Anda di halaman 1dari 19

Bai’ as- Salam dan wa al- Istishna’

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fikih Muamalah
Dosen Pengampu : Cihwamul Kirom, Lc.,M.E.I.

Disusun Oleh :
Kelompok 4-C1PSR

1. Ersya Mayori Pramudita (2250410088)


2. Wiwik Puji Astuti (2250410092)
3. Rizka Zahra Amalia (22504100100)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
TAHUN 2022
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jual Beli Salam

1. Pengertian

Dikatakan aslama ats-tsauba lil-khiyath, artinya ia


memberikan/menyerahkan pakaian untuk dijahit. Dikatakan salam
karena orang yang memesan menyerahkan harta pokoknya dalam
majelis. Dikatakan salam karena ia menyerahkan uangnya terlebih
dahulu sebelum menerima barang daganganya1
Pengertian salam menurut secara terminologis adalah menjual
suatu barang yang penyerahanya ditunda, atau menjual suatu (barang)
yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal,
sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari2
Jual beli salam adalah jual beli dengan sistem pesanan,
pembayaran dimuka, sementara barang diserahkan di waktu kemudian.
Dalam hal ini pembeli hanya memberikan rincian spesifikasi barang
yang dipesan. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih
dahulu jenis, kualitas, jumlah barang dan hukum awal pembayaran
harus dalam bentuk uang. Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga
barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad.
Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka
waktu akad. Dalam hal Bank bertindak sebagai pembeli. Bank Syariah
dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang
merugikan Bank. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya
secara umum yang meliputi: jenis,spesikasi teknik, kualitas dan
kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang

1
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,2012), 11
2
Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 146-147

1
telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang
dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggung jawab
atas kelalainnya.3
Dalam buku Fiqh Ekonomi Syariah oleh Mardani yang
menjelaskan tentang fatwa DSN MUI, bahwa jual beli salam adalah
jual beli dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu
dengan syarat-syarat tertentu.4
Dalam mendefinisikan salam lebih lanjut, para fuqaha berbeda
mendapat dalam mendefinisikan salam namun memiliki subransi yang
tidak jauh berbeda. Fuqaha Hanafiyah mendefinisikan salam dengan :
“Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau menjual
suatu barang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih
awal, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”.
Selanjutnya, fuqaha Hanabilah dan Syafi’iyah mendefenisikan salam
dengan : “Akad yang telah disepakati untuk membuat sesuatu dengan
ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli dikemudian hari”.
Dan fuqaha Malikiyah mendefinisikan salam dengan : “Jual beli yang
modalnya dibayarkan terlebih dahulu, sedangkan barangnya
diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati”.5
Contoh jual beli salam yaitu Bu Rani memesan sejumlah pakaian
kepada toko al- hikmah. Bu Rani menjelaskan spesifikasi pakaian yang
dipesannya sekaligus membayar total biaya yang dikeluarkan untuk
membeli pakaian tersebut. Setelah pakaian tersedia atau ready, toko al-
hikamh mengirimkan sejumlah pakaian yang telah dipesan kepada Bu
Rani.
2. Dasar Hukum
Jual beli salam sebagai sarana tolong-menolong antara sesama
umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Al-qur’an dan
3
Lubis, F. Z. JUAL BELI SALAM DAN ISTISHNA.
4
Mardani, 117
5
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), 28-29

2
sunnah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat Al-qur’an dan Hadist
yang berbicara tentang jual beli Salam, antara lain sebagai berikut:
a. Landasan Al- Qur’an
Dalam Al- Quran sudah dijelaskan secara rinci. Sementara
dalam masalah muamalah, Al-Quran memberikan gambaran
secara global (umum), termasuk juga dalam masalah jual beli
dengan salam.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 282:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. (Q.S. Al-Baqarah : 282)6
Dari ayat diatas telah jelas dikemukakan dalam Islam
pelaksanaan jual beli salam bahwa pembeli membayar dahulu
sesuai dengan harga yang disepakati berdasarkan ciri-ciri
tertentu yang mana barangnya diserahkan (kepada pembeli)
kemudian hari. Maka diharuskan menuliskannya dan adanya
kesaksian dari kesepakatan yang dilakukan kedua belah pihak,
maka jika memungkinkan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Hal ini dikarenakan jika kedua belah pihak dapat dipercaya atau
terkadang salah satunya meninggal dunia, sehingga tidak dapat
diketahui lagi pihak penjual atas pembeli dan sebaliknya.
Ibnu Abbas berkata :”Saya bersaksi bahwa Salam yang
dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah
pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.”7 Setelah itu beliau
membaca surat an-Nisa ayat 29 :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh

6
Depertemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahnya, (Tangerang: Panca Cemerlang, 2010), 48
7
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 406.

