Anda di halaman 1dari 3

Wangsulan:

a. Struktur Fisik
1. Tipografi
Geguritan ‘Wengi Sepi’ disajikan dengan bentuk tipografi rata tengah (center), dalam
bentuk perbait. Baris pertama sampai akhir disusun secara teratur dengan jarak satu
spasi. Di sini pengarang menyampaikan pesan mendalam pada baris-baris tertentu. Baris
itu terletak pada baris ke 2, 5, 8, 11, 15, 16. Terlihat sistematis sekali pengarang dalam
menyusun tiap baris.
2. Diksi
Diksi adalah pemilihan kata yang digunakan pengarang dalam geguritan. Dalam geguritan
‘Wengi Sepi’ menggunakan bahasa Jawa Kuno yang setiap kata memiliki banyak makna
kiasan, sehingga pembaca harus benar-benar memahami arti dan maknanya.
Misal:
- Mahanani getering ati: hati yang kuatir, gelisah atau awas-was
- Ati iki ngalangut tapa tepi: hati dan pikiran bisa kemana-mana mengingat semua
kejadian hidup yang telah kita alami
- Nalika sholat tahajud ing wengi sepi: merenungkan hidup, mengingat segala kesalahan
ibadah yang baik, doa yang baik paling baik dilakukan pada tengah malam atau
sepertiga malam.
- Tumuju dalam kang mutmainah: sejatinya manusia harus punya nafsu/keinginan
ibadah yang kuat/tekun pada Allah
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat mengakibatkan
pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami
penyair. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. imaji suara (auditif):
– kodhok ngorek ing tengah wengi
2. imaji penglihatan (visual)
– Wengi sepi ing perenging giri
3. imaji raba atau sentuh (imaji taktil)
– mahanani getering ati
– ijen tanpa kanthi
– sayektine aku bora sawiji
– ana Gusti kang tansah ajampangi
– tan kalis ing luput lan salah
3. Kata konkret
Kata konkret yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang.
- Mahanani getering ati: hati yang kuatir, gelisah atau awas-was
- Ati iki ngalangut tapa tepi: hati dan pikiran bisa kemana-mana mengingat semua
kejadian hidup yang telah kita alami
- Nalika sholat tahajud ing wengi sepi: merenungkan hidup, mengingat segala kesalahan
ibadah yang baik, doa yang baik paling baik dilakukan pada tengah malam atau
sepertiga malam.
- Tumuju dalam kang mutmainah: sejatinya manusia harus punya nafsu/keinginan
ibadah yang kuat/tekun pada Allah
4. Gaya bahasa
Gaya bahasa yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek
dan menimbulkan konotasi tertentu. Gaya bahasa disebut juga majas. Ada beberapa
majas dalam geguritan ‘ ature simbah’, yaitu :
Majas personifikasi pada :
– tumuruning tirta amerta
– Jun-jun kang sumendhe
– Salumahe bawana
Majas metafora pada :
– aja kok ganti rambute bumi kanthi wesi kang njangkar bumi
– Pencitraan berhubungan dengan alat indera manusia
Dalam puisi ini terdapat pencitraan pendengaran yaitu pada kalimat ‘ sambat tangis
anggegirisi sumebar’. Selain itu juga ada pencitraan penglihatan pada kalimat “ carang-
carang kang king”,”ijo royone gunung kidul omah kae”.

b. Struktur Batin
1. Tema
geguritan ‘Wengi Sepi’ memiliki tema Agama, yang mengungkapkan tentang Bahwa
sejatinya kita tidak sendiri, ada Allah yang selalu mendampingi, mengerjakan sholat
malam (waktu yang suci), dosa kita dapat diampuni dan semoga ibadah yang kita
lakukan dapat diterima dan semakin meningkat.
2. Rasa
rasa yang diungkapkan oleh penyair Dalam kesendirian malam, seolah kita sendiri
padahal ada Allah yang selalu mendampingi, pasrah berdoa dalam sholat tahajud
semoga dosa kita diampuni dan ibadah kita dapat terus ditingkatkan dan diterima oleh
Allah.
3. Nada
geguritan ini disampaikan dengan nada mengingatkan bahwa kita harus selalu
menjalankan dan meningkatkan ibadah agar dosa kita berkurang dan diampuni Allah.
4. Amanat
melalui geguritan ini penyair ingin menyampaikan bahwa sejatinya kita tidak sendiri, ada
Allah yang selalu mendampingi, mengerjakan sholat malam (waktu yang suci), dosa kita
dapat diampuni dan semoga ibadah yang kita lakukan dapat diterima dan semakin
meningkat.

Anda mungkin juga menyukai