Anda di halaman 1dari 26

FATWA TENTANG BELI BARANG PESANAN (SALAM) DAN

FATWA TENTANG PESAN PEMBUATAN BARANG (ISTISHNA)

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Fatwa-fatwa
Ekonomi Syariah
DosenPengampu
Dr. Ending Solehudin, M.Ag.

Disusun Oleh :
Handi Utami (1133020080)
HES/HBS B/VII

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARI`AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016 M / 1438 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan
Pendayagunaan Dana Zatat di Bidang Ekonomi. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Manajemen Zakat dan
Wakaf yakni Ibunda Siti Zayyini Hurun’in, M. E, Sy.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis
peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan judul yang bersangkutan, literatur
hukum islam, dan dari hasil analisis mengenai pendayagunaan zakat khususnya untuk
menentaskan kemiskinan. Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen
matakuliah Manajemen zakat dan wakaf atas bimbingan dan arahan dalam penulisan
makalah ini. dan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga
dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua, Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih
baik.

Bandung, 22 September 2016


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………......................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1

BAB II DESKRIPSI UMUM PERADILAN AGAMA


A. Pengertian Beli Barang Pesanan (Salam) ………………................... 2
B. Pesan Pembuatan Barang (Istishna) .............................................. 14
C. Perbedaan Salam dan Istishna ...................................................... 21

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………. 22
B. Saran …………………………………………………………........... 22

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih
muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan
bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga
jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam
pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah,
as-salam, dan al-istishnâ’.

Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan


dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta
kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan
melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di
depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual
beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.

Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishnâ’. Jual beli
dengan salam dan istishnâ’ ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan
keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishnâ’ wajar jika masih
banyak diminati.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana jual beli salam dan istishna menurut Al-Quran sunnah ijma dan
peraturan yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana praktek jual-beli salam dan istishna di nonbank ataupun lembaga
perbankan?
3. Bagaimana perbedaan jual-beli salam dan istisha merujuk dari aturan fatwa
DSN MUI maupun aturan yang lainnya?
C.
BAB II

PEMBAHASAN

A. BELI BARANG PESANAN (SALAM)


1. Pengertian Beli Barang Pesanan (Salam)

Kata salam berasal dari kata at-taslîm (‫)التَّ ْسلِيْم‬. Kata ini semakna dengan as-
salaf (‫ )ال َّسلَف‬yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil
dikemudian hari. Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu
wa Ta’ala :

‫ُكلُوا َوا ْش َربُوا هَنِيًئا بِ َما َأ ْسلَ ْفتُ ْم فِي اَأْلي َِّام ْالخَالِيَ ِة‬

(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap


disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.[al-
Hâqqah/69:24]

Dalam literatur lain salam diartikan sebagai transaksi jual beli barang
pesanan diantara pembeli dan penjual. spesifikasi dan harga pesanan harus
sudah disepakati diawal transaksi, sedangkan pembayarannya dilakukan
Dimuka secara penuh. Selanjutnya menurut para ulama’ syafiiyah dan
hanabilah, salam diartikan sebagai transaksi atas pesanan dengan spesifikasi
tertentu yang di tangguhkan pembayarannya pada waktu tertentu yang
pembayarannya dilakukan secara tunai di majelis akad. Umala’ malikiyah
mengemukakan salam adalah transaksi jual beli yang pembayarannnya
dilakukan secara tunai dan komoditas pesanan diserahkan pada waktu
tertentu.1

1
Antonio , Muhammad Syafii. 1433 H/2012 M. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek.
Depok: Gema Insani.
Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila
dibandingkan dengan jenis jual beli lainnya, diantaranya:

a. Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu


jual beli ini dinamakan juga as-salaf.
b. Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam
majlis akad.

Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan
pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced
payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi,
jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati
sebelumnya dalam perjanjian.2

2. Landasan Hukum Beli Barang Pesanan (Salam)

Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan
dalil-dalil dari al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi
akal yang benar (al-qiyâsush shahîh).

a. Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman :

ُ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن ِإلَ ٰى َأ َج ٍل ُم َس ّمًى فَا ْكتُبُوه‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. [al-
Baqarah/2:282].

