Anda di halaman 1dari 26

PERISTIWA DISINTEGRASI BANGSA DI INDONESIA MULAI

PERODE ORDE LAMA HINGGA REFORMASI

Di Susun Oleh Kelompok :


- Alfi Syahrin Ramadan
- Bagus Pribadi
- Farid Ramadhan
- Aginda Bima Ilyansyah
- M. Fahrizieq Ilbab
- Saipul Pakih
- Adit Saputra

SMA NEGERI 25 KAB.TANGERANG


Jl.Gatot Subroto,Kedaung Barat,Sepatan Timur,Kab.Tangerang – 15520
Tahun Ajaran 2022/2023
KATA PENGANTAR

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran


Sejarah. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan
tentang manusia prasejarah bagi para pembaca dan juga bagi
penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nina
selaku guru Mata Pelajaran Sejarah. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….. i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….... 1

- 1.1 Latar Belakang Penugasan……………………………… 1


- 1.2 Tujuan Penugasan………………………………………. 1

BAB II Peristiwa Disintegrasi Bangsa Indonesia Periode Lama………….. 3

BAB III Peristiwa Disintegrasi Bangsa Indonesia Periode Baru…………… 4

BAB IV Peristiwa Disintegrasi Bangsa Indonesia Periode Reformasi………. 5

BAB V PENUTUP………………………………………………………….. 6

 5.1 Kesimpulan
 5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 7

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang penugasan

Sejarah adalah mata pelajaran wajib yang perlu dipelajari oleh semua
siswa. Dengan mempelajari sejarah, diharapkan siswa dapat mengetahui
sejarah dan menghargai jasa para pahlawan terdahulu serta menarik subjek
dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Melalui sejarah dapat
dikembangkan nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan sosial bagi siswa berupa
nilai demokrasi, nasionalisme, patriotisme, bertanggungjawab, mandiri dan
pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa.

1.2 Tujuan penugasan

Mengembangkan nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan sosial bagi siswa berupa


nilai demokrasi, nasionalisme, patriotisme, bertanggungjawab, mandiri dan
pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa.

1
BAB II
Peristiwa Disintegrasi Bangsa Indonesia Periode Lama

1. Pembangunan Gelora Bung Karno

Konstruksi dimulai pada 8 Februari 1960 dan selesai pada 21 Juli


1962, tepat waktunya untuk menjadi tuan rumah Asian Games di bulan
berikutnya. Pembangunannya didanai dengan kredit lunak dari Rusia (yang
dulunya Uni Soviet) sebesar 12,5 juta dolar AS yang kepastiannya diperoleh pada
23 Desember 1958.

Kapasitas asli stadion dari 110.000 orang berkurang menjadi 88.083 sebagai
akibat dari renovasi untuk Piala Asia AFC 2007. Stadion ini terbagi menjadi 24
sektor dan 12 pintu masuk, serta tribun atas dan bawah. Fitur khusus dari stadion
ini adalah konstruksi atap baja besar yang membentuk cincin raksasa yang
disebut temu gelang, sesuatu yang sangat langka pada tahun 1962. Selain untuk
mencegah para penonton di semua sektor dari panasnya sinar UV bahkan curah
hujan yang tinggi, tujuan dari konstruksi cincin raksasa ini juga untuk menekankan
keagungan stadion.

Walaupun stadion ini dikenal sebagai Stadion Gelora Bung Karno atau
Stadion GBK, nama resminya adalah Stadion Utama Gelora Bung Karno, karena
terdapat stadion lainnya di Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno, seperti
Stadion Tenis dan Stadion Akuatik. Selama era Orde Baru, Kompleks ini berganti
nama menjadi "Kompleks Gelora Senayan" dan stadion ini berganti nama menjadi
"Stadion Utama Gelora Senayan" pada tahun 1969 di bawah kebijakan "de-
Soekarnoisasi" oleh Presiden Soeharto. Setelah kejatuhannya, nama kompleks
tersebut dikembalikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid atas Keputusan Presiden
yang berlaku sejak 17 Januari 2001.

Pada Final Perserikatan 1985, Pertandingan Persib Bandung melawan PSMS


Medan yang diadakan di stadion ini menjadi pertandingan amatir dengan kehadiran
terbanyak yaitu 150.000 penonton. Pertandingan tersebut akhirnya dimenangkan
oleh PSMS Medan.

