Anda di halaman 1dari 33

RINGKASAN MATA KULIAH

MATRIKULASI AKUNTANSI KEPRILAKUAN


ASPEK KEPERILAKUAN PADA AKUNTANSI SOSIAL, ASPEK KEPERILAKUAN
PADA ETIKA AKUNTAN, SERTA ASPEK DALAM PEMBUATAN KEPUTUSAN
KELOMPOK

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
Ni Pt Erlin Cahyani Putri 2381611016
Kadek Putri Pramesti Indriani 2381611021
I Kadek Cesin Dwi Murthi Prayoga 2381611025
Ni Made Dwi Pratiwi Sura 2381611027
Ni Made Ariesta Aprilia Mentari 2381611030
Dewa Ayu Ratih Adi Wulandari 2381611035

DOSEN PENGAMPU

Dr. I Nyoman Wijana Asmara Putra, S.E., Ak., M.Si.

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
ASPEK KEPERILAKUAN PADA AKUNTANSI SOSIAL

1.1 DEFINISI AKUNTANSI SOSIAL


Akuntansi sosial dapat didefinisikan sebagai seperangkat aktivitas organisasi yang
berkaitan dengan pengukuran organisasi dan pelaporan hasil kepada kelompok yang
berkepentingan di dalam maupun di luar organisasi. Secara garis besar aspek akuntansi sosial
terdiri dari lingkungan, tenaga kerja, dan masyarakat di sekitar perusahaan. Aspek tersebut
dapat dibedakan antara yang dapat diukur secara moneter dan yang tidak dapat diukur secara
moneter. Beberapa aspek akuntansi pertanggungjawaban sosial yang dapat diukur secara sosial
juga terdapat dalam akuntansi konvensional.
Walaupun akuntansi sosial berfokus pada kinerja pemerintah dan pelaku bisnis, namun
saat ini akan berkonsentrasi pada akuntansi sosial sebagaimana diterapkan pada kegiatan
bisnis. Dalam hal ini akuntansi sosial berarti mengidentifikasi, mengukur dan melaporkan
hubungan antara bisnis dan lingkungannya. Laba neto telah dianggap secara tradisional sebagai
kontribusi perusahaan kepada komunitas. Akuntansi sosial memandang kontribusi sosial suatu
perusahaan dengan memadai, biaya atau laba harus dimasukkan. Laba hanya ada karena
beberapa biaya sosial seperti polusi air tidak dimasukkan dalam perhitungan laba perusahaan
tersebut.
1.2 AKUNTANSI BIAYA DAN MANFAAT SOSIAL
Akuntansi sosial berkepentingan dengan identifikasi dan pengukuran manfaat sosial dan
biaya sosial. Untuk memahami perkembangan akuntansi sosial, seseorang harus mengetahui
bagaimana manfaat dan biaya sosial telah diberlakukan di masa lalu. Pada awal tahun 1900,
para ekonom telah mencoba untuk memasukkan manfaat dan biaya sosial dalam model teori
ekonomi mikro neoklasik. Beberapa gerakan massa pada tahun, 1900-an terutama yang
ditujukan untuk membuat pemerintah dan bisnis lebih responsif terhadap kebutuhan
masyarakat memiliki andil dalam memfokuskan perhatian pada biaya dan manfaat sosial.
Pada tahun 1960-an, juga terdapat pertumbuhan dalam gerakan lingkungan ketika lebih
banyak orang menyadari dampak dari industrialisasi pada kualitas udara tanah dan air. Undang-
undang disahkan untuk melindungi sumber daya alam ini dan mengendalikan pembuangan
limbah beracun. Para pelaku bisnis di minta untuk mengendalikan emisi polusi dan bekerja
sama dengan pemerintah untuk mengembangkan dan menerapkan rencana untuk mengurangi
polusi. Kelompok-kelompok konsumen berusaha untuk membuat para pelaku bisnis dan
produk-produk mereka lebih responsif terhadap kebutuhan konsumen. Usaha-usaha dilakukan
untuk membuat produk-produk yang berbahaya atau tidak sehat diperbaiki atau ditarik dari
pasar.
Fase-Fase Perkembangan Akuntansi Sosial
A. Fase Pertama Howard Bowen
Howard Bowen (1908-1989) adalah seorang historian ekonom Amerika yang
memberikan inspirasi kemunculan akuntansi sosial dan lingkungan. Bowen mengawali
karirnya di University of Iowa, hingga keposisi the presiden of Grinnell College, the University
of Iowa. Kontribusi Bowen adalah dengan publikasi buku dengan judul Social Responsibility
of Businessmen tahun 1953. Bowen (1953) meletakan dasar konsep ini dengan mengatakan:
“mengacu pada kewajiban pengusaha untuk mengejar kebijakan tersebut, untuk membuat
keputusan itu, atau mengikuti garis tindakan yang ada diinginkan dalam hal tujuan dan nilai-
nilai masyarakat kita”. Kemudian secara kolektif dijadikan landasan awal mendefinisikan
tanggungjawab sosial bagi kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang
selaras dengan tujuan (objectives) dan nilai-nilai masyarakat (Society values). Konsep ini
merontokan paham ekonomi yang dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh
hasil yang sebesar-besarnya.
B. Fase Kedua Keith Davis
Menyambung apa yang digagas oleh Bowen (1953), Davis (1960) memperkenalkan
tulisnya tentang Can Business Afford to Ignore its Social Responsibilities? Davis secara tajam
berpandangan bahwa tanggungjawab sosial harus dimiliki oleh organisasi. Davis menegaskan
adanya tanggung jawab sosial organisasi di luar tanggung jawab ekonomi semata. Argumen
Davis menjadi sangat relevan, karena pada masa tersebut (1960an) pandangan mengenai
tanggung jawab sosial organisasi masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik.
Pada saat itu, para ekonom klasik memandang para pelaku bisnis itu memiliki tanggung jawab
sosial sebatas penggunaan sumber daya organisasi mereka secara efisien, untuk menghasilkan
barang dan jasa dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Tanggung jawab sosial mereka
sebatas masyarakat dapat membeli dengan harga yang telah diciptakan secara efisien. Bila hal
tersebut berjalan dengan baik maka organisasi akan mendapatkan keuntungan atas penjualan
dan kemudian organisasi akan mampu melakukan tanggung jawab sosialnya, seperti:
1. Menciptakan lapangan kerja.
2. Memberi kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak.
3. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional.
C. Fase Ketiga US Committee for Economic Development in 1971
Committee for Economic Development (CED) adalah organisasi non-profit dan nonpartisan
Amerika yang beranggotakan 200 senior corporate executives dan pemimpin universitas
terkemuka membuat laporan sangat fenomena tahun 1971 berjudul Social Responsibilities of
Business Corporations. Laporan tersebut menggunakan three concentric circles yaitu:
1. Lingkaran dalam termasuk fungsi ekonomi dasar-pertumbuhan, produk, pekerjaan.
2. Lingkaran perantara menyarankan bahwa fungsi ekonomi harus dilaksanakan dengan
kesadaran yang peka akan mengubah nilai dan prioritas sosial.
3. Lingkaran luar menguraikan yang baru muncul dan masih diam dalam tanggung jawab
yang harus dipikul oleh bisnis untuk lebih aktif terlibat dalam perbaikan sosial lingkungan.
Carroll (1979) menjelaskan komponen-komponen tanggungjawab sosial organisasi bisnis ke
dalam empat kategori, yaitu:
1. Economic responsibilities, tanggungjawab sosial pada kategori ini berlandaskan bahwa
motif profit adalah motif utama dalam membangun organisasi bisnis. Organisasi bisnis
pada dasarnya adalah tanggungjawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri atas
aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat yang
menguntungkan.
2. Legal responsibilities, tanggungjawab organisasi dalm menjalankan bisnis yaitu dengan
menaati hukum dan peraturan yang berlaku di mana hukum dan peraturan tersebut pada
hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif. Tanggungjawab legal ini
adalah koridor dan sistem untuk mengatur organisasi dalam berbisnis.
3. Ethical responsibilities, organisasi diharapkan menjalankan bisnisnya secara etis dan
norma moral masyarakat. Masing-masing pihak dalam menjalankan bisnis diatur standar,
etika, norma agar masing-masing puas dalam berbisnis.
4. Discretionary responsibilities, tanggungjawab ini bersumber pada pandangan bahwa
keberadaan dari organisasi diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Ekspektasi
masyarakat tersebut dipenuhi oleh organisasi melalui berbagai program yang bersifat
Filantropis (kedermawanan).
D. Fase Keempat Mandatori Regulasi Perancis Pertama di Dunia
Davis (1960) kemudian mempertegas argumennya dengan statemen tentang iron law of
responsibility yang menjadi fase ini tumbuh sebagai penyemangat kemunculan akuntansi sosial
dan lingkungan. Davis menyatakan bahwa: “tanggung jawab sosial pengusaha perlu sepadan
dengan kekuatan sosial mereka. maka penghindaran tanggung jawab sosial mengarah ke erosi
bertahap dari kekuatan sosial.” Argumen-argumen yang dibangun oleh Davis, menjadi cikal
bakal untuk identifikasi kewajiban organisasi bisnis yang akan mendorong munculnya konsep
akuntansi sosial dan lingkungan di era 70-an. Selain itu, konsepsi Davis mengenai iron law of
responsibility menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan
suatu organisasi. Negara Amerika lebih dulu mengembangkan tanggungjawab ini, kendatipun
regulasi belum dilaksanakan secara mandatory. Beberapa Negara seperti German dan Eropa
Barat kemudian mengikuti mengadopsi regulasi yang pertama dilakukan oleh Amerika tentang
laporan tanggungjawab sosial (Social Responsibility Reporting) (Preston, et.al 1978). Perancis
adalah Negara yang pertama pada tahun 1977 mewajibkan organisasi bisnis untuk melaporkan
kegiatan tanggungjawab sosialnya. Fase ini membawa perubahan yang sangat mendasar
tentang beberapa persyaratan detail tentang pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan.
Kendatipun hal ini masih terbatas di Perancis, tetapi regulasi ini menjadi dasar kajian beberapa
Negara maju untuk mulai memikirkan tentang implementasi akuntansi sosial dan lingkungan.
E. Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis
Runtuhnya ekonomi sosialis yang disongsong dengan ekonomi neo 5ocial5ism yang
konservatif pada tahun 1980an mengakibatkan stagnan pengembangan akuntansi 5ocial dan
lingkungan. Propaganda kedermawanan para pemilik perusahaan besar mulai mengatur strategi
baru untuk ekstra hati-hati terhadap pengeluaran dana mereka. Para pemegang saham
perusahaan besar mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap tanggungjawab 5ocial
mereka. Apalagi pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi dengan kinerja perusahaan-
perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM, General Motors dan Westinghouse di
Amerika. Saat bersamaan pula terjadinya skandal keuangan oleh antara lain Maxwell dan Adir
di UK, hal ini berakibat munculnya regulasi tentang corporate governance yang mengutamakan
para pemegang saham. Ini berdampak ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi
bisnis besar dunia. Sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang
ketat, konsep dan kerangka model akuntansi 5ocial dan pelaporannya tetap berjalan. Hanya
pada masa ini beberapa konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut
adalah Socially Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan pada umumnya di UK.
F. Fase Keenam Balance Scorecard
Runtuhnya ekonomi sosialis yang disongsong dengan ekonomi neo liberalisme yang
konservatif pada tahun 1980an mengakibatkan stagnan pengembangan akuntansi sosial dan
lingkungan. Propaganda kedermawanan para pemilik perusahaan besar mulai mengatur strategi
baru untuk ekstra hati-hati terhadap pengeluaran dana mereka. Para pemegang saham
perusahaan besar mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap tanggungjawab sosial
mereka. Apalagi pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi dengan kinerja perusahaan-
perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM, General Motors dan Westinghouse di
Amerika. Saat bersamaan pula terjadinya skandal keuangan oleh antara lain Maxwell dan Adir
di UK, hal ini berakibat munculnya regulasi tentang corporate governance yang mengutamakan
para pemegang saham. Ini berdampak ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi
bisnis besar dunia. Sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang
ketat, konsep dan kerangka model akuntansi sosial dan pelaporannya tetap berjalan. Hanya
pada masa ini beberapa konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut
adalah Socially Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan pada umumnya di UK.
Fase ini merupakan bentuk kombinasi finansial dan non-finansial dalam menilai kinerja
organisasi. Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Schneiderman, yang kemudian
didesain ulang secara komprehensif oleh Kaplan dan Norton (1990). Akuntansi sosial dan
lingkungan mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan Balance Scorecard. Ke empat
perspektif sangat fenomenal tersebut adalah
1. Finansial: mendorong identifikasi beberapa ukuran finansial tingkat tinggi yang relevan.
Secara khusus, desainer didorong untuk memilih ukuran yang membantu
menginformasikan menjawab pertanyaan "Bagaimana pandangan kita terhadap pemegang
saham?"
2. Pelanggan: mendorong identifikasi tindakan yang menjawab pertanyaan "Bagaimana
pelanggan melihat kami?"
3. Proses Bisnis Internal: mendorong identifikasi tindakan yang menjawab pertanyaan "Apa
yang harus kita kuasai?"
4. Pembelajaran dan Pertumbuhan: mendorong identifikasi langkah-langkah yang menjawab
pertanyaan "Bisakah kita terus meningkatkan dan menciptakan nilai?". Awal tahun 1990an
merupakan booming model pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan dengan
memanfaatkan konsep Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar di Amerika dan Eropa
menggunakan konsep ini agar mereka mampu mengekspresikan kepedulian organisasinya
kepada stakeholdernya.
G. Fase Ketujuh Robert Hugh Gray
Kontribusi Gray (1992) untuk pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan tidak
diragukan lagi. Publikasinya telah mewarnai konsep akuntansi sosial dan lingkungan hingga
gagasan accounting for sustainability. Gray (1993) mengidentifikasikan warna yang beda
terhadap metode akuntansi sustainabilitas. Metode tersebut adalah:
1. Sustainable Cost, metode ini memberikan penekanan pada biaya yang harus dikeluarkan
oleh organisasi pada akhir periode akuntansi, untuk mengembalikan dampak lingkungan
hidup seperti posisi semula.
2. Natural Capital Inventory Accounting, metode ini memberikan perhatian serius terhadap
keberadaan Modal Alam (Natural Capital), sebagai penyertaan yang selalu ada.
3. Input – Output Analysis, metode ini melaporkan arus fisik pemanfaatan material dan
energy dan keluar atas produk dan barang sisa dalam unit. Pada Fase ini, pemahaman
akuntansi sosial dan lingkungan secara khusus didesain secara quantitative dalam bentuk
nilai moneter, sebagaimana melengkapi akuntansi konvensional selama ini
H. Fase Kedelapan John Elkington’s Triple Bottom Line
Elkington (1997) adalah peletak dasar konsep triple bottom line. Konsep ini memberikan
inspirasi lebih serius tentang perluasan akuntansi konvensioanl yang single bottom line, yaitu
keuangan saja. Istilah Triple Bottom Line menjadi penting saat people, planet dan profit
ditawarkan menjadi konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial dan lingkungan.
1. Profit (Keuntungan perusahaan) Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari
keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2. People (Kesejahteraan manusia/masyarakat) Perusahaan harus memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program
Corporate Social Responsibility seperti pemberian beasiswa bagi pelajar di sekitar
perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi
lokal dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial
bagi warga setempat.
3. Planet (Keberlanjutan lingkungan hidup) Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup
dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program Corporate Social Responsibility
yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup,
penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman dan pengembangan pariwisata.
Triple bottom line dengan triple P dapat disimpulkan bahwa profit sebagai wujud aspek
ekonomi, planet sebagai wujud aspek lingkungan dan people sebagai aspek sosial. Dan jika
dirinci lebih lanjut dari ketiga aspek Tripple Bottom Line, maka ketiga aspek tersebut dapat
diwujudkan dalam kegiatan berikut:
1. Aspek Sosial, misalnya: pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan,penguatan
kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan sosial,
olahraga pemuda, wanita, agama, kebudayaan dan sebagainya.
2. Aspek Ekonomi, misalnya: kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit mikro kecil
dan menegah, agrobisnis, pembukaan lapangan pekerjaan, infrastruktur ekonomi dan
usaha produktif lain.
3. Aspek Lingkungan, misalnya: penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air, pelestarian
alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pegendalian polusi, serta penggunaan produksi
dan energi secara efisien.
I. Fase Kesembilan Sustainability Reporting
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Elkington (1997), Coalition for
Environmentally Responsible Economies dan the United Nations Environment Programmes
(UNEP) mendirikan GRI (Global Reporting Initiative), organisasi independen yang
membangun standar Sustainability Reporting. Guideline GRI pertama dikeluarkan tahun 1999
(GRI, 1997). GRI mengidentifikasikan 6 (enam) ekstra-indikator keuangan: aspek
kemasyarakatan, ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, tanggungjawab
produk. Hingga sekarang GRI telah mengeluarkan pedoman generasi ke 3 (G3 GRI) pada tahun
2006. Fase ini membawa perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan menjadi lebih baik
dan menjadi pola adopsi yang cukup luas. Model pelaporan GRI G3 ini menginspirasi model
pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan sebagai alternatif pelaporan akuntansi
konvensional. Model GRI ini disimpulkan dengan tanpa kehadiran aspek spiritual, yang
banyak ahli dari banyak lintas disiplin ilmu, mempunyai banyak terobosan pelaporan
komprehensif aktivitas bisnis, kendatipun tanpa aspek spiritual ada di dalamnya.
J. Fase Kesepuluh Sosio-Spiritualitas Akuntansi
Akuntansi telah memasuki fenomena baru beyond materiality. Akhir tahun 2000, Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya memperkenalkan pemahaman akuntansi
tidak hanya terbatas pada angka moneter dan tabel jurnal transaksi ekonomi, tetapi juga
memperkenalkan relasi spiritualitas dan metafisika. Spiritualitas dipahami bahwa setiap
individu dan organisasi (kelompok orang) mempunyai tanggungjawab membangun peristiwa-
peristiwa ekonomi, sosial dan lingkungan dalam organisasi nya yang direlasikan dengan holy
spirit. Holy spirit merupakan bentuk berbasis religiusitas dan universalitas. Pada pembahasan
ini lebih diutamakan holy spirit dalam bentuk universalitas yang dapat dimaknai dengan kasih
yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran transcendental, mampu
melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran. Lima dimensi ini adalah indikator utama dalam
proses pertanggungjawaban individu dan organisasi disekelilingnya. Sosio-Spiritualitas
Akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan holy spirit dalam mengkreasi dan
melaksanakan pertanggungjawaban terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi, sosial dan
lingkungan dalam kesatuan organisasi. Fase Kesepuluh ini, JAUB mengajak dunia Akuntansi
sadar akan nilai-nilai diatas materialitas (beyond materiality). Sosio Spiritual Akuntansi hadir
untuk mengkodifikasi kinerja individu dan organisasi pada ke 5 (lima) unsur holy spirit tersebut
yang dilaporkan secara periodik kepada stakeholders.

