Didalam masyarakat Indonesia tidak boleh adanya paham yang meniadakan tuhan
(atheisme) atau meniadakan agama (agnostisme). Sebaliknya, masyarakat Indonesia harus
memegang teguh prinsip monotheisme dengan toleransi beribadat antar pemeluk agama dan
kepercayaan. Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi sumber pokok
nilai kehidupan Bangsa Indonesia serta menjiwai perwujudan kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia yang melembaga menjadi Negara Indonesia yang bersifat
kerakyatan dan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam perwakilan agar terwujud
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan sejarah, terdapat cerita bahwa konsep ketuhanan yang dikemukakan oleh
Soekarno terinspirasi dari pergaulannya dengan para ulama. Soekarno sejak muda dekat
dengan Sarekat Islam dan para ulama didalamnya. Hingga ketika ia dibuang ke Ende, Flores
pun Soekarno tetap rajin berkorespondensi dengan ulama, salah satunya pendiri Persatuan
Islam (Persis) Ahmad Hassan. Ketika berada di Padang, Sumatera Barat pada Februari 1942
hingga Juli 1942, Soekarno juga banyak bergaul dengan ulama besar disana. Ia pernah
berkunjung ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang
Japang, yang didirikan oleh Syekh Abbas Abdullan Padang Japang.
Syekh Abbas bukan sekedar ulama, tetapi juga Panglima Jihad Sumatera Tengah.
Selain mendirikan sekolah madrasah, Syekh Abbas memiliki pasukan jihad sebagai basis
perjuangan melawan Belanda. Suatu hari, sekitar pukul satu siang, Soekarno sempat datang
mengunjungi Syekh Abbas. Meski saat itu masa-masa transisi dari era Belanda ke Jepang,
Soekarno ingin membicarakan perihal dasar negara. Ketika Soekarno bertanya perihal apa
yang terbaik jika kelak bangsa Indonesia ini merdeka, ulama yang kala itu berusia 59 tahun
itu menjawab, “Negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.” Bagi Syekh Abbas jika hal itu diabaikan, maka revolusi tidak akan membawa
hasil yang diharapkan. Kunjungan Soekarno itu menjadi ingatan kolektif masyarakat Padang
Japang. Barangkali pertemuan singkat menjadi salah satu inspiradi bagi Soekarno tiga tahun
kemudian ketika berpidato didepan majelis sidang BPUPKI.
Prinsip ketuhanan ini makin menguat ketika suatu malam menjelang tanggal 1 Juni
1945, Soekarno berbincang-bincang bersama Muhammad Yamin, K.H Masjkur, Wahid
Hasyim, Kahar Mudzakir di tempat Yamin. Berikut kira-kira transkrip percakapan mereka
yang tercatat dalam Arsip Nasional.
K.H. Masjkur: “Kita ini ingin dasar Islam, tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah.
Bagaimana kira-kira umat Islam bisa bela tanah air, tapi tidak pecah.”
Soekarno: “Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia
ini.”
Yamin: “Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir
sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan, minta keselamatan,
minta apa gitu.”
Soekarno: “Nah ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari
Tuhan. Cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di
kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan. Kalau begitu, negara kita dari dulu
sudah ketuhanan. Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan.
Ketuhanan. Bagaimana Islam? Ketuhanan. Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Tulis.
Tulis Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?”
Prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan
saja Bangsa Indonesia bertuhan tetapi masing-masing hendaknya bertuhan. Bertuhan disini
yang dimaksudkan ialah menurut agama yang dianutnya masing-masing. Orang Kristen
menyembah tuhan sesuai dengan ajaran agama Kristen, umat Islam bertuhan menurut ajaran
agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut ajaran Buddha sesuai dengan kitab yang ada padanya. Segenap rakyat
bertuhan secara berkebudayaan yakni dengan Nada “Egoisme Agama” (Fanatisme, tidak ada
tolersansi). Disinilah dalam pengakuan negara Indonesia merdeka yang berazaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa (paham monotheisme) segenap agama yang ada di Indonesia
sekarang ini, akan mendapat tempat sebaik-baiknya.