Sahabat yang mulia Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan


ayat ini sebagai landasan membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau
Radhiyallahu anhu mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-
salam) yang terjamin hingga tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan
2
Ibid 142
oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân. (Kemudian beliau membaca
firman Allâh Azza wa Jalla artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menulisnya. (Hadits ini dishahihkan al-Albâni t dalam kitab
Irwâ’ul Ghalîl, no. 340 dan beliau mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan imam
asy-Syâfi’i no. 1314, al-Hâkim, 2/286 dan al-Baihaqi 6/18).

Firman Allâh Azza wa Jalla diatas, yang artinya, “apabila kamu


bermu’amalah tidak dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi
semua yang tidak tunai, baik pembayaran maupun penyerahan barang.
Apabila yang tidak tunai adalah penyerahan barang maka itu dinamakan
bai’us salam.

b. Dalam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan :

‫ َم ْن َأ ْسلَفَ فِى‬: ‫ال‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َم ِدينَةَ„ َوهُ ْم يُ ْسلِفُونَ فِى الثِّ َم‬
َ َ‫ار ال َّسنَةَ َوال َّسنَتَ ْي ِن فَق‬ َ ‫قَ ِد َم النَّبِ ُّى‬
ٍ ُ‫وم ِإلَى َأ َج ٍل َم ْعل‬
‫وم‬ ٍ ُ‫وم َو َو ْز ٍن َم ْعل‬ ٍ ُ‫ف فِى َك ْي ٍل َم ْعل‬ ْ ِ‫تَ ْم ٍر فَ ْليُ ْسل‬

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk


Madinah telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun.
maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan
kurma, maka hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo
yang jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]

c. Para Ulama telah berijmâ’

(berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini, seperti diungkapkan


Ibnu al-Mundzir t dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah t menguatkan
penukilan ijma’ ini. Beliau t menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal
sepakat menyatakan as-salam itu boleh.”

Rukun dan Syarat Jual Beli As-Salam


1) Mu’aqidain : Pembeli (muslam) dan penjual ( muslam ilaih)

a) Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).

b) Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).

2) Obyek transaksi ( muslam fih):

a) Dinyatakan jelas jenisnya

b) Jelas sifat-sifatnya

c) Jelas ukurannya

d) Jelas batas waktunya

e) Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas

3) Sighat ‘ijab dan qabul


4) Alat tukar/harga

a) Jelas dan terukur

b) Disetujui kedua pihak

c) Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung

Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan
analogi akal dan kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân
‘hafizhahullâhu’ menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual
beli ini boleh. Karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna
dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi
kebutuhannya dengan pembayaran tunai sementara pembeli beruntung karena
bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah dari umumnya. Jadi,
manfaatnya kembali ke kedua pihak.”3

Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân ‘hafizhahullâhu’


mengatakan, “Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk
kemudahan dan kemurahan syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal
yang bisa memberikan kemudahan dan mewujudkan kebaikan bagi manusia,
disamping juga bebas dari riba dan seluruh larangan Allah SWT.

3. Fatwa Tentang Beli Barang Pesanan (Salam)

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NOMOR 05/DSN-MUI/IV/2000
TENTANG
JUAL BELI SALAM

‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ ٰ َم ِن ٱل َّر ِح ِيم‬

Dewan Syari’ah Nasional setelah

Menimban :a. bahwa jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran
g harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu, disebut dengan
salam, kini telah melibatkan pihak perbankan;
b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam untuk dijadikan
pedoman oleh lembaga keuangan syari'ah.

Mengingat :1. Firman Allah QS. al-Nisa' [4]: 29:

3
Hadi, Abd. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam. Surabaya : Putra Media
Nusantara
‫ْأ‬
ٍ ‫يَآ َأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا الَتَ ُكلُوْ ا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل ِإالَّ َأ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َر‬
...‫اض ِم ْن ُك ْم‬

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan


(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu…”.

2. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:

… ‫يَآ َأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا َأوْ فُوْ ا بِ ْال ُعقُوْ ِد‬

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.

3. Hadis Nabi SAW.:

َ ِ‫ع َْن َأبِ ْي َس ِع ْي ٍد ْال ُخ ْد ِريْ رضي هللا عنه َأ َّن َر ُس„وْ َل هللا‬
َ „َ‫ص„لَّى هللاُ َعلَ ْي„ ِه َوآلِ„ ِه َو َس„لَّ َم ق‬
‫ ِإنِّ َم„„ا‬:‫„ال‬
)‫ (رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان‬،‫اض‬ ٍ ‫ْالبَ ْي ُع ع َْن تَ َر‬
Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR.
al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

4. Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:

ٍ ُ‫وم ِإلَى َأ َج ٍل َم ْعل‬


.‫وم‬ ٍ ُ‫َم ْن َأ ْسلَفَ فِي َش ْي ٍء فَفِ ْي َك ْي ٍل َم ْعل‬
ٍ ُ‫وم َو َو ْز ٍن َم ْعل‬

"Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan


dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka
waktu yang diketahui" (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari [Beirut:
Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36)

5. Hadis Nabi riwayat jama'ah:

ْ ‫َم‬
... ‫ط ُل ْال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم‬

"Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu


adalah suatu kezaliman ..."

6. Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:

َ ْ‫لَ ُّي ْال َوا ِج ِد ي ُِحلُّ ِعر‬


ُ‫ضهُ َو ُعقُوْ بَتَه‬

"Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu


menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya."

7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:

ِ ‫اَلصُّ ْل ُح َجاِئ ٌز بَ ْينَ ْال ُم ْسلِ ِمينَ ِإالَّ ص ُْلحًا َح َّر َم َحالَالً َأوْ َأ َح َّل َح َرا ًما َو ْال ُم ْس„„لِ ُمونَ َعلَى ُش „ر‬
‫ُوط ِه ْم‬
.)‫ِإالَّ شَرْ طًا َح َّر َم َحالَالً َأوْ َأ َح َّل َح َرا ًما (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف‬

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali


perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

8. Ijma. Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan


jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga
diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
9. Kaidah fiqh:

.‫ت ْاِإل بَا َحةُ ِإالَّ َأ ْن يَ ُد َّل َدلِ ْي ٌل َعلَى تَحْ ِر ْي ِمهَا‬
ِ َ‫اََألصْ ُل فِى ْال ُم َعا َمال‬

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali


ada dalil yang mengharamkannya.”

MEMUTUSKAN
Menetapkan:FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM

Pertama :Ketentuan tentang Pembayaran:


1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik
berupa uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak
disepakati.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan
hutang.

Kedua :Ketentuan tentang Barang:


1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan.
5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang
sejenis sesuai kesepakatan.

Ketiga :Ketentuan tentang Salam Paralel (‫)السلم الموازي‬:


Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad
kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad
pertama.

Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada waktunya:


1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya
dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang
lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan
harga.
3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang
lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia
tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu
yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang
sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut
tambahan harga.
5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada
waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan
pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua
pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali
uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.

Kelima :Pembatalan Kontrak:


Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama
tidak merugikan kedua belah pihak.

Keenam :Perselisihan:

Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka


persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
4. Aplikasi Beli Barang Pesanan (Salam)

Aplikasi salam dikehidupan sehari-hari mungkin dapat di Contohkan


sebagai berikut:

orang muslim membeli komoditi tertentu dengan ciri-ciri tertentu,


misalnya: mobil, rumah makan, hewan, dan sebagainya, yang akan
diterimanya pada waktu tertentu. Ia bayar harganya dan menunggu waktu
yang telah disepakati untuk menerima komoditi tersebut. Jika waktunya telah
tiba, penjual menyerahkan komoditi tersebut kepadanya.4

Aplikasi Jual Beli Salam di Perbankan Syariah

Kita semua tahu bahwa salah satu fungsi bank adalah sebagai lembaga
intermediary. Termasuk perbankan syariah, bank-bank ini tidak merasa
tertarik dengan proses mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap
dipasarkan kepada konsumen. Bank-bank ini hanya menyediakan dana untuk
pembiayaan. Lalu bagaimana model jual beli salam dapat diterapkan dalam
dunia perbankan syariah?