1.3 AKUNTANSI BIAYA DAN MANFAAT SOSIAL


Dasar bagi kebanyakan teori akuntansi datang dari analisis yang dilakukan oleh Pigou
(1948) terhadap biaya dan manfaat sosial. Fakta bahwa seseorang rela membayar lebih dari
harga yang diminta oleh produsen untuk suatu produk mengindikasikan adanya manfaat sosial.
Pigou menyebut seluruh manfaat dari produksi suatu produk tanpa memedulikan siapa yang
menerimanya sebagai manfaat sosial. Perbedaan antara manfaat sosial dengan manfaat pribadi
yaitu pada sisi ekonomi eksternal dan elemen surplus konsumen.
Bagi Pigou, biaya sosial terdiri atas seluruh biaya untuk menghasilkan suatu produk,
tanpa memedulikan siapa yang membayarnya. Biaya yang dibayarkan oleh produsen disebut
sebagai biaya pribadi. Selisih antara biaya sosial dan biaya pribadi dapat disebabkan
oleh banyak faktor. Perusahaan yang menimbulkan polusi mengenakan biaya kepada
masyarakat, tetapi perusahaan tersebut tidak membayar biaya tersebut kepada masyarakat.
Hal ini disebut dengan non-ekonomi eksternal. Suatu situasi dimana seorang pekerja menderita
sakit akibat pekerjaannya dan tidak memperoleh kompensasi penuh dapat dianggap sebagai
suatu eksploitasi terhadap faktor produksi. Ketika akuntan mengukur manfaat pribadi
(pendapatan) dan biaya pribadi (beban) serta mengabaikan yang lainnya, mereka bersikap
konsisten dengan teori ekonomi tradisional. Gerakan ke arah akuntansi sosial, sebagian
besar, terdiri atas usahausaha untuk memasukkan biaya sosial dan biaya sosial yang tidak
terbagi ke dalam model akuntansi.
a) Pengukuran
Salah satu alasan utama lambatnya kemajuan akuntansi sosial adalah kesulitan
dalam mengatur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut terdiri atas tiga langkah, yaitu:
mementukan apa yang menyusun biaya dan manfaat sosial, mencoba untuk
menguantifikasi seluruh pos yang relevan, serta menempatkan nilai moneter pada
jumlah akhir.
b) Menentukan Biaya dan Manfaat Sosial
Memutuskan apa yang merupakan biaya dan manfaat sosial adalah bukan hal yang
mudah. Hal tersebut tidak hanya melibatkan definisi yang tepat dari biaya dan manfaat
sosial, tetapi juga pemahaman mengenai berbagai sistem nilai. Sistem nilai masyarakat
merupakan faktor penentu penting dari manfaat dan biaya sosial. Dengan
mengasumsikan bahwa masalah nilai dapat diatasi dengan menggunakan beberapa
jenis standar masyarakat, masalah berikutnya adalah mengidentifikasi kontribusi dan
kerugian secara spesifik. Cara lain untuk mengidentifikasi asal biaya dan manfaat
sosial dalah dengan memeriksa proses distribusi dan produksi perusahaan individu
guna mengidentifikasi bagaimana kerugian dan kontribsi serta menentukan bagaimana
hal itu terjadi.
c) Kuantifikasi Biaya dan Manfaat
Ketika aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial ditentukan dan kerugian
serta kontribusi tertentu diidentifikasi, maka dampak terhadap manusia dapat dihitung.
Untuk mengukur kerugian dibutuhkan informasi mengenai variabel utama, yaitu waktu
dan dampak
1. Waktu
Beberapa peristiwa yang menghasilkan biaya sosial membutuhkan waktu
beberapa tahun untuk menimbulkan suatu akibat. Dalam hal pengukuran, adalah
penting untuk menentukan lamanya waktu tersebut. Dampak jangka panjang
sebaiknya diberikan bobot yang berbeda dengan dampak jangka pendek.
2. Dampak
Orang-orang dapat dipengaruhi secara ekonomi, fisik, psikologis, dan sosial oleh
berbagai kerugian. Untuk mengukur biaya sosial tersebut, maka perlu untuk
mengidentifikasi kerugian tersebut dan mengantifikasinya. Ketika tugas ini telah
diselesaikan, usaha dapat dilakukan untuk menguantifikasi kerugian dari perspektif
masyarakat. Biaya dari dampak kerugian ini dapat dibagi menjadi empat, yaitu biaya
ekonomi, kerugian fisik, kerugian psikologis, dan kerugian sosial.

1.4 PELAPORAN KINERJA SOSIAL


a) Audit Sosial
Audit sosial merupakan suatu proses dimana organisasi dapat menentukan kewajaran
kinerja sosial, melaporkan, dan mengembangkan kinerjanya. Audit sosial mengukur
dampak sosial dan perilaku relasi perusahaan. Audit sosial diharapkan dapat
dipergunakan untuk menilai dampak sosial dari kegiatan perusahaan, mengukur
efektifitas program perusahaan yang bersifat sosial dan melaporkan sampai seberapa
jauh perusahaan memenuhi tanggung jawab sosialnya.
b) Model Laporan Sosial
Secara umum, praktik masyarakat tentang model audit sosial yang berkembang
dalam masyarakat dapat dilihat dari model laporan Beechwood, Body Shop, Traidcraft,
LHTD, Cooperative Bank, dan APSO. Persamaan dari semua model tersebut adalah
tahapan pelaksanaan audit pertanggungjawaban sosial adalah menjelaskan tujuan,
mengidentifikasi stakeholder dalam kepentingannya, memperhatikan kepentingan
stakeholder dan melihatnya sebagai pusat audit pertanggungjawaban sosial, melakukan
verifikasi dari pihak internal dan eksternal yang independen, mengungkapkan penilaian
kinerja kepada stakeholder dan publik, menilai kembali tujuan, dan aktivitas perusahaan.
c) Pengungkapan Laporan Tahunan
Riset yang dilakukan oleh Henny dan Murtanto (2001) menunjukkan bahwa
pengungkapan 14ocial oleh perusahaan di Indonesia 14ocial14n masih sangat rendah.
Hal ini diduga disebabkan karena perusahaan belum memanfaatkan laporan tahunan
sebagai media komunikasi antara perusahaan dan pemangku kepentingan. Kemungkinan
lain adalah bahwa perusahaan hanya memanfaatkan laporan tahunan sebagai laporan
kepada pemegang saham dan kreditor atau sebagai informasi bagi calon investor. Padahal
sebenarnya terdapat dua aspek yang sering dijadikan bahan analisis oleh para investor
dalam pengambilan keputusan investasinya, yaitu faktor teknikal dan faktor fundamental.

1.5 DILEMA PERUSAHAAN


Siegel dan Marconi mengemukakan sosial bisnis yang berhubungan akuntasi sosial
dengan kasus perusahaan kertas. Perusahaan St. Clark company merupakan perusahaan yang
bekerja di bidang produksi kertas dan bubur kayu (pulp), memutuskan untuk menggunakan
propertinya di Forest, Wiconsin, Amerika Serikat, untuk membangun pabrik kertas.
Lingkungan di sekitar Forest adalah danau, sungai, dan hutan yang semuanya relative masih
bebas dari polusi. Air dalam jumlah banyak diperlukan untuk pabrik kertas. Pabrik kertas
menggunakan kayu sebagai salah satu bahan bakunya. Forest adalah daerah dengan penduduk
20.000 orang yang memiliki sifat independen dan pekerja keras, sebagian dari mereka menolak
pendirian pabrik kertas tersebut. Sebagai masyarakat daerah tersebut sebanyak 8% adalah
pengangguran yang sebagian besar karena dampak PHK dari perusahaan di luar industry kertas
yang di-PHK. Jika mereka dipekerjakan di pabrik kertas yang akan didirikan maka mereka
memerlukan pelatihan.
P. Bunyon, kepala daerah Forest, meminta perusahaan untuk menyampaikan rencananya bulan
depan. Angela Clark, Presiden dari St. Clark meminta Money, controller perusahaan, untuk
meneliti situasi dan menyampaikannya kasus yang ada. Mr. Money diminta Menyusun
proposal agar masyarakat dan pejabat di daerah tersebut percaya bahwa pembangunan pabrik
akan menguntungkan komunitas dan pemerintah daerah tersebut. Dia ingin menyampaikan
manfaat dan biaya yang ada, tetapi dia tidak yakin dapat mengidentifikasi dan mengukur
semuanya.
Untuk menyelesaikan masalahnya. Mr. Money harus membuat daftar mengenai semua
kontribusi dan kerugian dari rencana pembangunan pabrik kertas terlebih dahulu. Kontribusi
dan kerugian tersebut ada yang dapat dihitung atau dikuantitatifkan dan ada yang tidak dapat
dikuantitatifkan. Walaupun berisiko untuk membuat daftar mengenai kerugian yang ada, tetapi
lebih berisiko bila perusahaan tidak menyampaikannya. Semua bisnis menimbulkan kerugian
dan hal itu merupakan keinginan setiap orang untuk mengetahui implikasi pembangunan pabrik
kertas di Forest. Karena masalah polusi dan keamanan di tempat kerja merupakan keputusan
manajemen maka Mr. Money harus dapat menjelaskan filosofi manajemen mengenai hal ini.
Mr. Money harus dapat menghitung efek yang ditimbulkan, jika mungkin. Jika efek tidak dapat
dihitung, minimal dapat dijelaskan. Manusia lebih menyukai penyampaian yang fair termasuk
perhitungan yang ada mengenai manfaat dan biaya, yang dapat mengarahkan pada keputusan
terbaik.
ASPEK KEPERILAKUAN PADA ETIKA AKUNTAN

