Anda di halaman 1dari 15

PRINSIP, RUANG LINGKUP DAN URGENSI ETIKA

HUKUM BISNIS SYARIAH

Alvian Chasanal Mubarroq


Universitas Muhammadiyah Surabaya
email: iankapitalismus@gmail.com

A. Latar Belakang
Hukum Bisnis Syariah terdiri dari tiga kata yaitu; hukum, bisnis dan syariah.
Ketiga kata ini jika disusun menjadi satu mempunyai makna hukum-hukum yang
berkaitan dengan bisnis secara syariah.
Pengertian Hukum menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut, menurut
Utrecht, Hukum adalah peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib
kehidupan masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat, menurut Immanuel Kant,
Hukum adalah peraturan mengenai kemerdekaan berkehendak, menurut R. Soeroso,
pengertian Hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang yang
berguna untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri
memerintah, melarang dan memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang
melanggarnya, serta menurut Professor Ahmad Ali, Hukum adalah seperangkat asas-
asas hukum, norma-norma hukum, aturan-aturan hukum yang mengatur dan
menetukan perbuatan yang mana yang dilarang dan yang mana yang benar, yang
diakui oleh negara tetapi belum tentu dibentuk oleh negara, yang berlaku tetapi belum
tentu di dalam realitasnya berlaku karena adanya faktor internal (psikologis) dan
faktor eksternal (sosial, politik, ekonomi, budaya) yang jika dilanggar akan
mendapatkan ganjaran sanksi tertentu.1
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan oleh para ahli hukum, maka dapat
disimpulkan bahwa hukum adalah “Aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah yang tercatat dalam lembaran negara dan memiliki sanksi bagi yang
melanggarnya”. Karena memiliki sanksi maka ia bersifat memaksa seluruh

1
Yuhelson, Pengantar Ilmu hukum, (Gorontalo: Idea Publishing, 2017), hal. 5.
1
masyarakat yang berada di bawah aturan hukum tersebut.
Bisnis adalah segala usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
memperoleh penghasilan melalui aktifitas produksi, distribusi, konsumsi dan
perdagangan baik berupa barang maupun jasa.
Menurut Dr. Mardani mengemukakan pendapat dari Ahmad El-Ghandur,
Syariah adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah SWT, melalui Rasul-
Nya yang mulia, untuk umat manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam
terang dan mendapatkan petunjuk ke arah yang lurus. Dalam definisi lain syariat
Islam yaitu hukum-hukum (peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah SWT untuk
umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, baik berupa Al-Quran maupun Sunnah
Nabi, yang berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau penegasan.2
Merujuk pada istilah Hukum Bisnis Syariah yang merupakan rangkaian dari
tiga kata, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Bisnis Syariah adalah “Seperangkat
aturan hukum yang berkaitan dengan aktifitas bisnis yang didasarkan kepada syariah
Islam”.
Hukum bisnis Islam dalam khazanah Islam merupakan bagian dari fiqh
muamalah yaitu hukum-hukum dalam Islam yang mengatur mengenai interaksi antara
satu manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan alama semesta. Saat ini
fiqh muamalah mengalami penyempitan makna yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan aktifitas ekonomi dan bisnis masyarakat sehari-hari.

B. Prinsip Hukum Bisnis Syariah


Sistem hukum bisnis syariah memiliki prinsip-prinsip yang tidak dimiliki oleh
sistem hukum bisnis lainnya. Salah satu dari prinsip tersebut adalah sifatnya yang
memberikan kemashalahatan bagi seluruh umat manusia, hal ini karena hukum bisnis
Islam didasari oleh wahyu dari Allah Ta’ala sebagai Pencipta manusa, sehingga ia
adalah sistem hukum yang paripurna. Hukum Bisnis Syariah memiliki ruang lingkup
yang komprehensif mencakup seluruh aktifitas bisnis, baik yang terjadi di masa lalu,
masa kini dan masa yang akan datang. Sehingga mempelajari Hukum Bisnis Islam

