Asmuni Mth ¨1
Pendahuluan
K
ajian-kajian hukum Islam di Indonesia terutama pasca dikumandangkannya
reaktualisasi hukum Islam oleh Munawir Syazali menjelang diundangkannya
Undang-Undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah
memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Undang-undang tersebut telah
direvisi dan menjadi Undang-Undang no. 3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, kemudian disusul dengan Undang-Undang no. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Keberadaan dua undang-undang yang terakhir di era
reformasi diakui atau tidak telah menciptakan maraknya kajian-kajian hukum
Islam baik pada level teoretis di perguruan tinggi (fakultas syariah), maupun
pada level praktis di Pengadilan Agama dan di Lembaga Keuangan Syariah
(LKS). Hanya saja kajian-kajian hukum Islam yang membanggakan tersebut,
cenderung mengabaikan kajian terhadap al-qawa’id al-fiqhiyah. Akibatnya
konsep teoretis dan implementasi ilmu ini tidak begitu popular, bahkan
konsepsi tentang al-qawa’id al-fiqhiyah sering terkacaukan dengan konsepsi
al-qawa’id al-ushuliyah.
Padahal kajian fiqh terasa kurang “lezat” tanpa kehadiran kajian al-
qawa’id fiqhiyah, mengingat al-qawa’id adalah bagian yang sangat penting
dalam literatur studi hukum Islam, khususnya berguna untuk menjelaskan
gambaran umum berkaitan dengan hakikat, tujuan dan sasaran dari hukum
Islam. Selain alasan ini, qawa’id fiqhiyah memiliki perkembangan yang
penting dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Oleh karena itu, tulisan ini
akan berusaha memotret secara singkat eksistensi al-qawa’id al-fiqhiyah, di
samping tema lain yang lekat dengannya yaitu dhawabith fiqhiyah (dhabith
fiqh). Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang al-qawa’id al-
maqashidiyah, al-qawa’id al-ushuliyah dan nazariyat fiqhiyah dengan tujuan
agar semua terminologi tersebut dapat dipahami secara proporsional. Tema
lain yang juga akan dibahas dalam tulisan ini adalah al-asybah wa al-naza’ir
(kemiripan dan kesepadanan), al-furuq (perbedaan-perbedaan) yang terdapat
dalam berbagai kasus yang berimpliaksi pada perbedaan hukum. Baru
kemudian tulisan ini akan dilengkapi dengan sejarah singkat pertumbuhan dan
perkembangan al-qawa’id al-fiqhiyah. Dalam tulisan ini istilah al-qawa’id
akan diganti dengan istilah kaidah-kaidah sebagai bentuk penyederhanaan dan
adaftasi istilah yang sudah menjadi bahasa Indonesia, meskipun di beberapa
konteks istilah al-qawa’id tetap dipertahankan.
2 | Legal Maxim
melakukan perjalanan jauh dan tidak berperang, mereka memilih tinggal dan
diam di rumah.
Dalam al-Qur’an, kata qawâ’id (dalam bentuk jamak) disebut 3 kali,
yaitu di dalam surat al-Baqarah ayat 127, surat an-Nahl ayat 26, dan surat an-
Nur ayat 60. Selain itu, kata ini dalam al-Qur’an juga muncul dalam bentuk
kata kerja lampau (fi’il mâdhi), sebanyak 2 kali yaitu dalam al-Quran surat Ali
‘Imran ayat 168 dan al-Quran surat at-Taubah ayat 90. Dalam bentuk kata
kerja sedang (fi’il mudhâri’) disebut sebanyak 7 kali; dalam bentuk perintah
(fi’il amr) disebut 3 kali; dalam bentuk kata kerja yang dibendakan (mashdâr)
disebut 4 kali; dalam bentuk subyek pelaku (isim fâ’il) disebut 8 kali, dan
dalam bentuk keterangan tempat (isim makân) disebut 4 kali.6
Kata qawâ’id di dalam surat al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat
26 berkaitan dengan makna asas, dasar dan pondasi yang bersifat konkret dan
nyata. Allah swt. berfirman menceritakan kisah Ibrahim yang meninggikan
pondasi bangunan Ka’bah:
َّ َا تَقَبَّلْ ِمنَّا ِإنَّكَ َأ ْنتIIَاعي ُل َربَّن
ِمي ُعI الس ِ َد ِمنَ ْالبَ ْيIاع
ِ َمI ت َوِإ ْس ِ َرا ِهي ُم ْالقَ َوI ُع ِإ ْبI ََوِإذ يَرْ ف
ْال َعلِي ُم
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan(membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah
dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 127).7
Allah juga berfirman dengan menyebutkan kata qawâ’id ketika
mengisahkan nasib orang-orang dahulu yang karena kejahatan dan
pembangkangan mereka, diazab oleh Allah dengan membenamkan pondasi
rumah-rumah mereka sebagai berikut:
وْ قِ ِه ْمIIَ ْقفُ ِم ْن فIالس ِ قَ ْد َم َك َر الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم فََأتَى هَللا ُ بُ ْنيَانَهُ ْم ِمنَ ْالقَ َو
َّ َّر َعلَ ْي ِه ُمIاع ِد فَ َخ
َْث اَل يَ ْش ُعرُون ُ َوَأتَاهُ ُم ْال َع َذابُ ِم ْن َحي
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan
makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari
pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan
datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka
sadari.” (QS. an-Nahl: 26).8
Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan istilah ini meluas hingga
mencakup hal-hal yang bersifat logis dan immaterial dan mencakup juga
makna “prinsip-prinsip di mana sebuah konsep dibangun.” Konsep Islam
sebagai sebuah agama misalnya dibangun di atas lima dasar yang dikenal
dengan rukun Islam. Konsep Islam sebagai sebuah sistem keimanan misalnya
dibangun di atas enam pilar yang dikenal dengan sebutan “rukun iman”.