2.1 DILEMA ETIKA


Akuntan di dalam aktivitas auditnya memiliki banyak hal yang harus dipertimbangkan
karena auditor mewakili banyak konflik kepentingan yang melekat dalam proses audit (built in
conflict of interest). Konflik ini akan menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan
membuat keputusan yang menyangkut independensi dan integritasnya dalam imbalan
ekonomis yang mungkin dijanjikan di sisi lain. Karena auditor seharusnya secara sosial juga
bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan
dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata, sering kali diharapkan
pada dilemma etika dalam pengambilan keputusannya.
Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam
situasi pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis. Situasi tersebut terbentuk karena
dalam konflik terdapat ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor,
sehingga auditor dihadapkan kepada pilihan keputusan antara yang etis dan tidak etis.
2.2 MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS
Banyak sumber berbeda telah menyajikan landasan konseptual tentang besaran riset
perilaku etis akuntan, misalnya saja kerangka kerja teoritis tentang pengambilan keputusan etis
dipinjam dari psikologis sosial, selalin itu model tersebut telah dikembangkan dalam
paradigma akuntansi.
1. Teori Penalaran Moral dari Kholberg
Landasan dari mayoritas studi akuntansi yang dicurahkan pada perilaku etis akuntan
adalah psikologi moral reasoning. Suatu teori kognitif tentang proses pengambilan
keputusan manusia mendahului perilaku etis. Psikologi dari moral reasoning menjelaskan
proses ini dan menganalisis keadaaan pikiran individu ketika membuat keputusan etis.
Etika atau moral reasoning berbeda dengan proses mental lainnya dalam 3 aspek, yaitu:
a. Kognisi yang didasarkan pada nilai dan bukan pada fakta yang nampak.
b. Keputusan yang didasarkan ada beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan
orang lain
c. Keputusan yang dibangun diseputar isu ‘keharusan’, dan bukan pada peringkat
preferensi atau kesukaan sederhana.
2. Ukuran Moral Reasoning
Wawancara penilaian moral (moral judgement interview-MJI), yang dikembangkan
oleh Kholberg dan koleganya, melibatkans erangkaian paradigm tersetandarisasi yang
membutuhkan individu untuk memecahkan dilemma moral. Sebuah metode penilaian
elaborative digunakan untuk menganalisis masing-masing protokol verbal individu
terhadap resolusi dari berbagai dilema, sehingga menghasilkan sebuah skor tunggal.
Sebagai alternatif dari MII, Rest mengembangkan pengujian definisi masalah (definition
of issue test – DIT), yang berupa kuisoner pilihan ganda yang dikerjakan sendiri dengan
memberikan ukuran objektif Eropa dalam memahamidistribusi kemampuan etis (bukan
berupa skor tunggal). DIT menampilkan subjek dengan enam sekenario hipotesis, masing
masing berhubungan dengan dilemma etika. Dalam merespon terhadap masing masing
konflik, subjek diminta.
3. Pendekatan Kognitif Lingkungan terhadap Pengembalian Keputusan Etis
Ketika banyak riset yang berhubungan dengan perilaku etis individual untuk mengukur
tingkat moral reasoning individual, telah berkembang pendekatan tambahan yang
membahas komponen lain dari model riset. Misalnya, mereka menyebutnya skala etis
multidimensional (sem) sebagai ukuran kesadaran modal, yang merupakan komponen
pertama dari model riset dan menghubungkan teori perencanaan perilaku dengan
komponen lain. Reidenach mengembangkan sem untuk fokus pada dinamika pengambilan
keputusan yang melibatkan perilaku etis yang belum diselidiki. Delapan skala likert yang
bipolar dibagi kedalam tiga dimensi, yaitu keadilan moral, relativisme dan kontraktualisme,
yang dimasukkan dalam ukuran. Skenario etis degunakan dengan memasukkan deskripsi
atas situasi tunggal sepanjang 100 kata. Flory et al, menggunakan SEM untuk mengkaji
respon etis terhadap 300 akuntan manajemen yang bersertifikat terhadap empat skenario
manajemen laba. Tujuan utama dari studi tersubut adalah memvalidasi penggunaan SEM
dalam konteks akuntansi. Ketika tujuan ini dicapai, gambaran yang ditampilkan tidak
mendukung variabilitas antar subjek, sehingga menghasilkan perhatian pada validasi
eksternal. Cohen kemudian memperluas riset Reidabach dan Robin terhadap situasi
multinasional. Hasil untuk sampel subjek di negara-negara Amerika Serikat dan lainnya
menunjukkan munculnya konflik tambahan yaitu utilitarianisme yang penting dalam
pengambilan keputusan etis. Sementara SEM dikritik sebagai gagal untuk memasukkan
kerangka kerja psikolog dalam proses ethical reasoning Flory merespon dengan
menunjukkan bagaimana ukuran ini secara teoritis berbeda dari karya pengembangan moral
Kolhberg dan Rest, serta bahwa ukuran ini mungkin menjadi alat yang lebih baik untuk
memahami proses moral reasoning akuntan.
4. Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis
Noreen (1988), memperluas teori agensi dengan membahas ekonomi etis dalam
konteks kontrak. Didasarkan pada minat individual, dia menyatakan aksi yang paling
menguntungkan. Terdapat model pengambilan keputusan etis lain yang dikembangkan
secara spesifik untuk profesi akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi dimana
auditor dianggap melanggar kode etik dan perilaku profesional AICPA, lampe dan finn
membuat model dari proses keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elimen
(pemahaman keuntungan, pengendalian dampak, keputusan lain, penilaian lain, dan
pengambilan keputusan final) untuk dibandingkan dengan model yang berbasis kode etik
dan perilaku profesional AICPA. Dalam mengomentari keadaan riset saat ini dalam
paradigma etika akuntansi, Machintosh yang mengadopsi perspektif filosofi sosial,
menyatakan bahwa riset saat ini menekankan suatu perspektif yang hanya mengukur
penerimaan sosial, dan bukannya perspektif etis yang sesungguhnya. Ia menyatakan bahwa
sementara riset sekarang menggunakan ukuran etis alternatif, orang berperilaku agak etis
atau kurang etis, ini adalah masalah ini atau itu
2.3 RISET PERILAKU ETIS AKUNTAN
Bagian berikut mendefinisikan dan menjelaskan empat area riset akuntansi utama yang
menyelidiki tingkat moral reasoning akuntan dan perilaku yang berhubungan, yaitu studi
pendidikan etika, studi pengembangan etika, studi penilaian etika, dan studi etika lintas budaya.
Studi pendidikan etika menyelidiki apakah pendidikan memengaruhi keahlian moral reasonig
siswa dalam program akuntansi. Studi pengembangan etika berusaha meningkatkan poin kerier
mereka. Studi penilaian etika mengkaji hubungan antara ukurn moral reasoning dengan
perilaku spesifik dalam akuntansi, auditing, atau perpajakan. Terakhir, studi etika lintas budaya
menyelidiki perbedaan dalam keahlian moral reasoning dan/atau keputusan etika akuntan dari
belahan dunia yang berbeda.
1. Studi Pendidikan Etika
Studi pendidikan etika berusaha menentukan efek pendidikan terhadap keahlian moral
reasoning dari para praktisi dan mahasiswa akuntansi. Sementara hasil dari banyak studi
umumnya telah menunjukkan bahwa pendidikan kampus secara positif berhubungan
dengan pengaruh tingkat moral listening individual, temuan dalam ranah akuntansi telah
menunjukkan bahwa akuntan pada umumnya tidak mengalami kemajuan pada tingkat
perkembangan moral sama seperti lulusan kampus lainnya. Beberapa studi representatif
yang membahas masalah ini dibahas di bagian berikutnya.
a. M. Armstrong (1987)
Satu studi pertama yang menyelidiki hubungan antara perkembangan moral dan
riset perilaku dilakukan oleh M. Armstrong (1987). Tingkat moral reasoning dari CPA
dibandingkan dengan mahasiswa yang sudah dan belum lulus. Pengarang
menyampaikan bahwa pendidikan akuntansi memasukkan lebih banyak diskusi moral,
sehingga akuntan dapat mencapai tingkat moral reasoning yang serupa dengan lulusan
kampus lain.
b. Ponemon dan Glazer (1990) serta Jeffrey (1993)
Memperluas penyelidikan ke dalam tingkat moral reasoning akuntan dengan
membandingkan mahasiswa dan alumni untuk dua lembaga pendidikan yang terletak
di daerah timur Amerika Serikat. Penemuan menunjukkan bahwa perkembangan etika
mahasiswa akuntansi lebih tinggi dari pada perkembangan etika mahasiswa dalam
divisi yang lebih rendah dengan mahasiswa akuntansi senior menampilkan tingkat
tertinggi.
c. St. Pierre, Nelson dan Gabbin (1990)
Mengkaji hubungan tingkat moral reasoning. Ukuran lain yang dikumpulkan
berkaitan dengan subjek adalah jurusan, gender, dan paparan awal terhadap etika dalam
kurikulum formal. Temuan menunjukkan bahwa mahasiswa dalam tiga jurusan non
bisnis mempunyai skor DIT yang tinggi dibandingkan dengan jurusan bisnis.
d. Ponemon (1993)
Mengkaji pengaruh intervensi etika terhadap perkembangan perilaku etis
mahasiswa akuntansi. Intervensi etika tersebut didasarkan pada tinjauan dan diskusi
kusus etika setelah kerangka kerja pendidikan sudah diketahui dalam sepuluh minggu
pertama dari satu semester.
e. M. Armstrong (1993)
Menampilkan hasil pra dan pascapengujian dari pengembangan moral untuk siswa
yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalisme di universitas yang didukung
oleh negara bagian Amerika Serikat.
f. Lampe (1994)
Menyampaikan hasil dari studi akuntansi logitudinal tingkat mahasiswa
sehubungan dengan moral reasoning di Universitas Southwestern, Amerika Serikat.
Selama jangka waktu empat tahun, kasus etika dan muatan etik ditambah pada mata
kuliah manajerial dan keuangan tingkat menengah, bersama-sama dengan prinsip-
prinsip auditing dengan harapan bahwa mata kuliah ini meningkatkan perkembangan
etika siswa.
2. Studi Pengembangan Etika
Sementara studi pendidikan etika mengkaji dampak pendidikan terhadap praktisi dan
mahasiswa akuntansi, studi pengembangan etika berfokus pada pengembangan moral
reasoning dalam profesi akuntansi. Beberapa studi misalnya menemukan bahwa posisi
auditor dalam perusahaan berbanding terbalik dengan 8 tingkat moral reasoning. Riset
memberikan bukti kuat mengenai eksistensi sosialitan etis. Individu yang dipromosikan
mempunyai tingkat ethical reasoning yang serupa dengan manajemen. Bukti ini
mendukung keyakinan bahwa promosi individual dapat ditekan oleh budaya etika
perusahaan. Beberapa studi menemukan bahwa posisi auditor dalam perusahaan
berbanding terbalik dengan tingkat moral reasoning.
a. Penemon (1990)
Menyelidiki ethical reasoning dan penilaian praktisi akuntansi dalam perusahaan
publik. Lima puluh dua praktisi CPA dari beracam-macam posisi di perusahaan publik
di daerah timur laut Amerika Serikat berpartisipasi dalam studi.
b. Penemon (1992)
Menyelidiki pengaruh dari sosialisasi kantor akuntan publik terhadap tingkat
ethical reasoning masing-masing CPA. Studi dari sosialisasi perusahaan sebelumnya
menunjukkan bahwa manajemen lebih bisa mendorong individu yang mempunyai
pandangan organisasi umum yang sama.
c. Shaub (1994)
Menyelidiki perbedaan antara sampel yang terdiri atas 207 auditor dan sampel yang
terdiri atas 91 mahasiswa akuntansi senior dengan 6 variabel demografis. Hasilnya
menunjukkan bahwa usia dan pendidikan tidak secara signifikan berhubungan dengan
tingkat moral reasoning kedua sampel.
d. Sweeney (1995)
Memperluas garis riset dengan menyelidiki asosiasi antara faktor-faktor
demografis dan organisasional dengan tingkat moral reasoningdari auditor.
e. Jeffrey dan Weatherholt (1996)
Menyelidiki perbedaan pengembangan etika, komitmen profesional, dan sikap
terhadap aturan antara akuntanpada kantor akuntan publik yang termasuk kategori 6
besar dan akuntan pada perusahaan yang termasuk dalam fortune 500.
f. Kite, Louwer, dan Randtke (1996)
Mengkaji perbedaan dalam tingkat moral reasoningantara auditor lingkungan,
auditor internal lain, dan akuntan publik dengan asumsi bahwa auditor dengan tingkat
moral reasoning yang lebih tinggi kemungkinan akan memilih sendiri lingkungan
penugasan audit.
3. Studi Keputusan Etis
Studi keputusan etis berfokus kepada hubungan antara bermacam-macam ukuran serta:
Isu independensi, Pelanggaran lain kode etik dan perilaku profesional AICPA,
Pendeteksian atas penipuan dalam laporan keuangan dan komunikasinya, Ketidakpatuhan
pembayaran pajak, dan Perilaku disfungsional spesifik dalam profesi akuntansi.
a. Isu independensi
- Ponemo dan Gabhart (1990)
Mengkaji hubungan antara penilaian independensi auditor dengan tingkat moral
reasonin. Subjek menyelesaikan DIT dan studi kasus yang melibatkan dilema auditor
dalam hal independensi. Instrumen studi kasus meminta subjek untuk membaca studi
kasus hipotesis dan menilai strategi independensi yang benar untuk diikuti didasarkan
pada lingkungan kasus.
- Windson dan Ashkanasy (1995)
Mengkaji bagaimana hubungan antara budaya organisasi, pengembangan moral
reasoning, dan kepercayaan dalam dunia memengaruhi independensi auditor serta gaya
pengambilan keputusan.
- Schatzberg, Sevcik, dan Shapiro (1996)
Menguji validasi dari tiga kondisi ekonomi umum yang dianggap penting terhadap
kerusakan independensi. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing kondisi tidak
dianggap sebagai benar kebutuhan, dan bahwa eksistemsi bersama dari ketiga kondisi
tersebut tidak dapat diinterpretasikan secara ketat untuk memprediksi terjadinya
kerusakan independensi.
- Shaub dan Lawrence (1996)
Menyelidiki latihan skeptisme profesional auditor sebagai sebuah alat untuk
menekan perilaku klien yang mementingkan dirinya sendiri. Mereka mendefinisikan
skeptisme sebagai fungsi dari 1. Disposisi etis, 2. Pegalaman, dan 3. Faktor-faktor
situasional
b. Pelanggaran lain kode etik dan perilaku professional AICPA
- Lampe dan Finn (1992)
Guna semakin memahami situasi dimana auditor dianggap melanggar kode etik
dan perilaku profesional AICPA, Lampe dan Finn ini membuat model atas proses
keputusan etis auditor dengan mengembangkan model lima elemen untuk
membandingkan dengan model berbasi kode etik dan perilaku profesional AICPA.
- Shaub, Finn, dan Munter (1993)
Mengkaji orientasi etika, komitmen, dan sensitivitas etika auditor yangbekerja
dikantor akuntan 6 besar. Subjek diminta untuk menyelesaikan empat skala validasi
yang mengukur komitmen profesional, organisasi, idealisme. Dan relativisme.
- Dreike dan Moeckel (1995)
Menganalisis keputusan auditor senior berkaitan dengan situasi dengan
kemungkinan dimensi etika. Auditor diminta untuk menunjukkan pola fakta yang
terlibat dala isu etika dan kemudian memeringkat urutan isu etis berdasarkan
signifikansi.
c. Mendeteksi dan Mengomunikasikan Kecurangan
- Arnold dan Ponemon (1991)
Mengkaji persepsi auditor internal terhadap whistle-blowing dalam konteks tingkat
moral reasoning mereka. Tugas whistle-blowing meliputi dua kondisi yang
berhubungan dengan posisi orang yang menemukan kecurangan dan sifat dari balas
dendam.
- Finn dan Lampe (1992)
Berusaha membuat model dari keputusan whistle-blowing auditor. Sebagai
tambahan terhadap variabel situasi kontinjen dan individual juga dimasukkan dalam
model. DIT digunakan untuk mengukur tingkat moral reasoning auditor, sementara
konteks pekerjaan, karakteristik pekerjaan, dan budaya organisasi digunakan sebagai
variabel situasi kontinjen.
- Ponemon (1993)
Memperluas riset sebelumnya tetntang tingkat moral reasoning auditor dengan
menyelidiki pentingnya ethical reasoning sebagai determinan penilaian auditor
terhadap karakteristik etis dari manajemen klien.
- Hooks, Kaplan, dan Schults (1994)
Menyelidiki satu kemungkinan kesempatan untuk mengurangi penipuan dalam
pengambilan keputusan. Makalah ini berusaha untuk memfasilitasi riset guna
mendesain sistem komunikasi andal yang akann menghalangi penipuan, serta peranan
auditor dalam sistem tersebut.
- Bernadi (1994)
Meneliti hubungan antara athical reasoning dengan kemampuan auditor untuk
mendeteksi penipuan informasi dalam laporan keuangan.
d. Ketidakpatuhan Pembayaran Pajak
- Ghosh dan Crain (1996)
Megidentifikasi faktor-faktor individual dan situasional yang memengaruhi
ketidak patuhan terhadap pajak.
- Hanno dan Violette (1996)
Menyelidiki pengaruh sosial dan moral yang mendasari pembayaran pajak dalam
usaha mengembangkan model integratif perilaku kepatuhan pajak. Teori penalaran
aksi digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan menonjol yang berhubungan dengan
keputusann kepatuhan pajak.
4. Studi Etis Lintas Budaya
Sebagian besar studi yang berhubungan dengan akntansi dan etika difokuskan kepada
profesi akuntansi di Amerika serikat. Perbedaan budaya mungkin muncul diantara
kelompok profesi akuntansi dari negara berbeda. Meskipun demikian, perbandingan antara
profesi akuntansi di Amerika Serikat dengan kelompok lain dapat memberikan pemahaman
yang berharga tentang penetapan standar organisasi internasional. Beberapa studi etika
lintas budaya yang berusaha menyelidiki perbedaan budaya atau nasional dalam keahlian
moral reasoning dan keputusan etis akuntan.
a. Ponemon dan Gabhart (1993), Etherington dan Schulting (1995)
Meliputi profesi auditing dari dua kantor akuntan besar dengan praktik di Amerika
Serikat dan Kanada menggunakan DIT dan instrumen eksperimental lainnya. Sasaran
utama dari studi ini adalah menilai dampak dari perbedaan lintas negara terhadap
keputusan etika dari individu praktisi auditing.
b. Schultz, Johnson, Morris, dan Dyrnes (1993)
Meliputi kecenderungan manajer perusahaan dan profesional untuk melaporkan
tindakan yang dapat dipertanyakan dalam konteks internasional dan dosmetik.
Tindakan yang dipertanyakan didefinisikan sebagai tindakan yang melanggar standar
keadilan, kejujuran atau ekonomi.
c. Cohen, Pant, dan Sharp (1995a)
Menyajikan pengujian empiris pada pernyataan Cohen bahwa kantor akuntan
publik multinasional seharusnya secara hati-hati memperhatikan dampak keragaman
budaya internasional terhadap sensitivitas karyawan dan pengambilan keputusan.
d. Cohen, Pant, dan Sharp (1995b)
Menyelidiki perbedaan pengambilan keputusan etika auditor dari negara-negara
yang berbeda. Auditor dari satu kantor akuntan publik multi nasional dari Amerika
Latin, Jepang, atau Amerika Serikat berpartisipasi dalam studi ini.

