Anda di halaman 1dari 17

RINGKASAN MATA KULIAH (RMK)

ASPEK KEPERILAKUAN PADA AKUNTANSI SOSIAL

AKUNTANSI KEPRILAKUAN E1

OLEH:
KELOMPOK 10

Ni Putu Eka Adnyani (01 /


2007531069) Dea Ayu Heggar Rinjani Charal (02 /
2007531071)

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Dr. Anak Agung Gde Putu Widanaputra, S.E., M.Si., Ak.

PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
1. Definisi Akuntansi Sosial
Akuntansi sosial dapat didefinisikan sebagai seperangkat aktivitas organisasi yang
berkaitan dengan pengukuran organisasi dan pelaporan hasil kepada kelompok yang
berkepentingan di dalam maupun di luar organisasi. Secara garis besar aspek akuntansi
sosial terdiri dari lingkungan, tenaga kerja, dan masyarakat di sekitar perusahaan. Aspek
tersebut dapat dibedakan antara yang dapat diukur secara moneter dan yang tidak dapat
diukur secara moneter. Beberapa aspek akuntansi pertanggungjawaban sosial yang dapat
diukur secara sosial juga terdapat dalam akuntansi konvensional.
Walaupun akuntansi sosial berfokus pada kinerja pemerintah dan pelaku bisnis,
namun saat ini akan berkonsentrasi pada akuntansi sosial sebagaimana diterapkan pada
kegiatan bisnis. Dalam hal ini akuntansi sosial berarti mengidentifikasi, mengukur dan
melaporkan hubungan antara bisnis dan lingkungannya. Lingkungan bisnis meliputi
sumber daya alam, komunitas di mana bisnis tersebut beroperasi, orang-orang yang
dipekerjakan, pelanggan, pesaing, dan perusahaan serta kelompok lain yang berurusan
dengan bisnis tersebut. Proses pelaporan dapat bersifat internal maupun
eksternal.Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan
banyak keuntungan bagi masyarakat. Menurut pendekatan teori akuntansi tradisional,
perusahaan harus memaksimalkan laba agar dapat memberikan sumbangan yang
maksimum kepada masyarakat. Model akuntansi dan ekonomi tradisional berfokus pada
produksi dan distribusi barang dan jasa kepada masyarakat. Akuntansi sosial
memperluas model ini dengan memasukkan dampak aktivitas perusahaan terhadap
masyarakat.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu masyarakat semakin menyadari adanya
dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk
mencapai laba yang maksimal yang semakin lama semakin besar dan semakin sulit untuk
dikendalikan. Oleh karena itu masyarakat juga menuntut agar perusahaan juga senantiasa
memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya.
Laba neto telah dianggap secara tradisional sebagai kontribusi perusahaan kepada
komunitas. Akuntansi sosial memandang hal ini sebagai fokus yang terlalu sempit.
Mereka beranggapan bahwa untuk mengukur kontribusi sosial suatu perusahaan dengan
memadai, biaya atau laba harus dimasukkan. Laba hanya ada karena beberapa biaya
sosial seperti polusi air tidak dimasukkan dalam perhitungan laba perusahaan tersebut.
2. Sejarah Akuntansi Sosial
Akuntansi sosial berkepentingan dengan identifikasi dan pengukuran manfaat sosial
dan biaya sosial. Untuk memahami perkembangan akuntansi sosial, seseorang harus
mengetahui bagaimana manfaat dan biaya sosial telah diberlakukan di masa lalu.
Pada awal tahun 1900, para ekonom telah mencoba untuk memasukkan manfaat dan
biaya sosial dalam model teori ekonomi mikro neoklasik. Beberapa gerakan massa pada
tahun, 1900-an terutama yang ditujukan untuk membuat pemerintah dan bisnis lebih
responsif terhadap kebutuhan masyarakat memiliki andil dalam memfokuskan perhatian
pada biaya dan manfaat sosial.
Pada tahun 1960-an, juga terdapat pertumbuhan dalam gerakan lingkungan ketika
lebih banyak orang menyadari dampak dari industrialisasi pada kualitas udara tanah dan
air. Undang-undang disahkan untuk melindungi sumber daya alam ini dan
mengendalikan pembuangan limbah beracun. Hukum menetapkan standar untuk emisi
polusi dan mengenakan denda kepada siapa pun yang melanggarnya. Para pelaku bisnis
di minta untuk mengendalikan emisi polusi dan bekerja sama dengan pemerintah untuk
mengembangkan dan menerapkan rencana untuk mengurangi polusi.
Konsumen menjadi lebih tegas pada tahun 1960-an sehingga menimbulkan gerakan
hak-hak konsumen. Kelompok-kelompok konsumen berusaha untuk membuat para
pelaku bisnis dan produk-produk mereka lebih responsif terhadap kebutuhan konsumen.
Usaha-usaha dilakukan untuk membuat produk-produk yang berbahaya atau tidak sehat
diperbaiki atau ditarik dari pasar. Pesan "teliti sebelum membeli" tidak lagi di anggap
sebagai praktik bisnis normal. Berbagi buku mengenai keselamatan produk dan mutu
membantu mendorong undang-undang perlindungan hak konsumen.
Dengan menetapkan undang-undang dalam bidang ini, pemerintah memaksa
individu dan para pelaku bisnis untuk menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial.
Walaupun pelaksanaan undang-undang ini cenderung lemah, fakta bahwa undang-
undang tersebut ada dan mengenakan sanksi untuk mendorong kepatuhan. Secara
bertahap, undang-undang tersebut telah membawa dampak positif.

