Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Plasenta akreta adalah istilah umum yang digunakan untuk


menggambarkan kondisi klinis ketika bagian dari plasenta, atau seluruh
plasenta, menginvasi dinding rahim sehingga sulit terlepas. Ketika villi
chorialis menginvasi hanya miometrium, dikatakan plasenta inkreta;
sedangkan plasenta perkreta menggambarkan invasi miometrium dan serosa,
dan kadang-kadang ke organ-organ yang berdekatan, seperti kandung kemih.
Secara klinis, plasenta akreta menjadi masalah saat persalinan ketika plasenta
tidak sepenuhnya terpisah dari rahim dan diikuti oleh perdarahan obstetrik
yang masif, menyebabkan DIC, histerektomi, repair pada cidera ureter,
kandung kemih, usus, atau struktur neurovaskular, sindrom gangguan
pernapasan dewasa, reaksi transfusi akut; ketidakseimbangan elektrolit, dan
gagal ginjal. Hilangnya darah rata-rata persalinan pada wanita dengan
plasenta akreta adalah 3.000-5.000 ml. Sebanyak 90% pasien dengan plasenta
akreta membutuhkan transfusi darah, dan 40% membutuhkan lebih dari 10
unit PRC. Kematian ibu dengan plasenta akreta dilaporkan setinggi 7%.
Kematian ibu dapat terjadi meskipun perencanaan yang optimal, manajemen
transfusi, dan perawatan bedah. Studi kohort dari 39.244 wanita yang
menjalani sesar, peneliti mengidentifikasi 186 termyata dlakukan cesarean
hysterectomy atas indikasi yang paling sering adalah plasenta akreta (38%).11
Plasenta akreta menyebabkan 7% -10% dari kasus kematian ibu di
dunia. Plasenta perkreta adalah tipe yang jarang, jika tidak didiagnosis dini,
dapat menyebabkan morbiditas berat maternal. Seksio sesarea sebelumnya
dan operasi intrauterin merupakan faktor risiko yang paling umum untuk
plasenta akreta maupun perkreta. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa
tingkat operasi caesar telah meningkat di AS dari 5,5% pada tahun 1970
menjadi 32,8% pada tahun 2010.2 Jika tingkat operasi caesar terus meningkat

1
pada tingkat saat ini, lebih dari 50% dari semua kelahiran di AS diperkirakan
dilakukan dengan operasi caesar pada tahun 2020. Hal ini bisa mengakibatkan
lebih dari 6000 kasus plasenta previa, 4500 kasus plasenta akreta, dan 130
kematian ibu.12

2
BAB II

LAPORAN KASUS

STATUS UJIAN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

PURWOKERTO

SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR SOESELO SLAWI

Nama Mahasiswa : Syarah Mutia Dewi, S.Ked

NIM : 1713020037

Dokter Pembimbing : dr. Zufrial Arief, Sp.OG

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. XY Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 39 tahun Suku bangsa : Jawa

Status perkawinan : Menikah Agama : Islam

Pendidikan : SMA Pekerjaan : IRT

Alamat : Kalibakung RT.02 RW.02,Kec. balapulang, Kab. Tegal

Tanggal masuk RS : 20 Maret 2018 Tanggal keluar RS : 22

Maret 2018

3
A. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Pasien datang ke Ponek RS. Soeselo Slawi pada tanggal 20 Maret 2018

pukul 19.30 dibawa oleh bidan PKM Kalibakung dengan keluhan plasenta

belum lahir dalam setengah jam setelah bayi lahir.

2. Keluhan Tambahan

Lemas (+) , nyeri perut bagian bawah (+),dan perdarahan pervagina (+)

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Ponek RS. Soeselo Slawi pada hari Selasa tanggal 20

Maret 2018 pukul 19.30 bersama saudara pasien dengan keluhan plasenta

belum lahir dalam setengah jam setelah bayi lahir yang disertai dengan

perdarahan aktif. Darah yang keluar bertambah banyak dengan warna

merah segar. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri perut seperti kram dan

lemas. Pasien mengeluh kenceng – kenceng dan keluar lendir darah sejak

pukul 14.00 kemudia pasien dibawa ke PKM kalibakung jam 16.30

sampai di PKM pasien sudah pembukaan lengkap oleh karena itu bidan

melakukan pimpin persalinan dan bayi lahir pukul 17.30 secara spontan.

Saat manajemen kala III dilakukan plasenta tidak dapat lahir spontan

maka dilakukan manual plasenta namun gagal, oleh karena itu pasien

dibawa ke RS. Soesilo Slawi.

4
4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan bahwa pasien pernah terpleset dikamar mandi

sehingga pasien terjatuh dan mengalami perdarahan pervagina kemudian

pasien dibawa ke bidan pada tanggal 5 Maret 2018. Berdasarkan

anamnesis darah yang keluar sedikit dan berwarna merah segar, kemudian

1 minggu setelah kejadian tersebut pasien mengalami perdarahan

pervagina dengan darah cukup banyak dan berwarna merah segar namun

tidak nyeri perut kemudian pasien dibawa ke PKM kalibakung diperiksa

oleh bidan diberikan vitamin penambah darah. Selain itu pasien memiliki

riwayat hipertensi saat kehamilan anak pertama. Riwayat penyakit

penyerta lain dan gynekologi dari pasien disangkal.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat hipertensi, diabetes millitus, asma, TB, penyakit jantung,

dan alergi (makanan, cuaca, obat-obatan) dalam keluarga pasien

disangkal.

b. Riwayat keluhan yang serupa juga disangkal.

6. Riwayat Menstruasi

Pasien menarche pada usia 13 tahun, lama menstruasi 7 hari dan teratur

setiap bulan dengan siklus 28-30 hari. Jumlah darah selama menstruasi

sekitar 60 cc dan pasien mengganti pembalut 3x sehari, dan sering

dismenorhea saat menstruasi. HPHT 6 Agustus 2017.

5
7. Riwayat Pernikahan

Pasien menikah pertama kali pada usia 20 tahun, ini merupakan

pernikahan kedua pasien dengan usia pernikahan pertama 12 tahun

sedangkan yang kedua 1, 5 tahun.

8. Riwayat Obstetri

Tgl/ Umur Jenis Penolong Anak, Keadaan Menyu KB

Bln/ Kehamilan Persa BB Anak sui

Th linan Lahir Sekarang

Part

us

Ab Pre Ater Na Non J BB Hid Men

ort mat m ke K L up ingg

us ur s al

2001 √ SPT √ L 260 √ Ya Suntik

0 3 bln

2009 √

2012 √ SPT √ L 250 √ Ya Suntik

0 3 bln

20/3/ √ √ P 230 √

2018 0

6
9. Riwayat ANC

Selama kehamilan pasien memeriksakan kandungannya sebanyak 8 kali di

bidan. Pasien sudah mendapatkan imunisasi TT 1 kali dan belum pernah

melakukan pemeriksaan USG.

10. Riwayat Kebiasaan

Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan, alkohol, dan jamu, serta tidak

merokok.

11. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien saat ini tinggal bersama keluarga. Pasien merupakan ibu rumah
tangga sedangkan suami bekerja sebagai wiraswasta
12. Riwayat Dirawat dan Operasi

Pasien tidak pernah dirawat maupun operasi di Rumah Sakit.

B. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak kesakitan

Sikap : Kooperatif

Kesadaran : CM, GCS E4M6V5

Antropometri :BB : 55 kg, TB : 157 cm, BMI : 22,31 (Normal)

Tanda vital

- Tekanan darah : 130/80 mmHg

- Nadi : 100 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,8 °C

- SPO2 : 98%

7
STATUS GENERALIS

1. Kulit : warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)

2. Kepala : normocephali, rambut hitam dengan distribusi merata.

3. Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat

isokor, gerakan normal, refleks cahaya (+/+).