2.4 IMPLIKASI BAGI RISET MENDATANG


Satu masalah menonjol yang masih dihadapi oleh peneliti akuntansi dalam menyelidiki
dimensi etika profesi akuntansi berhubungn dengan keputusan apakah akan terus memperluas
atau menyatukan teori konflik dan ukuran dalam kerangka kerja pengambilan keputusan etika
empat komponen dari Rest. Dengan cara yang sama, Ponemon dan Gabhart dalam bidang etika
untuk auditor dan akuntan mengakui bahwa keputusan-keputusan akuntan telah menjadi subjek
dari bermacam-macam kelompok konstituen termasuk organisasi klien yang mebayar
pelayanan mereka, kantor akuntan profesional di mana karyawan menjadi anggota akuntan,
profesi akuntan itu sendiri, dan publik umum (yang mengandalkan angka-angka dalam laporan
keuangan).
Tanggung jawab beragam ini (dan sering kali bertentangan) menunjukkan bahwa proses
resolusi konflik etika akuntan mungkin tidak cukup sesuai dengan model pengambilan
keputusan yang lebih umum dari Rest. Meskipun demikian jika model Rest sahih untuk
menjelaskan perilaku etis akuntan, maka ukuran dan konflik yang bertentangan dalam
menghubungkan keempat komponen tersebut harus di satukan
ASPEK KEPERILAKUAN DALAM PEMBUATAN KEPUTUSAN KELOMPOK