Fase-Fase Perkembangan Akuntansi Sosial

A. Fase Pertama Howard Bowen


Howard Bowen (1908-1989) adalah seorang historian ekonom Amerika yang
memberikan inspirasi kemunculan akuntansi sosial dan lingkungan. Bowen
mengawali karirnya di University of Iowa, hingga keposisi the presiden of
Grinnell
College, the University of Iowa. Kontribusi Bowen adalah dengan publikasi buku
dengan judul Social Responsibility of Businessmen tahun 1953. Bowen (1953)
meletakan dasar konsep ini dengan mengatakan:

“mengacu pada kewajiban pengusaha untuk mengejar kebijakan tersebut, untuk


membuat keputusan itu, atau mengikuti garis tindakan yang ada diinginkan dalam
hal tujuan dan nilai-nilai masyarakat kita”.

Kemudian secara kolektif dijadikan landasan awal mendefinisikan


tanggungjawab sosial bagi kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis
yang selaras dengan tujuan (objectives) dan nilai-nilai masyarakat (Society values).
Konsep ini merontokan paham ekonomi yang dengan pengorbanan sekecil-kecilnya
untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya.

B. Fase Kedua Keith Davis


Menyambung apa yang digagas oleh Bowen (1953), Davis (1960)
memperkenalkan tulisnya tentang Can Business Afford to Ignore its Social
Responsibilities? Davis secara tajam berpandangan bahwa tanggungjawab sosial
harus dimiliki oleh organisasi. Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial
organisasi di luar tanggung jawab ekonomi semata. Argumen Davis menjadi sangat
relevan, karena pada masa tersebut (1960an) pandangan mengenai tanggung jawab
sosial organisasi masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada
saat itu, para ekonom klasik memandang para pelaku bisnis itu memiliki tanggung
jawab sosial sebatas penggunaan sumber daya organisasi mereka secara efisien,
untuk menghasilkan barang dan jasa dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Tanggungjawab sosial mereka sebatas masyarakat dapat membeli dengan harga yang
telah diciptakan secara efisien. Bila hal tersebut berjalan dengan baik maka
organisasi akan mendapatkan keuntungan atas penjualan dan kemudian organisasi
akan mampu melakukan tanggung jawab sosialnya, seperti:
a. Menciptakan lapangan kerja.
b. Memberi kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak.
c. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional.
C. Fase Ketiga US Committee for Economic Development in 1971
Committee for Economic Development (CED) adalah organisasi non-profit
dan nonpartisan Amerika yang beranggotakan 200 senior corporate executives
dan
pemimpin universitas terkemuka membuat laporan sangat fenomena tahun 1971
berjudul Social Responsibilities of Business Corporations. Laporan tersebut
menggunakan three concentric circles yaitu :
1. Pertama, lingkaran dalam termasuk fungsi ekonomi dasar—pertumbuhan,
produk, pekerjaan.
2. Kedua, lingkaran perantara menyarankan bahwa fungsi ekonomi harus
dilaksanakan dengan kesadaran yang peka akan mengubah nilai dan prioritas
sosial.
3. Dan ketiga, lingkaran luar menguraikan yang baru muncul dan masih diam dalam
tanggung jawab yang harus dipikul oleh bisnis untuk lebih aktif terlibat dalam
perbaikan sosial lingkungan.

