Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

G3P2A0H2 GRAVID 31-32 MINGGU, BELUM INPARTU, HAP


EC. PLASENTA PREVIA TOTALIS + ANEMIA BERAT +
JTHIU PRESENTASI KEPALA

OLEH

ARIE MILANDAYANI
HESTY MEILAWATI
DESY FARDINA
DIANA INDAH
ESTADIAH SUCI RAMADHANI
FHARA THESSA JELVI
FIKRI RURIANDY AUFI
MHD. AMRULLAH
OTRA IDOLA
RAESKI AYISHA ISTI
RAHMAT REZKI
RAHMI TRIANA PUTRI
RIA DWI UTAMI
RITA ERDAYANI
ZAKIA FATMA RAHIM

KEPANITRAAN KLINIK JUNIOR OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


PERIODE 10 AGUSTUS – 15 AGUSTUS 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan


yang terjadi sebelum anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan
yang berat, dan jika tidak mendapat penanganan yang cepat bisa mendatangkan
syok yang fatal. Salah satu penyebabnya adalah plasenta previa. Plasenta previa
adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sedemikian rupa
sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum.1
Kejadian plasenta previa bervariasi antara 0,3-0,5% dari seluruh kelahiran.
Plasenta previa merupakan penyebab terbanyak dari seluruh kasus perdarahan
antepartum dan lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan paritas tinggi dan
pada usia di atas 30 tahun, serta sering terjadi pada kehamilan ganda daripada
kehamilan tunggal. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan
insidennya berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Di negara maju insidensinya lebih
rendah yaitu kurang dari 1% mungkin disebabkan berkurangnya perempuan hamil
paritas tinggi.1,2
Plasenta previa masalah kesehatan yang dapat menyebabkan Angka
Kematian Ibu (AKI) semakin meningkat. Perdarahan merupakan penyebab utama
yang dapat menimbulkan AKI. Di Amerika plasenta previa menyumbangkan
mortalitas perinatal sebesar 2-3% dan Mortalitas maternal sebesar 0,03%. Angka
kejadian plasenta previa adalah 0,3-0,5% dari semua kelahiran, resiko plasenta
previa berhubungan dengan usia ibu saat hamil, kejadiannya meningkat sebagai
berikut Usia 12-19 tahun (-1%), usia 20-29 tahun (–0,33%), usia 30-39 tahun
(-1%), usia di atas 40 tahun (-2%).3
Penyebab dari plasenta previa belum di ketahui secara pasti, namun
beberapa faktor risiko telah ditetapkan sebagai kondisi yang berhubungan dengan
terjadinya plasenta previa. Faktor risiko tersebut meliputi hamil usia tua,
multiparitas, kehamilan ganda, merokok selama masa kehamilan, janin laki-laki,
riwayat aborsi, riwayat operasi pada uterus, riwayat plasenta previa pada
kehamilan sebelumnya dan IVF.4
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan
endometrium yang kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang

2
baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan seperti ini ditemukan pada multipara,
mioma uteri, kuratase yang berulang, umur >35 tahun, bekas seksio sesarea, dan
wanita yang mempunyai riwayat plasenta previa sebelumnya.2,5
Pada plasenta previa oleh karena pembentukan segmen bawah rahim
secara ritmik terjadi pelepasan plasenta berulang. Hal ini menyebabkan
perdarahan berulang dan semakin banyak yang tidak dapat dicegah sehingga ibu
mengalami anemia bahkan syok. Plasenta previa meningkatkan risiko untuk
terjadinya syok hemoragik pada kasus obstetri. Perdarahan berulang dan semakin
banyak akibat pelepasan plasenta menyebabkan ibu jatuh dalam keadaan syok.1
Perdarahan yang terjadi pada umur kehamilan yang lebih tua setelah
melewati trimester III disebut dengan perdarahan antepartum, yang merupakan
kasus gawat darurat berkisar 3-5% dari seluruh persalinan. Penyebab utama
perdarahan antepartum yaitu plasenta previa dan solusio plasenta, selain itu bisa
akibat lesi lokal vagina/ serviks. Plasenta previa merupakan penyulit kehamilan
hampir 1 dari 200 persalinan atau 1,7 % sedangkan untuk solusio plasenta 1 dalam
155 sampai 1 dari 225 persalinan atau <0,5%. Lebih dari setengah dari seluruh
kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan paling sering dari
perdarahan yang berlebihan.6
Plasenta previa merupakan salah satu faktor risiko terjadinya perdarahan yang

dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.7 Oleh sebab itu, diperlukan

antisipasi dini pada keadaan tersebut sebelum sampai ke tahap yang

membahayakan ibu dan janinnya. Berdasarkan latar belakang dari makalah ini,

didapatkan kasus dengan diagnosis G3P2A0H2 gravid 31-32 minggu, belum

inpartu, HAP ec. plasenta previa totalis + anemia berat + JTHIU presentasi

kepala, agar dapat menjadi bahan publikasi.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : Ny. Mila artati Pulungan Nama Suami : Tn. Ridwan

Umur : 32 tahun Umur : 45 tahun

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan : Jualan

Agama : Islam Agama : Islam

Suku :- Suku :-

Alamat : Jl. Lele Alamat : Jl.Lele

No. MR : 01046383

2.2 Anamnesis

Seorang pasien masuk ke VK IGD RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau pada

tanggal 9 Agustus 2020 pukul 8:00 WIB dengan keluhan utama yaitu keluar darah

banyak dari jalan lahir.

Riwayat penyakit sekarang adalah Pasien datang ke VK IGD RSUD AA

dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 2 jam SMRS. Keluar darah

berwarna merah segar dan tidak bergumpal, keluar darah tanpa disertai nyeri dan

tanpa sebab. keluhan keluar air – air dari jalan lahir yang tidak tertahankan (-),

nyeri pinggang menjalar ke ari – ari (-),keluar lendir bercampur darah (-). Pasien

mengatakan sebelumnya sudah pernah mengalami perdarahan dari jalan lahir

sebanyak 2 kali tetapi tidak berobat dikarenakan biaya.

Pasien mengaku hamil 7 bulan dengan HPHT : 1/1/2020, TP : 8/10/2020,

UK : 31 – 32 minggu. Pasien mengaku memeriksakan kehamilannya sebanyak 1

4
kali ke dokter kandungan di RS Anisa, dilakukan USG dan dikatakan janin dalam

kondisi baik, namun plasenta menutupi jalan lahir (saat usai kehamilan 28

minggu). Pasien mengatakan gerakan janinnya dirasakan aktif, dan pertama kali

merasakan gerakan janinnya sejak 3 bulan yang lalu. Riwayat trauma (+), pasien

terjatuh di kamar mandi 2 jam SMRS, riwayat di urut-urut (-). Riwayat coitus

dalam waktu 2 minggu terakhir (-), riwayat demam (-), keputihan (-), gigi

berlubang (-), nyeri saat BAK (-). Riwayat kehamilan muda mual muntah (-),

perdarahan dari jalan lahir (-).

Riwayat penyakit dahulu adalah Riwayat hipertensi sebelum hamil (-),

riwayat penyakit jantung (-), riwayat penyakit paru (-), riwayat penyakit ginjal (-),

riwayat penyakit hati (-), DM (-), alergi (-), riwayat operasi (-) .