3.1 MEMAHAMI KELOMPOK DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN


KELOMPOK
1. Komposisi dan Keanggotaan Kelompok
Sejak lama telah diakui bahwa interaksi kelompok lebih unggul dibandingkan dengan
individu yang bekerja sendirian dalam sebagian besar situasi resolusi tugas. Sejumlah
faktor dapat memengaruhi keberhasilan akhir kelompok, termasuk keberagaman anggota
kelompok, fungsionalitas kelompok, dan familiaritas atau konsistensi dari anggota
kelompok. Kelompok pada umumnya melampaui individual untuk sejumlah alasan:
a. Kelompok mempunyai lebih banyak pengetahuan dan informasi
b. Kelompok memberikan lebih banyak pendekatan solusi masalah yang beragam
dibandingkan dengan individu yang sering kali jatuh ke dalam pemikiran sendiri
c. Partisipasi dalam pemecahan masalah meningkatkan penerimaan keputusan akhir
ketika anggota kelompok menerima tanggung jawab
d. Komunikasi yang lebih baik selama resolusi masalah
Teori manfaat menyebutkan bahwa keragaman akan menghasilkan keragaman dalam
latar belakang pengetahuan dan solusi masalah yang mengurangi pemikiran kelompok.
Keuntungan ini diantisipasi melalui dialog kelompok efektif yang menyatukan berbagai
perspektif melalui dialog kelompok efektif yang meningkatkan pemahaman masing-masing
anggota kelompok terhadap masalah atau tugas yang dihadapi dan solusi alternatif yang
tersedia.
2. Dinamika Keanggotaan
Kelompok natural hampir selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Altman mengklasifikasikan kelompok ke dalam tiga jenis, yaitu kelompok terbuka
(memperbolehkan perubahan anggota), kelompok tertutup (tidak memperbolehkan
perubahan anggota), dan kelompok dinamis (perubahan anggota terjadi secara teratur).
Perubahan keanggotaan secara anggota dianggap mempunyai dampak utama terhadap cara
kelompok dalam membat keputusan.
Arrow dan McGrath mengembangkan kerangka kerja untuk pengkajian sistematis
terhadap dampak perubahan keanggotaan terhadap perilaku kelompok. Kerangka kerja
pengkajian sistematis ini dikategorikan ke dalam tiga area yaitu sebagai berikut:
a. Konteks lingkungan dimana perubahan keanggotaan akan mengubah reaksi
kelompok dan pada akhirnya kepada penyesuaian kembali
b. Dampak perubahan keanggotaan terhadap fungsional kelompok
c. Dua area efek utama yang meningkat kompleksitasnya sejalan dengan perubahan
dalam konteks dimana kelompok bekerja
3. Formasi Kelompok dan Peranan Anggota
Peranan didefinisikan sebagai posisi dalam kelompok dengan hak dan kewajiban
terhadap satu atau lebih anggota lain dalam kelompok. McGrath mengidentifikasikan empat
mode aktivitas yang terlibat dalam pengembangan kelompok yaitu:
a. Penemuan dan penerimaan dari sebuah proyek (misalnya, pilihan tujuan)
b. Melibatkan solusi masalah teknis (misalnya, pilihan alat)
c. Resolusi konflik (misalnya, pilihan kebijakan)
d. Pelaksanaan proyek (misalnya, pencapaian tujuan)
4. Rapat
Organisasi pada umumnya menggelar rapat tim untuk koordinasi utama dan aktivitas
komunikasi. Rapat dapat dilakukan dalam berbagai cara berdasarkan pada sasaran yang
diinginkan atau dituju dan tingkat struktur yang dapat diterima. Terdapat banyak jenis rapat
yang dikategorikan berdasarkan ukuran, frekuensi kejadian, komposisi,dan proses
keputusan yang digunakan. Bostroom menjelaskan bahwa aktivitas berkesinambungan
dalam Model Siklus Rapat, dimana pergerakan rapat dimulai dari pra-rapat, rapat, hingga
pasca rapat. Model siklus rapat juga merupakan sebuah perubahan sosio-teknis.
a. Interaksi Kelompok
Terdapat banyak jenis rapat kelompok interaktif yang berbeda. Rapat-rapat tersebut
dapat dikategorikan menurut ukuran, frekuensi kejadian, komposisi, dan proses
keputusan yang digunakan. Rapat pada umumnya tidak statis, tetapi rapat tunggal
biasanya merupakan satu dari banyak siklus kehidupan proyek, satuan tugas, komite
atau kelompok kerja, yang menuntut anggota kelompok untuk melakukan banyak
interaksi.
b. Aktivitas Pra-Rapat
Idealnya dicapai sebelum seluruh peserta rapat terlibat. Aktivitas ini digunakan
untuk menentukan arah dan fokus dari rapat, mengundang individu yang tepat untuk
hadir, dan menjalankan rapat dengan efektif.
c. Aktivitas Rapat
Terdiri dari tiga subproses: mulai (startup), berlangsung, dan selesa (windup). Fase
mulai adalah tindak lanjut langsung dari beberapa aktivitas prarapat dan pada
umumnya memungkinkan partisipan untuk menelaah dan berkomentar tentang agenda
rapat dan jadwal. Selama fase tersebut, aktivitas tidak dilakukan secara berurutas tetapi
aktivitas tersebut sering kali terjadi secara konkuren dan interdependen. Aktivitas ini
meliputi:
1) Pemantauan, digunakan untuk mengamati dan menelusuri lintasan apa yang
terjadi dalam rapat, misalnya waktu, partisipasi, interaksi anggota, dan
sebagainya
2) Aktivitas proses seputar rapat dan berinteraksi dengan kerja aktual atau aktivitas
tugas. Proses ini meliputi beberapa aturan dan pendekatan yang digunakan untuk
membuat rapat bergerak ke arah khusus atau jadwal tertentu
3) Aktivitas tugas pada umumnya menjadi fokus perhatian khusus selama rapat dan
diselesaikan secara efektif
4) Pencatatan dapat terjadi pada seluruh tingkat aktivitas di dalam rapat,
memberikan aliran informasi yang berhubungan dengan pemantauan data, proses
yang digunakan, dan tugas yang dipertimbangkan dan/atau diselesaikan
d. Aktivitas Pasca Rapat
Aktivitas pasca rapat meliputi penciptaan dan distribusi dokumen untuk
memastikan seluruh partisipan mempunyai catatan serupa tentan aktivitas rapat,
menjaga perulangan umpan balik guna memberikan saluran input tambahan pada hasil
rapat, dan komunikasi terkait rapat selanjutnya atau aktivitas rapat.
e. Proses Kelompok Terstruktur
Dibutuhkan beberapa struktur dalam mencapai keberhasilan rapat. Proses rapat
membutuhkan struktur untuk memastikan kelompok tetap terfokus dan mencapai tugas
yang dibutuhkan dengan gangguan interpersonal yang minimum. Beberapa kelemahan
pada interaksi kelompok antara lain:
1) Tekanan kelompok menyebabkan kelompok membuang waktunya dalam
mencari persetujuan
2) Tekanan kelompok mendorong kecocokan, tidak mendorong filosofi
ketidakcocokan, dan opini minoritas
3) Kepribadian dominan dan anggota yang berstatus tinggi cenderung memengaruhi
kelompok
4) Jumlah waktu dan energi berlebihan dicurahkan pada tugas mempertahankan
kelompok
5) Perbedaan opini menyebabkan perilaku mengganggu sebagaimana halnya
perilaku interaktif yang dirancang untuk membangun kembali hubungan
interpersonal
6) Karena individu jarang mempunyai waktu untuk memikirkan ide secara
independen dan teratur, ide cenderung diekspresikan dalam generalisasi
berkualitas rendah
7) Penutupan cenderung menjadi arbiter dan bukannya logis, sehingga membuat
partisipan menjadi tidak senang dan menginginkan diskusi lebih lanjut
Proses kelompok terstruktur menggunakan beberapa pendekatan, namun metode
yang paling umum digunakan adalah teknik kelompok nominal. Pengelompokan
nominal terdiri atas lima langkah, yang meliputi:
1) Masing-masing anggota secara diam menghasilkan daftar responnya sendiri
terhadap tugas kelompok
2) Mencatat ide masing-masing anggota
3) Masing-masing partisipan menyampaikan suara berdasarkan jumlah respon
terbatas yang dipilih dari kumpulan daftar respon
4) Melibatkan diskusi terbuka, klarifikasi, dan evaluasi ide
5) Melakukan voting final tentang sekumpulan respon yang disukai.
5. Adaptasi Kelompok terhadap Perubahan Lingkungan
Teori strukturasi adaptif dapat berfungsi sebagai alat untuk memahami bagaimana
kelompok beradaptasi terhadap perubahan struktur. Struktur adalah aturan dan penggunaan
faktor sumber daya untuk menghasilkan dan mendukung sistem. Teori strukturasi adaptif
menjelaskan bahwa struktur terdiri dari tiga dimensi yaitu sebagai berikut:
a. Kesetiaan, sebuah apropriasi kesetiaan berhubungan dengan kepatuhan terhadap
semangat, sementara apropriasi ironis melanggar semangat.
b. Sikap, meliputi tingkat kesesuaian anggota kelompok terhadap teknologi yang
digunakan sekaligus tingkat penghargaan anggota terhadapnya.
c. Tingkat Konsensus, merujuk kepada seberapa besar anggota kelompok setuju
terhadap teknologi yang diapropriasi.
6. Teori Interaksi Waktu dan Kinerja
McGrath memperkenalkan sebuah teori waktu, interaksi, dan kinerja dengan tujuan
untuk mengintegrasikan literatur kelompok kecil yang terpecah-pecah kedalam sebuah teori
integratif tunggal tentang bagaimana kelompok berperilaku dan bagaimana perilaku ini
dipengaruhi oleh kumpulan faktor-faktor lingkungan, teknologi, sosiologis, dan psikologis.
Teori didasarkan pada riset terbaru yang berhubungan dengan dinamika perubahan
keanggotaan, teori komunikasi, dan teori strukturasi adaptif. Teori ini mengakui bahwa
kelompok bersifat multifungsi dan memberikan kontribusi pada tiga tingkat:
a. Terhadap sistem dimana mereka melekat (organisasi)
b. Terhadap bagian-bagian komponen mereka (anggota)
c. Terhadap kelompok sebagai struktur sosial yang utuh
Dimensi kedua dari teori ini adalah disagregasi aktivitas kelompok ke dalam empat
mode, yaitu:
a. Permulaan adalah memilih dari beberapa alternatif pencapaian dan/atau permintaan
b. Pemecahan masalah berhubungan dengan analisis teknis kebutuhan proyek untuk
mengidentifikasi strategi yang disukai
c. Resolusi konflik adalah proses di mana anggota kelompok berusaha untuk
memecahkan potensi preferensi, nilai, atau kepentingan yang bertentangan di
dalam kelompok
d. Eksekusi adalah kinerja aktual perilaku yang dibutuhkan oleh kelompok untuk
menyelesaikan proyek dan mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan

3.2 ISU METODOLOGIS DALAM RISET KELOMPOK


1. Kelompok Natural Versus Kelompok Ad hoc
Masalah yang paling menonjol dalam riset kelompok pada bidang akuntansi perilaku atau
pada bidang kelompok kecil, adalah penggunaan kelompok ad hoc dalameksperimen untuk
membangun teori yang berkaitan dengan kelompok natural. Kelompok ad hoc dibentuk
berdasarkan kebutuhan untuk melakukan tugas spesifik. Dalam lingkungan kerja, kelompok
tersebut jarang ditemui. Akan tetapi, kelompok biasanya dibentuk untuk bekerja untuk
periode waktu tertentu guna memecahkan masalah tertentu. Kelompok terakhir ini dianggap
sebagai kelompok natural di mana mereka menunjukkan seperti apa norma kelompok dan
mereka memberikan lingkunganyang berhubungan dengan dinamika kelompok.
Riset sebelumnya dilakukan pada periode waktu luas dengan menunjukkan hasilbahwa
kelompok natural memberikan hasil yang agak berlawanan dengan eksperimen yang
menggunakan kelompok ad hoc. Sebuah contoh adalah temuan berulang yang menunjukkan
bahwa kelompok kerja mediasi-komputer selalu menghasilkan kualitas lebih rendah (dan
sering kali kuantitas lebih rendah) dalam tugas produksi. Pada umumnya, kelompok ad hoc
tidak dapat dianggap sebagai Indikasi perilaku kelompoknatural. Kelompok membutuhkan
waktu untuk bekerjasama sebelum mereka dapat menyesuaikan dan sampai pada pasangan
sementara. Dengan demikian, ketika teori lebih kompleks tentang pengambilan keputusan
kelompok sudah terlibat, maka tuntutanbagi peneliti untuk meneliti kelompok luas dalam
periode waktu relatif lama menjadi semakin perlu.
Perlunya untuk menggunakan kelompok natural menimbulkan rintangan sulit, khususnya
bagi peneliti akuntansi keperilakuan. Ketika riset akuntansi keperilakuan terlibat, semakin
banyak tekanan yang muncul untuk tidak menggunakan mahasiswa sebagai wakil antuk
mengkaji perilaku berbasis akuntansi karena wakil ini mungkin tidak representatif ban
praktisi akuntansi. Solusi bagi banyak peneliti, dan khususnya peneliti audit, adalah
mengunjungi perusahaan selama sesi pelatihan untuk mendapatkan bantuan dari sejumlah
besar profesional praktik untuk melakukan studi riset dalam periode waktu satu atau dua jam.
Kesulitan peneliti kelompok adalah bahwa subjek tersebut pada umumnya terletak pada
lokasi yang menyebar, dan oleh karena itu, individu tidak mengalami kerja bersama
sebelumnya, sehingga mempunyai sedikit harapan untuk bekerja secara konsisten seperti
kelompok natural.
2. Keanggotaan dan Komposisi Kelompok
Masalah keanggotaan pertama yang sering kali dihadapi adalah mendapatkan subjek
yang memadai untuk berpartisipasi dalam studi riset, Sementara ini, hal tersebutsering kali
menjadi masalah dalam riset individu. Masalah tersebut menjadi semakin berlipat ganda,
karena setidaknya didasarkan pada fakta bahwa dibutuhkan bermacam subjek untuk dapat
melakukan observasi kelompok tunggal. Arnold Juga mencatat bahwa dalam riset kelompok
kecil kontemporer, empat subjek dianggap sebagai ukuranminimum yang realistis.
Mencapai jumlah subjek yang memadai selanjutnya diperumit oleh kebutuhan
penggunaan kelompok natural versus kelompok ad hoc. Penggunaan kelompok natural
membutuhkan sebuah studi tipe longitudinal yang memberikan waktu memadai bagi
kelompok untuk membangun protokol dan peranan penting selama proses entrainment.
Meskipun demikian, ketika studi kelompok bergerak kepada mode longitudinal, potensial
pengurangan anggota kelompok (atau ketidakhadiran kelompok selama periode observasi)
mungkin menjadi risiko bagi peneliti untuk memaksimalkan jumlah kelompok didasarkan
ketentuan jumlah anggota kelompok minimum pada awal studi.