Carroll (1979) menjelaskan komponen-komponen tanggungjawab sosial


organisasi bisnis ke dalam empat kategori, yaitu:

1. Economic responsibilities, tanggungjawab sosial pada kategori ini berlandaskan


bahwa motif profit adalah motif utama dalam membangun organisasi bisnis.
Organisasi bisnis pada dasarnya adalah tanggungjawab ekonomi karena lembaga
bisnis terdiri atas aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi
masyarakat yang menguntungkan.
2. Legal responsibilities, tanggungjawab organisasi dalm menjalankan bisnis yaitu
dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku di mana hukum dan peraturan
tersebut pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif.
Tanggungjawab legal ini adalah koridor dan sistem untuk mengatur organisasi
dalam berbisnis.
3. Ethical responsibilities, organisasi diharapkan menjalankan bisnisnya secara etis
dan norma moral masyarakat. Masing-masing pihak dalam menjalankan bisnis
diatur standar, etika, norma agar masing-masing puas dalam berbisnis.
4. Discretionary responsibilities, tanggungjawab ini bersumber pada pandangan
bahwa keberadaan dari organisasi diharapkan memberikan manfaat bagi
masyarakat. Ekspektasi masyarakat tersebut dipenuhi oleh organisasi melalui
berbagai program yang bersifat Filantropis (kedermawanan).
D. Fase Keempat Mandatori Regulasi Perancis Pertama di Dunia
Davis (1960) kemudian mempertegas argumennya dengan statemen tentang
iron law of responsibility yang menjadi fase ini tumbuh sebagai penyemangat
kemunculan akuntansi sosial dan lingkungan. Davis menyatakan bahwa: “tanggung
jawab sosial pengusaha perlu sepadan dengan kekuatan sosial mereka. maka
penghindaran tanggung jawab sosial mengarah ke erosi bertahap dari kekuatan
sosial.”
Argumen-argumen yang dibangun oleh Davis, menjadi cikal bakal untuk
identifikasi kewajiban organisasi bisnis yang akan mendorong munculnya konsep
akuntansi sosial dan lingkungan di era 70-an. Selain itu, konsepsi Davis mengenai
iron law of responsibility menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi
publik atas keberadaan suatu organisasi. Negara Amerika lebih dulu
mengembangkan tanggungjawab ini, kendatipun regulasi belum dilaksanakan secara
mandatory. Beberapa Negara seperti German dan Eropa Barat kemudian mengikuti
mengadopsi regulasi yang pertama dilakukan oleh Amerika tentang laporan
tanggungjawab sosial (Social Responsibility Reporting) (Preston, et.al 1978).
Perancis adalah Negara yang pertama pada tahun 1977 mewajibkan organisasi bisnis
untuk melaporkan kegiatan tanggungjawab sosialnya.
Fase ini membawa perubahan yang sangat mendasar tentang beberapa
persyaratan detail tentang pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan. Kendatipun
hal ini masih terbatas di Perancis, tetapi regulasi ini menjadi dasar kajian beberapa
Negara maju untuk mulai memikirkan tentang implementasi akuntansi sosial dan
lingkungan.
E. Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis
Runtuhnya ekonomi sosialis yang disongsong dengan ekonomi neo
liberalisme yang konservatif pada tahun 1980an mengakibatkan stagnan
pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan. Propaganda kedermawanan para
pemilik perusahaan besar mulai mengatur strategi baru untuk ekstra hati-hati
terhadap pengeluaran dana mereka. Para pemegang saham perusahaan besar
mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap tanggungjawab sosial mereka.
Apalagi pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi dengan kinerja perusahaan-
perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM, General Motors dan
Westinghouse di Amerika. Saat bersamaan pula terjadinya skandal keuangan oleh
antara lain Maxwell dan Adir di UK, hal ini berakibat munculnya regulasi tentang
corporate governance yang mengutamakan para pemegang saham. Ini berdampak
ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi bisnis besar dunia.
Sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang
ketat, konsep dan kerangka model akuntansi sosial dan pelaporannya tetap berjalan.
Hanya pada masa ini beberapa konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah
baru tersebut adalah Socially Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan
pada umumnya di UK.
F. Fase Keenam Balance Scorecard
Fase ini merupakan bentuk kombinasi finansial dan non-finansial dalam menilai
kinerja organisasi. Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Schneiderman,
yang kemudian didesain ulang secara komprehensif oleh Kaplan dan Norton (1990).
Akuntansi sosial dan lingkungan mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan
Balance Scorecard. Ke empat perspektif sangat fenomenal tersebut adalah
a. Finansial: mendorong identifikasi beberapa ukuran finansial tingkat tinggi
yang relevan. Secara khusus, desainer didorong untuk memilih ukuran yang
membantu menginformasikan menjawab pertanyaan "Bagaimana pandangan
kita terhadap pemegang saham?"
b. Pelanggan: mendorong identifikasi tindakan yang menjawab pertanyaan
"Bagaimana pelanggan melihat kami?"
c. Proses Bisnis Internal: mendorong identifikasi tindakan yang menjawab
pertanyaan "Apa yang harus kita kuasai?"
d. Pembelajaran dan Pertumbuhan: mendorong identifikasi langkah-langkah
yang menjawab pertanyaan "Bisakah kita terus meningkatkan dan
menciptakan nilai?".

