Masalah ;
Pengadaan menghasilkan SDM yang tidak sesuai kompetensi yang dibutuhkan karena
perencanaan kualifikasi yang tidak berhasilkan menggambarkan kondisi ideal SDM
Aparatur yang dibutuhkan.
Dasar Pemikiran :
Karakter merupakan salah satu kualifikasi penting dalam pengadaan SDM baik di
sektor publik maupun di sector swasta karena perilaku kerja seseorang bukan hanya
dipengaruhi oleh pengetahuannya tetapi juga sangat dipengaruhi oleh karakternya.
Olehnya itu, organisasi haruslah mendapatkan SDM dengan karakter yang sesuai untuk
menduduki jabatan tertentu seperti halnya untuk merekrut Guru haruslah menentukan
karakter yang sesuai untuk itu yang kemudian melakukan tes atas karakter selain tes
terhadap pengetahuan peserta. Sehingga organisasi bisa mendapatkan SDM yang sesuai
karakter dan pengetahuannya terhadap jabatan yang akan diembannya.
Beberapa karakter yang biasanya dibutuhkan oleh organisasi atau perusahaan
yaitu (Tyas 2021):
1. Komitmen; Komitmen karyawan terhadap organisasi atau perusahaan terkait dengan
kesesuaian misi organisasi dengan tujuan yang ingin diraih karyawan meski pada
tingkatan yang berbeda. Kesesuaian ini layaknya perjodohan, jika sesuai maka
hubungan kerja karyawan dengan oeganisasi bisa baik dan terus berlanjut.
2, Sikap; Masalah sikap (attitude) juga menjadi pertimbangan penting dalam memilih
karyawan. Ada perusahaan yang tidak mempermasalahkan kecerdasan yang tinggi
dalam merekrut karyawan namun sikap positif yang menjadi prioritas seperti sikap aktif,
cekatan dan bersedia mempelajari hal yang baru
3, Aktif dan Antusias; Aktif, pekerja keras, mempunyai antusiasme tinggi dan mudah
beradaptasi.
4. Tahan Tekanan; Kondisi perusahaan tidak selalu dalam posisi teratas sehingga
perusahaan untuk dapat bertahan dan berkembangan membutuhkan karyawan yang
loyal dan tangguh.
5. Inovatif dan Kreatif; Akan selalu dibutuhkan cara-cara baru untuk mendongkrak
efektifitas dan efesiensi sehingga organisasi membutuhkan inovasi dan kreatifitas dari
karyawan.
6. Terbuka; Rasa ingin tahu yang tinggi dan mau terbuka akan sesuatu yang baru akan
membuat karyawan akan selalu mengembangkan dirinya.
7. Melayani; Pada organisasi atau perusahaan pelayanan jasa, prinsip melayani
merupakan prioritas. Menempatkan pelanggan pada posisi yang penting, mendengar
setiap keluhan, memahami setiap protes dan kritik, dan konsisten menyediakan
pelayanan yang terbaik menjadi kebutuhan utama organisasi.
Solusi Perbaikan :
Untuk mendapatkan SDM Aparatur yang baik maka dalam perencanaan perlu
menetapkan kualifikasi kepribadian selain kualifikasi pengetahuan dan melakukan tes
psikologi dalam pengadaannya. Kepribadian yang tepat dalam mengemban jabatan
menjadi sangat penting karena akan menentukan prilaku mereka dalam mengemban
jabatan. Kesalahan dalam perencanaan dan pengadaan akan berdampak buruk pada
penempatan dan pengembangan SDM karena SDM dengan karakter yang buruk akan
menjadi beban organisasi dimanapun ditempatkan dan upaya pengembangan SDM juga
tidak akan berhasil.
Untuk mensiasati tingginya biaya tes psikologi maka tes ini bisa dilakukan secara
terbatas hanya pada rekrutmen beberapa jabatan tertentu yang dianggap penting untuk itu,
seperti Jabatan Fungsional Guru dan Dosen yang sangat menentukan kecerdasan anak
bangsa yang pada akhirnya akan menentukan masa depan bangsa, dan Jabatan Pimpinan
Tinggi yang sangat berpengaruh terhadap kualitas kepemimpinan pada organisasi.
Penggunaan tes psikologi telah banyak dilakukan pada rekrutmen karyawan pada
organisasi swasta atau perusahaan karena perusahaan menjaga kualitas dari hasil
rekrutmen. Tes psikologi juga dilakukan pada rekrutmen Penyelenggara Pemilu di tingkat
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang merekrut penyelenggara pemilu dari unsur
masyarakat.
2. Masalah mendasar dalam penilaian kinerja, pemberian kompensasi dan perencaan
karir
Masalah ;
Hasil penilaian kinerja yang tidak mampu menggambarkan kondisi kinerja yang
sesungguhnya yang dipengaruhi oleh factor instrument penilaian kinerja yang sangat
tergantung pada objektifitas penilai. Hasil penilaian kinerja yang tidak menggambarkan
kondisi kinerja yang sebenarnya akan memunculkan permasalahan dalam pemberian
kompensasi pada pegawai dan juga terhadap perencanaan karir pegawai karena pemberian
konpensasi dan pengembangan karir pegawai didasarkan pada penilaian kinerja.
Dasar Pemikiran :
Manusia dalam bertindak dan mengambil keputusan akan selalu dipengaruhi oleh
“Nilai-Nilai Kehidupan” (Meaning of Life) yang dimilikinya, dimana “Nilai-Nilai
Kehidupan” itu terbentuk oleh perjalanan hidup seseorang yang dipengaruhi oleh budaya
dan lingkungan tempat dia hidup dan subjektifitasnya dalam memaknai nilai kehidupan.
“Nilai-Nilai Kehidupan” ini akan mempengaruhi integritas dan objektivitas seseorang
dalam menilai sesuatu atau orang lain termasuk dalam hal menilai kinerja seseorang.
Perbedaan “Nilai-Nilai Kehidupan” yang dipegang dan dipercayai akan menyebabkan
perbedaan penilaian terhadap kinerja orang yang sama jika dilakukan oleh orang yang
berbeda.
Husni dkk (2018) menjelaskan bahwa Meaning of life merupakan sebuah konsep
yang digagas oleh Viktor E. Frankl dalam bukunya tahun 1992 (Frankl, 1992). (Frankl,
2004) memaparkan bahwa meaning of life merupakan salah satu cara individu agar dapat
mencapai tujuan hidupnya. Meaning of life sendiri dapat diartikan sebagai nilai-nilai
kehidupan individu yang berasal dari respon atas kondisi diri dan lingkungan di setiap
bagian kehidupannya. Dengan kata lain, meaning of life akan selalu dimiliki setiap individu
dalam proses kehidupannya. (Frankl, 2004) mendeskripsikan “Meaning of life” didapatkan
melalui pencarian tiga jenis nilai yang berbeda, yaitu creative values, experential values,
dan attitudinal values. Creative values adalah nilai-nilai yang dimiliki individu pada
kegiatan yang menghasilkan, menemukan, menciptakan hal-hal baru di dunia, misalnya
melalui hasil pekerjaan atau kepemimpinan. Selanjutnya, experential values merupakan
nilai-nilai yang ditemukan individu pada saat individu menikmati atau berpartisipasi dalam
suatu kondisi pengalaman hidupnya, misalnya nilai-nilai yang ditemukan individu terhadap
“kasih sayang” atau nilai bagaimana wujud “sosok sahabat sejati” bagi seseorang.
Terakhir, attitudinal values merupakan nilai-nilai yang menjadi respon berupa
bagaimanapun sikap yang individu tunjukkan terhadap takdir atau situasi yang
dihadapinya, misalnya, respon berupa sikap siswa pada saat menghadapi kegagalan ujian
di sekolah. Terbentuknya tiga nilai sumber dari meaning of life tidak lepas dari adanya
evaluasi atas kondisi diri dan lingkungan individu tersebut. Oleh karenanya, meaning of
life memiliki unsur subjektivitas dalam proses evaluasi tersebut, sehingga individu dapat
menemukan dan memiliki meaning of life yang tepat untuk dirinya. (Landau, 2011) turut
memperkuat dalam pendapatnya yang menyatakan bahwa individu berkemungkinan salah
dalam melakukan evaluasi atas kondisi diri, arah hidup, nilai-nilai lingkungan yang
berinteraksi dalam kehidupan mereka.
Lebih lanjut Husni dkk (2018) menjelaskan bahwa keberadaan unsur subjektivitas
meaning of life diperkuat oleh (Wolf, 2010) yang memaparkan bahwa “meaning arises
when subjective attraction meets objective attractiveness”. Pendapat wolf tersebut dapat
dimaknai bahwa pemenuhan meaning of life individu perlu melibatkan masing-masing dari
komponen subjektif dan komponen objektif. Unsur objektivitas meaning of life terletak
pada kesepakatan masyarakat atas nilai budaya yang berlaku di lingkungan individu
tersebut. Kesepakatan bersama dalam mendefinisikan sebuah objek merupakan sebuah
kebenaran intersubjektif (Mori & Hayashi, 2006). Kebenaran intersubjektif budaya inilah
yang merupakan unsur objektivitas dalam meaning of life. Pendapat Steger (Steger, 2012;
Steger, Kawabata, Shimai, & Otake, 2008) semakin memperkuat adanya pengaruh sebagai
budaya dalam penentuan sumber nilai, harapan dan kebutuhan pada diri masyarakatnya.