2
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Surabaya: Prenada Media, 2017), hlm 2
2
memiliki urgensi yang sangat besar yaitu memberikan pencerahan bahwa Hukum
Bisnis Islam adalah hukum yang paling layak bagi manusia. Prinsip Hukum Bisnis
Syariah dibagi menjadi dua yaitu prinsip secara umum dan prinsip secara khusus,
yang dijelasakan sebagai berikut:3
1. Prinsip Umum Bisnis Syariah
Menurut Faturrahman Djamil yang ditulis oleh Dr. Mardani, dalam
bisnis syariah, terdapat beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan, yaitu:
Pertama, kaidah fikih hukum Islam yang menyatakan, “Pada dasarnya
segala bentuk muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”
Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala dalam Surat Yunus ayat 59,
“Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
sebagiannya halal.' Katakanlah, 'Apakah Allah telah memberikan
izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas
nama Allah”
Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah Ta’ala memberikan kebebasan
dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, termasuk di dalamnya dalam urusan
bisnis, maka diperbolehkan untuk melakukan semua jenis bisnis kecuali ada
dalil yang mengharamkannya. Hal ini juga sebagaimana firman Allah Ta’ala
dalam surat Al-Baqarah ayat 275,
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Ini mengandung arti, bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas
bagi perkembangan bentuk dan jenis muamalah (bisnis) baru sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hidup masyarakat, termasuk di dalamnya kegiatan
transaksi ekonomi di lembaga keuangan syariah.
Kedua, muamalah dilakukan dengan atas dasar pertimbangan
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat atau sering disebut
mashlahah (kemaslahatan).

3
Ibid, hal. 31
3
Mashlahah berasal dari kata shalaha yang secara arti kata berarti baik
lawan dari kata buruk atau rusak. Mashlahah adalah kata masdar shalah yang
artinya yaitu manfaat atau terlepas daripada kerusakan. Mashlahah dalam
bahasa arab adalah perbuatan- perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia. Dalam arti umumnya setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan, atau dalam
arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kerusakan.
Konsekuensi dari prinsip ini adalah segala bentuk muamalah yang dapat
merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak dapat dibenarkan
seperti perjudian, penjualan narkotik, prostitusi dan sebagainya.
Ketiga, muamalah (bisnis) dilakukan dengan memelihara nilai
keseimbangan dalam pembanguan. Konsep keseimbangan dalam konsep
syariah/muamalah Silam meliputi berbagai segi, antara lain keseimbangan
antara pembangunan materiel dan spiritaul; pengembangan sektor keuangan
dan sektor riil; dan pemanfaatan serta pelestarian sumber daya. Pembangunan
ekonomi syariah tidak hanya ditujukan untuk pengembangan sektor korporasi,
namun juga pengembangan sektor usaha kecil dan mikro yang terkadap luput
dari upaya-upaya pengembangan sektor ekonomi secara keseluruhan Hukum
Bisnis Syariah.
Keempat, muamalah (bisnis) dilaksanakan dengan memelihara nilai
keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk muamalah
yang mengadung unsur penindasan tidak dibenarkan. Keadilan adalah
menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya
pada yang berhaj, serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya.
Implementasi keadilam dalam aktivitas ekonomi berupa aturan prinsip
muamalah melarang adanya unsur riba. Zalim, maysir, gharar, objek trenasaksi
haram.
Secara umum prinsip Hukum Bisnis Syariah adalah hukumnya mubah,
menjunjung tinggi kemashlahatan, memelihara nilai keseimbangan dalam

4
pembanguan serta bisnis yang berkeadilan dan menjadi rahmat bagi seluruh
alam.
2. Prinsip Khusus Bisnis Syariah
Secara khusus prinsip muamalah (bisnis) ini dikategorikan pada dua hal,
yaitu hal-hal yang diperintahkan untuk dilakukan dalam kegiatan muamalah
(bisnis) dan hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dalam kegiatan muamalah
(bisnis).
a. Hal-hal yang Diperintahkan untuk Dilakukan
Prinsip-prinsip bisnis syariah yang diperintahkan, yaitu:
1. Jujur dalam takaran dan menimbang
2. Menjual barang yang halal
3. Menjual barang yang baik mutunya
4. Tidak menyembunyikan cacat barang
5. Tidak melakukan sumpah palsu
6. Longgar dan murah hati
7. Tidak menyaingi penjual lain
8. Tidak melakukan riba
9. Mengeluarkan zakat bila telah sampai nishab dan haulnya
b. Hal-hal yang Dilarang untuk Dilakukan
Hal-hal yang dilarang dalam bisnis syariah yaitu sebagai berikut:
1. Larangan Riba
Riba berati az-ziyadah (tambahan), an-nama’ (tumbuh). Istilah ribah
digunakan oleh masyarakat jahiliah, dimana riba yang diaplikasikan
pada masa itu adalah tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan
pelunasan utang.
2. Larangan berbuat tadlis (penipuan/menyembunyikan cacat barang)
Tadlis adalah sesuatu yang mengandung unsur penipuan. Tadlis
(penipuan) dalam bermuamalah dan berinvestasi adalah
menyampaikan sesuatu dalam transaksi bisnis dengan informasi yang
diberikan tidak sesuai dengan fakta yang ada pada sesuatu tersebut,