Awal tahun 1990an merupakan booming model pelaporan akuntansi sosial dan
lingkungan dengan memanfaatkan konsep Balance Scorecard. Banyak perusahaan
besar di Amerika dan Eropa menggunakan konsep ini agar mereka mampu
mengekspresikan kepedulian organisasinya kepada stakeholdernya.

G. Fase Ketujuh Robert Hugh Gray


Kontribusi Gray (1992) untuk pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan tidak
diragukan lagi. Publikasinya telah mewarnai konsep akuntansi sosial dan lingkungan
hingga gagasan accounting for sustainability. Gray (1993) mengidentifikas ikan
warna yang beda terhadap metode akuntansi sustainabilitas. Metode tersebut
adalah:
1. Sustainable Cost, metode ini memberikan penekanan pada biaya yang harus
dikeluarkan oleh organisasi pada akhir periode akuntansi, untuk mengembalikan
dampak lingkungan hidup seperti posisi semula.
2. Natural Capital Inventory Accounting, metode ini memberikan perhatian serius
terhadap keberadaan Modal Alam (Natural Capital), sebagai penyertaan yang
selalu ada.
3. Input – Output Analysis, metode ini melaporkan arus fisik pemanfaatan material
dan energy dan keluar atas produk dan barang sisa dalam unit. Pada Fase ini,
pemahaman akuntansi sosial dan lingkungan secara khusus didesain secara
quantitative dalam bentuk nilai moneter, sebagaimana melengkapi akuntansi
konvensional selama ini.
H. Fase Kedelapan John Elkington’s Triple Bottom Line
Elkington (1997) adalah peletak dasar konsep triple bottom line. Konsep ini
memberikan inspirasi lebih serius tentang perluasan akuntansi konvensioanl yang
single bottom line, yaitu keuangan saja. Istilah Triple Bottom Line menjadi penting
saat people, planet dan profit ditawarkan menjadi konsep akuntansi
pertanggungjawaban sosial dan lingkungan.
1. Profit (Keuntungan perusahaan) Perusahaan tetap harus berorientasi untuk
mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi
dan berkembang.
2. People (Kesejahteraan manusia/masyarakat) Perusahaan harus memiliki
kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan
mengembangkan program Corporate Social Responsibility sepertipemberian
beasiswa bagi pelajar di sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan
kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal dan bahkan ada perusahaan
yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.
3. Planet (Keberlanjutan lingkungan hidup) Perusahaan peduli terhadap
lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program
Corporate Social Responsibility yang berpijak pada prinsip ini biasanya
berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih,
perbaikan pemukiman dan pengembangan pariwisata.

Triple bottom line dengan triple P dapat disimpulkan bahwa profit sebagai
wujud aspek ekonomi, planet sebagai wujud aspek lingkungan dan people sebagai
aspek
sosial. Dan jika dirinci lebih lanjut dari ketiga aspek Tripple Bottom Line, maka
ketiga aspek tersebut dapat diwujudkan dalam kegiatan berikut:

1. Aspek Sosial, misalnya: pendidikan, pelatihan, kesehatan,


perumahan,penguatan kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan
karyawan) kesejahteraan sosial, olahraga pemuda, wanita, agama,
kebudayaan dan sebagainya.
2. Aspek Ekonomi, misalnya: kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit
mikro kecil dan menegah, agrobisnis, pembukaan lapangan pekerjaan,
infrastruktur ekonomi dan usaha produktif lain.
3. Aspek Lingkungan,misalnya: penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air,
pelestarian alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pegendalian polusi, serta
penggunaan produksi dan energi secara efisien.
I. Fase Kesembilan Sustainability Reporting
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Elkington (1997), Coalition for
Environmentally Responsible Economies dan the United Nations Environment
Programmes (UNEP) mendirikan GRI (Global Reporting Initiative), organisasi
independen yang membangun standar Sustainability Reporting. Guideline GRI
pertama dikeluarkan tahun 1999 (GRI, 1997).
GRI mengidentifikasikan 6 (enam) ekstra-indikator keuangan: aspek
kemasyarakatan, ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia,
tanggungjawab produk. Hingga sekarang GRI telah mengeluarkan pedoman generasi
ke 3 (G3 GRI) pada tahun 2006. Fase ini membawa perkembangan akuntansi sosial
dan lingkungan menjadi lebih baik dan menjadi pola adopsi yang cukup luas. Model
pelaporan GRI G3 ini menginspirasi model pelaporan akuntansi sosial dan
lingkungan sebagai alternatif pelaporan akuntansi konvensional. Model GRI ini
disimpulkan dengan tanpa kehadiran aspek spiritual, yang banyak ahli dari banyak
lintas disiplin ilmu, mempunyai banyak terobosan pelaporan komprehensif aktivitas
bisnis, kendatipun tanpa aspek spiritual ada di dalamnya.
J. Fase Kesepuluh Sosio-Spiritualitas Akuntansi

Akuntansi telah memasuki fenomena baru beyond materiality. Akhir tahun


2000, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya memperkenalkan
pemahaman akuntansi tidak hanya terbatas pada angka moneter dan tabel jurnal
transaksi ekonomi, tetapi juga memperkenalkan relasi spiritualitas dan metafisika.
Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan organisasi (kelompok orang)
mempunyai tanggungjawab membangun peristiwa-peristiwa ekonomi, sosial dan
lingkungan dalam organisasi nya yang direlasikan dengan holy spirit.

Holy spirit merupakan bentuk berbasis religiusitas dan universalitas. Pada


pembahasan ini lebih diutamakan holy spirit dalam bentuk universalitas yang dapat
dimaknai dengan kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love),
kesadaran transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran. Lima
dimensi ini adalah indikator utama dalam proses pertanggungjawaban individu dan
organisasi disekelilingnya. Sosio-Spiritualitas Akuntansi menjadi penting dalam
upaya menanamkan holy spirit dalam mengkreasi dan melaksanakan
pertanggungjawaban terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi, sosial dan lingkungan
dalam kesatuan organisasi.

Fase Kesepuluh ini, JAUB mengajak dunia Akuntansi sadar akan nilai-nila i
diatas materialitas (beyond materiality). Sosio Spiritual Akuntansi hadir untuk
mengkodifikasi kinerja individu dan organisasi pada ke 5 (lima) unsur holy spirit
tersebut yang dilaporkan secara periodik kepada stakeholders.