Riwayat penyakit keluarga adalah Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-),

riwayat TBC (-), riwayat penyakit menular seksual (-), cacat bawaan (-), riwayat

gangguan kejiwaan (-)

Riwayat kehamilan ini adalah G3P2A0H1, Pertama kali memeriksa

kehamilan (usia kehamilan) : -- minggu, Tempat pemeriksaan : Dokter,

Pemeriksaan saat ini yang ke : 2

Riwayat makan obat adalah Tidak ada, Riwayat keluarga berencana

adalah Pernah menjadi peserta KB (+) dan Metode KB yang dipakai : suntikan

selama : 4 tahun

Riwayat haid adalah Menarche usia 12 tahun, teratur, lama haid 6-7 hari,

ganti pembalut 2-3x/hr, nyeri haid (-). HPHT 01/01/2020

5
Riwayat perkawinan adalah Perkawinan ke 2, Lama perkawinan adalah 1

tahun, Usia saat kawin kedua pada umur 31 tahun dan Pasien mengalami cerai

hidup tahun 2015

Riwayat Kehamilan/Riwayat Abortus/Riwayat persalinan: G3P2A0H2

a. 2011/ Perempuan/ aterm / 3200 gram/ Normal/ Dukun / Hidup

b. 2015/Perempuan/ aterm/ 3900 gram/ Normal/ Dukun / Hidup

Anak 1 dan 2 dari suami pertama dengan anak BBLR.

c. Hamil saat ini

Riwayat kontrasepsi adalah Tidak ada dan Riwayat obsos adalah pasien

merupakan Ibu rumah tangga dan suami sebagai wiraswasta.

2.3 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
Tanda Vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,7˚C
Pernafasan : 20 x/menit
Gizi : Baik
BBSH : 48 kg
BBH : 54 kg
TB : 150 cm
LILA : 26 cm
BMI : 21,33
Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), Tyroid (-), kaku kuduk (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), rhonkhi (-/-), wheezing (-/-)

6
Cor : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abd : (status lokalis )
Ext : Akral hangat, edema (-/-), CRT<2”, edema (-)

2.4 Status Obstetrik


Inspeksi tampak perut membuncit sesuai usia kehamilan preterm
Leopold I : TFU teraba pertengahan processus xyphoideus dan pusat,
teraba massa kurang bulat, lunak
Leopold II : teraba tahanan memanjang pada sisi kanan ibu dan bagian
kecil disisi kiri ibu
Leopold III : teraba massa bulat, keras, melenting
Leopold IV : konvergen, 5/5
TFU : 26 cm, TBJ : 2.015 gram, kontraksi : (-), DJJ : 159 dpm/regular

Genetalia Externa
Inspeksi : vulva tampak rembesan darah tidak aktif dan uretra tampak
tenang
Inspekulo : portio livide, arah posterior, OUE tertutup, tampak rembesan
darah dari OUE tidak aktif, fluksus (+) darah.
VT : tidak dilakukan
Lab hb 3 : 3,1 g/dL
2.5 Pemeriksaan Laboratorium (9/08/2020)

a. Darah Lengkap

Hemoglobin : 9 g/dL (normal : 14-18 g/dL)

Leukosit : 26.48 10^3 uL (normal : 4.80-10.80)

Trombosit : 178 10^3/ uL (normal : 150-450)

Eritrosit : 3.01 10^6/ uL (normal : 4.70-6.10)

Hematokrit : 25.8 % (normal : 42.0-52.0)

MCV: 85.7 fL (normal : 79-99)

MCH : 29.9 fg (normal : 27-31)

7
MCHC : 34.9 g/dL (normal : 33-37)

RDW-CV : 14.1 % (normal : 11.5-14.5)

RDW-SD : 43.5 fL (normal : 35-47)

PDW : 11.7 fL (normal : 9-13)

MPV : 10.7 fL (normal : 7.2-11.1)

P-LCR : 28.3 % (normal : 15-25)

b. Hitung Jenis

Basofil : 0.3 % (normal : 0-1)


Eosinofil : 0 % (normal : 1-3)

Neutrofil : 82.5 % (normal : 40-70)

Limfosit : 6.9 % (normal : 20-40)

Monosit : 10.3 % (normal : 2-8)

c. Screening Covid-19

Neutrofil Limfosit Ratio : 11.96 (normal : < 3.13)

Absolut Limfosit Count : 1.82 10^3u L (normal : > 1.5)

d. Faal hemostasis

PT : 14.7 detik (normal : 11.6-14.5)

INR : 1.04 (normal : <1.2)

APTT : 34.1 detik (normal : 28.6-42.2)

e. Imunologi

HbsAg kualitatif : non reaktif (normal : non reaktif)

HIV kualitatif : Non reaktif (normal : non reaktif)

8
2.6 Pemeriksaan USG (9/08/2020)

9
a. Janin tunggal hidup Intrauterin presentasi kepala

b. Biometri

1. BPD : 7.88 cm

2. HC : 28.9 cm

3. AC : 27.67 cm

4. FL : 6.17 cm

5. EFW : 1940 cm

c. - Air ketuban cukup

- MVP : 2,7 cm

d. plasenta implantasi di corpus posterior meluas hingga menutupi seluruh OUI

e. Kesan : Janin tunggal hidup Intrauterin presentasi kepala, gravid 31-32 minggu

sesuai biometri dengan plasenta previa totalis

2.7 Resume Pemeriksaan

pasien dengan riwayat keluar darah dari jalan lahir. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan TFU setinggi 26 cm dan bagian bawah janin adalah kepala. Pada

pemerikaan USG didapatkan janin tunggal hidup intrauterin presentasi kepala,

gravid 31-32 minggu sesuai biometri dengan plasenta previa totalis.

2.8 Diagnosis

a. Diagnosis

G3P2A0H2 gravid 31-32 minggu, belum inpartu, HAP ec plasenta previa totalis,

anemia berat, Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala.

b. Diagnosis banding

G3P2A0H2 gravid 31-32 minggu, belum inpartu, HAP ec solution plasenta,

anemia berat, Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala.

10
2.9 Tata Laksana

ekspektatif

1. Observasi KU, TTV, DJJ, Profuse bleeding

2. IVFD RL 20 tpm

3. Tranfusi PRC s/d HB > 10

4. Injeksi Dexametason 2x6 mg

5. Konsul fetomaternal tanggal 10 Agustus 2020

Follow up (Jam 12.10)

2.10 Rencana Tindakan

Terminasi kehamilan perabdominam cito, konsul ke dokter spesialis anetesi,

konsul ke dokter spesialis anak.paru

2.11 Laporan Tindakan

TANGGAL DAN WAKTU RUANG KELAS


09 Agustus 2020, Pukul: 13.15 WIB TERATAI
DIAGNOSIS PRA OPERASI :G3P2A0H2 gravid 31-32minggu, belum
inpartu,profuse bleeding ec HAP ec Plasenta previa total, JTHIU preskep
DIAGNOSIS PASCA OPERASI : P3A0H3 post SCTPP, profuse bleeding ec HAP
ec PPT
JARINGAN YANG DIEKSISI/ INSISI : -
DIKIRIM UNTUK PEMERIKSAAN : Tidak
NAMA JENIS OPERASI : SCTPP
TANGGAL OPERASI JAM OPERASI LAMA ANESTESI
9 Agustus 2020 13.20 WIB s/d BERLANGSUNG
14.20 WIB 1 jam
1. Pasien terlentang di meja operasi dalam general anestesi
2. Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
3. Daerah operasi diperkecil dengan duk steril.
4. Di lakukan insisi pfanensteil ± 10 cm pada dinding abdomen dan dibuka lapis

11
demi lapis
5. Saat peritonium dibuka, Tampak uterus gravidarus
6. Insisi semilunar SBR disayat
7. Dengan menarik kepala, Lahir bayi perempuan dengan BB: 1999 gr PB : 41 cm
8. Plasenta dikeluarkan dengan tarikan ringan, sisa plasenta dibersihkan
9. kavum uterus dibersihkan dari sisa darah dan selaput
10. Dilakukan penjahitan dinding uterus 2 lapis
11. Rongga abdomen dibersihkan dari darah
12. Diyakini kontraksi uterus baik, dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
13. Tindakan selesai
14. Perdarahan intra operatif 200cc (selama operasi)
Telah lahir bayi perempuan dengan berat 1999 gram, PB 41 cm.
INSTRUKSI PERAWATAN PASCA OPERASI
1. IVFD RL + Oksitosin 10 IU 28 tpm (Pasca operasi)