5
yang termasuk tadlis antara lain adalah tahfif (curang dalam
timbangan), dan jual beli fiktif.
3. Larangan transaksi yang megandung gharar (pertaruhan/spekulasi)
Transaksi gharar merupakan akad yang mengandung unsur juhalah
(ketidakjelasan) terhadap barang dagangan yang dijual sehingga
mengakibatkan ketidakjelasan. Termasuk gharar yaitu tidak jelas
takarannya dan spesifikasi barang yang dijual, tidak jelas bentuk
barangnya, informasi yang diterima tidak jelas.
4. Larangan ikrah (pemaksaan)
Orang-orang yang melakukan pemaksaan dalam menjalankan akad jual
beli sungguh bertentangan dengan perintah Nabi SAW, yaitu: Nabi
SAW melarang jual beli secara paksa, jual beli dengan tipuan dan
menjual buah yang belum ada. Jual beli dengan paksaan dapat terjadi
dalam dua bentuk yaitu:
Pertama: terdapat dalam akad, yaitu adanya paksaan untuk melakukan
akad. Jual beli ini adalah rusak dan dianggap tidak sah
Kedua: adalah adanya keterpaksaan untuk menjual sesuatu karena
sedang dililit utang yang bertumpuk atau beban yang berat sehingga
menjual apa saja yang dimiliki mespikup dengan harga yang rendah
karena kondisi darurat. Karena itu, untuk menjaga martabat agama dan
kebaikannya hendaklah seseorang tidak melakukan akad jual beli
dengan cara seperti itu dan menyia-nyiakan hartanya dengan cara itu.
Tetapi hendaklah ia memberi pertolongan, memberi pinjaman (utang),
dan memberi pengangguah pembayaran utang orang lain hingga dia
benar-benar mampu untuk membayarnya.
5. Larangan berbuat ikhtikar (penimbunan)
Penimbunan merupakan perilaku ekonomi yang merugikan orang lain.
Terlebih dengan sengaja menympan bahan kebutuhan pokok yang
berakibat kelangkaan komoditas di pasar sehingga harga barang mejadi

6
lebih mahal (ihtikar). Menimbun jelas merugikan banyak orang
sehingga disalahkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabdanya:
“Hendaklah seseorang tidak menimbun kecuali ia orang yang
bersalah.” (HR. Bukhari)
6. Larangan berbuat talaqi al rukban
Talaqi al-rukban adalah mencegat para pedangan sebelum mereka
sampai ke pasar dan membeli barang mereka dengan memanipulasi
harga pasaran. Rasulullah SAW melarang prakti semacam ini karena
dapat merugikan terjadinya kenaikan harga. Rasulullah SAW
memerintahkan suplai barang dan para konsumen bisa mengambil
manfaat dari adanya harga yang sesuai dan alami. Rasulullah SAW
bersabda: “Janganlah kamu mencegat para pedagang di tengah jalan.
Pemilik barang boleh memilih setelah sampai pasar, apabila ia
menjual kepad mereka yang mencegat atau kepada orang yang ada di
pasar”. (HR. Bukhari-Muslim)
7. Larangan bebuat risywah (menyuap/menyogok)
Risywah berarti uang sogokan atau suap. Kata suap dalam bahasa Arab
disebut rasywah atau rasya, secara bahasa bermaksa memasang tali,
ngemong, atau mengambil hati. Defini sederhana yaitu sesuatu yang
diberikan kepad seseorang dengan tujuan meraih sesuatu yang
diinginkannya.
8. Larangan berbuat ghulul (gratifikasi)
Hal ini berdasarkan Hadist Nabi Muhammad SAW riwayat Abu Hamid
as-Saidi dari Irbadh: “Amma ba’du, aku telah meperjakan beberapa
orang diantara kalian untuk melaksanakan tugas yang telah
dipercayakan Allah kepadaku. Kemudian, salah seorang dari mereka
lalu berkata: ‘Ini kuserahkan kepada Anda, sedangkan ini hadiah
yang diberikan kepadaku. ‘Jika apa yang dikatakan itu benar, apakah
tidak lebih baik kalau ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya

7
sampai hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah, siapa pun diantara
kalian yang mengabil sesuatu dari zakat tanpa hak, pda hari kiamat
kelak ia akan menghadap Allah dengan membawa apa yang telah
diambilnya itu.” (HR. Bukhari).
9. Larangan dari komisi yang diharamkan
Rasulullah SAW mengutusku ke Yaman (sebagai penguasa daerah).
Setelah aku berangkat, beliau SAW mengutus orang lain menyusulku.
Aku pulang kembali. Rasulullah SAW bertanya kepdaku, “Tahukan
engkau, mengapa aku mengutsu orang menyusulmu? Janganlah
engkau mengambil sesuatu untuk kepentingamu sendiri tanpa seizinku.
(Jika hal itu kau lakukan) itu merupakan kecurangan, dan
barangsiapa berbuat curang pda hari kiamat kelak ia dibangkitkan
dalam keadaan memikil beban kecurangannya. Untuk itulah, engkau
aku panggil dan sekarang berangkatkan untuk melaksanakan tugas
pekerjaanmu.” (HR. Tirmidzi dari Muadz bin Jabal)
10. Larangan melakukan korupsi
Ada beberpa dalil yang melarang perbuatan korupsi, diantaranya
Hadist “Hai kaum muslimin, barangsiapa diantara kalian melakukan
pekerjaan untuk kami, kemudian menyembunyikan sesuatu terhadap
kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang dan
kecurangan itu akan dibawanya pada hari kiamat. “seseorang dari
kaum Anshar, hitam warna kulitnya, kulihat ia berkata: “Ya
Rasulallah, terimalah pekerjaan Anda dariku (yakni ia minta supaya
dibebaskan dari tugas pekerjaan yang dipercayakan kepadanya).
“Rasulullah SAW bertanya: “Mengapa demikian? “Orang Anshar itu
menjawab, “Aku telah mendengar Anda berkata begini dan begitu....”
Rasulullah SAW menyahut, “Dan kukatakan juga, ‘Barangsiapa yang
kami beri tugas mengerjakan sesuatu pekerjaan, hendaklah ia
menyampaikan hasilnya, sedikit ataupun banyak. Apa yang diberikan

