Dosen Pengampu:
Dr. Zulkarnain Ali, MA.
Disusun Oleh :
Arief Rahman
Azis Nur Rokhman
Irwan Baadila
i
BAB I
Pendahuluan
Transaksi jual-beli adalah kegiatan sehari-hari, karena hampir setiap hari kita
melakukan transaksi jual beli.Jual beli dalam Islam atau ba'i adalah tukar menukar barang
maupun benda , dengan terjadinya perpindahan hak milik suatu barang tersebut dari satu
pihak ke pihak lain. Jual beli harus dengan atas dasar kerelaan serta sesuai dengan ketentuan
yang dibenarkan Syara'.Hukum dari jual beli adalah Halah , seperti dalam Q.S Al-
Baqarah:275 "Allah Menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba".
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah
islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan.
Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah
dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam
perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’. Kegiatan yang dilakukan
perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli,
menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. pada perbankan syariah,
prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi
jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Dalam kegiatan transaksi dalam perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan
dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan
lainnya. pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan
barang. tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga
atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya
dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan istishna’dan salam. Jual beli
dengan istishna’ dan salam ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan keamanannya juga
jelas. Maka jual beli istishna’ dan salam wajar jika masih banyak diminati.
1
Agar pembahasan masalah dalam makalah ini terarah, maka kami merumuskan masalah-
masalah tersebut dengan rincian sebagai berikut:
Tujuan kami Menyusun makalah ini agar mahasiswa khusunya dan yang membaca pada
umumnya memahami ;
2
BAB II
Pembahasan
1. Ba’i Salam
Jurnal Nahdhotul Fikr menjelaskan pengertian Bai Salam dalam sisi bahasa dan
istilah. Dalam sisi Bahasa “Salam adalah al-I’tho’ dan at-taslif. Keduanya bermakna
pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna: dia telah
menyerahkan baju kepada penjahit.”1
Sedangkan secara istilah syariah, akad salam didefinisikan oleh para fuqaha
secara umumnya: (اجالGGGدل يعطى عGGGة ببGGGوف في الذمGGGع موصGGG)بي. Jual-beli barang yang
disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran) yang dilakukan
saat itu juga. Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah
salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.2
Selaras dengan Pengertian yang dijelaskan dalam Kitab Fiqh Sunnah karya dari
Sayyid Sabiq bahwa, “Salam juga dikenal dengan istilah salaf’. Salam merupakan
bentuk jual beli sesuatu dalam tanggungan yang dijelaskan dengan harga yang dibayar
di muka. ulama fikih menyebutnya dengan istirah bai'u al-Mahawij, karena salam
termasuk jenis jual beli yang tidak nyata dan atas dasar tuntutan kebutuhan orang
yang bertransaksi.3”.
Dan juga selaras dengan pengertian yang disampaikan ulama syafiiyyah dan
hanabilah bahwa Akad atas suatu barang dengan kriteria tertentu sebagai tanggungan
tertunda dengan harga yang dibayarkan dalam majelis akad.4
Dari penjelasan tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa transaksi jual beli
dengan sistem Salam adalah transaksi jual-beli yang dilakukan dengan cara uang
diserahkan diawal dengan perjanjian yang jelas antara kedua belah pihak tentang
kesempurnaan barang dan penyerahan barang itu. Ada dua waktu yang menjadi garis
utamanya, yaitu waktu penyerahan uang dan waktu penyerahan barang.
1
Jurnal nahdhotul fikr vol. 3 no 1 januari-juni 2021
2
Jurnal nahdhotul fikr vol. 3 no 1 januari-juni 2021
3
Fiqh sunnah, sayyid sabiq hal 217
4
Wahbah azzuhaili, al fiqh al islami wa adillatuh
3
Syariat Bai Salam
1. Dasar hukum
Pemberlakuan salam didasarkan pada Al-qur'an, Sunnnah, dan
Ijma.5
1.1 Al-Qur’an
Dasar hukum yang dijadikan pijakan untuk secara spesifik tidak
diketemukan, hanya para ulama dalam menetapkan ketentuan tentang bay'
assalam adalah berdasarkan kepada keumuman ayat yang terdapat pada
QS 2 : 282 :"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.6
Sedangkan dalam kitab Fiqhussunnah Sayyid Sabiq mengutip keterangan
tegas ibnu abbas tentang dasar hukum bai salam dalam alquran. Ibnu
Abbas ra. berkata, 'Aku bersaksi bahwa salaf atau salam yang dijamin
sampai waktu tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah swt.
dalam kitab-Nya." Lantas dia membaca firman Allah swt.