2. Pemilu tahun 1955

Pada masa orde lama, peristiwa penting lainnya yaitu penyelenggaraan


pemilihan umum untuk pertama kali. Tepatnya saat kepemimpinan Kabinet
Burhanudin. Diketahui bahwa kala itu, sistem pemerintahan dipimpin oleh Perdana
Menteri. Sementara itu, kepala negara tetap dipegang oleh Presiden.

Sebelum itu, pencanangan pemilu sudah digodok terlebih dahulu pada masa
Kabinet Ali Sastroamidjojo. Lalu, baru sempat dilaksanakan pada Burhanudin
Harahap menjadi Perdana Menteri, tepatnya pada tahun 1955. Saat inilah, terdapat
peran banyak dari partai politik yang berasal dari komunitas masyarakat sebagai
bentuk penggagas demokrasi yang lebih konkret.
3. Perjanjian linggarjati
Dilansir dari buku A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (2008)
karya MC Ricklefs, perundingan Linggarjati terjadi karena Jepang menetapkan
status quo di Indonesia, menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan
Belanda yang salah satunya ditandai Peristiwa 10 November di Surabaya.
Pemerintah Inggris selaku penanggung jawab mengundang Indonesia dan Belanda
untuk melakukan perundingan di Hooge Veluwe. Namun perundingan tersebut
gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatan atas Pulau Jawa,
Sumatera, dan Madura.

Sedangkan Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Pulau Jawa dan Madura
saja. Akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirim Lord Killearn ke
Indonesia dalam misi menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan
Belanda. Tanggal 7 Oktober 1946 di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta, dibuka
perundingan antara Indonesia dan Belanda. Dalam perundingan ini akhirnga
menghasilkan persetujuan gencatan senjata pada 14 Oktober. Kemudian
dilanjutkan dengan Perundingan Linggarjati yang terjadi pada 11 November 1946.
Tidak diketahui secara pasti alasan Sutan Syahrir memilih Linggarjati, sebagai
tempat pertemuan bersejarah itu. Namun, lingkungan tersebut menawakan
panorama indah Gunung Ciremai yang diharapkan mampu meredam otak.
Perjanjian Linggarjati selesai pada 15 November 1946 dan baru ditandatangani
keduanya pada 25 Maret 1947. Dalam rentang waktu tersebut, para delegasi
melakukan perbaikan isi perjanjian agar kedua belah pihak menemui titik temu.
Dampak perjanjian Linggarjati

Adanya perjanjian Linggarjati memberikan dampak positif maupun negatif


bagi Indonesia. Berikut beberapa dampaknya:

Dampak positif Beberapa dampak positifnya, yaitu:

Citra Indonesia di mata dunia semakin kuat, dengan adanya pengakuan


Belanda terhadap Kemerdekaan Indonesia. Belanda mengakui negara Republik
Indonesia atas kuasa Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera secara de facto.
Selesainya konflik antara Belanda dan Indonesia.

Dampak negatif Beberapa dampak negatif bagi Indonesia, yaitu:

indonesia hanya memiliki wilayah kekuasaan yang kecil. Selain itu


Indonesia harus mengikuti persemakmuran Indo-Belanda. Memberikan waktu
Belanda untuk mempersiapkan melanjutkan agresi militer. Perjanjian ini ditentang
oleh sejumlah masyarakat, seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia,
dan Partai Rakjat Sosialis. Dalam perundingan tersebut, Sutan Syahrir telah
dianggap memberikan dukungan pada Belanda. Sehingga membuat anggota dari
Partai Sosialis dan KNIP mengambil langkah penarikan dukungan pada 26 Juni
1947.
4. Perjanjian Renville
Pada tahun 1947, perjanjian Renville merupakan perundingan antara
Indonesia dan Belanda yang membahas tentang sistem pemerintahan. Adapun hasil
dari pertemuan tersebut adalah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
Namun, ditekankan bahwa Belanda tetap menguasai seluruh wilayah Indonesia
sebelum RIS terbentuk. Maka dari itu, RIS harus dibentuk sesegera mungkin.
Diketahui bahwa penyebab diadakannya perjanjian Renville adalah ketidakpatuhan
Belanda terhadap isi perjanjian Linggarjati.