4 | Legal Maxim
perbedaan spesifikasi dan bidangnya secara makna merujuk kepada batasan
umum ini. Meskipun dalam faktanya, perbedaan redaksional dalam
mendefinisikan qawâ’id tidak bisa dihindari dan sangat tergantung pada latar
belakang dan bidang keilmuan orang yang selama ini coba
mendefinisikannya.
Sebagai ilustrasi adalah bahwa aturan atau kaidah yang dikembangkan
oleh ulama Nahwu tergambar dari prinsip-prinsip kerja kebahasaan seperti
dalam konsep mubtadâ’ itu harus marfû’, fâ`il itu harus marfû` dan maf`ûl itu
harus manshûb demikian seterusnya. Artinya, di manapun dan kapanpun,
prinsip-prinsip ini harus digunakan oleh pengguna bahasa ketika menemukan
struktur kalimat mubtadâ’, fâ’il, maf’ûl dan sebagainya.
Para Fuqaha’ memberikan batasan mengenai istilah qawâ’id sebagai
berikut:
ُُح ْك ٌم ُكلِّ ٍي َعلَى َج ِمي ِْع ج ُْزِئيَّاتِ ِه لِتُع َْرفَ َأحْ َكا ُمهَا ِم ْنه
“Ketentuan umum yang berlaku pada semua unit bagiannya, untuk
mengetahui hukum-hukum unit bagian tersebut berdasarkan ketentuan
umum tersebut.”
Al-Hamawî,11 komentator dari kitab al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir12 karya
Ibnu an-Nujaim, melihat sisi perbedaan makna untuk istilah qâ’idah ini,
antara ahli bahasa dengan ahli ushul. Bagi ahli bahasa, kaidah-kaidah itu
selalu bersifat total dan berlaku mutlak. Sedangkan bagi ulama ushul, kaidah
itu ditetapkan berdasarkan hukum mayoritas dan dominan saja, karena selalu
saja ada pengecualian-pengecualian yang keluar dari kaidah umum tersebut.
Namun, pendapat ini kurang tepat karena faktanya semua kaidah yang
dikenal dalam berbagai bidang selalu mengenal adanya anomali, yaitu kasus-
kasus spesifik yang tidak bisa lagi dijelaskan dengan menggunakan kaidah
umum. Termasuk dalam ilmu bahasa yang juga mengenal istilah “syâz”, yaitu
anomaly atau pengecualian-pengecualian dari kaidah umum yang jarang
terjadi.
Jika diperhatikan, dua definisi tersebut di atas sebenarnya merupakan
definisi qawâ’id secara umum yang mencakup ilmu tafsir, hadis, ilmu ushul,
dan ilmu bahasa. Secara lebih spesifik, pengertian kaidah fiqh secara istilah
adalah sebagai berikut:
ضيَّ ٍة َأ ْغلَبِيَّ ٍة يَتَ َعرَّفُ ِم ْنهَا َأحْ َكا ُم َما َدخَ َل تَحْ تَهَا
ِ َُح ْك ٌم شَرْ ِع ٌّي فِى ق
“Hukum syar’i dalam masalah-masalah umum atau mayoritas, yang
darinya dapat diketahui hukum-hukum dari segala sesuatu yang berada
di bawahnya.”13
6 | Legal Maxim
2. Kaidah fiqh setelah itu dapat menjadi patokan umum yang dijadikan
dasar untuk menentukan hukum bagi persoalan-persoalan yang belum
diketahui hukumnya.
3. Kaidah fiqh bersifat aglabiyât dan aktsariyât. Artinya, kaidah fiqh ini
tidak pernah bersifat mutlak akan tetapi selalu merupakan kondisi
pada umumnya atau kebiasaan. Oleh karenanya, dalam penerapannya,
setiap kaidah selalu mempunyai pengecualian (al-mustasnayât).
Di antara contoh kaidah fiqh adalah:
ِ اُأل ُموْ ُر بِ َمقَا
ص ِدهَا
“Segala perbuatan tergantung pada tujuan atau maksud dilakukannya
perbuatan tersebut.”17
Kaidah ini kemudian membentuk kaidah turunan—dalam berbagai
konteks tema fiqh. Jika dilihat dari rumusan kaidah ini tidak lain, ia
merupakan abstraksi teoritis yang bersifat komprehensif, biasanya dalam
bentuk pernyataan tentang tujuan dan sasaran dalam syari’ah, yang ekspresif,
dan seringkali singkat. Al-Qawa’id dalam fiqh, dengan demikian, merupakan
pernyataan tentang prinsip-prinsip yang diambil dari referensi yang rinci
tentang aturan-aturan fiqh dalam berbagai tema. Fiqh dalam hal ini berbeda
dengan aturan-aturan statuta modern yang ringkas dan lugas. Dalam
perkembangan selanjutnya, penjelasan yang detail dalam fiqh memungkinkan
para ahli fiqh untuk meringkas dalam bentuk pernyataan berkaitan dengan
prinsip-prinsip. Pernytaan ringkas tapi komprehensif ini dalam studi fiqh
disebut al-qawa’id al-fiqhiyah.
8 | Legal Maxim
(ad-dalil al-mani’ muqaddamun ‘ala ad-dalil al-mubih), « yang khusus
diutamakan daripada yang umum » (al-khos muqaddamun ‘ala al-‘am), « al-
mutawatir didahulukan daripada al-ahad » (al-mutawatiru muqaddamun ‘ala
al-ahad).26
Kaidah ushul, dengan demikian, bersumber dari teks syari’ah, produk
studi linguistik, kesimpulan dari logika induktif dari berbagai bentuk formula
kalimat bahasa Arab, ilmu al-Qur ‘an dan hadis. Dari semua unsur-unsur ini
muncul dan terbentuklah qawa’id ushuliyah sampai ilmu ini menjadi matang
dan mapan. Adapun qawa’id fiqhiyah kemunculannya justru setelah adanya
persentuhan dengan realitas hukum di tengah masyarakat yang disimpulkan
dengan menggunakan al-qawa’id al-ushuliyah. Dengan kata lain qawa’id
ushuliyah terbentuk lebih awal dari pada qawa’id fiqhiyah. Kemunculan
qawa’id fiqhiyah semata-mata bagaikan seutas tali yang digunakan untuk
mengikat berbagai furu’, satuan-satuan kasus dan berbagai peristiwa hukum
yang lain yang masih berserakan. 27 Itulah sebabnya fungsi dari pada al-
qawa’id al-fiqhiyah adalah sebagai robithoh (rawabith) pengikat yang
menghimpun berbagai kaus-kasus fiqh yang memiliki persamaan.