Jawabannya sebenarnya sangat mudah, hanya memerlukan sedikit


keberanian dan kerelaan untuk menanggung resiko agar skema jual beli salam
ini bias sukses. Hal ini disebabkan pihak bank harus mempersiapkan diri
dengan kerugian-kerugian yang mungkin terjadi dari jatuhnya harga Al
Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan). Dan tentu saja, jual beli salam
tidak dapat diterapkan untuk semua hasil pertanian. Skema jual beli salam
yang dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah adalah seperti pada
Gambar berikut.

4
Djuwaini, Dimyaudin., dkk. 2007. Pengantar Fiqih Muamalah. Bogor: LPPM.
Keterangan:

Koperasi petani mangga harum manis memerlukan bantuan dana untuk


mensukseskan panen anggota-anggotanya tahun depan terhitung dari
sekarang. Untuk itu, koperasi petani tersebut mendatangi bank syariah dan
menawarkan skema jual beli salam agar bank syariah tidak rugi dan petanipun
dapat panen dengan baik. Maka prosesnya adalah sebagai berikut:

1) Bank syariah membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi petani
buah mangga harum manis dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram
menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
2) Bank syariah membayar tunai kepada koperasi tersebut sebesar:
Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp. 500.000.000,-
3) Bank syariah menjual kepada pemborong buah mangga harum manis
dengan harga Rp.55.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam
untuk 1 tahun kedepan.
4) Pemborong membayar tunai kepada bank syariah sebesar: Rp.55.000,- x
1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
5) Setelah satu tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum
manis dengan jumlah dan kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
6) Bank syariah kemudian mengirimkan buah-buah tersebut kepada
pemborong.
7) Pemborong menjual mangga harum manis di pasar buah dengan harga
Rp.100.000,- per kilogram.
8) Pemborong mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar
buah.

Dari penjelasan dalam skema di atas, terlihat bahwa semua yang terlibat
dalam jual beli salam mendapatkan keuntungan mereka masing-masing. Para
petani mendapatkan keuntungan berupa panen yang baik dengan hasil yang
memuaskan disebabkan keperluan-keperluan mereka dalam mengelola
perkebunan tersebut dapat terpenuhi dengan uang tunai yang dibayarkan di
muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan pihak bank syariah mendapatkan
keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang merupakan selisih harga jual
kepada pemborong dengan harga beli dari petani mangga. Dan pihak
pemborong mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari bank syariah
dengan harga jual di pasar buah.5

Memang resiko yang ditanggung oleh pihak bank dan pemborong cukup
besar, utamanya ketika prospek harga barang tersebut ke depannya tidak
terlalu positif. Oleh karena itu, sikap kehati-hatian bank dalam model jual beli
ini sangatlah tinggi, dan skema ini pada akhirnya memang tidak dapat
diterapkan untuk semua jenis produk atau hasil pertanian, hanya pada jenis-
jenis hasil pertanian yang dapat diramalkan bagus. (Abu Fahmi)

5
Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana
B. PESAN PEMBUATAN BARANG (ISTISHNA)
1. Pengertian Pesan Pembuatan Barang (Istishna)

Istishna berasal dari kata (shana’a) yang artinya membuat, kemudian


ditambah huruf alif sin dan ta’ menjadi (istashna’a) yang berarti meminta
dibuatkan sesuatu. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya perjanjian terhadap
barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di
buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan
bakunya dari pihak penjual.

Secara istilah ialah akad jual beli antara pemesan dengan penerima
pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.

