingkat dengan PAPA (privacy,
accuracy, intellectual property, access);
b. ketersediaan, aksesibilitas dan akurasi informasi atau disingkat dengan 'triple A'
(availability, accessibility and accuracy of information);

33
c. kepemilikan dan pembajakan (ownership and piracy);
d. kesenjangan digital (the digital divide);
e. keberlimpahan informasi (infoglut) dan etika penelitian (research ethics)
f. keamanan, kehandalan dan kepercayaan kelayakan sistem yang kompleks (safety,
reability and trust worthiness of complex systems);
g. virus, hacking dan bentuk lain dari vandalisme digital, kebebasan berekspresi dan
sensor (viruses, hacking and other forms of digital vandalism);
h. pornografi (pornography);
i. pemantauan dan pengawasan, keamanan dan kerahasiaan (freedom of expression
and censorship);
j. propaganda (propaganda);
k. pencurian identitas (identity theft);
l. pembangunan diri (the construction of the self);
m. panmnemonic masalah dan identitas pribadi (panmnemonic issues and personal
identity);
n. bentuk baru badan/agen (buatan/artifisial dan hibrida) (new forms of agency (artificial
and hybrid)), tanggung jawab dan akuntabilitas (of responsibility and accountability);
o. roboethics dan status moral agen buatan/artifisial (roboethics and the moral status of
artificial agents);
p. e-konflik (e-conflicts).
q. pemrioritasan kembali nilai-nilai dan kebajikan (the re-prioritization of values and
virtues)

Kesemua masalah di atas merupakan hal-hal yang mendesak untuk dibahas oleh para
ahli etika elektronik. Sehingga permasalahan tersebut menjadi wacana etika yang hangat
diperdebatkan dalam masyarakat informasi pada era digital. Bahkan saat ini, materi etika
terkait dengan TIK ini telah menjadi salah satu mata kuliah di perguruan tinggi atau subyek
yang membahas tentang etika komputer dan informasi (Information and Computer Ethics)
(ICE)), yaitu sebuah cabang (banch) terapan baru yang mengkaji transformasi yang
ditimbulkan oleh TIK dan implikasinya bagi masa depan kehidupan manusia dan
masyarakat, serta untuk mengevaluasi nilai-nilai moral dan hak-hak, juga untuk evaluasi
perilaku agen (agents’ behaviours). (Gantz, 2005)

34
2.7 Penerapan Etika pada Layanan Perpustakan Sekolah
Etika atau norma yang perlu diperhatikan dan diterapkan di perpustakaan sekolah
difokuskan pada tugas dan fungsi suatu perpustakaan sekolah. Bagian penting dan utama
penerapan etika perpustakaan sekolah adalah dalam rangka mendukung perwujudan visi
dan misi badan induknya yaitu Visi, Misi Sekolah atau yayasan di atasnya dan menghargai
privasi pemusta perpustakaan sekolah itu sendiri.

Guna mewujudkan penerapan etika pada perpustakaan sekolah maka pustakawan atau
tenaga harus:

a. menyeleksi bahan pustaka yang boleh dan tidak boleh dibaca/diakses/ dipergunakan
atau boleh dengan persyaratan tertentu oleh pemustakanya. Dalam hal ini ada
perbedaan perlakukan antara murid, karyawan/staf sekolah dan guru atau kepala
sekolah;

b. membuat dan mensosialisasikan aturan tertulis yang jelas tentang larangan


mengakses, membaca dan meminjam bahan pustaka tertentu atau melakukan
vandalism, flagiat dan pembajakan atau memperbanyak bahan perpustakaan untuk
kepentingan komersial.

c. menentukan jenis dan tingkat sanksi yang dapat diterma oleh orang yang melakukan
pelanggaran ketentuan di atas.

d. memberitahukan dan mengajarkan cara mengutip karya intelektual seseorang untuk


keperluan karya tulis.