2. Injeksi Asam tranexamat 3x500mg

3. Profenid supp 3x100mg

4. Hemafort 1x1 tab

5. Cek DPL 6 jam post operasi

Observasi Kala IV
Puku
TD N S T TFU Kontraksi Perdarahan Urin
l
2 jari
14.30 90/50 86 36,7 36,7 dibawah Baik - 200cc
pusat
2 jari Baik
14.45 96/48 89 20 36,7 dibawah -
pusat
2 jari Baik
15.00 96/45 86 20 36,7 dibawah -
pusat
2 jari Baik
15.15 98/44 90 20 36,6 dibawah -
pusat
15.45 118/69 90 20 36,6 2 jari Baik

12
dibawah
pusat -
2 jari Baik
16.15 128/73 90 20 dibawah -
pusat
2 jari Baik
16.45 139/78 91 20 dibawah -
pusat
2 jari Baik
17.15 137/79 89 20 dibawah -
pusat

2.12 FOLLOW UP
Tgl/Jam S O A P
10 nyeri di bekas Luka KU: TSS P3A0H3 post SCTPP - Obs KU,
operasi (+) Kes: CM a/i profuse bleeding ec TTV, involusi
Agustus
TD: HAP ec Plasenta previa uterus,
2020 / 100/70mmhg totalis, anemia (POD 1) perdarahan
HR: 85x/m aktif
07:00
RR: 22x/m pervaginam
WIB T: 36,5C - Cefadroxil
2x500 mg
B: asi (-) - Asam
U: TFU teraba 2 Mefenamat
jari bawah 3x500 mg
pusat, kontraksi - Hemafort
baik 1x1
B: BAK (+) via
DC
B: BAB (-),
Flatus (+) BU
(+)
L: lokia rubra
(+)
E: luka operasi
(+) tertutup
perban,
rembesan darah
(-), defans
muskular (-)
M: mobilisasi
(+)

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Plasenta Previa

3.1.1 Definisi Plasenta Previa

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah

rahim (SBR) sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum

(OUI). Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen

bawah bawah rahim kearah proksimal memungkinkan plasenta yang

berimplantasi pada segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan

segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang

secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah

luas permukaan serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh

pada derajat atau klasifikasi plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik

dalam masa antenatal maupun masa intranatal, dengan ultrasonografi. Oleh karena

itu pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan

antenatal maupun intranatal.8

Klasifikasi dari plasenta previa (empat tingkatan):

1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh

ostium uteri internum. Pada jenis ini, jelas tidak mungkin bayi dilahirkan secara

normal, karena risiko perdarahan sangat hebat.

2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri

internum. Pada jenis inipun risiko perdarahan sangat besar, dan biasanya janin

tetap tidak dilahirkan secara normal.

14
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir

ostium uteri internum. Hanya bagian tepi plasenta yang menutupi jalan lahir.

Janin bisa dilahirkan secara normal, tetapi risiko perdarahan tetap besar.

4. Plasenta letak rendah, plasenta lateralis, atau kadang disebut juga dangerous

placenta adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga

tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum.

Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap plasenta letak normal. Risiko perdarahan

tetap ada namun tidak besar, dan janin bisa dilahirkan secara normal asal tetap

berhati-hati.9

3.1.2 Etiologi Plasenta Previa

Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belumlah

diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa

desidua di daerah segmen bawah rahim. Plasenta previa meningkat kejadiannya

pada keadaan-keadaan endometrium yang kurang baik, misalnya karena atrofi

endometrium atau kurang baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa

ditemukan pada:

1. Multipara, terutama jika jarak kehamilannya pendek

2. Mioma uteri

3. Kuretasi yang berulang

4. Umur lanjut (diatas 35 tahun)

5. Bekas seksio sesaria

6. Riwayat abortus

7. Defek vaskularisasi pada desidua

8. Plasenta yang besar dan luas : pada kehamilan kembar, eriblastosis fetalis.

15
9. Wanita yang mempunyai riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya

10. Perubahan inflamasi atau atrofi misalnya pada wanita perokok atau pemakai

kokain. Hipoksemia yang terjadi akibat CO akan dikompensasi dengan hipertrofi

plasenta. Hal ini terutama terjadi pada perokok berat (> 20 batang/hari).

Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus

tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh

meluas akan mendekati atau menutupi ostoum uteri internum.

Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari

tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang lebih rendah dekat ostium

uteri internum. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan

yang luas seperti pada eritroblastosis, diabetes mellitus, atau kehamilan multipel.10

3.1.3 Patofisiologi Plasenta Previa

Perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 20

minggu saat segman bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta

menipis. Umumnya terjadi pada terimester ketiga karena sigmen bawah uterus

mengalami banyak perubahan. Pelebaran sigmen bawah uterus dan pembukaan

servik menyebabkan sinus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau

karena robekan sinus marginalis dan plasenta.

Perdarahan tidak dapat diarahkan karena ketidak mampuan serabut otot

segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti plasenta letak normal. Keadaan

endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi luas

untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati

atau menutup ostium uteri internum. Endomertium yang kurang baik juga dapat

16
menyebabkan zigot mencari tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat

yang rendah dekat ostium uteri internum.11

Dengan berkembangnya segmen bawah uterus dan dengan menipisnya

serta membukanya servik, plasenta terlepas dari dinding uterus. Keadaan ini

disertai ruptura pembuluh-pembuluh darah yang terletak di bawahnya. Jika

pembuluh darah yang pecah berukuran bersar, perdarahan akan banyak sekali.12

3.1.4 Gambaran Klinis Plasenta Previa

Ciri yang menonjol pada plasena previa adalah perdarahan uterus keluar

melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir

trisemesterkedua keatas (>22 minggu). Perdarahan pertama berlangsung tidak

banyak dan berhenti sendiri, perdarahan dapat berulang dan pada setiap

pengulangan terjadi perdarahan lebih banyak seperti mengalir. Pada plasenta letak

rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan; perdarahan bisa

sedikit sampai banyak mirip pada solusio plasenta. Perdarahan diperhebat

berhubung segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas

rahim yang menyebabkan perdarahan bisa berlangsung sampai pasca persalinan.

Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi

abdomen sering ditemui bagian terbawah janin masih tinggi diatas simfisis dengan

letak janin tidak dalam letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu

hamil merasa nyeri dan perut tidak tegang.1

3.1.5 Diagnosis Plasenta Previa

1. Anamnesis

Terdapat beberapa hal yang perlu ditanyakan pada ibu mengenai perdarahan,

seperti sejak kapan, banyaknya, warna, konsistensi, dan karakteristik dari

17
perdarahan. Informasi mengenai nyeri seperti letak, sejak kapan, frekuensi, dan

keparahan nyeri. Beberapa pertanyaan lain seperti faktor pencetus, misalnya

aktifitas seksuak sebelumnya dan trauma juga dapat membantu menyingkirkan

diagnosis yang lain.

2. Pemeriksaan Luar

Biasa dapat ditemukan posisi terendah janin yang masih tinggi dan kelainan

letak janin melalui pemeriksaan Leopold. Selain itu, pada palpasi perut perlu

diinterpretasikan apakah perut terasa lunak atau tegang dan keras yang sering

ditemukan pada solusio plasenta.

3. Pemeriksaan Dalam

Ibu janin yang dicurigai plasenta previa tidak boleh dilakukan pemeriksaan

dalam karena akan mencetus perdarahan yang lebih banyak. Oleh karena itu,

pemeriksan dalam hanya boleh dilakukan di kamar operasi dengan segala

persiapan rencana Caesar jika diindikasikan untuk sectio secarea pada plasenta

previa totalis. Pemeriksaan dalam berfungsi untuk mengetahui sumber dari

perdarahan dan juga tipe dari plasenta previa.

4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

USG telah menjadi diagnosa gold standard pada diagnose plasenta previa.

