Anda di halaman 1dari 34

Legal Maxim: Tinjauan Teoritis dalam

Pengembangan Hukum Islam

Asmuni Mth ¨1

Pendahuluan

K
ajian-kajian hukum Islam di Indonesia terutama pasca dikumandangkannya
reaktualisasi hukum Islam oleh Munawir Syazali menjelang diundangkannya
Undang-Undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah
memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Undang-undang tersebut telah
direvisi dan menjadi Undang-Undang no. 3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, kemudian disusul dengan Undang-Undang no. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Keberadaan dua undang-undang yang terakhir di era
reformasi diakui atau tidak telah menciptakan maraknya kajian-kajian hukum
Islam baik pada level teoretis di perguruan tinggi (fakultas syariah), maupun
pada level praktis di Pengadilan Agama dan di Lembaga Keuangan Syariah
(LKS). Hanya saja kajian-kajian hukum Islam yang membanggakan tersebut,
cenderung mengabaikan kajian terhadap al-qawa’id al-fiqhiyah. Akibatnya
konsep teoretis dan implementasi ilmu ini tidak begitu popular, bahkan
konsepsi tentang al-qawa’id al-fiqhiyah sering terkacaukan dengan konsepsi
al-qawa’id al-ushuliyah.
Padahal kajian fiqh terasa kurang “lezat” tanpa kehadiran kajian al-
qawa’id fiqhiyah, mengingat al-qawa’id adalah bagian yang sangat penting
dalam literatur studi hukum Islam, khususnya berguna untuk menjelaskan
gambaran umum berkaitan dengan hakikat, tujuan dan sasaran dari hukum
Islam. Selain alasan ini, qawa’id fiqhiyah memiliki perkembangan yang
penting dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Oleh karena itu, tulisan ini
akan berusaha memotret secara singkat eksistensi al-qawa’id al-fiqhiyah, di
samping tema lain yang lekat dengannya yaitu dhawabith fiqhiyah (dhabith
fiqh). Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang al-qawa’id al-
maqashidiyah, al-qawa’id al-ushuliyah dan nazariyat fiqhiyah dengan tujuan
agar semua terminologi tersebut dapat dipahami secara proporsional. Tema
lain yang juga akan dibahas dalam tulisan ini adalah al-asybah wa al-naza’ir
(kemiripan dan kesepadanan), al-furuq (perbedaan-perbedaan) yang terdapat
dalam berbagai kasus yang berimpliaksi pada perbedaan hukum. Baru
kemudian tulisan ini akan dilengkapi dengan sejarah singkat pertumbuhan dan
perkembangan al-qawa’id al-fiqhiyah. Dalam tulisan ini istilah al-qawa’id
akan diganti dengan istilah kaidah-kaidah sebagai bentuk penyederhanaan dan
adaftasi istilah yang sudah menjadi bahasa Indonesia, meskipun di beberapa
konteks istilah al-qawa’id tetap dipertahankan.

Qawa’id Fiqhiyah: Konsep Etimologis dan Terminologis


Secara kata qawâ’id2 adalah bentuk jamak (plural) dari qâ’id dan
qâ’idah. Qâ’id dan qâ’idah sendiri merupakan bentuk subyek pelaku (isim
fa’il) dari qa’ada-yaq’udu-qu’ûdan yang berarti “duduk”. Kata qâ’idah atau
qawâ’id ini3 kemudian digunakan dengan arti asas, dasar dan pondasi yang
menyiratkan makna di mana segala sesuatu didudukkan atau diposisikan.
Dasar, asas atau pondasi segala sesuatu adalah tempat di mana sesuatu itu
diposisikan. Pondasi sebuah rumah misalnya adalah bagian paling mendasar
di mana seluruh bangunan berdiri di atasnya. Ini adalah pengertian material-
empirik dari kata qâ’idah.
Dalam penggunaan orang Arab, kata qâ’idah bila dinisbahkan pada
perempuan, berarti perempuan monopause yang sudah tidak haid, tidak
mungkin memiliki anak dan tidak berharap akan menikah lagi. Dalam bahasa
Arab misalnya ada ungkapan qâ’idah ar-rajul (perempuan yang menjadi istri
bagi seorang laki-laki), imra’ah qâ’idah min al-haidh wa al-azwâj
(perempuan yang sudah terhenti dari haid dan tidak membutuhkan suami), al-
qawâ’id min an-nisâ’ (perempuan-perempuan yang tidak berharap lagi akan
menikah).4
Di samping itu kata qâ’idah ini dalam bahasa Arab mengandung makna
al-mar’atu al-musinnah, yakni istri-istri yang duduk dan tidak keluar dari
rumah karena lanjut usia.5 Sejalan dengan ini, maka inti dari makna qawâ’id
adalah istiqrâr (menetap) dan al-subût (tetap atau diam). Dengan alasan itu
pula, salah satu bulan dalam penanggalan hijriyah disebut Dzû al-Kaidah,
karena masyarakat Arab pada bulan itu tidak keluar dari rumah mereka, tidak

2 | Legal Maxim
melakukan perjalanan jauh dan tidak berperang, mereka memilih tinggal dan
diam di rumah.
Dalam al-Qur’an, kata qawâ’id (dalam bentuk jamak) disebut 3 kali,
yaitu di dalam surat al-Baqarah ayat 127, surat an-Nahl ayat 26, dan surat an-
Nur ayat 60. Selain itu, kata ini dalam al-Qur’an juga muncul dalam bentuk
kata kerja lampau (fi’il mâdhi), sebanyak 2 kali yaitu dalam al-Quran surat Ali
‘Imran ayat 168 dan al-Quran surat at-Taubah ayat 90. Dalam bentuk kata
kerja sedang (fi’il mudhâri’) disebut sebanyak 7 kali; dalam bentuk perintah
(fi’il amr) disebut 3 kali; dalam bentuk kata kerja yang dibendakan (mashdâr)
disebut 4 kali; dalam bentuk subyek pelaku (isim fâ’il) disebut 8 kali, dan
dalam bentuk keterangan tempat (isim makân) disebut 4 kali.6
Kata qawâ’id di dalam surat al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat
26 berkaitan dengan makna asas, dasar dan pondasi yang bersifat konkret dan
nyata. Allah swt. berfirman menceritakan kisah Ibrahim yang meninggikan
pondasi bangunan Ka’bah:
َّ َ‫ا تَقَبَّلْ ِمنَّا ِإنَّكَ َأ ْنت‬IIَ‫اعي ُل َربَّن‬
‫ ِمي ُع‬I ‫الس‬ ِ ‫ َد ِمنَ ْالبَ ْي‬I‫اع‬
ِ ‫ َم‬I ‫ت َوِإ ْس‬ ِ ‫ َرا ِهي ُم ْالقَ َو‬I ‫ ُع ِإ ْب‬I َ‫َوِإذ يَرْ ف‬
‫ْال َعلِي ُم‬
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan(membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah
dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 127).7
Allah juga berfirman dengan menyebutkan kata qawâ’id ketika
mengisahkan nasib orang-orang dahulu yang karena kejahatan dan
pembangkangan mereka, diazab oleh Allah dengan membenamkan pondasi
rumah-rumah mereka sebagai berikut:
‫وْ قِ ِه ْم‬IIَ‫ ْقفُ ِم ْن ف‬I‫الس‬ ِ ‫قَ ْد َم َك َر الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم فََأتَى هَللا ُ بُ ْنيَانَهُ ْم ِمنَ ْالقَ َو‬
َّ ‫ َّر َعلَ ْي ِه ُم‬I‫اع ِد فَ َخ‬
َ‫ْث اَل يَ ْش ُعرُون‬ ُ ‫َوَأتَاهُ ُم ْال َع َذابُ ِم ْن َحي‬
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan
makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari
pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan
datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka
sadari.” (QS. an-Nahl: 26).8
Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan istilah ini meluas hingga
mencakup hal-hal yang bersifat logis dan immaterial dan mencakup juga
makna “prinsip-prinsip di mana sebuah konsep dibangun.” Konsep Islam
sebagai sebuah agama misalnya dibangun di atas lima dasar yang dikenal
dengan rukun Islam. Konsep Islam sebagai sebuah sistem keimanan misalnya
dibangun di atas enam pilar yang dikenal dengan sebutan “rukun iman”.

Pribumisasi Hukum Islam | 3


Rukun Islam dan rukun iman ini dapat disebut sebagai pondasi, asas atau
dasar (qâ’idah) meskipun tidak selalu bersifat material-empirik, melainkan
juga bersifat abstrak-konseptual.
Demikian juga konsep negara Indonesia misalnya dibangun di atas
beberapa prinsip dasar yang dikenal dengan istilah “Pancasila”. Pancasila ini
bukan sesuatu yang nyata atau empirik, melainkan sesuatu yang abstrak dan
bersifat konseptual.
Jika ditilik lebih jauh, istilah qâ’idah (jamak: qawâ’id), dalam tradisi
keilmuan Islam digunakan secara luas dalam berbagai bidang. Hampir dalam
setiap disiplin keilmuan, istilah ini muncul dan digunakan untuk
menggambarkan prinsip dasar atau mekanisme kerja dalam bidang tertentu.
Sebagai contoh, selain dalam disiplin ilmu fiqh (hukum formal) yang dikenal
istilah qawâ’id al-fiqh (prinsip-prinsip umum fiqh), dalam ilmu bahasa juga
dikenal istilah qawâ’id al-‘arabiyah (prinsip-prinsip kerja bahasa Arab).
Demikian juga dalam bidang logika, ushul al-fiqh, ilmu kalam, ilmu tafsir dan
lain-lain. Sudah tidak asing bagi mereka yang konsen pada Islamic studies
istilah-istilah seperti qawâ’id al-mantiq (prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq),
qawâ’id at-tafsîr (kaidah-kaidah tafsir), qawâ’id al-ushûl (kaidah-kaidah
ushul), qawâ’id al-maqâshid (prinsip-prinsip dasar al-maqâshid) dan
sebagainya.
Mengenai kapan istilah ini mulai digunakan dalam ranah ilmiah sebagai
teminologi keilmuan, cukup sulit di lacak. Al-Bahâsin 9, salah seorang penulis
kontemporer dalam bidang qawa’id fiqhiyah, juga mengaku kesulitan
mengetahui kapan istilah ini muncul dan digunakan untuk dalam ilmu
pengetahuan terutama dalam bidang Ushul Fiqh. Menurutnya, kesulitan ini
disebabkan karena luasnya jangkauan penelitian yang harus mencakup ribuan
karya yang ditulis dalam kurun waktu berabad-abad silam.
Selain itu, kesulitan lainnya adalah karena istilah ini tidak secara spesifik
digunakan untuk bidang keilmuan tertentu, melainkan digunakan secara
umum dalam berbagai bidang. Belum lagi karena referensi-referensi keilmuan
klasik (turâs) dalam berbagai ilmu juga banyak yang berkurang, mungkin
karena hilang, atau belum sampai kepada tangan peneliti.
Definisi paling klasik dan paling umum dari istilah ini ditulis oleh al-
Jurjânî dalam karya ensikopedisnya yang berjudul at-Ta’rîfât:
‫ضيَّةٌ ُكلِّّيَّةٌ ُم ْنطَبِقُةٌ َعلَى َج ِمي ِْع ج ُْزِئيَّاتِهَا‬
ِ َ‫ق‬
“Aturan-aturan umum (kulliyât) yang dapat diterapkan pada semua unit
satuannya.”10
Ini adalah definisi atau batasan paling umum mengenai istilah qâ’idah.
Semula definisi dan batasan lain yang dibuat oleh para ilmuwan dengan

4 | Legal Maxim
perbedaan spesifikasi dan bidangnya secara makna merujuk kepada batasan
umum ini. Meskipun dalam faktanya, perbedaan redaksional dalam
mendefinisikan qawâ’id tidak bisa dihindari dan sangat tergantung pada latar
belakang dan bidang keilmuan orang yang selama ini coba
mendefinisikannya.
Sebagai ilustrasi adalah bahwa aturan atau kaidah yang dikembangkan
oleh ulama Nahwu tergambar dari prinsip-prinsip kerja kebahasaan seperti
dalam konsep mubtadâ’ itu harus marfû’, fâ`il itu harus marfû` dan maf`ûl itu
harus manshûb demikian seterusnya. Artinya, di manapun dan kapanpun,
prinsip-prinsip ini harus digunakan oleh pengguna bahasa ketika menemukan
struktur kalimat mubtadâ’, fâ’il, maf’ûl dan sebagainya.
Para Fuqaha’ memberikan batasan mengenai istilah qawâ’id sebagai
berikut:
ُ‫ُح ْك ٌم ُكلِّ ٍي َعلَى َج ِمي ِْع ج ُْزِئيَّاتِ ِه لِتُع َْرفَ َأحْ َكا ُمهَا ِم ْنه‬
“Ketentuan umum yang berlaku pada semua unit bagiannya, untuk
mengetahui hukum-hukum unit bagian tersebut berdasarkan ketentuan
umum tersebut.”
Al-Hamawî,11 komentator dari kitab al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir12 karya
Ibnu an-Nujaim, melihat sisi perbedaan makna untuk istilah qâ’idah ini,
antara ahli bahasa dengan ahli ushul. Bagi ahli bahasa, kaidah-kaidah itu
selalu bersifat total dan berlaku mutlak. Sedangkan bagi ulama ushul, kaidah
itu ditetapkan berdasarkan hukum mayoritas dan dominan saja, karena selalu
saja ada pengecualian-pengecualian yang keluar dari kaidah umum tersebut.
Namun, pendapat ini kurang tepat karena faktanya semua kaidah yang
dikenal dalam berbagai bidang selalu mengenal adanya anomali, yaitu kasus-
kasus spesifik yang tidak bisa lagi dijelaskan dengan menggunakan kaidah
umum. Termasuk dalam ilmu bahasa yang juga mengenal istilah “syâz”, yaitu
anomaly atau pengecualian-pengecualian dari kaidah umum yang jarang
terjadi.
Jika diperhatikan, dua definisi tersebut di atas sebenarnya merupakan
definisi qawâ’id secara umum yang mencakup ilmu tafsir, hadis, ilmu ushul,
dan ilmu bahasa. Secara lebih spesifik, pengertian kaidah fiqh secara istilah
adalah sebagai berikut:
‫ضيَّ ٍة َأ ْغلَبِيَّ ٍة يَتَ َعرَّفُ ِم ْنهَا َأحْ َكا ُم َما َدخَ َل تَحْ تَهَا‬
ِ َ‫ُح ْك ٌم شَرْ ِع ٌّي فِى ق‬
“Hukum syar’i dalam masalah-masalah umum atau mayoritas, yang
darinya dapat diketahui hukum-hukum dari segala sesuatu yang berada
di bawahnya.”13