3
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang
kepadamu.(Q.S. An-Nisa: 29)8
b. Landasan As-Sunnah
Nabi Muhammad Saw bersabda :
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al
Khallal berkata, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Tsabit Al Bazzar berkata, telah menceritakan kepada kami
Nashr bin Al Qasim dari 'Abdurrahman bin Dawud dari Shalih
bin Shuhaib dari Bapaknya ia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Tiga hal yang di dalamnya
terdapat barakah; jual beli yang memberi tempo, peminjaman,
dan campuran gandum dengan jelai untuk di konsumsi orang-
orang rumah bukan untuk dijual. (H.R. Ibnu Majah)9
c. Landasan Ijma’
Menurut mazhab Hanafi, jual beli Salam termasuk akad
yang dilarang karena secara qiyasi (prosedur analogi)
bertentangan dengan semangat jual beli dan juga termasuk jual
beli ma‟dum (jual beli yang masih belum ada)10
Dalam jual beli kontrak penjualan harus ada dan dimiliki
oleh penjual. Sementara dalam salam pokok kontrak itu belum
ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab
Hanafi menyetujui kontrak Salam atas dasar Istihsan
(menganggapnya baik) karena alasan sebagai berikut:
1. Masyarakat telah mempraktekan jual beli Salam secara
luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali.
Hal inilah yang melatar belakangi perbedaan ulama
dalam menghukumi jual beli Salam.

8
Depertemen Agama RI, 83.
9
Hafiz Ibnu Abdillah, Sunan Ibnu Majjah, (Beirut: Darr Al-Fikr, 1998), 217.
10
Ibid.,217

4
2. Didalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan
terhadap qiyas, dan hal ini telah menjadi konsensus
ulama (sudah ijma’).
3. Keberadaan jual beli Salam didasarkan atas kebutuhan
masyarakat. Banyak orang memerlukan barang yang
tidak tersedia dipasar, sehingga mereka cendrung
melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang
yang diperlukan tersebut.
4. Jual beli Salam sah sesuai dengan aturan umum
mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan
dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
d. Kaidah Fiqih
“hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Maksud dari kaidah tersebut adalah setiap muamalah dan
tranksasi, pada dasarnya boleh seperti jual beli, sewa menyewa,
gadai, kerja sama (mudharabah atau musyarakah) dan lain-
lain, kecuali yang diharamkan seperti judi, riba dan tipuan.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
a. Rukun Jual Beli Salam
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun jual beli
pesanan ini hanya ijab (ungkapan dari pihak pemesan dalam
pemesanan barang) dan qabul (ungkapan pihak produsen untuk
mengerjakan barang pesanan). Lafal yang disepakati dalam jual
beli pesanan menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah
adalah lafal as salam atau as-salaf atau lafal al-bai (jual beli).
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah lafal yang boleh
dipergunakan dalam jual beli pesanan ini hanya as-salam dan as-
salaf. Alasan ulama Syafi’iyah adalah bahwa menurut kaidah
umum (analogi) jual beli seperti ini tidak dibolehkan karna

5
barangnya tidak ada ketika akad. Akan tetapi syara’ membolehkan
dengan menggunakan lafal as-salam dan as-salaf.
Adapun penjelasan yang lebih jelas mengenai rukun transaksi salam
yaitu :
 Aqid, (orang yang melakukan akad) yakni pembeli (musalam)
dan penjual (al-muslam ilaih)
Aqid, terdiri dari penjual dan pembeli kedua pihak tersebut
diisayaratkan memilki kompetensi berupa akal baligh dan
memiliki kemampuan yang optimal seperti tidak gila, dan tidak
sedang dipaksa. Adapun untuk transaksi dengan anak kecil
dapat dilakukan dengan izin dan pantauan dari walinya.
Terkait dengan penjual, disini mengharuskan agar penjual
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan
jumlah yang telah disepakati. Penjual diperbolehkan
menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang telah
disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai
dengan kesepakatan dan penjual tidak boleh menuntut
tambahan harga11
 Objek akad meliputi barang dan harga barang Salam
Hukum objek akad transaksi jual beli Salam meliputi
barang yang diperjual belikan dan harga barang tersebut.
Terkait dengan barang Salam disini dalam fatwanya
menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi. Ketentuan tersebut adalah:
1. Harus dijelaskan spesifikasinya
2. Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari
3. Waktu dan tempat dilakukan sesuai dengan perjanjian
atau kesepakatan

11
Rizal Yahya, dkk, Akutansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktek Kontemporer,(Jakarta:
Salemba, 2009), 254.

6
4. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya
5. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang
yang sejenis sesuai kesepakatan12
 Sighat (ijab dan qabul)
Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul
(penerimaan Ikatan) sesuai dengan kehendak syariat
yang berpengaruh pada objek perikatan. Yang
dimaksud dengan "sesuai kehendak syariat" adalah
bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak
atau lebih tidak boleh, apabila tidak sejalan dengan
kehendak syara'. Misalnya, kesepakatan untuk
melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau
merampok kekayaan orang lain. Sedangkan
pencantuman kalimat “berpengaruh pada objek
perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan
kepemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab)
kepada pihak lain (yang menyatakan kabul).
b. Syarat Jual Beli Salam
Didalam jual beli salam tidak hanya disebutkan rukunnya saja
melainkan ada syarat ketentuan jual beli islam diantaranya :
1. Syarat orang yang berakad (Al-Aqid) Ulama malikiyah dan
Hanafiah mensyaratkan 'aqid harus berakal, yakni sudah
mumayyiz, anak yang agak besar ya pembicaraan dan jawaban
yang dilontarkan dapat dipaham serta berumur minimal 7
tahun. Oleh karena itu, anak kecil, orang gila dan orang bodoh
tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya13.
2. Syarat yang terkait pembayaran atau harga, diantaranya sebagai
berikut:

12
Ibid., 257
13
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2010), 74

7
 Alat bayar harus diketahui dengan jelas jumlah dan
jenisnya oleh pihak yang terlibat dalam transaksi.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan
ketidakjelasan dalam transaksi yang akhirnya
dikhawatirkan dapat menimbulkan perselisihan di
kemudian hari.
 Pembayaran harus dilakukan seluruhnya ketika akad
telah disepakati. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
maksud utama jual beli salam, yaitu membantu pihak
yang butuh modal untuk biaya produksi.
 Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan
utang.
3. Syarat yang terkait dengan barang, diantaranya sebagai berikut:
 Barangnya menjadi utang atau tanggungan bagi penjual.
Dengan demikian, barang pesanan yang telah menjadi
tanggungan pihak penjual, keberadaannya tidak boleh
diserahkan kepada pihak lain.
 Komoditinya harus dengan sifat-sifat yang jelas,
misalnya dengan disebutkan jenis, warna, ciri-ciri,
macam dan ukurannya.
 Barang yang dipesan harus selalu tersedia di pasaran
sejak akad berlangsung sampai tiba waktu penyerahan.
Aturan ini ditetapkan guna menjamin sebuah kepastian
dapat diserahkannya barang tersebut tepat pada
waktunya. Karena kesanggupan penjual untuk
penyerahan barang didasarkan pada upayanya untuk
menyediakan barang tersebut.
 Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang
dijanjikan (pendapat Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
Hambaliyah).

8
4. Syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang
Dalam melakukan akad salam, syarat tentang waktu dan tempat
penyerahan barang bergantung pada kesepakatan di antara
kedua belah pihak, agar lebih memberikan rasa aman dan lebih
menjaga agar tidak terjadi perselisihan. Ketentuan ini
ditetapkan apabila untuk membawa barang pesanan diperlukan
biaya pengiriman atau tempat terjadinya transaksi tidak layak
dijadikan tempat penyerahan barang pesanan, seperti di tengah
gurun.
5. Syarat Ijab dan kabul (Sighat)
a. Tujuan yang terkandung di dalam pernyataan ijab dan kabul
harus jelas dan terdapat kesesuaian sehingga dapat
dipahami oleh masing-masing pihak.
b. Pelaksanaan ijab dan kabul harus berhubungan langsung
dalam satu majelis. Apabila kedua belah pihak hadir dan
saling bertemu dalam satu tempat untuk melaksanakan
transaksi, maka tempat tersebut adalah majelis akad.
Adapun jika masing-masing pihak saling berjauhan, maka
majelis akad tempat terjadinya kabul. Pernyataan ijab dan
kabul dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan atau surah-
menyurat, atau isyarat yang memberikan pengertian dengan
jelas tentang adanya ijab dan kabul, dan dapat juga berupa
perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab kabul.
c. Menggunakan kata as-salam atau as-salaf. Bila
menggunakan kata-kata jual beli (al-bay‟), maka tidak sah,
menurut pendapat yang lebih kuat. Alasan yang
dikemukakan adalah karena jual beli pesanan termasuk jual
beli yang secara qiyas tidak diperbolehkan.
4. Hikmah-hikmah Jual Beli Salam
Setiap apapun yang d iisyaratkan dari Allah dan Rasul-Nya pasti
terkandung hikmah-hikmah tertentu. Akan tetapi, akibat kesibukan

9
manusia itu sendiri mengakibatkan manusia tidak bersyukur atau tidak
pernah merasakan hikmah yang terkandung didalamnya, tidak jarang
manusia menganggap bahwa jika yang terjai pada dirinya tidak sesuai
dengan harapan. Maka, mereka mengnggap bahwa Allah Swt tidak
adil dan hal-hal yang lainnya yang semuanya itu bisa menutup pintu
dibuka kan rahmat. Adapun hikmah yang tergantung dalam sistem jual
beli salam (pesanan) diantaranya yaitu:
a. Dapat memudahkan manusia dalam kegiatan jual beli
b. Dapat mensejahterakan ekonomi manusia
c. Sebagai media tolong menolong antar manusia satu dengan
manuisa lainnya
d. Dapat memenuhi kebutuhan masyarakan yang tidak dijual atau
tidak tersedia dipasar

10
B. Jual Beli Istishna’
1. Pengertian
Secara bahasa, kata istishna’ diambil dari kata Shana’a yang
berarti membuat kemudian ditambahkan huruf alif, sin dan ta’ menjadi
istishna. Yang berarti meminta untuk dibuatkan/dipesan sesuatu.
Secara terminologi Istishna’ berarti meminta kepada seseorang untuk
dibuatkan suatu barang tertentu dengan spesifikasi tertentu. Istishna’
juga dapat diartikan sebagai akad yang dibuat seseirang untuk membeli
barang pada orang tersebut. Jadi, akad Istishna’ barang yang menjadi
objek adalah barang-barang buatan atau hasil karya. Menurut ahli
fikih, Istishna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu
yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya (bahan bakunya)
dari pihak pembuat (tukang). Pada dasarnya, akad Istishna’ sama
halnya dengan salam, dimana barang yang menjadi objek akad atau
transaksi belum ada.
Dalam akad Istishna’ tidak disyaratkan memberikan modal atau
uang muka kepada penerima pesanan atau penjual. Para ulama menilai
bahwa akad Istishna’ termasuk dalam akad jual beli, bukan akad upah
mengupah atau sewa menyewa jasa (ijarah). Jumhur ulama
memandang akad salam (jual beli pesanan), sehingga syarat-syaratnya
pun sama dengan syarat yang berlaku dalam jual beli salam. Adapun
bahan dasar yang digunakan untuk membuat barang tersebut adalah
barang milik pembuatnya, apabila bahan dasarnya dari orang yang
memesan maka akadnya bukan Istishna’ tetapi akad ijarah.14
Dalil yang terdapat dalam fatwa tentang ilmu istishna’ ini hanya
terdiri dari dua buah hadis, satu kaidah fiqhiyah, dan kutipan pendapat
mazhab Hanafi yang membolehkan bertransaksi Istishna’. Hal ini

14
Safitri, Y. (2019). TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN
PADA SISTEM PESANAN DALAM JUAL BELI ISTISHNA (Studi Pada Toko Cahaya
Aluminium Di Kec. Kotabumi Selatan Kab. Lampung Utara) (Doctoral dissertation, UIN
Raden Intan Lampung).

11
berbeda dengan dalil-dalil yang digunakan untuk fatwa tentang salam,
dimana DSN-MUI mengemukakan dua ayat suci Al-Quran (surat Al-
Baqarah (2) ayat 282 dan Al-Maidah (5) ayat 1), empat buah hadis,
ijmak, serta kaidah fiqhiyah.15
2. Dasar Hukum
Menurut madzab Hanafi jual beli istishna’ diperbolehkan dengan
alasan yang diqiyaskan dan istishna’, demi kebaikan dalam kehidupan
manusia dan telah menjadi kebiasaan (urf) dalam beberapa masa.
Madzab Hanafi, akad istishna’ adalah jual beli tersendiri lepas dari
salam.
Jual beli istishna’ menurut qiyah adalah jual beli barang yang
belum ada (Bai’ Al-Ma’dum). Rosulullah melarang jual beli barang
yang belum ada ataupun jual beli ma’dum, salah satu yang menjadi
alasan mengapa jual beli ini diperbolehkan karena alasan istihsan.
Ulama’ fiqih sejak dahuu telah berbeda pendapat dalam
permasalahan ini ke dalam dua pendapat:
Pertama: istishna’ adalah akad yang tidak benar alias batil dalam
syari’ar islam. Dan dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan
Zufar seorang tokoh mazhab Hanafi.
 Hadist
Ulama madzab Hambali melarang akad ini berdalikan
dengan hadist Hakim bin Hizam yaitu:
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada
padamu.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’I, At
Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi’I, Ibnul Jarud, Ad
Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem).
Pada akad istishna’ pihak kedua yaitu produsen
telah menjual barang yang belum ia miliki kepada pihak
pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam, akad

15
Mujiatun, S. (2014). Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam Dan Istisna’. Jurnal Riset
Akuntansi dan Bisnis, 13(2).

12
ini tercangkup oleh larangan dalam hadist di atas.
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna’
adalah menyewa jasa produsen agar mengolah barang
miliknya dengan upah yang disepakati.
Kedua: Istishna’ adalah akad yang benar dan halal,
ini adalah pendapat kebanyakan ulama’ penganut mazhab
Hanafi dan sebagian besar ulama’ ahli fiqih. Ulama’
madzhab Hanafi berdalilkan dengan beberapa dalil berikut:
 Al-Qur’an
Q.S. Al-Baqarah ayat 275
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Q.S Al-Baqarah:275).
Q.S. Al-Baqarah ayat 282
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.”

 Ijma’
Menurut Ibnu Munzir, ulama’ bersepakat atas
kebolehannya jual beli dengan cara salam. Di samping itu,
cara tersebut juga dilakukan oleh masyarakat.
 Kaidah Faqih
Artinya: ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan. 16

3. Rukun dan Syarat Bai’ Istishna’


a. Rukun Bai’ Istishna’
Jual beli Istishna’ terdapat rukun yang harus terpenuhi, yakni
pemesanan (mustashni), penjual (shani), barang (masnu’) dan
16
Fahira, S. (2021). Analisis hukum islam terhadap praktik Akad Istisna'dalam jual beli
batu di PT. Wadi al-Aini membangun kantor cabang jl. Kh. Mas Mansyur no. 96
Surabaya (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

13
sighat (ijab qobul). Transaksi sual beli istishna’ merupakan suatu
jenis khusus dari akad jual beli as-salam. Ketentuan jual beli
istishna’ mengikuti aturan akad dan ketentuan jual beli as-salam.
Berikut rukun jual beli istishna’ :
 Pembeli (Muslam) yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak
yang membutuhkan dan ada yang memesan barang.
 Muslam Alaih atau Penjual adalah pihak yang
memproduksi barang pesanan.
 Objek akad, yaitu barang yang dijadikan obyek akad
disyaratkan jelas jenisnya, ciri-ciri dan ukurannya.17
b. Syarat Bai’ Istishna’
1. Berakal hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan
jual beli.
2. Ridha / kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
3. Apabila isi akad disyaratkan Shani’ hanya bekerja saja, maka
akad ini bukan istishna’, tetapi berubah menjadi akad ijarah.
4. Pihak yang membuat barang menyatakan kesanggupan untuk
mengadakan / membuat barang tersebut.
5. Mashnu’ (barang / obyek pemesanan) mempunyai kriteria yang
jelas seperti jenis, ukuran, mutu dan jumlah.
6. Barang tidak termasuk kategori yang dilarang syara’ (najis,
haram, samar / tidak jelas) atau menimbukan kemudratan.
4. Perbedaan Jual Beli Salam dan Istishna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istishna’ sama dengan salam, yaitu
jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-
ma’dum). Menurut fuqaha Hanafi, ada dua perbedaan yaitu:
1. Cara pembayaran salam harus dilaksanakan pada saat akad
berlangsung, sedangkan istishna’ dilakukan saat akad berlangsung
dan bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.

17
ULYA, F. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD BA’I ISTISHNA YANG
TERDAPAT WANPRESTASI DALAM PRAKTIK JUAL BELI MEBEL.

14
2. Salam mengikat para pihak yang mengandalkan akad sejak semula,
sedangkan istishna’ menjadi pengikut untuk melindungi produsen
sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggung jawab.18
5. Hikmah Disyariatkan Istishna’
Pada masa modern, produksi yang sudah ada tidak cukup atau belum
cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia modern. Ketika
kebutuhan-kebutuhan manusia akan sebuah produk juga akan
meningkat sehingga harus menciptakan produk-produk baru untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Dalam keadaan ini produsen dan
konsumen akan menerima timbal balik dan keuntungan dimana
produsen akan menerima timbal balik dan keuntungan dimana
produsen akan mendapat keuntungan dengan menciptakan kreasi dan
inovasi serta konsumen akan mendapatkan keuntungan dengan
terpenuhnya kebutuhan dan selera mereka baik dari segi bentuk
maupun kualitasnya. Hal ini kedua pihak akan sama-sama
mendapatkan kemaslahatan.19

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
18
Lubis, F. Z. JUAL BELI SALAM DAN ISTISHNA.
19
Hajar, S. (2019). Analisis penerapan akad Ba'i Al-Istishna'dan akad Qardh dalam
kepemilikan rumah pada developer D'Ahsana Property Syariah Mojokerto (Doctoral
dissertation, UIN Sunan A
mpel Surabaya).

15
Pengertian salam menurut secara terminologis adalah menjual suatu
barang yang penyerahanya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-
cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya
diserahkan kemudian hari.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian salam adalah jual beli yang
pembayarannya diserahkan terlebih dahulu ditempat akad dan penyerahan
barang dilakukan dikemudian hari atau sesuai perjanjian antara penjual dan
pembeli.
Dasar hukum jual beli Salam :
 Al – Qur’an surat al-Baqarah ayat 282
 As-Sunnah Nabi Muhammad Saw bersabda H.R. Ibnu
Majah
 Ijma’ mazhab Hanafi
 Kaidah Fiqih
Rukun jual beli Salam :
 Al – aqid
 Objek jual beli salam
 Sighat (ijab dan qabul)
Syarat-syarat jual beli salam :
 Syarat orang yang berakad (Al-Aqid)
 Syarat yang terkait pembayaran atau harga
 Syarat yang terkait dengan barang
 Syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang
 Syarat Ijab dan kabul (Sighat)

Secara bahasa, kata istishna’ diambil dari kata Shana’a yang


berarti membuat kemudian ditambahkan huruf alif, sin dan ta’ menjadi
istishna. Yang berarti meminta untuk dibuatkan/dipesan sesuatu.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian istishna’ adalah akad
pemesanan suatu barang dari pihak 1(pemesan) ke pihak 2 (produsen),

16
dalam istishna’ pemesan memiliki kriteria sendiri untuk dibuatkan barang
tersebut oleh produsen, produsen harus membuatkan barang pesanan
sesuai dengan keinginan pemesan. Dan cara penyelesaian pembayaran
dalam istishna' dilakukan di akhir.
Dasar hukum jual beli istishna’ :
 Hadist (Ulama madzab Hambali)
 Al-Qur’an (Q.S. Al-Baqarah ayat 275 dan 282)
 Ijma’ (Menurut Ibnu Munzir)
 Kaidah fiqih
Rukun jual beli istishna’ :
 Pembeli (Muslam)
 Muslam Alaih atau Penjual
 Objek akad
Syarat jual beli istishna’ :
 Berakal hokum.
 Ridha / kerelaan
 Shani’
 Pihak yang membuat barang menyatakan kesanggupan.
 Mashnu’ (barang / obyek pemesanan)
 Barang tidak termasuk kategori yang dilarang syara’.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Hafiz Ibnu.1998. Sunan Ibnu Majjah. Beirut: Darr Al-Fikr.


Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqh Sehari-Hari, Jakarta: Gema Insani Press.

17
Depertemen Agama RI. 2010. Al-quran dan Terjemahnya, Tangerang: Panca
Cemerlang.
Lubis. F.z, Jual Beli Salam Dan Istishna.
Mardani. 2012.Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Nasrun, Haroen.2007 Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Ismail, Nawawi.2012. Fiqh Muamalah Klasik dan Konterporer. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Yahya, Rizal.2009. Akutansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktek
Kontemporer.Jakarta: Salemba.

18

Anda mungkin juga menyukai