Agresi Militer Belanda I yang dimulai sejak 21 Juli 1947 tak hanya
menimbulkan reaksi di tanah air namun juga dunia Internasional. Persatuan Bangsa
Bangsa (PBB) kemudian membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas
Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Indonesia memilih Australia yang diwakili
oleh Richard Kirby sementara Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van
Zeeland. Kemudian Australia dan Belgia bersepakat memilih Amerika Serikat
yang diwakili oleh Frank Porter Graham. Dalam perundingan tersebut, Indonesia
diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan pihak Belanda diwakili oleh
R. Abdulkadir Wijoyoatmojo. Pada 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948
Perjanjian Renville disepakati di atas kapal perang Amerika Serikat USS Renville
sebagai tempat netral. Kapal perang Amerika Serikat USS Renville saat itu
berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Isi Perjanjian Renville Berikut adalah isi Perjanjian Renville yang
ditandatangani pada 17 Januari 1948:

1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.

2. Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS.

3. Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk.

4. Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan
Sumatera.

5. Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi


yang disebut Garis Van Mook.

6. Tentara Indonesia ditarik mundur dari daerah-daerah kekuasaan Belanda (Jawa


Barat dan Jawa Timur).

7. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan kepalanya Raja Belanda.

8. Akan diadakan plebisit atau semacam referendum (pemungutan suara) untuk


menentukan nasib wilayah dalam RIS.

9. Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.

Dampak Perjanjian Renville

Akibat Perjanjian Renville luas wilayah Indonesia menjadi semakin sempit


dan sangat merugikan. Para tentara di Jawa Barat harus berpindah ke Jawa tengah
yang dikenal dengan peristiwa Long March Siliwangi. Bahkan ibu kota negara
juga harus berpindah dari Jakarta karena tidak lagi menjadi wilayah kekuasaan
Indonesia. Hal ini memunculkan rasa kecewa dan membuat munculnya perlawanan
di berbagai daerah. Bahkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mundur dari
jabatannya pada 23 Januari 1948 karena dianggap gagal mempertahankan wilayah
kedaulatan Indonesia. Puncaknya, Belanda kembali menghianati kesepakatan
Perjanjian Renville dengan memulai Agresi Militer Belanda II. Peristiwa ini
ditandai dengan pemboman lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta pada 18
Desember 1948.

5. Perjanjian Roem Royen


Tak sampat di dua perjanjian tersebut, masa orde lama juga sempat diadakan
perjanjian Roem Royen pada tahun 1949 yang berlangsung di Kota Jakarta.
Diketahui bahwa latar belakangnya adalah keinginan mempersatukan pihak
Indonesia dan Belanda. Perjanjian Roem Royen berisi tentang pemberhentian
kegiatan perang antara Belanda dan Indonesia. Selain itu, pihak Belanda harus
menyerahkan kedaulatan secara utuh kepada Indonesia.

Perjanjian Roem Royen menjadi salah satu hasil dari rangkaian perundingan
yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda setelah proklamasi kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945. Perundingan ini dilaksanakan sebagai buntut dari serangan
Agresi Militer Belanda II terhadap Indonesia di yogyakarta.

Dilaksanakan pada 14 April 1949 dan disepakati pada 7 Mei 1949, isi
perjanjian Roem Royen adalah tentang penghentian kegiatan perang Indonesia dan
Belanda serta penyerahan kedaulatan secara utuh dari pemerintah Belanda kepada
Indonesia. Selain itu, isi perjanjian Roem Royen ini juga menyebutkan jika
Belanda harus membebaskan tahanan perang dan politik, mendirikan persekutuan
bersama, dan turut hadir dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
6. Pembrontakan PKI
Pada 1948, Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat memberontak. Peristiwa
ini berlangsung di Madiun. Diketahui bahwa pihaknya memiliki keinginan agar
pemerintahan Republik Indonesia mengganti landasan negara. Kala itu, PKI
dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Muso. Sebagai informasi, Amir Sjarifuddin
sempat memimpin kabinet dan turun jabatan tepat setelah ditandatanganinya
perjanjian Renville. Lantaran isi perjanjian tersebut hanya mengakui Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Sumatera yang diterima kedaulatannya oleh Belanda.
Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 adalah bahwa pemberontakan ini dipicu
oleh ketegangan politik antara PKI dan pemerintah Republik Indonesia yang
berujung pada tindakan militer untuk mengatasi pemberontakan dan
mempertahankan stabilitas negara.

7. Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS)


Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) dipimpin oleh Christian
Robert Steven Soumokil yang menolak pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Mereka ingin merdeka dan melepaskan diri dari wilayah
Indonesia, karena menganggap Maluku kuat secara ekonomi, politik, dan geografis
untuk berdiri sendiri.

Penyebab utama munculnya Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)


adalah pemerataan jatah pembangunan daerah yang dirasakan sangat kecil, dan
tidak sebanding dengan Jawa. Pemberontakan ini kemudian dapat diatasi melalui
ekspedisi militer yang dipimpin Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan
Teritorium Indonesia Timur. Sebelum RMS diproklamasikan, propaganda untuk
memisahkan wilayah Maluku dari Indonesia, telah dilakukan oleh Gubernur
Sembilan Serangkai. Hal utama yang melatarbelakangi pemberontakan ini ialah
keinginan untuk mempertahankan NIT (Negara Indonesia Timur) sebagai negara
federasi.

Adapun tujuan utama Christian Robert Steven Soumokil adalah memisahkan


Maluku Selatan (Ambon, Buru, dan Seram) dari NKRI. Ia melancarkan berbagai
propaganda untuk menambah pengikut, termasuk beberapa daerah di Maluku
Tengah. Menjelang proklamasi RMS, Soumokil berhasil mengumpulkan pasukan
dari masyarakat yang di wilayah Maluku Tengah. Ancaman juga berlaku bagi
penduduk yang mendukung NKRI. Mereka akan dimasukkan ke penjara karena
dukungannya tersebut. Pada 25 April 1950, proklamasi RMS didengungkan, dan
beberapa jajaran pemerintahan seperti presiden dan para menteri telah dipilih.
Susunan pemerintahan RMS meliputi:

J.H. Manuhutu sebagai Presiden

Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri

Menterinya: Christian Robert Steven Soumokil D.J. Gasperz J. Toule S.J.H.


Norimarna J.B. Pattiradjawane P.W. Lokollo H.F. Pieter A. Nanlohy Manusama Z.
Pesuwarissa.

8. Konferensi Meja Bundar (KMB)


Setelah dilakukan gencatan senjata, penetapan waktu dan syarat KMB
disepakati oleh Belanda, RIS, dan BFO, yaitu pada 23 Agustus 1949. Secara resmi,
konferensi ini dilaksanakan di gedung Ridderzaal (Bangsa Ksatria), Den Haag,
Belanda. Pembukaannya ditandai dengan lima pidato sambutan, yaitu:

 Pidato sambutan Perdana Menteri Belanda Dr. W. Dress.


 Pidato sambutan Perdana Menteri RI Drs. Mohammad Hatta.
 Pidato sambutan Ketua BFO Sultan Hamid II.
 Pidato sambutan Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda Mr. J.H van
Maarseveen.

Pidato sambutan ketua mingguan United Nations Commission for Indonesia


(UNCI) atau Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia Thomas K.
Critchley. Pada sidang pertama, ditetapkan Ketua KMB dan susunan para delegasi.
Kesepakatan yang dicapai dalam sidang pertama, yaitu:

Ketua KMB Dr. W Drees. Sekretaris Jenderal KMB Mr. M.J Prinsen.

Ketua Delegasi Belanda Mr. J.H. van Maarseveen, Wakil Ketua I Mr. D.U.
Stikker, Wakil Ketua II Dr. J.H van Roijen, Sekretaris Mr. E.E.J. van der Valk, dan
para anggota yang terdiri atas menteri-menteri, anggota Staten General, dan
pejabat lainnya.

Ketua Delegasi RIS Drs. Mohammad Hatta, Wakil Ketua Mr. A.K. Pringgodigdo,
Sekretaris I Prof. Mr. Dr. Soepomo, Sekretaris II W.J Latumenten, dan para
anggota yang terdiri atas menteri-menteri, para perwira, dan anggota parlemen.