Sedangkan dalam kodifikasi produk perbankan Syariah dijelaskan bahwa


istishnâ’ adalah sebagai Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang berdasarkan persyaratan tertentu, kriteria, dan pola pembayaran sesuai
dengan kesepakatan.6

Dalam fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual beli dalm bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antar pemesan “pembeli, mustashni” dan penjual
“pembuat, shani”.

Kemudian ada yang disebut juga Istishna pararel, yaitu suatu bentuk akad
istishna' antara pemesan “pembeli, mustashni” dengan penjual “pembuat,
shani”, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni', penjual
memerlukan pihak lain sebagai shani'.

6
Ibid 78
2. Landasan Hukum Pesan Pembuatan Barang (Istishna)

Mengingat istishnâ’ ini metodenya hampir sama dengan metode pada


salam maka Secara umum landasan syariahnya yang berlakunya pada salam
juga berlaku pada istishnâ’.

Menurut pandangan ulama:

a. Mazhab Hanafi
Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat
mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang
punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu
dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad
istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.
b. Mazhab Hambali
Menjelaskan jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak
termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan
dengan jual-beli dengan pembuatan

Menurut Al-Hadits

“ Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim) ”

Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad
yang dibolehkan.
3. Fatwa Pesan Pembuatan Barang (Istishna)

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NOMOR 06/DSN-MUI/VI/2000
TENTANG
JUAL BELI ISTISHNA'

‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ ٰ َم ِن ٱل َّر ِح ِيم‬

Dewan Syari’ah Nasional setelah

Menimbang :a. bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu, sering


memerlukan pihak lain untuk membuatkannya, dan hal seperti itu
dapat dilakukan melalui jual beli istishna' (‫)االستصناع‬, yaitu akad
jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (pembeli, mustashni') dan penjual (pembuat, shani');
b. bahwa transaksi istishna' pada saat ini telah dipraktekkan oleh
lembaga keuangan syari'ah.
c. bahwa agar praktek tersebut sesuai dengan syari'ah Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang istishna' untuk
menjadi pedoman.

Mengingat :1. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:

‫ص „ ْلحًا َح„ َّر َم َحالَالً َأوْ َأ َح„ َّل َح َرامًا َو ْال ُم ْس „لِ ُمونَ َعلَى‬
ُ َّ‫لص „ ْل ُح َج„ اِئ ٌز بَ ْينَ ْال ُم ْس „لِ ِمينَ ِإال‬
ُّ َ‫ا‬
.)‫ُوط ِه ْم ِإالَّ شَرْ طًا َح َّر َم َحالَالً َأوْ َأ َح َّل َح َرا ًما (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف‬ ِ ‫ُشر‬

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali


perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

2. Hadis Nabi SAW.:

ِ َ‫ض َر َر َوال‬
)‫ض َرا َر (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما عن أبي سعيد الخدري‬ َ َ‫ال‬

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain."


(HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa'id al-
Khudri)

3. Kaidah fiqh:

.‫ت ْاِإل بَا َحةُ ِإالَّ َأ ْن يَ ُد َّل َدلِ ْي ٌل َعلَى تَحْ ِر ْي ِمهَا‬
ِ َ‫اََألصْ ُل فِى ْال ُم َعا َمال‬

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan


kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

4. Menurut mazhab Hanafi, istishna' hukumnya boleh (jawaz)


karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak
masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.

Memperhatikan: Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari
Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.

MEMUTUSKAN

Menetapkan:FATWA TENTANG JUAL BELI ISTISHNA'

Pertama :Ketentuan tentang Pembayaran:


1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua :Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5. Pembeli (mustashni') tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hakkhiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.

Ketiga :Ketentuan lain:


1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas
berlaku pula pada jual beliistishna'.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
4. Aplikasi Pesan Pembuatan Barang (Istishna)

Berdasarkan penjelasan diatas baik secara landasan hukum dari para


ulama maupun fatwa DSN MUI maka kita dapat mengambil contoh sebagai
berikut.