Transabdominal USG memberikan kepastian diagnosis plasenta previa dengan

ketepatan tinggi hingga 96-98%. Transvaginal USG juga memiliki tingkat

ketepatan 90%.

5. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada plasenta termasuk

plasenta previa . MRI kalah praktis jika dibandingkan dengan USG, terlebih dalam

18
suasana yang mendesak,. Selain itu, karena masalah harga dan tidak banyak pusat

kesehatan yang memilik MRI, USG tetap menjadi alat diagnosa yang dipilih.13

3.1.6 Tatalaksana Plasenta Previa

Prinsip penanganan harus segera dikirim ke rumah sakit yang memiliki fasilitas

transfusi dan operasi.

1. Tatalaksana Umum :

a. Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan intravena (NaCL

0,9% atau Ringer Laktat).

b. Lakukan penilaian jumlah perdarahan.

c. Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio sesarea

tanpa memperhitungkan usia kehamilan.

d. Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi prematur,

pertimbangkan terapi ekspektatif.

2. Tatalaksana Khusus

Terapi Konservatif, agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis

dilakukan secara non-invasif.

a. Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis.

b. Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta.

c. Berikan tokolitik bila ada kontraksi : MgSO4 4g IV dosis awal

dilanjutkan 4g setiap 6 jam, atau Nifedipin 3x20mg/hari. Pemberian

tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis tunggal

untuk pematangan paru janin.

d. Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral

60mg selama 1 bulan.

19
e. Pastikan tersedianya sarana transfusi.

f. Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih

lama, ibu dapat dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah

sakit jika terjadi perdarahan.

Syarat terapi ekspektatif :

a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti

dengan atau tanpa pengobatan tokolitik.

b. Belum ada tanda impartu

c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam kadar normal)

d. Janin masih hidup dan kondisi janin baik

Terapi Aktif

a. Rencanakan terminasi kehamilan jika :

b. Usia kehamilan cukup bulan

c. Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi

kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)

d. Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa

memandang usia kehamilan

Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan

presentasi kepala, maka dapat dilakukan pemecahan selaput ketuban dan

persalinan pervaginam masih dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan dengan seksio

sesarea.

Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan dari

tempat plasenta :

a. Jahit lokasi perdarahan dengan benang.

20
b. Pasang infus oksitosin 10 unit pada 500 mL cairan IV (NaCL 0,9% atau Ringer

Laktat) dengan kecepatan 60 tetes/menit.

c. Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan yang sesuai,

seperti ligasi arteri dan histerektomi.13

3.1.7 Komplikasi Plasenta Previa

1. Anemia dan syok hipovolemik karena pembentukan segmen rahim

terjadi secara ritmik, maka pelepasan plasenta dari tempat melekatnya

diuterus dapat berulang dan semakin banyak dan perdarahan yang

terjadi itu tidak dapat dicegah.

2. Akibat plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan

sifat segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan

kemampuan invasinya menorobos ke dalam miometrium bahkan

sampai ke perimetrium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta

inkreta bahkan plasenta perkreta.

3. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah

sangat potensial untuk robek disertai dengan perdarahan yang banyak.

Oleh karena itu harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual

ditempat ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi

pada segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta

dengan tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab

terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang

lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi

a.uterina, ligasi a.ovarika, pemasangan tampon atau ligasi

a.hipogastrika maka pada keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan

21
keluarnya adalah melakukan histerektomi total. Morbiditas dari semua

tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta

previa.

4. Kehamilan prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan karena

tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam

kehamilan belum aterm. Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan

amniosintesis untuk mengetahui kematangan paru-paru janin dan

pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin

sebagai upaya antisipasi.1

3.1.8 Prognosis Plasenta Previa

Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa pada saat ini lebih baik

dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tidak

invasive dengan USG disamping ketersediaan transfusi darah dan infus cairan

telah ada dihampir semua rumah sakit.1

3.2 Syok Hipovelemik

3.2.1 Definisi Syok Hipovolemik

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan

hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk

mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul

akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti perdarahanyang masif,

trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau

emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok

septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat

respons imun (syok anafilaktik).

22
Syok hipovolemik merupakan keadaan berkurangnya perfusi organ dan

oksigenasi jaringan yang disebabkan gangguang kehilangan akut dari darah (syok

hemorragic) atau cairan tubuh yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan.

Penyebab terjadinya syok hipovolemik diantaranya adalah diare, luka bakar,

muntah, dan trauma maupun perdarahan karena obstetrik.14

3.2.2 Etiologi Syok Hipovolemik

a) kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang

mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan

kehamilan ektopik terganggu.

b) trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung

kehilangan darah yang besar. Misalnya: fraktur humerus

menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur

menampung 1000-1500 ml perdarahan.

c) kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena

kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:

1) Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis

2) Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison

3) Luka bakar (kompustio) dan anafilaksis15

3.2.3 Patofisiologi Syok

Syok terbagi atas 3 fase yaitu :

a) Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa

sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk

menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan

23
melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak

dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang

vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi

dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi

meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di

daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak

dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan

peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau

aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara

regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan

tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga

menurun.

b) Fase Progresif

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi

kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah

jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di

seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah

menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler,

metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan

akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi

lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena,

vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler

diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke

jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil

24
sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC =

Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke

otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak.

Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia

menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan

(histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi

dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus

menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan

invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi

detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC

bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas

mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan

perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya

terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat

ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

c) Fase Irevesibel

Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak

dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya

ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak

mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul

edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan

hiperkapnea.16

3.2.4 Gambaran Klinis Syok Hipovolemik

25
Secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan

frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin

dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian

kapiler yang lambat, Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika

kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini

masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh,

frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila perdarahan terus berlangsung maka

tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala

klinis.

Syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium.

Stadium syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah yaitu 15, 15-30, 30-

40, dan >40%.17

Tabel 1. Stadium dan gambaran klinis syok hipovolemik.

Berdasarkan perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan

darah terlihat bahwa penurunan refiling kapiler, tekanan nadi dan produksi urin

26
lebih dulu terjadi dari pada penurunan tekanan darah sistolik. Oleh karena itu,

pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan. Pemeriksaan yang

hanya berdasarkan perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat

meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan.

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya

mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal

terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang

mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan

demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun

kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga telah

terjadi penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi penurunan

tekanan nadi rata-rata.

Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume

sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan

menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan

tahapan ireversibel. Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh

masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon

simpatis. Pada tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan

fungsinya dengan baik untuk seluruh organ dan sistem organ. Pada tahapan ini

melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan perfusi ke jaringan

organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas.

Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa dingin.

Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut

sehingga menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat diperbaiki.

27
Kedaan klinis yang paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistim filtrasi ginjal

yang disebut sebagai gagal ginjal akut.18

3.2.5 Tatalaksana Syok hipovolemik

Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda

vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi

tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi stabil. Penatalaksanaan

syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai pengganti cairan

tubuh atau darah yang hilang.

Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus memperhatikan

prinsip-prinsip tahapan resusitasi primary survey:19,20

1. Airway = lindungi dan bebaskan jalan nafas, head tilt,chin lift, jaw trust,

jika perlu alat tambahan(mayo, intubasi)

2. Breathing = kontrol jalan nafas, pemberian oxygen dengan bag and mask

Selanjutnya bila kondisi jantung, jalan nafas dan respirasi dapat

dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah menghentikan trauma

penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut.

Menghentikan perdarahan sumber perdarahan dan jika memungkinkan

melakukan resusitasi cairan secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke

tempat pelayaan kesehatan, dan yang perlu diperhatikan juga adalah teknik

mobilisasi dan pemantauan selama perjalanan. Perlu juga diperhatikan

posisi pasien yang dapat membantu mencegah kondisi syok menjadi lebih

buruk, misalnya posisi pasien trauma agar tidak memperberat trauma dan

perdarahan yang terjadi, pada wanita hamil dimiringkan ke arah kiri agar

kehamilannya tidak menekan vena cava inferior yang dapat memperburuk

28
fungsi sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan

lagi karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru.

3. Circulation = Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai

sebelumnya harus dilakukan pemasangan infus intravena 2 jalur dengan

cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau

ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20

ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian

cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan

hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian

kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat

perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena

distribusi cairan kristaloidd lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke

ruang intersisial. Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka

pilihannya adalah dengan pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian

darah segera.

4. Dissability : menilai status neurologis (GCS, refleks cahaya)

5. Environment : pakaian dilepas dan jaga suhu pasien

3.2.6 Komplikasi Syok Hipovolemik

Ketidakcukupan perfusi oksigen dan zat gizi ke sel- sel tubuh

menyebabkan hipoksia jaringan, kegagalan memperbaiki perfusi menyebabkan

kematian sel yang progressif, lalu gangguan fungsi organ diantaranya : gagal

ginjal, gagal jantung, gangrene pada lengan dan tungkai dan akhirnya kematian

penderita.21

3.3 Pemeriksaan Fisik Obstetri

29
3.3.1 Muka

Apakah terdapat Kloasma Gravidarum, Jaundice, edema wajah, maupun

konjungtiva pucat atau tidak

3.3.2 Mammae

Pada Inspeksi menilai warna Areola, apakah terdapat kelenjar

montgomery,maupun puting retraksi atau tidak, menyerupai kulit jeruk atau tidak,

dan apakah ada tanda peradangan atau tidak. Pada palpasi menilai apakah terdapat

nyeri dan benjolan atau tidak.

3.3.3 Abdomen

a. Inspeksi

Inspeksi pada abdomen dengan melihat apakah perut tampak membuncit

sesuai usia kehamilan atau tidak, bekas operasi pada abdomen, fetal

movement, linea nigra, striae gravidarum, dan striae albicans

b. Palpasi

Palpasi dilakukan sambil memeperhatikan kenyaman pasien wajah pasien,

serta menanyakan apakah merasakan nyeri atau tidak. Adapun pemeriksaan

palpasinya adalah:

1. Leopold 1 : Meletakkan sisi lateral telunjuk kiri pada puncak

fundus uteri untuk menentukan tinggi fundus, serta meletakkan ujung

telapak tangan kiri dan kanan lalu rasakan bagian bayi yang ada pada

bagian tersebut dengan jalan menekan secara lembut dan menggeser

telapak tangan kiri dan kanan secara bergantian.

2. Leopold 2 : Meletakkan telapak tangan kiri pada dinding perut

lateral kanan dan telapak tangan kanan pada dinding perut lateral kiri

30
ibu secara sejajar dan pada ketinggian yang sama. Mulai dari bagian

atas, tekan secara bergantian atau bersamaan, kemudian geser ke arah

bawah dan rasakan adanya bagian yang rata dan memanjang

(punggung) dan bagian-bagian kecil (ekstremitas).

3. Leopold 3 : Meraba bagian terendah janin dengan dicekap

diantara ibu jari dan telunjuk tangan kanan untuk menentukan apa

yang menjadi bagian terendah janin

4. Leopold 4 : Atur posisi pemeriksa berada pada sisi kanan ibu

dan menghadap ke kaki ibu, lalu meletakkan ujung telapak tangan

kiri dan kanan pada lateral kiri dan kanan uterus bawah, ujung-ujung

jari tangan kanan dan kiri berada pada tepi atas simfisis. Temukan

kedua ibu jari kiri dan kanan kemudian rapatkan semua jari-jari

tangan yang meraba dinding bawah uterus. Perhatikan sudut yang

terbentuk oleh jemari kiri dan kanan (konvergen apabila dapat

bertemu yang mengindikasikan bahwa kepala janin belum masuk

pintu atas panggul, divergen apabila tidak dapat bertemu yang

mengindikasikan bahwa kepala janin sudah masuk pintu atas

panggul.

5. Tinggi Fundus Uteri : Mengukur tinggi fundus uteri yaitu jarak

antara tulang simpisis pubis dengan puncak fundus uteri untuk

mengetahui usia kehamilan

c. Auskultasi : Mendengarkan dan menghitung denyut jantung janin

dalam 1 menit untuk menilai keadaan janin baik atau tidak.

3.3.4. Genitalia Eksterna

31
a. Inspeksi

Melihat vulva, ostium vagina dan urethra. Menila apakah terdapat darah

yang keluar, penipisa vulva dan perineum, apakah vulva dan urethra tampak

tenang atau tidak.

3.3.5 Genitalia Interna

a. Inspeksi

Menggunkan inspekulo untuk melihat vagina dan porsio (warna, arah,

konsistensi, OUE tertutup atau tidak, tampak darah keluar (+/-), flour albus (+/-).

b.VT / Bimanual

Menilai pelvimetri (promontorium, linea innominata, sakrum, spina

ischidika, arkus pubis, os koksigis. Pada janin dinilai presentasi, situs, station,

posisi, ketuban. Pada porsio dinilai pembukaan, penipisan, konsistensi, arah

sumbu.

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perdarahan
antepartum (Hemorrhage Ante Partum), plasenta previa, anemia berat, dan syok
hipovolemik terkait alur penegakan diagnosis, faktor risiko, tatalaksana, dan
edukasi yang tepat untuk menurunkan angka kematian ibu dan janin.
Daftar masalah dari kasus ini adalah:

32
(CATATAN: URUTKAN DIAGNOSIS BERSAMAAN DENGAN
DIAGNOSIS DST)
1. Bagaimana menegakkan diagnosis HAP?
2. Apakah etiologi terjadinya HAP?
3. Apakah etiologi terjadinya syok hipovolemik?
4. Apakah faktor risiko terjadinya plasenta previa?
5. Apakah tatalaksana HAP pada kasus ini sudah tepat?
6. Bagaimana menegakkan diagnosis plasenta previa?
7. Apakah tatalaksana plasenta previa pada kasus ini sudah tepat?
8. Apakah edukasi yang diberikan kepada pasien plasenta previa?
9. Bagaimana menegakkan diagnosis anemia berat?
10. Apakah faktor risiko terjadinya anemia berat?
11. Apakah tatalaksana anemia berat pada kasus ini sudah tepat?
12. Bagaimana menegakkan diagnosis syok hipovolemik?
13. Apakah tatalaksana syok hipovolemik pada kasus ini sudah tepat?

4.1. Bagaimana menegakkan diagnosis HAP?


Haemorrhage antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada usia
kehamilan setelah 22 minggu (>500 gr) dan sebelum bayi lahir dengan gejala
klinis keluarnya darah pervaginam.

Diagnosis pada pasien ini G3P2A0H2 gravid 31-32 minggu, belum


inpartu, HAP ec. plasenta previa totalis, anemia berat + JTHIU presentasi kepala.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang terdiri dari
status generalis, status obstetric, genital externa, dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis kasus, didapatkan keluhan utama keluar darah dari jalan lahir.
Keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 2 jam SMRS. Keluar darah berwarna
merah segar dan tidak bergumpal, keluar darah tanpa disertai nyeri dan tanpa
sebab.

Dari pemeriksaan fisik pada pasien keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran komposmentis, dan tekanan darah 90/60 mmHg. Dari pemeriksaan

33
leopold 1 didapatkan TFU teraba pertengahan processus xyphoideus dan pusat,
teraba massa kurang bulat, lunak. Dari pemeriksaan leopold 2 didapatkan teraba
tahanan memanjang pada sisi kanan ibu dan bagian kecil disisi kiri ibu . Dari
pemeriksaan leopold 3 teraba massa bulat, keras, melenting.Dari pemeriksaan
leopold 4 konvergen, 5/5 .
Dari pemeriksaan genetalia eksterna, inspeksi vulva tampak rembesan
darah tidak aktif dan uretra tampak tenang. Pemeriksaan inspekulo portio livide,
arah posterior, OUE tertutup, tampak rembesan darah dari OUE tidak aktif,
fluksus (+) darah, untuk pemeriksaan dalam tidak dilakukan. Berdasarkan
pemeriksaan penunjang, didapatkan Hb 3.1.

Berdasarkan data-data yang diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis pasien adalah G3P2A0H2
gravid 31-32 minggu, belum inpartu, HAP ec. plasenta previa totalis + anemia
berat ec. Perdarahan aktif + janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala.

4.2. Apakah etiologi terjadinya HAP?


Terdapat beberapa etiologi untuk terjadinya HAP yaitu sebagai berikut:22

1. Plasenta Previa
2. Solutio Plasenta
3. Vasa previa
Pada pasien ini terdapat etiologic plasenta previa totalis sehingga pada
kehamilan terjadi HAP.

4.3. Apakah tatalaksana HAP pada kasus ini sudah tepat?


Manajemen HAP adalah segera memberikan infus larutan ringer-laktat
atau larutan garam fisiologi, jika Hb <10 gram% dilakukan transfusi darah, pantau
TTV ibu hamil, profuse bleeding dan pemantauan kesejahteraan janin.1

4.4. Bagaimana menegakkan diagnosis plasenta previa?

34
Plasenta previa merupakan keadaan dimana plasenta berimplantasi pada
tempat abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian
atau seluruh pembukaan jalan lahir. Gejala utama berupa perdarahan pada
kehamilan lebih dari 22 minggu atau pada kehamilan trimester III yang bersifat
tanpa sebab (causeless), tanpa nyeri (painless), dan berulang (recurrent).
Perdarahan tersebut berupa darah segar yang keluar sesuai dengan beratnya
anemia. Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah dan
bagian terbawah janin belum turun, biasanya kepala masih floating.

Diagnosis pada pasien ini G3P2A0H2 gravid 31-32 minggu belum


inpartu HAP ec plasenta previa + anemia berat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis kasus
didapatkan keluhan utama keluar darah dari jalan lahir. Pasien datang ke VK IGD
RSUD AA dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 2 jam SMRS.
Keluar darah berwarna merah segar dan tidak bergumpal, keluar darah tanpa
disertai nyeri dan tanpa sebab. Keluhan keluar air-air dari jalan lahir yang tidak
tertahankan (-) nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-), keluar lendir bercampur
darah (-). Pasien mengatakan sebelumnya sudah pernah mngalami perdarahan dari
jalan lahir sebanyak 2 kali tetapi tidak berobat dikarenakan biaya. Pasien mengaku
hamil 7 bulan dengan HPHT :1/1/2020, TP; 8/10/2020, UK :31-32 minggu. Pasien
mengaku memeriksakan kehamilannya sebanyak 1 kali ke dokter kandungan di
RS Anisa, dilakukan USG dan dikatakan janin dalam kondisi baik, namun
plasenta menutupi jalan lahir ( saat usia kehamilan 28 minggu ). Pasien
mengatakan gerakan janinnya dirasakan aktif dan pertama kali merasakan gerakan
janinnya sejak 3 bulan yang lalu. Riwayat trauma (+), pasien terjatuh dikamar
mandi 2 jam SMRS, riwayat di urut-urut (-), riwayat koitus dalam 2 minggu
terakhir (-), riwayat demam (-), keputihan (-), gigi berlubang (-), nyeri saat buang
air kecil (-). Riwayat kehamilan muda mual muntah (-), perdarahan dari jalan lahir
(-). Riwayat penyakit dahulu pasien dan riwayat penyakit keluarga tidak memiliki
riwayat hipertensi sebelum hamil, jantung, paru, ginjal, hati, DM, alergi dan
operasi. Pasien menarche pada usia 12 tahun, teratur, lama haid 6-7 hari, ganti
pembalut 2-3x perhari, nyeri haid (-), HPHT 01/01/2020. Pasien sudah menikah
2x dengan riwayat obstetri G3P2H0A2.

35
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak
sakit sedang dengan kesadaran komposmentis, TD 90/60 mmHg, HR 82x / menit,
RR 24x/menit, T 36,7◦C, TB 150 cm, BB sebelum hamil 48 kg, BB saat hamil 54
kg, BMI 21,33. Konjungtiva anemis pada mata dan terdapat bunyi vesikular pada
paru.
Pada pemeriksaan obstetrik didapatkan tampak perut membuncit sesuai
usia kehamilan preterm. Dilakukan pemeriksaan leopold dengan hasil leopold I
TFU teraba pertengahan processus xyphoideus dan pusat, teraba massa kurang
bulat, lunak, leopold II teraba tahanan memanjang pada sisi kanan ibu dan bagian
kecil disisi kiri ibu, leopold III teraba massa bulat, keras, melenting dan leopold
IV : konvergen, 5/5. TFU : 26 cm, TBJ : 2.015 gram, kontraksi : (-), DJJ : 159
dpm/regular.
Dari pemeriksaan genetalia eksterna didapatkan, vulva tampak rembesan
darah tidak aktif dan uretra tampak tenang . Pada saat pemeriksaan inspekulo,
didapatkan portio livide, arah posterior, OUE tertutup, tampak rembesan darah
dari OUE tidak aktif, fluksus (+) darah. Tidak dilakukan VT pada kasus pasien.
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini dilakukan cek laboratorirum,
didapatkan hasil Hemoglobin 3,1. Selain itu dilakukan USG dengan kesan janin
tunggal hidup intrauterin presentasi kepala, gravid 31-32 minggu sesuai biometri,
plasenta previa totalis.
Berdasarkan data-data yang di ambil dari anamnesis, pemeriksaaan fisik
dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis pasien adalah G3P2A0H2
gravid 31-32 minggu, belum inpartu, HAP ec. plasenta previa totalis + anemia
berat ec. Perdarahan aktif + janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala.

4.5. Apakah faktor risiko terjadinya plasenta previa?


Terdapat faktor resiko untuk terjadinya plasenta previa yang dapat
dikelompokkan dalam faktor resiko sebagai berikut:
a. Usia
b. Paritas
c. Riwayat seksio sesaria

36
d. Riwayat kuretase
e. Vaskularisasi desidua yang tidak memadai
f. Plasenta terlalu besar
4.6. Apakah tatalaksana plasenta previa pada kasus ini sudah tepat?
Setiap perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam trimester
kedua atau ketiga harus dirawat dirumah sakit. Pasien diminta istirahat
baring dan dilakukan pemeriksaan darah lengkap.
Tatalaksana umum berupa:
a. Perbaiki cairan/darah dengan infus cairan intravena (NaCL
0,9% atau RL).
b. Lakukan penilaian jumlah perdarahan, jika perdarahan banyak
dan berlangsung, persiapkan seksio sesaria tampa
memperhitungkan usia kehamilan. Jika perdarahan sedikit dan
berhenti serta janin hidup tetapi prematur, pertimbangkan terapi
ekspektatif.
Tatalaksana Khusus berupa:

a. Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis


b. Observasi KU, TTV dan DJJ.
c. Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta
d. Berikan tokolitik bila ada kontraksi : MgSO4 4g IV dosis awal
dilanjutkan 4g setiap 6 jam atau Nifedipin 3x20mg/hari,
pemberian tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12
mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru.
e. Transfusi PRC sampai dengan HB >10 g/dL
f. Pastikan tersedianya sarana transfusi
g. Lakukan terminasi jika : terdapat perdarahan aktif dan banyak.
Pilihan terminasi yang tepat pada kasus plasenta previa adalah
seksio sesaria.
Pada kasus tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah sebagai
berikut Observasi KU, TTV, DJJ, kontraksi, profuse bleeding,
memberikan IVFD RL 20 tpm, transfusi PRC sampai dengan HB >10

37
g/dL, Inj. Dexametasone 2 x 6 mg dan onsul fetomaternal pada
(10/8/2020).