Ketua Delegasi BFO Sultan Hamid II, Wakil Ketua Mr. I.A.A.G Agung, Sekretaris
Mr. A.J. Vleer, dan para anggota yang terdiri atas pemimpin-pemimpin anggota
BFO.

Ketua Delegasi UNCI Merle H. Cochran, Ketua Mingguan Thomas K. Critchley,


dan seorang anggota bernama Raymond Herremans.
Pembahasan dalam KMB diteruskan pada 16 September 1949 di Namen, Belgia
untuk membicarakan mengenai Peraturan Dasar Uni Indonesia-Belanda dan
kesepakatan tercapai pada 18 September 1949 oleh semua delegasi. Selanjutnya,
disepakati ketetapan jumlah utang RIS yang harus dibayarkan kepada Belanda di
gedung Hoge Vuurse, Baarn pada 2 Oktober 1949, yaitu sebesar ƒ 4.300.000.

Konsensus mengenai pembayaran utang tersebut disepakati oleh RIS dan BFO
karena memperoleh tekanan politis dari Merle H. Cochran. RIS dan BFO merasa
dirugikan oleh Belanda karena pembayaran utang tersebut dihitung sejak 1945–
1949, yang berarti RIS membayar biaya dalam Agresi Militer Belanda I dan II.

Selanjutnya, delegasi RI dan BFO menyetujui naskah Undang-Undang Dasar


Sementara RIS di Scheveningen pada 29 Oktober.

Persetujuan tersebut tidak mengalami kesulitan dikarenakan pokok naskah


Undang-Undang Dasar Sementara RIS telah dirumuskan dalam Konferensi Antar
Indonesia. Persetujuan naskah Undang-Undang Dasar Sementara RIS dibutuhkan
untuk menyusun sistem hukum dan ketatanegaraan RIS.

Selain itu, juga diperoleh kesepakatan kerja sama sosial-budaya, yaitu hubungan
sosial-budaya Uni-Indonesia yang diatur secara sukarela, universal, dan bersifat
timbal balik. Delegasi Belanda awalnya tidak bersedia menyerahkan West Guinea
(Irian Barat) kepada kedaulatan RIS.

Alasannya, masyarakat Irian Barat tidak termasuk masyarakat Indonesia


berdasarkan etnologis dan kebudayaannya. Selain itu, mereka juga tidak
memercayai kemampuan RIS untuk mengelola Irian Barat karena peradaban
masyarakatnya masih begitu sederhana.
Delegasi RI dan BFO lantas menyanggah alasan delegasi Belanda dengan
mengungkapkan jika Irian Barat termasuk bekas wilayah Hindia Belanda yang
harus diserahkan kepada kedaulatan RIS. Delegasi Belanda di sisi lain tidak
menyetujui penjelasan dari delegasi RI dan BFO, serta tetap mempertahankan Irian
Barat.

Sikap delegasi Belanda itu menghambat proses penyelesaian konflik antara


Indonesia dan Belanda. Herremans dan Critchley di sisi lain mendukung kebijakan
dari delegasi Belanda untuk mempertahankan Irian Barat.

Sikap Herremans diakibatkan Belgia adalah sekutu dari Belanda, sedangkan sikap
Critchley diakibatkan Australia memerintahkannya agar menyokong delegasi
Belanda dalam mempertahankan Irian Barat.

Selain itu, Australia tidak menyetujui penyerahan Irian Barat karena merasa
khawatir keamanan Australia terganggu jika Irian Barat menjadi wilayah RIS. Hal
tersebut menghambat proses KMB. Cochran lantas mengajukan naskah kompromi
kepada delegasi RI, BFO, dan Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat.

Naskah ini berisi jika status Irian Barat tetap berada di bawah kekuasaan Belanda
dalam waktu setahun setelah penyerahan kedaulatan, sedangkan status akhirnya
akan ditentukan melalui cara perundingan. Ketiga delegasi akhirnya menyetujui
naskah kompromi itu, sehingga masalah Irian Barat bisa diselesaikan untuk
sementara waktu.

Pada 1 November 1949, semua kesepakatan dalam KMB dirumuskan menjadi


resolusi pelingkup. Ada tiga persetujuan dalam resolusi pelingkup, yaitu:

 Piagam penyerahan kedaulatan.


 Peraturan dasar Uni Indonesia-Belanda.
 Lampiran status Uni Indonesia-Belanda.
Resolusi pelingkup ini ditetapkan setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada
RIS. Setelah resolusi pelingkup disetujui oleh semua delagasi, Dr. W Drees secara
resmi menutup KMB pada 2 November 1949. Dengan demikian, persiapan untuk
pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda akan segera dilaksanakan.

KMB menghasilkan kedaulatan Indonesia yang diakui oleh Belanda. Sejumlah


tokoh yang terlibat di dalamnya yaitu Prof. Dr. Soepomo, Ali Sastroamidjojo,
Suyono Hadinoto, Kolonel TB Simatupang, Dr. Johannes Leimena, Abdul Karim
Pringgodigdo, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.

BAB III
Peristiwa Disintegrasi Bangsa Indonesia Periode Baru
Orde Baru adalah periode pemerintahan di Indonesia yang berlangsung dari
tahun 1966 hingga 1998. Periode ini dimulai setelah terjadinya Gerakan 30
September pada tahun 1965 yang menyebabkan jatuhnya Presiden Soekarno dan
berakhir dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada tahun 1998.

Berikut adalah beberapa peristiwa penting yang terjadi selama periode Orde Baru:

1. Gerakan 30 September (G30S)


Pada tanggal 30 September 1965, terjadi upaya kudeta yang dilakukan oleh
sekelompok perwira militer yang pro-komunis terhadap pemerintahan Soekarno.
Kudeta ini gagal dan memicu kekerasan massal terhadap anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang dituduh sebagai dalangnya.

2. Operasi Penumpasan Komunis


Setelah G30S, pemerintah Soeharto melancarkan operasi penumpasan komunis
yang mengakibatkan pembunuhan massal terhadap anggota PKI dan
simpatisannya. Jumlah korban dari operasi ini masih diperdebatkan, tetapi
perkiraan berkisar antara 500.000 hingga lebih dari satu juta orang.

3. Supersemar
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya
kepada Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Hal ini
menjadikan Soeharto sebagai kepala pemerintahan de facto dan memulai era Orde
Baru.

4. Pembentukan Kopkamtib
Pada tahun 1969, Soeharto membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Kopkamtib) yang bertugas untuk mengawasi keamanan dan
menumpas segala bentuk ancaman terhadap pemerintah. Kopkamtib memiliki
kekuasaan yang luas dan sering digunakan untuk menekan oposisi politik.

5. Pembangunan Ekonomi
Selama Orde Baru, pemerintah fokus pada pembangunan ekonomi dengan
menerapkan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada ekspor dan investasi asing.
Hal ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetapi juga
meningkatkan kesenjangan sosial dan korupsi.

6. Penindasan terhadap Oposisi Politik


Selama Orde Baru, pemerintah Soeharto melakukan penindasan terhadap oposisi
politik dan gerakan mahasiswa yang kritis terhadap rezim. Banyak aktivis politik
dan mahasiswa yang ditangkap, dipenjara, atau menghilang secara misterius.

7. Krisis Moneter 1997-1998


Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter yang dipicu oleh krisis
finansial Asia. Nilai rupiah jatuh drastis, inflasi meningkat, dan terjadi kerusuhan
sosial di berbagai daerah. Krisis ini menjadi salah satu faktor utama yang memicu
keruntuhan Orde Baru.

8. Reformasi
Pada tahun 1998, terjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia yang
menuntut reformasi politik dan ekonomi. Demonstrasi ini dipicu oleh krisis
moneter, ketidakpuasan terhadap rezim Soeharto, dan tuntutan untuk pemilihan
umum yang bebas dan adil. Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya sebagai Presiden, mengakhiri Orde Baru.

9. Kronologi Pengunduran Diri Presiden Soeharto


Kamis, 21 Mei 1998 patut dicatat dalam sejarah Bangsa Indonesia karena pada hari
itu Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto, yang telah memimpin selama 32
tahun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Soeharto yang baru dua
bulan dipilih kembali untuk ketujuh kalinya di tengah badai krisis moneter
mendapat tekanan ekonomi maupun politik serta gelombang unjuk rasa yang
menuntut reformasi dari mahasiswa dan berbagai kalangan. Berbagai tekanan
tersebut pada akhirnya memaksa penguasa Orde Baru tersebut meletakkan jabatan.
Dan sesuai konstitusi Wakil Presiden BJ Habibie melanjutkan estafet
kepemimpinannya.

BAB IV
Peristiwa Disintegrasi Bangsa Indonesia Periode Reformasi|

1. Kasus Maluku dan Maluku Utara


Konflik sektarian Kepulauan Maluku adalah konflik etnis-politik yang
melibatkan agama di kepulauan Maluku, Indonesia, khususnya pulau Ambon dan
Halmahera. Konflik ini bermula pada era Reformasi awal 1999 hingga
penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002.

Penyebab utama konflik ini adalah ketidakstabilan politik dan ekonomi secara
umum di Indonesia setelah Soeharto tumbang dan rupiah mengalami devaluasi
selama dan seusai krisis ekonomi di Asia Tenggara. Rencana pemekaran provinsi
Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara semakin memperuncing permasalahan
politik daerah yang sudah ada. Karena permasalahan politik tersebut menyangkut
agama, perseteruan terjadi antara umat Kristen dan Islam pada Januari 1999.
Perseteruan ini dengan cepat berubah menjadi pertempuran dan tindak kekerasan
terhadap warga sipil oleh kedua belah pihak. Dua pihak utama yang terlibat konflik
ini adalah kelompok milisi agama dari kedua pihak, termasuk kelompok Islamis
bernama Laskar Jihad, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

2. Kasus Konflik Sampit


Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah
terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik
besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan
600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di
bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda
dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk
21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan
persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-
hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap
banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan
perkebunan.

Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi
mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak.
Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan
kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di
permukiman Madura. K.M.A. Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim
bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah
beberapa anggota mereka diserang Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga
Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi
di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.

Versi lain mengklaim bahwa konflik ini berawal dari percekcokan antara murid
dari berbagai ras di sekolah yang sama.

3. Kasus Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta


Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang
terjadi di Indonesia pada 13 Mei–15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta
namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis
finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa
Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Hal
inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J.
Habibie.

Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amukan massa
—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan
terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Dalam kerusuhan tersebut,
banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak
hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo
Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU
berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini
menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan
secara sistematis, tak hanya sporadis.

Amukan massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan
dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-
reformasi" karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa. Beberapa dari
mereka tidak ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik pribumi.
Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht
di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan
terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang
sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman
Nazi.

Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil


tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa
kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan
bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan
tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.

Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan
kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara
keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah
Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini
merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun
masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang
disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di
kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.

BAB V

PENUTUP
 Kesimpulan

Sebagai bangsa yang identik dengan keragaman, Indonesia harus selalu


waspada terhadap ancaman-ancaman disintegrasi bangsa. Pasalnya, keragaman
tersebut justru dapat menimbulkan konflik jika pemerintah dan rakyat tidak dapat
bekerja sama.

Artinya, baik pemerintah maupun rakyat harus sama-sama berusaha menjaga


persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia
“Bhinneka Tunggal Ika”.

Semboyan ini adalah pengingat bahwa perbedaan agama, suku, ras, dan budaya
bukan suatu masalah jika kita tetap memiliki satu tujuan yang sama, yaitu
mempertahankan persatuan dan kesatuan Indonesia.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, harus selalu mendahulukan kepentingan


negara daripada kepentingan pribadi maupun kelompok. Tujuannya agar
pemerintah dapat bertindak secara adil dan menghasilkan kebijakan yang pro
rakyat.

 Saran

Upaya penanggulangan disintegrasi bangsa dalam menjaga persatuan Indonesia


diantaranya dapat dilakukan dengan cara membangun dan menghidupkan terus
komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu, menciptakan kondisi dan
membiasakan diri untuk selalu membangun consensus dan membangun
kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma (nilai-nilai Pancasila)
yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.wikipedia.org/

https://www.gramedia.com/

https://www.detik.com/

https://www.kompas.com/

Anda mungkin juga menyukai