3. Akuntansi Biaya dan Manfaat Sosial


Dasar bagi kebanyakan teori akuntansi datang dari analisis yang dilakukan oleh
Pigou (1948) terhadap biaya dan manfaat sosial. Fakta bahwa seseorang rela membayar
lebih dari harga yang diminta oleh produsen untuk suatu produk mengindikasikan adanya
manfaat sosial. Pigou menyebut seluruh manfaat dari produksi suatu produk tanpa
memedulikan siapa yang menerimanya sebagai manfaat sosial. Perbedaan antara
manfaat sosial dengan manfaat pribadi yaitu pada sisi ekonomi eksternal dan elemen
surplus konsumen.
Bagi Pigou, biaya sosial terdiri atas seluruh biaya untuk menghasilkan suatu produk,
tanpa memedulikan siapa yang membayarnya. Biaya yang dibayarkan oleh produsen
disebut sebagai biaya pribadi. Selisih antara biaya sosial dan biaya pribadi dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Perusahaan yang menimbulkan polusi mengenakan biaya
kepada masyarakat, tetapi perusahaan tersebut tidak membayar biaya tersebut kepada
masyarakat. Hal ini disebut dengan non-ekonomi eksternal. Suatu situasi dimana seorang
pekerja menderita sakit akibat pekerjaannya dan tidak memperoleh kompensasi penuh
dapat dianggap sebagai suatu eksploitasi terhadap faktor produksi.
Ketika akuntan mengukur manfaat pribadi (pendapatan) dan biaya pribadi (beban)
serta mengabaikan yang lainnya, mereka bersikap konsisten dengan teori ekonomi
tradisional. Gerakan ke arah akuntansi sosial, sebagian besar, terdiri atas usaha-usaha
untuk memasukkan biaya sosial dan biaya sosial yang tidak terbagi ke dalam model
akuntansi.
a) Pengukuran
Salah satu alasan utama lambatnya kemajuan akuntansi sosial adalah kesulitan dalam
mengatur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut terdiri atas tiga langkah, yaitu:
mementukan apa yang menyusun biaya dan manfaat sosial, mencoba untuk
menguantifikasi seluruh pos yang relevan, serta menempatkan nilai moneter pada
jumlah akhir.
b) Menentukan Biaya dan Manfaat Sosial
Memutuskan apa yang merupakan biaya dan manfaat sosial adalah bukan hal yang
mudah. Hal tersebut tidak hanya melibatkan definisi yang tepat dari biaya dan
manfaat sosial, tetapi juga pemahaman mengenai berbagai sistem nilai. Sistem nilai
masyarakat merupakan faktor penentu penting dari manfaat dan biaya sosial. Dengan
mengasumsikan bahwa masalah nilai dapat diatasi dengan menggunakan beberapa
jenis standar masyarakat, masalah berikutnya adalah mengidentifikasi kontribusi dan
kerugian secara spesifik. Cara lain untuk mengidentifikasi asal biaya dan manfaat
sosial adalah dengan memeriksa proses distribusi dan produksi perusahaan individu
guna mengidentifikasi bagaimana kerugian dan kontribsi serta menentukan
bagaimana hal itu terjadi.
c) Kuantifikasi Terhadap Biaya dan Manfaat
Ketika aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial ditentukan dan
kerugian serta kontribusi tertentu diidentifikasi, maka dampak terhadap manusia
dapat dihitung. Untuk mengukur kerugian dibutuhkan informasi mengenai variabel
utama, yaitu waktu dan dampak.
1) Waktu
Beberapa peristiwa yang menghasilkan biaya sosial membutuhkan waktu
beberapa tahun untuk menimbulkan suatu akibat. Dalam hal pengukuran, adalah
penting untuk menentukan lamanya waktu tersebut. Dampak jangka panjang
sebaiknya diberikan bobot yang berbeda dengan dampak jangka pendek.
2) Dampak
Orang-orang dapat dipengaruhi secara ekonomi, fisik, psikologis, dan sosial oleh
berbagai kerugian. Untuk mengukur biaya sosial tersebut, maka perlu untuk
mengidentifikasi kerugian tersebut dan mengantifikasinya. Ketika tugas ini telah
diselesaikan, usaha dapat dilakukan untuk menguantifikasi kerugian dari
perspektif masyarakat. Biaya dari dampak kerugian ini dapat dibagi menjadi
empat, yaitu biaya ekonomi, kerugian fisik, kerugian psikologis, dan kerugian
sosial.

4. Pelaporan Kinerja Sosial


a) Audit Sosial
Audit sosial merupakan suatu proses dimana organisasi dapat menentukan kewajaran
kinerja sosial, melaporkan, dan mengembangkan kinerjanya. Audit sosial mengukur
dampak sosial dan perilaku relasi perusahaan. Audit sosial diharapkan dapat
dipergunakan untuk menilai dampak sosial dari kegiatan perusahaan, mengukur
efektifitas program perusahaan yang bersifat sosial dan melaporkan sampai seberapa
jauh perusahaan memenuhi tanggung jawab sosialnya. Audit Sosial juga bermanfaat
bagi perusahaan dengan membuat para manajer menyadari konsekuensi social dari
beberapa tindakan mereka.
b) Model Laporan Sosial
David Linowes telah mengembangkan laporan operasi social-ekonomi untuk
digunakan sebagai dasar untuk melaporkan informasi akuntansi social. Linowes
membagi laporannya ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. Hubungan dengan manusia
b. Hubungan dengan lingkungan
c. Hubungan dengan produk
Dalam laporan Linowes, seluruh kontribusi dan kerugian harus dihitung Secara
moneter, sesuatu yang telah terbukti sulit untuk dilakukan. Pendekatan Linowes tidak
dipakai oleh perusahaan manapun.
Selain Linowes, Ralph Estes mengembangkan suatu model yang
menggunakan perspektif Pigou mengenai manfaat dan biaya social. Ia menghitung
manfaat social sebagai seluruh kontribusi kepada masyarakat yang berasal dari
operasi perusahaan (misalnya, lapangan kerja yng disediakan, sumbangan, pajak,
perbaikan lingkungan). Biaya social meliputi seluruh biaya operasi perusahaan
(bahan baku yang dibeli, utang, kerusakan lingkungan, luka-luka dan penyakit yang
berkaitan dengan pekerjaan). Biaya social dikurangkan dari manfaat social untuk
memperoleh manfaat atau biaya neto. Estes mempertimbangkan modelnya sebagai
suau laporan konseptual yang dapat digunakan Secara internal oleh manajemen
dalam menilai manfaat neto perusahaan bagi masyarakat.
c) Pengungkapan dalam Laporan Tahunan
Riset yang dilakukan oleh Henny dan Murtanto (2001) menunjukkan bahwa
pengungkapan social oleh perusahaan di Indonesia relatif masih sangat rendah. Hal
ini diduga disebabkan karena perusahaan belum memanfaatkan laporan tahunan
sebagai media komunikasi antara perusahaan dan pemangku kepentingan.
Kemungkinan lain adalah bahwa perusahaan hanya memanfaatkan laporan tahunan
sebagai laporan kepada pemegang saham dan kreditor atau sebagai informasi bagi
calon investor. Padahal sebenarnya terdapat dua aspek yang sering dijadikan bahan
analisis oleh para investor dalam pengambilan keputusan investasinya, yaitu faktor
teknikal dan faktor fundamental.