ٓ
ُٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُبُوْ ۗه
1.2 Assunnah
Dalam hadits Sayyid Sabiq menjelaskan hadits dari Imam Bukhori dan
muslim. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
Tiba di Madinah ketika para sahabat melakukan salaf dalam buah-buahan
dengan batas waktu sampai satu dan dua tahun. Beliau lantas bersabda,
من اسلف فليسلف في كيل معلوم و وزن معلوم الي اجل معلوم
Artinya: “Barang siapa yang melakukan salaf, hendaknya ia melakukan
dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, dan waktu yang diketahui”.
Penjelasan tersebut selaras dengan penjelasan imam syafii dalam kitabnya
Al-Umm jilid ke Dua dalam Bahasa Arab bab jual beli. Imam Syafi’i pun
berpendapat yang sama yang dimaksud salam adalah salaf begitupun
sebaliknya.7
1.3 Ijma’
5
Sayyid sabiq fiqhus sunnah
6
Itiqad jurnal agama dan Pendidikan islam, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara,
uswah hasanah
7
Al-umm jilid 2 bab jual beli hal 97 (Bahasa arab)
4
Ibnu Mundzir berkata, "Semua ulama yang kami menghafal dari mereka
menyepakati bahwa salam dibolehkan.”
Bai salam memiliki syarat-syarat yang harus terpenuhi agar transaksi jual beli
dengan sistem salam dikatakan sah. Yaitu,
1. Syarat-syarat penukar8
a. Jenisnya diketahui
b. Jumlahnya diketahui
c. Diserahkan ditempat yang sama
2. Syarat-syarat barang (muslam fih)
a. Berada dalam tanggungan
b. Dijelaskan dengan penjelasan yang menghasilkan pengetahuan tentang
jumlah dan ciri-ciri barang yang membedakannya dengan barang yang
lain sehingga tidak ada lagi sesuatu yang meragukan dan dapat
menghilangkan perselisihan yang mungkin akan timbul.
c. Batas waktunya diketahui. Apakah salam boleh dilakukan sampai
rnasa panen, kedatangan orang yang pergi haji, atau keluarnya
tunjangan? Imam Malik berkata, Boleh apabila diketahui dengan
hitungan bulan dan tahun. Sedangkan menurut imam syafii tidak sah
memberi batas waktu ; masa panen, masa baru, dan hari raya kaum
Nasrani karena itu tidak diketahui. Imam syafii berpendapat bahwa
Allah swt mewajiba pemakaian waktu-waktu itu dengan bulan yang
ditentuan bagi kaum muslimin.9
Dalam praktek bai salam imam syafii dalam kitabnya Al-umm membahasa
panjnag lebar. Beliau menjelaskan praktek salam berdasarkan jenis barang yang
dijualnya. Beliau membahas dari halaman 97 sampai halaman 154. Kami akan
8
Fiqhul sunnah sayyid sabiq jilid 3
9
Al-umm imam syafii jilid 2
5
membahas secara ringkas. Praktek salam harus memenuhi syarat-syarat yang telah
disebutkan. Dengan sistem pembayaran dimuka ditempat akad berlangsung dan
barang ditangguhkan dengan batas waktu tertentu. Batas waktu yang telah disepakati
kebolehannya oleh para ulama.
Akad salam tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Baik itu penjual saja atau
pembeli saja. Berbeda jika barang yang kriterianya sesuai perjanjian hanya 70% dari
jumlah yang disepakati makalah boleh membeli seuai barang yang dan dan
mengambil uang lebih dari penjual karena barang tidak semua diambil.