3.3 MASALAH RISET KELOMPOK


Riset akuntansi perilaku yang berhubungan dengan pengambilan keputusan kelompok
dapat dikategorikan ke dalam empat area sebagai berikut.
1) Pengkajian kinerja kelompok kerja seperti bagaimana kelompok kerja
membutuhkanperubahan dalam lingkungan kerja
2) Penyelesaian proses tinjauan kertas kerja dalam lingkungan auditing
3) Penggunaan pengambilan keputusan kelompok rekan sejawat dalam lingkungan
akuntansi
4) Dampak integrasi kemunculan komputerisasi teknologi kelompok
1. Kinerja Kelompok Kerja
Arah yang muncul dalam riset pengendalian manajerial berhubungan dengan bagaimana
praktik manufaktur dan jasa baru akan berdampak pada pemantauan, evaluasi, dan proses
insentif yang digunakan dalam sistem pengendalian tradisional. Ketika organisasi melakukan
rekayasa proses bisnis untuk berfokus pada kelompok kerja dan tim, skema kompensasi
alternatif dirancang untuk memberikan insentif pada kelompok.
Dampak skema kompensasi baru ini harus diteliti di laboratorium dan dalam situasi studi
lapangan.satu area menarik yang muncul dalam riset ini adalah ketertarikanterhadap kinerja
relatif kelompok kooperatif versus non kooperatif. Area yang berfokuspada isu ini dengan
menyampaikan hipotesis bahwa kelompok kooperatif seharusnya melampaui kelompok
nonkooperatif. Hasil mereka ternyata gagal mendukung hipotesis ini karena kelompok
nonkooperatif benar-benar sedikit lebih baik dibandingkan dengan kelompok kooperatif.
Meskipun demikian, penulis mencatat bahwa periode studi pendek mungkin memberikan
keterbatasan bagi hasil riset tersebut dan hipotesis ini mungkin didukung dalam studi
longitudinal.
Masalah kinerja kelompok kooperativersus nonkooperatif juga dirasakan berhubungan
erat dengan kompleksitas tugas dan kompleksitas koordinasi khusus. Kompleksitas
koordinatif adalah sifat dan bentuk atau hubungan antara serangkaian input, isyarat
informasi, produk, dan aksi. Kompleksitas koordinatif dipahami sebagai hal yang sama
dengan interdependensi tugas ketika ditemukan bahwa kelompok kooperatif lampaui
kelompok non kooperatif ketika tugas sangat interdependen. Riset mendatang tentang
hubungan antara struktur tugas, interdependensi kelompok, dan kerja sama kelompok
mungkin membantu membangun hubungan tersebut secara lebihjelas.
Bahkan, sedikit riset telah dilakukan yang secara langsung berhubungan dengan
bagaimana skema kompensasi dapat memengaruhi kinerja kelompok. Satu dimensi dariskema
tersebut adalah menentukan dasar kompensasi bagi anggota kelompok. Jika subjek harus
bekerja sama secara kooperatif memecahkan masalah tunggal, maka imbalan dependen
seluruh kelompok mendapatkan satu imbalan akan menjadi struktur imbalan yang paling
efektif. Meskipun demikian, jika kelompok bekerja pada bermacam tugas, maka imbalan
interdependen di mana imbalan rata-rata untuk seluruh anggota didasarkan pada output
kelompok kelihatannya menjadi struktur paling efektif.Sistem imbalan yang didasarkan pada
imbalan independen untuk masing-masing anggota tidak dapat menjadi skema kompensasi
yang disukai dalam beberapa situasi.
Sementara hasil studi Fandt menyampaikan beberapa arahan awal untuk peneliti
akuntansi, harus dicatat bahwa studi ini berfokus kepada kelompok pembelajaran kooperatif
dan hasilnya mungkin tidak dapat diaplikasikan pada kelompok kerja pada berbagai
lingkungan. Riset tambahan, yang secara khusus diarahkan kepada sistem imbalan kelompok
kerja, dibutuhkan untuk memperbaiki pemahaman kita tentang bagaimana berbagai skema
kompensasi kelompok berhubungan dengan produktivitas dan kinerja kelompok.
Sebagaimana ditunjukkan oleh ringkasan dalam tinjauan literatur, seluruh arah skema
kompensasi yang berhubungan dengan kemunculan kelompok kerja dan yang telah diadopsi
oleh sebagian besar organisasi kontemporer masih berada pada tahap perkembangan awal.
2. Kelompok Hierarkis dan Proses Tinjauan Audit
Kelompok hierarkis ketika berhubungan dengan proses tinjauan audit adalah satu area
riset kelompok yang menerima perhatian substansial dari komunita akuntansi. Halini mungkin
berhubungan dengan fakta bahwa satu bidang riset multi-auditor yang membuat desain
eksperimental berhubungan erat dengan desain riset individu dan bukan pada desain
kelompok lebih kompleks. Desain ini menguntungkan karena dapat menghindari masalah
metodologis. Sementara masih terdapat beberapa keprihatinan bahwa penggunaan struktur
kelompok ad hoc menerobos hubungan kelompok natural antara pihak yang menyiapkan
laporan (preparer) dan pihak peninjau laporan (reviewer), perilaku peninjau dapat diteliti
secara terpisah. Satu pendekatan yang telahdigunakan adalah memberi peninjau sekumpulan
kertas kerja untuk dianalisis secara terpisah sambil mengamati perilaku individual dan
polanya.
Bahkan, ketika pihak yang menyiapkan laporan dan peninjau diteliti sebagai kelompok,
hubungan ini cenderung menjadi struktur dyadic. Struktur dyadic (dua orang) mempunyai
keuntungan karena membutuhkan jumlah subjek yang lebih sedikitdaripada yang biasanya
dibutuhkan oleh riset kelompok (misalnya, dua subjek per kelompok dan bukan tiga atau
empat). Sebagian besar riset awal tentang proses review tinjauan kepada pengukuran
perbaikan yang diperoleh. Trotman dan Yetton menemukan bahwa proses tinjauan
mengurangi variabilitas dalam penilaian reliabilitas sistem pengendalian. Trotman
mengidentifikasi keuntungan akurasi dalam mengestimasi kesalahan (error) dari proses
tinjauan. Ismail dan Trotman (1995) menemukan bahwa proses tinjauan yang dihasilkan dari
sejumlah hipotesis yang masukakal akan dihasilkan selama penyelesaian prosedur tinjauan
analitis. Pihak yang menyiapkan laporan dan pihak peninjau membahas analisis, sehingga
kemudian sejumlah hipotesis yang masuk akal akan bertambah. Dalam studi lain yang
menyelidikiapakah proses tinjauan akan mendeteksi dan memperbaiki bias heuristis, Messier
dan Tubbs menemukan sedikit dukungan dari perilaku tersebut oleh peninjau, tetapi
menemukan bahwa peninjau juga mengalami masalah bias heuristis dalam keputusannya.
Meskipun demikian, secara agregat studi ini menunjukkan bahwa prosesaudit sesungguhnya
semakin baik melalui tinjauan audit.
Riset lain berfokus pada perbedaan antara keterlibatan manajer dan senior dalam proses
tinjauan. Libby dan Trotman menemukan bahwa senior (yang menjadi pihak yang
menyiapkan laporan) berfokus pada bukti dalam menyampaikan justifikasi terhadap
keputusan mereka, sementara manajer (yang bertindak sebagai peninjau) berfokus pada
inkonsistensi bukti dalam keputusan pembuat laporan. Ismail dan Trotman mengkaji apakah
terdapat perbedaan dalam keputusan senior versus manajer dan menemukan tidak ada
perbedaan hasil signifikan, tetapi manajer membuat keputusan lebih cepat dari pada senior.
Ramsey menyelidiki hubungan tinjauan pertimbangan dari manajer dan senior, dan
menemukan bahwa diskusi antara dua senior adalah sama efektifnya dengan seorang manajer
yang melakukan tinjauan ini, tetapi senior lebih baik dalam mencatat kesalahan mekanis,
sementara manajer lebih baik dalam mengidentifikasi kesalahan konseptual.
Dalam rangka memberikan beberapa kohesi terhadap temuan ini dan memperbaiki
pemahaman hubungan antara pihak yang menyiapkan laporan dan pihak peninjau selama
proses tinjauan audit Rich mengajukan model proses tinjauan yang didasarkan pada
“karakteristik kognitif dari perspektif persuasi" Perspektif persuasi dimaksudkan untuk
menangkap dampak usaha pihak yang menyusun laporan untuk menampilkan dokumentasi
kertas kerja secara persuasif yang akan mengubah opini peninjau. Model mereka juga
membahas lebih lanjut.kemungkinan hubungan peninjausebagai rekan penyusun dari pesan
persuasif lebih lanjut.
Sementara terbukti bahwa kelompok cenderung membuat keputusan lebih baik,
mempunyai kepercayaan yang lebih baik terhadap keputusan tersebut, lebih konsisten
terhadap keputusan, dan mempunyai tingkat konsensus lebih tinggi, tetapi sedikit diketahui
tentang bagaimana kelompok rekan sejawat tersebut berinteraksi dan membuat keputusan.
Studi lengkap sampai sekarang menyampaikan beberapa bukti tentang perubahan dalam
kecenderungan terhadap risiko, aspek lain dari pengambilan keputusan kelompok jarang
menerima perhatian. Pemahaman tentang bagaimana kelompok akuntansi berinteraksi dan
membuat keputusan masih dibutuhkan, dan pemahaman tersebut seharusnya memfasilitasi
perbaikan penggunaan kelompok untukmemilih bidang dan/atau tugas.
3. Mengintegrasikan Komputerisasi Sistem Dukungan Kelompok
Rapat tatap muka tidak selalu memungkinkan atau diinginkan. Dengan kemajuan
teknologi komunikasi, individu dapat bertemu sebagai kelompok dengan menggunakansatu
atau lebih teknologi seperti call conference, video conferencing, atau real time computer
conferencing. Terdapat semakin banyak pengakuan bahwa dukungan komputer dapat
meningkatkan interaksi kelompok melalui anggota kelompokindividual yang bekerja secara
simultan dan paralel. Area riset ini umumnya dikategorikan sebagai "sistem dukungan
kelompok (SDK)," dan dapat membentuk ulang cara bagaimana kerja akuntansi dan
manajemen dilakukan.
Terdapat dua paradigma yang telah muncul dalam domain riset SDK, yaitu pengambilan
keputusan dan authoring. Paradigma ini berakar dari sistem informasi danilmu pengetahuan
komputer. Sementara keduanya secara fundamental merupakan pendekatan berbeda, tetapi
keduanya bekerja untuk tujuan sama. Dalam sebagian besar keputusan terstruktur berorientasi
SDK, model sederhana Simon tentang pilihan desaindan intelegensi tetap diikuti (misalnya
generasi ide, evaluasi ide, dan seleksi ide). SDK biasanya memasukkan individu dalam
membentuk kelompok, dan dalam banyak kasus, memasukkan fasilitator, Ketika
menggunakan model proses khusus, pimpinan kelompok memutuskan kapan kelompok harus
bergerak ke tahap selanjutnya. Jika fasilitator digunakan, ia bertanggung jawab melakukan
koordinasi sistem teknis, cetakan, dan mengganti layar untuk tampilan sentral input kelompok
agregat. Bermacam alat dapat diintegrasikan ke dalam SDK untuk memperkuat pendekatan
terstruktur ketika dipahami bahwa struktur tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok.
Authoring SDK telah dikembangkan untuk mendukung interaksi kelompok pada tugas
tunggal. Sistem authoring menjanjikan karena didasarkan pada ide bahwa kelompok akan
mengembangkan struktur sosial sendiri, yaitu struktur yang akan efektif dan efisien untuk
kelompok. Studi tentang proses kelompok tersebut seharusnya membawa pada
pengembangan alat yang lebih mendukung kelompok berdasarkan kebutuhan mereka. Sebuah
contoh dari sistem tersebut adalah "editor kelompok”, yang dikembangkan untuk
memungkinkan anggota kelompok bekerja pada dokumen sama. Sistem kelompok kerja
otomatis yang digunakan oleh banyak perusahaan audit dan organisasi audit internal akan
sesuai dengan kategori SDK ini. Secara khusus, authoring SDK bekerja lebih baik dalam
kelompok natural dengan ukuran relatif kecil, sementarapendekatan SDK terstruktur lebih
efektif dengan kelompok lebih besar kelompok ad hoc.
SDK yang memperkuat struktur interaksi kelompok sepertinya memberikan hasilpositif
ketika terdapat struktur tugas yang sesuai. Salah satu contohnya adalah ketika Sambamurthy
dan Poole membandingkan kelompok dengan menggunakan dua versi SDK untuk analisis
pemangku kepentingan. Satu versi menyampaikan keputusan dan analisis heuristis yang
spesifik terhadap tugas, sementara lainnya semata-mata menyajikan komunikasi, voting, dan
ranking. Penggunaan SDK canggih menghasilkanpeningkatan kepercayaan menurut subjek
yang direkomendasikan. Kelompok tersebutselanjutnya menganggap dirinya telah membuat
keputusan berkualitas tinggi (penilaian kualitas aktual tidak dapat dilakukan). Selain itu,
ditunjukkan bahwa SDK memberikan hasil lebih baik ketika ukuran kelompok dan
kompleksitas tugas meningkat.
Efek anonimitas selama diskusi SDK tampaknya berhubungan dengan beberapa faktor,
termasuk komposisi kelompok. Secara khusus, kelompok hierarkismendapatkan lebih
banyak keuntungan dari anonimitas dibandingkan kelompok rekan sejawat. Hal ini
seharusnya menarik bagi peneliti akuntansi perilaku didasarkan pada seringnya penggunaan
struktur hierarkis dalam lingkungan keputusan akuntansi. Terdapat beberapa alasan untuk
melihat penggunaan anonimitas dalam SDK: 1) riset sebelumnya menunjukkan bahwa
anonimitas dapat menjadi keuntungan penting SDK; 2) terdapat peningkatan ketertarikan
dalam mengkaji anonimitas sebagai faktor penentu dari berbagai hasil kelompok (khususnya
dalam kreativitas); 3) anonimitas sering kali diperlakukan sebagai ciri-ciri SDK dan bukan
sebagai karakteristik orang-orang; dan 4) anonimitas adalah konstruksi kompleks yang perlu
dipahami secara lebih baik. RisetHayne mempertimbangkan apakah penerimaan asumsi yang
menggunakan anonimitasdalam diskusi GSS di antara kelompok natural benar-benar menjaga
anonimitas. Mereka menemukan bahwa orang-orang secara keseluruhan akan mencoba
mengatributkan kepengarangan (authorship) kepada komentar teknis anonim. Meskipun
demikian, ketika atribusi dilakukan, sekitar 90% dari mereka pada saat itu tidak benar.
Dengan demikian, anggota kelompok yang membuat evaluasi dengan komentar anonim
berdasarkan pada tebakan siapa yang menulis komentar, akan terlihatbias dalam hal apakah
evaluasi mereka didasarkan pada atribut kepengarangan yang pada umumnya tidak benar.
Sampai sekarang riset tentang SDK pada umumnya dilakukan oleh peneliti sistem
informasi dengan sedikit ketertarikan langsung terhadap lingkungan akuntansi. Studi pertama
yang secara khusus diarahkan kepada masalah akuntansi hanya dimulai dalambeberapa tahun
terakhir, dengan sekitar setengah lusin studi.Studi ini terutama berfokuskepada keuntungan
kinerja, walaupun sesuai dengan sistem dan riset keputusan juga telah menerima perhatian.
Arunachalam dan Dilla menemukan bahwa kelompok tatap muka melampaui kelompok
berbasis SDK dalam sesi negosiasi. Arnold juga menemukan bahwa kelompok tatap muka
membuat keputusan pertimbangan materialitas yang lebih baik.
Arnold menemukan kebalikannya, di mana kelompok SDK melampaui kelompok tatap
muka dalam pasar kompetitif ketika masing-masing kelompok mengubah tingkat produksi
pada produk dalam rangka memaksimalkan perusahaan. Studi lain telah berfokus pada
penilaian kinerja berdasarkan generasi ide atau rekomendasi untuk perbaikan dan secara
konsisten menemukan bahwa kelompok SDK melampaui kelompok tatap muka dalam
menghasilkan ide.
Hasil lainnya telah memasukkan temuan bahwa kelompok SDK tampaknya
membutuhkan waktu lebih lama dalam membuat keputusan, dan meskipun kelompok SDK
dan kelompok tatap muka mencapai tingkat konsensus serupa, penerimaan keputusan
kelompok lebih besar pada kelompok berbasis SDK, dan kepercayaan lebih besar terhadap
keputusan pada kelompok SDK. Bukti berlawanan juga ditemukan tentang dampak tekanan
waktu terhadap kelompok SDK. Arnold menemukan bahwa kelompok SDK secara negatif
dipengaruhi oleh tekanan waktu, dan Arnold menemukanbahwa kualitas keputusan kelompok
SDK tidak dipengaruhi secara negatif oleh tekananwaktu. Kedua studi tersebut menggunakan
kondisi tekanan waktu serupa, dengan studiterakhir menggunakan faktor tekanan yang lebih
tinggi.
Secara keseluruhan, riset tentang komputerisasi dukungan kelompok di dalam
lingkungan akuntansi hanya memberikan bukti awal tentang bagaimana kelompok akuntansi
akan berinteraksi dan bekerja. Didasarkan pada munculnya penekanan terhadap rapat
elektronik untuk bisnis dan pengambilan keputusan akuntansi, digabungkan dengan
pergerakan terhadap penyebaran kertas kerja elektronik dalam sebagian besar lingkungan
audit, riset yang mengkaji dampak potensial dari lingkunganini tampaknya semakin penting.
Sementara akumulasi riset yang cepat tentang SDK dalam arena sistem informasi
memberikan beberapa bantuan dalam memahami dampaknya terhadap lingkungan akuntansi,
keunikan dari banyak bidang keputusan akuntansi membutuhkan riset lebih lanjut tentang
intrik integrasi SDK. Masalah lain di luar dampaknya terhadap pengambilan keputusan
kelompok akuntansi juga perlu diperhatikan, seperti integrasi sistem kontrol manajemen yang
tepat untuk teknologi kelompok dan desain teknologi kelompok unik yang memfasilitasi
proses akuntansi spesifik

Anda mungkin juga menyukai