Jadi kaidah-kaidah fiqh berbeda dengan kaidah-kaidah ushul 28 karena
kaidah fiqh itu berbasis pada fiqh.29 Sedangkan kaidah ushul berhubungan
dengan metodologi legal reasoning (istimbath al-ahkam) dan aturan dalam
interpretasi, makna dan implikasi, perintah dan larangan, ia terbatas pada
tema ushul baik topik pembahasan maupun permasalahannya, dan lazimnya
tidak mengenal pengecualian. Karena sifatnya yang general (qawa’id muth-
thoridah) persis seperti kaidah-kaidah bahasa Arab pada umumnya. Sebuah
kaidah fiqh diartikan sebagai sebuah hukum umum (al-kulliyat al-’ammah)
yang berlaku untuk semua masalah-masalah terkait, tidak terbatas secara
kuantitas, namun meski bersifat komprehensif, masih terdapat pengecualian
karena beberapa faktor antara lain pengecualian berdasarkan nas, ijma’ atau
kondisi darurat atau lainnya. Adanya kemungkinan pengecualian ini, maka
sifat qawa’id fiqhiyah bersifat aglabiyah (kaidah-kaidah yang bersifat
mayoritas) bukan kulliyah muth-thoridah (kaidah umum tanpa mengenal
pengecualian).
Perbedaan antara kaidah fiqh dengan kaidah ushul juga dapat dilihat dari
aspek hakikat masing-masing. Hakikat kaidah fiqh mengungkap hukum
umum. Dari hukum umum ini kemudian berkembang berbagai hukum cabang
yang memiliki relevansi dan tergabung dalam al-kulliyat yang sama. Kaidah
ushul merupakan kaidah istidlal untuk menjelaskan hukum syari’ah yang
bersifat umum (kulli) maupun khusus (juz’i). Sedangkan kaidah fiqh,
merupakan ekspresi dari hukum syariah yang bersifat umum (al-ahkam al-
10 | Legal Maxim
atau nas-nas atas peristiwa atau kejadian tertentu. Kaidah fiqh dapat menuntun
mujtahid dalam menetapkan suatu hukum kasus yang memiliki relevansi
dengan kulliyat yang terkandung dalam kaidah tersebut.36
Meski adanya perbedaan yang signifikan antara kaidah fiqh dengan
kaidah ushul, terdapat sejumlah kaidah menyandang status kaidah fiqh dan
kaidah ushul sekaligus. Namun status ganda ini tetap dalam perspektif yang
berbeda. Disebut kaidah ushul dilihat dari eksistensinya sebagai dalil ijmali
(dalil global) yang menjadi basis istimbath terhadap hukum kulli. Sedangkan
disebut kaidah fiqh dilihat dari eksistensinya sebagai hukum juz’i (hukum
parsial) terhadap berbagai peristiwa hukum yang dilakukan oleh para
mukallaf. Misalnya kaidah ’al-’urf jika dilihat dari sumbernya merupakan
kaidah ushul, namun jika dilihat dari pengaplikasiannya ia merupakan kaidah
fiqh.37
Qawa’id al-Maqshadiyah
Studi eksploratif terhadap qawa’id al-maqshadiyah38 tergolong
mutaakhir. Adalah al-Kailany39 (sejauh pengetahuan penulis) berupaya
melakukan identifikasi qawa’id al-maqashidiyah dari kitab al-muwafaqat
karya al-Syatibi. Menurutnya qawa’id al-maqashidi merupakan ekspresi dari
nilai-nilai umum (ma’na ’aam) yang diperoleh dari berbagai ragam dalil
syari’ah. Kaidah ini mengungkap sesuatu yang dikehendaki Syari’ (pembuat
undang-undang) dalam suatu hukum. Di samping wataknya yang umum,
kaidah al-maqashid juga berwatak kulliyah (komprehensif). Artinya memiliki
cakupan yang luas, tidak terbatas pada tema, keadaan, masa dan individu
mukallaf tertentu, melainkan mencakup seluruh tema, semua individu, dan
berbagai situasi, kondisi dan waktu.
Misalnya kaidah maqashid tentang dampak dari suatu perbuatan selalu
menjadi pertimbangan (al-Nazru fi al-ma’al mu’tabarun syar’an) 40 merupakan
ekspresi dari nilai-nilai umum yang disimpulkan dari sejumlah ayat al-Qur’an.
Misalnya ayat tentang kewajiban berpuasa dalam surat al-Baqarah ayat 183,
ayat tentang hukuman qishas (justalionis atau hukuman setimpal) dalam surat
al-Baqarah ayat 179, dan dalam surat al-An’am ayat 108. Ayat-ayat tersebut
mengindikasikan bahwa suatu hukum ditetapkan berdasarkan hikmah, atau
tujuan syari’ah yang terkandung di dalmanya.