Rencana tindakan yang dilakukan kepada pasien ini untuk plasenta


previa yang dideritanya adalah terminasi per abdominal Cito. Tatalaksana
selanjutnya yang dilakukan pada pasien adalah menghubungi konsulen
onsite dr. Nicko Pisceski, SpOG Mengenai Kondisi Pasien  advice :

• Observasi KU, TTV, DJJ, Kontraksi, Perdarahan aktif dari jalan lahir
• Injeksi Cefazoline 2gr ( Pre OP ) → Skin test
• Resusitasi IVFD 2 jalur : IVFD RL guyur 3 kolf, IVFD HES guyur 1
kolf
• NRM 10 L/i
• Ibu diposisikan miring ke kiri
• Rencana transfusi PRC 5 kolf
• Konsul Anestesi
• Konsul Anak
• Konsul Paru
• Informed consent
• Family planning  pasien menolak untuk pemasangan IUD atau MOW
Diskusi dengan Konsulen dr. Nicko Pisceski K.S, SpOG  tranfusi PRC 1
kolf pre op sambil menunggu persiapan OK.
Pada pasien ini, usia kehamilan 31-32 minggu dengan keadaan umum tampak
sakit berat. Pasien mengalami perdarahan aktif. Pada pemeriksaan DJJ didapatkan
170 Dpm. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
pasien ini memenuhi indikasi terminasi tanpa melihat usia kehamilan.

4.7. Apakah edukasi yang diberikan kepada pasien plasenta previa?


Pasien harus menggunakan kontrasepsi untuk menjarakkan kehamilan
lebih dari 2 tahun agar tidak terjadi ruptur. Mengurus asuransi kesehatan untuk
berobat. Pasien juga diberikan edukasi untuk kontrol rutin sebanyak 4 kali,
minimal ke dokter kandungan sebanyak 2 kali. Pada trimester I sebanyamk 1 kai,
pada trimester II sebanyakk 1 kali dan pada trimester III sebanyak 2 kali.

38
4.8. Bagaimana menegakkan diagnosis anemia berat?
Anemia adalah suatu keadaan dimana jumlah kadar Hb (Hemoglobin)
hematokrit dan jumlh sel darah merah dibawah nilai normal tau bisa disebut juga
penurunan kualitas sel-sel darah merah dibawah nilai normal atau bisa disebut
juga penurunan kualitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi atau jumlah kadar
hemoglobin (Hb) dibawah status normal.23

Diagnosis kerja G3P20H2 gravid 31-32 minggu, belum inpartu, HAP


ec.plasenta previa totalis + anemia berat ec.perdarahan + JTHIU presentasi
kepala. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang
terdiri dari status generalis , status obstetrik genital eksterna dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan anamneis keluhan utama keluar darah dari jalan lahir
sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluar darah berwarna merah segar dan
tidak bergumpal keluar darah tanpa disertai nyeri dan tanpa sebab. Pada
pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil darah lengkap hemoglobin
3,1 g/dl.
4.9. Apakah etiologi terjadinya anemia berat?
Adapun beberapa penyebab terjadinya anemia berupa gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang belakang, kehilangan darah
(perdarahan), proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya
(hemolisis), kurangnya asupan zat besi, vitamin C, vitamin B12, dan asam folat.
(21) Menurut Agragawal S, penyebab utama anemia adalah gizi dan infeksi.
Masalah gizi yang berkaitan dengan anemia adalah kekurangan zat besi.24 dari
kasus ini didapatkan pasien mengalami anemia berat dikarenakan perdaran aktif.

4.10. Apakah tatalaksana anemia berat pada kasus ini sudah tepat?
Pada kasus ini dilakukan tindakan transfusi darah PRC sampai dengan
hemoglobin >10 g/dl. Adapun tatalaksana yang diberikan pada pasien ini telah
sesuai karena indikasi untuk dilakukan transfusi darah adalah kadar Hb <7 g/dl
atau kadar hematokrit <20%. (Pada kasus ini dilakukan tindakan transfusi darah
PRC sampai dengan hemoglobin >10 g/dl. Adapun tatalaksana yang diberikan

39
pada pasien ini telah sesuai karena indikasi untuk dilakukan transfusi darah adalah
kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20%.

4.11. Bagaimana menegakkan diagnosis syok hipovolemik?


Syok secara harfiah diartikan sebagai hipoksia pada jaringan karena
kurangnya perfusi dan inadekuatnya hantaran oksigen dan nutrisi yang diperlukan
sel. (1), (2) Syok hipovolemik atau hypovolemic shock didefinisikan sebagai
berkurangnya volume sirkulasi darah dibandingkan dengan kapasitas pembuluh
darah total. Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan cairan intravaskular
yang umumnya berupa darah atau plasma. Penurunan hebat volume plasma
intravaskuler merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya syok.15,17
Pada umumnya, pasien yang menderita syok hipovolemik memiliki
tekanan darah yang rendah (di bawah 100mmHg), kulit dingin dengan turgor
jelek, ujung ekstremitas dingin dan pengisian kapiler yang lambat. Tachycardia
(di atas 100 bpm), brachycardia (di bawah 60 bpm), dan tachypnea juga umum
terjadi pada pasien yang menderita syok hipovolemik. Diagnosis kasus syok
hipovolemik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adanya syok hipovolemik dilakukan dengan pemeriksaan pengisian dan
frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung
jari, suhu dan turgor kulit.25,26,27
Berdasarkan hasil anamnesis, pada penderita kasus di atas didapatkan
bahwa keluhan utama yang membawa pasien datang ke rumah sakit adalah keluar
darah dari jalan lahir sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS), darah
berwarna merah segar dan tidak bergumpal, keluar darah disertai nyeri dan tanpa
sebab. Pasien juga mengatakan bahwa sudah pernah mengalami perdarahan dari
jalan lahir sebanyak 2 kali tetapi tidak berobat dikarenakan masalah biaya.
Keluhan tersebut disertai penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi nafas,
dan terdapat konjungtiva anemis dengan hasil pemeriksaan penunjang didapatkan
Hb 3,1 g/dl.
Pada kasus ini, penyebab terjadinya syok hipovolemik oleh karena
terjadinya perdarahan aktif antepartum yang didapatkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada

40
pasien ini, yang menunjukan adanya penurunan kadar Hb darah dan ditemukan
rembesan darah di vulva dan dari OUE tidak aktif, dengan fluksus (+) darah.
4.12. Apakah etiologi terjadinya syok hipovolemik?
Syok hipovolemik dapat terjadi akibat :15
1. Perdarahan hebat (hemoragik)
2. Trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang
tubuh non-fungsional.
3. Dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat.
Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat
dibedakan menjadi 4 tingkatan atau stadium syok yang dibagi berdasarkan
persentase kehilangan darah dengan perhitungan skor tenis lapangan, yaitu 15%,
15-30%, 30-40%, dan >40%. Berikut stadium syok hipovolemik berdasarkan
gejala klinisnya:17
Tanda dan Stadiu Stadiu Stadiu Stadiu
Pemeriksaa m-I m-II m-III m-IV
n Klinis
Kehilangan 15% 15- 30- >40%
Darah (%) 30% 40%
Kesadaran Sedikit Cemas Sangat Letargi
cemas Cemas
/
Bingu
ng
Frekuensi <100x/ >100- >120- >140x/
Jantung atau menit 120x/ 140x/ menit
Nadi menit menit
Frekuensi 14- 20- 30- >35x/
Nafas 20x/ 30x/ 40x/ menit
menit menit menit
Refiling Lamba Lamba Lamba Lamba
Kapiler t t t t
Tekanan Norma Norma Turun Turun

41
Darah l l
Sistolik
Tekanan Norma Turun Turun Turun
Nadi l
Produksi >30ml/ 20- 5- Sangat
Urin Jam 30ml/ 15ml/ sedikit
Jam Jam
Pada kasus ini, etiologi terjadinya syok hipovolemik adalah karena
perdarahan hebat yang berasal merupakan perdarahan antepartum.
4.13. Apakah tatalaksana syok hipovolemik pada kasus ini sudah tepat?
Tatalaksana pada pasien syok hipovolemik harus dilakukan segera,
meliputi mengembalikan tanda-tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi
dalam batas normal. Selanjutnya mempertahankan kondisi tersebut dan dijaga
agar tetap pada kondisi stabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik yang utama
adalah pemberian cairan tubuh atau darah yang hilang.26,27,28
Penatalaksanaan syok hemoragik dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan dan di tempat pelayanan
kesehatan. Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan adalah
memperhatikan prinsip tahapan resusitasi. Selajutnya bila kondisi jantung, jalan
nafas, dan respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah
menghentikan trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah
perdarahan berlanjut.29,30,31
Pada pusat pelayanan kesehatan selanjutnya dilakukan pemasangan infus
intravena. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonic NaCl 0,9% atau
ringer laktat. Pemberia awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB
pada anak atau sekitar 1-2 liter pada dewasa. Pemberian cairan dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat
perbaikan hemodinami, maka pilihan terbaik adalah dengan pemberian kristaloid.
Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik, maka pilihannya adalah dengan
pemberian koloid dan dipersiapkan pemberian darah segera.29,30,31 Adapun
tatalaksana yang diberikan kepada pasien ini telah sesuai karena telah dilakukan
pemberian cairan RL dan transfusi 5 lb PRC.

42
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

43
a. Perdarahan antepartum merupakan perdarahan pada usia kehamilan > 22

minggu dan penyebab perdarahan antepartum yang utama adalah plasenta

previa dan solutio plasenta.

b. Etiologi plasenta previa diantaranya adalah multipara, mioma uteri, kuretase

berulang, usia diatas 30 tahun, bekas SC, perubahan inflamasi atau atrofi,

riwayat abortus, defek vaskularisasi pada desidua, dan wanita yang punya

riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya.

c. Tatalaksana anemia dengan kadar HB <7g/dl perlu dilakukan transfusi darah.

d. Syok hipovolemik merupakan keadaan berkurangnya perfusi organ dan

oksigenasi jaringan yang disebabkan gangguan kehilangan darah atau cairan

tubuh.

5.2 Saran

a. Pemberian edukasi terhadap pasien pada pemakaian alat kontrasepsi untuk

menjarakkan kehamilan dan mengikuti ANC minimal sebanyak 4 kali yaitu

pada trimester I sebanyak 1 kali, trimester II sebanyak 1 kali, dan trimester 3

sebanyak 2 kali.

b. Plasenta previa dapat menimbulkan berbagai komplikasi, sehingga perlu

dilakukan antisipasi dini pada keadaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu kebidanan
sarwono prawirohardjo. Jakarta: PT Bina pustaka sarwono
prawirohardjo;2014.

44
2. Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, Effendi JS. Obstetri patologi: ilmu
kesehatan reproduksi, edisi 3. Jakarta: EGC;2013.
3. Rohimah YT. Pengaruh Usia Ibu Hamil Terhadap Kejadian Placenta
Previa Di RSUP Soeradji Tirtonegoro. J Keperawatan Glob.
2016;1(2):100–3.)
4. Jatiningrum T. Perdarahan Antepartum. 2010;7–34.
5. Aprilya, Vian. Analisis faktor risiko terhadap kejadian plasenta previa di
RSUD Tugurejo Semarang. Undergraduate thesis, UNIMUS . 2018.
6. Londok THM, Lengkong RA, Suparman E. Karakteristik Perdarahan
Antepartum Dan Perdarahan Postpartum. J e-Biomedik. 2013;1(1):614–
20.
7. Putri NA. Plasenta previa sebagai faktor protektif kejadian preeklamsia
pada ibu hamil. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. 2019;10(2).
8. Cunningham FG. 2006. Obstetri William Vol.1. Jakarta:EGC.pp:685-704.
9. Prawirohardjo, sarwono, 2011. Ilmu Kandungan 3rd ed. M. Anwar, A.
Baziad, & P. Prabowo, eds., Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
10. Mochtar R. Sinopsis obstetri . Penerbit Buku Kedokteran
EGC;Jakarta:2002.
11. Sulaiman Sastrawinata, 2005; h. 83 – 98.
12. Oxcron, 2010; h. 426.
13. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Placenta Praevia,
Placenta Praevia Accreta and Vasa Praevia: Diagnosis and Management.
Green-top Guideline No. 27. London: RCOG; 2011.
14. Wijaya, IP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed VI. . Jakarta:
Interna Publishing;2014.
15. Lamm, Ruth L., and Coopersmith, Craig M. Comprehensive Critical
Care:Adult.Chapter 10. Illinois: Society of Critical Care Medicine. 2012.
16. Worthley. IG, Shock: A Review of pathophysiology and management.
Department of critical care medicine. Flinders medical centre. Adelaide.
2000;2:55-65.

45
17. Hardisman, H. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok
Hipovolemik. Jurnal Kesehatan Andalas, 2013;2(3), p.178.
18. Pascoe S, Lynch J. Management of Hypovolaemic Shock in Trauma
Patient. Committee NICPG, Sisson G, Parr M, Sugrue M, editors. Sydney:
ITIM (Institute of Trauma and Injury Management) NSW Health; 2007.
19. Hardisman, H. (2013) ‘Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok
Hipovolemik: Update dan Penyegar’, Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3), p.
178.
20. Pascoe S, Lynch J. Management of Hypovolaemic Shock in Trauma
Patient. Committee NICPG, Sisson G, Parr M, Sugrue M, editors. Sydney:
ITIM (Institute of Trauma and Injury Management) NSW Health; 2007.
21. Boswick John. A, 1997, Boswick John. A, Perawatan Gawat Darurat.,
EGC., Jakarta p. 44.
22. Giordano R, Cacciatore A, Cignini P, Vigna R and Romano M.
Antepartum Haemorrage. J Prenat Med. 2010; 4(1): 12-16.
23. Studi P, Gizi I, Kedokteran F, Diponegoro U. of Nutrition College,
Volume of Nutrition College, Volume Tahun 2014 Online di :
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc Journal of Nutrition College,
Volume 3 , Nomor 4 , Tahun 2014. 2014;4.
24. Sudoyo dkk dalam penelitian Indartanti dan Apoina 2014.
25. Queensland Ambulance Service. 2016. Clinical Practice Guidelines:
Trauma/Hypovolaemic Shock. Queensland;. Diakses pada [13 Oktober
2016]. Tersedia pada
[https://ambulance.qld.gov.au/docs/clinical/cpg/CPG_Hypovolaemic
%20shock.pdf]
26. George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: definisi, klasifikasi dan
patofisiologi. Dalam: Harijanto E, editor. Panduan tatalaksana terapi
cairan perioperatif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi
dan Reanimasi Indonesia; 2009.
27. Armstrong DJ. Shock. Dalam: Alexander MF, Fawcett JN, Runciman PJ,
editors. Nursing practice hospital and home. Edisi ke-2. Edinburg:
Churchill Livingstone; 2004.

46
28. Worthley LIG. Shock: a review of pathophysiology and management: part
1. Critical Care and Resuscitation. 2000; 2:55-65.
29. Udeani J, Kaplan LJ, Talavera F, Sheridan RL, Rice TD, Geibel J.
Hemorrhagic shock [internet]. New York: WebMD LLC; 2013 [diakses
2014 Ags 28]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com)
30. Kolecki P, Menckhoff CR, Dire DJ, Talavera F, Kazzi AA, Halamka JD,
et al. Hypovolemic shock treatment & management [internet]. New York:
WebMD LLC; 2013 [diakses pada 2014 Ags 22]. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/7601 45-treatment)
31. Pascoe S, Lynch J. management of hypovolaemic shock in trauma patient.
Sydney: NSW Health; 2007.

47

Anda mungkin juga menyukai