8
kepadanya dari hasil itu hendaklah diterima dan apa yang diberikan
janganlah diambil.” (HR. Abu Daud dari Addi bin Umairah al-Kindi).
11. Larangan wanprestasi/ingkar janji/mangkir/berkhianat
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tiga orang yang aku musuhi pada
hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberi karena aku, lalu
berkhiatan; orang yang membeli brang piliha, lalu makan kelebihan
hartanya; serta orang yang melakukan kontrak kerja kemudian
pekerja tersebut menunaikkan transaksinya sedangkan upahnya tidak
diberikan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
12. Larangan bisnis yang berbentuk perjudian
Hal ini dilarang berdasarkan AL-Quran surat Al-Maaidah ayat 90,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) kahamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundai nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
13. Larangan menjual barang haram
Hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah SAW: “Dari Jabir bin Abdullah
r.a.., bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun fathu
Mekkah. Sesungguhnya Allah melarang (mengharamkan)
perdagangan khamar, bangkai, babi, dan patung.’
14. Larangan mengambil untuk secara berlebihan (melipatgandakan harga
dalam jual beli)
Menurut Imam Ghazali, dilarang melipatgandakan harga dalam jual
beli dalam kebiasaan yang berlaku. Pada dasarnya pelipatan harga
dibolehkan karena jual beli adalah aktivitas untuk mendapatkan
keuntungan. Hal ini tidak terlepas dari unsur menjual barang dengan
menaikkan harganya. Jika pembeli menambah harga suatu barang
karena senangnya terhadap barang itu atau karena ia sangat
membutuhkannya, maka penjual harus mencegahnya, dan itu termasuk
ihsan (kebaikan). Kalau buka menyelubingi kebenaran, maka
9
mengambil lebih dari harga yang ditentukan bukan perbuatan zalim.
Sebagian ulama berpendapat, jika kelipatannya lebih dari 1/3, maka
hukumnya wajib dipilih.
15. Larangan merugikan orang lain
Dalam prinsip jual beli dalam Islam, mekanisme sangat dibatasi, untuk
menimbulkan kerugian pada orang lain. Seberapa pun kecilnya, hukum
Islam berusaha meniadakan kerugian antar pihak-pihak yang ikut
terlibat dalam praktik bisnis. Islam lebih cenderung kepada
“menyangga kerugian dan keuntungan secara bersama-sama” (Lost
and profit sharing) daripada “menimpa kerugian atau mengalirkan
keuntungan pada satu pihak saja.
16. Larangan berbuat najasyi
Najasyi yaitu menawar harga tanpa memiliki maksud untuk mengambil
kiriman komoditas. Hukumnya adlah haram. Nabi Muhammad SAW
bersabda: “Seorang yang melakukan najasyi (mengabdi sebagai agen
yang menawarkan harga dalam pelelangan) dikutuk sebagai pengambil
riba.” Dalam Hadist lain Nabi Muhammad SAW bersabda: “Jika ada
orang turut campur di pasar dan menciptakan kenaikan harga, maka
Allah berhak melemparkannya ke neraka.” (HR. Hakim).
Praktik ini bukan hanya tidak etis, melainkan juga berbahaya bagi
masyarakat, karena dapat menciptakan kekacauan di dalam pasar.
17. Larangan ghisysy
Ghisysy yaitu jual beli dengan cara menyembunyikan cacat barang atau
dengan cara menampilkan barang yang bagus dan menyelipkan
diselanya barang yang jelek. Jual beli ini diharamkan berdasarkan
Hadist Rasulullah SAW: “Sesungguhnya orang yang menipu tidak
termasuk golonganku”
18. Larangan menjual barang yang digunakan untuk maksiat
Menjual barang yang mubah kepada pembeli yang diketahui akan
menggunakannya untuk berbuat maksiat diharamkan, seperti: menjual
10
anggru kepada pabrik minuman keras dan menjual senjat kepada
perampok.
19. Larangan khalabah (pemasaran yang menyesatkan)
Khalabah berarti menyesatkan, seperti merayu-rau klien yang polos
dan kurang hati-hati dengan melebih-lebihkan mutu komoditas. Hal ini
dilarang karena tidak etis; seseorang menampilkan produknya dengan
cara tertentu, sementara kenyataannya tidak begitu. Oleh sebab itu,
pemasaran manipulatif dan berlebihan, serta tidak sesuai fakta
dagangannya adalah dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammmad
SAW: “Mengulangi janji terlalu banyak sambil berjual atau berdagang,
karena diharap itu mungkin dapat mendongkrak bisnis (di awalny),
namun (akhirnya) akan membawa pada kerusakan.” (HR Muslim).
Iklan yang menyesatkan juga tercakup dalam larangan ini.

C. Ruang Lingkup Hukum Bisnis Syariah


Sesuai Bab I Ketentuan Umum Pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, ruang lingkup ekonomi syariah meliputi aspek ekonomi yaitu ba'i, akad-
akad jual beli, syirkah, mudharabah, murabahah, muzara 'ah dan musaqah, istisna,
ijarah, kafalah, hawalah, rahn, wadi'ah, gashb, wakalah, shulhu, pelepasan hak,
ta'min, obligasi, syirkah mudharabah, pasar modal, reksadana syariah, sertifikasi bank
Indonesia syariah, pembiayaan multi jasa, pembiayaan rekening koran syariah, dana
pensiun syariah, zakat dan hibah, dan akuntansi syariah, yang akan dijelaskan sebagai
berikut:4
1. Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum
tertentu;
2. Bai' adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda
dengan uang;