Oleh karena karakter kaidah maqshadiyah sama dengan kaidah pada
umumnya yaitu bersifat umum dan komprehensif. Demikian pula tujuan dari
kaidah maqashid tidak berbeda dengan kaidah fiqh yaitu mengungkap hukum
12 | Legal Maxim
Pengetahuan terhadap qawa’id fiqhiyah membantu untuk
mengungkapkan maqashid syari’ah. Dalam banyak hal tidaklah mudah untuk
mengetahui hukum-hukum cabang, sehingga mendorong seorang mujtahid
untuk mengkaitkan hukum dengan maqashid, mencari sisi-sisi persamaan dan
perbedaan dalam berbagai kasus. Dari sini kemudian mengetahui hikmah-
hikmah dan sebab-sebab penetapan hukum. Ibn ’Asyur mengisyaratkan
bahwa peneliti qawa’id fiqhiyah akan mengetahui ”pengikat” antara berbagai
furu”, mencermati illat-illat hukum yang sama yang dapat mengungkap tujuan
umum dari syari’ah yaitu jalbu al-masalih wa daf’u al-mafasid.
14 | Legal Maxim
adalah keadaan yang normal atau status quo, yang hanya dapat ditolak dengan
pembuktian.
Menurut kaidah-kaidah lain: ‘norma yang berkaitan dengan hal ini
adalah tentang Al-aslu fil-ashyaa al’Ibahah. Dengan kata lain al-Aslu fil-
ashya’ al’Ibahah adalah kondisi alamiah dan oleh karena itu akan tetap
sampai ada pembuktian untuk menjamin keluar dari posisi tersebut. Kaidah
ini berdasarkan atas pemahaman umum tentang pembuktian yang relevan
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Maka disebutkan di dalam al-Qur’an bahwa
Allah telah menciptakan semua yang ada dimuka bumi ini untuk
kemakmuranmu (al-Baqarah: 2:29) dan juga hadis menyatakan “apapun yang
Allah jadikan halal adalah halal dan apapun yang Allah tetapkan haram adalah
haram, dan semua yang lain diantara yang telah ditetapkan itu Allah
maafkan”. Kesimpulan yang dapat diambil adalah kita diizinkan untuk
memamfaatkan sumber daya alam untuk kemakmuran dan jika sesuatu itu
tidak dinyatakan haram, dianggap boleh dimanfaatkan. Dinyatakan dalam al-
Majallah53 bahwa al-qawa’id al-fiqhiyah dirancang untuk memfasilitasi
pemahaman yang lebih baik dari syari’ah dan keputusan mungkin tidak
berdasarkan atas pendapatnya terhadap masalah ini, jika al-qawa’id tersebut
tidak diambil dari al-Qur’an atau Hadis atau didukung oleh pembuktian
lainnya.
Akan tetapi hal ini berbeda dengan pendapat Shihab al-Din al-Qarafi
yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan dapat dianulir jika keputusan
tersbut melanggar kaidah-kaidah yang umumnya telah diterima.
Para ulama telah secara umum sependapat bahwa al-qawa’id fiqh
bersesuaian dengan ijtihad, dan kedua-duanya dapat digunakan oleh para
mujtahid dan hakim sebagai bukti yang persuasif. Itu hanya sebagai pedoman
besar, sedangkan delik hukum perlu ditemukan dalam pembuktian khusus
yang relevant dengan subjek ajudikasi. Karena sebagian besar dari al-qawa’id
al-fiqhiyah dijelaskan dalam bentuk pernyataan umum, al-qawa’id al-fiqhiyah
diterapkan dalam arti yang ekslusif dan sering terdapat pengecualian dan
partikularisasi. Contoh seperti ini sering dicatat oleh para ahli hukum,
khususnya dalam kasus ketika al-qawa’id al-fiqhiyah tertentu gagal
diterapkan pada keadaan yang perkaranya tidak selesai. Kemudian mereka
berusaha untuk memformulasikan kaidah tambahan untuk memecahkan kasus
tertentu itu. Al-qawa’id al-fiqhiyah dikembangkan secara bertahap dan sejarah
perkembangannya dalam kasus umum parallel dengan sejarah fiqh itu sendiri.
Akan tetapi lebih khusus lagi ini dikembangkan terutama pada masa taqlid,
sebab ini adalah dalam kerangka takhrij pada pedoman dari literatur fiqh
yang lengkap. Perkembangan ini terjadi selama tiga abad pertama dari
keunggulan Islam, yang dikenal dengan nama masa ijtihad.
Nazariyat Fiqhiyah
Perkembangan selanjutnya yang akan dibahas adalah karya sejenis yang
relatif baru dan muncul dalam tulisan modern dengan pengkhususan dibidang
an-Nazariyyah al-fiqhiyah atau teori hukum Islam. Nazariyyah dalam konteks
ini mengacu kepada sebuah pengaturan yang komprehensif 56 terhadap hal-hal
penting dalam hukum, seperti teori tentang kontrak, teori kepemilikan, dan
teori ad-darurah dan lain-lain. Tingkatan perkembangan teori ini
memperlihatkan perubahan dari model awal dalam tulisan literatur fiqh di
mana topic tidak digolongkan dengan baik dan tema-tema yang menyatakan
bidang tertentu tersebar dalam bagian-bagian yang berbeda. Literatur
Nazariyyah berusaha mencari solusi itu dan menyajikan pengaturan yang
sistematis terhadap persoalan-persoalan yang bertujuan menjadikannya
sebagai referensi dan yakin untuk diterapkan.
16 | Legal Maxim
Literatur Nazariyyah berasal dari sumber-sumber yang digabung dalam
fiqh dari semua bidang, termasuk qawa’id, dawabit dan furuq. Tetapi
Nazariyyah tidak selalu diharapkan untuk menghasilkan kembali sebuah
formulasi yang detail terhadap cabang-cabang terkait, sebab karya yang
berorientasi teori umumnya hendaknya ringkas, jelas pengulangannya dan
tidak harus detail. Nazariyyah juga menggabungkan metode-metode baru
dalam penelitian dan penulisan, yang lebih efektif dan hemat waktu. Literatur
Nazariyyah tidak hanya dibatasi dengan metode dan bentuk tulis yang telah
diperbaiki, tetapi juga berusaha menonjolkan beberapa aspek substansial
dalam doktrin fiqh. Sebagai contoh berkaitan dengan hukum kontrak, Abd ar-
Razzaq as-Sanhuri telah mengamati bahwa literatur fiqh pada bidang ini
difokuskan pada penjelasan yang detail terhadap sejumlah kontrak dan
mengelola masing-masing kontrak secara terpisah. 57
Fuqaha mazhab Hanafi, al-Kasani telah membahas 19 kontrak nominasi,
di mana banyak di antaranya memiliki kesamaan dan juga perbedaan dalam
beberapa aspek. Sebuah kajian terhadap literatur yang relevan dalam kontrak
fiqh, seperti yang dicatat oleh as-Sanhuri, menghilangkan keraguan pembaca
dalam hal sebagai berkut: apakah kontrak-kontrak ini dapat diatur untuk
mendapatkan bagian-bagian yang memiliki kesamaan; apakah fiqh
memvalidasi kontrak selain di atas; dan apakah fiqh memperlihatkan
kebebasan dasar dalam berkontrak, yakni atas dasar perjanjian yang tidak
melanggar moralitas dan kepentingan umum.
Keraguan ini sepertinya dapat dijawab dengan lebih baik dari literatur
nazariyyah yang lebih teratur dan expresif terhadap aspek-aspek yang sama
dalam kontrak tersebut. Literatur Nazariyyah tidak berarti tanpa berlandaskan
pada fiqh. Sebagai contoh, dalam teori kontrak, bahwa kemajuan yang
signifikan telah dibuat oleh ulama mazhab Hanbali, Ibn Taymiyyah (w. 728)
dan pengikutnya, Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah yang kontribusinya sangat
terkenal. Ibn Taymiyyah melepaskan dari teori awal atas masalah kontrak
nominasi dan menyajikan sebuah wacana yang menyakinkan melalui
pendapatnya bahwa kontrak tidak perlu dibatasi pada sebuah protitipe atau
jumlah tertentu. Hakekat dari semua kontrak terletak pada perjanjian para
pihak yang berkontrak, yang boleh membuat kontrak baru, didalam atau diluar
para pihak yang telah dikenal, karena mereka menyadari keuntungan secara
hukum dan tidak melanggar moralitas dan kepentingan umum.
Namun perlu dicatat bahwa kontribusi Ibn Taymiyyah terhadap teori
kontrak ini menyajikan perkembangan laten dan pemisahan dalam beberapa
cara dengan keadaan mayoritas pada tema ini. Oleh karena itu, kritik as-
Sanhuri dalam masalah ini masih dianggap relevan. 58 Kemajuan yang pesat
juga dibuat dalam kontek literatur nazariyyah, tidak hanya tulisan as-
18 | Legal Maxim
Imam Syafi’i menjadikan al-musyabahah ke dalam salah satu model
qiyas. Beliau mengatakan qiyas dari dua sisi, pertama hukum produk qiyas
sama dengan hukum yang ada pada al-ashl, qiyas model ini menjadi
kesepakatan para teorikus hukum Islam (ushuliyun). Kedua hukum produk
qiyas hanya memiliki kemiripan dengan hukum pada al-ashl, sehubungan
dengan ini keserupaan atau kemiripan yang dominan menjadi acuan qiyas-
nya, qiyas model ini diperdebatkan oleh para kaum ushuli. 60 Inilah yang
disebut dengan qiyas galabat al-asybah (qiyas yang mengacu pada unsur
keserupaan yang dominan).
Al-Asybah dalam pengertian ushul fiqh lebih spesifik dari pada al-asybah
dalam konteks al-qawa’id. Hukum-hukum furu’ yang dinamai al-asybah
dalam karya-karya al-qawa’id adalah kasus-kasus yang memiliki satu hukum,
karena satu sama lain terdapat kemiripan, tetapi penyeragaman hukum
terhadap kasus-kasus yang memiliki kemiripan ini tidak dalam konteks
kesimpulan dari nalar qiyas.
Istilah naza’ir secara simantic tidak berbeda dengan al-asybah, akan
tetapi para terminolog fiqh menjelaskan bahwa naza’ir memiliki kemiripan
yang lebih rendah daripada al-asybah.61 Dengan demikian, al-naza’ir adalah
al-asybah. Akan tetapi terkadang terdapat sifat-sifat yang menghalangi ilhaq
al-hukmi (penyamaan hukum) terhadapnya dengan kasus yang memiliki
kemiripan hukum.62 Suyuthi menyebutkan bahwa pembahasan topik ini dalam
ilmu tersendiri yang disebut al-furuq, di mana disebutkan di dalamnya
perbedaan antara berbagai naza’ir yang secara konsepsional dan makna
berada dalam satu kategori, namun pada hukum dan ’illat-nya terdapat
perbedaan.63 Akan tetapi Suyuthi sendiri di dalam al-asybah wa al-naza’ir
tidak membahas al-juziyat (kasus-kasus parsial) yang berhubungan dengan al-
furuq dalam pembahasan atau topik tersendiri. Pada bab lima dalam karyanya
tersebut dengan judul Naza’irul abwab, pada bab enam dengan judul ”abwab
mutasyabihah wa ma iftaraqat fihi”. Sedangkan pada bab tujuh dengan judul
”Naza’ir Syatta”.
Mencermati secara kritis bab-bab dalam karya al-Suyuthi memperkuat
dugaan atas ketidak konsistenannya dalam hal pembahasan al-furuq. Padahal
sejak awal dia menjanjikan pembahasan tersebut dalam bab tersendiri dalam
ilmu khusus. Misalnya pada bab Naza’irul Abwab didominasi oleh
pembahasan al-istitsna’at (pengecualian-pengecualian). Pada bab ”Naza’ir
Syatta” memuat hukum-hukum masalah-masalah tertentu, kemudian
menyebut kasus-kasus lain yang memiliki kemiripan, sebagiannya memiliki
persamaan hukum, dan sebagian yang lain memiliki perbedaan hukum.