2.8 Privasi Pemustaka


Peraturan atau pedoman yang mengatur terkait dengan memperhatikan atau menghormati
privasi pemustaka di perpustakaan secara tertulis, formal dan stándar belum ada. Oleh
karena itu, dalam rangka mempermudah pemahaman tentang menghormati privasi atau
kerahasiahaan pemustaka, dalam bahan ajar ini sebagai suatu perbandingan atau
benchmark adalah privasi klien atau nasabah atau pasien yang diterapkan pada dunia
kedokteran. Aturan tentang privasi rekam medis dan profil pasien adalah yang paling
populer dan telah dijamin secara hukum internasional.

Profesor Loane Skene dari Universitas Melbourne dalam the Law Hanbook tentang
Privacy and Confidentiality, mengemukakan bahwa seseorang biasanya menganggap
semua komunikasi antara dirinya dan dokter atau profesional kesehatan lainnya akan

35
tetap bersifat pribadi (private), dan hukum dimanapun pada umumnya mencerminkan
harapan ini. Jika tidak demikian, menurutnya, beberapa orang mungkin enggan untuk
mencari pengobatan medis (might be reluctant to seek medical treatment). Juga, pasien
mungkin akan kurang jujur (may be less honest) dalam menjelaskan penyakit mereka jika
mereka tidak yakin akan kerahasiaan (not assured of confidentiality). Sehingga, dengan
alas an di atas, konsultasi medis adalah yang paling dilindungi oleh undang-undang atau
persyaratan hukum umum kerahasiaan (are protected by a statutory or common law
requirement of confidentiality), di samping kewajiban hukum yang lebih baru dalam
kaitannya dengan privasi.

Kerahasiaan medis pasien terjaga di rumah sakit umum maupun swasta. Namun, ada
beberapa pengecualian terhadap perlindungan privasi kadang-kadang diperlukan bagi
yang berwenang untuk mengungkapkan informasi rahasia mengenai pasien. Beberapa
kasus medis yang bersifat informasi rahasia dapat diungkapkan secara sah dengan
persetujuan terlebih dahulu dari pasien atau keluarganya kepada pihak tertentu.hal ini
dilakukan apablia pasien tersebut telah meninggal, misalnya karena terkait dengan
pengadilan, proses pidana, atau menerima layanan kesehatan lebih lanjut untuk
keperluan asuransi pasien, yaitu dengan penyampaian informasi oleh seorang anggota
staf medis kepada keluarga atau kerabat terdekat pasien atau pihak terkait sesuai dengan
adat istiadat yang diakui praktek medis.

Sejalan dengan konsep di atas, menurut Profesor Loane Skene, kerahasiaan di rumah
sakit dapat berupa konsep yang berubah-ubah (fluid concept) yang disebut konsep fluida.
Kemungkinan, ada banyak pihak yang dapat memiliki akses ke informasi yang terkandung
dalam file aeorang pasien, yang semuanya akan memiliki alasan sah akan kebutuhan
akses. Mereka mungkin termasuk dokter, perawat, praktisi mengobati lain, dan staf
administrasi. Namun, terkait dengan itu, melekat adanya sanksi terhadap pelanggaran
hukum terhadap kerahasiaan pasien. Sehingga, dokter dan penyedia layanan kesehatan
lainnya dapat digugat secara hukum umum jika mereka membocorkan informasi rahasia
tanpa izin pasien.

Mencermati adanya penghargaan privasi pasien sebagai salah satu penerapan norma dan
etika kedokteran, sepertinya terdapat kemiripan dengan perlunya penerapan privasi
pemustaka di perpustakaan. Akan tetapi, apabila mengadopsi secara utuh dari ketentuan
yang berlaku di dunia medis untuk dapat diterapkan pada dunia perpustakaan, itu