4
Beni Ahmad Saebani, Hukum Ekonomi dan Akad Syariah di Indonesia, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2018), hal. 19
11
3. Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal
permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu
dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakari oleh
pihak-pihak yang berserikat;
4. Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal
dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah;
5. Muzara’ah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap
untuk memanfaatkan lahan;
6. Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan
oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi
jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga
jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi
shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur;
7. Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan
tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara
tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat;
8. Ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan
pembayaran;
9. Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan
dengan pihak penjual;
10. Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin
kepada pihak ketiga/ pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua/peminjam;
11. Hawalah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal
’alaih.
12. Rahn atau gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh
pemberi pinjaman sebagai jaminan;
13. Ghasb adalah mengambil hak milik orang lain tanpa izin dan tanpa
12
berniat untuk memilikinya;
14. Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut;
15. Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan
sesuatu;
16. Obligasi Syari’ah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syari'ah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat
berharga baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing;
17. Suk maliyah atau Reksa Dana syari'ah adalah lembaga jasa keuagan non
bank yang kegiatannya berorientasi pada investasi di sektor portofolio
atau nilai kolektif dari surat berharga.
18. Efek Beragun Aset Syari'ah adalah Efek yang diterbitkan oleh akad
investasi kolektif Efek Beragun Aset Syari'ah yang portofolionya terdiri
atas aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga
komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset
fisik oleh lembaga keuangan, Efek bersifat investasi yang dijamin oleh
pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan
setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah;
19. Surat Berharga Komersial Syari'ah adalah surat pengakuan atas suatu
pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan
prinsipprinsip syari'ah;
20. Ta’min atau asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi ta’min untuk menerima penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak
pasti.

D. Urgensi Etika dalam Hukum Bisnis Syariah


13
Menurut Sidi Gazalba yang ditulis oleh Kadir, Etika adalah teori tentang
perilaku perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat
ditentukan oleh akal. Etika lebih bersifat teori, moral bersifat praktik. Yang pertama
membicarakan bagaimana seharusnya, sedangkan yang kedua bagaimana adanya.
Etika menyelidiki, memikirkan dan mempertimbangkan tentang yang baik dan buruk,
moral menyatakan ukuran yang baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan sosial
tertentu. Etika memandang laku-perbuatan manusia secara universal, moral secara
tempatan. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. Moral
sesungguhnya dibentuk oleh etika. Ia merupakan muara atau buah dari etika.
Arti dari perkataan etika dan moral tersebut serupa dengan akhlak dalam
peristilahan Islam menurut Imam Abdul Muimin Sa’aduddin. Perkataan akhlak dalam
bahas Arab merupakan jamak dari Khuluk yang mengandung beberapa arti,
diantaranya:
a. Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa
dikehendaki dan tanpa diupayakan;
b. Adat,yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia malalui latihan, yakni
berdasarkan keinginannya; dan
c. Watak, cakupannnya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang
diupayakan hingga menjadi adat. Kata akhlak juga bisa berati kesopanan
dan agama.5
Pengidentikan etika, moral dengan akhlak seperti di atas dalam artian serupa
tetapi tak sama. Karena dimensi akhlak dalam Islam sangat komprehensif, tidak hanya
berkaitan dengan hubungan manusia dengan nuraninya sendiri, manusia dengan
sesamanya, dan manusia dengan makhluk-makhluk lain di alam ini, tetapi juga
hubungan manusia dengan sang Khalik.
Antara etika dan hukum bisins syariah terdapat hubungan yang sangat erat.
Kedua hal ini menyangkut manusia muslim, baik sebagai individu maupun kelompok
-dalam lapangan ekonomi atau bisnis- di satu sisi diberi kebebasan untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Namun di sisi lain, ia terikat dengan iman dan etika

5
A. Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Alquran, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 48
14
sehingga tidak mempunyai kebebasan mutlak dalam menginvestasikan modal atau
membelanjakan hartanya, hal ini menurut Yusuf AL-Qardhawi.6
Sesungguhnya, kunci urgensi etika dalam hukum bisnis syariah terletak pada
kepribadian para pelakunya. Dan tentu saja setiap pebisnis muslim memiliki
kewajiban moral untuk mensosialisasikannya sesuai dengan akhlaq al-karimah yang
dianjurkan Al-Quran dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Daftar Pustaka:
1. A. Kadir, 2010, Hukum Bisnis Syariah dalam Alquran, Jakarta: Amzah;
2. Beni Ahmad Saebani, 2018, Hukum Ekonomi dan Akad Syariah di Indonesia,
Bandung: CV Pustaka Setia;
3. Mardani, 2017, Hukum Bisnis Syariah, Surabaya: Prenada Media;
4. Yuhelson, 2017, Pengantar Ilmu hukum, Gorontalo: Idea Publishing;

6
Ibid, hal. 52
15

Anda mungkin juga menyukai