Adapun pada bab enam ”Abwab Mutasyabihah...” adalah khusus pada al-
furuq. Perbedaan yang disebutkan hanya antara dua hal, misalnya perbedaan
20 | Legal Maxim
tsani dalam karyanya al-asyabah wa al-naza’ir memberi judul al-fawa’id, dan
menganggapnya bagian dari al-asybah wa al-naza’ir. Padahal di dalamnya
disebut pula dhawabith dan istitsnaat. Dalam al-fan al-tsalits juga disebutkan
al-jam’u dan al-farqu. Perbedaan terlihat pada al-fan alrabi’ yaitu al-algaz
yang menurutnya bagian dari al-asybah wa al-naza’ir, tidak juga pada al-fan
al-khomis yaitu al-hiyal yang menurutnya termasuk al-al-asybah wa al-
naza’ir, dan tidak pula pada al-fan al-sabi’ yaitu hikayat dan murosalat yang
juga menurutnya bagian dari al-asybah wa al-naza’ir. Dapatlah dipahami
bahwa penamaan semuanya itu dengan al-asybah wa naza’ir semata-mata
tradisi yang keliru, bahkan merupakan penamaan yang keliru.
Dari sudut pandang lain, perbedaan antara al-asybah wa al-naza’ir dari
satu sisi, dan qawa’id fiqhiyah dari sisi lain, dapat disebutkan bahwa al-
qawa’id mencerminkan al-rawabith (pengikat) dan al-jami’ (penghimpun)
berbagai kasus yang memiliki kemiripan, atau yang memiliki sifat yang sama
antara furu’-furu’ yang diberlakukan terhadapnya qa’dah yang sama. Dengan
demikian, qawa’id mencerminkan suatu al-mafahim (konsep dan sifat-sifat
dasar yang tergabung di dalamnya berbagai satuan) dan hukum-hukum yang
bersifat umum. Sedangkan al-asybah wa al-naza’ir mencerminkan al-
mashodaqot (segala sesuatu yang dapat dijadikan bukti) atau kejadian-
kejadian parsial (al-waqai’ al-juziyah) yang mengkonkritkan al-mafahim
(konsep-konsep) atau menafikannya. Mereka yang melihat adanya al-ma’na
al-jami’ dan al-dawabith antara berbagai al-furu’ cenderung menamai
karyanya al-qawa’id, sedangkan orang-orang yang melihat furu’ juz’iyah
cenderung menamai karyanya al-asybah wa al-naza’ir. Akan tetapi kesulitan
bagi mereka yang menamai karyanya al-qawa’id untuk memasukkan
pembahasan al-furuq atau al-furuq wa al-istitsnaat (perbedaan-perbedaan dan
pengecualian-pengecualian) dan sebagian tema pembahasan lain jika al-
qawa’id kita defenisikan seperti di atas, kecuali menjadi bagian dari
interpretasi. Itulah sebabnya pengungkapan dengan al-asybah wa al-naza’ir
lebih banyak menggambarkan karya-karya al-qawa’id secara umum.
22 | Legal Maxim
yang pada perkembangan selanjutnya, oleh para ulama dirumuskan menjadi
kaidah fiqh.
Sebagai contoh beberapa hadis Nabi saw yang secara substansial
mengandung prinsip umum kaidah, yang kemudian diinduksikan oleh para
ulama berikutnya dijadikan sebagai dasar terbentuknya kaidah fiqh antara
lain:
1. Imam Bukhârî, Imam Muslim, Imam Abû Dâwûd, Imam at-Tirmîzî,
Imam an-Nasâ’î dan Imam Ibnu Mâjah telah meriwayatkan dengan
sanad dari Abdullah bin Umar yang mendengar langsung Rasulullah
saw bersabda:
ِ إنَّ َما اَأْل ْع َما ُل بِالنِّيَّا
ت
“Setiap perbuatan tergantung niatnya”
2. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam as-Dâruqutnî, Imam al- Hakim,
Imam al-Baihaqî, dan Imam Ibnu Mâjah dengan sanad dari Abû Sa’îd
al-Khudrî, Abdullah bin Abbâs dan Ubâdah bin as-Shâmit:
ض َرا َر فِي اِإْل ْساَل ِم
ِ ض َر َر َواَل
َ َال
“Tidak boleh ada yang merugikan dan tidak pula ada yang dirugikan
dalam Islam. ”
Kedua pernyataan Rasulullah saw tersebut oleh para ulama fiqh
selanjutnya disimpulkan sebagai prinsip dasar dan umum bagi semua rumusan
hukum dalam Islam. Dengan alasan itulah, para ulama menjadikannya sebagai
kaidah umum yang dapat diterapkan dalam berbagai masalah fiqh. Berbagai
permasalahan yang memiliki karakteristik yang sama dikemas dalam suatu
ungkapan yang hasilnya bisa berbentuk pernyataan umum yang bisa
dikategorikan sebagai kaidah, illat, dhâbit, dan ketentuan–ketentuan hukum
lainnya.
b. Periode Sahabat
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat beliau menggantikannya sebagai
rujukan hukum umat Islam. Para sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang
menyaksikan, mengalami dan paling memahami bagaimana syariat dibentuk.
Itulah mengapa mereka diposisikan sebagai pemegang otoritas fatwa untuk
memutuskan hukum.
Para sahabat setelah Rasulullah banyak yang mengeluarkan ungkapan-
ungkapan yang secara substansial tergolong pernyataan umum yang
mengandung aturan dan dasar-dasar bagi ilmu fiqh.
Ungkapan-ungkapan yang muncul dari para sahabat, selain merupakan
fatwa hukum, juga mengandung rambu-rambu dan patokan umum bagi
masyarakat dalam menyelesaikan sendiri kasus-kasus dan permasalah mereka.
24 | Legal Maxim
”Tidak ada keputusan terhadap orang yang tidak menghadiri
persidangan.”