36
merupakan hal yang tidak dapat diterima secara umum. Oleh karena itu, di perpustakaan
sekolah ada beberapa hal yang perlu dilakukan, di antaranya:
a. Pustakawan wajib mencatat data atau profil pemustaka yang lengkap dan akurat
seseuai dengan identitas yang sah.
b. Pustakawan wajib menyimpan dan memelihara profil pemustaka tersbut untuk
dipergunakan semestinya, contohnya adalah ketika kajian pemusta, kajian
pengembangan koleksi, melakukan penagihan bahan pustaka yang dipinjam dan
denda.
c. Pustakawan wajib menjaga kerahasian profil pemustaka dan rekaman data
peminjaman dari pihak-pihak yang tidak perlu.
d. Pustakawan wajib memberikan data yang diperlukan oleh pihak yang memerlukan
terkait dengan pelangggaran perdata atau pidana dan proses belajar mengajar atau
implementasi kurikulum sekolah.

Selain menjaga etika di atas, maka terkait dengan layanan informasi di perpustakaan
sekolah, pustakawan juga dituntut memiliki kualifikasi kepribadian yang baik, seperti:
a. Bermoral
b. Luwes
c. Suka membantu
d. Sabar
e. Berwawasan luas
f. Mempunyai inisiatif dan inovatif
g. Mampu berkomunikasi dengan baik (lisan & tulisan)
h. Berjiwa pengabdian yang tinggi

Selain itu juga, kualitas dan keterampilan mendasar yang diharapkan dari pustakawan
atau tenaga perpustakaan sekolah meliputi:
a. Kemampuan berkomunikasi secara positif dan terbuka;
b. Kemampuan memahami kebutuhan informasi pemustaka perpustakaan sekolah;
c. Kemampuan bekerja sama dengan perorangan serta kelompok di dalam dan di luar
instansi induknya atau sekolah tersebut;
d. Memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai keanekaragaman budaya;
e. Memiliki keterampilan menangani sumber informasi serta bagaimana
menggunakannya;

37
f. Memiliki pengetahuan mengenai bacaan anak, media dan kebudayaan yang
mendukung arah pengembangan kurikulum dan proses belajar-mengajar serta
bagaimana mengaksesnya;
g. Memiliki pengetahuan serta keterampilan di bidang manajemen dan pemasaran;
h. Memiliki pengetahuan serta keterampilan di bidang teknologi informasi dan
komunikasi.

Bahkan, pustakawan atau tenaga perpsutakaan sekolah juga diharapkan mampu


menganalisis sumber dan kebutuhan informasi pemustaka, memformulasi dan
mengimplementasi kebijakan pengembangan jasa perpustakaan, mengembangkan
kebijakan dan sistem pengadaan sumberdaya perpustakaan, mempromosikan program
membaca dan kegiatan budaya, membangun kemitraan dengan berbagai organisasi
terkait, merancang dan mengimplementasi anggaran dan mendisain perencanaan
strategis program perpustakaan sekolah.

38
BAB III
PENUTUP

Pekerjaan pustakawan termasuk profesi karena memenuhi ciri profesi, yaitu memiliki
asosiasi atau organisasi profesi; terdapat pola pendidikan profesi yang jelas, adanya kode
etik, berorientasi pada jasa, adanya tingkat kemandirian/otonomi. Sesuai dengan kriteria
profesi yang dikeluarkan Badan Nasional Sertifikasi Profesi Indonesia belakangan ini yang
menyebutkan bahwa seseorang disebut profesional apabila yang bersangkutan memiliki
pengetahuan dan keterampilan, pekerjaannya berorientasi pada jasa untuk umum,
menjadi anggota asosiasi profesi dan tersertifikasi.

Berdasarkan tuntutan profesi di atas, maka pustakawan atau tenaga perpustakaan


sekolah yang profesional dalam melakukan pekerjaannya, selain harus kompeten, juga
harus menjadi anggota asosiasi profesi pustakawan, yaitu IPI dan juga harus
memperhatikan etika profesi, yaitu yang tertuang pada Kode Etik Pustakawan Indonesia.
Yang mana dalam kode etik tersebut diatur berbagai interaksi pustakawan, yaitu mulai dari
interaksi dengan institusi atau organisasi tempat ia bekerja, dengan sesama profesi atau
rekan sejawat, interaksi dengan pemustaka dan masyarakat atau bangsa pada umumnya.

Banyak isu muncul dalam etika profesi kepustakawanan, terutama terkait masalah hak
cipta atau karya intelektual dan plagiariasme, pembajakan, vandalisme bahan
perpustakaan merupakan isu yang tetap hangat, terlebih pada era teknologi informasi dan
komunikasi yang terus berkembang saat ini. Oleh karena itu, dengan mempelajari materi
mata ajar Etika Petugas Perpustakaan Sekolah ini diharapkan para peserta Diklat Tenaga
Teknis Perpustakaan Sekolah sebagai para profesional kepustakawanan di perpustakan
sekolah dapat menerapkan etika profesi pustakawan di tempat kerjanya dengan baik.

39
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Crowley, Bill. 2008. Renewing Profesional Librarianship: A Fundamental Rethinking.
Westport: Libraries Unlimited.
Floridi, Luciano. 2010. The Cambridge Handbook of Information and Computer Ethics.
Cambridge: Cambridge University.
Gantz, John and Jack B. Rochester. 2006. Pirates of The Digital Millenium: How the
Intellectual Proferty Wars Damage Our Personal Freedoms, Our Jobs, and The
World Economy. London: Prentice Hall.
Hozumi, Tamotsu. 2002. Asian Copyright handbook Indonesian Version: Buku panduan
hak cipta Asia. Jakarta: ACCU
Ikatan Pustakawan Indonesia. 2011. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
serta Kode Etik Ikatan Pustakawan Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan
Pustakawan Indonesia.
Joan M. Reitz. 2004. Dictionary for Library and information Science. Connecticut:
Libraries Unlimited.
Robinson, Dave; Chris Garrat. 2004. International Ethics. Royston: Icon Books
Rubin, Richard E. 2004. Foundations of Library and Information Science 2nd Edition. New
York: Neal-Schuman Publishers.
Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Sumiati, Opong. 2006. Pengantar Ilmu Perpustakaan untuk Diklat Pustakawan Tingkat
Ahli. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
--------------------- . 2008. Pengantar Ilmu Perpustakaan untuk Diklat Pengenalan
Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI
Yusalina. (1998).”Persepsi pustakawan terhadap jurnal perpustakaan pertanian: Studi
kasus pada pustakawan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pertanian di Bogor”. Tesis Magister. Program Studi Ilmu Perpustakaan Universitas
Indonesia.

40
Lampiran 1

KODE ETIK PUSTAKAWAN INDONESIA

MUKADIMAH
Perpustakaan sebagai suatu pranata diciptakan dan diadakan untuk kepentingan
masyarakat. Mereka yang berpotensi sebagai pustakawan diharapkan memahami tugas
untuk memenuhi standar etika dalam hubungannya dengan perpustakaan sebagai suatu
lembaga, pengguna, rekan pustakawan, antar profesi dan masyarakat pada umumnya.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Kode etik eustakawan Indonesia merupakan:


1. Aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Pustakawan dalam melaksanakan
tugas profesi sebagai pstakawan;
2. Etika profesi pustakawan yang menjadi landasan moral yang dijunjung tinggi,
diamalkan dan diamankan oleh setiap pustakawan;
3. Ketentuan yang mengatur pustakawan dalam melaksanakan tugas kepada diri
sendiri, sesama pustakawan, pengguna, masyarakat dan Negara.

BAB II
TUJUAN
Pasal 2

Kode etik profesi pustakawan mempunyai tujuan:


1. Membina dan membentuk karakter pustakawan;
2. Mengawasi tingkah laku pustakawan dan sarana kontrol sosial;
3. Mencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara
anggota dengan masyarakat;
4. Menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada perpustakaa dan mengangkat citra
pustakawan.

41
BAB III
SIKAP DASAR PUSTAKAWAN
Pasal 3

Sikap pustakawan Indonesia mempunyai pegangan tingkah laku yang harus dipedomani:
a. Berupaya melaksnakan tugas sesuai dengan harapan masyarakat pada umumya dan
kebutuhan pengguna perpustakaan pada khususnya;
b. Berupaya mempertahankan keunggulan kompetensi setinggi mungkin dan
berkewajiban mengikuti perkembangan;
c. Berupaya member=dakan antara pandangan atau sikap hidup pribadi dan tugas
profesi;
d. Menjamin bahwa tindakan dan keputusannya, berdasarkan pertimbangan
professional;
e. Tidak menyalahgunakan posisinya dengan mengambil keuntungan keciuali atas jasa
profesi;
f. Bersifat sopan dan bijaksana dalam melayani masyarakat, baik dalam ucapan
maupun perbuatan.

HUBUNGAN DENGAN PENGGUNA

Pasal 4

(1) Pustakawan menjunjung tinggi hak peroesangan atas informasi. Pustakawan


menyediakan akses tak terbatas, adil tanpa memandang ras, agama, sosial, ekonomi,
politik, gender, kecuali ditentukan oleh perundang-undangan;
(2) Pustakawan tidak bertanggungjawab atas konsekwensi penggunaan informasi yang
dicari;
(3) Pustakawan mengakui dan menghormati hak milik intelektual;

HUBUNGAN ATAS PUSTAKAWAN


Pasal 5

(1) Pustakawan berusaha mencapai keunggulan dalam profesinya dengan cara


memelihara dan mengembangakan pengetahuan dan keterampilan;
(2) Pustakawan bekerjasama dengan pustakawan lain dalam upaya mengembangkan
kompetensi profesional pustakawan, baik sebagai perorangan maupun sebagai
kelompok.

42
(3) Pustakawan memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara
sesama rekan;
(4) Pustakawan memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan tehadap Korps pustakawan
secara wajar
(5) Pustakawan manjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di luar
kedinasan.
HUBUNGAN DENGAN PERPUSTAKAAN
Pasal 6

(1) Pustakawan ikut aktif dalam perumusan kebijakan menyangkut kegiatan jasa
kepustakawanan;
(2) Pustakawan bertanggungjawab terhadap pengembangan perpustakaan;
(3) Pustakawan berupaya membantu dan mengembangkan pemahaman serta kerjasama
semua jenis perpustakaan.

HUBUNGAN PUSTAKAWAN DENGAN ORGANISASI PROFESI


Pasal 7

(1) Membayar iuran keanggotaan secara disiplin


(2) Mengikuti kegiatan organisasi sesuai kemampuan dengan penuh tanggungjawab;
(3) Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi.

HUBUNGAN PUSTAKAWAN DENGAN MASYARAKAT


Pasal 8

(1) Pustakawan bekerja sama dengan anggota komunitas dan organisasi yang sesuai
berupaya meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan serta komunitas yang
dilayaninya;
(2) Pustakawan berupaya memberikan sumbangan dalam pengembangan kebudayaan di
masyarakat.

PENGAWASAN
Pasal 10

(1) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi pustakawan dilakukan oleh Ikatan
Pustakawan Indonesia;
(2) Dewan Kehormatan Pustakaan Indonesia memeriksa dan memberikan pertimbangan
sanksi atas pelanggaran kode etik profesi pustakawan;

43
(3) Keputusan pengurus pusat IPI berdasarkan ayat (2) tidak menghilangkan sanksi
pidana bagi yang bersangkutan.

KETENTUAN LAIN
Pasal 11

Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan pemberian pertimbangan sanksi


pelanggaran Kode Etik Pustakawan di atur lebih lanjut oleh Dewan Kehormatan
Pustakawan Indonesia.

BAB IV
PENUTUP
Pasal 12

Kode eitk pustakawan mengikat semua anggota Ikatan Pustakawan Indonesia dengan
tujuan mengendalikan perilaku profesional dalam uapaya mengkatkan citra pustakawan.

44

Anda mungkin juga menyukai