Sebagai contoh, pembeli memesan susu unta 10 liter dengan harga
10.000/liternya dan barang akan diserahkan 7 hari kemudian. Setelah 7 hari barang
akan diserahkan ternyata hanya ada 6,5 liter karena penjual menakar liter dan buih
dari susu termasuk hitungan pada liter sedangkan buih tidak termasuk pada jumlah
susu maka dibolehkan hanya mengambil 6,5 liter dan penjual mengembalikan uang
seharga 0,5 liternya. Berbeda jika itu ditakar dengan satuan kilogram karena buih
tidak menambah berat.
Dan imam syafii menyatakan dalam pembahasan jula beli salam dalam susu
harus menjelaskan spesifikasi susunya. Apakah susu kamping atau domba atau
lainnya. Dikembalakan atau diternak dalam kendang. Sampai harus detail sekali.
Urgensi Mempelajarinya
6
a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat.
b. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2. Ketentuan barang
a. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
b. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
c. Penyerahannya dilakukan kemudian.
d. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
e. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
f. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
3. Ketentuan salam paralel
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan
tidak berkaitan dengan akad pertama.
4. Penyerahan barang atau pada waktunya
a. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan
jumlah yang telah disepakati.
b. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual
tidak boleh meminta tambahan harga.
c. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan
pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga
(diskon).
d. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati
dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia
tidak boleh menuntut tambahan harga.
e. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau
kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia
memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.
5. Pembatalan kontrak
7
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua
belah pihak.
6. Perselisihan
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya
diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
2. Ba’i Istishna
Lafal istishna’ sendiri diambil dari kata shana’ah, yang artinya membuat sesuatu.
Kemudian ditambah alif, shin dan ta’ menjadi istishna’. Secara etimologi Istishna’
artinya meminta dibuatkan sesuatu.10 Sedangkan menurut terminologi merupakan
suatu kontrak jual beli antara penjual dan pembeli dimana pembeli memesan barang
dengan kriteria yang jelas dan pembayaran yang bisa diangsur atau dilunasi di awal
kesepakatan11. Sistem istishna’ adalah sistem pembiayaan atas dasar pemesanan,
untuk kasus ini dimana objek atau barang yang diperjualbelikan belum ada. Menurut
ulama, fiqh istishna’ sama dengan salam dari segi objek pesanannya yaitu sama-
sama dipesan terlebuh dahulu dengan deskripsi dan ciri-ciri yang khusus, sedangkan
perbedaannya terletak di cara pembayarannya, jika salam pembayaran harus cash di
awal, sedangkan istishna’ boleh di awal, boleh di akhir, boleh juga dilakukan secara
berangsur-angsur.
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah,
واالستصناعھوشرأمایضعوقفاللطلب
Artinya : Istishna‟ adalah membeli sesuatu yang dibuat sesuai dengan pesanan.”12
Pada dasarnya istishna’ merupakan bagian dari Salam, akan tetapi keduanya ini
memiliki sedikit perbedaan, yaitu terdapat pada objek yang disepakati berupa
10
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), Hal 123.
11
Ibid. Hal. 124
12
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz. 4, (Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009), Hal. 69.
8
manufactur order atau kontrak produksi. Istishna’ didefinisikan dengan kontrak
penjualan antara pembeli dan produsen . Dalam kontrak ini pembuat barang (shani’)
menerima pesenan dari pembeli (mustashna’) untuk membuat barang dari spesifikasi
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dengan harga dan sistem pembayaran
yang bisa dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu yang
ditentukan.13
Menurut jumhur fukaha, ba’i istishna’ merupakan jenis khusus dari akad ba’i
salam. Bedanya, istishna’ diterapkan untuk bidang manufaktur sedangkan Salam
digunakan untuk barang yang tidak memiliki spesifikasi khusus, dengan demikian
ketentuan ba’i istishna’ mengikuti ketentuan dari ba’i salam.
Menurut Pasal 104 s/d Pasal 108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah adalah
sebagai berikut:
1. Ba’i Istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas
barang yang telah dipesan.