Pribumisasi Hukum Islam | 5


Berbeda dengan penjelasan di atas, sebagian ulama mengatakan bahwa
kaidah fiqh tidak lain adalah kumpulan hukum. Muhammad Abu Zahrah
misalnya berpendapat bahwa kaidah fiqh adalah:
‫اح ٍد يَجْ َم ُعهَا‬
ِ ‫س َو‬ ِ ‫َمجْ ُموْ َعةُ اَأْلحْ َك ِام ْال ُمتَ َشابِهَا‬
ٍ ‫ت الَّتِي تَرْ ِج ُع ِإلَى قِيَا‬
“Kumpulan hukum-hukum yang memiliki kesamaan atau kemiripan,
yang dapat dikembalikan kepada satu prinsip analogi untuk bisa
menyatukannya.”14
Dari analisis kebahasaan dan juga pendapat-pendapat para ulama di atas,
dapat disimpulkan bahwa qawâ’id fiqhiyah dibentuk dari berbagai materi fiqh
yang mencakup berbagai permasalahan, yang kemudian diteliti persamaannya
dengan menggunakan pola pikir induktif, lalu dikelompokkan. 15 Tiap-tiap
kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah serupa yang akhirnya
disimpulkan menjadi kaidah fiqh. Selanjutnya, masih diuji lagi kesesuaiannya
dengan substansi ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi.
Kaidah-kaidah fiqh dibentuk dengan menggunakan pola pikir induktif
sekalipun dalam penerapannya, setelah menjadi kaidah, mekanisme kerjanya
bersifat deduktif. Artinya, kaidah-kaidah fiqh, dalam keberadaanya sebagai
salah satu panduan kerja dalam perumusan hukum, tidak lagi harus berangkat
dari rumusan-rumusan parsial fiqh, akan tetapi langsung dari rumusan umum
kaidah diaplikasikan pada rumusan-rumusan parsial tersebut.
Ini bisa dipahami karena bagaimanapun, seorang perumus hukum,
sekalipun masih dimungkinkan membuat kaidah-kaidah sendiri, akan tetapi
kaidah-kaidah yang sudah ada dan berkembang dalam kajian hukum Islam
telah hampir baku dan pasti dan diakui serta digunakan dari generasi ke
generasi. Seorang ahli hukum, daripada harus berusah payah membuat
rumusan dengan melakukan penelitian induktif, maka lebih baik melakuan
pengujian terhadap kaidah-kaidah yang sudah ada untuk menemukan
pengecualian-pengecualian hukum.16
Dengan demikian, maka qawâ’id fiqhiyah adalah patokan yang bersifat
umum yang dipakai untuk menjustifikasi kasus-kasus dalam berbagai konteks
fiqh.
Lebih jauh lagi, kaidah fiqh dapat dijelaskan dengan sifat dan ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Kaidah fiqh merupakan hasil abstraksi dan kristalisasi moral ideal dan
motif filosofis rumusan-rumusan hukum dalam fiqh Islam, yang
kemudian dirumuskan dalam kalimat yang singkat dan umum dan
dijadikan sebagai kaidah umum yang berlaku pada sebagian besar
persoalan-persoalan fiqh.

6 | Legal Maxim
2. Kaidah fiqh setelah itu dapat menjadi patokan umum yang dijadikan
dasar untuk menentukan hukum bagi persoalan-persoalan yang belum
diketahui hukumnya.
3. Kaidah fiqh bersifat aglabiyât dan aktsariyât. Artinya, kaidah fiqh ini
tidak pernah bersifat mutlak akan tetapi selalu merupakan kondisi
pada umumnya atau kebiasaan. Oleh karenanya, dalam penerapannya,
setiap kaidah selalu mempunyai pengecualian (al-mustasnayât).
Di antara contoh kaidah fiqh adalah:
ِ ‫اُأل ُموْ ُر بِ َمقَا‬
‫ص ِدهَا‬
“Segala perbuatan tergantung pada tujuan atau maksud dilakukannya
perbuatan tersebut.”17
Kaidah ini kemudian membentuk kaidah turunan—dalam berbagai
konteks tema fiqh. Jika dilihat dari rumusan kaidah ini tidak lain, ia
merupakan abstraksi teoritis yang bersifat komprehensif, biasanya dalam
bentuk pernyataan tentang tujuan dan sasaran dalam syari’ah, yang ekspresif,
dan seringkali singkat. Al-Qawa’id dalam fiqh, dengan demikian, merupakan
pernyataan tentang prinsip-prinsip yang diambil dari referensi yang rinci
tentang aturan-aturan fiqh dalam berbagai tema. Fiqh dalam hal ini berbeda
dengan aturan-aturan statuta modern yang ringkas dan lugas. Dalam
perkembangan selanjutnya, penjelasan yang detail dalam fiqh memungkinkan
para ahli fiqh untuk meringkas dalam bentuk pernyataan berkaitan dengan
prinsip-prinsip. Pernytaan ringkas tapi komprehensif ini dalam studi fiqh
disebut al-qawa’id al-fiqhiyah.

Perbedaan Qawa’id Fiqhiyah dan ’Ilm Qawa’id Fiqhiyah


’Ilm al-qawa’id al-fiqhiyah berbeda dengan al-qawa’id al-fiqhiyah. ’ilm
al-qawa’id al-fiqhiyah didefinisikan dengan: qânun tu’rofu bihi ahkâm al-
hawâdis al-lati la nas-sha ‘alaiha fi kitâbin aw sunnatin aw ijmâ’ (aturan
untuk mengetahui hukum berbagai peristiwa yang tidak terdapat di dalam
nash al-Qur’an, sunnah dan ijma`). Definisi ini dikemukakan Muhammad
Yasin al-Fadani dalam karyanya al-Fawâi'd al-Jinniyah ‘alâ al-Mazâhib al-
Sunniyah Syarah al-Farâid al-Bahiyah fî Nazmi al-Qawâ’id al-Fiqhiyah.18
Menurut studi yang dilakukan oleh al-Bahasin19 tidak ada fuqaha’ generasi
mutaqaddimin yang mendefinisikan’ilm al-qawa’id al-fiqhiyah, yang
mendefinikan itu hanya al-Fadani dari kalangan fuqaha kontemporer.
Syaikh Abdullah Ibn Sa’id al-Lahji al-Makki (w. 1410H) 20 mengutip
definisi tersebut dalam karyanya Risâlatu Idhâhi al-Qawâ’id al-Fiqhiyah li
Thullâb al-Madrasah al-Saulathiyah. Sayangnya defenisi yang dikemukakan

Pribumisasi Hukum Islam | 7


oleh al-Fadani dan al-Lahji belum membedakan secara tuntas antara ’ilm al-
qawa’id al-fiqhiyah dengan ’ilm qawa’id ushul al-fiqh yang juga tidak lain
merupakan ilmu tentang kaidah untuk mengetahui hukum-hukum syara` dari
dalil yang terperinci.21
Definisi yang memadai tentang ilmu kaidah fiqh adalah ”al’ilm allazi
yubhatsu fihi ’an al-qodhoya al-fiqhiyah al-kulliyah allati juziyatuha qodhoya
fiqhiyah kulliyah, min hautsu ma’naha wa ma lahu shilatun bihi, wa min
haistu bayanu arkaniha, wa syuruthiha, wa mashdariha, wa hujjiyatiha,
wanasyatiha watathawuriha wa ma tanthoboqu ’alaihi min al-juziyat, wa
yustastna minha” (ilmu yang membahas proposisi fiqh yang universal yang
satuan-satuannya adalah hukum fiqh yang bersifat umum dari aspek makna
dan aspek-aspek yang relevan dengannya, menjelaskan rukun dan syarat-
syaratnya, sumber dan kehujjahannya, sejarah pembentukan dan
perkembangannya, dan keserasian dalam pengaplikasian dan pengecualiannya
terhaadap berbagai kasus di tengah realitas masyarakat. 22 Kata qodhoya al-
fiqhiyah al-kulliyah (proposisi fiqh yang universal) tidak termasuk kaidah
ushul fiqh (qodhoya al-kulliyah al-ushuliyah) dan kaidah ilmu logika
(qodhoya al-kulliyah al-mantiqiyah) dan proposisi fiqh yang bersifat cabang
(al-qodhoya al-fiqhiyah al-far’iyah) yang satuan-satuannya adalah satuan-
satuan hukum yang berhubungan dengan berbagai kasus (al-ahkam al-
fiqhiyah).

Qawa’id Fiqhiyah dan Qawa’id Ushuliyah


’Ilmu Usul al-Fiqh23 mengajarkan kepada kita bagaimana menjabarkan
keputusan-keputusan hukum dari sumber-sumber primer dalam hukum Islam
yakni al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Ilmu ini mengajarkan bagaimana
membaca sumber-sumber hukum tersebut dengan sikap yang jujur dan tidak
bias guna memberi penjelasan terhadap apa yang Allah SWT benar-benar
inginkan dari kita. Ilmu ini berhubungan dengan kata dan implikasinya
terhadap perumusan hukum (al-lafz wa dalalatuhu), sedangkan kaidah fiqh
tidak saja berhubungan dengan hukum, tetapi ia adalah juga hukum itu
sendiri.
Contoh kaidah ushul “perintah yang didahului oleh larangan
mengandung pengertian boleh” (al-amru ba’da al-hazhri yufidu al-ibahah). 24
Kaidah ini disimpulkan dari ayat 2 surat al-Maidah, ayat 10 surat al-Jum’ah
dan beberapa hadis. Contoh lain “Larangan menghendaki kesegeraan dan
kesinambungan” (al-Nahyu yaqtadhi al-faur wa al-dawam).25 Kaidah ini
bersumber dari sejumlah larangan dalam al-Qur’an dan Hadis. Contoh lain
adalah « dalil yang menghalangi diutamakan dari dalil yang membolehkan »

8 | Legal Maxim
(ad-dalil al-mani’ muqaddamun ‘ala ad-dalil al-mubih), « yang khusus
diutamakan daripada yang umum » (al-khos muqaddamun ‘ala al-‘am), « al-
mutawatir didahulukan daripada al-ahad » (al-mutawatiru muqaddamun ‘ala
al-ahad).26
Kaidah ushul, dengan demikian, bersumber dari teks syari’ah, produk
studi linguistik, kesimpulan dari logika induktif dari berbagai bentuk formula
kalimat bahasa Arab, ilmu al-Qur ‘an dan hadis. Dari semua unsur-unsur ini
muncul dan terbentuklah qawa’id ushuliyah sampai ilmu ini menjadi matang
dan mapan. Adapun qawa’id fiqhiyah kemunculannya justru setelah adanya
persentuhan dengan realitas hukum di tengah masyarakat yang disimpulkan
dengan menggunakan al-qawa’id al-ushuliyah. Dengan kata lain qawa’id
ushuliyah terbentuk lebih awal dari pada qawa’id fiqhiyah. Kemunculan
qawa’id fiqhiyah semata-mata bagaikan seutas tali yang digunakan untuk
mengikat berbagai furu’, satuan-satuan kasus dan berbagai peristiwa hukum
yang lain yang masih berserakan. 27 Itulah sebabnya fungsi dari pada al-
qawa’id al-fiqhiyah adalah sebagai robithoh (rawabith) pengikat yang
menghimpun berbagai kaus-kasus fiqh yang memiliki persamaan.
Jadi kaidah-kaidah fiqh berbeda dengan kaidah-kaidah ushul 28 karena
kaidah fiqh itu berbasis pada fiqh.29 Sedangkan kaidah ushul berhubungan
dengan metodologi legal reasoning (istimbath al-ahkam) dan aturan dalam
interpretasi, makna dan implikasi, perintah dan larangan, ia terbatas pada
tema ushul baik topik pembahasan maupun permasalahannya, dan lazimnya
tidak mengenal pengecualian. Karena sifatnya yang general (qawa’id muth-
thoridah) persis seperti kaidah-kaidah bahasa Arab pada umumnya. Sebuah
kaidah fiqh diartikan sebagai sebuah hukum umum (al-kulliyat al-’ammah)
yang berlaku untuk semua masalah-masalah terkait, tidak terbatas secara
kuantitas, namun meski bersifat komprehensif, masih terdapat pengecualian
karena beberapa faktor antara lain pengecualian berdasarkan nas, ijma’ atau
kondisi darurat atau lainnya. Adanya kemungkinan pengecualian ini, maka
sifat qawa’id fiqhiyah bersifat aglabiyah (kaidah-kaidah yang bersifat
mayoritas) bukan kulliyah muth-thoridah (kaidah umum tanpa mengenal
pengecualian).
Perbedaan antara kaidah fiqh dengan kaidah ushul juga dapat dilihat dari
aspek hakikat masing-masing. Hakikat kaidah fiqh mengungkap hukum
umum. Dari hukum umum ini kemudian berkembang berbagai hukum cabang
yang memiliki relevansi dan tergabung dalam al-kulliyat yang sama. Kaidah
ushul merupakan kaidah istidlal untuk menjelaskan hukum syari’ah yang
bersifat umum (kulli) maupun khusus (juz’i). Sedangkan kaidah fiqh,
merupakan ekspresi dari hukum syariah yang bersifat umum (al-ahkam al-

Pribumisasi Hukum Islam | 9


syar’i al-kulli) yang mengikat (robithoh) berbagai kasus yang memiliki
kulliyat yang sama.
Contoh kaidah-kaidah fiqh: al-umur bi maqashidihaa, al-dhararu yuzalu,
al-masyaqqatu taajlibu al-taisir dan al-’adatu muhakkamatun dan al-yaqin la
yazulu bi al-syakki” mengekspresikan hukum-hukum fiqh yang bersifat
kulliyah, dari sini kemudian terdapat berbagai hukum juz’i (hukum suatu
kasus) yang masih berada dalam rumpun ma’na al-kulli al-’am.
Berbeda dengan qawa’id ushuliyah semisal: al-amrul muthlaq yufidul
wujub, al-nahyu al-muthlaq yufidu al-tahrim, al’am hujjatun ba’da
taakhshishihi, dan al-’ibratu bi ’umumi al-lafzi la bi khususi al-sabab”
merupakan qawa’id istidlaliyah (prinsip-prinsip dalam berargumentasi) bukan
ahkam fiqhiyah kulliyah, ia adalah metode dan sarana untuk mengungkap
suatu hukum, ia bukanlah hukum, dan sejak semula kaidah ushul tidak dalam
bentuk hukum.
Perbedaan juga muncul dari aspek sumber. Kaum ushuli menetapkan
bahwa sumber kaidah ushul ada tiga yaitu ’ilm al-kalam, ’ilm al-fiqh, ’ilm
al-’arabiyah30. Ketiga ilmu inilah yang menjadi sumber dan menjadi
konstributor dalam perumusan kaidah-kaidah ushul.
Sumber qawa’id fiqhiyah beragam sekali, ada kaidah yang bersumber
dari nas (al-Qur’an, Sunnah) seperti kaidah al-darurat tubihul mahzurat”
yang disimpulkan dari Surat al-Baqarah ayat 173. Kaidah al-Dhararu yuzalu”
disimpulkan dari hadis ”La darara wa la dirara”. Kaidah ”al-’adatu
muhakkamatun” disimpulkan dari sejumlah petunjuk nas yang muncul dalam
berbagai kasus furu’, misalnya Surat al-baqarah ayat 228, 233. Kaidah al-
umur bi maqashidiha” disimpulkan dari hadis innaama al-a’malu bin niyat...31
Sebagian kaidah fiqh justru diperoleh dari kaidah-kaidah ushul seperti man
ista’jala syaian qabla aawanihi ’uqiba bihirmanihi 32. Kaidah ini bersandar
pada kaidah saddu al-zarai’. Kaidah al-ijtihad la yanqudhu bi al-ijtihad
disimpulkan oleh ulama dari ijma’ sahabat. Sebagian kaidah fiqh diperoleh
dari kajian induktif terhadap berbagai al-furu’ dan al-juz’iyat yang memiliki
satu al-manath (sebab hukum) dan madhmun (esensi kandungan hukum)
seperti kaidah al-tabi’u tabi’un33 dan kaidah iza ta’azzaro al-ashlu yushoru
ilal badal. 34
Perbedaan juga dapat dilihat dari sisi waktu kemunculannya (asbaqiyah.)
Kaidah ushul lahir lebih awal sebelum kaidah fiqh. Hubungan kaidah ushul
dengan kaidah fiqh adalah hubungan antara dalil dengan madlul, sehingga
sudah menjadi kemestian bahwa keberadaan dalil lebih awal dari pada
keberadaan madlul.35 Tanpa kaidah ushul seseorang tidak akan mampu
mengungkap hukum juziyat dari dalil-dalil tafshili (dalil-dalil yang rinci),
berbeda dengan kaidah fiqh letak pentingnya justru ketika tidak ada dalil-dalil

10 | Legal Maxim
atau nas-nas atas peristiwa atau kejadian tertentu. Kaidah fiqh dapat menuntun
mujtahid dalam menetapkan suatu hukum kasus yang memiliki relevansi
dengan kulliyat yang terkandung dalam kaidah tersebut.36
Meski adanya perbedaan yang signifikan antara kaidah fiqh dengan
kaidah ushul, terdapat sejumlah kaidah menyandang status kaidah fiqh dan
kaidah ushul sekaligus. Namun status ganda ini tetap dalam perspektif yang
berbeda. Disebut kaidah ushul dilihat dari eksistensinya sebagai dalil ijmali
(dalil global) yang menjadi basis istimbath terhadap hukum kulli. Sedangkan
disebut kaidah fiqh dilihat dari eksistensinya sebagai hukum juz’i (hukum
parsial) terhadap berbagai peristiwa hukum yang dilakukan oleh para
mukallaf. Misalnya kaidah ’al-’urf jika dilihat dari sumbernya merupakan
kaidah ushul, namun jika dilihat dari pengaplikasiannya ia merupakan kaidah
fiqh.37

Qawa’id al-Maqshadiyah
Studi eksploratif terhadap qawa’id al-maqshadiyah38 tergolong
mutaakhir. Adalah al-Kailany39 (sejauh pengetahuan penulis) berupaya
melakukan identifikasi qawa’id al-maqashidiyah dari kitab al-muwafaqat
karya al-Syatibi. Menurutnya qawa’id al-maqashidi merupakan ekspresi dari
nilai-nilai umum (ma’na ’aam) yang diperoleh dari berbagai ragam dalil
syari’ah. Kaidah ini mengungkap sesuatu yang dikehendaki Syari’ (pembuat
undang-undang) dalam suatu hukum. Di samping wataknya yang umum,
kaidah al-maqashid juga berwatak kulliyah (komprehensif). Artinya memiliki
cakupan yang luas, tidak terbatas pada tema, keadaan, masa dan individu
mukallaf tertentu, melainkan mencakup seluruh tema, semua individu, dan
berbagai situasi, kondisi dan waktu.
Misalnya kaidah maqashid tentang dampak dari suatu perbuatan selalu
menjadi pertimbangan (al-Nazru fi al-ma’al mu’tabarun syar’an) 40 merupakan
ekspresi dari nilai-nilai umum yang disimpulkan dari sejumlah ayat al-Qur’an.
Misalnya ayat tentang kewajiban berpuasa dalam surat al-Baqarah ayat 183,
ayat tentang hukuman qishas (justalionis atau hukuman setimpal) dalam surat
al-Baqarah ayat 179, dan dalam surat al-An’am ayat 108. Ayat-ayat tersebut
mengindikasikan bahwa suatu hukum ditetapkan berdasarkan hikmah, atau
tujuan syari’ah yang terkandung di dalmanya.
Oleh karena karakter kaidah maqshadiyah sama dengan kaidah pada
umumnya yaitu bersifat umum dan komprehensif. Demikian pula tujuan dari
kaidah maqashid tidak berbeda dengan kaidah fiqh yaitu mengungkap hukum

Pribumisasi Hukum Islam | 11


dalam berbagai peristiwa atau kejadian yang sejalan dengan kehendak Syari’.
Ambil misalnya kaidah fiqh”al-masyaqqatu tajlibu al-taisir”41 tujuannya
tidak berbeda dengan qa’dah maqashid ”La yaqshudu al-syari’u al-taklifa bi
al-syaqqi min al-’a’maal”.42 Dengan adanya kedua kaidah ini, para mujtahid
mampu memahami bahwa hukum ditetapkan berdasarkan suatu tujuan yaitu
menjauhkan segala bentuk kesulitan. Oleh karena itu kedua kaidah ini
menghendaki adanya manath (tujuan) hukum yang sama. Di sinilah letak
relasi kaidah fiqh dengan kaidah maqashid.
Meski pun demikian, keduanya tetap memiliki perbedaan dalam
beberapa aspek yaitu:
Dari aspek eksistensinya (hakikat) terdapat perbedaan. Kaidah fiqh
menjelaskan hukum syariah yang bersifat umum yang kemudian untuk
diterapkan dalam berbagai kasus dalam berbagai tema. Sedangkan kaidah
maqashid tidak menjelaskan hukum umum yang akan diterapkan pada
berbagai kasus, melainkan ia focus dalam menjelaskan hikmah hukum yang
tidak akan terpisahkan dengan penetapan hukum itu sendiri. Jadi eksistensi
dari kaidah fiqh terletak pada keberadaannya sebagai hukum umum.
Sedangkan eksistensi dari kaidah maqashid adalah keberadaannya yang
mengungkap hikmah dan goyah (hikmah dan tujuan hukum) itu sendiri.
Contoh”al-masyaqqatu tajlibu al-taisir” adalah hukum umum yang
menyatakan bahwa kesulitan dapat dijadikan alasan (sebab) untuk
mempermudah mukallaf. Tetapi harus diingat bahwa orientasi kaidah ini
bukan untuk meringankan (takhfif) para mukallaf, juga tidak mengekspresikan
tujuan dari hukum umum dan hikmahnya. Sementara dalam kaidah maqashid
menjelaskan suatu tujuan dari al-taisir bagi mukallaf. Hal ini kita temukan
dalam kaidah maqashid yang dirumuskan Syatibi ketika menjelaskan al-
masyaqqah antara lain ”Inna maqshud al-syari’ min masyru’iyati al-rukhos,
al-rifqu bi al-mukallaf min tahammuli al-masyaq”.43
Al-haraj dihilangkan karena dua sebab, pertama untuk menghindari
darar (bahaya) atau al-malal (kejenuhan). Upaya ini untuk mengantisipasi
agar seseorang tidak membenci ketaatan, kedua, untuk menghindari agar tidak
terjadi penyia-nyiaan suatu perbuatan atau bahkan meremehkannya. 44
Dari aspek kehujjahan dan posisi: Terdapat pernyataan dari fuqaha’
bahwa kaidah fiqh tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum atau
fatwa.45 Dari sini al-Hamawi berkata ”tidak boleh menetapkan fatwa semata-
mata mengacu pada kaidah fiqh, karena ia bukan kaidah kulliyah, melainkan
kaidah aglabiyah”46 Ali Haidar pensyarah Majallatu al-ahkam al-’adliyah
mengatakan para hakim tidak dapat menetapkan hukum semata-mata
mengacu pada salah satu dari qawa’idfiqhiyah yang ada. 47

12 | Legal Maxim
Pengetahuan terhadap qawa’id fiqhiyah membantu untuk
mengungkapkan maqashid syari’ah. Dalam banyak hal tidaklah mudah untuk
mengetahui hukum-hukum cabang, sehingga mendorong seorang mujtahid
untuk mengkaitkan hukum dengan maqashid, mencari sisi-sisi persamaan dan
perbedaan dalam berbagai kasus. Dari sini kemudian mengetahui hikmah-
hikmah dan sebab-sebab penetapan hukum. Ibn ’Asyur mengisyaratkan
bahwa peneliti qawa’id fiqhiyah akan mengetahui ”pengikat” antara berbagai
furu”, mencermati illat-illat hukum yang sama yang dapat mengungkap tujuan
umum dari syari’ah yaitu jalbu al-masalih wa daf’u al-mafasid.

Qawa’id Fiqhiyah dan Dhawabith Fiqhiyah


Al-qawa’id al-fiqhiyah adalah refleksitas dari sebuah pemahaman dalam
fiqh dan dalam hal ini berbeda dengan apa yang dikenal sebagai al-dawabith
jamak dari al-dabithah, yang terbatas pada bidang tertentu, dan mengontrol
masalah-masalah dalam sebuah tema atau bab tertentu pada fiqh,48 seperti
topik tentang taharah (hukum bersuci), nafaqah (biaya rumah tangga), ar-
rida’ (pemeliharaan anak), hutang piutang, wakalah (mewakilkan suatu
perbuatan pada orang lain), wasiat dan sebagainya.49
Al-Burnu mengklasifikasi al-dawabith sebagai kaidah peringkat ketiga
yang memiliki cakupan yang sangat sempit, terbatas pada topic tertentu atau
sub topic tertentu. Pendapatnya ini mengacu pada pendapat Ibn al-Subki yang
menyatakan bahwa qawa’id ada yang mencakup banyak tema, dan ada yang
mencakup beberapa tema, dan ada pula yang khusus pada tema tertentu. 50
Contoh dhabithah dalam pernyataan “Semua barang yang boleh diperjual
belikan, boleh pula untuk digadaikan” merupakan dhabith dalam aqad
mu’awadath al-maliyah; dalam perkawinan ”semua harta yang representatif
untuk dijadikan mahar, representatif pula untuk dijadikan sebagai pengganti
(kompensasi) khulu’, dalam referensi jual beli ”semua makanan ataupun
minuman yang tidak boleh dimakan dan diminum tidak boleh diperjual
belikan dan uang bayarannya tidak halal”, dalam referensi pelanggaran
”semua kaffarat yang disebabkan oleh perbuatan maksiat, harus segera
dipenuhi (kullu kaffaratin sababuha ma’shiyah fahiya ’ala al-faur), dan dalam
referensi kebersihan: ‘jika air mencapai dua kaki (lbk 65 cm), air itu tidak
membawa najis”.
Contoh dari al-qawa’id al-fiqhiyah adalah pernyataan “Urusan imam
berkaitan dengan makmum ditetapkan dengan referensi maslahah”. Temanya
disini lebih umum tanpa pengkhususan dari urusan makmum atau kegiatan
imam. Contoh lain adalah ”Ganti rugi yang dibebankan kepada penyebab
kerusakan barang sama dengan ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku

Pribumisasi Hukum Islam | 13


langsung atas kerusakan barang tersebut”, Setelah menjelaskan perbedaan
antara dabitah dan kaidah, kami juga melihat bahwa al-qawa’id al-fiqhiyah-
pun juga berubah-ubah bergantung pada tingkat abstraksi dan cakupannya.
Beberapa al-qawa’id al-fiqhiyah merupakan penerapan yang umum,
sedangakan yang lain berlaku untuk wilayah tertentu dalam fiqh, seperti
ibadah, mu’amalah, kontrak, litigasi dan berita acara peradilan. Beberapa al-
qawa’id yang khusus kemudian dapat disebut sebagai dabitah bukan al-
qawa’id, sebab perbedaan antara keduanya tidak selalu jelas dan teramati. Ibn
Juzay al-Maliki telah mengidentifikasi dan membahas persoalan dhawabit
berkaitan dengan tema dan bab fiqh.51 Al-qawa’id yang paling komprehensif
dan cakupan yang luas dikenal sebagai al-qawa’id al-fiqhiyah normatif dan
berlaku untuk semua tingkatan fiqh tanpa ada spesifikasi. Dalam al-qawa’id
seperti ”haram wajib dihilangkan” dan “tindakan ditentukan oleh niat dalam
diri” masuk kedalam kategori al-qawa’id al-fiqhiyah normatif ini. Ulama
terdahulu telah menetapkan sekitar lima dari kategori kaidah ini.52Mereka
menyatakan bahwa mereka mengambil antaranya hakikat syari’ah itu sebagai
sebuah kesatuan dan bagian lainnya hanya sebagai penjelasan. Tiga kaidah
fiqh normatif yang lain adalah Al-yaqinu la yazulu bish shakk”, ”Al-
mashaqqatu tujlab at-taysir.”Al-addatu muhakkamatun”.
Al-qawa’id al-fiqhiyah normatif pertama di atas telah dilengkapi oleh
sejumlah al-qawa’id lainnya seperti Al-aslu baraa’ah ad-dhimmah. Ini
sejalan dengan apa yang telah dikenal sebagai praduga tak bersalah, meskipun
al-qawa’id ini terlalu umum. Intinya adalah al-qawa’id ini berkaitan erat
dengan prosedur pidana, sedangkan al-qawa’id non-liability berkaitan
dengan litigasi perdata dan masalah-masalah agama secara umum. Pernyataan
normatif adalah orang tidak bertanggung jawab, jika tidak dibuktikan bahwa
mereka terbukti dan sampai pembuktian ini berjalan. Pernyataan bersalah
kepada seseorang dianggap sebagai pernyataan yang meragukan. Dengan kata
lain, al-yaqin hanya dapat ditolak dengan al-yaqin, bukan oleh al-syak
(keraguan). Al-qawa’id tembahan lainnya adalah norma yang menganggap
keabsahan dari status quo, sampai kita mengetahui adanya perubahan.
“normanya adalah bahwa status quo masih sediakala, jika tidak dibuktikan
mengalami perubahan. Contoh dari hal ini adalah hak isteri terhadap
pemeliharaan yang telah ditetapkan oleh Syari’ah: jika dia menuduh suaminya
gagal memeliharanya, tuduhan tersebut akan memiliki kredibilitas. Karena
norma disini adalah pernyataan dalam hal pemeliharaan sepanjang dia masih
menjadi isteri. Begitu pula jika salah satu pihak yang mengontrak menuduh
bahwa kontrak disetujui dibawah paksaan dan yang lain menolak hal ini,
maka klaim yang kedua ini akan dipegang sebab ketiadaan akan paksaan

14 | Legal Maxim
adalah keadaan yang normal atau status quo, yang hanya dapat ditolak dengan
pembuktian.
Menurut kaidah-kaidah lain: ‘norma yang berkaitan dengan hal ini
adalah tentang Al-aslu fil-ashyaa al’Ibahah. Dengan kata lain al-Aslu fil-
ashya’ al’Ibahah adalah kondisi alamiah dan oleh karena itu akan tetap
sampai ada pembuktian untuk menjamin keluar dari posisi tersebut. Kaidah
ini berdasarkan atas pemahaman umum tentang pembuktian yang relevan
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Maka disebutkan di dalam al-Qur’an bahwa
Allah telah menciptakan semua yang ada dimuka bumi ini untuk
kemakmuranmu (al-Baqarah: 2:29) dan juga hadis menyatakan “apapun yang
Allah jadikan halal adalah halal dan apapun yang Allah tetapkan haram adalah
haram, dan semua yang lain diantara yang telah ditetapkan itu Allah
maafkan”. Kesimpulan yang dapat diambil adalah kita diizinkan untuk
memamfaatkan sumber daya alam untuk kemakmuran dan jika sesuatu itu
tidak dinyatakan haram, dianggap boleh dimanfaatkan. Dinyatakan dalam al-
Majallah53 bahwa al-qawa’id al-fiqhiyah dirancang untuk memfasilitasi
pemahaman yang lebih baik dari syari’ah dan keputusan mungkin tidak
berdasarkan atas pendapatnya terhadap masalah ini, jika al-qawa’id tersebut
tidak diambil dari al-Qur’an atau Hadis atau didukung oleh pembuktian
lainnya.
Akan tetapi hal ini berbeda dengan pendapat Shihab al-Din al-Qarafi
yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan dapat dianulir jika keputusan
tersbut melanggar kaidah-kaidah yang umumnya telah diterima.
Para ulama telah secara umum sependapat bahwa al-qawa’id fiqh
bersesuaian dengan ijtihad, dan kedua-duanya dapat digunakan oleh para
mujtahid dan hakim sebagai bukti yang persuasif. Itu hanya sebagai pedoman
besar, sedangkan delik hukum perlu ditemukan dalam pembuktian khusus
yang relevant dengan subjek ajudikasi. Karena sebagian besar dari al-qawa’id
al-fiqhiyah dijelaskan dalam bentuk pernyataan umum, al-qawa’id al-fiqhiyah
diterapkan dalam arti yang ekslusif dan sering terdapat pengecualian dan
partikularisasi. Contoh seperti ini sering dicatat oleh para ahli hukum,
khususnya dalam kasus ketika al-qawa’id al-fiqhiyah tertentu gagal
diterapkan pada keadaan yang perkaranya tidak selesai. Kemudian mereka
berusaha untuk memformulasikan kaidah tambahan untuk memecahkan kasus
tertentu itu. Al-qawa’id al-fiqhiyah dikembangkan secara bertahap dan sejarah
perkembangannya dalam kasus umum parallel dengan sejarah fiqh itu sendiri.
Akan tetapi lebih khusus lagi ini dikembangkan terutama pada masa taqlid,
sebab ini adalah dalam kerangka takhrij pada pedoman dari literatur fiqh
yang lengkap. Perkembangan ini terjadi selama tiga abad pertama dari
keunggulan Islam, yang dikenal dengan nama masa ijtihad.

Pribumisasi Hukum Islam | 15


al-Furuq
Dua perkembangan terkait lainnya yang juga menarik memiliki dua arah
yang berbeda. Satu diantarannya adalah literatur furuq yang menunjukkan
perbedaan antara konsep-konsep sejenis atau konsep-konsep yang memiliki
aspek yang sama. Usaha untuk menunjukkan perbedaan juga berlaku kepada
kaidah itu sendiri, karena literatur furuq tersebut mengkhususkan perbedaan
antara beberapa kaidah yang mirip satu dengan lainnya tetapi dapat dibedakan
dalam beberapa aspek. Ahli fiqh mazhab Maliki, Shihab ad-Din al-Qarafi
dalam Kitab al-Furuq54 (dalam empat volume) membahas 548 al-qawa’id
274 furuq antara tema dan gagasan yang serupa.
Kadang-kadang kata kaidah digunakan kepada hal yang berkaitan dengan
dabitah atau hukum fiqh khusus lainnya. Contoh furuq meliputi perbedaan
antara ijarah dan penjualan, antara hadanah dan wilayah, antara shahadah
dan riwayah, antara al-‘urf al-qauli dan al-‘urf al-fi’li. Ini seringkali
diungkapkan dengan pernyataan yang mirip dengan dabitah dalam
penerapannya terhadap tema-tema khusus saja, tetapi disebut furuq sebab
membandingkan tema-tema sejenis dan melihat perbedaan antaranya.
Pendekatan al-Qarafi menyajikan perkembangan yang baru dalam literatur
qawa’id. Beliau juga membahas al-qawa’id al-fiqhiyah dalam karyanya yang
lain al-Zakhirah,55 (lebih khusus lagi) Al-Ihkamu fi Tamyiz al-Fatawa ‘anil-
Ahkam. Judul tersebut biasa disebut sebagai judul yang berorientasi furuq
yang mengacu kepada perbedaan antara fatwa dan keputusan hakim.
Karya Ibn ash-Shat Qasim bin ‘Abd Allah al-Ansari Idrar yakni ash-
Shuruq ‘ala Anwar al-Furuq juga merupakan sebuah karya furuq. Begitu pula
terdapat karya-karya yang lebih tipis juga ditulis oleh ulama mazhab Syafi’i.

Nazariyat Fiqhiyah
Perkembangan selanjutnya yang akan dibahas adalah karya sejenis yang
relatif baru dan muncul dalam tulisan modern dengan pengkhususan dibidang
an-Nazariyyah al-fiqhiyah atau teori hukum Islam. Nazariyyah dalam konteks
ini mengacu kepada sebuah pengaturan yang komprehensif 56 terhadap hal-hal
penting dalam hukum, seperti teori tentang kontrak, teori kepemilikan, dan
teori ad-darurah dan lain-lain. Tingkatan perkembangan teori ini
memperlihatkan perubahan dari model awal dalam tulisan literatur fiqh di
mana topic tidak digolongkan dengan baik dan tema-tema yang menyatakan
bidang tertentu tersebar dalam bagian-bagian yang berbeda. Literatur
Nazariyyah berusaha mencari solusi itu dan menyajikan pengaturan yang
sistematis terhadap persoalan-persoalan yang bertujuan menjadikannya
sebagai referensi dan yakin untuk diterapkan.

16 | Legal Maxim
Literatur Nazariyyah berasal dari sumber-sumber yang digabung dalam
fiqh dari semua bidang, termasuk qawa’id, dawabit dan furuq. Tetapi
Nazariyyah tidak selalu diharapkan untuk menghasilkan kembali sebuah
formulasi yang detail terhadap cabang-cabang terkait, sebab karya yang
berorientasi teori umumnya hendaknya ringkas, jelas pengulangannya dan
tidak harus detail. Nazariyyah juga menggabungkan metode-metode baru
dalam penelitian dan penulisan, yang lebih efektif dan hemat waktu. Literatur
Nazariyyah tidak hanya dibatasi dengan metode dan bentuk tulis yang telah
diperbaiki, tetapi juga berusaha menonjolkan beberapa aspek substansial
dalam doktrin fiqh. Sebagai contoh berkaitan dengan hukum kontrak, Abd ar-
Razzaq as-Sanhuri telah mengamati bahwa literatur fiqh pada bidang ini
difokuskan pada penjelasan yang detail terhadap sejumlah kontrak dan
mengelola masing-masing kontrak secara terpisah. 57
Fuqaha mazhab Hanafi, al-Kasani telah membahas 19 kontrak nominasi,
di mana banyak di antaranya memiliki kesamaan dan juga perbedaan dalam
beberapa aspek. Sebuah kajian terhadap literatur yang relevan dalam kontrak
fiqh, seperti yang dicatat oleh as-Sanhuri, menghilangkan keraguan pembaca
dalam hal sebagai berkut: apakah kontrak-kontrak ini dapat diatur untuk
mendapatkan bagian-bagian yang memiliki kesamaan; apakah fiqh
memvalidasi kontrak selain di atas; dan apakah fiqh memperlihatkan
kebebasan dasar dalam berkontrak, yakni atas dasar perjanjian yang tidak
melanggar moralitas dan kepentingan umum.
Keraguan ini sepertinya dapat dijawab dengan lebih baik dari literatur
nazariyyah yang lebih teratur dan expresif terhadap aspek-aspek yang sama
dalam kontrak tersebut. Literatur Nazariyyah tidak berarti tanpa berlandaskan
pada fiqh. Sebagai contoh, dalam teori kontrak, bahwa kemajuan yang
signifikan telah dibuat oleh ulama mazhab Hanbali, Ibn Taymiyyah (w. 728)
dan pengikutnya, Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah yang kontribusinya sangat
terkenal. Ibn Taymiyyah melepaskan dari teori awal atas masalah kontrak
nominasi dan menyajikan sebuah wacana yang menyakinkan melalui
pendapatnya bahwa kontrak tidak perlu dibatasi pada sebuah protitipe atau
jumlah tertentu. Hakekat dari semua kontrak terletak pada perjanjian para
pihak yang berkontrak, yang boleh membuat kontrak baru, didalam atau diluar
para pihak yang telah dikenal, karena mereka menyadari keuntungan secara
hukum dan tidak melanggar moralitas dan kepentingan umum.
Namun perlu dicatat bahwa kontribusi Ibn Taymiyyah terhadap teori
kontrak ini menyajikan perkembangan laten dan pemisahan dalam beberapa
cara dengan keadaan mayoritas pada tema ini. Oleh karena itu, kritik as-
Sanhuri dalam masalah ini masih dianggap relevan. 58 Kemajuan yang pesat
juga dibuat dalam kontek literatur nazariyyah, tidak hanya tulisan as-

Pribumisasi Hukum Islam | 17


Sanhuri, tetapi juga oleh banyak ulama baik Arab maupun non-Arab yang
telah menulis tentang kontrak dan tema-tema besar dalam fiqh. Menurut
hemat penulis dalam konteks ini kemunculan ensiklopedia fiqh dalam abad ke
20 memperlihatkan kemajuan dan keberhasilan dalam menghasilkan karya-
karya yang baik dan sesuai dalam bidang fiqh dan kegiatan ini akan terus
berlanjut. Tetapi sebagai aliran yang berada dalam literatur fiqh, al-qawa’id
al-fiqhiyah sepertinya masih sebagai bidang yang berpengaruh dalam
legalitas fiqh. Ini barangkali dimunculkan oleh fakta bahwa para Ulama Turki
yang membuat tulisan al-Majallah al-’adliyah produk Turki Ustmani pada
tahun 1850, memutuskan untuk memulai karya yang orisinil dan impresif
dalam hukum Islam berkaitan dengan transaksi dengan sebuah koleksi yang
paling penting dalam kaidah-kaidah ini.

Al-Asyabah dan al-Naza’ir


Meski telah menelusuri makna etemologis kata al-asybah dan an-naza’ir
ternyata belum mampu mengungkap perbedaan yang signifikan antara kedua
istilah tersebut. Dalam bahasa Indonesia al-asyabah dapat bermakna
keserupaan atau kemiripan, sedangkan al-naza’ir berarti kesepadanan. Barang
kali al-Suyuthi dapat membantu kita dengan baik untuk membedakan kedua
istilah tersebut. Al-Matsil atau al-mumatsalah mengandung makna al-
musawat yang berarti adanya persamaan antara sesuatu dari berbagai aspek.
Sedangkan al-syabih atau al-musyabahah adalah adanya persamaan antara
sesuatu dari beberapa aspek saja secara dominan, bukan keseluruhannya.
Adapun al-naza’ir atau al-munazarah adalah adanya persamaan antara
sesuatu pada satu atau beberapa aspek saja. Dengan demikian, istilah-istilah
tersebut merupakan refresentasi dari seberapa jauh lemah maupun kuatnya
unsur-unsur yang dimiliki bersama (al-isytirok), atau sifat-sifat yang dimiliki
secara bersama-sama oleh dua atau beberapa kasus. Pada al-matsil tingkat
persamaan atau persekutuan unsur-unsur tersebut sangat kuat dan bahkan
dominan. Hal ini kemiripannya berada pada peringkat satu, menyusul
kemudian al-syabih dan al-nazir. Dengan demikian, adanya persamaan yang
kuat dan dominan disebut al-matsil, sedangakan jika keberadaan
persamaannya terendah disebut al-nazir, dan jika keberadaan unsur persamaan
itu tidak kuat, tetapi juga tidak lemah (sedang-sedang saja) disebut al-
syabih.59
Menurut pengamatan penulis, belum ada karya tentang al-qawa’id al-
fiqhiyah yang berjudul al-matsil. Hal ini berbeda dengan al-syabih dan al-
nazir. Bahwa al-asybah secara prinsip mengacu pada unsur al-musyabahah
(kemiripan) dalam al-furu’ al-fiqhiyah.

18 | Legal Maxim
Imam Syafi’i menjadikan al-musyabahah ke dalam salah satu model
qiyas. Beliau mengatakan qiyas dari dua sisi, pertama hukum produk qiyas
sama dengan hukum yang ada pada al-ashl, qiyas model ini menjadi
kesepakatan para teorikus hukum Islam (ushuliyun). Kedua hukum produk
qiyas hanya memiliki kemiripan dengan hukum pada al-ashl, sehubungan
dengan ini keserupaan atau kemiripan yang dominan menjadi acuan qiyas-
nya, qiyas model ini diperdebatkan oleh para kaum ushuli. 60 Inilah yang
disebut dengan qiyas galabat al-asybah (qiyas yang mengacu pada unsur
keserupaan yang dominan).
Al-Asybah dalam pengertian ushul fiqh lebih spesifik dari pada al-asybah
dalam konteks al-qawa’id. Hukum-hukum furu’ yang dinamai al-asybah
dalam karya-karya al-qawa’id adalah kasus-kasus yang memiliki satu hukum,
karena satu sama lain terdapat kemiripan, tetapi penyeragaman hukum
terhadap kasus-kasus yang memiliki kemiripan ini tidak dalam konteks
kesimpulan dari nalar qiyas.
Istilah naza’ir secara simantic tidak berbeda dengan al-asybah, akan
tetapi para terminolog fiqh menjelaskan bahwa naza’ir memiliki kemiripan
yang lebih rendah daripada al-asybah.61 Dengan demikian, al-naza’ir adalah
al-asybah. Akan tetapi terkadang terdapat sifat-sifat yang menghalangi ilhaq
al-hukmi (penyamaan hukum) terhadapnya dengan kasus yang memiliki
kemiripan hukum.62 Suyuthi menyebutkan bahwa pembahasan topik ini dalam
ilmu tersendiri yang disebut al-furuq, di mana disebutkan di dalamnya
perbedaan antara berbagai naza’ir yang secara konsepsional dan makna
berada dalam satu kategori, namun pada hukum dan ’illat-nya terdapat
perbedaan.63 Akan tetapi Suyuthi sendiri di dalam al-asybah wa al-naza’ir
tidak membahas al-juziyat (kasus-kasus parsial) yang berhubungan dengan al-
furuq dalam pembahasan atau topik tersendiri. Pada bab lima dalam karyanya
tersebut dengan judul Naza’irul abwab, pada bab enam dengan judul ”abwab
mutasyabihah wa ma iftaraqat fihi”. Sedangkan pada bab tujuh dengan judul
”Naza’ir Syatta”.
Mencermati secara kritis bab-bab dalam karya al-Suyuthi memperkuat
dugaan atas ketidak konsistenannya dalam hal pembahasan al-furuq. Padahal
sejak awal dia menjanjikan pembahasan tersebut dalam bab tersendiri dalam
ilmu khusus. Misalnya pada bab Naza’irul Abwab didominasi oleh
pembahasan al-istitsna’at (pengecualian-pengecualian). Pada bab ”Naza’ir
Syatta” memuat hukum-hukum masalah-masalah tertentu, kemudian
menyebut kasus-kasus lain yang memiliki kemiripan, sebagiannya memiliki
persamaan hukum, dan sebagian yang lain memiliki perbedaan hukum.
Adapun pada bab enam ”Abwab Mutasyabihah...” adalah khusus pada al-
furuq. Perbedaan yang disebutkan hanya antara dua hal, misalnya perbedaan

Pribumisasi Hukum Islam | 19


antara al-lamsu dengan al-massu, perbedaan antara al-wudu dengan al-gusl,
goslu al-rijl dan mashul khoff dan perbedaan antara al-ra’su dan al-khoff,
perbedaan antara al-wudu’ dan tayammum, perbedaan antara sperma dengan
darah haid, haid dan nifas, perbedaan antara azan dan iqomah, perbedaan
antara shalat jum’at dan shalat ’id dan lain-lain.
Meski penulis belum melakukan penelusuran secara cermat dan detail,
namun dapat disimpulkan sementara bahwa istilah-istilah tersebut pernah
mengemuka, sebelum kemunculan karya-karya dalam bidang al-qawa’id al-
fiqhiyah. Mungkin karya yang paling tua ditulis oleh Muqatil Ibn Sulaiman al-
Balkhi (w. 150H) yang berhubungan dengan ’ilm ma’rifati al-wujuh wa al-
naza’ir fi tafsir.64 Melihat tulisan Muqatil sepertinya dimaksudkan untuk hal-
hal yang menjadi pengecualian (istitsnaat). Misalnya ”Semua kata al-buruj di
dalam al-Quran berarti al-kawakib kecuali dalam Surat al-Nisa’ ayat 78
artinya al-qushur al-Thiwal al-Hashinah, Setiap shalat mengandung ibadah
dan rahmah kecuali dalam Surat al-Haj ayat 40 yang berarti al-amakin
(tempat-tempat), setiap kata qunut mengandung ketaatan kecuali dalam Surat
al-Baqarah ayat 116 artinya muqirrun, Setiap kata kanzun mengandung makna
mal (harta) kecuali dalam Surat al-Kahfi ayat 82 artinya shohifatul ’ilm, setiap
mishbah di dalamnya ada kaukab kecuali dalam Surat an-Nur ayat 35 artinya
al-Siraj. Semua kata nikah artinya tazawwuj (perkawinan) kecuali dalam
Surat al-Nisa’ ayat 6 yang artinya al-hulum. Mencermati makna-makna
tersebut, maka al-asybah wa al-naza’ir mengandung makna al-furu’ al-
fiqhiyah al-mutasyabihah (satuan-satuan hukum fiqh yang memiliki
kemiripan) sehingga status hukumnya sama berdasarkan kemiripan tersebut,
dan juga mencakup al-furu’ al-fiqhiyah al-mutasyabihah (satuan-satuan
hukum fiqh) yang bentuk lahir dan konsepsionalnya memiliiki persamaan,
namun berbeda statusnya dalam hukum.
Meskipun demikian sebagian karya al-asybah tidak terbatas pada kriteria
tersebut, tetapi mencakup ilmu-ilmu lain, bahkan ada yang sama sekali tidak
punya hubungan dengan al-asybah wa al-naza’ir, namun tujuannya terpenting
membahas hukum al-furu’ yang memiliki kemiripan dalam bentuk dan
hukum, atau memiliki kemiripan pada bentuk saja, tetapi tidak pada hukum,
menjelaskan pengecualian-pengecualian (al-mustatsnayat) dan aspek-aspek
al-jam’u dan al-farq (yang bergabung dan yang berbeda). Adapun ilmu-ilmu
lain hanya muncul untuk menambah kegunaan (al-faidah), tidak lebih dari itu,
dengan demikian penamaan karya-karya ini dengan al-asybah wa al-naza’ir
hanya dalam konteks kebiasaan (bab al-taglib).
Meski kemiripan ini tidak meniscayakan persamaan hukum, akan tetapi
sudah menjadi tradisi sebagian fuqaha’ menamainya dengan al-asybah wa al-
naza’ir. Inilah yang menjadi problem. Ibn Nujaim, misalnya dalam al-fan al-

20 | Legal Maxim
tsani dalam karyanya al-asyabah wa al-naza’ir memberi judul al-fawa’id, dan
menganggapnya bagian dari al-asybah wa al-naza’ir. Padahal di dalamnya
disebut pula dhawabith dan istitsnaat. Dalam al-fan al-tsalits juga disebutkan
al-jam’u dan al-farqu. Perbedaan terlihat pada al-fan alrabi’ yaitu al-algaz
yang menurutnya bagian dari al-asybah wa al-naza’ir, tidak juga pada al-fan
al-khomis yaitu al-hiyal yang menurutnya termasuk al-al-asybah wa al-
naza’ir, dan tidak pula pada al-fan al-sabi’ yaitu hikayat dan murosalat yang
juga menurutnya bagian dari al-asybah wa al-naza’ir. Dapatlah dipahami
bahwa penamaan semuanya itu dengan al-asybah wa naza’ir semata-mata
tradisi yang keliru, bahkan merupakan penamaan yang keliru.
Dari sudut pandang lain, perbedaan antara al-asybah wa al-naza’ir dari
satu sisi, dan qawa’id fiqhiyah dari sisi lain, dapat disebutkan bahwa al-
qawa’id mencerminkan al-rawabith (pengikat) dan al-jami’ (penghimpun)
berbagai kasus yang memiliki kemiripan, atau yang memiliki sifat yang sama
antara furu’-furu’ yang diberlakukan terhadapnya qa’dah yang sama. Dengan
demikian, qawa’id mencerminkan suatu al-mafahim (konsep dan sifat-sifat
dasar yang tergabung di dalamnya berbagai satuan) dan hukum-hukum yang
bersifat umum. Sedangkan al-asybah wa al-naza’ir mencerminkan al-
mashodaqot (segala sesuatu yang dapat dijadikan bukti) atau kejadian-
kejadian parsial (al-waqai’ al-juziyah) yang mengkonkritkan al-mafahim
(konsep-konsep) atau menafikannya. Mereka yang melihat adanya al-ma’na
al-jami’ dan al-dawabith antara berbagai al-furu’ cenderung menamai
karyanya al-qawa’id, sedangkan orang-orang yang melihat furu’ juz’iyah
cenderung menamai karyanya al-asybah wa al-naza’ir. Akan tetapi kesulitan
bagi mereka yang menamai karyanya al-qawa’id untuk memasukkan
pembahasan al-furuq atau al-furuq wa al-istitsnaat (perbedaan-perbedaan dan
pengecualian-pengecualian) dan sebagian tema pembahasan lain jika al-
qawa’id kita defenisikan seperti di atas, kecuali menjadi bagian dari
interpretasi. Itulah sebabnya pengungkapan dengan al-asybah wa al-naza’ir
lebih banyak menggambarkan karya-karya al-qawa’id secara umum.

Sejarah Pertumbuhan al-Qawa’id al-Fiqhiyah


Sebagai sebuah disiplin keilmuan, kaidah fiqh sebagaimana
disebutkan dimuka muncul setelah fiqh menunjukkan kematangannya. Fiqh
dalam tradisi Islam adalah disiplin yang paling awal muncul, paling cepat
berkembang dan paling cepat pula mapan. Kaidah fiqh ini muncul sebagai
respon yang mengikuti pesatnya perkembangan kajian fiqh. Jangkauan tema
dan wilayah kajian fiqh yang demikian luas, yang mencakup semua sisi
kehidupan manusia, oleh para fuqaha dilihat perlu penyederhanaan dan

Pribumisasi Hukum Islam | 21


penyimpulan dalam bentuk prinsip-prinsip umum yang mencerminkan
keseluruhan rumusan-rumusan yang ada. Penyerderhanaan ini agar
kompleksitas rumusan fiqh tersebut lebih mudah diakses oleh para
pengkajinya. Lalu dimunculkanlah kaidah-kaidah fiqh untuk menjawab
kebutuhan tersebut.
Dengan demikian, kaidah fiqh dapat dilihat sebagai turunan dari kajian
dalam bidang fiqh dan batas tertentu dilihat sebagai sub disiplin dalam bidang
tersebut. Meskipun ciri dan watak kajiannya justru pada hal-hal yang bersifat
umum, dan generalisasi atas detail-detail rumusan dalam bidang fiqh.
Dalam sejarahnya65, pembentukan disiplin kaidah fiqh ini dan juga
penulisan karya-karya dalam bidang tersebut mengikuti laju perkembangan
kajian dalam bidang fiqh. Penyusunan kaidah fiqh dilakukan setelah melalui
proses pemahaman terhadap hukum-hukum yang dikandung ayat-ayat al-
Qur’an dan atau hadis-hadis Nabi saw. yang kemudian diujikan kepada
rumusan-rumusan fiqh.
Berikut ini adalah peta perkembangan kaidah fiqh dalam sejarah yang
dapat dibuat menjadi tiga fase utama yaitu:
A. Fase Pertumbuhan dan Formatisasi
Fase pertumbuhan dan formatisasi ini adalah fase di mana disipilin ini
belum terbentuk secara formal dan belum menjadi disiplin yang mandiri.
Akan tetapi pada fase ini, secara emberional, dasar-dasar bagi pengembangan
kaidah-kaidah ini telah muncul.
Fase pertumbuhan dan formatisasi ini dapat dibagi menjadi tiga priode
yaitu:
a. Periode Rasulullah
Fase ini sekalipun singkat akan tetapi merupakan fase penting yang
menandai munculnya cikal bakal bagi semua disiplin keilmuan Islam,
termasuk juga disiplin kaidah fiqh.
Fase yang dimaksud adalah masa kenabian atau masa pewahyuan yang
dikenal dengan masa-masa formatisasi Islam sebagai sistem syariat. Pada
masa itu, Islam sebagai sebuah agama terbentuk dengan sistem hukum,
idealogi dan spritualitasnya, langsung melalui proses pewahyuan. Masa pada
saat ketika hukum, ketentuan dan nilai-nilai Islam ditetapkan berdasarkan
keputusan Allah melalui al-Qur’an atau melalui Rasulullah.
Akar-akar kaidah fiqh yang telah ada sejak kemunculan Islam pertama
pada zaman Rasulullah. Hanya saja pada saat itu, statement atau pernyataan-
pernyataan umum yang dikeluarkan oleh Rasulullah belum disebut sebagai
kaidah, sekalipun secara substansial, ia mengandung prinsip-prinsip umum

22 | Legal Maxim
yang pada perkembangan selanjutnya, oleh para ulama dirumuskan menjadi
kaidah fiqh.
Sebagai contoh beberapa hadis Nabi saw yang secara substansial
mengandung prinsip umum kaidah, yang kemudian diinduksikan oleh para
ulama berikutnya dijadikan sebagai dasar terbentuknya kaidah fiqh antara
lain:
1. Imam Bukhârî, Imam Muslim, Imam Abû Dâwûd, Imam at-Tirmîzî,
Imam an-Nasâ’î dan Imam Ibnu Mâjah telah meriwayatkan dengan
sanad dari Abdullah bin Umar yang mendengar langsung Rasulullah
saw bersabda:
ِ ‫إنَّ َما اَأْل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ت‬
“Setiap perbuatan tergantung niatnya”
2. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam as-Dâruqutnî, Imam al- Hakim,
Imam al-Baihaqî, dan Imam Ibnu Mâjah dengan sanad dari Abû Sa’îd
al-Khudrî, Abdullah bin Abbâs dan Ubâdah bin as-Shâmit:
‫ض َرا َر فِي اِإْل ْساَل ِم‬
ِ ‫ض َر َر َواَل‬
َ َ‫ال‬
“Tidak boleh ada yang merugikan dan tidak pula ada yang dirugikan
dalam Islam. ”
Kedua pernyataan Rasulullah saw tersebut oleh para ulama fiqh
selanjutnya disimpulkan sebagai prinsip dasar dan umum bagi semua rumusan
hukum dalam Islam. Dengan alasan itulah, para ulama menjadikannya sebagai
kaidah umum yang dapat diterapkan dalam berbagai masalah fiqh. Berbagai
permasalahan yang memiliki karakteristik yang sama dikemas dalam suatu
ungkapan yang hasilnya bisa berbentuk pernyataan umum yang bisa
dikategorikan sebagai kaidah, illat, dhâbit, dan ketentuan–ketentuan hukum
lainnya.
b. Periode Sahabat
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat beliau menggantikannya sebagai
rujukan hukum umat Islam. Para sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang
menyaksikan, mengalami dan paling memahami bagaimana syariat dibentuk.
Itulah mengapa mereka diposisikan sebagai pemegang otoritas fatwa untuk
memutuskan hukum.
Para sahabat setelah Rasulullah banyak yang mengeluarkan ungkapan-
ungkapan yang secara substansial tergolong pernyataan umum yang
mengandung aturan dan dasar-dasar bagi ilmu fiqh.
Ungkapan-ungkapan yang muncul dari para sahabat, selain merupakan
fatwa hukum, juga mengandung rambu-rambu dan patokan umum bagi
masyarakat dalam menyelesaikan sendiri kasus-kasus dan permasalah mereka.

Pribumisasi Hukum Islam | 23


Beberapa ungkapan dari sahabat yang dapat dianggap sebagai cikal bakal
kaidah fiqh antara lain:
1) Ungkapan yang diriwayatkan dari Umar bin Khattâb:
”Barang siapa menelantarkan tanah selama tiga tahun dan tidak
mengolahnya, dan kemudian datang orang lain yang mengolahnya maka
tanah itu miliknya.”
”Tidak ada pengampunan dalam tindak pidana setelah ditetapkan oleh
penguasa, karena penegakan terhadap hukuman pidana termasuk bagian
dari sunnah.”
2) Ungkapan yang diriwayatkan dari Alî bin Abu Thâlib di antaranya
adalah:
”Barang siapa menyewa seseorang maka ia adalah penjaminnya.”
”Barang siapa mempekerjakan budak (di bawah umur atau sudah
dewasa) milik seseorang maka ia adalah penjaminnya.”
3) Ungkapan yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas di antaranya
adalah:
“Tidak ada ila’ kecuali dengan sumpah.”
Selain itu, ada juga diantara para sahabat melakukan ta’lil terhadap
hukum yang kemudian dipahami sebagai kaidah fiqh.
4) Abdullah bin Umar pernah ditanya mengenai status seseorang yang
mengaku mencuri setelah dipukul dan dipaksa, beliau berkata:
”Tidak dikenakan hukum potong tangan terhadapnya, karena
pengakuannya setelah dipukul”.
Ta’lil terhadap hukum di sini mencerminkan makna kaidah yang
mendasari keputusan tersebut, karena ungkapan Abdullah Ibn Umar mengarah
pada:
ْ َ‫"الَ ق‬
ِ ‫ط َع فِى اِإْل ْق َر‬
"‫ار بِاِإْل ْك َراه‬
“Tidak ada hukuman potong tangan terhadap pengakuan pencuri yang
dipaksakan.”
c. Periode Tabi’in
Para tabi'in setelah generasi sahabat juga banyak memunculkan
pernyataan-pernyataan umum sebagai hasil pemahaman mereka terhadap
watak dasar syariat Islam. Di antara ungkapan-ungkapan dari tabi’in atau
generasi setelahnya yang dianggap sebagai cikal bakal kaidah fiqh antara lain:
1) Ungkapan yang diriwayatkan dari Syuraih al-Qâdhî:
”Tidak ada ganti rugi (dhoman) bagi peminjam dan penerima titipan
yang jujur . Ungkapan ini disarikan dari sabda Rasulullah.”

24 | Legal Maxim
”Tidak ada keputusan terhadap orang yang tidak menghadiri
persidangan.”
”Setiap khulu’ (istri mencerai suami dengan mengembalikan mahar)
adalah talak bain (cerai akhir).”
3) Ungkapan dari Ibrahim an-Nakhâ’î:
”Setiap peminjaman yang menarik keuntungan (manfaat) tidak memiliki
kebaikan (berkah) di dalamnya”. Redaksi lain”Setiap peminjaman yang
menarik manfaat maka itu adalah riba.”
”Tidak dikenakan hukuman (had) bagi penuduh berbuat zina (qozif)
terhadap anak-anak yang masih kecil.”
4) Ungkapan dari asy Sya’bî:
”Orang yang menentang sedekah sama dengan orang yang
melarangnya.”
”Setiap sumpah yang melarang hubungan seksual dengan isteri adalah
ilâ’.”
Kutipan-kutipan dari Rasulullah, para sahabat dan tabi’in tersebut
membuktikan bahwa secara emberional kaidah-kaidah fiqh sesungguhnya
telah muncul sejak masa Rasulullah hingga masa tabi'in. Namun karena masih
belum dirumuskan menjadi kaidah, maka dalam kurun waktu tiga generasi ini,
masih dianggap sebagai fase pembentukan dan formatisasi.
B. Fase Pembentukan dan Konstruksi
Seiring dengan mulai maraknya kajian fiqh yang puncaknya ditandai
dengan munculnya madzhab-madzhab fiqh, maka pada saat itu sebenarnya
mulai muncul beberapa kitab fiqh yang menyisipkan beberapa persoalan
hukum, yang tidak secara tersurat dinamakan sebagai kaidah fiqh, namun
secara substansial merupakan kaidah fiqh. Di antara karya-karya tersebut
adalah:
1. Al-Umm, karya Muhammad bin Idris al-Syâfi’î. Dalam pembahasan
mengenai masalah keringanan hukum (rukshah), Imam Syâfi’i
sebagai penulis dari kitab tersebut membuat premis: ”Keringanan
hukum hanya berlaku sesuai petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya”
yang dilanjutkan dengan merumuskan satu kaidah: ”Diperbolehkan
dalam kondisi darurat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam
kondisi normal.” Penerapan kaidah ini misalnya ketika seseorang
dalam kondisi sangat terpaksa maka dibolehkan memakan bangkai
binatang jika merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
2. Al-Kharaj, karya Abû Yûsuf Ya’qûb bin Ibrahim al-Ansharî al-
Hanafî. Karya ini berisi beberapa kaidah fiqh yang berkaitan dengan
masalah siyâsah (politik-pemerintahan)

Pribumisasi Hukum Islam | 25


Penyisipan kaidah-kaidah fiqh dalam kedua kitab fiqh tersebut adalah
perkembangan konseptual bagi kelahiran kaidah fiqh secara formal. Kaidah-
kaidah yang muncul pada fase ini dijadikan sebagai prinsip penggalian hukum
oleh generasi selanjutnya.
Para ulama menyisipkan kaidah fiqh dalam kitab-kitab fiqh dan dalam
redaksi yang panjang dan antara satu pengarang dengan pengarang lainnya
dalam bentuk redaksional yang berbeda walaupun objek kajiannya sama.
Penyisipan kaidah dalam kitab-kitab fiqh ulama mutaqaddimin dilakukan
dengan berbagai cara yaitu:
1. Sebagai ta’lil (kausasi sebab) atas satu permasalahan tertentu. Contoh
ungkapan yang ditulis oleh Imam Haramain adalah: "Sesuatu yang
mampu dikerjakan tidak gugur hukumnya akibat gugurnya sesuatu
yang tidak mampu dilakukan), ditulis oleh Imam Haramain untuk
memberi alasan tentang sebuah kewajiban umumnya mampu
dilaksanakan, tapi pada suatu ketika tidak mampu dilakukan karena
ada udzur."
2. Sebagai upaya memberi jawaban atas salah satu persoalan hukum
yang masuk dalam cakupan kaidah tertentu. Contohnya ungkapan al-
Muzani ” la yazulu al-yaqin bi al-syak” (Keyakinan tidak dapat
dihilangkan oleh timbulnya keraguan)
3. Menyebutkan dua kaidah yang memperebutkan satu furu’ seperti
permasalahan muraja’ah (rujuk/kembali) dengan menggunakan
kalimat yang terbentuk dari akar kata (masdar), yakni, az-zawaj atau
an-nikah.
4. Menyisipkan satu kaidah sebagai upaya meng-counter hukum yang
telah dicetuskan sebaliknya. Hal ini pernah dilakukan al-Rafi’i ketika
menyisipkan kaidah "inna al-syakhs al-wahid la yakumu qabidhan wa
muqbidhan" (seseorang tidak dapat menjadi penerima dan pemberi
sekaligus dalam waktu yang sama)
Selain sebatas upaya penyisipan, usaha untuk mengumpulkan dan
menghafalkan kaidah fiqhpun sudah mulai sejak tahun 300- H, di antaranya
adalah:
Abu Thâhir al- Dabbûsî seorang fuqahâ' dari madzhab Hanafi berupaya
merangkum beragam persoalan fiqh madzhab Hanafi dalam 17 (tujuh belas)
kaidah.
Qâdli Husayn, tercatat sebagai orang pertama yang merumuskan
persoalan hukum mahzhab Syâfi’î ke dalam 4 (empat) kaidah, yang pada
perkembangan selanjutnya dilengkapi menjadi 5 (lima) kaidah.
C. Fase Kodifikasi

26 | Legal Maxim
Fase ini dimulai ketika kaidah fiqh sudah mulai dibukukan oleh para
ulama. Tidak sebagaimana pada fase sebelumnya, pada fase ini sudah ada
upaya-upaya yang lebih sistematis untuk membukukan karya-karya dalam
bidang ini. Pada fase ini, kaidah fiqh muncul sebagai disiplin keilmuan yang
mandiri dimulai pada abad ke 4, sekitar dua abad setelah terbentuknya fiqh
sebagai disiplin keilmuan yang mapan yaitu abad ke 2.
Menurut Ali an-Nadawi ditemukan fakta bahwa yang pertama
mengembangkan ilmu ini adalah para ulama fiqh dari mazhab Hanafi. Bisa
jadi penyebabnya adalah karena mazhab ini merupakan mazhab yang paling
banyak menggunakan penalaran rasional terhadap sumber-sumber tasyri’
seperti al-Qur’an dan Hadis dalam merumuskan hukum-hukum fiqh dan
bagaimanapun kaidah fiqh merupakan upaya rasionalisasi terhadap rumusan-
rumusan hukum dalam Islam.
Sebab lainnya adalah karena para tokoh-tokoh ushul fiqh, yang konsen
terhadap logika penalaran hukum, dari mazhab ini banyak yang merumuskan
logika dan sistem penalaran hukum justru dari rumusan-rumusan fiqh yang
telah jadi, yang dibuat oleh imam mereka. Dalam kondisi seperti ini, mereka
memaksimalkan potensi logika untuk mengabstraksikan logika yang
mendasari setiap rumusan hukum yang terbentuk.
Karena berhadapan dengan abstraksi inilah, sebagian dari mereka
kemudian memunculkan apa yang disebut sebagai kaidah-kaidah fiqh.
Sebagaiman telah disebutkan, bahwa informasi paling awal mengenai upaya-
upaya sistemtis pertama yang dilakukan dalam bidang ini menyebutkan
bahwa Abu Thahir ad-Dabbas, salah seorang ahli fiqh abad ke 4 Hijriyah telah
melakukan kodifikasi dan pengumpulan kaidah-kaidah penting dalam fiqh
mazhab Hanafi dan merangkumnnya dalam 17 point.
Abu Thahir, setelah berhasil merumuskan 17 point penting yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang diambil dari fiqh mazhab Hanafi, lalu
para ulama yang lain mengikuti langkah tersebut dan berupaya mengkajinya
lebih mendalam dengan mengembalikannya kepada rumusan-rumusan hukum
lain. Setelah yakin jika apa yang di simpulkan itu memang bisa diaplikasikan
dan dapat menampung berbagai cabang fiqh lainnya, para ulama secara resmi
mengajarkannya di forum ilmiah mereka.
Segera setelah itu, seorang ulama lain yang berapliasi kepada mzahab
Syafi’i, Abu Sa’id al-Harawi, datang pada Abu Thahir dan mempelajari
kaidah-kaidah yang ia temukan itu. Setelah itu ia mencoba menguji dan
menerapkannya dalam rumusan-rumusan hukum mazhab Syafi’i. Dari hasil
percobaanya itu, ia mengambil 5 kaidah pokok yang digunakan sebagai
kaidah fiqh untuk menampung dan mengabstraksikan hukum-hukum dalam
mazahab Syafi’i.

Pribumisasi Hukum Islam | 27


Tokoh lain yang dapat dianggap sebagai penggagas dari ilmu ini adalah
Imam al-Karkhî (w. 340 H), yang telah menulis sebuah risalah kecil berjudul
Ta’sis an-Nazhar yang merangkum 37 kaidah. Selain itu, Muhammad bin al-
Hârist al-Khunasî dari mazahab Maliki (w. 361 H) juga telah menulis kitab
yang berjudul Uhul al-Fatawa yang isinya sejumlah besar kaidah-kaidah
umum fiqh.
Setelah itu, secara berturut-turu muncul kitab ”Ta’sis an-Nazhzhâr” karya
Abu al-Laits as-Samarqandî (w. 373 H) yang sistematika dan isinya sejalan
dengan kitab sebelumnya yaitu Ta’sis an-Nazhar dengan beberapa perbedaan
kecil dan sederhana antara keduanya.66
Pada fase ini di antara satu pengarang dengan yang lainnya sering kali
berbeda baik dari segi perumusan sighat maupun dalam segi konsep
penulisan. Sehingga, walaupun substansi kaidahnya sama tapi bunyi
tekstualnya kadang berbeda, begitupun pemeliharaan antar kaidah banyak
yang tidak sama. Pada saat itu, belum ada semacam “kesepakatan bersama”
tentang redaksi yang paten maupun tentang penataan dan runtutan penulisan
sehingga terkesan serampangan dan ditulis sekenanya. Hal ini sangat wajar,
mengingat pada masa itu ilmu kaidah fiqh baru saja muncul dan masih
mencari-cari konsep penulisan yang baik. Contoh kitab-kitab golongan
pertama ini bisa dilihat pada al-Asybah wa al-Nazha-ir karya Ibn Wakil, atau
al-Qawa’id karangan al-Maqarri.
Lalu pada abad ke 5 Hijriyah datang Imam Abu Zaid ad-Dabusi (543 H)
yang melakukan penyempurnaan terhadap karya-karya sebelumnya dalam
bidang ini, terutama karya dari Imam al-Karkhsi dengan menambahkan
beberapa cacatan penting dan tambahan kaidah.
Dengan demikian, maka abad ke 4 Hijriyah dapat dianggap sebagai fase
kedua dalam pertumbuhan kaidah fiqh dan kodifikasinya, dimana pada abad
inilah mulai ditemukannya karya-karya khusus dalam bidang terseut.
D. Fase Pendalaman dan Sistematisasi
Pada fase ini, perkembangan kajian dalam bidang ini semakin marak.
Para ulama yang konsen terhadap tema-tema mengenai kaidah fiqh semakin
banyak dan karya-karya dalam bidang ini juga bermunculan. Sistem penulisan
dan juga pengembangan kaidah berkembang pesat hampir dalam semua
tradisi mazhab fiqh.
Pada fase ini, semakin terlihat upaya-upaya serius dan sistematis dalam
penulisan dan perumusan kaidah-kaidah fiqh. Fase ini ditandai dengan
munculnya karya-karya besar dalam bidang ini.
Jika sistematika penulisan kaidah fiqh pada periode mutaqaddimin, kitab-
kitab yang di tulis secara khusus hanya membahas kaidah-kaidah fiqh, maka

28 | Legal Maxim
pada fase ini karya-karya dalam bidang tersebut telah dilengkapi dengan
upaya penguatan dengan kaidah-kaidah ushul fiqh.
b. Periode Muta’akhirin (abad VIII-XII H)
Kaidah fiqh pada masa ini sudah tertata secara sistematis dan tidak lagi
bercampur aduk dengan ilmu fiqh. Kaidah-kaidah yang masih tercecer dalam
kitab-kitab fiqh dikumpulkan dalam satu kemasan disertai contoh-contoh
yang termasuk furu’ dari masing-masing kaidah. Pada mulanya “para
pemungut “ceceran kaidah tersebut belum menamakannya sebagai kaidah,
melainkan sebagai al-asybah wa al-nazha-ir.
Sistematika penulisan pada periode muta’akhirin ini, bentuk
penulisannya sudah mulai tertata dan disusun secara sistematis, perbedaan
antar redaksi sudah tidak mencolok seperti pada masa mutaqaddimin. Kitab-
kitab pada masa ulama muta’akhirin ini tidak hanya memusatkan kajiannya
seputar kaidah fiqh saja, beberapa memadukan dengan kajian kaidah-kaidah
ushul fiqh dan menambahi pembahasan-pembahasan lain seperti soal furuq
(perbedaan-perbedaan istilah fiqh), alghaz (tanya jawab hukum), hiyal (cara
mencari solusi persoalan hukum), dan kajian-kajian hukum tertentu seperti
hukum tentang orang buta, hukum seputar hari jum’at, dan lain-lain. Kitab
kaidah fiqh pada masa ini adalah Asybah wa al-Nazha'ir karya al-Subki, al-
Suyuthi, dan Ibn Nujaym.
Konseptualisasi penulisan kaidah fiqh sudah mulai tertata walaupun
antara satu kitab dengan kitab lainya tidak memiliki kesamaan, baik dalam
segi pengurutan maupun penataannya.
Dalam catatan Abdurrahman al- Sya’lani, terdapat tiga model pengurutan
kaidah pada kitab-kitab ulama pada fase ini yaitu:
1. Kitab-kitab yang ditulis sesuai dengan urutan bab dalam kitab fiqh,
seperti dalam mahzab Syafi’i – kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir karya
Ibn al-Mulaqqan (w.804 H.) atau dalam mahzab Maliki adalah kitab
al-qawa’id karya al-Maqarri (w.759 H.)
2. Kedua, mengurutkan kaidah sesuai dengan runtutan huruf hija’iyah
contoh dalam mahzab Syafi’i adalah kitab al-Mantsur fi al-Qawa’id
karya al-Zarkasyi (w. 794 H.), dan kemudian diikuti oleh abu Sa’id al-
Khadimi yang bermadzab Hanafi dalam kitabnya Majma’ al-
Haqa’iq.
3. Membagi kaidah-kaidah tertentu dalam beberapa bab atau beberapa
bagian. Contohnya seperti kitab al-Majmu’ al- Mudzahhab karya al-
Ala’i yang dimulai dengan pembahasan lima kaidah dasar, kemudian
kaidah-kaidah ushuliyah, dan diakhiri dengan kaidah fiqhiyah.
Sementara Ibn al-Subki memulai kitab asybah wa al-nazhair-nya

Pribumisasi Hukum Islam | 29


dengan lima kaidah dasar, kemudian kaidah-kaidah umum (al-
qawa’id al- ‘ammah), yakni kaidah-kaidah yang tidak membahas
salah satu bab tertentu, dilanjutkan dengan kaidah-kaidah yang khusus
masuk dalam satu bab fiqh saja (al-qawa’id al-khashshah) dan
diakhiri dengan pembahasan istilah–istilah yang memunculkan
cabang-cabang (furu’ al-fiqhiyah) dan al-Suyuti yang membagi al-
Asybah wa al- Naza’ir dalam tujuh bagian serta Ibn Nujaym yang
memetakan karyanya dalam tujuh bidang
3. Periode Modern-Post Modern (Abad 13-14 H)
Pada periode ini, kecenderungan untuk tidak terikat dengan madzhab
tertentu dalam perumusan kaidah fiqh diawali dengan adanya kodifikasi kitab
Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyah oleh ulama-ulama madzhab Hanafi.
Kecenderungan tersebut semakin jelas dengan ditulisnya al-Wajiz fi idlah
qoawa’id al- fiqhiyyah al-kulliyah oleh Muhammad Shidqi bin Ahmad al-
Burnu, seorang pengajar Universitas Muhammad Sa’ud al-Islamiyah, Riyadh,
Arab Saudi.
Pada masa ini kajian kaidah fiqh masih sangat marak. Bedanya dalam
periode ini tidak perlu lagi dilakukan modifikasi maupun penataan ulang
terhadap kaidah-kaidah fiqh, karena pada periode sebelumnya kaidah-kaidah
itu telah ditata secara apik dan sistematis. Pada masa ini tak ada
perkembangan berarti seputar kajian kaidah fiqh, kecuali sekedar dicetaknya
kitab-kitab kaidah fiqh versi terbaru atau diadakan penelitian seputar
konseptualisasi kaidah fiqh sebagai salah satu studi yurisprudensi Islam.
Selain itu, pada fase ini, juga marak studi dan penelitian yang dilakukan
oleh para intelektual terhadap karya-karya sebelumnya. Tujuannya adalah
untuk mencari dan menemukan teori-teori dan merumuskan penerapannya
dalam konteks penyelesaian masalah-masalah baru yang belum ada
sebelumnya. Pada fase ini, ilmu kaidah fiqh semakin menampakkan
signifikansinya seiring dengan semakin berkembangnya masalah-masalah
yang dihadapi oleh dunia global yang memerlukan penyelesaian oleh fiqh.

Penutup
Kaidah-kaidah fiqh adalah pernyataan umum yang berhubungan dengan
suatu hukum sehingga ia dapat diterapkan dalam berbagai kasus yang
memeliki kulliyat yang sama meskipun dalam berbagai tema fiqh. Ruang
lingkup kaidah fiqh ada yang sangat luas meliputi semua tema fiqh, meskipun
ada pula kaidah untuk beberapa tema fiqh dan bahkan hanya pada satu tema
fiqh tertentu yang disebut dhabithah fiqh. Sedangkan ilmu qawa`id fiqhiyyah
mengajarkan tentang struktur dan pola yang melandasi putusan-putusan yang

30 | Legal Maxim
telah diambil dari sumber-sumber primer. Hukum Islam memiliki ratusan
kaidah dan dalam penerapannya kepada situasi yang baru memerlukan ilmu
yang memadai, pandangan yang luas, training yang jelas pada orang-orang
yang ahli dalam bidang ini. Kaidah fiqh berbeda dengan kaidah ushul fiqh
yang merupakan metode ijtihad, sedangkan kaidah fiqh hanya berfungsi untuk
mengikat (rabithah) berbagai furu’ yang memiliki persamaan sifat atau
karakter. Kaidah juga berbeda dengan nazariyat fiqh yang merupakan
pembahasan tema tertentu tentang fiqh secara komprehensif dan tuntas.
Kaidah fiqh sebagai suatu ilmu telah memiliki metode perumusan dan sejarah
pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan tersendiri yang berbeda
dengan sejarah fiqh.
Sangat penting untuk dipahami bahwa kaidah fiqh secara induktif
dijabarkan dari putusan-putusan yang sudah ada, di mana putusan-putusan ini
telah diambil dari sumber-sumber utama. Ini berarti bahwa jika semua kaidah
yang dapat diterapkan (tidak hanya satu atau dua kaidah saja) dijadikan
pertimbangan, maka putusan-putusan yang sudah ada dapat diperluas ke
situasi yang baru. Akan tetapi sejumlah ulama kontemporer menyatakan
bahwa adalah tidak inkonsisten secara logika untuk menggunakan kaidah-
kaidah fiqh yang diambil secara induktif ini untuk tidak mengakui putusan-
putusan yang telah diambil secara induktif pula. Dengan kata lain, putusan-
putusan yang telah diambil dari sumber-sumber primer tidak dapat ‘digugat’
dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh. Keuntungan mempelajari ilmu
qawa’id fiqhiyah adalah untuk menemukan dengan lebih mudah putusan-
putusan atas situasi yang baru yang belum dibahas dalam teks yang eksplisit,
untuk mempelajari putusan-putusan hukum yang terpisah dalam waktu yang
relatif singkat.

Pribumisasi Hukum Islam | 31


1
¨ Dosen Tetap FIAI UII
2
Dalam literatur berbahasa Inggris al-qawa’id fiqhiyah disebut juga legal maxims. Lihat Difference Between Usul al-Fiqh and al Qawaid
Fiqhiyya. Answered by Shaykh Hamza Karamali, Sunni Path Academy Teacher What is the difference between usool al fiqh and al
Qawai’d al Fiqhiyyah? http://islamiclawetc.wordpress.com/2007/06/12/fiqh-101-substance-of-fiqh-texts/
3
Syarif Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1403 H/1983), hlm. 171.
4
M. Quraish Shihab (Editor),Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007, bagian kaidah.
5
Ibid.
6
Lihat Abdu Al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (al-Qohirah: Dar al-Hadis, 1422H/2001)
bagian qa’ada.
7
Universitas Islam Indonesia, Al Qur’an dan Tafsirnya, (PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. I: 221.
8
Ibid, hlm. V: 361.
9
Ya`qub bin Abd al-Wahhab al-Bahasain, Al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah al-Mabâdi` al-Muqawwamat al-Mashâdir al-Dalîliyat al-Tathawwur
Dirâsat Nazhriyyah Tahlîliyyah Ta`shîliyyah Tarîkhiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1999), hlm. 50.
10
Al-Jurjânî, Ibid, hlm. 54
11
Al-Hamawi, Gomzu ‘Uyun al-Bashair Syarah al-Asybah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dal al-Fikr, 1987), hlm I: 34.
12
Karya tersebut ditulis dalam mazhab Hanafi, sedangkan judul dari karya ini semata-mata ciplakan dari judul karya Jalal al-Din al-
Suyuthi al-asybah wa al-naza’ir dalam mazhab Syafi’i.
13
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathowwuruha, Muallafatuha, Mahammatuha tathbiqatuha,
(Damaskus: Dar al-Qalam 1414 H/1994 M.), hlm. 43.
14
Ibid
15
Selain logika induktif, terdapat beberapa metode yang digunakan para fuqaha’ dalam merumuskan kaidah-kaidah fiqh antara lain
metode istimbath dan ta’lil, metode istishab dan istidlal al-‘aqli juga metode ijtihad dalam konteks tahqiq al-manath dan tanqih al-
manath, disamping sejumlah kaidah yang diambilkan langsung dari teks syari’ah. Lihat, al-Bahasain, Al-Qawâ`id, hlm. 193-265.
16
Karena karakter dari kaidah fiqh adalah umum, maka terdapat berbagai kasus yang menjadi pengecualian (mustasnayat). Semakin
umum suatu kaidah, semakin banyak pula pengeculaiannya. Sebaliknya jika kaidah tidak terlampau umum, maka pengecualiannya
semakin sedikit.
17
Muhammad Mustafa al-Zuhayli, al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa Tathbiqotuha fi al-Mazahib al-arba’ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1427
H/2006 M), hlm. 63.
18
Seorang ulama besar asal Padang Indonesia. Beliau adalah alumni madrasah as-Shaulatiyah di Haratulbab Makkah dan pendiri
madrasah Dar al-’Ulum Makkah, beliau adalah salah satu dari sekian ulama ternama murid dari Syaikh Hasan Muhammad al-Masy-syath.
Penulis pernah berkunjung ke rumah beliau pada tahun 1983 M di Makkah dalam rangka silaturrahim akademik yang sudah menjadi
tradisi siswa-siswa madrasah al-Shaulatiyah.
19
al-Bahasain, Ibid, hlm. 55.
20
Seorang ulama besar ahli dalam bidang fiqh dan ushul fiqh mazhab Syafi’i. Selama saya menimba ilmu di madrasah al-Shaulatiyah
beliau mengajar dan membimbing kami dalam membaca dan memahami berbagai kutub syafi’iyah terutama dalam bidang ushul fiqh, fiqh
dan hadis. Setiap akhir sanah tradisi ijazah riwayat selalu beliau lakukan dalam acara khusus khatam al-kutub yang dikordinasi oleh
pengelola madrasah Shaulatiyah. Forum khotaman ini biasanya diawali presentasi oleh salah satu masyaikh kemudian dilanjutkan oleh
forum debat akademik di antara para masyaikh (guru senior). Beliau juga alumni madrasah al-Shaulatiyah dan salah satu ulama ternama
murid dari Syaikh Hasan al-Masy-syath.
21
Bandingkan dengan definisi yang dikemukakan oleh al-Bahasain dalam Al-Qawâ`id..., hlm. 55-57.
22
Ibid.
23
Untuk mendalami ushul fiqh sebagai metodologi sangat baik untuk membaca dan memahami secara tuntas beberapa karya Yudian
Wahyudi, antara lain Ushul Fikih versus Hermeneutika Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, Hermeneutika Al-Quran Dr. Hasan
Hanafi, dan Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga. Semua karya ini
diterbitkan oleh Psantren Nawesea Press.
24
Kaidah tersebut dirumuskan berdasarkan pendapat Syafi’i dan pendapat fuqaha’ senior mazhab Maliki, diperkuat oleh Ibn al-Hajib, al-
Thufi, dan al-Futuhi. Lihat Al-Juwaini, Imam al-Haramain, al-Burhan fi ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiah, 1418 H/1997
M), hlm: I: 263, al-Syirazi, al-Tabshirah hlm: 38, al-Fakhru al-Razi, al-Mahshul, hlm. 139, al-Thufi, Syarah Mukhtashar al-Raudhah,
hlm: II: 370, al-Futuhi, Syarh al-Kaukab al-Munir, hlm III: 56.
25
Lihat Abu Ya’la, al-’Uddah, hlm II: 428, Ibn al-Liham, al-Qawa’id wa al-Fawaid al-Ushuliyah, hlm: 191 dan Ibn Ala Taimiyah, al-
Musawwadah, hlm 81, Amir Badsyah, Taisir al-Tahrir, hlm I: 376.
26
Lihat catatan pengantar Muhammad Madkur dalam kitab ”Takhrij al-Furu’ ’ala al-Ushul” karya al-Zinjani yang di-tahqiq oleh
Muhammad Adib Soleh, hlm: 29.
27
Muhammad al-Ruki, Qawa’id al-Fiqh al-Islami, hlm: 119.
28
Imam al-Qarafi seorang faqih Maroko penganut mazhab Maliki tercatat sebagai orang pertama kali membedakan antara qawa’id al-
fiqhiyah dengan qawa’id ushuliyah. Lihat Syihabuddin Ahmad al-Qarafi, al-Furuq, hlm I: 94-95.
29
Al-Burnu mengidentifikasi lima hal yang membedakan kaidah ushul dengan kaidah fiqh yaitu: dari aspek relasi, kaidah ushul
berhubungan dengan teks, sementara kaidah fiqh berhubungan dengan hukum-hukum furu’. Dari aspek fungsinya kaidah ushul adalah
metode deduksi hukum yang menjadi pedoman mujtahid, kaidah fiqh hanya menjadi “tali pengikat” berbagai masalah dalam tema-tema
fiqh. Kaidah ushul adalah pondasi bangunan hukum yang bersifat global dan selanjutnya dijadikan acuan oleh al-faqih dalam melakukan
istimbath hukum berbagai masalah dari dalil-dalil yang rinci. Kaidah fiqh merupakan perangkat kausasi (ta’lil) hukum yang memiliki
keserupaan dan kemiripan dan kadang-kadang menjadi sumber hukum itu sendiri. Kaidah ushul terbatas pada topik pembahasan ushul,
sedangkan kaidah fiqh secara kuantitatif jumlahnya sangat besar yang tersebar di berbagai karya fiqh dalam berbagai mazhab.
Pengecualian dari kaidah ushul hampir tidak ditemukan karena merupakan hasil kesepakatan, sedangkan pengecualian dalam kaidah fiqh
tergolong masih ada karena disebabkan oleh berbagai factor. Lihat Al-Burnu, Muhammad Sidqi Ibn Ahmad, Mausu’ah al-Qawa’id al-
Fiqhiyah, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 2003), hlm. I: 25.
30
Al-Juwaini, al-Burhan, hlm. I: 84-85. al-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith, hlm. I:28, al-Amidi, al-Ihkam, hlm. I: 9.
31
Bukhari, hadis no. 1 dan no. 54, Muslim hadis no. 7 dan no. 19.
32
Al-Suyuthi, al-Asybah, 102, Ibn Nujaim, al-Asybah, 159, al-Zarqa, Syarhu al-Qawa’id al-fiqhiyah, hlm 403.
33
Al-Suyuthi, al-Asyabah, hlm.101, Ibn Nujaim, al-Asybah, hlm.105, al-Zarqa, Syarhu al-Qawa’id al-fiqhiyah, hlm 197. Mengenai
keikutsertaan sesuatu pada sesuatu yang lain dapat berupa: sesuatu tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan, jika dipisah akan
membahayakan misalnya kulit hewan tidak dapat dipisahkan dari hewan itu sendiri. Sesuatu tidak dapat dipisahkan karena merupakan
kelengkapannya misalnya kunci yang tidak dapat dipisahkan dari gemboknya. Sesuatu itu merupakan tempat misalnya pekarangan tempat
bangunan.
34
‘Ali Haidar, Syarah al-majallatu al-ahkam al’adliyah, hlm I/53, al-Zarqa’, al-qawa’id, hlm. 227. Kaidah tersebut juga dirumuskan
dengan redaksi “Badalu al-syai’ qoimun maqoma ashlihi”. Maksudanya Jika terjadi transaksi sewa bulanan, transaksi itu dilakukan pada
awal bulan maka dihitung sejak awal bulan tersebut karena memang merupakan awal perhitungan yang asli, tetapi jika transaksi kontrak
terjadi pada pertengahan bulan yang sedang berjalan, maka perhitungan bulan tidak dapat dilakukan, maka gantinya adalah dengan
menghitung hari.
35
Abu Zahrah telah mengindikasikan perbedaan ini dalam karyanya Malik Ibn Anas Hayatuhu wa ‘Ashruhu, hlm. 257.
36
Al-Burhani, Saddu al-zarai’, hlm 155.
37
Al-Burnu, Ibid, hlm: I/27-28.
38
Diskusi tentang qawa’id al-maqashid tidak dapat dipisahkan dari diskusi tentang qawa’id al-wasa’il, al-maqashid merupakan tujuan-
tujuan syariah, sedangkan al-wasa’il tidak lain adalah sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Uraian bagus mengenai masalah
ini lihat: Mustofa Ibn Karamatullah Makhdum, Qawa’id al-Wasa’il fi alp-Syari’ati al-Islamiyah Dirasah Ushuliyah fi Dhau’ al-Maqashid
al-Syar’iyah, (al-Riyadh: Dar Isybiliya, 1430H/1999M).
39
Al-Kailany, Qawa’id al-Maqashid ‘ind al-Syatibi, hlm. 43.
40
Al-Syatibi, al-Muwafaqat, hlm: IV:194.
41
Al-Zarkasyi, al-Mantsur min al-qawa’id, (Dar al-Kuwait, 1405 H),hlm. III:173, al-Subki, al-Asybah wa al-Naza’ir, hlm I:48, dan al-
Suyuthi, al-Asybah wa al-Naza’ir, hlm. 76, dan Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Naza’ir, hlm. 75.
42
Al-Syatibi, al-Muwafaqat, hlm. II:107.
43
Ibid, hlm I:341.
44
Ibid.
45
Terdapat dua pendapat tentang kehujjahan al-qawa’id al-fiqhiyah: pertama, pendapat yang mengatakan bahwa al-qawa’id dan dhawabith
fiqhiyah tidak boleh dijadikan dalil selama tidak ditemukan nas yang jelas di dalam al-kitab dan al-sunnah. Pendapat ini dikemukakan
oleh al-Juwaini, Ibn Nujaim, Tim penulis Majallatul ahkam al-‘adliyah, syaikh Mustafa al-Zarqa’ dan Ali Ahmad al-Nadwi. Kedua,
pendapat yang memperbolehkan qawa’id fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah menjadi dalil dalam menetapkan hukum. Pendapat ini
dikemukakan oleh al-Qarafi, al-Suyuthi, al-Futuhi, dari kalangan ulama masa sekarang adalah al-Burnu, Ya’qub al-Bahasin, Muhammad
Syubair dan lain-lain. Lihat: Muhammad Ismail Muhamad Masy’al, Atsarul Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha wa mada
Tathbiquha fi al-Furu’ al-Mu’ashirah, (Kairo: Dar al-Salam, 1430 H/2009 M), hlm: 245.
46
Al-Hamawi, Ibid, hlm. I: 37.
47
Ali Haidar, Duraru al-Hukkam Syarah Majallatu al-Ahkam al-‘Adliyah, hlm. I: 10.
48
Ibn Nujaim, al-Asybah, hlm 192, al-Bannani, Hasyiyah al-Bannani ‘ala Syarhi al-Mahlmli ‘ala Jam’i al-Jawami’, hlm. II: 290.
49
Secara teoritis al-Fayyumi penulis kamus Mishbah al-Munir mengatakan bahwa kaidah sinonim dengan dhabithah yaitu hukum umum
yang dapat diterapkan di dalam berbagai satuan-satuan hukum. Lihat al-Mishbah, hlm: II/511. al-Tahanawi dalam Kasy-syaf Ishthilahat
al-Funun, hlm. II/886 mengatakan al-qa’idah sinonim dengan al-ashl, al-qanun, al-masalah, al-dhabithah dan al-maqshad. Pendapat ini
popular di kalangan fuqaha’ termasuk Ibn Rajab al-Hanbali tidak membedakan antara kaidah fiqh dengan dhabith fiqh. Lihat Ibn Rajab
dalam Al-Qawa’id fi al-Fiqh al-Islami. Adapun Ulama yang membedakan antara keduanya adalah Ibn Nujaym, al-Bannani, al-Subki dan
lain-lain.
50
Abdul Wahab Ibn Subki, al-Asybah wa al-Naza’ir, hlm. I: 11. Lihat al-Burnu, Mausu’ah, hlm 33.
51
al-Burnu mengklasifikasi al-qawa’id berdasarkan cakupan ruang lingkupnya menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama al-
qawa’id al-kubro yang memiliki cakupan umum dan sangat luas. Yang masuk dalam kategori ini adalah lima kaidah pokok ditambah
kaidah “I’malul kalam aula min ihmalihi”. Tingkatan kedua kaidah-kaidah yang memiliki cakupan yang luas, tapi lebih sempit dari yang
pertama, tingkatan kedua ini terbagi menjadi dua yaitu: (i). kaidah yang merupakan turunan atau pengembangan dari lima kaidah pokok,
misalnya al-darurat tubihu al-mahzurat” yang merupakan cabang dari kaidah al-masyaqqatu tajlibu al-taisir, dan kaidah la yunkiru
tagayyurul ahkami al-ijtihadiyah bitagayyuri al-zaman” yang merupakan turunan dari kaidah al-‘adatu muhakkamatun”, (ii), kaidah
yang tidak menjadi turunan dari kaidah pokok, misalnya “al-ijtihad la yanqudu bi al-ijtihad awu bimislihi” dan kaidah al-tasarrufu ‘ala
al-ra’iyati manuthun bi al-mashlahah”. Tingkatan ketiga kaidah-kaidah yang cakupannya sangat sempit, bahkan pada tema tertentu
dalam satu bab, inilah yang disebut ad-dhabithah. Lihat al-Burnu, Mausu’ah …, hlm I: 32.
Klasifikasi qawa’id dilihat dari consensus fuqaha’ dibagi dua yaitu kaidah-kaidah yang disepakati oleh semua fuqaha’ dari berbagai
mazhab. Kedua kaidah-kaidah yang khusus bagi mazhab-mazhab tertentu.
Klasifikasi yang lebih komprehensif diupayakan oleh al-Bahasin. Pertama, macam-macam qawa’id dilihat dari cakupan dan ruang
lingkupnya dibagi menjadi dua yaitu: (1), al-qawa’id yang memiliki cakupan yang sangat luas meliputi berbagai tema fiqh, ini ada dua
macam, (a) al-qawa’id yang memiliki cakupan hampir semua tema fiqh. Para fuqaha’ menyebut qawa’id ini menjadi basis bangunan fiqh,
jumlahnya lima atau enam kaidah. (b), al-qawa’id yang memiliki cakupan semua bab fiqh, tapi lebih sempit dari ruang lingkup al-qawa’id
al-kubro. Al-Suyuthi (w 911) dan Ibn Nujaim (w 970) menyebutnya sebagai kaidah umum yang kaidah-kaidah ini dikeluarkan hukum
juz’i yang tidak terbatas. Menurut al-Suyuthi terdapat 40 kaidah, sedangkan Ibn Nujaim mengatakan sekitar 19 kaidah.
(2), qawa’id yang memiliki cakupan berbagai masalah yang berhubungan dengan tema-tema fiqh tertentu. Ibn al-Subki (w 771)
menyebutnya al-qawa’id al-khassah, inilah yang disebut dhabithah atau dawabith sejalan dengan pendapat yang melihatnya khusus pada
tema tertentu dari fiqh.
Kedua: Klasifikasi al-qawa’id dilihat dari kesepakatan dan perbedaan para fuqaha’ terhadapnya yaitu dua macam. (1), al-qawa’id
dan al-dhawabith yang disepakati, dan ini ada dua macam yaitu:
a). al-qawa’id yang disepakati oleh semua mazhab fiqh, masuk dalam kategori ini adalah lima kaidah pokok.
b). al-qawa’id yang disepakati oleh kebanyakan mazhab yaitu 19 kaidah versi Ibn Nujaim atau 40 kaidah menurut al-Suyuthi.
(2). al-qawa’id dan al-dhawabith yang diperselisihkan, ada dua macam: i). qawa’id dan dawabith yang diperselisihkan oleh berbagai
mazhab fiqh, yaitu 40 qawa’id yang disebutkan oleh al-Suyuthi setelah dikurangi 19 qawa’id versi Ibn Nujaim. Qawa’id yang tersisa
diperselisihkan antara mazhab Hanafi dan Syafi’i.
ii). qawa’id dan dhawabith yang diperselisihkan oleh internal mazhab tertentu. Umumnya qawa’id ini dirumuskan dengan redaksi
pertanyaan.
3. Macam qawa’id dari segi kemandirian dan kepengikutannya dibagi menjadi dua macam: (i). qawa’id yang independent atau asli
yaitu qawa’id yang tidak terikat oleh qawa’id yang lain dan tidak menjadi cabang dari qawa’id tertentu. (ii), qawa’id yang tidak
independent atau mengikuti qawa’id lain. Tetapi qawa’id itu tetap independent dalam makna, hanya saja ia mengabdi pada qawa’id lain.
Hal ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu: qawa’id tersebut cabang dari qawa’id yang lebih besar, dan qawa’id yang membatasi atau
menjadi syarat qawa’id lain atau pengecualain dari kaidah tertentu.Misalnya kaidah-kaidah ál-dharuratu tuqaddaru bi qadariha”, al-
dharar al-asyaddu yuzalu bi al-dharar al-akhaf, al-dhararu la yuzalu bi al-dharar” Tiga kaidah terakhir ini merupakan quyud atau syarat
dari kaidah al-dhararu yuzalu”. Demikian pula kaidah Ínnama tu’tabaru al-‘adatu iza ith-tharadat awu galabat”, La ‘ibrata bi al-‘urfi
al-thori’, al-‘adatu tuhakkimu fi maa laa dhabtha lahu syar’an” ketiganya merupakan syarat dari kaidah “al-’adatu muhakkamatun”.
Adapun beberapa kaidah yang menjadi pengecualian dari kaidah-kaidah yang lain adalah al-dharurat tubihu al-mahzurat” merupaakan
pengecualian terutama pada situasi dan kondisi yang tidak normal dimana larangan syari’ah pun tidak berlaku.
4. Klasifikasi qawa’id prespektif sumber-sumbernya dibagi menjadi dua pula yaitu pertama al-qawa’id al-manshushah atau kaidah yang
bersumber dari nash syari’ah, dan kedua, al-qawa’id al-mustanbathah yang merupakan hasil induksi dari hukum-hukum furu’ dari
berbagai sumber.
52
Dalam literatur Hanafiyah kaidah pokok selain lima disebutkan di atas terdapat kaidah “La tsawaba illa bi al-niyyah” (tidak ada
pahala tanpa niat) tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa kaidah ini sudah tercakup dalam kaidah “al-umur bi maqashidiha”. Lihat
Ibn Nujaym al-Hanafi, al-Asybah, hlm. 34.
53
Ali Hidar, Syarah Majallah, hlm. I:78.
54
Lihat al-Qarafi, al-Furuq, hlm. I:157.
55
Lihat al-Qarafi, al-Zakhirah, hlm. 234.
56
Al-Nadwi, Ibid, hlm. 62.
57
Sanhuri, Mashadir, hlm. II:278.
58
Ibid.
59
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, hlm. II: 273.
60
Syafi’i, al-Risalah, hlm. 479, alinea 1334.
61
Al-Suyuthi, al-Hawi, hlm. II: 273.
62
Al-Suyuthi, al-Asybah.., hlm 7.
63
Ibid.
64
Zarkasyai, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Suyuthi, al-Itqon, Shodiq Hasan al-Qanuji, Abjadul ‘Ulum, dalam al-Bahasisn, al-
Qawa’id, hlm. 96.
65
Pembahasan tentang sejarah pembentukan dan pertumbuhan kaidah-kaidah fiqh penulis mengacu pada tiga sumber utama yaitu al-
qawa’id karya al-Nadwi, al-qawa’id karya al-Bahasin dan Mausu’ah al-Qawa’id karya al-Burnu. Meskipun titik berat dari ketiga karya ini
berbeda-beda, namun dalam konteks sejarah al-qawa’id ketiga karya ini saling melengkapi.
66
Al-Bahasin, al-Qawa’id, hlm. 329.

Anda mungkin juga menyukai