”Setiap khulu’ (istri mencerai suami dengan mengembalikan mahar)
adalah talak bain (cerai akhir).”
3) Ungkapan dari Ibrahim an-Nakhâ’î:
”Setiap peminjaman yang menarik keuntungan (manfaat) tidak memiliki
kebaikan (berkah) di dalamnya”. Redaksi lain”Setiap peminjaman yang
menarik manfaat maka itu adalah riba.”
”Tidak dikenakan hukuman (had) bagi penuduh berbuat zina (qozif)
terhadap anak-anak yang masih kecil.”
4) Ungkapan dari asy Sya’bî:
”Orang yang menentang sedekah sama dengan orang yang
melarangnya.”
”Setiap sumpah yang melarang hubungan seksual dengan isteri adalah
ilâ’.”
Kutipan-kutipan dari Rasulullah, para sahabat dan tabi’in tersebut
membuktikan bahwa secara emberional kaidah-kaidah fiqh sesungguhnya
telah muncul sejak masa Rasulullah hingga masa tabi'in. Namun karena masih
belum dirumuskan menjadi kaidah, maka dalam kurun waktu tiga generasi ini,
masih dianggap sebagai fase pembentukan dan formatisasi.
B. Fase Pembentukan dan Konstruksi
Seiring dengan mulai maraknya kajian fiqh yang puncaknya ditandai
dengan munculnya madzhab-madzhab fiqh, maka pada saat itu sebenarnya
mulai muncul beberapa kitab fiqh yang menyisipkan beberapa persoalan
hukum, yang tidak secara tersurat dinamakan sebagai kaidah fiqh, namun
secara substansial merupakan kaidah fiqh. Di antara karya-karya tersebut
adalah:
1. Al-Umm, karya Muhammad bin Idris al-Syâfi’î. Dalam pembahasan
mengenai masalah keringanan hukum (rukshah), Imam Syâfi’i
sebagai penulis dari kitab tersebut membuat premis: ”Keringanan
hukum hanya berlaku sesuai petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya”
yang dilanjutkan dengan merumuskan satu kaidah: ”Diperbolehkan
dalam kondisi darurat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam
kondisi normal.” Penerapan kaidah ini misalnya ketika seseorang
dalam kondisi sangat terpaksa maka dibolehkan memakan bangkai
binatang jika merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
2. Al-Kharaj, karya Abû Yûsuf Ya’qûb bin Ibrahim al-Ansharî al-
Hanafî. Karya ini berisi beberapa kaidah fiqh yang berkaitan dengan
masalah siyâsah (politik-pemerintahan)
26 | Legal Maxim
Fase ini dimulai ketika kaidah fiqh sudah mulai dibukukan oleh para
ulama. Tidak sebagaimana pada fase sebelumnya, pada fase ini sudah ada
upaya-upaya yang lebih sistematis untuk membukukan karya-karya dalam
bidang ini. Pada fase ini, kaidah fiqh muncul sebagai disiplin keilmuan yang
mandiri dimulai pada abad ke 4, sekitar dua abad setelah terbentuknya fiqh
sebagai disiplin keilmuan yang mapan yaitu abad ke 2.
Menurut Ali an-Nadawi ditemukan fakta bahwa yang pertama
mengembangkan ilmu ini adalah para ulama fiqh dari mazhab Hanafi. Bisa
jadi penyebabnya adalah karena mazhab ini merupakan mazhab yang paling
banyak menggunakan penalaran rasional terhadap sumber-sumber tasyri’
seperti al-Qur’an dan Hadis dalam merumuskan hukum-hukum fiqh dan
bagaimanapun kaidah fiqh merupakan upaya rasionalisasi terhadap rumusan-
rumusan hukum dalam Islam.
Sebab lainnya adalah karena para tokoh-tokoh ushul fiqh, yang konsen
terhadap logika penalaran hukum, dari mazhab ini banyak yang merumuskan
logika dan sistem penalaran hukum justru dari rumusan-rumusan fiqh yang
telah jadi, yang dibuat oleh imam mereka. Dalam kondisi seperti ini, mereka
memaksimalkan potensi logika untuk mengabstraksikan logika yang
mendasari setiap rumusan hukum yang terbentuk.
Karena berhadapan dengan abstraksi inilah, sebagian dari mereka
kemudian memunculkan apa yang disebut sebagai kaidah-kaidah fiqh.
Sebagaiman telah disebutkan, bahwa informasi paling awal mengenai upaya-
upaya sistemtis pertama yang dilakukan dalam bidang ini menyebutkan
bahwa Abu Thahir ad-Dabbas, salah seorang ahli fiqh abad ke 4 Hijriyah telah
melakukan kodifikasi dan pengumpulan kaidah-kaidah penting dalam fiqh
mazhab Hanafi dan merangkumnnya dalam 17 point.
Abu Thahir, setelah berhasil merumuskan 17 point penting yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang diambil dari fiqh mazhab Hanafi, lalu
para ulama yang lain mengikuti langkah tersebut dan berupaya mengkajinya
lebih mendalam dengan mengembalikannya kepada rumusan-rumusan hukum
lain. Setelah yakin jika apa yang di simpulkan itu memang bisa diaplikasikan
dan dapat menampung berbagai cabang fiqh lainnya, para ulama secara resmi
mengajarkannya di forum ilmiah mereka.
Segera setelah itu, seorang ulama lain yang berapliasi kepada mzahab
Syafi’i, Abu Sa’id al-Harawi, datang pada Abu Thahir dan mempelajari
kaidah-kaidah yang ia temukan itu. Setelah itu ia mencoba menguji dan
menerapkannya dalam rumusan-rumusan hukum mazhab Syafi’i. Dari hasil
percobaanya itu, ia mengambil 5 kaidah pokok yang digunakan sebagai
kaidah fiqh untuk menampung dan mengabstraksikan hukum-hukum dalam
mazahab Syafi’i.
28 | Legal Maxim
pada fase ini karya-karya dalam bidang tersebut telah dilengkapi dengan
upaya penguatan dengan kaidah-kaidah ushul fiqh.
b. Periode Muta’akhirin (abad VIII-XII H)
Kaidah fiqh pada masa ini sudah tertata secara sistematis dan tidak lagi
bercampur aduk dengan ilmu fiqh. Kaidah-kaidah yang masih tercecer dalam
kitab-kitab fiqh dikumpulkan dalam satu kemasan disertai contoh-contoh
yang termasuk furu’ dari masing-masing kaidah. Pada mulanya “para
pemungut “ceceran kaidah tersebut belum menamakannya sebagai kaidah,
melainkan sebagai al-asybah wa al-nazha-ir.
Sistematika penulisan pada periode muta’akhirin ini, bentuk
penulisannya sudah mulai tertata dan disusun secara sistematis, perbedaan
antar redaksi sudah tidak mencolok seperti pada masa mutaqaddimin. Kitab-
kitab pada masa ulama muta’akhirin ini tidak hanya memusatkan kajiannya
seputar kaidah fiqh saja, beberapa memadukan dengan kajian kaidah-kaidah
ushul fiqh dan menambahi pembahasan-pembahasan lain seperti soal furuq
(perbedaan-perbedaan istilah fiqh), alghaz (tanya jawab hukum), hiyal (cara
mencari solusi persoalan hukum), dan kajian-kajian hukum tertentu seperti
hukum tentang orang buta, hukum seputar hari jum’at, dan lain-lain. Kitab
kaidah fiqh pada masa ini adalah Asybah wa al-Nazha'ir karya al-Subki, al-
Suyuthi, dan Ibn Nujaym.
Konseptualisasi penulisan kaidah fiqh sudah mulai tertata walaupun
antara satu kitab dengan kitab lainya tidak memiliki kesamaan, baik dalam
segi pengurutan maupun penataannya.
Dalam catatan Abdurrahman al- Sya’lani, terdapat tiga model pengurutan
kaidah pada kitab-kitab ulama pada fase ini yaitu:
1. Kitab-kitab yang ditulis sesuai dengan urutan bab dalam kitab fiqh,
seperti dalam mahzab Syafi’i – kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir karya
Ibn al-Mulaqqan (w.804 H.) atau dalam mahzab Maliki adalah kitab
al-qawa’id karya al-Maqarri (w.759 H.)
2. Kedua, mengurutkan kaidah sesuai dengan runtutan huruf hija’iyah
contoh dalam mahzab Syafi’i adalah kitab al-Mantsur fi al-Qawa’id
karya al-Zarkasyi (w. 794 H.), dan kemudian diikuti oleh abu Sa’id al-
Khadimi yang bermadzab Hanafi dalam kitabnya Majma’ al-
Haqa’iq.
3. Membagi kaidah-kaidah tertentu dalam beberapa bab atau beberapa
bagian. Contohnya seperti kitab al-Majmu’ al- Mudzahhab karya al-
Ala’i yang dimulai dengan pembahasan lima kaidah dasar, kemudian
kaidah-kaidah ushuliyah, dan diakhiri dengan kaidah fiqhiyah.
Sementara Ibn al-Subki memulai kitab asybah wa al-nazhair-nya
Penutup
Kaidah-kaidah fiqh adalah pernyataan umum yang berhubungan dengan
suatu hukum sehingga ia dapat diterapkan dalam berbagai kasus yang
memeliki kulliyat yang sama meskipun dalam berbagai tema fiqh. Ruang
lingkup kaidah fiqh ada yang sangat luas meliputi semua tema fiqh, meskipun
ada pula kaidah untuk beberapa tema fiqh dan bahkan hanya pada satu tema
fiqh tertentu yang disebut dhabithah fiqh. Sedangkan ilmu qawa`id fiqhiyyah
mengajarkan tentang struktur dan pola yang melandasi putusan-putusan yang
30 | Legal Maxim
telah diambil dari sumber-sumber primer. Hukum Islam memiliki ratusan
kaidah dan dalam penerapannya kepada situasi yang baru memerlukan ilmu
yang memadai, pandangan yang luas, training yang jelas pada orang-orang
yang ahli dalam bidang ini. Kaidah fiqh berbeda dengan kaidah ushul fiqh
yang merupakan metode ijtihad, sedangkan kaidah fiqh hanya berfungsi untuk
mengikat (rabithah) berbagai furu’ yang memiliki persamaan sifat atau
karakter. Kaidah juga berbeda dengan nazariyat fiqh yang merupakan
pembahasan tema tertentu tentang fiqh secara komprehensif dan tuntas.
Kaidah fiqh sebagai suatu ilmu telah memiliki metode perumusan dan sejarah
pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan tersendiri yang berbeda
dengan sejarah fiqh.
Sangat penting untuk dipahami bahwa kaidah fiqh secara induktif
dijabarkan dari putusan-putusan yang sudah ada, di mana putusan-putusan ini
telah diambil dari sumber-sumber utama. Ini berarti bahwa jika semua kaidah
yang dapat diterapkan (tidak hanya satu atau dua kaidah saja) dijadikan
pertimbangan, maka putusan-putusan yang sudah ada dapat diperluas ke
situasi yang baru. Akan tetapi sejumlah ulama kontemporer menyatakan
bahwa adalah tidak inkonsisten secara logika untuk menggunakan kaidah-
kaidah fiqh yang diambil secara induktif ini untuk tidak mengakui putusan-
putusan yang telah diambil secara induktif pula. Dengan kata lain, putusan-
putusan yang telah diambil dari sumber-sumber primer tidak dapat ‘digugat’
dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh. Keuntungan mempelajari ilmu
qawa’id fiqhiyah adalah untuk menemukan dengan lebih mudah putusan-
putusan atas situasi yang baru yang belum dibahas dalam teks yang eksplisit,
untuk mempelajari putusan-putusan hukum yang terpisah dalam waktu yang
relatif singkat.