5. Dilema Perusahaan
Siegel dan Marconi mengemukakan sosial bisnis yang berhubungan akuntasi sosial
dengan kasus perusahaan kertas. Perusahaan St. Clark company merupakan perusahaan
yang bekerja di bidang produksi kertas dan bubur kayu (pulp), memutuskan untuk
menggunakan propertinya di Forest, Wiconsin, Amerika Serikat, untuk membangun
pabrik kertas. Lingkungan di sekitar Forest adalah danau, sungai, dan hutan yang
semuanya relative masih bebas dari polusi. Air dalam jumlah banyak diperlukan untuk
pabrik kertas. Pabrik kertas menggunakan kayu sebagai salah satu bahan bakunya. Forest
adalah daerah dengan penduduk 20.000 orang yang memiliki sifat independen dan
pekerja keras, sebagian dari mereka menolak pendirian pabrik kertas tersebut. Sebagai
masyarakat daerah tersebut sebanyak 8% adalah pengangguran yang sebagian besar
karena dampak PHK dari perusahaan di luar industry kertas yang di-PHK. Jika mereka
dipekerjakan di pabrik kertas yang akan didirikan maka mereka memerlukan pelatihan.
P. Bunyon, kepala daerah Forest, meminta perusahaan untuk menyampaikan
rencananya bulan depan. Angela Clark, Presiden dari St. Clark meminta Money,
controller perusahaan, untuk meneliti situasi dan menyampaikannya kasus yang ada. Mr.
Money diminta Menyusun proposal agar masyarakat dan pejabat di daerah tersebut
percaya bahwa pembangunan pabrik akan menguntungkan komunitas dan pemerintah
daerah tersebut. Dia ingin menyampaikan manfaat dan biaya yang ada, tetapi dia tidak
yakin dapat mengidentifikasi dan mengukur semuanya.
Untuk menyelesaikan masalahnya. Mr. Money harus membuat daftar mengenai
semua kontribusi dan kerugian dari rencana pembangunan pabrik kertas terlebih dahulu.
Kontribusi dan kerugian tersebut ada yang dapat dihitung atau dikuantitatifkan dan ada
yang tidak dapat dikuantitatifkan. Walaupun berisiko untuk membuat daftar mengenai
kerugian yang ada, tetapi lebih berisiko bila perusahaan tidak menyampaikannya. Semua
bisnis menimbulkan kerugian dan hal itu merupakan keinginan setiap orang untuk
mengetahui implikasi pembangunan pabrik kertas di Forest. Karena masalah polusi dan
keamanan di tempat kerja merupakan keputusan manajemen maka Mr. Money harus
dapat menjelaskan filosofi manajemen mengenai hal ini. Mr. Money harus dapat
menghitung efek yang ditimbulkan, jika mungkin. Jika efek tidak dapat dihitung,
minimal dapat dijelaskan. Manusia lebih menyukai penyampaian yang fair termasuk
perhitungan yang ada mengenai manfaat dan biaya, yang dapat mengarahkan pada
keputusan terbaik.