Berdasarkan paparan yang telah disampaikan, maka dapat diberikan makna bahwa setiap
budaya akan memiliki bentuk meaning of lifenya sendiri. Hal ini dikarenakan nilai-nilai
budaya akan menjadi kebenaran intersubjektif meaning of life yang harus dipenuhi
masyarakatnya.
Lebih lanjut, Fauziah mengemukakan pendapat Fleenor bahwa metode 360 derajat
memiliki manfaat dalam penerapannya. Adapun manfaatnya antara lain:
1) Meningkatkan kompetensi organisasi karena mempermudah dalam melihat posisi
organisasi untuk menghadapi tantangan baru.
2) Meningkatkan kesadaran karyawan untuk berprestasi dalam pekerjaanya.
3) Perubahan perilaku karyawan yang disesuaiakan dengan perubahan lingkungan.
4) Menyelaraskan perilaku karyawan dengan visi, misi dan nilai-nilai organisasi.
Menurut Ghorpade dan Chen dalam Fauziah (2020) Metode penilaian prestasi
kerja yang masih sering digunakan saat ini adalah metode tradisional. Metode tradisional
mewajibkan atasan (sebagai penilai) untuk menilai kinerja bawahan. Penilaian tradisional
tidak mengarahkan perkembangan kompetensi dan kemampuan individu. Penerapan
penilaian ini memicu perilaku disfungsional antara atasan dan bawahan sehingga
diperlukan inovasi dalam mengembangkan sistem pilihan yang efektif. Penggunaan
metode tradisional dalam memberikan feedback kepada karyawan memunculkan penilaian
bias yang dapat diakibatkan oleh penerapan penilaian kinerja yang bersifat subyektif,
mengandung unsur politis, hanya berorientasi kepada output dan bukan pada kualitas
proses sebagaimana individu melaksanakan tugas. Berbeda dengan sistem penilaian
prestasi kerja 360 derajat, dimana karyawan dinilai oleh beberapa sumber yaitu atasan,
bawahan, karyawan itu sendiri, dan rekan kerja. Metode Penilaian 360 derajat dianggap
sebagai penilaian multi-source sehingga lebih bersifat obyektif dan meminimalkan bias.
Solusi Perbaikan :
Untuk mendapatkan hasil penilaian kinerja SDM Aparatur yang objektif dan
berintegritas maka diperlukan :
1. Penerapan metode 360 derajat dalam penilaian kinerja. Metode 360 Derajat
menerapkan penilaian kinerja oleh banyak orang dan dari berbagai posisi atau sudut
pandang ini dilakukan mulai dari atasan, bawahan, teman sejawat dan termasuk oleh
diri sendiri. penilaian dari banyak orang yang berhunbungan dengan orang yang dinilai
dengan maksud bahwa penilaian banyak orang dari berbagai macam sudut pandang
akan menghasilkan penilaian intersubjektif yang akan menjadi bentuk objektifitas dari
penilaian itu sendiri. Metode penilaian ini juga akan menjaga integritas para penilai
karena kahadiran penilai lain akan berpengaruh positif terhadap integritas penilai
karena kehadiran nilai pembanding akan membuat penilai lebih jujur dalam menilai.
Penggunaan metode 360 derajat ini telah banyak dilakukan pada organisasi swasta atau
perusahaan.
2. Penggunaan instrument penilaian yang dapat menekan subjektifitas penilai. Instrumen
penilaian haruslah mampu menekan subjektifitas penilai dengan menghadirkan format
penilaian yang meminimalkan perbedaan persepsi bagi penilai.
Tyas Ing Kalbu, 2021. 7 Karakter karyawan yang banyak dicari perusahaan. https://klasika.
kompas.id/baca/inilah-karakter-karyawan-yang-banyak-dicari-perusahaan/
Derina Asta, 2021. 11 Fungsi Tes Psikologi dalam Dunia Kerja. https://dosenpsikologi.com/
fungsi-tes-psikologi-dalam-dunia-kerja
Siti Fauziah, 2020. Analisis Objektivitas Metode 360 Derajat Sebagai Penilaian Terhadap
Kinerja Karyawan Berdasarkan Kompetensi Dalam Perspektif Ekonomi Islam. http://
repository.radenintan.ac.id/18037/1/PERPUS%20PUSAT.pdf
Husni Hanafi, Nur Hidayah, dan Mappiare AT, 2018. Adopsi Nilai Budaya Osing dalam
Kerangka Objektivitas Meaning Of Life. http://lp2m.um.ac.id/wp-content/uploads/
2020/08/2018-2.pdf