2. Ba’i Istishna dapat dilakukan pada bara ng yang bisa dipesan .
3. Dalam Ba’i Istishna’, identifikasi dan spesifikasi barang harus jelas
dan sesuai dengan permintaan pembeli
4. Pembayaran dapat dilakukan pada waktu dan tempat yang telah
dissepakati.
5. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak boleh ada tawar-
menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
6. Jika objek dari barang tidak sesuai dengan spesifikasi yang
diinginkan, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar)
untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
13
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta: Tazkia Institut, 1999, Hal 173
9
2. Shigat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan sesuatu suka sama suka
atau ridho sama ridho dari kedua belah pihak
3. Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.
Berdasarkan ini, dapat pula dikiaskan dengan bentuk transaksi modern yang
berlaku saat ini dengan menggunakan kartu ATM ataupun kartu kredit yang sistem
14
Ghufron, Moh. Idil (2021). Transaksi Akad Salam dan Akad Istishna’ Pada Jasa Pengiriman J&T
Situbondo. Jurnal Keadaban. Hal 6
15
Ibid.
10
pembayarannya tidak dilakukan seketika saat jual beli berlangsung. Dengan
dibolehkannya menggunakan transaksi seperti ini, dapat disimpulkan bahwa hukum
Islam ternyata dapat relevan dengan situasi zaman yang berkembang pada saat ini.16
Barang-barang produksi yang telah ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
manusia di masa sekarang ini, terlebih lagi semakin majunya teknologi di masa
sekarang, maka kebutuhan-kebutuhan manusia itu juga meningkat sehingga harus
menambah produk-produk untuk memenuhi kebutuhan dan selera mereka. Dalam
kondisi seperti ini, pihak produsen mendapat keuntungan dari produk yang
dikreasikan dan diinovasikan yang sesuai dengan kebutuhan dan selera mereka, serta
pihak konsumen mendapatkan keuntungan dengan terpenuhinya kebutuhan dengan
selera yang diinginkan pembeli baik dari segi bentuk maupun kualitasnya. Dengan
demikian kedua pihak mendapatkan kemaslahatan.
16
Hasanah, Uswah (2018). Kajian Terhadap Produk Perekonomian Islam. Intiqad: Jurnal Agama dan
Pendidikan Islam, Hal 173
11
Fatwa MUI Terhadap Ba’i Istishna’
12
BAB III
PENUTUP
Pada kesimpulannya, Ba’i Istishna’ merupakan salah satu bagian dari Ba’i Salam,
akan tetapi memiliki beberapa perbedaan, yaitu objek barang yang ada pada Ba’i
Istishna’ masih berupa prototype atau contoh barang dengan ciri dan spesifikasi yang
jelas serta sistem pembayaran yang bisa dilakukan dengan 3 cara, yaitu dibayar di awal
kesepakatan, secara berangsur-angsur atau dibayar di akhir kesepakatan kontrak,
sedangkan pada Ba’i Salam produk yang dijual sudah jadi atau sudah tersedia, hanya saja
berada di tempat lain dan juga sistem pembayarannya yang diwajibkan dibayar di awal
kesepakatan.
Keduanya memiliki ketentuan yang berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-sunnah,
juga memiliki keuntungannya masing-masing tergantung objek permintaan dari pembeli,
jika pembeli memesan objek yang bersifat harus diproduksi terlebih dahulu dan memiliki
permintaan khusus, maka pilihan yang tepat menggunakan akad Ba’i Istishna’,
sedangkan jika pembeli memesan produk yang tidak diharuskan untuk diproduksi
terlebiuh dahulu, maka pilihan yang cocok ialah menggunakan akad Ba’i Salam.
Mari kita perbanyak membaca, biak itu jurnal pelitian, fatwa-fatwa MUI terkhusu
muamalah kita sehari-hari terlebih lagi kita membaca karya-karya para ulama. Hidup kita
sederhana mencari dalil perintah prihal agama dan mencari dalil larangan prihal dunia.
tidak ada perintah maka itu dalil pengharaman terkait urusan agama. Tidak adanya
larangan maka itu bukti pembolehan terkait urusan dunia.
13
14
DAFTAR PUSTAKA
15