6. Case Study : Review Artikel Terbaru Terkait Topik


A. Identitas Jurnal
Judul URGENSI PENERAPAN PENDIDIKAN AKUNTANSI
BERBASIS AKUNTANSI SOSIAL DAN
LINGKUNGAN
Penulis Anisa Kusumawardani, Irwansyah, Ledy Setiawati,
Yoremia Lestari Ginting, dan Fibriyani Nur Khairin.
Tahun Terbit 2018
Penerbit Jurnal Ekonomi dan Keuangan Fakultas Ekonomi dan
BisnisUniversitas Mulawarman
Volume, Nomor Volume 2, Nomor 1
Reviewer Anggota Kelompok 10:
Ni Putu Eka Adnyani (2007531069/01)
Dea Ayu Heggar Rinjani Charal (2007531071/02)
B. Tujuan
Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus.
Objek Penelitian Objek penelitian ini merupakan perusahaan
pertambangan yang beroperasi di Kalimantan Timur.
Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa hasil
wawancara dengan informan dari perusahaan
pertambangan (khususnya) yang beroperasi di
Kalimantan Timur yang terikat dengan aturan.
C. Ringkasan Isi Jurnal
Pembahasan Kompetensi Akuntan Sosial dan Lingkungan
 Pertama, Kompetensi Fungsional
Kompetensi fungsional meliputi (a) kemampuan untuk
mengidentifikasi dan mengenali pendekatan dan
metode pelaporan CSR/Sustainability, dan (b)
pengetahuan tentang metodologi untuk penilaian
risiko keberlanjutan. Kompetensi ini sesuai dengan
pernyataan informan yang menjadi pelaku di bidang
pelaporan akuntansi keberlanjutan, dimana kompetensi
untuk mengidentifikasi informasi apa saja yang penting
untuk diungkapkan dalam laporan keberlanjutan
berdasarkan standar pelaporan yang menjadi acuan,
seperti GRI dan ISO 26000.
 Kedua, Kompetensi Personal atau Perilaku
Kompetensi Personal atau Perilaku meliputi (a)
Kemampuan untuk mengkomunikasikan isu
keberlanjutan dalam kaitannya dengan masyarakat dan
komunitas bisnis, (b) Mampu berpikir mandiri dan
kemampuan riset atas permasalahan yang terjadi.
Pentingnya kompetensi ini dimiliki akuntan seperti
yang diungkapkan seorang informan.
 Ketiga, Kompetensi Pengetahuan atau Kognitif
Suatu kesadaran akan permasalahan terkait regulasi
dan keprihatinan profesi tentang isu keberlanjutan baik
lokal maupun global. Harapan akan adanya kompetensi
ini dalam diri akuntan digambarkan melalui kesadaran
informandalampenelitianini akan perkembangan
socialdan
yangpesatdalam bidang akuntansi
lingkungan memunculkan dimensi kompetensi baru yang
dirasa penting untuk dimiliki para akuntan.
Keempat, Kompetensi Nilai atau Etika
Kompetensi ini berupa pemikiran strategis tentang isu
keberlanjutan mulai dari sudut pandang etika hingga isu-isu
strategis mengenai kontribusi organisasi
terhadap keberlanjutan kawasan lokal dan dunia.

D. Penutup
Kesimpulan Akuntan sangat berperan dalam proses penyusunan
dan pelaporan bisnis, mulai dari pelaporan keuangan
hingga pelaporan nonkeuangan seperti laporan
keberlanjutan, dengan kompetensi demikian akuntan
bisa mengukur dampak penerapan strategi
keberlanjutan pada kinerja ekonomi, social dan
lingkungan perusahaan dari tahun ke tahun. Lulusan
perguruan tinggi di bidang akuntansi memerlukan
personal/perilaku yang menunjukkan tentang
kemampuan akuntan untuk mengkomunikas ikan
program keberlanjutan perusahaan kepada masyarakat
dan mampu memberikan pemecahan masalah dengan
riset atas isu keberlanjutan tersebut.
Saran Perguruan Tinggi khususnya program studi akuntansi
perlu untuk segera melakukan peninjauan
kurikulum sarjana akuntansi dengan menambahkan
atribut kompetensi akuntansi social dan lingkungan
sehingga lulusan memiliki penguasaan dalam
pengetahuan dan pemahaman akuntansi social dan
lingkungan, ketrampilan dalam praktik pelaporan
keberlanjutan, dan mampu bersikap etis serta profesional
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, A. I. (2017). Akuntansi Keperilakuan, Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai