MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Fatwa-fatwa
Ekonomi Syariah
DosenPengampu
Dr. Ending Solehudin, M.Ag.
Disusun Oleh :
Handi Utami (1133020080)
HES/HBS B/VII
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan
Pendayagunaan Dana Zatat di Bidang Ekonomi. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Manajemen Zakat dan
Wakaf yakni Ibunda Siti Zayyini Hurun’in, M. E, Sy.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis
peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan judul yang bersangkutan, literatur
hukum islam, dan dari hasil analisis mengenai pendayagunaan zakat khususnya untuk
menentaskan kemiskinan. Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen
matakuliah Manajemen zakat dan wakaf atas bimbingan dan arahan dalam penulisan
makalah ini. dan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga
dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua, Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih
baik.
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN
A. Kesimpulan …………………………………………………………. 22
B. Saran …………………………………………………………........... 22
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih
muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan
bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga
jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam
pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah,
as-salam, dan al-istishnâ’.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishnâ’. Jual beli
dengan salam dan istishnâ’ ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan
keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishnâ’ wajar jika masih
banyak diminati.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana jual beli salam dan istishna menurut Al-Quran sunnah ijma dan
peraturan yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana praktek jual-beli salam dan istishna di nonbank ataupun lembaga
perbankan?
3. Bagaimana perbedaan jual-beli salam dan istisha merujuk dari aturan fatwa
DSN MUI maupun aturan yang lainnya?
C.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata salam berasal dari kata at-taslîm ()التَّ ْسلِيْم. Kata ini semakna dengan as-
salaf ( )ال َّسلَفyang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil
dikemudian hari. Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu
wa Ta’ala :
ُكلُوا َوا ْش َربُوا هَنِيًئا بِ َما َأ ْسلَ ْفتُ ْم فِي اَأْلي َِّام ْالخَالِيَ ِة
Dalam literatur lain salam diartikan sebagai transaksi jual beli barang
pesanan diantara pembeli dan penjual. spesifikasi dan harga pesanan harus
sudah disepakati diawal transaksi, sedangkan pembayarannya dilakukan
Dimuka secara penuh. Selanjutnya menurut para ulama’ syafiiyah dan
hanabilah, salam diartikan sebagai transaksi atas pesanan dengan spesifikasi
tertentu yang di tangguhkan pembayarannya pada waktu tertentu yang
pembayarannya dilakukan secara tunai di majelis akad. Umala’ malikiyah
mengemukakan salam adalah transaksi jual beli yang pembayarannnya
dilakukan secara tunai dan komoditas pesanan diserahkan pada waktu
tertentu.1
1
Antonio , Muhammad Syafii. 1433 H/2012 M. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek.
Depok: Gema Insani.
Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila
dibandingkan dengan jenis jual beli lainnya, diantaranya:
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan
pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced
payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi,
jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati
sebelumnya dalam perjanjian.2
Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan
dalil-dalil dari al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi
akal yang benar (al-qiyâsush shahîh).
ُيَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن ِإلَ ٰى َأ َج ٍل ُم َس ّمًى فَا ْكتُبُوه
َم ْن َأ ْسلَفَ فِى: ال ِ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َم ِدينَةَ„ َوهُ ْم يُ ْسلِفُونَ فِى الثِّ َم
َ َار ال َّسنَةَ َوال َّسنَتَ ْي ِن فَق َ قَ ِد َم النَّبِ ُّى
ٍ ُوم ِإلَى َأ َج ٍل َم ْعل
وم ٍ ُوم َو َو ْز ٍن َم ْعل ٍ ُف فِى َك ْي ٍل َم ْعل ْ ِتَ ْم ٍر فَ ْليُ ْسل
b) Jelas sifat-sifatnya
c) Jelas ukurannya
Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan
analogi akal dan kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân
‘hafizhahullâhu’ menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual
beli ini boleh. Karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna
dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi
kebutuhannya dengan pembayaran tunai sementara pembeli beruntung karena
bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah dari umumnya. Jadi,
manfaatnya kembali ke kedua pihak.”3
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NOMOR 05/DSN-MUI/IV/2000
TENTANG
JUAL BELI SALAM
Menimban :a. bahwa jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran
g harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu, disebut dengan
salam, kini telah melibatkan pihak perbankan;
b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam untuk dijadikan
pedoman oleh lembaga keuangan syari'ah.
3
Hadi, Abd. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam. Surabaya : Putra Media
Nusantara
ْأ
ٍ يَآ َأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا الَتَ ُكلُوْ ا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل ِإالَّ َأ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َر
...اض ِم ْن ُك ْم
… يَآ َأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا َأوْ فُوْ ا بِ ْال ُعقُوْ ِد
َ ِع َْن َأبِ ْي َس ِع ْي ٍد ْال ُخ ْد ِريْ رضي هللا عنه َأ َّن َر ُس„وْ َل هللا
َ „َص„لَّى هللاُ َعلَ ْي„ ِه َوآلِ„ ِه َو َس„لَّ َم ق
ِإنِّ َم„„ا:„ال
) (رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان،اض ٍ ْالبَ ْي ُع ع َْن تَ َر
Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR.
al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
ْ َم
... ط ُل ْال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم
6. Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
ِ اَلصُّ ْل ُح َجاِئ ٌز بَ ْينَ ْال ُم ْسلِ ِمينَ ِإالَّ ص ُْلحًا َح َّر َم َحالَالً َأوْ َأ َح َّل َح َرا ًما َو ْال ُم ْس„„لِ ُمونَ َعلَى ُش „ر
ُوط ِه ْم
.)ِإالَّ شَرْ طًا َح َّر َم َحالَالً َأوْ َأ َح َّل َح َرا ًما (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف
.ت ْاِإل بَا َحةُ ِإالَّ َأ ْن يَ ُد َّل َدلِ ْي ٌل َعلَى تَحْ ِر ْي ِمهَا
ِ َاََألصْ ُل فِى ْال ُم َعا َمال
MEMUTUSKAN
Menetapkan:FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM
Keenam :Perselisihan:
Kita semua tahu bahwa salah satu fungsi bank adalah sebagai lembaga
intermediary. Termasuk perbankan syariah, bank-bank ini tidak merasa
tertarik dengan proses mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap
dipasarkan kepada konsumen. Bank-bank ini hanya menyediakan dana untuk
pembiayaan. Lalu bagaimana model jual beli salam dapat diterapkan dalam
dunia perbankan syariah?
4
Djuwaini, Dimyaudin., dkk. 2007. Pengantar Fiqih Muamalah. Bogor: LPPM.
Keterangan:
1) Bank syariah membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi petani
buah mangga harum manis dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram
menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
2) Bank syariah membayar tunai kepada koperasi tersebut sebesar:
Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp. 500.000.000,-
3) Bank syariah menjual kepada pemborong buah mangga harum manis
dengan harga Rp.55.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam
untuk 1 tahun kedepan.
4) Pemborong membayar tunai kepada bank syariah sebesar: Rp.55.000,- x
1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
5) Setelah satu tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum
manis dengan jumlah dan kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
6) Bank syariah kemudian mengirimkan buah-buah tersebut kepada
pemborong.
7) Pemborong menjual mangga harum manis di pasar buah dengan harga
Rp.100.000,- per kilogram.
8) Pemborong mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar
buah.
Dari penjelasan dalam skema di atas, terlihat bahwa semua yang terlibat
dalam jual beli salam mendapatkan keuntungan mereka masing-masing. Para
petani mendapatkan keuntungan berupa panen yang baik dengan hasil yang
memuaskan disebabkan keperluan-keperluan mereka dalam mengelola
perkebunan tersebut dapat terpenuhi dengan uang tunai yang dibayarkan di
muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan pihak bank syariah mendapatkan
keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang merupakan selisih harga jual
kepada pemborong dengan harga beli dari petani mangga. Dan pihak
pemborong mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari bank syariah
dengan harga jual di pasar buah.5
Memang resiko yang ditanggung oleh pihak bank dan pemborong cukup
besar, utamanya ketika prospek harga barang tersebut ke depannya tidak
terlalu positif. Oleh karena itu, sikap kehati-hatian bank dalam model jual beli
ini sangatlah tinggi, dan skema ini pada akhirnya memang tidak dapat
diterapkan untuk semua jenis produk atau hasil pertanian, hanya pada jenis-
jenis hasil pertanian yang dapat diramalkan bagus. (Abu Fahmi)
5
Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana
B. PESAN PEMBUATAN BARANG (ISTISHNA)
1. Pengertian Pesan Pembuatan Barang (Istishna)
Secara istilah ialah akad jual beli antara pemesan dengan penerima
pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.
Dalam fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual beli dalm bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antar pemesan “pembeli, mustashni” dan penjual
“pembuat, shani”.
Kemudian ada yang disebut juga Istishna pararel, yaitu suatu bentuk akad
istishna' antara pemesan “pembeli, mustashni” dengan penjual “pembuat,
shani”, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni', penjual
memerlukan pihak lain sebagai shani'.
6
Ibid 78
2. Landasan Hukum Pesan Pembuatan Barang (Istishna)
a. Mazhab Hanafi
Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat
mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang
punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu
dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad
istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.
b. Mazhab Hambali
Menjelaskan jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak
termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan
dengan jual-beli dengan pembuatan
Menurut Al-Hadits
“ Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim) ”
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad
yang dibolehkan.
3. Fatwa Pesan Pembuatan Barang (Istishna)
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NOMOR 06/DSN-MUI/VI/2000
TENTANG
JUAL BELI ISTISHNA'
ص „ ْلحًا َح„ َّر َم َحالَالً َأوْ َأ َح„ َّل َح َرامًا َو ْال ُم ْس „لِ ُمونَ َعلَى
ُ َّلص „ ْل ُح َج„ اِئ ٌز بَ ْينَ ْال ُم ْس „لِ ِمينَ ِإال
ُّ َا
.)ُوط ِه ْم ِإالَّ شَرْ طًا َح َّر َم َحالَالً َأوْ َأ َح َّل َح َرا ًما (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف ِ ُشر
ِ َض َر َر َوال
)ض َرا َر (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما عن أبي سعيد الخدري َ َال
3. Kaidah fiqh:
.ت ْاِإل بَا َحةُ ِإالَّ َأ ْن يَ ُد َّل َدلِ ْي ٌل َعلَى تَحْ ِر ْي ِمهَا
ِ َاََألصْ ُل فِى ْال ُم َعا َمال
Memperhatikan: Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari
Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.
MEMUTUSKAN
Pada istishna’ pararel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu bank,
nasabah, dan pihak ketiga yang berkaitan dalam jalannya perjanjian
berikutnya. Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat melakukan
pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode pembangunan,
sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank. Atas pembiayaan terhadap
pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jual beli barang
yang terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank kepada pemasok
dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank
mendapatkan pendapatan selain margin berupa pendapatan administrasi.
Secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna dalam perbankan syari’ah
cenderung dilakukan dalam format istishna paralel. Hal ini dapat dipahami
karena pertama, kegiatan istishna oleh bank syariah merupakan akibat dari
adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua, bank syariah
bukanlah produsen dari barang yang dimaksud.8
8
Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana
C. Perbedaan Salam dan Istishna
Jual beli istisna’ merupakan pengembangan dari jual beli salam, walaupun
demikian antara keduanya memiliki berbagai perbedaan Siantar keduanya
yaitu sebagai berikut:
a. Objek transaksi dalam salam merupakan tanggungan dengan spesifikasi
kualitas ataupun kualitas, sedang istishnâ’ berupa zat/barangnya.
b. Dalam kontrak salam adanya jangka waktu tertentu untuk menyerahkan
barang pesanan, hal ini tidak berlaku dalam akad ishtisna’.
c. Kontrak salam bersifat mengikat (lazim), sedangkan istishnâ’, tidak
bersifat mengikat (ghairu lazim).
d. Dalam kontrak salam persyaratan untuk menyerahkna modal atau
pembayaran saat kontrak dilakukan dalam majelis kontrak, sedangkan
dalam istishnâ’ dapat dibayar di muka, cicilan atau waktu mendatang
sesuai dengan kesepakatan.9
Sedangkan menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam
dengan istisna’ yaitu:
9
Wabah zuhaily, al-fiqh islami waadillatuhu, (Beirut. Darul fikri:1989 ) hlm. 634-635
BAB III
PENUTUP
A. KESIMMPULAN
Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat
menarik kesimpulan:
Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam
yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat
ijab qabul, dan alat tukar.
Al-Istishnâ’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya
produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran
bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan
syarat istishnâ’ mengikuti bai’ as-salam. Hanya saja pada bai’ al-
istishnâ’ pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya
penentuan waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang
pada umumnya.
Perbedaan salam dan istishnâ’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam
dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishnâ’ tidak
secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta
saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio , Muhammad Syafii. 1433 H/2012 M. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek.
Depok: Gema Insani.
Hadi, Abd. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam. Surabaya : Putra Media
Nusantara
http://scarmakalah.blogspot.com/2013/01/salam-dan-istishna_1666.html
http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html