Seseorang memesan sepatu berbahan kulit ke tukang sepatu dengan harga


x rupiah,untuk pembayaran bisa dilakukan secara cash,cicilan,atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.

Contohnya seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang kayu,


tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya
barang anu sejumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesananan ini
adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari
pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa
tukang.

Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli


dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan
dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk
membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan
menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga
serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di
tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.7

Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus


dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan
konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan
dan aturan bai’ as-salam.

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. 1432 H/2011 M. Ensiklopedia Muslim Minhajul


7

Muslim. Bekasi: PT. Darul Falah.


Secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna dalam perbankan syari’ah
cenderung dilakukan dalam format istishna paralel. Hal ini dapat dipahami
karena pertama, kegiatan istishna oleh bank syariah merupakan akibat dari
adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua, bank syariah
bukanlah produsen dari barang yang dimaksud.

Pada istishna’ pararel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu bank,
nasabah, dan pihak ketiga yang berkaitan dalam jalannya perjanjian
berikutnya. Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat melakukan
pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode pembangunan,
sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank. Atas pembiayaan terhadap
pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jual beli barang
yang terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank kepada pemasok
dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank
mendapatkan pendapatan selain margin berupa pendapatan administrasi.
Secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna dalam perbankan syari’ah
cenderung dilakukan dalam format istishna paralel. Hal ini dapat dipahami
karena pertama, kegiatan istishna oleh bank syariah merupakan akibat dari
adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua, bank syariah
bukanlah produsen dari barang yang dimaksud.8

8
Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana
C. Perbedaan Salam dan Istishna

Jual beli istisna’ merupakan pengembangan dari jual beli salam, walaupun
demikian antara keduanya memiliki berbagai perbedaan Siantar keduanya
yaitu sebagai berikut:
a. Objek transaksi dalam salam merupakan tanggungan dengan spesifikasi
kualitas ataupun kualitas, sedang istishnâ’ berupa zat/barangnya.
b. Dalam kontrak salam adanya jangka waktu tertentu untuk menyerahkan
barang pesanan, hal ini tidak berlaku dalam akad ishtisna’.
c. Kontrak salam bersifat mengikat (lazim), sedangkan istishnâ’, tidak
bersifat mengikat (ghairu lazim).
d. Dalam kontrak salam persyaratan untuk menyerahkna modal atau
pembayaran saat kontrak dilakukan dalam majelis kontrak, sedangkan
dalam istishnâ’ dapat dibayar di muka, cicilan atau waktu mendatang
sesuai dengan kesepakatan.9

Sedangkan menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam
dengan istisna’ yaitu:

a. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad


berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad
berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
b. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula,
sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga
tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggungjawab.

9
Wabah zuhaily, al-fiqh islami waadillatuhu, (Beirut. Darul fikri:1989 ) hlm. 634-635
BAB III

PENUTUP

A. KESIMMPULAN

Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat
menarik kesimpulan:
Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda,  pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam
yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat
ijab qabul, dan alat tukar.
Al-Istishnâ’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya
produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran
bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan
syarat istishnâ’  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-
istishnâ’  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya
penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang
pada umumnya.
Perbedaan salam dan istishnâ’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam
dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishnâ’ tidak
secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.

B. SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta
saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari Buku:

Djuwaini, Dimyaudin., dkk. 2007. Pengantar Fiqih Muamalah. Bogor: LPPM.

Antonio , Muhammad Syafii. 1433 H/2012 M. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek.
Depok: Gema Insani.

Hadi, Abd. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam. Surabaya : Putra Media
Nusantara

Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. 1432 H/2011 M. Ensiklopedia Muslim Minhajul


Muslim. Bekasi: PT. Darul Falah.

Sumber dari Internet :

http://scarmakalah.blogspot.com/2013/01/salam-dan-istishna_1666.html

http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html

Anda mungkin juga menyukai