4. Telinga : normotia, sekret (-), darah (-), nyeri tarik helix (-), nyeri tekan

tragus (-).

5. Hidung : bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-), edema mukosa

(-),napas cuping hidung (-).

6. Mulut

- Bibir : bentuk normal, simetris, merah muda, basah

- Mulut: oral hygiene baik

- Lidah : bentuk normal, simetris, hiperemis (-), deviasi (-)

- Uvula: letak di tengah, tremor (-), hiperemis (-), ukuran normal

- Faring: hiperemis (-)

- Tonsil: T1-T1 tenang

7. Leher :pembesaran KGB (-), trakea di tengah, teraba kelenjar tiroid(-)

8. Thorax

- Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi sela iga (-), tipe pernapasan

thorako abdominal, ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi : vocal fremitus dx = sin,

- Perkusi : paru sonor (+/+) pada kedua lapang paru

8
- Auskultasi: suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-), S1S2

reguler, murmur (-), gallop (-).

9. Abdomen

- Inspeksi : dinding perut tegang, bekas luka operasi (-), striae

Gravidarum (+)

- Auskultasi : bising usus normal

- Palpasi : supel, pembesaran organ (-), nyeri tekan perut bagian

bawah (+), TFU setinggi pusat

10. Ekstremitas

- akral dingin pada ke 4 ekstremitas, edema (-)

STATUS GINEKOLOGI

- Vagina Toucher dan Inspekulo

o Vulva – vagina  tampak tali pusat terklem di vulva

o Portio perdarahan (+) dari ostium uteri eksterna

o Adneksa Parametria tidak ada kelainan

o Cavum doughlas tidak ada kelainan

C. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Lab tanggal: 20 Maret 2018, jam 20:58 WIB

Nama test Hasil Unit Nilai

rujukan

Leukosit *22,7 (H) ribu/uL 3.6 – 11.0

Eritrosit *3,3 (L) juta/uL 3.80 – 5.20

9
Hemoglobin *9,3 (L) g/dL 11.7 – 15.5

Hematokrit *29 (L) % 35 – 47

MCV 88 fL 80 – 100

MCH 30 Pg 26 – 34

MCHC 34 g/dL 32 – 36

Trombosit 331 ribu/uL 150 – 400

Diff count:

Eosinofil 0.00 (L) % 2.00 – 4.00

Basofil 0.10 % 0–1

Netrofil *90.70 (H) % 50 – 70

Limfosit *5.80 (L) % 25 – 40

Monosit 3.40 % 2–8

MPV 10,5 fL 7.2 – 11.1

RDW-SD 43.8 fL 35.1 – 43.9

RDW-CV 13.7 % 11.5 – 14.5

Golongan darah O

Rhesus +

Urin:

Protein Urine (-) Negatif

HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

10
D. Resume

Pasien datang ke Ponek RS. Soeselo Slawi pada hari Selasa tanggal 20

Maret 2018 pukul 19.30 bersama saudara pasien dengan keluhan plasenta

belum lahir dalam setengah jam setelah bayi lahir yang disertai dengan

perdarahan aktif. Darah yang keluar bertambah banyak dengan warna merah

segar. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri perut bagian bawah seperti kram

dan lemas. Pasien mengeluh kenceng – kenceng dan keluar lendir darah sejak

pukul 14.00 kemudian pasien dibawa ke PKM kalibakung jam 16.30 sampai

di PKM pasien sudah pembukaan lengkap oleh karena itu bidan melakukan

pimpin persalinan dan bayi lahir pukul 17.30 secara spontan. Saat manajemen

kala III dilakukan plasenta tidak dapat lahir spontan maka dilakukan manual

plasenta namun gagal, oleh karena itu pasien dibawa ke RS. Soesilo Slawi.

Pasien mengatakan bahwa pasien pernah terpleset dikamar mandi

sehingga pasien terjatuh dan mengalami perdarahan pervagina kemudian

pasien dibawa ke bidan pada tanggal 5 Maret 2018. Berdasarkan anamnesis

darah yang keluar sedih dan berwarna merah segar, kemudian 1 minggu

setelah kejadian tersebut pasien mengalami perdarahan pervagina dengan

darah cukup banyak dan berwarna merah segar kemudian pasien dibawa ke

PKM kalibakung diperiksa oleh bidan diberikan vitamin penambah darah.

Selain itu pasien memiliki riwayat hipertensi saat kehamilan anak pertama.

Riwayat penyakit penyerta lain dan gynekologi dari pasien disangkal. Pasien

menarche pada usia 13 tahun dengan lama 7 hari secara teratur yaitu siklus

interval menstruasi 28 – 30 hari. Jumlah darah selama menstruasi sekitar 60

11
cc dan pasien mengganti pembalut 3x sehari, dan sering dismenorhea saat

menstruasi. HPHT 6 Agustus 2017.

Pasien tampak kesakitan dengan kesadaran compos mentis dan GCS

E4M6V5. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 100 x/menit, pernafasan 20

x/menit, dan suhu 36,8°C, SPO2 98%. Tinggi badan pasien 157 cm dan

dengan berat badan 55 kg, bisa didapatkan BMI sebesar 22,31 termasuk

kategori normal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis (+/+),

dinding perut tegang, supel, nyeri tekan perut bagian bawah (+), TFU setinggi

pusat, dan terlihat tali pusat di vulva. Pada pemeriksaan laboratorium 20

Maret 2018, didapatkan leukosit 22,7x10 3 /uL (↑), hemoglobin 9,3 g/dL (↓),

hematocrit 29 (↓),eosinofil 0.00 (↓), netrofil 90.70 (↑), limfosit 5,8 (↓), protein

urine (-), HBsAg non reaktif.

E. Diagnosis

Diagnosis Awal

P3A1, 39 Tahun, Post Partum Spontan dengan Retensio Plasenta.

Diagnosis Akhir

P3A1, 39 Tahun, Post Partum Spontan Post Histerektomi dan BSO (Bilateral

Salphingo Oophorectomy) a/i Plasenta Akreta

F. Penatalaksanaan

Medikamentosa

1. O2 3 liter/menit

2. IVFD RL (40 tpm) hingga perdarahan berhenti

3. Transfuse PRC 3 kolf

12
4. Injeksi ceftriaxone 2gr/ 24 jam

5. Injeksi ketorolac 30 mg/ 8 jam

6. Injeksi kalnex 500 mg /8 jam

7. Injeksi Adona 1 amp/8 jam

Non Medikamentosa

1. Pengawasan keadaan umum, tanda vital, dan perdarahan per vagina

2. Pasang DC

3. Melakukan tarikan tali pusat terkendali

4. Tarikan tali pusat gagal maka dilakukan plasenta manual secara hati-hati

5. Manual plasenta gagal, maka dilakukan kuretase

6. Kuretase gagal, maka dilakukan operasi histerektomi

G. Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad Bonam

Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam

Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

13
H. Follow Up

Waktu Subjective Objective Analisa Plan


20/03/2018 Os TD : 130/80 P3A1 ,39 th, PP - Pasang infus RL 40
19.30 mengeluh N : 100 SPT luar tpm
belum x/menit dengan - Observasi KU,
lahirnya RR Retensio TTV
ari-ari :20x/menit Plasenta - Memberikan O2 3
setelah S : 36,80C liter/menit
setengah TFU : - Kateterisasi
jam bayi setinggi pusat kandung kemih
lahir, - Kolaborasi dg
disertai Sp.OG
perdarahan - Melakukan manual
keluar dari plasenta gagal
pervagina kuretase gagalpro
cito histerektomi

20/3/2018 Os TD : 130/80 P3A1, 39 tahun, - infus RL 20 tpm


22.35 mengeluh N : 80 PP SPT luar - memberikan O2 3
kesakitan x/menit dengan plasenta liter/menit
nyeri perut RR akreta pro - transfuse darah
bagian :20x/menit histerektomi PRC kolf I
bawah S : 36,50C (CITO) a/I - Observasi KU,
semakin Hb : 9,3 g/dL plasenta akreta TTV
sakit

14
20/3/2018 Os masuk TD: 135/86 P3A1, 39 tahun, - Infus RL 20 tpm
00.30 ruang OK mmHg PP SPT luar - Memberikan O2
ponek N: 110 dengan plasenta 3 liter / menit
x/menit akreta pro - Transfuse darah
RR : histerektomi PRC kolf I
20x/menit (CITO) a/I - Injeksi
S: 36 0C plasenta akreta ceftriaxone 2 gr
- Observ. KU,TTV

21/3/2018 Os keluar TD : 113/60 P3A1, 39 tahun, - Infus RL 20 tpm


01.30 dari OK mmHg Pasca - O2 3 liter /menit
ponek N : 95 Histerektomi - Transfuse darah
x/menit supracervical PRC kolf I
RR : 18 dan Bilateral - Injeksi ketorolac
x/menit Salphingo 30 mg/8jam
S: 36 0C Oophorectomy - Injeksi kalnex
SpO2 : 99 % (BSO) a/I 500 mg / 8 jam
plasenta akreta - ADONA 1 amp/8
jam
- Observ.
KU ,TTV,awasi
perdarahan
21/3/2018 Os TD : 120/80 P3A1,39 tahun, - Infus RL 20 tpm
07.00 mengeluh mmHg Pasca - Tranfuse darah
nyeri luka N : 80 Histerektomi PRC kolf II
jahitan x/menit supracervical - Observ. KU,
(diruang RR : 20 dan Bilateral TTV
HCU x/menit Salphingo
ponek) S : 36 0C Oophorectomy
SpO2 : 99 % (BSO) a/I
plasenta akreta

15
21/3/2018 Os TD : 130/80 P3A1,39 tahun, - Infus RL 20 tpm
10.00 mengeluh mmHg Pasca - Transfuse darah
nyeri luka N : 88 Histerektomi PRC kolf II
jahitan x/menit supracervical - Inj. Ketorolac 30
RR : 20 dan Bilateral mg/8 jam
x/menit Salphingo - Inj.kalnex 500
S : 36 0C Oophorectomy mg/8jam
Darah kolf II (BSO) a/I - ADONA 1
lancar plasenta akreta amp/8 jam
- Obser. KU,TTV
- Cek lab PA

21/3/2018 Os TD: 130/70 P3A1, 39 tahun, - Infus RL 20 tpm


11.30 mengeluh mmHg Pasca - Transfuse darah
nyeri luka N : 80 Histerektomi PRC kolf II
jahitan x/menit supracervical - Observ.
RR : 20 dan Bilateral KU,TTV
x/menit Salphingo - Pasien pindah ke
S: 36 0C Oophorectomy bangsal
DC : 1000 cc (BSO) a/I
plasenta akreta

21/3/2018 Os TD : 120/80 P3A1, 39 tahun, - Infus RL 20 tpm


18.00 mengeluh mmHg Pasca - Transfuse darah
nyeri luka N : 80 Histerektomi PRC kolf III
jahitan x/menit supracervical - Inj. Ketorolac 30
RR : 20 dan Bilateral mg/8 jam
x/menit Salphingo - Inj.kalnex 500
S : 36,5 0C Oophorectomy mg/8jam
Flatus (+) (BSO) a/I - ADONA 1
BAB (-) plasenta akreta amp/8 jam
BAK ( DC - Obser. KU,TTV
300 cc/ 3
jam)

16
22/3/2018 Os TD : 110/70 P3A1, 39 tahun, - Infus RL 20 tpm
02.00 mengeluh mmHg Pasca - Transfuse darah
masih N: 80 x/menit Histerektomi PRC kolf III
merasakan RR : 20 supracervical - Inj. Ketorolac 30
nyeri luka x/menit dan Bilateral mg/8 jam
jahitan S : 36,5 0C Salphingo - Inj.kalnex 500
Flatus (+) Oophorectomy mg/8jam
BAB (-) (BSO) a/I - ADONA 1
BAK ( DC plasenta akreta amp/8 jam
150/ jam) - Obser. KU,TTV

22/3/2018 Os TD : 110/70 P3A1, 39 tahun, - Infus RL 20 tpm


08.00 mengeluh mmHg Pasca - Cefadroxil tab
masih N: 80 x/menit Histerektomi 2x 500 mg
merasakan RR : 20 supracervical - Asam
nyeri luka x/menit dan Bilateral mefenamat 3x
jahitan S : 36,5 0C Salphingo 500 mg
seperti Hb : 9,8 g/dL Oophorectomy - SF tab 2x1
teriris dan Flatus (+) (BSO) a/I - Off DC
hilang BAB (+) plasenta akreta - Observasi
timbul BAK ( DC: KU,TTV
150 cc/jam
warna kuning
jernih )
22/3/2018 - TD : 120/80 P3A1, 39 tahun, - Infus RL 20 tpm
18.00 mmHg Pasca - Cefadroxil tab
N: 84 x/menit Histerektomi 2x 500 mg
RR : 20 supracervical - Asam
x/menit dan Bilateral mefenamat 3x
S : 36.5 0C Salphingo 500 mg
Hb : 9,8 g/dL Oophorectomy - SF tab 2x1
Flatus (+) (BSO) a/I - Observasi
BAB (+) plasenta akreta KU,TTV
BAK (+)

17
23/3/2018 - TD : 110/80 P3A1, 39 tahun, - BLPL
08.00 mmHg Pasca - Infus RL 20 tpm
N: 84 x/menit Histerektomi - Cefadroxil tab
RR : 20 supracervical 2x 500 mg
x/menit dan Bilateral - Asam
S : 36.5 0C Salphingo mefenamat 3x
Hb : 9,8 g/dL Oophorectomy 500 mg
Flatus (+) (BSO) a/I - SF tab 2x1
BAB (+) plasenta akreta - Observasi
BAK ( + ) KU,TTV

LAPORAN MANUAL PLASENTA


- Pasien dibaringkan di bed VK dengan infus
- Dibawah GA TIVA dilakukan tindakan manual plasenta, dengan tangan kiri
memegang fundus dan tangan kanan menyusuri tali pusat dilakukan
pengeluaran plasenta namun masih ada sisa plasenta.
- Diputuskan untuk melakukan kuretase

LAPORAN KURETASE
- Pasien dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik
- Dibawah RA spinal dilakukan tindakan kuretase, namun letak uterus
retrofleksi sehingga susah dilakukan kuretase.
- Evaluasi perdarahan masih mengalir aktif
- Diputuskan untuk melakukan histerektomi cito a/I plasenta akreta.

LAPORAN OPERASI HISTEREKTOMI dan BSO (Bilateral Salphingo


Oophorectomy) a/I PLASENTA AKRETA
- Pasien dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik
- Dibawah GA LMA dilakukan tindakan aseptik dengan larutan antiseptik
betadine dan alkohol.

18
- Insisi dilakukan kemudian lapisan dinding abdomen dibuka lapis demi lapis
sampai peritoneum.
- Peritoneum dijinjing digunting keatas dan kebawah
- Tampak uterus hematoma, kemudian dilakukan total abdominal histerektomi
dan BSO , kemudian diambil spesimen untuk dilakukan PA.
- Lapisan abdomen ditutup lapis demi lapis setelah kontrol perdarahan.
- Luka operasi ditutup kasa betadhine, kasa steril, dan hipafix.
- KU ibu post op terpasang LMA

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Plasenta Akreta
1. Definisi
Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis
implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal kedinding uterus dan
terbagi menjadi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. Implantasi plasenta
yang normal ialah pada dinding depan atau dinding belakang rahim di daerah
fundus uteri. Pada plasenta akreta, bagian dari desidua parietal yang berada di
antara miometrium dan plasenta tersebut hilang, dan terdapat kontak langsung
antara sel-sel trofoblas dengan miometrium. Hilangnya desidua ini
menyebabkan tidak ada pembatas yang menyebabkan plasenta melekat ke
miometrium; dan plasenta perkreta adalah plasenta dimana vili plasenta
menginvasi lebih dalam dari miometrium hingga ke serosa bahkan sampai ke
organ intraabdomen lainnya misalkan kandung kemih. Sekitar 75% dari
plasenta adherent adalah plasenta akreta, 18% inkreta, dan 7% adalah plasenta
perkreta. Kedalaman dari invasi plasenta merupakan hal yang penting secara
klinis karena managemen intervensi bergantung padanya.1,2

Gambar 1. Kedalaman implantasi plasenta

20
2. Epidemiologi
Prevalensi gangguan plasenta akreta pada populasi umum hamil wanita
sekitar 1,7 % dari 10.000 kehamilan. Namun, insidensi plasenta previa akreta
adalah 4,1% pada wanita yang memiliki riwayat 1 kali sesar sebelumnya
kemudian sekitar 13.3 % terjadi pada wanita dengan riwayat sesar 2x
sebelumnya dan terus meningkat terkait jumlah sesar sebelumnya. Oleh
karena itu insiden plasenta akreta tampaknya berbanding lurus dengan tingkat
kelahiran sesar yang meningkat. Peneliti telah melaporkan kejadian plasenta
akreta sebagai 1 dari 533 kehamilan untuk periode 1982-2002 di Amerika.
Hal ini meningkat dari laporan sebelumnya, yang berkisar 1 dari 4.027
kehamilan pada tahun 1970, meningkat menjadi 1 dalam 2.510 kehamilan
pada tahun 1980.3,4
Wanita yang paling berisiko mengalami plasenta akreta adalah mereka
yang telah mempunyai kerusakan miometrium yang disebabkan oleh operasi
sesar sebelumnya dengan baik plasenta previa anterior atau posterior yang
melintasi parut uterus. Para penulis dari sebuah studi menemukan bahwa
dengan adanya suatu plasenta previa, risiko plasenta akreta adalah 3%, 11%,
40%, 61%, dan 67% untuk pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima atau
lebih pada masing-masing riwayat operasi kelahiran sesar. 1,4
3. Faktor Resiko
Risiko plasenta akreta lebih besar jika sebelumnya mempunyai riwayat
kerusakan miometrium akibat seksio sesarea, plasenta previa terletak anterior
ataupun posterior pada luka bekas operasi. Risiko plasenta akreta pada
plasenta previa adalah 3%, 11%, 40%, 61%, dan 67% pada kelahiran pertama,
kedua, ketiga, keempat, dan kelima dari seksio sesarea berulang. Usia
maternal >35 tahun dan multiparitas juga tercatat sebagai faktor risiko; Faktor
risiko tambahan yang dilaporkan untuk plasenta akreta meliputi, bedah rahim
lain sebelumnya, kuretase uterus sebelumnya,riwayat miomektomi, ablasi
endometrium, Asherman syndrome, leiomyoma, anomali rahim, hipertensi
dalam kehamilan, dan merokok. Meskipun ini dan faktor risiko lain telah

21
dijelaskan, kontribusi nyata akan frekuensi plasenta akreta tetap belum
diketahui.1
4. Patogenesis
Patogenesis plasenta akreta tidak jelas; namun ada beberapa teori yang
diusulkan. Abnormal vaskularisasi yang dihasilkan dari proses jaringan parut
setelah operasi dengan sekunder hipoksia lokal yang mengarah ke rusaknya
desidualisasi dan invasi trofoblas yang berlebihan tampaknya menjadi hal
yang paling menonjol, atau setidaknya merupakan teori yang paling didukung
sampai saat ini, menjelaskan patogenesis plasenta akreta pada tahap ini.1
Umumnya, plasenta akreta didiagnosis pada setelah diambil adanya
specimen post histerektomi yang diambil pada area pertumbahan yang
menunjukkan villi korionik kontak langsung dengan miometrium dan tidak
adanya desidua. Pembentukan desidua sering terganggu di segmen bawah
uterus pada bagian jaringan parut yang timbul akibat pelahiran Caesar
sebelumnya atau akibat kuretase uterus.5
Suatu hipotesis yang diajukan pada pathogenesis plasenta akreta
adalah mencakup pembentukan desidua yang terganggu, invasi trofoblas
berlebihan, atau kombinasi keduanya. Tseng dan Chou berhipotesis bahwa
yang tidak normal adalah ekspresi pertumbuhan, angiogenesis, dan terkait
invasi trofoblas yang merupakan faktor utama atas terjadinya plasenta akreta.
Selain itu menurut penelitian yang dilakukan Garmi dkk. menunjukkan,
secara in vitro, bahwa akibat sayatan tajam pada desidua, meniru proses in
vivo, yaitu, seksio sesarea, meningkatkan secara signifikan potensi invasi sel-
sel trofoblas.5
5. Diagnosis
a) Anamnesis
Kebanyakan pasien dengan plasenta akreta tidak menunjukkan
gejala. Gejala yang berhubungan dengan plasenta akreta mungkin
yaitu :

22
- Perdarahan vaginal dan kram. Temuan ini sebagian besar terlihat
pada kasus dengan plasenta previa, yang merupakan faktor risiko
terkuat untuk plasenta akreta.
- Nyeri akut abdomen dan hipotensi karena syok hipovolemik dari
ruptur uteri sekunder bisa karena plasenta perkreta.
Skenario kritis ini dapat terjadi setiap saat selama kehamilan dari
trimester pertama hingga kehamilan aterm dengan tidak adanya tanda-
tanda persalinan.
b) Pemeriksaan Penunjang1
1) Ultrasonografi
Ultrasonografi transvaginal dan transabdominal adalah
teknik diagnostik pelengkap dan harus digunakan sesuai
kebutuhan. USG transvaginal aman untuk pasien dengan
plasenta previa dan memungkinkan lebih lengkap dalam hal
pemeriksaan segmen bawah rahim. Secara keseluruhan,
ultrasonografi grayscale cukup untuk mendiagnosis plasenta
akreta, dengan sensitivitas 77-87%, spesifisitas 96-98%, nilai
prediksi positif 65-93%, dan nilai prediksi negatif 98%.
Penggunaan daya Doppler, warna Doppler, atau pencitraan tiga
dimensi tidak secara signifikan meningkatkan sensitivitas
diagnostik dibandingkan dengan yang dicapai oleh
ultrasonografi grayscale saja.1
Ultrasonografi pada plasenta akreta dapat kita lihat seperti
berikut ini:
First Trimester
1. Sebuah kantung kehamilan yang terletak di segmen bawah
uterus berkorelasi dengan peningkatan insidens plasenta
akreta pada trimester ketiga.

23
2. Beberapa ruang pembuluh darah tidak teratur pada placental
bed pada trimester pertama berkorelasi dengan plasenta
akreta.
3. Implantasi gestational sac pada parut bekas luka sesar
merupakan temuan penting. Temuan sonografi implantasi
bekas luka sesar termasuk gestational sac yang tertanam ke
bekas luka kelahiran sesar pada daerah ostium servikal
internal pada dasar kandung kemih (Gambar 2). Implantasi
bekas luka sesar dapat menyebabkan kelainan seperti
plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Penanganan
implantasi pada bekas luka sesar termasuk injeksi langsung
pada kantung kehamilan dengan methotrexate di bawah
bimbingan USG.

Gambar 2. Segmen bawah uterus dengan implantasi gestational


sac (GS) di bekas luka sesar. Beberapa ruang vaskular tidak
teratur dalam plasenta (tanda panah). Hasilnya adalah plasenta
perkreta anterior

Meskipun ada laporan plasenta akreta didiagnosis pada


trimester pertama atau pada saat abortus usia kehamilan <20
minggu, nilai prediktif USG trimester pertama belum
diketahui. USG pada trimester pertama tidak boleh
digunakan secara rutin untuk menegakkan atau
mengecualikan diagnosis plasenta akreta. Wanita dengan
plasenta previa atau “plasenta letak rendah“ yang melintas

24
pada bekas luka uterus harus menjalani follow up pencitraan
pada trimester ketiga.

Second and Third Trimester


1) Beberapa vascular lacunae dalam plasenta telah memiliki
korelasi dengan sensitivitas yang tinggi (80% -90%) dan
tingkat positif palsu rendah untuk plasenta akreta (Gambar
3) . Placenta lacunae pada trimester kedua tampaknya
memiliki sensitivitas dan positive predictive value sangat
tinggi dibanding marker lain untuk plasenta akreta.

Gambar 3. Beberapa kekosongan vaskular (panah) dalam


plasenta pada kehamilan 18 minggu. Temuan ini telah
dilaporkan mempunyai sensitivitas tinggi dan tingkat positif
palsu rendah untuk plasenta akreta

2) Kehilangan zona hipoekhoik retroplasenta yang normal,


juga disebut sebagai hilangnya ruang yang jelas antara
plasenta dan rahim, adalah salah satu penanda (Gambar 4).
Temuan sonografi ini telah dilaporkan memiliki tingkat
deteksi sekitar 93% dengan sensitivitas 52% dan
spesifisitas 57%. Nilai rerata false positive, bagaimanapun,
telah berada di kisaran 21% atau lebih tinggi. Penanda ini
tidak boleh digunakan sendiri, karena hal ini sangat
tergantung pada sudut pengambilan saat USG dan dapat
absen pada plasenta anterior yang normal.

25
Gambar 4. A. Normal zona retroplasenta hypoechoic (panah)
antara plasenta dan dinding rahim. B. Tidak adanya zona
retroplasenta hyperechoic, tampak ruang yang jelas antara
plasenta dan dinding rahim (panah) telah berkurang.

3) Kelainan pada permukaan antara serosa uterus dengan


kandung kemih termasuk gangguan garis, penebalan garis,
ketidakteraturan garis, dan peningkatan vaskularisasi pada
pencitraan warna Doppler (Gambar 5) . Normal permukaan
antara serosa uterus dengan kandung kemih adalah garis
tipis lebar yang halus tanpa ireguleritas atau vaskular yang
meningkat (Gambar 6). Kelainan permukaan antara uterus
serosa-kandung kemih ini meliputi, penebalan, ireguleritas,
peningkatan vaskularisasi, seperti varises dan bulging
plasenta ke dalam dinding posterior kandung kemih.

26
Gambar 5. A. Penebalan dan penyimpangan serosa rahim - line
interface kandung kemih pada kehamilan dengan plasenta previa
lengkap. B. Penambahan warna pencitraan Doppler untuk
menggambarkan peningkatan vaskularisasi. Kedua temuan
mengarah pada plasenta akreta

Gambar 6. Perhatikan perbedaan serosa dari rahim yang normal -


kandung kemih berhadapan dengan garis tipis lebar mulus tanpa
penyimpangan atau sinyal vaskular. AF menunjukkan cairan
ketuban.

Kriteria USG untuk plasenta akreta menurut RCOG Guideline


antara lain yakni:
Greyscale:
● Hilangnya zona sonolucent retroplasenta
● Zona sonolucent retroplasenta yang tidak teratur
● Penipisan atau gangguan dari hyperechoic serosa-bladder
interface
● Kehadiran massa exophytic fokal yang menyerang kandung
kemih

27
● abnormal placenta lacunae
Doppler:
● Difus atau fokal aliran lacunar
● danau vaskular dengan aliran turbulen (peak cystolic velocity
> 15 cm /detik)
● Hipervaskularisasi serosa-bladder interface
● markedly dilated vessels over peripheral subplacental zon
3D Power Doppler:
● Banyak koheren pembuluh darah melibatkan seluruh
pertemuan antara serosa uterus dengan kandung kemih (basal
viewl)
● Hipervaskularisasi (lateral view)
● Sirkulasi cotyledonal dan intervilli yang tak terpisahkan,
chaotic branching, detour vessels (lateral view).

2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging lebih mahal daripada
ultrasonografi dan membutuhkan baik pengalaman dan
keahlian dalam evaluasi invasi plasenta abnormal. Meskipun
kebanyakan studi telah menyarankan akurasi diagnostik yang
sebanding MRI dan USG untuk plasenta akreta, MRI dianggap
sebagai modalitas tambahan dan menambahkan sedikit dengan
akurasi diagnostik ultrasonografi. Namun, ketika ada temuan
USG ambigu atau kecurigaan dari akreta plasenta posterior,
dengan atau tanpa plasenta previa, ultrasonografi mungkin
tidak cukup. Sebuah studi prospektif seri dari 300 kasus yang
dipublikasikan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa MRI
mampu menguraikan anatomi invasi dan menghubungkannya
dengan sistem vaskular anastomosis daerah sekitar. Selain itu,
penelitian ini menunjukkan bahwa menggunakan MRI irisan

28
aksial dapat mengkonfirmasi invasi dari parametrium dan
kemungkinan keterlibatan ureter.
Kontroversi seputar penggunaan berbasis kontras
gadolinium meskipun menambah spesifisitas diagnosis
plasenta akreta dengan MRI. Penggunaan kontras gadolinium
MRI memungkinkan untuk lebih jelas melukiskan permukaan
relatif luar plasenta terhadap miometrium dan membedakan
antara heterogen pembuluh darah dalam plasenta dari yang
disebabkan oleh pembuluh darah ibu. Ketidakpastian mengenai
risiko efek ke janin oleh gadolinium karena mampu melintasi
plasenta dan mudah memasuki sistem peredaran darah janin,
The Contrast Media Safety Committee of the European Society
of Urogenital Radiology dari literatur terakhir menentukan
bahwa tidak ada pengaruh pada janin yang dilaporkan setelah
penggunaan media kontras gadolinium. Namun, American
College of Radiology guidance document for safe MRI
practices merekomendasikan bahwa gadolinium intravena
harus dihindari selama kehamilan dan harus digunakan hanya
jika benar-benar penting.8
Peran MRI dalam mendiagnosis plasenta akreta masih
diperdebatkan. Dua studi banding terakhir telah menampilkan
sonografi dan MRI sebanding: dalam studi pertama 15 dari 32
wanita terdiagnosis akreta (sensitivitas 93% dibandingkan 80%
dan spesifisitas 71% dibandingkan 65% untuk USG
dibandingkan MRI); di studi kedua 12 dari 50 wanita akhirnya
memiliki akreta dan MRI dan Doppler menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam hal mendeteksi plasenta akreta (P = 0,74),
meskipun MRI lebih baik dalam mendeteksi kedalaman
infiltrasi di kasus plasenta akreta (P <0,001). Banyak penulis

29
telah menganjurkan MRI bagi perempuan yang pada temuan
USGnya inconclusive.
Fitur MRI utama plasenta akreta meliputi:
● uterine bulging
● intensitas sinyal heterogen dalam plasenta
● dark intraplacental bands pada pencitraan T2.6
Beberapa peneliti melaporkan bahwa tingkat
sensitivitas MRI 80%-85% dengan spesifisitas 65%-
100% dalam hal mendiagnosis plasenta akreta.7

3) Pemeriksaan laboratorium
Ada faktor risiko plasenta akreta yang dapat diperiksa
dengan skrining MSAFP seperti untuk cacat tabung saraf dan
aneuploidies. Hung dan temannya (1999) menganalisis lebih
dari 9300 wanita diskrining untuk Down syndrome pada 14
sampai 22 minggu. Mereka melaporkan 54 kali lipat meningkat
risiko untuk akreta pada wanita dengan plasenta previa. Risiko
untuk akreta meningka 8x lipat bila kadar MSAFP melebihi 2,5
MoM; itu meningkat 4x lipat ketika kadar free beta-hCG yang
lebih besar dari 2,5 MoM; dan itu meningkat tiga kali lipat saat
usia ibu adalah 35 tahun atau lebih.9

4) Patologi Anatomi
Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat
berdasarkan hasil dari patologi anatomi yang diperoleh setelah
dilakukan histerektomi. Diagnosis definitif tergantung pada
visualisasi dari villi chorialis yang menginvasi atau tertanam
pada miometrium dengan tidak adanya desidua di lapisan
antara mereka.7

30
6. Penatalaksanaan
Masalah yang berkaitan dengan pelahiran plasenta dan perkembangan
selanjutnya akan berbeda – beda bergantung pada tempat implantasi,
kedalaman penetrasi ke miometrium, dan jumlah kotiledon yang terlibat.
Bagaimanapun, pada keterlibatan yang ekstensif akan terjadi perdarahan masif
saat dilakukan usaha untuk melahirkan plasenta. Pada plasenta akreta
parsialis, masih dapat dilepaskan secara manual, tetapi plasenta akreta
kompleta tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat
menimbulkan perforasi dinding rahim. Keberhasilan pengobatan bergantung
pada pemberian darah pengganti dengansegera dan hampir selalu histerektomi
dini.
a) Manajemen antepartum
Karena perdarahan yang signifikan umum terjadi dan ada
kemungkinan dilakukan sesarean histerektomi akan diperlukan bila
plasenta akreta tegak didiagnosis, wanita dengan dicurigai plasenta akreta
harus dijadualkan untuk ditangani oleh RS dengan fasilitas bedah yang
lengkap dan memiliki bank darah yang dapat memfasilitasi transfusi
jumlah besar berbagai produk darah. Suplementasi dengan besi oral
dianjurkan untuk memaksimalkan simpanan zat besi dan daya dukung
oksigenasi.10
Perencanaan persalinan mungkin melibatkan ahli anestesi, dokter
kandungan, dokter bedah panggul seperti ahli onkologi ginekologi, ahli
bedah intensiv, neonatologist, bedah urologi, ahli hematologi, dan ahli
radiologi intervensi untuk mengoptimalkan outcome pasien. Untuk
meningkatkan keselamatan pasien, adalah penting bahwa persalinan
dilakukan oleh tim obstetri berpengalaman yang termasuk ahli bedah
kebidanan, dengan spesialis bedah lainnya, seperti urolog, dokter bedah
umum, dan ahli ginekologi-onkologi, tersedia jika diperlukan. Karena
risiko kehilangan darah yang besar, perhatian harus diberikan untuk kadar
hemoglobin ibu sebelum operasi, jika mungkin. Banyak pasien dengan

31
plasenta akreta membutuhkan kelahiran prematur darurat karena
perdarahan banyak yang tiba-tiba.
Timing of delivery pada kasus dugaan plasenta akreta harus
individual. Keputusan ini harus dibuat bersama-sama dengan pasien, dokter
kandungan, dan neonatologist. Konseling pasien harus mencakup diskusi
kebutuhan potensial untuk histerektomi, risiko perdarahan yang besar, dan
kemungkinan kematian ibu. Meskipun persalinan telah direncanakan,
rencana kemungkinan persalinan darurat harus dikembangkan untuk
masing-masing pasien, yang mungkin termasuk managemen perdarahan
maternal.
Timing of delivery harus individual, tergantung pada keadaan dan
preferensi pasien. Salah satu pilihan adalah dengan melakukan terminasi
setelah paru janin matang yang dibuktikan dengan amniosentesis. Namun,
hasil analisis keputusan baru-baru ini menyarankan untuk
mengkombinasikan outcome ibu dan bayi dioptimalkan pada pasien stabil
dengan terminasi pada 34 minggu kehamilan tanpa amniosintesis.
Keputusan untuk pemberian kortikosteroid antenatal dan waktu
pemberiannya harus individual.1 Pada sebuah studi yang melibatkan 99
kasus plasenta akreta yang didiagnosis sebelum persalinan, 4 dari 9 dengan
persalinan >36 minggu diperlukan terminasi emergensi karena perdarahan.
Jika tidak ada perdarahan antepartum atau komplikasi lainnya,
direncanakan terminasi saat akhir prematur dapat diterima untuk
mengurangi kemungkinan persalinan darurat yang terjadi dengan segala
komplikasinya.10
b) Manajemen preoperatif
Persalinan harus dilakukan dalam ruangan operasi dengan personil
dan dukungan pelayanan yang diperlukan untuk mengelola komplikasi
potensial. Penilaian oleh anestesi harus dilakukan sedini mungkin sebelum
operasi. Kedua teknik anestesi baik umum dan regional telah terbukti aman
dalam situasi klinis ini. Antibiotik profilaksis diberikan, dengan dosis

32
ulangan 2-3 jam setelah operasi atau kehilangan darah 1.500 mL yang
diperkirakan. Preoperatif Cystoscopy dengan penempatan stent ureter dapat
membantu mencegah cedera saluran kemih. Beberapa menyarankan bahwa
kateter Foley three way ditempatkan di kandung kemih melalui uretra
untuk memungkinkan irigasi, drainase, dan distensi kandung kemih, yang
diperlukan, selama diseksi. Sebelum operasi, bank darah harus
dipersiapkan terhadap potensi perdarahan masif. Rekomendasi saat ini
untuk penggantian darah dalam situasi trauma menunjukkan rasio 1:1
PRC : fresh frozen plasma. PRC dan fresh frozen plasma harus tersedia
dalam kamar operasi. Tambahan faktor koagulasi darah dan unit darah
lainnya harus diberikan dengan cepat sesuai dengan kondisi tanda-tanda
vital pasien dan stabilitas hemodinamik pasien.10
USG segera pra operasi untuk pemetaan lokasi plasenta dapat
membantu dalam menentukan pendekatan optimal ke dinding perut dan
incisi rahim untuk memberikan visualisasi yang memadai dan menghindari
mengganggu plasenta sebelum pengeluaran janin.10
c) Manajemen operatif
Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus yang
dicurigai plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea prematur
dengan plasenta ditinggalkan in situ karena pengeluaran plasenta dikaitkan
dengan morbiditas akibat perdarahan yang signifikan. Namun, pendekatan
ini tidak dapat dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk wanita
yang memiliki keinginan yang kuat untuk kesuburan di masa depan. Oleh
karena itu, manajemen operasi plasenta akreta dapat individual tergantung
kasusnya masing masing.
Pasien ditempatkan di meja operasi dengan posisi modifikasi dorsal
litotomi dengan kemiringan lateral yang kiri untuk memungkinkan
penilaian langsung dari perdarahan vagina, menyediakan akses untuk
penempatan paket vagina, dan memungkinkan tambahan ruang untuk
asisten bedah. Karena prosedur ini diantisipasi akan berkepanjangan,

33
padding dan posisi untuk mencegah kompresi saraf dan pencegahan dan
pengobatan hipotermia adalah penting. Meminimalkan kehilangan darah
sangat penting. Pilihan sayatan harus dibuat berdasarkan habitus tubuh
pasien dan sejarah operasi pasien. Penggunaan sayatan vertikal linea
mediana mungkin dilakukan karena memberikan daerah cukup jika
histerektomi diperlukan. Insisi uterus klasik, sering transfundal, mungkin
diperlukan untuk menghindari plasenta dan memungkinkan pengeluaran
bayi. Ultrasound pemetaan lokas plasenta, baik sebelum operasi atau
intraoperatif, mungkin dapat membantu. Karena positive predictive value
ultrasonografi untuk plasenta akreta berkisar dari 65% hingga 93%, adalah
wajar untuk menunggu pelepasan plasenta spontan untuk mengkonfirmasi
plasenta akreta secara klinis.
Pada umumnya, tindakan manual plasenta harus dihindari. Jika
histerektomi diperlukan, pendekatan standar yakni untuk meninggalkan
plasenta in situ, dengan cepat menggunakan "whip stitch" untuk menutup
incisi histerotomi, dan lanjutkan dengan histerektomi. Sedangkan
histerektomi dilakukan dengan cara biasa, diseksi flap kandung kemih
dapat dilakukan relatif lambat, setelah kontrol jaringan pembuluh arteri
uterus tercapai, dalam kasus akreta anterior, tergantung pada temuan
intraoperatif. Kadang-kadang, histerektomi subtotal dapat
dipertimbangkan, namun perdarahan terus-menerus dari leher rahim
mungkin menghalangi managemen ini dan membuat histerektomi total
tetap diperlukan.
Ada laporan dari pendekatan alternatif untuk pengelolaan plasenta
akreta yang meliputi pengikatan tali pusat pada fetal surface, mengambil
tali pusatnya, dan meninggalkan plasenta in situ, dengan reseksi parsial
plasenta untuk meminimalkan ukurannya. Namun, hal ini harus
dipertimbangkan hanya bila pasien memiliki keinginan yang kuat untuk
kesuburan masa depan serta stabilitas hemodinamik yang baik, status
koagulasi normal, dan bersedia menerima risiko akibat managemen ini.

34
Pasien harus diberi konseling bahwa hasilnya ini tidak dapat diprediksi dan
bahwa ada peningkatan risiko komplikasi yang signifikan termasuk
histerektomi. Kasus yang dilaporkan dari kehamilan yang sukses
berikutnya pada pasien yang diobati dengan pendekatan ini jarang terjadi.
Pendekatan ini harus ditinggalkan dan histerektomi dilakukan jika
perdarahan yang berlebihan. Dari 26 pasien yang diobati dengan
pendekatan ini, 21 (80,7%) berhasil terhindar dari histerektomi, sedangkan
5 (19,3%) pada akhirnya dilakukan histerektomi. Namun, sebagian besar
dari 21 pasien yang terhindar dari histerektomi tidak memerlukan
pengobatan tambahan, termasuk ligasi arteri hipogastrik, embolisasi arteri,
methotrexate, transfusi produk darah, antibiotik, atau kuretase. Kecuali
dalam kasus-kasus tertentu, histerektomi tetap managemen pilihan untuk
pasien dengan plasenta akreta.1
Pada kasus dimana perdarahan masih terus berlangsung saat operasi,
prosedur yang dapat kita lakukan yakni:
 Pelvic artery ligation and ambolization
 Pelvic pressure packing
 Aortic compresion and clamping.10
d) Manajemen postoperatif
Pasien yang menjalani histerektomi untuk plasenta akreta beresiko
untuk mengalami komplikasi pasca operasi yang berhubungan dengan
intraoperatif seperti hipotensi, koagulopati persisten dan anemia, dan
operasi berkepanjangan. Disfungsi ginjal, jantung, dan organ lainnya sering
terjadi dan harus dipikirkan. Sindrom Sheehan (baik transien dan
permanen) telah dilaporkan terjadi akibat perdarahan postpartum yang
massif, dan hiponatremia mungkin merupakan tanda awal. Jika volume
besar kristaloid dan produk darah diberikan saat intraoperatif, pasien juga
berisiko untuk terjadi edema paru, cidera paru akut terkait transfusi, dan /
atau sindrom gangguan pernapasan akut.

35
Perhatian khusus harus diberikan untuk sering mengevaluasi tanda-
tanda vital (tekanan darah, denyut jantung dan laju pernapasan). Output
urin harus diukur melalui kateter urin. Pemantauan vena sentral ,dan
penilaian perifer oksigenasi dengan pulse oksimetri dapat membantu dalam
beberapa kasus. Koreksi koagulopati dan anemia berat dengan produk
darah harus dilakukan. Pasien harus dievaluasi secara klinis untuk potensi
kehilangan darah dari luka sayatan perut dan vagina, dan kemungkinan
pendarahan intraabdominal berulang atau retroperitoneal. Fungsi ginjal
harus dievaluasi dan kelainan serum elektrolit harus dikoreksi. Jika ada
hematuria persisten atau anuria, kemungkinan cedera saluran kemih yang
tidak diketahui harus dipertimbangkan. Mobilisasi awal, dan kompresi
intermiten untuk mereka yang membutuhkan bedrest, dapat mengurangi
risiko komplikasi tromboemboli.10

7. Komplikasi
Komplikasi plasenta akreta banyak dan mencakup kerusakan pada
perdarahan pasca operasi, DIC, transfusi darah, sindrom gangguan pernapasan
akut, tromboemboli pasca operasi, hipotensi intraoperative, morbiditas karena
infeksi, kegagalan multisistem organ, dan kematian. Komplikasi genital,
saluran kemih yang umum dan termasuk cystotomy pada sekitar 15% kasus
dan cidera ureter sekitar 2% kasus. Oleh karena itu diagnosis prenatal yang
akurat sangat penting untuk meminimalkan risiko ini.

36
BAB IV

ANALISIS KASUS

Kasus Teori
Pasien Ny. XY P3 A1 39 tahun Post Partum Spontan Diagnosis plasenta akreta ditegakan
luar dengan Retensio Plasenta dengan keluhan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
plasenta belum lahir dalam setengah jam setelah penunjang yaitu dalam anamnesis ditemukan
bayi lahir disertai keluar darah dari jalan lahir, adanya gejala Perdarahan vaginal dan kram
lemas dan nyeri perut bagian bawah sejak jam perut. Temuan ini sebagian besar terlihat pada
19.30 WIB SMRS. kasus dengan plasenta previa, yang merupakan
Tanda – tanda vital: faktor risiko terkuat untuk plasenta akreta.
 BP: 130/80 mmHg Nyeri akut abdomen dan hipotensi karena syok
 HR: 100 x/menit hipovolemik dari ruptur uteri sekunder bisa
 T: 36,8° C karena plasenta perkreta. Skenario kritis ini
 RR: 20 x/menit dapat terjadi setiap saat selama kehamilan dari
 SpO2: 98% trimester pertama hingga kehamilan aterm
dengan tidak adanya tanda-tanda persalinan.
TB : 157 cm BB: 55 kg IMT : 22,31 kg/m2 (gizi
Faktor risiko plasenta akreta
normal)
- seksio sesarea berulang.
Inspekulo :
- usia maternal >35 tahun
• Vulva – vagina ampak tali pusat
- multiparitas
terklem di vulva
• Portio perdarahan (+) dari ostium uteri - hipertensi dalam kehamilan

eksterna - plasenta previa

• Adneksa Parametria tidak ada kelainan - bedah rahim lain sebelumnya

• Cavum doughlas tidak ada kelainan - kuretase uterus sebelumnya


Riwayat trauma (+) mengalami perdarahan - riwayat miomektomi
pervagina sedikit dan berwarna merah segar - Asherman syndrome,
kemudian pasien dibawa ke bidan pada tanggal 5 - Merokok
Maret 2018. Kemudian 1 minggu setelah kejadian Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti
tersebut pasien mengalami perdarahan pervagina

37
dengan darah cukup banyak dan berwarna merah kasus ini yaitu :
segar tidak dirasakan nyeri perut . USG
Riwayat hipertensi saat kehamilan anak pertama. Ultrasonografi pada plasenta akreta
Riwayat penyakit penyerta lain dan gynekologi dari dapat kita lihat seperti berikut ini:
pasien disangkal. First Trimester
Pemeriksaan fisik : konjungtiva anemis (+/+), - Sebuah kantung kehamilan yang
dinding perut tegang, supel, nyeri tekan perut terletak di segmen bawah uterus
bagian bawah (+), TFU setinggi pusat, dan terlihat - Beberapa ruang pembuluh darah tidak
tali pusat di vulva. teratur pada placental bed
- Implantasi gestational sac pada parut
Pemeriksaan laboratorium : 20 Maret 2018 jam
bekas luka sesar merupakan temuan
20.53, didapatkan leukosit 22,7x10 3
/uL (↑),
penting.
hemoglobin 9,3 g/dL (↓), hematocrit 29 Second and Third Trimester
(↓),eosinofil 0.00 (↓), netrofil 90.70 (↑), limfosit 5,8 - Ditemukan adanya vascular lacunae
(↓), protein urine (-), HBsAg non reaktif. dalam plasenta telah memiliki korelasi
dengan sensitivitas yang tinggi (80% -
90%)
- Kehilangan zona hipoekhoik
retroplasenta yang normal, juga disebut
sebagai hilangnya ruang yang jelas
antara plasenta dan rahim, adalah salah
satu penanda
MRI

PA
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa Ny. XY termasuk kategori retensio plasenta suspek plasenta akreta
Medikamentosa Terdapat beberapa manajemen yang dilakukan
- O2 3 liter/menit dalam penatalaksanaan plasenta akreta yaitu :
- IVFD RL (40 tpm) hingga perdarahan berhenti -Manajemen antepartum
Timing of delivery. Salah satu pilihan adalah

38
- Transfuse PRC 3 kolf dengan melakukan terminasi setelah paru janin
- Injeksi ceftriaxone 2gr/ 24 jam matang yang dibuktikan dengan amniosentesis.
- Injeksi ketorolac 30 mg/ 8 jam Namun, hasil analisis keputusan baru-baru ini

- Injeksi kalnex 500 mg /8 jam menyarankan untuk mengkombinasikan

- Injeksi Adona 1 amp/8 jam outcome ibu dan bayi dioptimalkan pada pasien
stabil dengan terminasi pada 34 minggu
Non Medikamentosa
kehamilan tanpa amniosintesis.
- Pengawasan keadaan umum, tanda vital, dan
Jika tidak ada perdarahan antepartum atau
perdarahan per vagina
komplikasi lainnya, direncanakan terminasi saat
- Pasang DC
akhir prematur dapat diterima untuk
- Melakukan tarikan tali pusat terkendali
mengurangi kemungkinan persalinan darurat
- Tarikan tali pusat gagal maka dilakukan
yang terjadi dengan segala komplikasinya.
plasenta manual secara hati-hati
- Manual plasenta gagal, maka dilakukan
-Manajemen praoperatif
kuretase
Penilaian oleh anestesi harus dilakukan sedini
- Kuretase gagal, maka dilakukan operasi
mungkin sebelum operasi. Kedua teknik
histerektomi
anestesi baik umum dan regional telah terbukti
Histerektomi pada pasien ini dilakukan karena
aman. Antibiotik profilaksis diberikan.
adanya kemungkinan terjadi plasenta akreta dimana
Sebelum operasi, bank darah PRC harus
pada keadaan ini menyebabkan perdarahan aktif
dipersiapkan terhadap potensi perdarahan
setelah dilakukan tindakan manual plasenta.
masif. USG dilakukan untuk menentukan letak
plasenta
-Manajemen operatif
Pada keterlibatan yang ekstensif akan terjadi
perdarahan masif saat dilakukan. Pada 25%
perempuan yang ditatalaksana secara
konservatif meninggal. Jadi penatalaksanaan
yang paling baik adalah dilakukan histerektomi

39
BAB V

KESIMPULAN

Plasenta akreta didefinisikan sebagai implantasi plasenta yang tidak normal


yaitu bagian dari desidua parietal berada di antara miometrium dan plasenta
tersebut hilang, dan terdapat kontak langsung antara sel-sel trofoblas dengan
miometrium. Dalam makalah ini penyusun menarik kesimpulan berdasarkan
anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari kasus yang telah di
observasi terhadap Ny. XY P3A1, 39 tahun yaitu pasien masuk dalam diagnosis
plasenta akreta. Faktor risiko terjadinya plasenta akreta pada pasien ini yaitu pada
usia yang lebih dari 35 tahun yaitu 39 tahun, kemudian pasien mempunyai riwayat
hipertensi dalam kehamilan sebelumnya. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah
dilakukan histerektomi atas indikasi plasenta akreta.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauzan,dkk. Teknik USG untuk Deteksi Plasenta Akreta. CDK-255/ vol. 44


no. 8 th. 2017 hal 586
2. Dina,F.,dan Mutiara, Hanna. G2P1A0 Berusia 41 Tahun dengan Plasenta
Akreta. J Medula Unila. Volume 7 No. 2. April 2017 .hal 37
3. Eric, Jauniaux., Amar,Bhide., Anne Kennedy., Paula, Woodward.,
Corrine,Hubinont.,Sally Collins. FIGO consensus guidelines on placenta
accreta spectrum disorders: Prenatal diagnosis and screening. for the FIGO
Placenta Accreta Diagnosis and Management Expert Consensus
Panela. .wileyonlinelibrary.com/journal/ijgo. Int J Gynecol Obstet 2018; 140:
274–280.

4. Publication Committee, Society for Maternal-Fetal Medicine, Placenta


Accreta, American Journal of Obstetrics and Gynaecology, 2010,Washington
DC

5. Gali Garmi1 and Raed Salim. Epidemiology, Etiology, Diagnosis,


andManagement of Placenta Accreta. Hindawi Publishing Corporation
Obstetrics and Gynecology International. Volume 2012, Article ID 873929, 7
pages doi:10.1155/2012/873929

6. Green – top Guideline No 27, Placenta praevia, placenta praevia accreta and
vasa praevia: diagnosis and management, Royal College of Obstetricans and
Gynaecologists, January 2011.

7. Eliza and Alfred, Prenatal Diagnosis of Placenta Accreta, The American


Institute of Ultrasound in Medicine, 2013, USA.

8. Committee opinion, Placenta Accreta, The American College of Obstetricans


and Gynecologists, July 2012.

41
9. Cunningham,Leveno, Bloom, Hauth, Rouse,Spong, Williams Obstetrics 23
edition, Chapter 35: Obstetrics Haemorrhage, pp 776-780, 2010.

10. Publication Committee, Society for Maternal-Fetal Medicine, Placenta


Accreta, American Journal of Obstetrics and Gynaecology, 2010,Washington
DC.

11. Committee opinion, Placenta Accreta, The American College of Obstetricans


and Gynecologists, July 2012.
12. Sivasankar Chitra, Perioperative management of undiagnosed placenta
percreta: case report and management strategies, International Journal of
Women’s Health, 2012, USA.

42

Anda mungkin juga menyukai